Flashback: 12 Tahun yang Lalu – Istana Mandalagiri, Ruang Singgasana Agung
Langit senja memancarkan cahaya jingga yang membias lewat kaca-kaca patri megah Istana Mandalagiri.Di dalam Ruang Singgasana, suasana tegang menggantung berat.
Di atas singgasana berukir emas, duduk Sri Maharaja Darmawijaya, sang Raja Mandalagiri, berwibawa namun kini wajahnya tampak merah padam karena amarah.
Di sisi kanannya, berdiri tegap Permaisuri Shandrakirana — wanita agung dengan sorot mata tajam namun tetap berwibawa.Di sisi kirinya, duduk seorang wanita cantik berwajah tegas, dengan aura pendekar kuat: Dewi Laksmiwara, ibu kandung dari Adipati Maheswara — mantan pendekar wanita legendaris dari Tanah Sinduwaluyo.
Berdiri di bawah tangga singgasana, menundukkan kepala dengan sikap penuh hormat namun tidak takut, adalah seorang pemuda berusia 19 tahun: Maheswara muda.Wajahnya tampan, matanya tajam namun penuh gairah petualangan. Ia mengenakan pakaian resmi, tapi noda tanah di sepatunya mengkhianati jejak perjalanan jauhnya.
Di sampingnya, berdiri dua orang penting:
Panglima Muda Raksadana, kala itu masih berusia 30 tahun, gagah dan penuh wibawa, mengenakan baju zirah ringan.
Mahamentri Palindrasuta, berusia 48 tahun, berwajah serius dan licin dalam permainan politik.
Sedikit ke belakang, tampak Letnan Jayasatya muda, berdiri tenang tapi memperhatikan Maheswara dengan kekaguman tersembunyi.
Sri Maharaja Darmawijaya (menggebrak sandaran singgasana, suara lantang menggetarkan ruangan):"Maheswara! Sampai kapan kau akan bertingkah seperti anak liar?!""Kau adalah darah daging kerajaan ini! Bukan pengembara kampungan yang bermain-main di pelosok negeri!"
Maheswara tetap menunduk, wajahnya menegang, namun matanya bersinar tidak menyerah.
Permaisuri Shandrakirana (dingin, melirik sinis):"Putra dari selir tetaplah putra dari selir... terlalu liar, terlalu bebas."
Dewi Laksmiwara (suara lembut namun mengandung ketegasan, menimpali):"Maheswara hanya mengikuti nuraninya, Baginda. Ia mencintai negeri ini dengan caranya sendiri."
Sri Maharaja mendengus keras.
Mahamentri Palindrasuta (dengan suara licin, penuh siasat):"Tapi apakah itu cukup untuk menjadikan dirinya penerus yang layak? Negeri ini butuh pemimpin, bukan petualang."
Panglima Raksadana — yang selama ini diam, maju setapak.
Panglima Raksadana (nada hormat tapi tegas):"Ampun Baginda... izinkan hamba berbicara."
Sri Maharaja mengangguk malas.
Panglima Raksadana (menghadap Maheswara, lalu kepada Raja):"Memang benar Tuan Muda Maheswara gemar menjelajah. Tapi justru dari sana ia memahami nadi rakyat jelata, tanah air, serta ancaman-ancaman yang tidak terlihat dari balik dinding istana.""Jika boleh hamba berpendapat, mungkin... ini pertanda bahwa Yang Mulia Maheswara ditakdirkan untuk memimpin cara yang berbeda."
Sri Maharaja memandangi Raksadana dengan mata tajam, lalu mendengus lagi.
Sri Maharaja Darmawijaya (setengah kesal):"Baik! Kalau begitu, biarkan dia membuktikan dirinya sendiri.""Mulai sekarang, Maheswara, kau kuizinkan membentuk pasukanmu sendiri... Tapi ingat! Kau bertanggung jawab penuh atasnya!""Satu kesalahan, dan aku tidak segan membuangmu dari garis darah kerajaan!"
Maheswara menunduk dalam-dalam.
Maheswara (suara dalam, penuh tekad membara):"Hamba mengerti, Ayahanda.""Hamba akan membangun sebuah kelompok... yang akan menjadi perisai sekaligus tombak negeri ini."
Permaisuri Shandrakirana melirik dengan sinis, sementara Dewi Laksmiwara hanya tersenyum tipis dengan bangga yang disembunyikan.
Letnan Jayasatya, dari belakang, mengepalkan tangannya diam-diam — kagum terhadap keteguhan hati Maheswara.
Momen itulah...Benih Guild Bayu Geni mulai ditanam — dari amarah, impian, dan keteguhan seorang pemuda yang menolak tunduk pada batasan darah biru.Sebuah perjalanan panjang baru saja dimulai.
Sri Maharaja Darmawijaya menatap tajam ke arah Maheswara yang masih berdiri dengan gagah, meski hatinya jelas bergejolak.
Sri Maharaja Darmawijaya (dengan suara menggelegar):"Kau ingin membuktikan dirimu, Maheswara? Maka pergilah ke pelosok negeri! Tapi tidak tanpa pengawasan."
Ia melayangkan pandangan berat kepada Panglima Raksadana.
Sri Maharaja Darmawijaya:"Raksadana, mulai hari ini, kau bukan lagi Panglima Perang Kerajaan."
Ruangan seketika hening. Bahkan helaan napas terdengar jelas.Wajah Mahamentri Palindrasuta sempat berubah, sedikit terkejut.Letnan Jayasatya pun terlihat membelalakkan mata — tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
Sri Maharaja Darmawijaya (melanjutkan, nadanya tegas):"Mulai saat ini, tugasmu adalah menjadi Pengawal Agung bagi Adipati Maheswara! Jaga dia, bimbing dia, dan pastikan dia tidak mencoreng nama besar keluarga kerajaan."
Raksadana — pendekar tangguh, tanpa ragu, segera berlutut dengan satu kaki, menundukkan kepala.
Panglima Raksadana (suara keras dan setia):"Hamba menerima titah Baginda dengan sepenuh jiwa raga."
Senyum kecil melintas di wajah Dewi Laksmiwara, yang dalam diam merasa bangga.Sedangkan Permaisuri Shandrakirana hanya mendengus kecil, memandang rendah Maheswara.
Sri Maharaja Darmawijaya lalu melirik ke arah Letnan muda yang berdiri terpaku.
"Dan kau, Jayasatya.""Mulai sekarang, kau kuangkat menjadi Panglima Perang baru kerajaan ini."
Letnan Jayasatya terkejut setengah mati. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin membantah, namun tidak berani.
Letnan Jayasatya (dalam hati, panik)
"Aku...? Menggantikan Guru...? Ini terlalu cepat..."
Namun di hadapan titah raja, tak ada ruang untuk menolak.Dengan langkah kaku, Jayasatya maju, berlutut dengan kepala menunduk dalam-dalam.
Letnan Jayasatya (suara pelan namun tegas)
"Hamba... menerima titah Baginda."
Panglima Raksadana — kini bergelar Pengawal Agung Raksadana, menepuk bahu Jayasatya singkat saat melewati muridnya itu, sebuah isyarat diam penuh kepercayaan.
Sementara itu, Maheswara menatap semua itu dengan mata membara — campuran rasa bersalah, semangat, dan rasa terhormat. Di hatinya, ia bersumpah bahwa ia akan membuktikan bahwa pilihannya untuk memahami negeri melalui petualangan tidak akan sia-sia.Dalam lubuk hatinya yang terdalam, benih cita-cita membentuk...Cita-cita untuk kelak mendirikan sebuah perkumpulan — sebuah Guild —...yang akan mengayomi seluruh pelosok negeri, membela mereka yang tertindas, dan menegakkan keadilan.Cikal bakal Guild Bayu Geni pun lahir di saat itu.
Flashback – Beberapa Bulan Kemudian, Desa Lawangpitu
Senja menggantung berat di atas desa Lawangpitu, desa yang terletak di kaki bukit Mandalagiri. Adipati Maheswara — kini sedikit lebih matang — melangkah gagah bersama Raksadana di belakangnya. Udara sore berbau tanah basah dan asap dapur warga.
Di pelataran sebuah balai bambu, seorang pemuda berdiri menantang.Tubuhnya tegap, tatapan matanya tajam, dengan ikat kepala merah darah membelit dahinya.Di pinggangnya, tergantung sebuah pedang besar berhulu ukiran naga.
Raksadana, duduk santai di atas balok kayu, hanya tersenyum tipis.
Pendekar Muda (dengan suara lantang)
"Aku tidak peduli siapa kau! Siapapun yang melangkah ke tanah Lawangpitu tanpa izin, harus melewati pedangku dulu."
Adipati Maheswara tersenyum tipis, menarik keluar pedang kesayangannya, 'Arka Wijaya', pedang berbilah baja hitam yang pernah ditepakan doa oleh Ibunya, Dewi Laksmiwara.
Adipati Maheswara (dengan suara tenang)
"Kalau itu caramu menyambut tamu, mari kita menari sedikit."
Kedua pemuda itu saling menatap — dua bara semangat muda yang siap menyulut percikan api.
(PERTARUNGAN DIMULAI)
Suara besi beradu meletup di udara.Pedang Maheswara menari cepat, presisi dan penuh tekanan.Sementara sang pendekar muda membalas dengan gerakan berat namun penuh kekuatan, mengandalkan tenaga luar biasa.
Adipati Maheswara (seraya menahan serangan)
"Kau kuat, tapi kekuatan tanpa ketepatan, hanya seperti gajah menginjak bayangannya sendiri."
Pendekar Muda (tertawa kecil)
"Dan kau terlalu sombong untuk orang yang baru saja tiba di tanah ini!"
Mereka bertukar pukulan dan tebasan tanpa henti.Raksadana hanya duduk, tangan bersedekap, matanya berbinar menyaksikan adu ketangkasan itu.
Saat kedua belah pihak menyadari kekuatan fisik mereka seimbang, keduanya mundur sejenak.Mereka saling bertukar pandang... dan serempak, memanggil Khodam masing-masing.
Adipati Maheswara mengangkat pedangnya ke langit.Dari bilah pedang Arka Wijaya, melesat aura biru kehijauan, membentuk wujud seekor Rajawali Api —Khodam bernama Sambara Geni, yang membawa kekuatan kelincahan, pembakaran semangat, dan tebasan berlapis sihir ringan.
Sementara sang pendekar muda memejamkan mata.Dari tanah di sekelilingnya, bangkitlah siluet Ular Raksasa Hitam berwujud asap —Khodam bernama Kala Naga Murka, yang memancarkan kekuatan pembebanan tanah, beratnya serangan, dan pertahanan keras.
(ADU KHODAM DIMULAI)
Rajawali Api dan Ular Hitam itu beradu di udara!Sambar menyambar, lilit melilit. Aura panas dan tekanan tanah membelah udara malam yang mulai turun.
Ledakan aura tak terlihat menghantam tubuh Maheswara dan sang pendekar muda sekaligus.Keduanya terpental mundur sejauh lima langkah, menghantam tanah berdebu, namun tetap berdiri sambil terengah.
Setelah beberapa detik sunyi...Pendekar muda itu mengangkat pedangnya ke bahu, tertawa kecil sambil menghapus darah di sudut bibirnya.
Pendekar Muda
"Aku salah menilaimu, Saudara. Namaku Jagat Arunika. Keturunan Ksatria Agung Tanah Mandalagiri."
Adipati Maheswara, mengayunkan pedangnya ke belakang punggung, tersenyum ramah.
Adipati Maheswara
"Adipati Maheswara. Pencari angin dan petualangan."
Mereka saling menatap, kemudian tanpa berkata-kata, saling mengepalkan tangan dalam salam persahabatan.
Dari kejauhan, Raksadana menyeringai bangga.Dalam hatinya, ia tahu — Maheswara telah menemukan sahabat pertamanya di jalan panjang petualangannya.
Flashback – Desa Kapukwangi, Malam Hari
Desa Kapukwangi tampak muram.Lampu minyak di tiap rumah berpendar redup.Bisik-bisik tentang wabah aneh terdengar di sudut-sudut gang.Warga jatuh sakit satu per satu: tubuh lemah, mengigau, tapi tidak sampai mati.
Adipati Maheswara, Jagat Arunika, dan Raksadana tiba di balai desa, mendengarkan keluhan kepala desa.
Kepala Desa (dengan wajah murung)
"Setiap kali ada yang sakit, si 'Tabib Dewa' itu datang... dan anehnya, selalu bisa menyembuhkan... asal kami membayar upeti mahal..."
Raksadana mengusap dagunya sambil tertawa kecil.
Raksadana (bercanda)
"Tabib sakti atau rentenir bersorban, ini?"
Adipati Maheswara berpikir sejenak, lalu tersenyum penuh rencana.
Adipati Maheswara
"Kalau begitu... mari kita sakit pura-pura."
(Scene – Malam Berikutnya, Operasi 'Sakit Pura-pura')
Dengan sedikit kemampuan-nya Jagat Arunika memindahkan penyakit salah seorang warga yang terkena wabah santet tersebut ke tubuhnya lalu kemudian Jagat Arunika berbaring di ranjang bambu, menggigil, efek dari santet tersebut, dengan Adipati dan Raksadana duduk setia di sisinya.
Tak lama, seorang pria berjubah coklat lusuh, dengan senyum licik, memasuki rumah — Mahadewa Rakunti muda, saat itu berusia 22 tahun.Matanya berkilat penuh perhitungan.
Mahadewa Rakunti (pura-pura bijak)
"Hmm... penyakit ini berat sekali. Tapi tenang, aku... sang Tabib Dewa... bisa menyembuhkannya."
Dia menggerakkan jari-jarinya cepat — seolah-olah merapal sesuatu — padahal diam-diam menarik kembali santetnya dari tubuh Jagat.
Jagat langsung "sembuh" dan memelototi Mahadewa diam-diam.
Mahadewa Rakunti (tersenyum licik)
"Namun... jasa kesembuhan ini, tidaklah murah."
Adipati Maheswara (berpura-pura lugu)
"Berapa, Tabib agung?"
Mahadewa dengan bangga mengangkat tiga jarinya.
"Tiga puluh keping emas."
Raksadana (berbisik ke Adipati)
"Untuk harga segitu, dia lebih mahal dari nyawa sapi kerajaan."
Adipati pura-pura menghela napas berat.Tapi saat hendak menyerahkan "uang," Jagat Arunika meloncat sambil menghunus pedangnya.
Jagat Arunika (berteriak)
"TANGKAP!! Ini tabib gadungan!! dari rapalan-mu sebenarnya kau yang menanamkan santet itu juga."
Mahadewa Rakunti terkejut, hendak lari, tapi Raksadana dengan santai menarik jubahnya dari belakang seperti menarik anak kucing.
Mahadewa Rakunti (tersungkur)
"Ampuuun! Aku menyerah! Jangan tusuk aku!!"
Adipati Maheswara (tersenyum sambil mengangkat Mahadewa dari tanah)
"Katakan, mengapa kau melakukan ini?"
Mahadewa Rakunti, setengah menangis, akhirnya mengaku.
Mahadewa Rakunti (tersedu-sedu)
"Aku... Aku tidak punya jalan hidup lain, Tuanku... hanya bisa ilmu santet! Aku kelaparan... aku hanya ingin bertahan hidup... aku janji tidak akan berbuat curang lagi!"
Jagat Arunika menyengir nakal.
"Kalau butuh kerja, kenapa tidak buka warung makan saja? Sihir santet dijadikan resep masakan, mungkin laku."
Semua tertawa. Bahkan Raksadana, yang biasanya keras, tak bisa menahan gelinya.
Adipati Maheswara menatap Mahadewa dengan pandangan penuh welas asih.
Adipati Maheswara (dengan bijaksana)
"Ilmumu tidak salah, Rakunti. Hanya caramu yang keliru. Jika kau ingin bertobat... ikutlah denganku. Mari gunakan ilmumu untuk hal yang benar."
Mahadewa Rakunti terkejut.Air matanya hampir jatuh.
Mahadewa Rakunti (sujud penuh syukur)
"Tuanku! Aku bersumpah! Mulai hari ini, hidup dan matiku untuk Adipati Maheswara!!"
Adipati hanya tertawa kecil sambil membantu Mahadewa bangkit.Malam itu, di bawah langit berbintang, sebuah persahabatan baru terjalin —Dan di masa depan, Mahadewa Rakunti akan tumbuh menjadi salah satu kapten terkuat di Guild Bayu Geni.
Situs Kuno di Bukit Prabayana, Tengah Hari
Angin menderu membawa aroma tanah basah.Di puncak bukit yang sepi itu, reruntuhan candi tua berlumut menjadi saksi bisu perburuan artefak.
Adipati Maheswara, Jagat Arunika, Mahadewa Rakunti, dan Raksadana berdiri di hadapan seorang pemuda liar berambut awut-awutan, membawa tongkat besi panjang yang tampak berat.Matanya berkilat penuh semangat gila — Lodra Wahana muda, usia 20 tahun.
Di punggungnya, kantung besar penuh benda-benda kuno yang ia curi dari berbagai situs sejarah.
Lodra Wahana (teriak dengan semangat membara)"Tak ada yang boleh menghalangi pencarian ilmu sejarah! Artefak-artefak ini harus KULINDUNGI!!"
Adipati Maheswara mengangkat tangan menahan Jagat Arunika, lalu tersenyum santai.
"Biarkan dia belajar sopan dari Jagat."
Jagat Arunika (mengerling nakal)"Dengan senang hati."
Pertarungan Jagat Arunika vs Lodra Wahana
Jagat Arunika melompat ringan, pedangnya berputar lincah.
Lodra mengayunkan tongkat besinya dengan gaya ngawur — membabi buta — seperti badai yang tak terkontrol.
Lodra Wahana (teriak-teriak)"Kalian semua ingin merampas hasil penelitianku! Tidak akan kubiarkan!!"
Jagat Arunika (sambil bersiul santai)"Siapa mau merampas? Paling-paling yang direbut cuma tongkat karatan itu..."
Lodra menyerang membabi buta, namun Jagat menghindar dengan lompatan ringan, sesekali menepuk kepala Lodra dengan ujung sarung pedangnya.
Jagat Arunika (tertawa)"Cepat amat ngos-ngosan, Bung Petualang Gila."
Lodra mengayunkan tongkat kuat-kuat — tetapi Jagat memutar tubuhnya, menyapu kaki Lodra hingga si pemuda terguling ke tanah berdebu.
Raksadana (sambil mengunyah rumput liar, geleng-geleng kepala)"Aku pikir Adipati yang paling gila. Rupanya ada yang lebih parah."
Dengan wajah merah padam, Lodra berdiri sambil memegangi pinggang.
Lodra Wahana (mengeluh)"Aduh... pinggangku...!”
Jagat Arunika menodongkan pedangnya ke arah dada Lodra sambil cengengesan.
Jagat Arunika"Menyerah atau kupinjam tongkatmu buat sate?"
Lodra akhirnya mengangkat kedua tangannya, menyerah.
Markas Persembunyian Lodra Wahana
Di balik hutan kecil, tersembunyi sebuah gua besar yang penuh dengan benda-benda kuno: patung-patung kecil, lempengan batu berukir, keris tua, manik-manik perunggu.Semuanya tersusun rapi di rak kayu dan meja-meja sederhana.
Mahadewa Rakunti (tercengang)"Astaga... ini... ini museum kerajaan kecil..."
Raksadana (mengelus pelipis, mendesah berat)"Dan aku pikir Adipati sudah aneh... ternyata ada yang lebih parah."
Adipati Maheswara melangkah ke tengah gua, mengagumi koleksi tersebut.
Adipati Maheswara (dengan senyum hangat)"Kau salah langkah, Lodra. Tapi niatmu suci... Kau tidak menjual, kau menjaga."
Lodra Wahana menunduk malu.
"Aku... hanya ingin memahami sejarah negeri ini... Aku terlalu takut meminta izin resmi... Aku..."
Adipati menepuk bahu Lodra dengan mantap.
"Kalau begitu, ikutlah bersamaku. Petualangan kita akan lebih besar dari ini. Dan kali ini, kau tak perlu mencuri lagi."
Lodra Wahana (mata berkaca-kaca, penuh semangat)"Aku... Aku bersumpah! Mulai hari ini, aku akan berpetualang untuk negeri ini!"
Semua artefak akhirnya dikembalikan ke kerajaan untuk disimpan dengan layak.Sementara itu, Lodra mengikatkan tongkat besinya di punggung dan berdiri gagah di samping Adipati dan kawan-kawan.
Jagat Arunika (menepuk punggung Lodra dengan keras)"Selamat datang di kelompok gila, sobat."
Mereka semua tertawa lepas, dan perjalanan panjang baru saja dimulai.
Padang Rumput Luas, Sore Hari
Angin sore membelai rerumputan tinggi di padang yang sepi.Matahari mulai merunduk ke barat, memandikan dunia dengan cahaya keemasan.Di tengah padang itu, Raksadana berdiri tegap, tubuhnya bagaikan benteng hidup.
Di hadapannya, berdiri tiga pemuda penuh semangat:Adipati Maheswara dengan pedang kesayangannya,Jagat Arunika dengan gerakan lincah membawa pedangnya,Lodra Wahana dengan tongkat besi berat di tangan.
Sementara itu di pinggir lapangan, Mahadewa Rakunti duduk bersila, membolak-balik sebuah buku tebal bersampul kulit yang berisi rahasia sihir kuno, hadiah dari seorang Resi beberapa waktu lalu.Matanya berbinar penuh kekaguman.
Mahadewa Rakunti (berbisik kagum)"Hoooo... mantra pemanggil bayangan, teknik perusak ilusi... Ini luar biasa...!"
Latihan dimulai
Raksadana (menggelegar sambil menepuk dada)"Tunjukkan padaku... apakah kalian layak disebut petarung sejati!"
Adipati maju pertama, menyerang dengan jurus lurus rapi — namun Raksadana menangkis pedangnya dengan satu tangan.Jagat menyelinap dari samping, gerakan lincah dan cepat, namun ditahan dengan tendangan ringan di perut.Lodra mengayunkan tongkat besinya keras-keras — tapi Raksadana memutar tubuh, membuat Lodra kehilangan keseimbangan.
Raksadana (tertawa keras)"Gerakan kalian masih seperti anak ayam kelaparan!"
Adipati mengatur nafas cepat. Jagat dan Lodra bertukar pandang, lalu memberi isyarat dengan mata.
Jagat Arunika (berbisik cepat)"Serang bertubi-tubi. Aku ke kiri, Lodra ke kanan, Maheswara dari tengah."
Lodra Wahana (mengerutkan dahi)"Oke... asal jangan aku yang jadi umpan hidup!"
Dengan komando tak terucap, ketiganya menyerbu.
Jagat bergerak cepat dari kiri, mengalihkan perhatian Raksadana.Lodra melompat ke kanan, mengayunkan tongkatnya ke arah kaki Raksadana.Saat pertahanan Raksadana terbuka sedikit, Adipati menerjang dari depan, pedangnya menusuk ke arah dada — tentu dengan tenaga yang dikendalikan.
Raksadana sempat menangkis serangan Jagat dan Lodra, namun saat pedang Adipati hampir menyentuhnya, ia harus melompat mundur —...dan justru kehilangan keseimbangan, terpental ke belakang, jatuh berdebum ke rumput!
Semua hening sejenak.
Lalu...
Jagat Arunika (tertawa terpingkal-pingkal)"Hahaha! Aku tidak percaya kita berhasil mengempaskan Panglima Perang Legendaris!"
Lodra Wahana (berlari kegirangan)"Itu tadi... kombinasi genius, aku bilang! Genius!"
Adipati Maheswara menahan tawa sambil membantu Raksadana bangkit.
Adipati Maheswara (tersenyum lebar)"Maafkan kami, Raksadana. Kami hanya... berusaha sebaik mungkin."
Raksadana bangkit sambil mengusap debu dari tubuhnya, wajahnya justru tersenyum bangga.
Raksadana (mengangguk puas)"Bagus. Kalian mulai bertarung sebagai satu tubuh, satu jiwa. Itulah kunci untuk bertahan di dunia nyata."
Dari kejauhan, Mahadewa Rakunti melirik sambil mendesah.
Mahadewa Rakunti (setengah bergumam)"Latihan otot keras... Sementara aku berlatih otak. Mereka baku hantam, aku malah baku mantra."(dia nyengir)"Mungkin suatu saat aku bakal jadi yang paling keren di antara mereka..."
Semua tertawa kecil, menyatu dalam semangat petualangan yang baru saja mulai membara.
(Fade out dengan pemandangan matahari tenggelam di balik padang rumput.)
Desa Puspaloka, Siang Hari
Udara terasa berat di Desa Puspaloka.Di pasar, warga berwajah muram, menjual hasil bumi mereka dengan harga murah — hanya untuk ditebus kembali dengan harga tinggi oleh orang-orang Doyantra Puspaloka. Kelompok Doyantra Memonopoli semua hasil bumi desa dengan semena-mena dan hanya untuk keuntungan Pribadi, Masyarakat Desa Puspaloka hidup sengsara.
Di tengah keramaian, tampak Doyantra, sosok muda tambun bertubuh besar, berdiri gagah sambil menyandang Gada Megah yang berkilauan.Di sampingnya, berdiri Kalandra Wisanggeni, pendekar berwajah dingin dengan pedang ramping seperti samurai di pinggang, dan puluhan pisau lempar beracun tersembunyi di tubuhnya.
Di sisi lain, tim Adipati Maheswara sudah bersiap.Adipati menggenggam pedangnya erat, tatapannya tajam menantang.Jagat Arunika tersenyum sinis, merasa tertantang menghadapi Kalandra.Lodra Wahana mengayun-ayunkan tongkat besinya dengan gaya santai, siap menghadapi gerombolan preman desa.Mahadewa Rakunti berdiri sedikit di belakang, buku sihir terbuka di tangan, mata bersinar-sinar.Sementara itu, Raksadana — ya, seperti biasa — duduk santai di sebuah warung kosong, menyeruput air kelapa sambil menonton.
Raksadana (sambil menyeruput)"Hmmm... anak-anak muda ini harus belajar bertarung sungguhan."
Pertempuran Dimulai
Doyantra Puspaloka (berteriak, suara menggelegar)"Siapa kalian berani mengacau di wilayahku?! Aku adalah tuan tanah di sini!"
Tanpa banyak basa-basi, Adipati Maheswara menyerbu duluan!Pedang dan gada bertemu dengan dentingan keras.Getaran besar meledak saat Gada Megah menghantam tanah, meninggalkan lubang besar.Adipati gesit, berkelit, menusuk dan menebas celah kecil di pertahanan Doyantra.
Sementara itu di sisi lain,Jagat Arunika berhadapan dengan Kalandra Wisanggeni.
Kalandra bergerak cepat seperti bayangan, pedangnya menebas angin.Pisau-pisau lemparnya melesat ke arah Jagat — namun Jagat dengan santai membelokkan semuanya dengan pedangnya, bahkan sempat menangkap satu pisau di udara!
Jagat Arunika (tersenyum nakal)"Kalau hanya ini, aku mengantuk..."
Kalandra mengerutkan alis, merasa diremehkan.
(Pertarungan Meluas)
Gerombolan preman desa anak Buah Doyantra menyerbu ke arah Lodra Wahana.Tawa keras Lodra terdengar menggema.
Lodra Wahana (berteriak sambil tertawa)"Ayo! Satu lawan banyak, itu baru seru!"
Tongkat besinya berputar seperti badai.Dengan satu hantaman, lima orang terpental.Sementara itu, Mahadewa Rakunti mengangkat tangan, membacakan mantra.Kilatan cahaya muncul — tali sihir yang tak terlihat melilit kaki-kaki preman, membuat mereka tersandung berjatuhan.
Mahadewa Rakunti (berkacamata serius, bergumam kecil)"Hukum ketiga sihir, gravitasi lokal... sukses."
Duel Final
Kembali ke Adipati.Peluh menetes di wajahnya.Doyantra menyerang membabi buta, gada mengamuk seperti badai.Adipati mengambil kesempatan kecil — saat gada berat itu terlalu jauh diayunkan, Adipati menyelip ke dalam, memukul keras bagian pergelangan tangan Doyantra.
Gada Megah terlepas dari tangan!
Adipati menodongkan pedangnya ke dada Doyantra.
Adipati Maheswara (dengan suara tegas tapi tenang)"Kau bukan petarung sejati kalau kau menindas rakyat sendiri."
Doyantra terengah-engah, mengangkat kedua tangannya menyerah.
Sementara itu,Jagat Arunika menundukkan Kalandra setelah duel cepat dan nyaris seperti tarian.
Kalandra Wisanggeni, walau kalah, tersenyum kecil, pertama kalinya dalam hidupnya.
Kalandra (bernapas berat)"Kau cepat... dan licik."
Jagat Arunika (mengedipkan mata)"Belum lihat aku kalau serius."
Setelah Pertempuran
Semua warga desa berkumpul, menatap tim Adipati dengan mata berbinar penuh harapan.
Doyantra Puspaloka berlutut di hadapan Adipati dan Raksadana.
Doyantra (terbata-bata)"Aku... aku terlalu serakah... Aku hanya ingin mempertahankan apa yang keluargaku bangun...!"
Adipati Maheswara menghela napas panjang.
Adipati (dengan senyum damai)"Bangunlah sesuatu bersama rakyatmu, bukan di atas penderitaan mereka."
Raksadana mendekat, menepuk kepala Doyantra seperti menepuk kepala anak kecil.
Raksadana (tertawa kecil)"Kau keras kepala, tapi hatimu masih bisa diselamatkan."
Melihat tekad baru di mata Doyantra dan Kalandra, Adipati akhirnya mengajak mereka:
Adipati Maheswara (tersenyum)"Bergabunglah dengan kami. Bangunlah dunia baru yang lebih adil."
Doyantra dan Kalandra bertukar pandang — dan tanpa ragu, mereka berdua mengangguk.
Kalandra Wisanggeni (mendesis pelan)"Kalau aku tidak bergabung, hidupku terlalu membosankan."
Doyantra Puspaloka (menepuk dadanya)"Aku bersumpah... Gada Megah ini akan melindungi, bukan menindas!"
Raksadana hanya mengangguk puas, lalu kembali ke warung, mengambil kelapa barunya.
Raksadana (sambil mengangkat gelas)"Untuk teman-teman Adipati yang baru! Semakin banyak, semakin seru!"
Semua tertawa lepas.Sore itu, di Desa Puspaloka, sebuah babak baru dalam petualangan mereka dimulai.
Flashback 11 Tahun yang Lalu
Langit sore membentang luas, diselimuti warna jingga keemasan.Suara langkah kaki, tawa riang, dan suara pertempuran kecil mengisi perjalanan mereka.Raksadana, Adipati Maheswara, Jagat Arunika, Mahadewa Rakunti, Lodra Wahana, Kalandra Wisanggeni, dan Doyantra Puspaloka telah menjadi satu ikatan keluarga.Mereka bertualang ke setiap sudut tanah Mandalagiri — melawan pendekar dari padepokan-padepokan sakti, menjelajah reruntuhan kerajaan kuno, memburu monster-monster hutan liar, membantu desa-desa miskin yang tertindas.
Nama mereka,"Tujuh Cahaya Mandalagiri", mulai bergema ke seantero kerajaan.
Kemah di Pinggir Hutan Malam Hari
Malam itu, di tengah hutan, mereka berkemah.Tawa memenuhi udara saat Doyantra bercanda sambil mengangkat rantang penuh daging bakar.Lodra dan Mahadewa saling berdebat soal teori sihir kuno.Kalandra membersihkan pisaunya dengan tenang.Jagat dan Adipati tertawa kecil melihat ulah teman-temannya.
Namun kemudian...Raksadana datang dengan ekspresi serius, membawa sebuah gulungan surat berstempel kerajaan.
Semua seketika diam.
Raksadana menghela napas, lalu menyerahkan surat itu ke Adipati.
Raksadana (dengan suara berat)"Adipati... dari Istana Tirabwana."
Adipati menerima surat itu.Saat membaca isinya, wajahnya seketika pucat.Tangannya gemetar.
Surat itu berbunyi:
"Dengan penuh duka kerajaan memberitakan, bahwa Dewi Laksmiwara telah berpulang ke Hyang Widhi, karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Semoga arwah beliau diterima di sisi Sang Pencipta."
Kertas itu terjatuh dari tangan Adipati.Tubuhnya gemetar, mata membelalak kosong.
Adipati (berbisik dengan suara pecah)"Ibu...?"
Luapan Emosi
Dalam sekejap, aura mengerikan meledak dari tubuh Adipati.Khodam-nya, wujud dari amarah dan kesedihan, bangkit — membentuk sosok bayangan raksasa bersayap dengan mata merah membara.
Angin berputar liar.Pohon-pohon berderak.
Namun sebelum amukan itu meluas,Jagat Arunika mengeluarkan Khodam-nya juga — cahaya biru melindungi seluruh temannya.
Jagat Arunika (berteriak menahan dorongan Khodam Adipati)"Adipati! Hentikan! Ini bukan jalan untuk ibumu!"
Adipati terhuyung, matanya basah.
Jagat Arunika (dengan suara lirih, menahan getaran emosinya sendiri)"Kau tahu... beliau pasti ingin kau kuat, bukan hancur seperti ini... Ini takdir, sahabatku. Kita semua kelak akan berpisah dengan yang kita cinta. Tapi kenangan, perjuangan, semua itu abadi."
Perlahan, aura merah Adipati mulai mereda.Khodam-nya kembali masuk ke dalam dirinya.
Adipati terjatuh berlutut, menangis tanpa suara.Jagat mendekapnya, membiarkan sahabatnya meluapkan dukanya.
Raksadana hanya mengangguk kecil, matanya ikut memerah.Yang lain menundukkan kepala, memberi ruang bagi Adipati untuk bersedih.
Perjalanan Pulang ke Tirabwana
Tanpa banyak bicara, Raksadana segera mengatur perjalanan.Kereta kencana kerajaan telah dipersiapkan.Sepanjang perjalanan menuju Ibu Kota, suasana sunyi, hanya derap roda kereta dan suara angin malam yang menemani.
Upacara Pemakaman di Istana Kerajaan
Beberapa hari kemudian,Di tengah halaman megah Istana Tirabwana, rakyat berkumpul, para bangsawan berdiri dalam pakaian berkabung.
Dewi Laksmiwara — pendekar legendaris dari Tanah Sinduwaluyo, istri kedua Raja, disemayamkan dengan kehormatan agung.
Adipati Maheswara, kini sudah lebih tegar, berdiri di depan peti emas bertabur bunga, menatap ibunya untuk terakhir kalinya.Di belakangnya, berdiri teman-temannya — Jagat, Lodra, Mahadewa, Kalandra, dan Doyantra — mengenakan pakaian resmi berwarna gelap.
Tak jauh dari situ,terlihat Pangeran Aryasatya muda, dan Pangeran Mahadasa muda,serta Permaisuri Shandrakirana — yang sesekali saling bertukar pandang, seolah menyimpan sesuatu.Raja Sri Maharaja Darmawijaya sendiri tampak terpukul, namun tetap berusaha mempertahankan wibawanya di depan rakyat.
Raja Darmawijaya (dengan suara bergetar)"Selamat jalan, wahai pendampingku, pendekar sejati, Dewi Laksmiwara... Pengabdianmu, keberanianmu, dan cintamu... akan menjadi cahaya abadi bagi Tanah Mandalagiri."
Satu per satu, penghormatan terakhir diberikan.Suara genta pemakaman bergema ke seluruh penjuru, membawa kepergian seorang pahlawan dalam kenangan semua orang.
Di antara kerumunan,Adipati menggenggam erat liontin kecil pemberian ibunya.Di dalam hatinya, dia bersumpah:
"Aku akan menjadi lebih kuat... demi semua orang yang kucintai, demi cita-cita ibu."
Dan di sanalah, perjalanan besar Adipati Maheswara sebagai seorang calon pemimpin sejati... benar-benar dimulai.
Ruang Utama Istana Tirabwana, Beberapa Bulan Setelah Pemakaman
Cahaya keemasan dari jendela besar menyinari lantai marmer.Suasana ruangan istana tampak sakral dan megah.
Sri Maharaja Darmawijaya duduk di atas singgasana utama, didampingi Permaisuri Shandrakirana yang berwajah dingin namun penuh wibawa.Di sisi kanan, berdiri Pangeran Aryasatya muda dan adiknya Mahadasa, keduanya tampak tegap namun menyimpan ekspresi sulit ditebak.Di sisi kiri, Mahamentri Palindrasuta, seorang lelaki tua cerdas dan berkharisma, berdiri penuh perhatian,serta Panglima Perang Jayasatya muda — sosok gagah, berkuda gagah, dengan sorot mata tajam.
Di hadapan mereka, berdiri Adipati Maheswara yang kini berusia 20 tahun, dengan sikap hormat namun penuh keyakinan.Di belakangnya, seperti bayangan setia, hadir para sahabat seperjalanan: Raksadana, Jagat Arunika, Lodra Wahana, Mahadewa Rangkunti, Kalandra Wisanggeni, dan Doyantra Puspaloka.
Adipati maju satu langkah, menundukkan kepala, lalu dengan lantang berkata
Adipati Maheswara (penuh semangat)"Paduka Sri Maharaja... hamba memohon restu.Hamba ingin membangun sebuah Guild — tempat berkumpul para pendekar, pemburu bayaran, penyihir, dan prajurit dari seluruh pelosok Mandalagiri.Guild ini akan menjadi kekuatan baru, bukan hanya untuk mempertahankan kerajaan,tetapi juga untuk membantu rakyat kecil di pelosok desa yang selama ini luput dari perlindungan istana."
Suasana ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar napas.
Adipati melanjutkan dengan suara bergetar penuh tekad
"Hamba ingin membuka kesempatan bagi semua golongan —baik dari kasta sudra, ksatria biasa, hingga keturunan bangsawan dan darah biru yang bersedia berjuang untuk rakyat dan kehormatan Mandalagiri.Hamba yakin, kekuatan sejati tak hanya lahir dari darah keturunan, tapi dari jiwa yang murni dan keberanian untuk berkorban."
Reaksi Ruangan
Sekilas, wajah Sri Maharaja Darmawijaya berubah haru.Matanya memandang Adipati seperti seorang ayah bangga kepada putranya.
Tanpa banyak pertimbangan,dengan suara berat penuh kebijaksanaan, Raja bersabda
Sri Maharaja Darmawijaya:"Adipati Maheswara, anakku, niatmu suci dan mulia.Dengan restu langit dan dukungan seluruh kerajaan,hamba titahkan: dirikanlah Guild itu!Bawalah cahaya ke sudut-sudut gelap Mandalagiri!"
Serentak seluruh ruangan bergetar oleh sorakan pelan dari para pembesar yang setuju.
Namun di sudut lain ruangan,Pangeran Aryasatya muda dan Mahadasa muda bertukar pandang.Mereka menahan amarah dalam hati.Permaisuri Shandrakirana mengepalkan tangan di balik jubah mewahnya,wajahnya tampak seperti menahan sesuatu.
Dalam hati Shandrakirana"Hmph... seorang anak selir berani-beraninya... Membuat kekuatan sendiri di luar istana... Ini berbahaya."
Namun tidak seorang pun dari mereka berani membantah di depan Sri Maharaja yang begitu mencintai Adipati Maheswara.
Setelah Persetujuan
Adipati Maheswara menundukkan kepala dalam-dalam.
Adipati Maheswara (dengan suara bergetar bahagia)"Terima kasih, Paduka Raja. Demi rakyat, demi kehormatan kerajaan... hamba bersumpah tidak akan mengecewakan."
Sementara itu,Raksadana, Jagat Arunika, Mahadewa Rakunti, Lodra Wahana, Kalandra Wisanggeni, dan Doyantra Puspaloka hanya tersenyum bangga.Mereka tahu — ini adalah awal dari babak baru dalam sejarah Mandalagiri.
Sebuah Guild Legendaris akan segera lahir.
Kawasan Barat Daya Istana Tirabwana, Beberapa Hari Kemudian
Terlihat sebuah kawasan luas yang dulunya tanah kosong kini berubah menjadi medan hiruk-pikuk pembangunan.Para tukang batu, pengrajin kayu, ahli ukir, dan pekerja kasar bahu-membahu bekerja dengan penuh semangat.Suara palu menghantam paku, tawa, dan teriakan semangat mengisi udara.Tiang-tiang kayu kokoh berdiri, dinding batu bata mulai membentuk ruangan-ruangan besar.
Bendera kerajaan Mandalagiri berkibar di atas tenda komando, sebagai tanda proyek ini mendapat restu langsung dari raja.Adipati Maheswara sering turun langsung ke lokasi, memberi semangat kepada para pekerja.Para sahabatnya — Raksadana, Jagat Arunika, Lodra Wahana, Mahadewa Rangkunti, Kalandra Wisanggeni, dan Doyantra Puspaloka — bergantian ikut membantu atau mengawasi jalannya pembangunan.
Beberapa Minggu Kemudian, Di Dalam salah satu Ruangan Markas Guild Yang Telah Selesai Dibangun.
Sebuah ruangan besar berlangit-langit tinggi.Dindingnya dihiasi ukiran lambang Mandalagiri dan peta kerajaan.Meja bundar dari kayu jati mengisi tengah ruangan.
Adipati Maheswara dan keenam sahabat petualangnya duduk mengelilingi meja, suasana serius namun penuh semangat.
Adipati Maheswara membuka pertemuan:
Adipati Maheswara (tersenyum)"Saudaraku, inilah saatnya. Guild kita hampir lahir sempurna.Yang kita butuhkan sekarang hanyalah... sebuah nama yang akan menggema di seluruh Mandalagiri."
Beberapa saat hening.Lalu Jagat Arunika angkat bicara.
"Nama yang melambangkan kekuatan... kecepatan... semangat yang tak padam..."
Lodra Wahana menimpali dengan semangat
"Seperti angin dan api!"
Tiba-tiba Kalandra Wisanggeni tersenyum kecil
"Bayu Geni... bagaimana?"
Semua mata saling bertukar pandang.Nama itu sederhana, kuat, dan penuh makna.Bayu: Angin — kecepatan, ketangkasan, kebebasan.Geni: Api — kekuatan, semangat, daya hancur.
Adipati Maheswara mengangguk tegas.
"Bayu Geni... Nama ini akan kita bawa menuju kejayaan!"
Semua bertepuk tangan pelan, namun penuh semangat.
Pembentukan Struktur Divisi Guild Bayu Geni
Adipati berdiri, lalu membentangkan sebuah gulungan rencana di meja:
Adipati Maheswara"Dan kini... saatnya menentukan struktur kekuatan kita.Dengarkan baik-baik keputusan ini."
Divisi Mandala Utama – dipimpin Kapten Jagat Arunika.Sebagai sahabat dekat, Jagat akan menjadi tangan kanan Adipati, penghubung utama ke kerajaan.
Divisi Raka Lelana – dipimpin Kapten Lodra Wahana.Si gila petualangan, cocok memimpin eksplorasi dan misi ekspedisi.
Divisi Panggrahita Aji – dipimpin Kapten Raksadana.Sang mantan Panglima Perang — pelatih yang keras tapi adil, membentuk para pendekar masa depan.
Divisi Rasa Prawira – dipimpin Kapten Mahadewa Rangkunti.Ahli sihir gila, maniak ilmu ghaib, membentuk para penyihir dan pengguna khodam.
Divisi Bayang-bayang Geni – dipimpin Kapten Kalandra Wisanggeni.Mantan pembunuh bayaran, ahli intelijen, pengintaian, dan operasi bayangan.
Divisi Mandala Dhana – dipimpin Kapten Doyantra Puspaloka.Pengelola keuangan, distribusi hasil misi, dan jalur perdagangan guild.
Langit sore berwarna keemasan.Bendera Guild Bayu Geni berkibar gagah di puncak bangunan utama.Markas mereka — gedung kokoh berlapis batu abu-abu dan kayu jati, dengan lambang Bayu Geni terukir megah — telah resmi berdiri.
Para anggota baru dari berbagai pelosok mulai berdatangan, membawa semangat baru.Sementara Adipati Maheswara dan para sahabatnya berdiri di beranda markas, menatap ke kejauhan.
Adipati Maheswara (dalam hati)"Ini baru permulaan... Bayu Geni akan menjadi legenda."
Masa Kini, Di Depan Markas Guild Bayu Geni
Langit sore mulai menguning, cahaya matahari menyoroti megahnya bangunan Markas Guild Bayu Geni.Batu-batu kokoh yang menyusun dindingnya seolah menyimpan sejarah panjang pertempuran, pengorbanan, dan kejayaan.
Di hadapan gerbang besar itu, berdirilah empat sosok mudaJasana Mandira, Bagas Prayoga, Nandika Sutasmi, dan Brahma Anggacandra.
Pakaian mereka berdebu dan sobek di beberapa bagian, bekas medan tempur yang keras.Di tangan mereka tergenggam dua kepala Balaraksa, monster liar yang dikenal ganas.Tanda keberhasilan misi umum yang baru saja mereka selesaikan.
Mereka berdiri dalam keheningan sesaat.Memandang kagum ke arah bangunan besar itu, seolah mengingatkan mereka betapa Guild Bayu Geni bukan sekadar markas — melainkan simbol harapan dan tempat berkumpulnya para legenda.
Bagas Prayoga (menyeringai sambil meletakkan kepala Balaraksa di tanah)"Heh, markas ini... tiap kali kulihat, rasanya makin gagah saja."
Nandika Sutasmi (tersenyum sambil menepuk tombaknya)"Tak heran... Bayu Geni sudah melahirkan banyak pendekar besar.Sekarang... giliran kita menulis nama kita sendiri di sejarah itu."
Brahma Anggacandra (menghela napas sambil mengangkat kedua pedangnya di pundak)"Hanya baru satu langkah kecil dari seribu langkah lagi, kawan-kawan."
Jasana Mandira, pemuda yang kini berdiri paling depan, tersenyum tipis.Mata hitamnya menatap gerbang megah dengan penuh tekad.
Jasana Mandira (tegas, penuh semangat)"Ayo. Kita pulang."
Tanpa perlu aba-aba lagi, mereka semua melangkah serempak menuju gerbang besar Markas Guild Bayu Geni,dengan Jasana memimpin langkah, membawa harapan, ambisi, dan janji untuk masa depan.