Bab 9 - Misi tingkat Nasional "Memburu Bayawira"

Kegelapan dari Timur

Di bawah kelamnya malam tanpa bintang, wilayah paling timur dari hutan Gantarawati membungkam dalam bisikan angin dan desir dedaunan. Tempat itu jauh dari pemukiman, terpencil dan hampir dilupakan dari peta resmi kerajaan Mandalagiri—wilayah yang tampaknya sengaja dibiarkan kosong… kecuali oleh mereka yang kini menguasainya.

Di balik rimbunnya pepohonan dan semak belukar, muncullah barak-barak kasar yang berdiri menggunakan tenda-tenda dari kulit binatang dan terpal gelap. Cahaya dari api unggun menari-nari liar, menciptakan bayangan menyeramkan yang menyelimuti area itu. Di setiap sudut, berkibar bendera hitam-merah darah—lambang kelompok Bayawira, bergambar ular melingkar menggigit ekornya sendiri, tanda siklus kehancuran dan kelahiran baru dalam kekacauan.

Dan di tengah keramaian itu, sosok Kapten Keempat Bayawira berdiri tegak di atas batu besar yang tampaknya dijadikan tempat mengawasi pasukan. Namanya tertulis jelas di papan kayu runcing di depan tenda utamanya:Prayogi MahadipaKapten Timur Bayawira.

Tubuhnya diliputi aura gelap yang pekat, seperti kabut malam yang enggan tersibak. Di pinggangnya tergantung sebilah keris hitam pusaka, lekukannya meliuk menyerupai lidah setan, dan dari senjata itulah aura kelam itu tampaknya berasal. Konon, keris itu hanya bisa disentuh oleh tangan yang pernah mengkhianati sumpah suci.

"Wilayah Timur dan Tenggara adalah wilayah kerjaku," gumamnya pelan, namun suaranya seperti menggema di dalam dada para anggota Bayawira yang mendengar. "Dan yang mengganggu Pekerjaan ku di Wilayah ini mereka akan Menyesal."

Di sekeliling barak, para anggota Bayawira sedang bercengkrama santai. Api unggun menyala di tengah-tengah perkemahan, diiringi alunan musik dari seruling bambu yang dimainkan dengan nada-nada sumbang, entah lagu atau mantera tersembunyi. Gelak tawa meledak dari meja kayu kasar tempat tuak mengalir bebas. Bau alkohol dan darah lama bercampur dalam udara malam itu.

Seragam mereka seragam: baju hitam-merah dengan lambang ular menyembul di dada. Mayoritas adalah pria muda seumuran Jasana, keras wajahnya, liar matanya, namun matanya menyimpan luka dan dendam yang dalam. Beberapa lelaki paruh baya—yang wajahnya seperti sisa-sisa sejarah yang dibuang oleh kerajaan—duduk termenung, mengenang masa silam atau menunggu perintah baru. Namun bukan hanya pria, di antara mereka juga terdapat pendekar wanita—berparas tegas, matanya menyala dengan tekad. Mereka tak kalah ganas, bahkan beberapa di antaranya dipercaya sebagai pemimpin regu kecil.

"Kapten Prayogi," salah satu dari mereka mendekat, menunduk hormat. "Patroli tenggara kembali. Tidak ada tanda-tanda gerakan dari Guild Bayu Geni… namun ada suara-suara dari celah gunung sebelah barat."

Prayogi menyeringai. Senyumnya dingin, seperti ular yang baru melingkari mangsanya.“Barat, ya… Itu bukan wilayahku,” katanya. “Biarkan Kapten Pertama yang mengurusi barat… kalau dia masih hidup.”

Ucapan itu membuat beberapa anggota tertawa, namun sebagian lagi diam. Sebab mereka tahu—para Kapten Bayawira tidak saling bertemu, namun masing-masing memegang arah mata angin. Kapten Pertama di Barat, Kapten Kedua di Utara, Kapten Ketiga di Selatan… dan Kapten Keempat, Prayogi Mahadipa, adalah Penguasa Timur.

Namun tak seorang pun tahu pasti siapa ketiga kapten lainnya… hanya bisik-bisik, bahwa mereka tak kalah mengerikannya dari sang pengkhianat bersenjata keris hitam ini.

Dan malam pun kembali pekat, menyimpan rencana gelap di balik nyala api yang menari-nari dalam mata ular Bayawira.

Persekongkolan Dalam Gelap

Tenda utama Kapten Prayogi Mahadipa berdiri megah di tengah-tengah barak, berbeda dari tenda lainnya. Dindingnya terbuat dari kulit kijang hitam dan kain tebal berwarna merah darah. Di dalamnya, bau dupa pekat dan aroma logam tua memenuhi udara. Cahaya temaram dari pelita berwarna jingga menari di permukaan lantai kayu, menciptakan bayangan bergoyang seakan ada makhluk lain turut menyaksikan pertemuan itu.

Di tengah ruangan, Kapten Prayogi Mahadipa duduk santai di kursi kayu berukir ular berkepala dua, tubuhnya diselubungi aura hitam yang tak pernah benar-benar padam. Di pangkuannya, seorang pelayan wanita berparas cantik dan mengenakan pakaian minim khas penari kerajaan duduk manja, tangannya membelai lembut dada sang Kapten, sesekali membisikkan kata-kata genit yang diabaikan begitu saja oleh Prayogi. Tatapan sang kapten tertuju lurus pada meja bundar di hadapannya.

Dua pria duduk di sisi kanan dan kiri meja.

Wakil Pertama, Galang Wrahatama, bertubuh kekar dengan tato api hitam menjalar dari dada hingga ke kedua lengannya, duduk sambil menggenggam hulu golok panjangnya. Matanya tajam, tak pernah tertawa. Tato di tubuhnya dikatakan sebagai segel sumpah kepada kekuatan dari dunia lain.

Wakil Kedua, Sanjaya Reksamurti, bertubuh lebih ramping, mengenakan penutup kepala kain merah yang menutupi sebagian wajahnya. Suaranya halus, licin seperti pedagang pasar, namun pandangannya menusuk seperti ular berbisa. Ia dikenal sebagai ahli strategi dan peracik rencana infiltrasi.

Di ujung meja berdiri seorang pria lain—kurus, berjubah abu-abu gelap, wajahnya setengah tertutup tudung. Dialah mata-mata Bayawira untuk wilayah Timur hingga Tenggara. Ia dikenal hanya dengan nama panggilannya: "Bayang Hitam".

“Laporan terakhir dari desa Sangkanjati,” bisik si mata-mata, menyerahkan gulungan bambu kepada Sanjaya. “Tiga malam lalu, muncul gelombang panas dari dasar danau kecil di sana. Warga sekitar melaporkan mimpi buruk berulang-ulang... sebagian besar melihat wajah nenek tua tanpa mata yang menyanyi dari bawah tanah.”

Sanjaya membuka gulungan dan membaca cepat.“Fenomena roh purba,” ujarnya datar. “Potensi cukup besar… tapi belum stabil.”

Galang mengangguk. “Lalu ada apa di Desa Kalapanunggal? Bukankah dulu para rahib kerajaan pernah menyegel sesuatu di sana?”

“Betul,” jawab Bayang Hitam. “Hutan kecil di pinggir desa itu disebut Wana Kalawisesa. Konon ada Batu Napas Langit, tempat dahulu roh-roh penjaga dikurung oleh Mpu dari masa tua Mandalagiri.”

Prayogi tertawa kecil, suara seraknya seperti logam tua diseret tanah. “Sepertinya… malam ini kita harus memilih.”

Ia menyentuh pipi pelayan wanita di pangkuannya, menggeser rambutnya ke belakang telinga, lalu berdiri perlahan. Tatapannya menyapu seluruh ruangan.

“Tempat mana yang akan jadi lahan pembuktian selanjutnya? Seperti di Suralaya… yang kini berubah menjadi sarang hening, penuh roh liar dan tanah tak subur.”

Galang menunjuk peta di atas meja.

“Aku pilih Kalapanunggal. Jika Batu Napas Langit masih ada… kita bisa tarik lebih dari satu roh. Bisa jadi dua, bahkan tiga. Ritual akan lebih kuat.”

Sanjaya mengangguk pelan. “Kalapanunggal juga tak punya pertahanan besar. Cuma penjaga dusun tua dan beberapa anak muda. Tidak seperti Suralaya yang sempat dibantu pasukan terlatih… sebelum kita habisi semuanya.”

Prayogi berjalan ke arah peta, jemarinya menyentuh wilayah bertanda merah di utara Kalapanunggal.

“Kalau begitu, siapkan pasukan elit. Bawa lima orang penarik roh, dua pendeta gelap, dan beberapa alat ritual. Tiga malam dari sekarang… kita mulai. Pastikan semua warga desa sudah dalam keadaan lemah sebelum malam upacara. Racuni air mereka jika perlu.”

Bayang Hitam membungkuk dalam-dalam. “Akan kulaksanakan, Kapten.”

Kapten Prayogi Mahadipa lalu memandang ke arah luar tenda, ke gelap hutan yang diam membisu.“Kita bukan hanya akan mengumpulkan roh… kita akan mengumpulkan takdir baru. Dan kali ini, Bayawira Timur akan menguasai wilayah timur dan tenggara sebelum kerajaan menyadarinya.

Pelayan wanita tersenyum tipis di balik pundaknya, dan dari luar terdengar bunyi gong kecil—pertanda pertemuan usai.

Menuju Kalapanunggal

Jari Prayogi Mahadipa berhenti tepat di titik kecil di ujung peta, di antara garis-garis hutan dan lekukan sungai kecil.

Kalapanunggal,” gumamnya dengan nada rendah. “Tanah tua yang nyaris dilupakan kerajaan. Waktu yang tepat untuk menghidupkannya kembali… dengan kematian.”

Ia menoleh ke Galang dan Sanjaya.“Siapkan dua regu utama. Regu pertama akan bergerak menyusup melalui hutan utara dan membuat barak bayangan dekat perbukitan. Regu kedua menyamar sebagai pedagang dan pengelana untuk masuk dari arah selatan. Aku sendiri akan memimpin saat ritual dimulai.”

Galang Wrahatama berdiri, tangannya mengepal penuh semangat.“Beri aku regu tempur dan lima dari anak-anak muda baru. Mereka butuh ujian pertama.”Ia menoleh ke arah pintu tenda. “Dan si Randi, pendekar busur pendek, akan berguna dalam wilayah sempit itu.”

Sanjaya mengangguk sambil menggulung kembali peta.“Aku akan mengurus dokumen palsu dan karavan. Kita akan kirim dua gerobak berisi perbekalan, beberapa bahan untuk ritual disamarkan sebagai rempah dan arang. Pelayan-pelayan wanita juga ikut serta. Warga Kalapanunggal akan menyambut dengan hangat.”

Prayogi tertawa pendek. “Hangat adalah awal dari terbakar.”Ia melangkah ke sisi ruangan, menarik peti kayu panjang dan membuka isinya perlahan. Di dalamnya, sebuah keris hitam legam berhiaskan ukiran ular melingkar yang tampak hidup. Saat keris itu disentuh, udara dalam tenda seketika mengeras, suhu turun beberapa derajat.

Pelayan wanita yang sebelumnya duduk di pangkuan kapten spontan mundur beberapa langkah, tubuhnya menggigil. Keris itu seolah hidup, menyerap cahaya di sekitarnya.

“Inilah yang akan jadi kunci pembuka segel di Kalapanunggal,” ujar Prayogi dengan suara lirih. “Roh-roh penjaga Batu Napas Langit akan menjerit… lalu tunduk.”

Dari luar tenda, genderang kecil mulai ditabuh—pertanda kesiapan pasukan. Para prajurit Bayawira segera bersiap, memeriksa senjata, membawa kantung jimat hitam, gulungan kain mantra, dan perbekalan. Kuda-kuda dipersiapkan, wajah-wajah penuh semangat namun haus kekacauan tampak di antara mereka.

Di sudut barak, beberapa anggota muda Bayawira dipanggil untuk menerima perintah khusus. Mata-mata juga mulai bergerak, mengirim pesan-pesan rahasia pada kontak mereka di Kalapanunggal.

Sanjaya berseru ke arah tenda medis, “Pastikan campuran dupa dan darah kambing hitam sudah tersedia! Kita tidak ingin ritual terhenti karena darah mengental!”

Sementara itu, langit malam di atas Gantarawati tampak mendung, seakan menyadari kegelapan yang akan segera bergerak.

Prayogi menghunus keris pusakanya, menatap mata pisau yang berkilat seperti menatap masa depan yang penuh maut.

“Kalapanunggal... bersiaplah menjadi gerbang neraka.”

Penjaga Senyap Kalapanunggal

Di bawah naungan kabut pagi yang tipis, desa Kalapanunggal terbangun oleh suara burung-burung hutan yang bersahutan dari pucuk-pucuk pohon pinaga tua. Terletak di balik tiga bukit dan satu sungai kecil, desa ini seolah tersembunyi dari dunia luar. Warga menyebut tempat ini Tanah Napas Langit, karena konon di dekat hutan kecil di pinggiran desa tersimpan batu spiritual tua yang dipercaya sebagai penyeimbang aura bumi dan langit di wilayah itu.

Di antara ladang-ladang yang berkabut, suara logam beradu terdengar dari pelataran barat desa. Seorang pemuda sedang berlatih sendirian di antara tiang-tiang bambu. Ia bergerak cepat, tubuhnya ringan namun penuh arah. Di kedua tangannya tergenggam dua belati pendek—sepasang senjata khas yang selalu menemaninya.

Namanya: Arya Dirgantara.

Pendekar muda bertubuh ramping namun kuat, dengan sorot mata cerah dan senyum yang tak pernah jauh dari wajahnya. Meski usianya masih dua puluh, namanya dikenal sebagai “Penjaga Senyap Kalapanunggal”, karena kerap membantu warga desa dari gangguan bandit dan binatang buas tanpa meminta imbalan.

Di dalam kedua belatinya yang dinamai Sundala dan Santika, tersembunyi Khodam Putih—roh terang yang lahir dari niat tulus Arya untuk melindungi, bukan melukai. Kedua khodam itu menyatu dalam belati saat ia masih kecil, setelah ia menolong seorang nenek yang hampir tenggelam di sungai, meski ia sendiri tak bisa berenang.

“Kebaikan yang tak berpikir dua kali, akan selalu menemukan jalan pulang ke dalam kekuatan,” begitu kata tetua desa waktu itu.

Pagi itu, Kepala Desa Kalapanunggal, seorang tua bersorban putih bernama Ki Sadyana, menghampiri Arya yang baru saja selesai berlatih.

“Arya,” ucapnya pelan, “Beberapa Minggu lalu aku mendapat kabar dari kota Tirabwana. Kapten Raksadana dari Guild Bayu Geni kembali menanyakanmu... mengapa kau terus menolak bergabung dengan mereka?”

Arya hanya tersenyum kecil, mengelap keringat dengan kain di bahunya.

“Karena aku bukan bagian dari strategi dan kekuasaan, Ki. Aku tak ingin nama dan tujuanku dikendalikan siapa pun. Aku lahir di tanah ini, dan di sini aku berdiri. Menjadi bagian dari desa ini... cukup.”

Ki Sadyana mengangguk, tapi tatapannya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.

“Ada kabut gelap yang mulai turun dari timur. Para pendeta tua di perbukitan mulai gelisah. Batu Napas Langit... mulai bergetar lagi. Kita harus bersiap, Arya. Mungkin waktunya sudah dekat.”

Di malam hari, Arya duduk sendirian di tepi tebing Kalapanunggal yang menghadap ke hutan lebat. Angin malam membelai wajahnya, dan kedua belati di pinggangnya seolah berdenyut lembut.

Tiba-tiba, kedua belati itu memancarkan cahaya putih samar.

Sebuah suara lembut menyapa dari dalam dirinya:

“Arya... mereka datang. Kegelapan yang pernah tertidur... kini membuka mata. Kami bersamamu.”

Arya menggenggam kedua belati itu erat.

“Kalapanunggal bukan milik mereka. Selama aku masih berdiri, tak akan kubiarkan roh-roh tanah ini dijadikan alat ritual sesat.”

Dari balik pepohonan jauh di timur, mata-mata Bayawira mulai mengamati desa.

Bayangan kelam pun perlahan mengarah ke Kalapanunggal...

Minggu ke-4 Minggu Terakhir Jasana, Darsa dan Bagas Menjalani Latihan Anggota Baru yang terpilih untuk Misi Gabungan Memburu Bayawira

Hari ke-1 s.d. ke-3 | Markas Guild Bayu Geni – Area Latihan Rahasia Divisi Bayang-Bayang Geni 

[Hari Pertama]Di tengah gelapnya lorong bawah tanah yang hanya disinari obor, tiga sosok berpakaian hitam pekat merayap menyusuri dinding. Mereka adalah Jasana, Darsa, dan Bagas, mengenakan seragam pelatihan spionase.

“Jangan injak daun keringnya,” bisik Darsa, matanya tajam menatap perangkap tali di depan. Ia menjentikkan jarum ke arah pelatuk jebakan, dan jebakan itu aktif—sebuah patung kayu meluncur cepat menebas udara kosong.

Jasana mengangguk kagum.

Sementara itu di belakang...

KRAAAK!

Suara keras terdengar—Bagas terpeleset karena terlalu antusias menyelinap dengan gerakan berguling.

“Aduh lututku! Eh, tadi gaya jatuhku keren gak?” katanya sambil tergelak, meski tubuhnya setengah nyungsep ke semak latihan.

Dari balik bayang-bayang, terdengar helaan napas panjang.Kapten Kalandra Wisanggeni, pria bertubuh ramping bersurai abu-abu panjang, memijit pelipis.

“Bagas... kau bukan sedang main drama silat keliling. Ini pelatihan mata-mata, bukan pertunjukan wayang!”

Bagas hanya nyengir.“Maaf Kapten, aku cuma... terlalu menyatu dengan lingkungan.”

[Hari Kedua]

Jasana dan Darsa menyusup ke menara kayu simulasi. Mereka dilatih menyusup, mencuri dokumen tanpa ketahuan, dan melumpuhkan target dengan senyap.

Darsa menjatuhkan penjaga latihan dengan sapuan cepat dan mengikatnya tanpa suara.Jasana, sedikit lebih lambat, menahan napasnya saat berhasil mencuri gulungan dari dalam lemari kayu.

Namun ketika mereka hendak mundur...

CRASH!Pintu roboh karena Bagas mencoba masuk lewat jendela kecil... dan tersangkut.

“Aku kejebak! Eh, bisa tolongin dulu ini kaki—”

Hening itu emas!” bentak Kalandra.

[Hari Ketiga]

Di pelataran batu, mereka dilatih membunuh dalam diam menggunakan berbagai senjata rahasia. Lemparan senjata, senjata jarum, pisau tipis, dan teknik menyergap dari bayangan.

Darsa adalah bintang pelatihan. Gerakannya cepat, lemparannya tepat sasaran, dan penyamarannya nyaris sempurna. Ia bisa berjalan di belakang target tanpa suara, menghilang dan muncul kembali dalam semak.

Jasana terus berkembang. Meskipun awalnya ragu, ia mulai mengembangkan insting membaca arah langkah musuh. Ia berhasil menciptakan teknik bertahan senyap dengan khodamnya yang mulai beresonansi saat bahaya mendekat.

Bagas?

Satu momen ia muncul dari balik semak dengan topeng kayu monyet dan membuat salah satu penjaga latihan terkencing karena kaget.

Kalandra:“APA ITU BARUSAN!?”

Bagas (bangga):“Efek ketakutan mendalam, Kapten. Salah satu strategi psychological perang!”

Jasana dan Darsa menahan tawa.

[Adegan Penutup Hari Ketiga]

Di sore hari, mereka duduk santai di bawah pohon kayu santika, menyeka keringat dan tertawa bersama.

Darsa meneguk air:“Rasanya... aku bisa paham kenapa Kapten Kalandra lebih sering ngomel akhir-akhir ini.”

Jasana tersenyum:“Kita bertiga, kontras yang sempurna. Kau diam-diam mematikan... aku setengah hati, dan Bagas...”

Bagas menyahut sambil berbaring dengan rumput di mulutnya:“Aku bumbu kehidupan, bro. Tanpa aku, pelatihan ini hambar.”

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan:

“Bagas! Kau lempar pisau tadi ke arah kandang ayam latihanku! Ayamnya trauma!!”

Bagas berteriak balik:“Kapten! Ayamnya terlalu ekspresif! Aku pikir dia mata-mata musuh!”

Tawa pun pecah.

Rapat Langit dan Api

📍 Markas Utama Guild Bayu Geni – Aula Utama Misi Tingkat Nasional

Aula megah Guild Bayu Geni disinari cahaya matahari sore yang tembus dari kaca-kaca patri bergambar lambang Api dan Angin yang menyatu. Lambang Guild menyala terang di dada semua yang hadir—satu bentuk seragam khusus berwarna hitam kelam dengan bordiran merah api dan aksen angin keperakan di lengan. Ini bukan seragam biasa. Ini adalah Seragam Misi Tingkat Nasional.

Jasana, Darsa, dan Bagas berdiri sejajar, dengan wajah serius dan penuh harap. Di belakang mereka berdiri tujuh anggota senior terpilih, tokoh-tokoh pilihan dari seluruh divisi Guild:

🛡️ Anggota Senior Guild Bayu Geni – Misi Memburu Bayawira:

Pradipa Karna

Divisi: Raka Lelana

Umur: 27 tahun

Senjata: Dwijanaga, pedang bermata dua tempa logam hitam langit dari tanah utara.

Sosok tenang, pandangannya tajam, bekas pejuang perbatasan.

Arwani Jayengsaka

Divisi: Panggrahita Aji

Umur: 28 tahun

Senjata: Teguhpanji, tameng spiritual dan gada batu angin.

Pria muda berbadan tegap, pakar latihan fisik dan spiritual.

Laras Indreswari

Divisi: Bayang-bayang Geni

Umur: 26 tahun

Senjata: Lintang Silam, dua keris melengkung bersinar hijau kebiruan.

Wanita lincah, ahli pembunuhan senyap dan penyamaran kelas tinggi.

Madyan Reksadipa

Divisi: Rasa Prawira

Umur: 30 tahun

Senjata: Kundhala Brahmi, cambuk roh petir dan segel mantra hitam.

Pria misterius bermata dalam, ahli sihir penjinak roh liar.

Wulan Tresnadewi

Divisi: Rasa Prawira

Umur: 24 tahun

Senjata: Sasih Kinayung, kipas mantra dan benang jiwa.

Wanita muda yang dikenal penuh kasih namun mematikan.

Sundra Mahendra

Divisi: Raka Lelana

Umur: 27 tahun

Senjata: Langkara, tombak bermata tiga dari logam hijau selatan.

Cepat dan tangguh, ahli navigasi dan perburuan.

Mekar Puspitawati

Divisi: Panggrahita Aji

Umur: 45 tahun

Senjata: Sabda Amreta, pedang meditasi dan batu mantra di sarungnya.

Satu-satunya wanita paruh baya, guru bela diri dan spiritualitas.

🔥 Di Depan Mereka: Para Kapten Divisi

Para Kapten Divisi berdiri sejajar mengapit Pemimpin Guild Bayu Geni, Adipati Maheswara.

Kapten Raksadana (Divisi Panggrahita Aji), pria berotot tegap bersurai perak, mengangkat suaranya membuka rapat:

“Kalian semua dipilih bukan karena keberuntungan. Misi ini bukan sekadar pengejaran, tapi penyelamatan harga diri negeri dari bayang-bayang pengkhianatan yang bergerak dalam gelap.”

Di tengah, Adipati Maheswara, 31 tahun, berwibawa dengan setelan pemimpin dan pedang Arka Wijaya di pinggangnya—pedang yang pernah didoakan oleh ibunya, Dewi Laksmiwara.

Ia melangkah maju, menatap seluruh hadirin.

“Informasi dari Panglima Agung Jayasatya melalui tim elit Batalion Trikandha dan Satgas Bayusekti menyebutkan bahwa... Kapten Bayawira Prayogi Mahadipa telah keluar dari persembunyian.”

“Ia terlihat meninggalkan Hutan Gantarawati di wilayah timur dan kini bergerak menuju Desa Kalapanunggal di tenggara Kerajaan Mandalagiri. Sebuah desa terpencil... yang konon menyimpan artefak: Batu Napas Langit.”

Kata-kata itu menggetarkan ruangan.

“Misi kalian adalah: Memburu Bayawira. Tapi bukan hanya memburu—kita ingin tahu: siapa pelindung mereka, siapa yang menyokong mereka, dan apa tujuan mereka mencuri kekuatan spiritual desa-desa suci!”

Bagas membisik ke Jasana, lirih namun jelas:

“Bayawira... nama mereka kedengaran kayak rombongan badut, padahal isinya pembunuh semua ya.”

Darsa melirik, tersenyum setengah.

“Fokus, Bagas. Ini bukan latihan lagi.”

Adipati Maheswara kembali berbicara, kini menunduk sebentar pada para Kapten:

“Kapten Raksadana dan Kalandra akan memimpin dua jalur pasukan. Tim inti berangkat esok hari lewat dua arah: darat dan bayangan. Tujuan utama: temui kontak lokal di Kalapanunggal, cari posisi Prayogi Mahadipa, dan cegah dia menyentuh Batu Napas Langit.

Lalu, suara merdu namun penuh energi dari Kapten Lodra Wahana:

“Ingat, dia mantan kapten elite. Dia bukan sekadar pengkhianat, dia adalah strategi yang hidup.”

Ruangan sunyi sesaat. Setiap jiwa merasakan beratnya misi ini.

Namun mereka tahu—ini bukan sekadar pengejaran. Ini adalah awal dari bentrokan besar antara kebenaran dan bayangan.

Suasana ruang rapat utama menghangat saat Adipati Maheswara berdiri di tengah ruangan. Aura kepemimpinan memancar dari sosoknya. Di pinggangnya tergantung Arka Wijaya, pedang warisan ibunda tercinta—Dewi Laksmiwara.

Tangannya menunjuk pada peta besar yang terbentang di atas meja batu hitam. Beberapa titik merah menyala pada area timur dan tenggara Kerajaan Mandalagiri.

“Pergerakan Kapten Bayawira Prayogi Mahadipa telah terpantau meninggalkan Hutan Gantarawati, menuju Desa Kalapanunggal, wilayah tenggara perbatasan. Mereka melewati jalur rimba sunyi dan bekas pemukiman. Strategi kita: dua arah. Jalur Darat dan jalur Bayangan.”

Semua hadirin terdiam menyimak.

“Target misi ini jelas: Pelindung mereka—kita curigai berasal dari faksi terselubung bekas prajurit kerajaan yang mengkhianat. Penyokong mereka kemungkinan besar adalah kelompok dagang gelap Samagra Geni, yang selama ini menyelundupkan artefak spiritual. Tujuan mereka… mencuri daya spiritual sakral dari tempat-tempat yang telah melewati ritual pelindung leluhur. Desa Suralaya menjadi korban pertama—dan kini menjadi desa mati."

Senyap mengental seperti kabut.

“Kita tak akan biarkan itu terulang.”

Adipati Maheswara menatap lurus ke arah para Kapten.

“Kapten Raksadana, engkau akan memimpin pasukan utama jalur darat—bertemu mereka di batas barat Kalapanunggal.”

“Kapten Kalandra Wisanggeni, kau akan memimpin pasukan jalur bayangan, menyusup dari arah timur dan utara. Lakukan penyergapan saat sinyal diberikan.”

Kedua Kapten mengangguk mantap.

🛡️ Komposisi Tim Misi Tingkat Nasional

Tim Jalur Darat – Dipimpin Kapten Raksadana

Jasana Mandira (Divisi Raka Lelana)

Senjata: Parangjati, keris pusaka pemberian Mahadewa Rakunti, bersarung ukiran batu obsidian.

Peran: Penyerang cepat dan analisis lapangan.

Bagas Prayoga (Divisi Panggrahita Aji)

Senjata: Tapak Maruta, sarung tangan besi berat bertatah angin.

Peran: Penyerbu garis depan dan pelindung tim.

Pradipa Karna (Divisi Raka Lelana)

Senjata: Dwijanaga

Peran: Komando tempur berat, pemecah formasi musuh.

Arwani Jayengsaka (Divisi Panggrahita Aji)

Senjata: Teguhpanji

Peran: Pertahanan dan kekuatan spiritual medan.

Mekar Puspitawati (Divisi Panggrahita Aji)

Senjata: Sabda Amreta

Peran: Pengendali energi mental dan medan emosional.

Tim Jalur Bayangan – Dipimpin Kapten Kalandra Wisanggeni

Darsa Nagawikrama (Divisi Bayang-bayang Geni)

Senjata: Sahya, pedang pendek cepat bergelombang.

Peran: Penjebak dan infiltrator diam-diam.

Laras Indreswari (Divisi Bayang-bayang Geni)

Senjata: Lintang Silam

Peran: Pembunuh senyap dan mata-mata utama.

Madyan Reksadipa (Divisi Rasa Prawira)

Senjata: Kundhala Brahmi

Peran: Pengendali roh dan pengusir gangguan gaib.

Wulan Tresnadewi (Divisi Rasa Prawira)

Senjata: Sasih Kinayung

Peran: Penjaring energi spiritual dan pendeteksi sihir.

Sundra Mahendra (Divisi Raka Lelana)

Senjata: Langkara

Peran: Pelacak dan eksekutor sergap cepat.

🗡️ Penutupan Rapat

Setelah pembagian selesai, Adipati Maheswara menatap satu per satu pasukan terpilih.

“Kita berangkat esok pagi, saat fajar menyentuh pucuk Gunung Mandalagraha. Gunakan malam ini untuk bersiap. Jika gagal, satu desa lagi akan menjadi abu roh.”

Ia mengepalkan tangan dan menyuarakan pekikan keras:

“Bayu Geni... SATU JIWA!”

Serempak ruangan bergemuruh oleh yel-yel keras, tangan mengepal ke dada:

“SATU JIWA!!”

Tepuk tangan bergemuruh, bukan sebagai penghormatan… tapi sebagai ikrar.

Misi telah ditetapkan. Bayawira takkan semudah itu menghilang dalam bayangan.

Malam Sebelum Langkah Berpijar

Langit Tirabwana bagian selatan diselimuti bintang-bintang, langit cerah tanpa awan seakan memberi restu atas misi besar esok pagi. Di bawah Bukit Rinjunglangit, dua barak besar berdiri sejajar, berjajar di atas padang rumput datar yang lembut. Bendera merah-hitam Bayu Geni berkibar tenang tertiup angin.

Tenda-tenda kokoh dari kain tebal berwarna gelap dan ungu tua dibangun mengelilingi area utama. Lampu minyak dan lentera cahaya roh menyala di tiang-tiang pendek. Kesibukan tampak di mana-mana—staf Mandala Dhana tampak bolak-balik menyiapkan kereta kuda, logistik, ransum, senjata cadangan, dan peta-peta penunjuk jalan.

🔥 Barak Jalur Darat

Di dalam tenda besar barak jalur darat, para anggota duduk melingkar. Setelan khusus Misi Tingkat Nasional mereka—seragam berlapis ringan dengan lambang Bayu Geni —membuat mereka tampak seperti satu kesatuan.

Jasana sedang membersihkan sarung Keris Parangjati, sesekali tersenyum pada percakapan yang berlangsung.

Bagas: “Keris itu kalau kamu kasih nama ‘Parangjati’, tentu ini juga harus punya nama dong!” (menepuk sarung tangannya dengan bangga)“Mulai malam ini, resmi ya—kalian panggil ini: Tapak Maruta! Karena siapa pun yang kena, bakal terbang ke angin!”

Tawa meledak di dalam barak.

Pradipa Karna: “Kalau begitu, aku harus hati-hati jangan kena tapakmu saat kamu tidur, Bagas. Kamu tidur gelisah kayak kerbau mimpi dikejar harimau!”

Mekar Puspitawati: (terkikik) “Kalian berdua ini cocok jadi badut istana kalau bukan pendekar.”

Arwani Jayengsaka: (serius tapi tersenyum) “Tapi jujur ya, suasana kayak gini yang bikin tenang. Besok pagi mungkin kita harus menghadapi roh-roh buas, kutukan, bahkan penghianat bangsa sendiri.”

Jasana: (mengangguk perlahan) “Tapi selama kita satu tujuan dan satu napas… itu sudah cukup.”

Suasana berubah hangat dan akrab, ada semacam keyakinan diam-diam yang tumbuh di antara mereka malam itu.

🌑 Barak Jalur Bayangan

Tak jauh dari barak darat, barak bayangan terlihat lebih sunyi, lebih tertata. Suasana mereka lebih kalem, tapi bukan tanpa kehangatan.

Darsa duduk bersila di atas matras tipis, memutar-mutar pedang Sahya di telapak tangannya. Di sekelilingnya, Laras Indreswari, Madyan Reksadipa, dan beberapa anggota lainnya tampak menikmati obrolan ringan sambil menyeruput teh hangat dari kendi kecil.

Laras Indreswari: “Sahya… nama pedangmu ya? Indah. Pendek tapi tajam. Seperti perkataanmu kalau sedang menyindir orang.”

Darsa: (tersenyum miring) “Biar tak banyak bicara, tapi langsung menusuk ke hati.”

Madyan Reksadipa: (mengangguk sambil memelototi segelas teh) “Dengar-dengar, Bayawira menggunakan mantra penarik roh dari tanah kelahiran korban. Ilmu terlarang dari barat jauh.”

Laras: “Makanya kita tak boleh melangkah sembarangan. Tapi tenang, Darsa kan bintang junior dari Bayang-bayang Geni. Jangan sampai kalah karisma dari aku saja.”

Darsa: *(bercanda) “Karisma kamu beracun. Tapi racunmu cocok buat misi ini.”

Mereka tertawa kecil—dalam diam yang tenang tapi akrab. Kedekatan dalam senyap—itulah ciri khas jalur bayangan.

🔥 Api Unggun Dua Kapten

Di antara dua barak, terdapat satu api unggun besar. Kapten Raksadana duduk bersila, memegang segelas air dari kendi bambu. Di sebelahnya, Kapten Kalandra Wisanggeni, duduk bersandar santai namun tetap penuh waspada.

Kalandra: “Aku jarang duduk begini. Apalagi di hadapan pendekar legendaris Panggrahita Aji.”

Raksadana: (tersenyum kecil) “Aku juga jarang bicara banyak. Tapi malam ini... kutahu, ini malam yang istimewa.”

Kalandra: “Mereka itu anak-anak muda pilihan. Tapi bukan soal muda-tua. Soal niat dan nyali.”

Raksadana: (menatap api) “Dan kita akan bawa mereka pulang. Dengan kehormatan, atau cerita yang layak dikenang.”

Obrolan mereka tenang. Dua pendekar dari dua jalur berbeda, satu misi. Api unggun menyala pelan, membiarkan malam menua dengan damai.

🌄 Akhir Malam

Saat malam semakin larut, lentera-lentera mulai dipadamkan satu per satu. Hanya suara jangkrik dan dengusan kuda terdengar samar.

Dari kejauhan, terdengar yel-yel terakhir dari dalam barak sebelum mereka tidur:

"SATU JIWA!!"

Dan malam pun kembali sunyi, menyimpan semangat dari mereka yang akan menjemput takdirnya saat fajar tiba.

Bayangan di Kalapanunggal

Senja baru saja turun di langit Kalapanunggal, mewarnai hamparan ladang dan bukit dengan cahaya jingga kemerahan. Desa yang terkenal dengan kebun tembakau dan pemandian air panas itu tampak seperti biasa—ramai, hangat, penuh suara tawa anak-anak dan derit pedati. Tapi, tanpa disadari oleh para penduduk, angin kelam mulai menyusup dari balik rerimbunan.

🌫️ Kedatangan Bayangan

Dari arah utara desa, tiga pria dan satu wanita berbaju lusuh tampak berjalan perlahan sambil mendorong kereta penuh barang dagangan. Wajah mereka penuh debu perjalanan, tapi sorot matanya tajam seperti pisau.

Mereka bukan pedagang biasa. Mereka adalah unit mata-mata Bayawira, bagian dari Lingkar Bayang Kelam—jaringan penyusup elite.

Mata-mata 1 (pria berjanggut tipis): (berbisik saat melewati gerbang bambu desa)“Waktu kita dua hari. Kontak utama sudah diberi tanda di warung ujung timur.”

Mata-mata 2 (wanita berhijab merah gelap): (matanya menyapu rumah-rumah warga)“Sinyal dikirim. Kabut akan datang lewat sumur tua. Selebihnya... tinggal tunggu suara genta dari barat.”

🕯️ Pesan Rahasia

Mereka berpencar cepat—salah satu dari mereka memasuki warung tua milik Pak Salmun, seorang duda tua yang terlihat biasa saja, namun adalah kontak tidur Bayawira di Kalapanunggal.

Dengan satu kode sederhana—menyusun biji kopi di atas meja membentuk pola lingkaran terbalik—pesan dikirim.

Pak Salmun, dengan tangan gemetar, langsung menuju ruang belakang. Ia membuka kotak bambu di bawah papan lantai, mengeluarkan kain hitam kecil dengan cap ular yang melingkar—lambang Bayawira—dan membakarnya dengan dupa untuk mengirim asap pesan.

👥 Menyatu dengan Keramaian

Sementara itu, dua penyusup lain menyamar sebagai pengamen dan pedagang minyak gosok. Mereka membaur dengan anak-anak, membagikan permainan bambu kecil dan bercerita tentang “tempat mandi ajaib di pegunungan”.

“Malam bulan purnama besok, kalian akan dengar suara roh penjaga bukit. Siapa yang punya keberanian, bisa dapat kekuatan…”

Kata-kata itu bukan dongeng biasa. Itu adalah mantra pembukasiaran awal untuk menciptakan ketakutan, lalu ketertarikan, lalu... kehancuran.

Di atas bukit kecil di utara desa, sesosok siluet berjubah kelam berdiri mengawasi Kalapanunggal. Di tangannya tergenggam tongkat ukiran tengkorak burung, dan matanya menyala samar dalam gelap.

Pemimpin kecil pasukan penyusup: (berbicara lirih ke langit)“Waktunya menarik jiwa dari tanah tua ini. Seperti Suralaya… Kalapanunggal akan jadi persembahan berikutnya.”

Malam merambat, desa Kalapanunggal tetap bersinar dalam cahaya lentera. Tapi di bawahnya, akar kegelapan mulai menjalar, diam-diam... mematikan.

Mata dalam Bayangan

Langit Kalapanunggal kian pekat. Aroma asap dapur dari rumah-rumah penduduk bercampur dengan harum kayu manis dan rerumputan basah. Di tengah keriuhan desa yang tampak damai, mata-mata kerajaan menyusup dengan langkah ringan dan wajah tenang.

👤 Pasukan Elit Batalion Trikandha

Di antara kerumunan yang memenuhi pasar malam Kalapanunggal, tampak beberapa pria dan wanita berpakaian sederhana—tampaknya petani, pengrajin, dan pedagang keliling. Namun sebenarnya, mereka adalah tentara kerajaan, bagian dari Batalion Trikandha, pasukan elit pilihan Kerajaan Mandalagiri yang diberangkatkan secara rahasia atas perintah langsung dari Panglima Agung Jayasatya.

Mereka beroperasi dalam formasi longgar, tidak saling berinteraksi langsung kecuali perlu.

Seorang agen (berjubah abu dan topi anyaman): (berjalan pelan di dekat penjual roti, lalu menyisipkan kode ke rekan di sampingnya)"Pesan dari pos mata utara tiga hari lalu… sudah sampai ke tangan Panglima. Konfirmasi posisi Prayogi Mahadipa dikunci. Bayu Geni sudah mulai bergerak ke sini."

Rekan agen (berpura-pura menata anyaman bambu di gerobaknya): (hanya memberi isyarat tangan—jari telunjuk menyentuh dada kiri, lalu menggenggam)—sebuah tanda yang berarti:“Kami mengerti. Jaringan siaga.”

Mereka lalu berpisah, membaur kembali dengan penduduk desa tanpa menarik perhatian.

🌲 Wana Kalawisesa – Hutan Rahasia

Di pinggir selatan Kalapanunggal, berdiri hutan kecil berkabut tipis yang disebut Wana Kalawisesa. Hutan ini dikenal dalam legenda sebagai tempat keberadaan Batu Napas Langit—sebuah relik purba yang dipercaya menyimpan energi roh bumi dan langit.

Menurut informasi intelijen, relik ini menjadi target Kapten Ke-4 Bayawira, Prayogi Mahadipa, yang ahli dalam manipulasi kekuatan spiritual.

Di antara pepohonan, tampak tiga orang pria berpakaian layaknya petani pencari jamur. Wajah mereka kotor oleh tanah dan lumpur, gerak-geriknya lambat dan kikuk, tapi mata mereka waspada dan terlatih. Mereka adalah anggota Satgas Bayu Sekti, bagian dari jaringan rahasia Mandalagiri untuk penjagaan situs spiritual.

Satgas 1 (berbisik sambil memeriksa semak-semak):“Tanda bekas asap ritual. Tidak lama... Mereka mungkin sudah coba buka gerbang lapisan bawah.”

Satgas 2 (mengusap tanah di dekat akar pohon tua):“Energi di sini berdenyut tak wajar. Kapten Prayogi pasti mengincar Batu itu untuk ritus penyerapan. Kita harus tahan sampai Guild datang.”

Salah satu dari mereka menggali perlahan dan menanam segel tanah berbentuk mandala, perlindungan spiritual buatan tangan para resi Mandalagiri, untuk menghambat energi jahat yang hendak dibangkitkan.

Dari atas tebing kecil di sisi barat Wana Kalawisesa, siluet bayangan terlihat mengintai... entah manusia, entah bukan.

🔚 Penutupan Scene Mata dalam Bayangan

Malam terus bergulir. Desa Kalapanunggal terlihat tenang, namun banyak mata saling mengintai dalam diam.Pasukan Bayawira, Trikandha, Satgas Bayu Sekti, dan dalam waktu dekat, pasukan Guild Bayu Geni akan masuk ke dalam pusaran konspirasi besar—tentang kekuatan spiritual bumi, pengkhianatan, dan masa lalu yang hendak dibangkitkan.

Siaga di Batas Kalapanunggal

Jalur Darat – Tenda di Batas Hutan Sunyi

Malam di Batas Hutan Sunyi terasa dingin. Angin malam berbisik, membawa aroma tanah basah dan daun kering yang terhempas oleh langkah-langkah kecil. Tenda-tenda kecil berdiri teratur, tersembunyi di balik pepohonan, dan api unggun yang menyala di tengah mereka memantulkan cahaya yang lembut. Pasukan dari Jalur Darat yang dipimpin oleh Kapten Raksadana siap bersiaga.

Jasana Mandira, dengan keris "Parangjati" terhuyung di pinggangnya, duduk melingkar bersama para anggota lainnya. Bagas Prayoga duduk tegak, tangannya menggenggam erat sarung tinju besi kesayangannya, yang kini ia sebut "Tapak Maruta". Di samping mereka, Pradipa Karna bersandar pada batang pohon sambil mengasah pedangnya, "Dwijanaga", dengan hati-hati. Arwani Jayengsaka dan Mekar Puspitawati berbincang rendah, saling bertukar pengamatan tentang medan.

Kapten Raksadana (berbicara pelan, mata menatap jauh ke depan):"Prayogi Mahadipa kemungkinan akan datang dari arah ini, di bawah perlindungan bayangan. Kita harus memanfaatkan keunggulan medan ini. Setiap gerakan kita harus terencana dengan sempurna."

Jasana Mandira (dengan ekspresi serius, tangan menggenggam erat hulu keris):"Kita tidak hanya bertarung dengan kekuatan, tapi juga dengan waktu. Jika kita gagal menangkapnya di sini, maka kerusakan yang ditinggalkan akan jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan."

Pradipa Karna (dengan suara berat dan penuh pengalaman):"Penempatan kita sudah tepat. Waspadalah dengan jalur-jalur tersembunyi, terutama jalur sempit di sisi kanan. Mahadipa tahu bagaimana menggunakan medan ini."

Bagas Prayoga (sambil tersenyum tipis, memanaskan tubuh dengan api unggun):"Aku lebih senang bertarung langsung, tapi aku tahu pentingnya bersabar. Kita harus menunggu waktu yang tepat. Jika dia bergerak, kita akan bergerak."

Mekar Puspitawati (memperhatikan dengan seksama ke arah hutan, suara rendah dan tenang):"Ketika kita bergerak, pastikan tidak ada jejak. Setiap langkah harus kita hitung, bahkan jejak yang tertinggal di tanah."

Keheningan malam melingkupi mereka. Semua saling memahami beban misi ini. Mereka tahu bahwa hanya dengan kerja sama yang sempurna, mereka bisa menghadapi ancaman besar yang sedang mengintai.

Jalur Bayangan – Bukit Menghadap Kalapanunggal

Di sisi lain, di atas bukit yang menghadap Kalapanunggal, Kapten Kalandra Wisanggeni memimpin tim Jalur Bayangan. Mereka bersembunyi di balik ilusi yang diciptakan dengan sihir, menunggu waktu yang tepat untuk bergerak.

Darsa Nagawikrama, dengan pedangnya "Sahya" tersarung di pinggang, tampak fokus. Di sebelahnya, Laras Indreswari, Madyan Reksadipa, Wulan Tresnadewi, dan Sundra Mahendra semua dalam posisi siap. Tenda-tenda mereka, yang kini tak terlihat oleh siapa pun, berdiri dengan rapih berkat bantuan sihir Kapten Kalandra.

Kapten Kalandra Wisanggeni (berbicara dengan tegas, suaranya dalam dan penuh ketenangan):"Jangan sampai kita lengah. Mahadipa memiliki keahlian luar biasa dalam menggambarkan ilusi dan mengelabui lawannya. Kita harus bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan."

Darsa Nagawikrama (dengan ekspresi tajam, mata tidak pernah lepas dari pandangan jalur masuk desa):"Aku pernah menghadapi ilusi semacam itu. Hati-hati dengan gerakan yang tampak nyata. Itu bisa jadi jebakan."

Madyan Reksadipa (melirik ke arah Kalandra, suaranya rendah namun penuh kepercayaan):"Kami siap, Kapten. Aku tahu bagaimana membaca tanda-tanda mereka, bahkan di bawah ilusi."

Wulan Tresnadewi (terlihat sedang mengamati sekitar dengan fokus, tangan menyentuh tali busur):"Aku akan menjaga jarak dan siap dengan serangan jarak jauh jika diperlukan. Kita tidak bisa membiarkan Mahadipa bergerak bebas."

Sundra Mahendra (mengangguk pelan, mempersiapkan senjatanya):"Satu langkah salah, kita bisa terjebak. Semua gerakan kita harus dalam bayangan, tak boleh ada yang melihat."

Keheningan menyelimuti kelompok ini juga. Walaupun perbedaan metode dan cara tempur, mereka semua tahu bahwa hanya dengan kesatuan tujuan mereka dapat menggulingkan musuh yang tangguh.

Akhir Scene Siaga di Batas Kalapanunggal

Malam semakin larut, dan para anggota Guild Bayu Geni yang berada di kedua jalur ini menunggu dalam ketegangan, siap menghadapi Prayogi Mahadipa dan pasukan Bayawira yang sudah berada di dekat Kalapanunggal. Waktu menjadi musuh sekaligus sekutu. Perburuan dimulai, dan tak ada yang bisa diprediksi.

Di antara bayang-bayang dan api unggun, dua pasukan bersiap, menunggu sinyal pertama untuk bergerak.