Malam Hari di Desa Suralaya
Langit desa Suralaya diselimuti awan kelabu. Udara dingin menusuk, disertai bisikan angin yang terdengar seperti desahan roh gentayangan. Di tengah sunyi itu, tampak cahaya obor berjejer di sepanjang batas desa. Para tentara Kerajaan Mandalagiri berjaga dengan wajah waspada. Jumlah mereka sekitar 20 orang, dipimpin oleh Perwira Muda Wiratama Lesmana, seorang pendekar muda yang dikenal disiplin dan tak mudah gentar.
Di bagian utara desa, di dekat bukit kecil yang dipenuhi pohon-pohon lebat, terlihat area yang ditandai sebagai bekas lokasi ritual sesat. Tanahnya menghitam, beraroma sangit dan kemenyan, serta dikelilingi simbol-simbol gaib yang menyala redup oleh sihir tak dikenal.
Tiga sosok berjubah khas Guild Bayu Geni Divisi Rasa Prawira berdiri mengelilingi lokasi tersebut. Aura mereka berbeda dari yang lain—mereka terbiasa bersentuhan dengan dunia gaib.
Wigra, seorang pemuda berwajah tenang, berdiri memejamkan mata di tengah lingkaran simbol. Ia adalah anggota baru, dan meskipun sempat gagal dalam Ujian Masuk Guild, ia diterima langsung oleh Kapten Mahadewa Rakunti karena memiliki kelebihan dalam kemampuan spiritual murni—ia bisa merasakan emosi roh dan membaca gelombang jiwa.
Dua sosok lain adalah senior yang mengawasi Wigra:
Ratri Nindyanari, penyihir wanita misterius berambut perak, yang dikenal sebagai "Pendengar Arwah". Ia mampu berbicara dengan roh-roh gentayangan, dan di masa lalu pernah menjadi duta rahasia dalam misi eksorsisme tingkat tinggi.
Aryanta Wiprakusuma, penyihir pria bertubuh tinggi kurus dengan senyum samar dan mata seperti bara kecil. Dia ahli dalam pembacaan mantra-mantra segel dan pelacak sihir hitam, serta memiliki tongkat bertatahkan batu mata dewa peninggalan nenek moyangnya dari timur.
Ketiganya berdiskusi serius.
Ratri: “Ini bukan sihir biasa. Ada pengorbanan... tapi bukan nyawa. Sesuatu yang lebih tua. Lebih purba.”
Aryanta: “Energi ini... dipanggil dari tanah. Sepertinya Mahadipa sedang menggali kekuatan yang telah lama dikunci.”
Wigra (pelan): “Aku... aku bisa dengar mereka... mereka belum pergi... mereka... menunggu seseorang kembali...”
Di kejauhan, Perwira Wiratama Lesmana menatap ke arah mereka dari pos penjagaan, tangannya menggenggam gagang kerisnya. Wajahnya gelisah, namun tegas. Ia tahu, malam ini mungkin hanya permulaan dari sesuatu yang lebih gelap.
Bekas Ritual Sesat – Desa Suralaya, Tengah Malam
Tiga Anggota Guild Bayu Geni dari Divisi Rasa Prawira kini bergerak pelan mengelilingi tempat ritual. Ratri Nindyanari mencelupkan ujung jari ke dalam tanah yang menghitam, lalu mencium aromanya perlahan.
Ratri (lirih, mencatat di gulungan kayu lontar bertinta biru):“Aroma kemenyan hitam bercampur sari akar Wulung Langit... biasa digunakan untuk membuka gerbang bawah tanah roh. Tapi... ini dicampur dengan darah—bukan manusia. Mungkin binatang berjiwa kuat.”
Aryanta Wiprakusuma mengangkat pecahan arang dari simbol yang terbakar sebagian.
“Lihat pola pembakaran ini... spiral dengan titik pusat tertanam. Mereka memanggil entitas, bukan mengusirnya. Kekuatan ini bukan hanya untuk sekadar intimidasi.”
Wigra berdiri diam di dekat batu pemujaan yang masih memancarkan aura kabur berwarna kehijauan. Ia membuka telapak tangan dan menggambar sebuah segel di udara dengan jari, lalu membisikkan mantra halus.
“...Roh-roh di sini... bukan hanya dipanggil. Mereka... diikat. Tertahan. Dipaksa untuk... menjaga sesuatu... atau menunggu pemiliknya kembali.”
Ratri (menoleh):
“Catat itu, Wigra. ‘Tanda pengikatan spiritual ditemukan. Diduga sebagai sistem pertahanan ritual.’ Kita perlu laporan rinci ini ke Kapten Rakunti malam ini juga.”
Aryanta mengeluarkan jimat pengukur energi sihir—jarumnya bergetar liar.
“Fluktuasi ini tidak wajar. Ada kemungkinan Mahadipa sedang mencoba membuka Gerbang Ghaib Tingkat Dua. Jika benar, ini melanggar larangan kuno Majelis Rasa Prawira.”
Sementara itu, di luar perimeter, Perwira Wiratama Lesmana berjalan perlahan di antara para penjaga. Ia memberikan isyarat tangan agar semua tetap dalam formasi siaga.
“Tingkatkan kewaspadaan. Mahadipa dikenal kejam dan cerdik. Anak buahnya mungkin menyusup tanpa suara.”
Seorang pengintai mendekat, membisikkan laporan singkat.
“Tuan, kami melihat tiga bayangan tak dikenal di lereng barat, namun mereka lenyap saat dikejar. Bisa jadi pengintai Bayawira.”
Wiratama (tegas)
“Jangan kejar sendirian. Fokus lindungi para Anggota Guild Bayu Geni Divisi Rasa Prawira. Mereka adalah kunci penyelidikan ini.”
Kembali ke dalam lingkaran ritual, Ratri kini tengah menulis laporan akhir pada gulungan lontar:
“Laporan Investigasi Misi Khusus
Lokasi: Desa Suralaya
Pelaku Diduga: Prayogi Mahadipa – Kapten Bayawira
Tindakan: Ritual pengikatan roh tingkat lanjut
Bukti: Sisa simbol terkutuk, fluktuasi energi sihir Ghaib Kelas Dua, pengorbanan hewan jiwa kuat
Risiko: Pembukaan gerbang entitas Roh purba
Tindakan lanjutan: Pemantauan lokasi, penelusuran jaringan Bayawira, pelaporan langsung ke Kapten Mahadewa Rakunti.”
Wigra tampak menggigil sedikit.
“Aku bisa... merasakan. Ritual berikutnya... akan terjadi dalam hitungan Beberapa Pekan kedepan. Mungkin bukan di sini. Tapi dekat... sangat dekat.”
Aryanta dan Ratri saling berpandangan. Mereka tahu, penyelidikan ini baru permulaan dari misteri yang jauh lebih dalam.
Tengah Malam — Desa Suralaya, di dekat lokasi ritual sesat
Langit mendung menggantung berat di atas Desa Suralaya. Aroma bekas ritual masih membekas di udara. Tiba-tiba, dari jalan utama desa, langkah-langkah berat terdengar—irama teratur dari tiga sosok yang mendekat perlahan.
Kapten Prayogi Mahadipa muncul dengan pakaian seragam Bayawira berwarna hitam-merah darah. Sebuah keris panjang bersarung hitam legam tergantung di pinggangnya. Wajahnya dingin dan penuh wibawa kelam, sorot matanya tajam seperti bara neraka.
Di kedua sisinya berdiri dua wakil kapten bertubuh kekar:
Wakil Kapten 1: Galang Wrahatama, bersenjatakan dua golok melengkung dengan bilah bergerigi. Tubuhnya dipenuhi tato api hitam dari dada hingga lengan.
Wakil Kapten 2: Sanjaya Reksamurti, mengenakan penutup kepala kain merah, dan memegang golok besar bermata ganda yang ia putar-putar dengan satu tangan seperti mainan.
Mereka bertiga berhenti di depan garis penjagaan, hanya beberapa meter dari Perwira Wiratama Lesmana, yang langsung mencabut keris perak bersimbol kerajaan dari sarungnya.
Prayogi Mahadipa (datar, namun menghentak):
“Kalian menginjak batas yang bukan milik kalian, Perwira. Kalian mengganggu pekerjaanku. Roh-roh yang terikat di sini... sudah hampir kupindahkan ke dalam wadahnya. Kalian pikir bisa memutus tali gaib yang kubangun begitu saja?”
Tentara kerajaan Mandalagiri segera membentuk formasi setengah lingkaran di belakang Wiratama, dengan senjata terangkat dan mata waspada. Penyihir Rasa Prawira pun bergeser perlahan mundur.
Wiratama Lesmana (mantap):
“Kau menyentuh ranah terlarang, Mahadipa. Ritual pemaksaan roh dilarang keras dalam piagam kerajaan dan hukum para penyihir. Ini bukan wilayah mainanmu lagi.”
Prayogi tersenyum miring, lalu menoleh pada dua wakilnya.
Prayogi:
“Galang. Sanjaya. Waktunya uji nyali.”
Galang Wrahatama dan Sanjaya Reksamurti melangkah maju perlahan. Dengan gerakan cepat, mereka langsung menerjang barisan tentara kerajaan.
Galang (berteriak):
“KAMI HANYA BUTUH DUA ORANG UNTUK MELAWAN DUA PULUH!”
Sanjaya tertawa gila, golok bermata ganda-nya menyambar dengan kekuatan brutal, menebas dan memaksa para prajurit mundur. Suara logam beradu memenuhi udara.
Sementara itu, Wiratama langsung menerjang Prayogi dengan tusukan cepat kerisnya. Namun...
Trang! Srakkk!
Prayogi menghindar ke kiri dengan keanggunan mematikan, lalu menepuk kerisnya keluar dari sarung. Kilatan api hitam menguar dari bilahnya, seperti napas dari dunia lain.
Prayogi (berbisik angkuh):
“Kau cepat... tapi belum cukup tajam.”
Wiratama (menggertakkan gigi):
“Bicaramu seperti ular. Aku lebih suka mendengar kerismu bicara.”
Prayogi (tersenyum setengah):
“Keris ini... sudah berbicara. Tapi hanya pada mereka yang akan mati.”
Mereka berdua bertukar beberapa tebasan cepat. Namun jelas terlihat bahwa Prayogi belum berniat serius. Ia lebih banyak menangkis dan menghindar, membuat Wiratama frustrasi.
Wiratama (menyerang bertubi-tubi):
“Kau mengulur waktu?!”
Prayogi (melangkah mundur satu langkah, santai):
“Aku hanya menikmati angin malam. Dan wajah kelelahanmu... sebelum aku bakar semuanya.”
Tiba-tiba, Prayogi mengayunkan kerisnya ke tanah. Ledakan api hitam kecil menyebar, membuat tanah terbelah halus.
Di sisi lain, para tentara kini mulai terdesak oleh kekuatan brutal dua wakil Prayogi. Tubuh mereka berdarah, beberapa terlempar akibat hantaman golok dan sihir kasar yang digunakan Galang dan Sanjaya.
Ratri (berteriak ke Aryanta):
“Kita tak bisa biarkan ini berlanjut! Roh-roh di bawah tanah mulai bergetar—jika dilepaskan... bisa memicu bencana!”
Desa Suralaya – Tengah Malam, Pertarungan Meningkat
Gemuruh suara senjata beradu dan teriakan prajurit mulai menarik perhatian para penduduk desa. Di tengah gelapnya malam, rumah-rumah mulai menyala oleh obor darurat, dan suara tangisan serta kepanikan menggema.
Penduduk desa berlarian keluar rumah, menuntun anak-anak mereka menjauh dari pusat konflik. Beberapa di antaranya tersungkur, menjerit ketakutan saat melihat api hitam menyala dari arah pertarungan Prayogi melawan Wiratama.
Sementara itu, Wiratama Lesmana mulai menunjukkan tanda-tanda terdesak. Dengan sorakan marah, ia mencabut kerisnya lebih dalam dan menyerukan khodamnya:
Wiratama (meneriakkan mantra):“Hadirkan dirimu... Hantu Bayu, Sang Pengintai Langit!”
Seketika, dari bilah kerisnya, muncullah khodam angin berbentuk burung hantu putih raksasa, dengan mata bersinar hijau dan sayap selebar tiga tombak. Makhluk itu melesat cepat, menyerang Prayogi dari atas dengan cakar dan pusaran angin.
Namun Prayogi tetap diam. Dengan senyum mengejek, ia mengangkat keris hitamnya ke langit.
Prayogi Mahadipa (pelan, penuh tekanan):
“Jangan ajari aku tentang khodam... jika kau belum pernah menari dengan neraka.”
Aura gelap meledak dari tubuhnya. Udara mendadak terasa berat, langit bergemuruh. Dari bilah kerisnya, muncul khodam sempurna:
“WULANDARA JAGATWALA”, serigala hitam raksasa berapi hitam, dengan mata merah menyala dan tubuh berasap seperti bara membakar.
Makhluk itu melolong, lalu melesat secepat kilat menghantam burung hantu angin — menghancurkannya dalam satu tabrakan dahsyat. Lalu ia terus meluncur, menabrak langsung tubuh Wiratama.
BWWRROOOHHHMMM!!!
Tubuh Wiratama terpental, pakaian dan kulitnya hangus terbakar, matanya memerah karena rasa sakit luar biasa. Ia terkapar, tubuhnya menggigil sekarat di tanah di dekat Aryanta, Wigra, dan Ratri yang hanya bisa mematung menyaksikan kekuatan luar biasa itu.
Wiratama (terengah, darah mengalir di sudut bibirnya):
“Aryanta... Wigra... Ratri... dengar aku...”“Kalian harus pergi... secepatnya... dia bukan tandingan kalian... Laporkan ini ke Markas... Guild harus tahu...”
(Ia menggenggam tangan Aryanta dengan sisa kekuatan)
“Aku bangga mati sebagai perwira... demi negeri ini...”
Dengan senyum tipis, napas terakhir Wiratama meluruh bersama hembusan angin malam. Tubuhnya tak bergerak. Seorang prajurit setia telah gugur.
Aryanta menggertakkan gigi, amarah dan kesedihan berpadu.
Aryanta (keras):
“Ratri, Wigra! Sekarang!”
Ratri melempar mantra asap sihir ke arah Prayogi, menciptakan kabut tebal yang menyelimuti area tersebut. Dalam kekacauan itu, Aryanta, Wigra, dan Ratri berlari menerobos jalan belakang desa, menghindari kontak langsung, sementara teriakan prajurit yang tersisa masih terdengar dari kejauhan.
Prayogi Mahadipa hanya berdiri diam dalam asap itu, tersenyum sinis.
“Biar mereka kabur... Mereka akan menjadi utusan... dari awal kehancuran kalian...”
bayangan tiga anggota Guild Bayu Geni berlari menyusuri hutan malam menuju ibu kota Tirabwana. Mereka membawa berita kematian seorang perwira... dan ancaman kelam yang lebih besar dari yang dibayangkan siapa pun.
Suralaya – Setelah Pertempuran
Keheningan menelan malam.
Desa Suralaya kini porak-poranda. Sebagian rumah hancur terkena ledakan dan hempasan energi, sebagian lainnya terbakar oleh percikan sihir api hitam yang membekas. Mayat-mayat para tentara kerajaan berserakan, tertutup debu dan darah, tak ada satu pun yang selamat selain mereka yang sempat melarikan diri.
Kapten Prayogi Mahadipa, dengan sorot mata dingin, berdiri tegak di tengah reruntuhan. Di kedua sisinya, Wakil Kapten Galang Wrahatama dan Sanjaya Reksamurti, berdiri dengan tenang dan tanpa goresan luka, hanya noda darah di ujung golok mereka masing-masing.
Galang Wrahatama – berperawakan tinggi besar, mengenakan sabuk kulit berhiaskan tengkorak kecil. Goloknya bercahaya merah redup, seperti haus darah.Sanjaya Reksamurti – bertubuh lebih ramping dan gesit, mengenakan baju zirah ringan dengan jubah hitam. Goloknya berkilat biru gelap, tajam dan elegan, namun mematikan.
Tak seorang pun dari mereka terlihat kelelahan. Justru ketiganya tampak seperti baru saja selesai latihan.
Prayogi (dingin, tenang):
“Semua pengganggu sudah dibersihkan... Kini waktunya puncak dari pekerjaan ini.”
Ia melangkah ke altar pusat ritual — tempat lingkaran sihir raksasa yang masih menyala samar di atas tanah, bergambar simbol-simbol kuno yang tidak dikenali.
Dari dalam jubahnya, ia mengeluarkan sebuah batu permata besar — Hitam Kebiruan, berkilau seperti langit malam, namun di dalamnya terlihat seperti ada arus energi bergolak.
Prayogi (merapal mantra, bahasa kuno):
“Rūhākṣara... Bhūmikāla... Ṛṇadrāva... Niraḥ...”
Langit berubah. Angin berputar kencang. Suara aneh seperti jeritan roh menggema dari tanah. Lalu satu per satu, roh-roh tak kasat mata mulai bermunculan — roh penasaran, roh purba, jin, makhluk ghaib lokal, hingga arwah terikat yang tak sempat bebas selama ratusan tahun.
Mereka berputar dalam pusaran hitam pekat di atas altar, seperti badai dari dunia lain. Wajah-wajah mengerikan dan suara lolongan muncul dalam kabut itu.
Dengan tangan terangkat tinggi, Prayogi mengarahkan kerisnya ke permata. Gelombang sihir hitam menyembur dari ujung keris dan mulai menyedot seluruh roh-roh itu masuk ke dalam batu permata. Mereka menjerit, menggelepar, melawan — namun sia-sia. Kekuatan Prayogi terlalu mutlak.
Sanjaya (berbisik pelan pada Galang):
“Kita menyaksikan... penguasaan penuh atas kematian.”
Galang (dingin):
“Dan juga pengendali takdir...”
Beberapa penduduk desa yang masih mengintip dari kejauhan tak kuat menahan aura gelap itu. Mata mereka bergetar, telinga mereka mendengung oleh gema sihir. Tubuh mereka jatuh satu per satu, pingsan, bahkan beberapa tak sadarkan diri.
Ketika roh terakhir tersedot ke dalam batu permata, sebuah gema keras seperti ledakan gaib terjadi.Tanah bergetar keras. Batu-batu beterbangan, pepohonan merintih dan runtuh. Cahaya pekat dari permata membentuk pusaran sejenak lalu padam.
Ritual telah selesai.
Prayogi menghela napas pendek dan menggenggam permata itu dengan satu tangan.
Prayogi (pelan, penuh kuasa):
“Satu dari tujuh tempat... telah selesai.”
Ia menoleh pada kedua wakilnya.
“Kita kembali. Laporkan ke Bayawira... Operasi Suralaya, sukses total.”
Ketiganya lalu berjalan perlahan meninggalkan lokasi — bayangan mereka diselimuti aura api hitam yang tersisa.
pandangan dari langit — desa Suralaya terbakar sebagian, dipenuhi reruntuhan dan jiwa-jiwa yang tersesat. Langit malam kembali tenang, namun menyimpan rahasia kelam yang baru saja terjadi.
Tirabwana, Ibu Kota Kerajaan Mandalagiri
Ruang Sidang Agung Istana Tirabwana, Pagi Hari
Suasana ruang sidang agung istana tak seperti biasanya. Gema langkah para pejabat terdengar terburu-buru. Para abdi istana keluar masuk membawa gulungan berita dan laporan dari seluruh penjuru kerajaan. Matahari baru saja menembus tirai-tirai panjang, namun ruangan itu sudah lebih dahulu diterangi oleh ketegangan.
Sri Maharaja Dharmawijaya, duduk di singgasana emas kerajaan, wajahnya pucat namun tetap tegas. Di sampingnya, Permaisuri Shandrakirana, anggun dan penuh wibawa, menggenggam erat tangan suaminya.Pangeran Aryasatya, pewaris takhta, berdiri gelisah, menatap peta-peta dan laporan kerusakan di atas meja.Pangeran Mahadarsa, adiknya, menatap dingin ke arah tamu yang berdiri di tengah ruangan.Mahamentri Palindrasuta membuka gulungan naskah dengan nada berat.
Mahamentri Palindrasuta (suara berat):
“...Desa Suralaya kini dipastikan menjadi Desa Mati. Semua aura kehidupan di sana lenyap. Ladang-ladang tandus, ternak membusuk, tanah berubah abu. Dari dua ratusan warga, hanya enam puluh sembilan orang selamat... dan hampir semuanya kini tak sadarkan diri karena trauma dan paparan kekuatan gaib.”
Terdengar bisik-bisik para penasihat istana. Wajah-wajah ngeri dan panik memenuhi ruangan.
Panglima Agung Jayasatya (menggebrak meja):
“Ini bukan sekadar pemberontakan! Ini teror gaib! Satu desa... satu perwira... dua puluh prajurit... dimusnahkan oleh tiga orang?!”
Pangeran Mahadarsa (dingin, penuh amarah):
“Prayogi Mahadipa... Pengkhianat Mantan Perwira kerajaan. Dulu ia perwira kita. Kini ia iblis. Dia membawa dua mantan prajurit kerajaan ke jalan gelap, dan sekarang menjadi ancaman terbesar kita!”
Permaisuri Shandrakirana (lirih namun tajam):
“Bahkan malam pun enggan menyentuh tempat itu sekarang...”
Keheningan panjang. Semua mata kini beralih kepada satu sosok — berdiri gagah di tengah ruangan, mengenakan jubah panjang berwarna kelam keperakan dengan lambang Guild Bayu Geni di dada: Adipati Maheswara.
Dengan suara tenang, namun penuh wibawa, ia mulai berbicara:
Adipati Maheswara:
“Saya mengenal Prayogi Mahadipa... Dulu ia prajurit setia, tapi terlalu berbakat hingga menjadi ancaman bagi atasannya sendiri. Ketika ia mempelajari sihir terlarang dari Selatan, dia dijatuhi pengasingan. Tapi kerajaan tak pernah benar-benar menghapus jejaknya... dan inilah akibatnya.”
Sri Maharaja Dharmawijaya (tegas):
“Adipati Maheswara. Kau dan guild-mu... satu-satunya harapan kami.”
Adipati Maheswara memberi hormat.
Adipati Maheswara:
“Ayahanda Paduka Raja, Izinkan Hamba membentuk Tim Gabungan dari empat divisi Guild Bayu Geni. Hamba akan memilih yang terbaik dari Panggrahita Aji, Raka Lelana, Rasa Prawira, dan Bayang-bayang Geni.”
Ia menoleh ke arah Panglima Jayasatya dan memberi hormat kecil.
Adipati Maheswara:
“Saya akan tunjukkan kekuatan sejati anak-anak Mandalagiri. Termasuk Beberapa Anggota Baru yang memiliki Potensi besar di Masa Depan, Jasana Mandira, pemuda yang telah membangkitkan khodamnya... dan Darsa Nagawikrama, anak dari salah satu mantan ksatria agung kerajaan... serta Bagas Prayoga, petarung tangan kosong yang kekuatannya tidak biasa.”
Semua mata terbelalak. Nama-nama itu masih tergolong muda dan baru. Tapi jika Adipati Maheswara yang berkata demikian, maka mereka pasti memiliki potensi besar.
Adipati Maheswara (Melanjutkan)
"Kami juga akan menyiapkan Para Anggota Guild Senior terbaik kami dalam Misi ini yang kami Miliki."
Pangeran Aryasatya (penasaran):
“Kau yakin menurunkan petualang muda dalam misi sebesar ini?”
Adipati Maheswara (tegas):
“Saya yakin, Kakanda Pangeran Aryasatya. Tapi beri kami waktu satu bulan. Kami akan menggodok mereka dalam latihan militer dan spiritual di bawah Kapten Raksadana — guru dari Panglima Agung Jayasatya sendiri. Jika mereka bertahan... mereka akan siap memburu Bayawira.”
Sri Maharaja menatap para petinggi istana. Kemudian dengan anggukan tegas:
“Kami beri waktu satu bulan untuk kau mempersiapkan segala-nya sebelum menjalankan misi tersebut. Satu kesempatan. Kembalikan kehormatan kerajaan... dan basmi kegelapan itu.”
Adipati Maheswara membungkuk dalam-dalam.
“Demi kerajaan... dan demi nyawa yang telah direnggut kegelapan... Bayawira akan ditumbangkan.”
Adipati Maheswara telah menyelesaikan laporannya. Ruangan kembali senyap. Para menteri dan panglima tampak merenung dalam diam. Ketegangan di udara begitu kental, hingga terdengar jelas suara napas yang tertahan. Mata Sri Maharaja Dharmawijaya menyapu seluruh ruangan, hingga berhenti pada sosok yang berdiri kokoh dengan wajah keras: Panglima Agung Jayasatya.
Dengan suara berat dan penuh otoritas, Sri Maharaja akhirnya bersabda:
Sri Maharaja Dharmawijaya:
“Panglima Jayasatya. Hari ini aku nyatakan... kita telah berperang. Namun ini bukan perang melawan kerajaan lain, melainkan melawan kekuatan yang tak lagi mematuhi tatanan dunia.”
Semua kepala menunduk hormat. Pangeran Aryasatya menggenggam gagang pedangnya kuat-kuat.
Sri Maharaja Dharmawijaya (melanjutkan):
“Aku tugaskan engkau, Jayasatya, untuk mengkoordinasikan pasukan utama kita. Kau akan menyebar prajurit ke titik-titik rawan yang selama ini dianggap menyimpan sisa-sisa energi roh kuno dan kekuatan gaib purba. Bayawira akan mencari tempat-tempat itu... dan kita tidak akan membiarkan mereka berhasil.”
Panglima Agung Jayasatya (menghormat dalam):
“Daulat Tuanku. Aku akan kerahkan pasukan elit dari Batalion Trikandha dan Satgas Bayusekti untuk menjaga gerbang-gerbang gaib yang dikenal di Mandalagiri. Tak satu pun makhluk sesat akan lolos.”
Permaisuri Shandrakirana (pelan):
“Bayawira... sedang membangkitkan sesuatu yang lebih tua dari ingatan manusia.”
Pangeran Aryasatya (geram):
“Kalau mereka sampai menguasai roh-roh purba itu... bahkan Tirabwana tidak akan cukup kuat menahannya.”
Adipati Maheswara:
“Maka kita tidak akan memberi mereka waktu. Dalam satu bulan ke depan, Anggota Baru Guild Bayu Geni yang terpilih akan berlatih di bawah Kapten Raksadana. Kami akan siap menghadapi bayangan tergelap sekalipun.”
Sri Maharaja berdiri, jubah kerajaannya menjuntai megah, sorot matanya tajam.
Sri Maharaja Dharmawijaya (menutup rapat):
“Jika kekuatan Bayawira lahir dari pengkhianatan, maka kekuatan kita akan lahir dari kesetiaan. Ini bukan hanya soal kekuatan... ini soal menjaga dunia tetap utuh.”
Gendang suci dibunyikan tiga kali. Rapat kerajaan berakhir.
Langit Tirabwana pagi itu terlihat mendung, seolah menyadari bahwa badai besar akan segera datang.
Markas Guild Bayu Geni – Ruang Latihan Divisi Panggrahita Aji
Pagi menyelimuti markas Guild Bayu Geni dengan kabut tipis dan hawa tanah lembab yang menyatu dengan udara dingin. Ruang Latihan Divisi Panggrahita Aji, yang dikenal sebagai tempat pembinaan mental dan pengendalian khodam, berdiri megah di sisi timur markas. Di tengah ruangan luas yang dikelilingi pilar batu dan ukiran mantra purba, berdiri Kapten Raksadana—sosok tinggi besar, berambut putih sebahu, tubuh berotot dan berbalut pakaian pelatihan sederhana. Matanya tajam seperti elang yang siap mencabik kelemahan murid-muridnya.
Di hadapannya, berdiri tiga pemuda, bertelanjang dada dengan tubuh masih dilapisi peluh dan debu, menandakan mereka sudah digembleng sejak matahari menyentuh cakrawala.
Jasana Mandira, sosok muda berwajah serius, tangan kirinya sedikit gemetar karena latihan pedang yang keras. Ia belum sepenuhnya luwes, tapi ketekunannya memancar.
Darsa Nagawikrama, tubuh tegap dan tatapan penuh perhitungan. Di punggungnya tergantung pedang miliknya, namun wajahnya selalu menyiratkan ada yang ia sembunyikan—khodam dalam dirinya yang belum ia kuasai.
Bagas Prayoga, bertubuh tambun namun berdiri kokoh seperti batu. Sarung tangan besi terpasang di kedua tangannya, dan langkahnya tak pernah goyah.
Kapten Raksadana melangkah perlahan ke depan mereka, suaranya dalam dan menggema di dinding batu ruangan itu.
“Kalian bertiga adalah tanah liat mentah. Tapi bukan tanah liat biasa... Kalian adalah tanah yang akan dibakar dalam nyala api suci—api Bayu Geni. Dan dari situlah, akan tercipta batu yang tak bisa dihancurkan.”
Ia memandangi ketiganya satu per satu.
Kapten Raksadana (menunjuk Jasana):
“Kau, Jasana Mandira... berlatih lima tahun tanpa guru. Itu hebat, tapi juga berbahaya. Kau belum tahu batasmu, dan itu bisa membunuhmu di medan perang.”
Kapten Raksadana (beralih ke Darsa):
“Darsa Nagawikrama. Putra dari Ksatria Agung, tapi menyimpan khodam yang belum bisa kau kendalikan. Kau mengira bisa mengandalkan jebakan dan siasat? Tidak cukup. Kendalikan dirimu lebih dulu... baru kendalikan kekuatanmu.”
Kapten Raksadana (menatap Bagas):
“Bagas Prayoga. Ototmu keras, tanganmu kuat... tapi perang tidak dimenangkan oleh otot saja. Ketika tak bisa lagi mengangkat tanganmu, hanya pikiranmu yang akan menyelamatkan nyawamu.”
Suasana hening sejenak. Lalu terdengar suara dari salah satu staf pelatih yang berdiri di sisi ruangan:
“Kapten, semua alat latihan dan arena sudah disiapkan.”
Kapten Raksadana mengangguk. Ia menarik napas panjang lalu berseru:
“Hari ini kita mulai dengan fondasi. Penguatan tubuh, keseimbangan jiwa, dan koneksi awal dengan khodam kalian. Tidak ada sihir. Tidak ada pedang. Hari ini tubuh kalian akan bicara!”
Ia menghentakkan tongkat kayu panjang ke lantai. Dari dinding terbuka panel-panel batu dan muncullah arena latihan, lengkap dengan tali gantung, balok goyah, kolam lumpur dalam, dan jalur lari naik-turun dari batu.
Kapten Raksadana baru saja menghentakkan tongkatnya, memulai sesi latihan pertama. Namun sebelum para murid bergerak, salah satu staf pelatih mendekat dan berbisik pelan. Sang Kapten mengangguk, lalu memutar badan menghadap seluruh staf di ruangan.
Kapten Raksadana:
“Sebelum kita mulai... biarkan aku memperkenalkan tiga anak muda ini dengan lebih dalam. Kalian semua perlu tahu... bahwa yang akan kita gembleng di sini bukan hanya tubuh mereka—tapi roh mereka.”
Ia melangkah ke sisi Jasana Mandira, lalu mengangkat dagunya dengan ujung tongkatnya.
Kapten Raksadana:
“Ini Jasana Mandira. Tak punya guru, tak punya warisan darah bangsawan. Tapi memiliki satu hal: kegigihan. Dalam lima tahun dia membentuk dirinya sendiri seperti batu yang terus dipahat hujan. Di Hutan Lembayung Dipa, khodam putih bangkit dari tubuhnya... makhluk cahaya yang menyatu dengan semangat tak kenal menyerah miliknya.”
Sejenak, para staf pelatih menunduk memberi penghormatan kecil. Beberapa Anggota Senior Divisi Panggrahita Aji yang ada melihat dari balkon atas bahkan berbisik-bisik.
Staf Pelatih:
“Dia yang bisa membangkitkan khodam di usia muda... dan mengendalikannya...”
Raksadana lalu beralih ke sisi Darsa Nagawikrama.
“Darsa... anak bungsu dari Ksatria Agung yang pensiun. Dia telah membangkitkan khodam juga... tapi bukan khodam biasa.”
Langkah Raksadana berat. Suaranya kini berubah lebih dalam, lebih gelap.
“Khodam hitam... khodam yang lahir dari sisi tergelap manusia—amarah, dendam, ketakutan... mungkin sesuatu yang telah ia kubur dalam-dalam. Jika khodam itu keluar sekarang, ia akan menyerang segalanya. Bahkan kalian yang berdiri di sisinya.”
Darsa menunduk dalam diam. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Tapi tak ada sanggahan. Ia tahu itu benar.
Kapten Raksadana (lembut tapi tajam):
“Mengendalikan khodam seperti itu... butuh lebih dari kekuatan. Butuh pengampunan. Dan itu yang akan kita latih di sini.”
Akhirnya, sang Kapten beralih ke Bagas Prayoga, menatap sosok tambun yang berdiri tegak, peluh menetes dari alisnya yang lebat.
“Bagas... kau belum memiliki khodam. Belum ada tanda kebangkitan. Tapi lihat tubuhmu. Lihat tanganmu. Kau dipilih dari sebelas anggota baru bukan karena sihir... tapi karena kekuatan dan nyali.”
Ia melangkah lebih dekat dan menepuk dada Bagas.
“Banyak yang menunggu khodamnya bangkit dari keputusasaan. Tapi aku yakin... khodammu akan bangkit dari keteguhan.”
Bagas tersenyum kecil. Ia tak berkata apa-apa, hanya membungkuk hormat.
Kapten Raksadana kembali ke depan mereka bertiga. Matanya menyapu seluruh ruangan.
“Kalian semua berbeda. Tapi kalian akan berlatih bersama. Dan dalam sebulan, kalian akan jadi salah satu tulang punggung misi paling berbahaya yang pernah dijalankan Guild Bayu Geni.”
Ia menunjuk ke arah lintasan rintangan dengan tongkatnya.
"Sekarang! Tiga puluh putaran. Lintasan rintangan. Jika kalian pingsan, bangun. Jika kalian jatuh, merangkak. Ini bukan tentang siapa tercepat... ini tentang siapa yang tidak menyerah.”
Jasana, Darsa, dan Bagas mengangguk. Mereka menatap ke depan, ke medan latihan. Tidak ada keraguan di wajah mereka. Hanya tekad dan nafas berat yang mulai ritmis seperti genderang perang.
Dan dengan teriakan keras dari salah satu pelatih...
“MULAI!”
Ketiga pemuda itu pun berlari maju, menembus kabut pagi yang mulai tersibak oleh panas tubuh dan semangat yang membara.
Lokasi: Serambi samping Asrama Latihan Divisi Panggrahita Aji.
Waktu: Sore menjelang matahari tenggelam.
Cahaya jingga menyapu dinding batu dan lantai kayu.Ketiga murid—Jasana, Darsa, dan Bagas—terbaring atau duduk selonjoran. Napas mereka masih berat.
Bagas rebahan seperti karung jatuh dari loteng, separuh bajunya masih tergulung, perut tambunnya naik-turun cepat.
Bagas(napas tersengal)
“Astaga... kalau ini yang disebut ‘pemanasan’, aku curiga besok kita bakal disuruh lari dari gunung meletus sambil gendong kuda...”
Darsa mengangkat kepalanya sedikit dari lantai, menyipitkan mata.
“Kuda? Aku aja tadi kayaknya diseret jin pabrik batu... Itu latihan apa ritual pengusiran dosa masa lalu sih?”
Jasana terduduk, punggung bersandar ke tiang kayu. Biasanya dia kuat, tapi kali ini tubuhnya nyaris gemetar.
Jasana: (lirih sambil menatap langit)
“Dulu waktu aku latihan sendiri di hutan, aku pikir aku udah keras... Ternyata hutan Di Desa Kalabumi ngasih pelatihan dengan cinta... Raksadana ngasih pelatihan pake... kebencian.”
Bagas tertawa pelan, lalu tiba-tiba mengeluh sambil memegangi pinggang.
“HAHAHA–AHH! Aduh... ketawa aja sakit! Eh beneran, tadi waktu loncat tali api, perutku kayak sempat negosiasi sama nyawa... ‘Kita pulang yuk?’ katanya.”
Darsa tertawa pendek, lalu menatap Jasana dan menepuk bahunya.
“Tapi serius, Jas... waktu kamu munculin khodammu sebentar tadi pas latihan tebasan fokus... Gila, merinding. Cahaya putihnya itu... kayak lentera di tengah neraka.”
Jasana: (senyum kecil)
“Hah... itu juga karena panik, sih. Kalau gak muncul, mungkin aku udah tinggal nama.”
Bagas:
“Kalau aku, khodamku belum muncul... tapi rasa lapar udah bangkit dari dasar jiwa... Bisa jadi khodamku itu sebenarnya... Roh Makan Siang.”
Darsa:
“Khodammu kayaknya muncul waktu ada aroma sate lewat. Tadi kan pas latihan tiba-tiba kamu lari ke arah dapur...”
Bagas: (masih rebahan, menatap langit penuh harap)
“Kalau bisa milih, aku pengen khodamku wujudnya warung makan jalanan. Bisa muncul kapan aja, bawa nasi Ayam Kemangi...”
Jasana dan Darsa serempak tertawa, meski tertahan karena seluruh badan pegal.
Jasana:
“Udah deh... besok kita harus hidup. Kalau enggak kuat, kita kabur aja ke Divisi Mandala Dhana, dagang rempah di pelabuhan.”
Darsa: (angkat alis)
“Gak bisa, jas. Di sana juga ada pelatihan negosiasi maut sama tengkulak kikir. Mending kita tetap di sini... setidaknya bisa mati dengan gaya.”
Ketiganya akhirnya diam, menikmati angin sore yang menyapu lembut. Untuk sesaat, tak ada tekanan, tak ada beban misi—hanya tawa dan rasa sakit di sekujur tubuh yang anehnya terasa menyenangkan.
Warung “Warana Rasa Sejati” – warung makan sehat dengan interior bambu dan lampu minyak remang-remang. Ramai oleh para petarung muda dan pelajar bela diri
Malam hari setelah latihan hari pertama.
Di pojok ruangan, Jasana, Darsa, dan Bagas duduk melingkar di atas tikar rotan, di depan mereka mangkuk besar berisi sup jahe, nasi merah, dan lauk bergizi tapi lezat—ayam panggang daun kemangi dan sayur asam kelor. Aroma harum menusuk hidung.
Bagas sedang menyendok nasi dengan kecepatan dewa kelaparan.
Bagas: (sambil ngunyah cepat)
“Hoooh... nasi merah ini... rasanya kayak surga yang gak jadi ditutup!”
Darsa: (nyeruput kuah sup, mengangkat alis)
“Surga apaan? Tadi siang kamu bilang rasanya kayak pasir pantai. Sekarang tiba-tiba jadi favorit?”
Bagas: (sambil ngunyah ayam)
“Tadi siang aku kehausan, sekarang aku tercerahkan. Lidahku bangkit seperti khodam...”
Jasana tertawa kecil sambil mengiris ayam dengan hati-hati.
“Kalau makanan kayak gini terus yang disajiin di asrama, mungkin khodam Bagas bakal bangkit dalam wujud koki bertangan empat.”
Darsa: (tertawa)
“Mungkin itu kenapa dia belum bangkit-bangkit. Lagi ngantri di dapur gaib.”
Bagas: (tunjuk Darsa dengan sendok)
“Eh kamu juga jangan sok-sokan! Khodammu itu kayak mantan pacar ngambek, munculnya gak bisa ditebak dan selalu bikin rusuh.”
Darsa: (garuk kepala, senyum masam)
“Ya... itu bener juga sih. Khodamku muncul kayak orang mabuk. Tapi setidaknya dia ada. Beda sama kamu yang masih... kosong.”
Bagas: (nyeruput sayur kelor, pasrah)
“Kosong tapi kuat, bro. Itu motto hidupku.”
Ketiganya tertawa. Lalu Jasana menatap langit-langit warung sejenak, lalu berujar:
“Kira-kira gimana ya kabar Nandika sekarang... Dia tuh paling cepet adaptasi waktu latihan awal. Bisa jadi sekarang lagi ngelempar tombak ke kepala raksasa sambil ngunyah singkong.”
Darsa:
“Pratiwi juga pasti lagi nyamar entah di mana... Bisa aja sekarang dia udah nyusup ke sarang Bayawira, pura-pura jadi tukang urut.”
Bagas:
“Kirta pasti lagi panahan di atas pohon. Gak heran kalau tiba-tiba dia panah kelapa jatuh, terus kelapanya dipake buat masak gulai...”
Darsa: (tiba-tiba serius tapi dengan nada dramatis)
“Dan Brahma... dia pasti lagi duel... dengan dua pedang... melawan lima preman... demi menyelamatkan seekor anak ayam tersesat.”
Jasana:
“Surya sih gampang ditebak... dia pasti lagi melilit musuh pake cambuk sambil ngelucu. Itu anak bisa bikin orang tertawa bahkan sambil digebuk.”
Bagas: (menunduk, pura-pura sedih)
“Dan kita...? Kita cuma bisa Latihan Berat lalu makan Ayam, Sayur daun kelor dan nasi merah...”
Darsa: (tepuk bahu Bagas)
“Tenang... besok kita bisa makan daun kelor goreng tepung!”
Jasana: (mengangkat gelas air jahe)
“Untuk kelor, khodam, dan kebugaran!”
Bagas dan Darsa: (serempak)
“Hidup sehat... hidup menderita!”
Mereka bertiga tertawa lepas malam itu, rasa sakit di tubuh mereka perlahan berganti dengan rasa hangat di hati. Di tengah beban latihan dan masa depan yang belum pasti, momen sederhana seperti ini terasa berharga—menyatukan mereka bukan hanya sebagai rekan, tapi juga sebagai sahabat seperjuangan.
Hari-Hari Latihan di Markas Panggrahita Aji
NARASI MONTASE (sambil alunan musik latar dramatis dengan selipan nada jenaka)
HARI KEDUA –Di halaman latihan berbatu, Jasana, Darsa, dan Bagas berdiri berbaris, tubuh mereka dibalut peluh. Kapten Raksadana yang bertubuh tinggi besar dan berotot, berdiri dengan lengan bersilang, suaranya lantang.
“Tenaga dalam kalian lemah! Bahkan ayam jago bisa lebih fokus dari kalian saat meditasi!”
Para staf memberi aba-aba, mengarahkan mereka untuk berlatih pernapasan dalam posisi kuda-kuda. Darsa goyah, Bagas jatuh terduduk, sementara Jasana bertahan walau gemetar.
HARI KEEMPAT –Latihan berlanjut di sungai kecil belakang markas. Mereka disuruh menahan diri di bawah air terjun kecil sambil mengendalikan napas dan energi. Darsa menggigil sambil bicara pelan:
Darsa:“Ini sungai atau jurang es dunia bawah...”
Bagas menggertak gigi sambil berkata:
“Kalau aku selamat dari ini... aku minta tunjangan leher masuk angin...”
Jasana hanya tertawa kecil sambil menahan beban di pundaknya, matanya fokus ke arah air, aura putih samar mulai muncul dari tubuhnya.
HARI KEENAM –Latihan sparring. Jasana melawan salah satu staf. Gerakannya mulai lebih tajam. Darsa mencoba mengatur jebakan dari ranting-ranting. Bagas... mencoba melempar batu besar sambil berseru:
“INI UNTUK PERUTKU YANG KEMARIN KELAPERAN!”
Staf yang dilempar malah menangkap batu itu sambil tertawa.
“Lemparannya masih kayak dilempar pakai hati, bukan tenaga!”
Malam Hari di Asrama Guild Laki-laki
Kamar asrama sederhana dengan ranjang susun dari kayu. Ada rak buku, peti peralatan, dan meja kecil di tengah.
Jasana duduk di lantai, membaca catatan tentang teknik pengendalian khodam. Darsa mengutak-atik alat jebakannya yang nyaris meledak—lagi. Bagas berbaring sambil mengoles balsem di punggungnya, wangi kayu putih menyebar ke seluruh ruangan.
Bagas: (mengerang)
“Sumpah, kalo ada khodam pemijat, aku daftar sekarang juga...”
Darsa:
“Jangan nanti khodammu muncul sebagai tukang urut berwajah galak. Bayangin kamu dipijet sambil diomelin.”
Jasana: (tanpa menoleh)
“Itu namanya terapi mental.”
Mereka tertawa kecil bersama. Meski lelah, suasana mulai terasa seperti rumah.
Hari Bebas (Hari Ketujuh)
Pagi hari yang tenang. Matahari Tirabwana menyinari halaman markas. Jasana berdiri di bawah pohon besar, memejamkan mata, berlatih pernapasan ringan. Darsa tidur di atas atap asrama sambil mulut terbuka.
Bagas... sedang memanggang ubi di dapur belakang sambil bersenandung.
Darsa turun dari atap, menguap.
“Hari bebas paling nikmat adalah... gak liat wajah Raksadana.”
Bagas:
“Tapi suara dia masih kebayang di mimpi... ‘NAFASMU MASIH BISA NGOBROL, ARTINYA KAMU BELUM CAPEK!’”
Jasana:
“Hari ini kita bisa istirahat... tapi besok pasti dua kali lipat.”
Darsa:
“Maka dari itu, kita nikmati hari ini... seperti nikmatin ubi yang gosong bagian luarnya tapi empuk di dalam.”
Bagas: (serius)
“Seperti aku.”
Ketiganya tertawa kecil sambil menikmati sarapan sederhana.
Penutup Montase – Narasi Ringan
“Mereka bukanlah pendekar sempurna. Tapi setiap tetes keringat, setiap tawa, dan setiap rasa sakit... adalah bekal untuk hari di mana mereka berdiri bukan hanya sebagai petarung, tapi juga saudara.”
MONTASE – MINGGU KEDUA LATIHAN GUILD BAYU GENI.
HARI PERTAMA – “Suara Batu dan Napas Hutan”
Di ruang pelatihan dalam markas, Kapten Lodra Wahana berjalan masuk. Sosoknya tinggi kurus, jubah kusam penuh tambalan, tongkat besinya berdenting pelan saat menyentuh lantai.
Lodra Wahana:
“Jangan cuma kuat otot. Kalau kalian buta arah di dalam hutan, kalian hanya jadi tulang-tulang yang ditemukan burung hering.”
Ia meletakkan beberapa artefak kecil: batu aneh, lempengan logam berukir, dan gulungan kulit pohon.
Jasana: (berbisik ke Darsa)
“Itu batu apa? Kayak kotoran beku...”
Darsa: (menahan tawa)
“Ssst… mungkin itu peninggalan zaman purba. Batu suci… bekas dilempar ke maling.”
Bagas, sambil menatap serius, mencoba ‘merasakan’ energi dari batu itu… lalu mendadak bersin.
Bagas:“Ini batu wangi daun pandan ya?”
HARI KEDUA – “Ujian Arah dan Energi Bumi”
Mereka dibawa ke halaman luar guild, duduk dalam lingkaran. Lodra mengajarkan bagaimana merasakan medan energi alam, menggunakan telapak tangan yang menyentuh tanah dan batang pohon.
Lodra:
“Tanah menyimpan ingatan. Air mengalirkan pesan. Angin menyampaikan bisikan. Dengarkan mereka.”
Jasana terlihat khusyuk. Sebuah helai daun jatuh ke telapak tangannya, auranya sedikit bersinar. Darsa… malah tertidur bersandar pohon. Bagas berusaha keras ‘mendengarkan’ tanah, namun perutnya malah berbunyi keras.
Bagas:“Eh… itu suara tanah atau perutku?”
HARI KETIGA – “Labirin Artefak dan Teka-Teki”
Di ruang pelatihan, Lodra membangun labirin kecil penuh teka-teki berdasarkan artefak kuno. Para peserta harus memecahkan sejarah dan asal-usul setiap objek untuk menemukan jalan keluar.
Lodra:
“Setiap artefak punya cerita. Kalau kalian bisa memahaminya, kalian akan selamat dari jebakan zaman dahulu.”
Darsa memandangi ukiran naga pada tembok.
“Naga bertanduk dua… berarti ini dari masa Kekaisaran Lodra Prajaya. Jalannya ke kiri.”
Jasana:“Serius?”
Darsa:“Enggak, tebak aja.”
Bagas salah menginjak ubin jebakan—lantai terbuka sedikit dan muncul asap wangi.
Bagas:“Uhuk! Ini jebakan apa pewangi ruangan?”
HARI KEEMPAT – “Uji Pemetaan dan Simulasi Perburuan”
Mereka diberi peta kusut, harus menandai titik sumber energi dan letak artefak berdasarkan deskripsi samar.
Lodra:“Tak semua medan bisa kalian lihat. Kadang yang kasat mata justru menyesatkan.”
Jasana menunjukkan keakuratan tinggi, hampir seperti pernah merasakan tempat-tempat tersebut. Darsa mengira artefak ada di semak-semak… ternyata sarang lebah.Bagas? Dia malah menandai warung makan di peta.
Bagas:“Ya siapa tahu artefak disembunyikan di dapur…”
HARI KELIMA – “Pertarungan Ilmu Alam”
Simulasi perburuan kecil: mereka diberi petunjuk, harus menemukan sebuah benda tersembunyi di taman pelatihan.
Jasana berhasil menggunakan intuisi dan sedikit energi khodamnya untuk melacak jejak aura.Darsa menaruh jebakan jebakan... yang malah mengenai dirinya sendiri.
Darsa: (terikat tali dari atas)“Wahai leluhur… ini jebakan buatan siapa barusan?”
Bagas: (makan pisang sambil duduk santai)“Kayaknya kamu sendiri yang pasang, Sa.”
HARI KEENAM – “Refleksi dan Meditasi Artefak”
Kembali ke aula utama, mereka duduk di hadapan artefak kuno yang menyimpan riwayat pertempuran agung masa lalu. Lodra mengajak mereka merenungkan makna sejarah dan kekuatan warisan.
Lodra:
“Kalian adalah generasi baru. Tapi kekuatan kalian akan sia-sia jika lupa siapa yang membangun dunia ini sebelum kalian.”
Jasana memandangi sebilah belati tua berukir, matanya berkilat. Mungkin... ada sesuatu yang dikenalnya.
Darsa justru membayangkan artefak itu sebagai... sendok nasi raksasa.Bagas mencoba mencium artefak, tapi malah bersin lagi.
“Batu tua dan debu... gabungan paling maut.”
EPILOG MINGGU KEDUA
Sore hari di halaman markas, Jasana, Darsa, dan Bagas duduk bersila menatap langit jingga.Lodra Wahana berdiri di belakang mereka, bersandar pada tongkat besinya.
“Kalian belum sempurna. Tapi kalian mendengar lebih baik sekarang... Tanah mulai menyapa kalian.”
Raksadana yang muncul dari kejauhan hanya menyeringai.
“Jangan senang dulu. Minggu depan... kita kembali ke neraka.”
Darsa:“Saya mulai rindu dihukum tidur siang…”
HARI KE-7 (HARI BEBAS SETELAH 2 MINGGU LATIHAN)
Kota Tirabwana, pagi menjelang siang – suasana pasar dan pertokoan yang ramai
Setelah dua minggu penuh berkeringat, dihantam latihan fisik, tenaga dalam, dan ilmu-ilmu pengetahuan kuno, akhirnya hari itu datang… hari bebas. Jasana, Darsa, dan Bagas, yang kini mulai terbiasa dengan rutinitas ketat latihan, menyambut hari ini dengan semangat dan dompet yang sedikit tebal—upah mingguan dari guild yang lumayan cukup untuk membeli beberapa perlengkapan petualangan.
TOKO SENJATA "SEMARANGKARA"
Toko yang menjual senjata lokal berkualitas. Rak-rak berisi pedang, belati, dan tongkat dari berbagai daerah
Bagas (menatap pedang rapi di rak):
"Ini, ini! Ini pedang keren banget, kilapnya kayak kulit ayam goreng pas hari besar."
Jasana (memilih pedang ringan bersarung kulit hitam):
"Aku cari yang seimbang… bukan cuma tajam. Harus bisa kugunakan bersamaan dengan khodamku kelak."
Darsa (mengambil belati pendek bermata dua):
"Hmm… yang ini cocok untuk gerakan cepat. Tapi... khodamku masih belum bisa diajak kompromi."
Bagas:
"Yaelah... khodam, khodam. Aku aja belum dapet petunjuk mau bangkitin khodam apaan. Jangan-jangan khodamku lagi nunggu liburan..."
TOKO PAKAIAN PETUALANG "PUSPA LELANA"
Mereka masuk, terdengar suara ramai. Tiba-tiba...
Nandika: (membalik badan sambil memegang setelan lapangan cokelat gelap)
"Eh! Kalian di sini juga?"
Pratiwi: (tersenyum sambil menyesuaikan syal petualang)
"Lama-lama kita jadi sering ketemu di tempat nggak terduga ya."
Jasana:
"Habis latihan seminggu, hari ini kami kabur cari udara segar."
Darsa:"Cari udara segar sambil nyari baju ganteng buat ngegas musuh, hehe."
Bagas:(berdiri di belakang mereka, melirik dua pasang yang mulai jalan berdua)
"Wah... wah... udah mulai kebentuk nih, pasukan berdua-duaan. Satu Nandika satu Jasana... satunya Pratiwi, satunya Darsa... terus Aku? Aku sama... kasir deh?"
Nandika: (tertawa kecil)
"Tenang, Bagas. Nanti kita beliin kamu boneka raksasa buat temen ngobrol."
Pratiwi:"Atau kamu pelihara tas belanja, siapa tahu bisa jadi khodam."
Bagas:"Tas belanja Aku aja takut liat isi dompet."
TAMAN KOTA & MAKAN MALAM
Matahari mulai turun. Mereka berlima duduk santai di taman kota, lalu melanjutkan makan malam di warung lesehan terkenal
"Waroeng Purnama"
Jasana:"Dengar-dengar… latihan ini bukan cuma buat penguatan pribadi. Tapi kita disiapkan buat misi besar."
Nandika: (mengangguk serius)
"Benar. Aku dapat briefing dari kapten Lodra. Ada kemungkinan misi gabungan semua divisi."
Pratiwi:
"Kabar terbaru... kelompok Bayawira mulai bergerak di daerah perbatasan hutan arah barat daya. Sejak peristiwa di Suralaya, mereka makin brutal."
Darsa:
"Bayawira ya... kelompok pengacau yang kabarnya dulunya bekas pasukan kerajaan yang membelot. Kita harus siap."
Bagas:
"Nah, ini nih yang bikin deg-degan. Tapi ya, seenggaknya kita udah makan kenyang duluan sebelum deg-degan."
PENUTUP – PAMIT MALAM
Di depan jalan masuk markas Guild Bayu Geni. Nandika dan Pratiwi berdiri di persimpangan menuju asrama wanita.
Nandika: (tersenyum pada Jasana)
"Latihannya semoga makin lancar ya. Nanti kalau ada hari bebas lagi, ajak jalan-jalan yang seru."
Pratiwi: (melihat ke arah Darsa, mengangkat alis main-main)
"Dan jangan kebanyakan tidur pas meditasi, ya, Darsa."
Darsa:"Heh, itu metode meditasi baru. Namanya meditidur."
Bagas: (melambai heboh)
"Selamat malam wahai gadis-gadis tangguh! Jangan lupa kirim salam buat kasur di asrama, bilang Bagas udah kangen berat!"
Mereka tertawa. Jasana, Darsa, dan Bagas pun berjalan pulang ke asrama laki-laki, kaki lelah tapi hati ringan.
Malam itu, tak ada latihan. Tak ada khodam membara. Hanya sahabat, tawa, dan persiapan kecil menuju badai yang perlahan mendekat.
Setelah dua minggu ditempa oleh kekuatan raga dan pemahaman tentang alam, kini giliran ranah tak kasatmata menguji jiwa mereka. Minggu ketiga adalah ujian mental, spiritual, dan emosi.
Dipimpin langsung oleh Kapten Mahadewa Rakunti, lelaki tinggi dengan rambut putih panjang menyibak jubah hitam bersulam merah darah, latihan kali ini bukan sekadar fisik—ini perjalanan menembus batas nalar. Seorang ahli santet dan penyihir dualitas, dia dikenal mampu memanggil khodam dari bayangan luka jiwa seseorang.
Raksadana (berdiri di sisi aula, mengamati serius):
“Kalian akan belajar tak hanya menguasai, tapi mendamaikan jiwa kalian. Khodam tidak bisa diperintah. Ia harus dipahami… atau kalian akan binasa olehnya.”
MONTASE HARI 1–5
(Gaya montase visual dramatis, gelap, kadang diselingi sihir yang menyilaukan)
HARI 1: MEMBUKA GERBANG SPIRITUAL
Jasana duduk bersila, mata terpejam. Di belakangnya, bayangan Ardhana, pria tua berjanggut putih, berdiri tenang. Angin berputar saat Jasana memindahkan khodamnya ke senjata baru—sebuah keris kecil bersarung hitam—tanpa perlu kontak fisik.
Bagas duduk dengan mata terpejam tapi sesekali mengintip, frustrasi. Keringat bercucuran di dahinya. Tangannya mencoba memegang sarung tangan baja miliknya, berharap ada reaksi… tapi nihil.
Darsa berdiri di tengah ruangan ritual. Di hadapannya, pedang pendek berwarna abu legam bergetar—“Sahya”, begitu nama pedang itu. Seolah menolak disentuh, memancarkan aura panas keunguan gelap.
Mahadewa Rakunti (berkata kepada Raksadana):
"Jiwa anak itu… menyimpan api yang belum dia akui. Khodamnya belum muncul karena luka itu belum dibuka."
HARI 2–3: MELAWAN BAYANGAN DIRI SENDIRI
Darsa diperlihatkan ilusi oleh Rakunti—memori masa lalu yang dia benci. Dia berteriak, marah, menolak, lalu pedangnya meledakkan energi ungu, membentuk bayangan besar menyerupai sosok dirinya dengan wajah bengis.
Jasana kini mulai belajar sihir ringan, seperti mengikat angin di tangan, dan menanam mantra ke dalam senjatanya. Ia bisa memanggil Ardhana tanpa perlu ritual panjang—cukup getaran niat.
Bagas menatap cermin gaib. Dalam cermin, hanya ada bayangan dirinya sendiri… yang menertawakan. Dia menggeram—belum menyerah, tapi belum juga bangkit.
Darsa (menggenggam pedangnya, wajah basah oleh peluh):
“Aku bukan bayangan itu… Aku bukan luka itu!”
HARI 4: PERTARUNGAN BERSAMA KHODAM
Darsa akhirnya masuk ke tahap penggabungan. Ritual dijalankan di bawah bulan purnama. Energi spiritual membentuk pusaran saat pedangnya “Sahya” memanggil khodam yang selama ini tersembunyi:
Nama Khodam: AswanggaWujud: Kucing hitam keunguan, bermata tajam, tubuh ramping, gerakan secepat kilat—seperti siluman.Ia muncul dari pedang, mendesis, lalu mengitari Darsa seperti kabut.
Adegan klimaks ketika Darsa jatuh berlutut, tubuhnya bergetar, dan aura ungu menelan ruangan. Tapi dia berhasil berdamai—mengendalikan—mengakui sumber kebencian dalam dirinya.
Aswangga (berbicara lewat suara dalam kepala):
“Kau telah menatap luka itu… Maka aku kini akan menjadi kekuatanmu.”
HARI 5: KETENANGAN SETELAH BATIN TERBAKAR
Jasana kini sudah mampu mengontrol perpindahan khodam ke berbagai senjata dan menggunakan mantra pelumpuh dari Ardhana.
Bagas mulai merasakan getaran halus di sarung tangannya—tanda bahwa ada sesuatu yang mencoba bangkit. Dia tersenyum sedikit.
Darsa berdiri di depan para mentor. Di belakangnya, Aswangga melangkah perlahan, menjaga punggungnya seperti bayangan hidup. Aura Darsa kini berubah: tidak lagi penuh kemarahan, tapi kekuatan yang dingin, terkontrol.
Mahadewa Rakunti:
“Kini kau tak lagi diperbudak kebencian. Kau adalah tuannya.”
Raksadana (menepuk pundak Darsa):
“Minggu ini… kau lah yang paling bertumbuh.”
Hari kelima berakhir, Mereka kembali ke asrama. Jasana duduk di jendela, menatap langit. Bagas masih membaca mantra sambil menguap, dan Darsa membersihkan pedang “Sahya” dengan kain hitam, sambil tersenyum kecil pada bayangan kucing ungu yang bersembunyi di sudut ruangan.
Latihan ghaib tak pernah mudah… karena medan perang terbesar bukan di luar—tapi di dalam diri sendiri.
HARI KEENAM LATIHAN GHAIB
Lokasi: Pelataran Terbuka Guild Bayu Geni, menjelang sore, langit memerah, angin berembus membawa aroma dupa dan rumput liar. Arena berbentuk lingkaran batu alami, dibatasi garis mantra sihir di sekelilingnya.
Hari keenam bukan lagi sekadar latihan, tetapi ujian kekuatan yang sebenarnya. Sebuah latihan pertarungan spiritual—dimana tubuh hanya wadah, dan jiwa jadi tombak perang.
Mahadewa Rakunti dan Kapten Raksadana, dua tokoh Kapten dari Guild Bayu Geni, turun langsung ke arena. Di seberangnya, dua murid muda pilihan: Jasana Mandira dan Darsa Nagawikrama.
Di pinggiran arena, para staff dan beberapa Anggota Guild Senior Bayu Geni lainnya menyaksikan. Di antara mereka, Bagas Prayoga, duduk dengan kaki bersilang dan mulut menganga.
Bagas (berkomentar sambil mengunyah cemilan kacang tanah):
“Wah, ini sih bukan latihan. Ini pentas wayang ghaib! Ada burung, kucing, kelelawar, tinggal nunggu harimau muncul, lengkap!”
PANDANGAN FOKUS PADA JASANA
Jasana berdiri tenang, memegang keris baru pemberian Mahadewa. Ukirannya tua, berpola naga melingkar. Ia menutup mata, dan dari senjata itu, muncul Ardhana, khodamnya—berwujud pria tua berjanggut putih, mengenakan jubah putih menyala seperti cahaya bulan.
Ardhana (dengan suara berat, bijak):
“Jasana, ingat. Kekuasaan bukan pada amarah, tapi pada ketenangan yang melumpuhkan.”
Keris ini diberi nama "Parangjati", dan kini memperkuat kemampuan spiritual Jasana hingga ia dapat menyalurkan energi pelumpuh melalui tatapan dan gerakan ringan.
PANDANGAN BERGESER KE DARSA
Darsa memutar pedang pendek miliknya, "Sahya", yang kini tidak lagi menolak genggamannya. Dalam sekejap, aura keunguan menyebar dan membentuk siluet Aswangga—kucing hitam siluman dengan sorot mata tajam, cakarnya bersinar lembayung.
Aswangga melesat mengelilingi Darsa seakan menanti perintah. Ia tampak luwes—tenang, namun berbahaya.
MAHADEWA RAKUNTI MELANGKAH MAJU
Ia menancapkan tongkat sihirnya ke tanah, tongkat besar hitam kehijauan berujung tengkorak kepala kelelawar. Tongkat ini bernama "Kalaweda", senjata pemberian guru mistiknya. Dari ujung tongkat, muncullah suara mendesis—kemudian, dari udara malam yang meremang, muncul segelintir bayangan: "Bayungkara", khodam segerombolan kelelawar berkilau ungu gelap, melayang-layang membentuk formasi.
RAKSADANA MENDEGAP PEDANG BESARNYA
Pedang panjang yang ia sandang, "Jatiwisesa", terukir dari logam merah tua—senjata legendaris yang telah digunakan dalam banyak peperangan. Ketika ditarik dan dihentakkan ke tanah, semburan api berputar, lalu muncullah seekor Phoenix suci—khodamnya yang bernama "Garundhala".
Burung api bersayap lebar itu mengepakkan sayap, membuat debu terangkat, melambangkan semangat dan kehormatan.
FORMASI PERTARUNGAN
Dua pihak berdiri di sisi berlawanan. Jasana di kiri, Darsa di kanan. Di seberang, Mahadewa dan Raksadana berdiri gagah.
Mahadewa (tersenyum tajam):
“Kami takkan menahan. Ini bukan tentang menang atau kalah. Tapi apakah kalian bisa melindungi tekad kalian.”
Raksadana (membuka mantel tempurnya):
“Siapkan khodam kalian. Mari bertarung… sebagai pewaris Bayu Geni!”
ADEGAN PERTEMPURAN DIMULAI
Montase Kilat:
Ardhana menyebarkan gelombang pelumpuh, membuat gerakan Bayungkara melambat.
Aswangga berlari cepat di antara kelelawar, mencakar satu per satu dengan akrobatik ninja.
Garundhala menukik dengan api, dikejar oleh Ardhana yang memindahkan dirinya ke keris dan ke tanah.
Mahadewa merapal mantra, tongkatnya mengeluarkan kilatan ungu yang mengacaukan arah Aswangga.
Darsa mengendalikan Aswangga dengan gerakan halus—tarian pedang pendek.
Jasana bertahan dengan gaya meditasi dinamis—semakin tenang, semakin kuat efek pelumpuhnya.
BAGAS DAN PARA PENONTON
Bagas (membungkuk kagum):“Ya Gusti... Ini duel final Festival Khodam Mandalagiri atau gimana?!”
Staff 1:“Luar biasa... mereka berkembang begitu cepat"
Sebuah benturan besar antara Garundhala dan Aswangga di udara, diselingi cahaya dan api. Ardhana menyatukan energi pelumpuhnya, dan Bayungkara berputar dalam formasi serangan terakhir.
Adegan berakhir dengan semua khodam saling menatap di udara, beku dalam ketegangan.
Pelataran terbuka Guild Bayu Geni. Cahaya senja kini digantikan lampu-lampu obor. Aura magis masih menyelimuti arena setelah pertarungan berat.
PERTARUNGAN MEMUNCAK
Angin kencang berputar—Bayungkara (kelelawar Mahadewa) menyerbu dari atas, membuat Aswangga (kucing khodam Darsa) melesat zig-zag menepis serangan.
Di saat bersamaan, Ardhana (khodam Jasana) menghentakkan tongkat spiritualnya melalui tubuh keris Parangjati, menciptakan gelombang pelumpuh ke arah Garundhala, si Phoenix milik Raksadana.
Namun Raksadana menebas angin dengan Jatiwisesa, memanggil nyala api yang meledak di depan Jasana dan Darsa.
Raksadana (dengan teriakan keras seperti guntur):
“Hormat pada yang lebih dulu membakar dunia!”
Ledakan ghaib terjadi—suara petir dan siulan angin bercampur, cahaya ungu dan merah saling membentur. Dalam hitungan detik, tubuh Jasana dan Darsa terpental ke belakang—mereka terlempar sejauh tiga langkah dari tengah arena.
Darsa tersungkur, bahunya berasap ringan, namun ia bangkit sambil terkekeh.
Darsa (terengah, menahan sakit tapi tersenyum):
“Sial… kita hampir bisa bikin Mahadewa itu tersandung jubahnya…”
Jasana bangkit perlahan, wajahnya berdebu, rambut acak-acakan, namun matanya bersinar.
Jasana (tersenyum kepada Darsa):“Tapi kita berhasil memaksa Raksadana mengeluarkan jurus api besar itu... itu lebih dari cukup untuk hari ini.”
PENONTON BERSORAK
Bagas melompat berdiri sambil bertepuk tangan keras.
“WOOY!! Itu tadi kaya duel antara pendeta vs ninja dan dua pendekar yang baru bangun tidur!”
Suara tawa riuh muncul dari para staff dan Penonton lainnya yang menyaksikan.
Di sisi arena, Nandika dan Pratiwi berdiri bersebelahan.
Nandika (dengan kagum):
“Aku tak pernah lihat Jasana bisa sekokoh itu. Kombinasinya dengan Darsa… nyaris sempurna.”
Pratiwi (tersenyum kecil):
“Dan Darsa… dia akhirnya bisa menatap semua orang tanpa bayang-bayang dendam. Mereka tumbuh…”
Mahadewa Rakunti dan Raksadana melangkah ke arah dua murid muda itu.
Mahadewa Rakunti (dengan suara berat namun hangat):
“Kalian kalah… tapi kalian membuat kami bertarung sungguhan.”
Raksadana (menepuk bahu Darsa):
“Lanjutkan. Hanya mereka yang mampu menantang gurunya yang layak menjadi legenda.”
Ardhana berdiri di belakang Jasana, dan Aswangga mengeong pelan, lalu memudar kembali ke dalam Parangjati dan Sahya.
Tepuk tangan bergema dari segala penjuru arena.
Jasana dan Darsa berdiri berdampingan, menatap langit malam yang mulai bertabur bintang.Wajah mereka penuh debu… tapi mata mereka penuh cahaya.
“Hari keenam bukan hari kemenangan. Tapi hari di mana luka menjadi pelajaran, dan jiwa mulai ditempa menjadi legenda.”