Perbukitan Utara Kalapanunggal – Markas Bayawira Timur
Langit malam meredup di balik kabut tipis yang menggantung di perbukitan utara. Di celah antara tebing dan rerimbunan pohon tinggi, tenda-tenda tersamar berdiri tanpa suara. Asap tipis mengepul dari tungku-tungku kecil yang ditutup batu hitam pekat, agar tak terlihat dari kejauhan.
Pasukan Bayawira Timur, berjumlah sekitar 40 orang regu tempur dan 5 anggota elit muda, tengah berjaga. Mereka semua mengenakan seragam tempur gelap dengan lambang ular kepala dua melingkar. Terdapat garis-garis merah samar di bagian lengan—tanda dari regu tempur yang mendapat perintah langsung dari Kapten Prayogi Mahadipa.
Di tengah kawasan tersembunyi itu, dua tokoh penting tengah berdiri di depan meja kayu lapangan yang terbentang peta kasar wilayah Kalapanunggal.
Galang Wrahatama, pria kekar dengan dua bilah golok gergaji melengkung tersarung di punggungnya, menatap peta dengan ekspresi keras. Di sampingnya, Randi, pemuda tenang berambut sedikit panjang, mengenakan mantel kulit gelap dan membawa busur besar dari tanduk kijang laut, menyimak dengan penuh perhatian.
Galang Wrahatama (suara berat, geram namun terkendali):
“Pihak Mandalagiri Kemungkinan sudah mencium arah gerakan kita. Pasukan Trikandha sudah bergerak... dan Guild Bayu Geni pun bisa jadi sudah berada di sekitar hutan dekta batas barat desa.”
Randi (mata tajam memandang arah selatan peta):
“Kalau benar begitu, maka kita harus bergerak mencegah gangguan lain sebelum Batu Napas Langit Bangkit. Kami dari regu elit siap bergerak saat gangguan terjadi.”
Galang (mengangguk, lalu menunjuk titik merah kecil gerbang utara Desa):
“Kapten dan Sanjaya akan datang dari titik ini, menyamar bersama lima penarik roh dan dua pendeta. Ritual akan dilakukan cepat. kita akan lindungi jalan masuk area Hutan Kali Wisesa. kita dan barisan utama bersiap menghadang kelompok Trikandha dan kemungkin beberapa Anggota Guild Bayu Geni yang menghadang.”
Randi (suara rendah, dingin seperti malam itu):
“Kalau Bayu Geni muncul… kita sebisa mungkin harus menahan sampai ke tengah desa agar tidak menambah gangguan Ritual yang akan di jalankan. Tapi jangan meremehkan mereka. Terutama jika Raksadana atau Kalandra turun tangan langsung.”
Galang (menatap lurus, lalu menyeringai samar):
“Kami Bayawira bukan pengecut. Tapi bijak untuk tak mengabaikan kekuatan. Pastikan anak-anak muda elitmu tak ceroboh, Randi, kita tahan sampai titik darah penghabisan agar gangguan tidak semakin banyak yang menuju hutan Kali Wisesa, dan kita percayakan kepada Kapten dan Sanjaya untuk menghadapi Anggota Bayu Geni yang menghadang dari arah barat dekat hutan.”
Randi hanya membalas dengan anggukan mantap, sebelum memberi isyarat ke empat rekan elit mudanya. Mereka bergerak diam-diam menyebar, menjaga perimeter.
Di kejauhan, cahaya samar dari obor menyala redup. Penyamaran kelompok Kapten Prayogi Mahadipa akan segera dimulai.
Ritual Batu Napas Langit di hutan Wana Kaliwisesa pun hanya tinggal menghitung waktu.
Fajar mulai menyibak kabut lembab yang menggantung di atas Gerbang Utara Desa Kalapanunggal. Udara dingin menusuk tulang, namun hiruk-pikuk kecil mulai terdengar. Beberapa warga desa terlihat membuka pintu rumah, para pedagang lokal menggulung tikar lapak mereka, bersiap menyambut kedatangan barang dagangan dari luar desa.
Di antara mereka, rombongan asing datang menembus gerbang utara. Mereka terdiri dari tiga kereta kayu berat yang ditarik kuda cokelat tua. Rombongan ini tampak seperti pedagang biasa—membawa karung-karung besar, peti, dan anyaman rotan berisi benda-benda dagangan.
Namun bagi yang jeli, ada sesuatu yang berbeda.
Barisan terdepan dipimpin oleh seorang pria bertubuh ramping namun berwibawa, mengenakan jubah abu tua yang diselendangkan dengan cara khas kaum pengelana selatan. Ia adalah Kapten Prayogi Mahadipa, menyamar sebagai pemimpin karavan. Di belakangnya, menyatu dengan keramaian, terdapat lima Penarik Roh—mereka mengenakan pakaian seperti pemuda desa biasa, namun gerakan mereka terlalu teratur, dan mata mereka terlalu tajam.
Dua pria tua berpakaian seperti biksu pengelana berjalan perlahan di sisi kiri rombongan. Pendeta Gelap—begitulah mereka dikenal dalam bayangan, ahli dalam ilmu hitam dan ritual pengikat roh purba.
Di sisi kanan, mengatur jalannya rombongan dengan ketelitian luar biasa, tampak Wakil Kapten 2 Sanjaya Reksamurti. Ia mengenakan sorban sederhana, membawa gulungan besar berisi dokumen palsu yang menyatakan mereka sebagai pedagang dari pesisir utara, menjual barang-barang pusaka dan rempah kering.
Sanjaya Reksamurti (berbisik ke Kapten Prayogi sambil memeriksa lembar dokumen):
“Surat-surat dagang telah disiapkan. Prasasti palsu ini akan membujuk siapa pun yang mencoba memeriksa.”
Prayogi Mahadipa (matanya mengamati sekitar, tenang namun tajam):
“Bagus. Jangan sampai ada celah. Trikandha bisa saja mengawasi dari balik pepohonan. Kita harus tiba di Wana Kaliwisesa sebelum matahari naik sepenuhnya.”
Sanjaya (mengangguk ringan):
“Regu Galang dan Randi sudah memastikan jalur hutan aman. Satgas kerajaan tak akan bisa melihat kita… kecuali mereka menggunakan sihir mata angin.”
Prayogi (suara dingin seperti angin dini hari):
“Kalau mereka muncul, kita akan tahan mereka kita gunakan beberapa makhluk setengah roh Penjaga Bayangan, untuk menahan sampai ritual selesai dan Batu Napas Langit Bangkit.”
Kereta perlahan mulai memasuki jalan utama desa. Warga yang melihat mereka hanya mengira rombongan dagang biasa yang hendak berdagang atau menukarkan barang. Beberapa anak kecil bahkan berlari di samping kereta sambil tertawa.
Namun di balik karung dan peti yang tampak biasa itu, tersembunyi alat-alat ritual kuno, batu garam hitam, dupa tulang, tali pengikat roh, dan gulungan mantra yang konon hanya bisa dibaca oleh Pendeta Gelap.
Mereka takkan lama di desa. Tujuan mereka satu menemukan dan membangkitkan Batu Napas Langit di Hutan Wana Kaliwisesa.
Langit mulai cerah, rona jingga berganti biru pucat ketika cahaya fajar menyapu wilayah barat Desa Kalapanunggal. Di bawah lebatnya pohon-pohon besar hutan Kala Wisesa, sejumlah tenda kecil tersembunyi rapat di balik rimbun semak dan bebatuan.
Itulah markas siaga jalur darat, dipimpin oleh Kapten Raksadana, pendekar veteran bertubuh tinggi tegap bersenjata Pedang Panjang "Jatiwisesa". Bersamanya adalah lima anggota pilihan: Jasana Mandira, Bagas Prayoga, Pradipa Karna, Arwani Jayengsaka, dan Mekar Puspitawati.
Mereka semua mengenakan seragam misi khusus Bayu Geni—bermotif api yang melingkar seperti spiral angin, berwarna gelap dan dilapisi lapisan pelindung tipis namun kuat. Seragam itu tidak mencolok di tengah rimba, tapi menyimpan lambang kebanggaan para penjaga kerajaan.
Kapten Raksadana berdiri di atas batu tinggi, memicingkan mata ke arah timur laut. Angin membawa isyarat… dan pada saat itulah, terdengar suara berdesing tipis—isyarat sihir dari lonceng roh Kapten Kalandra, terbawa angin melalui gema spiritual.
Raksadana mengangguk pelan. Ia memutar sebuah cincin besi di jari telunjuknya hingga mengeluarkan cahaya merah redup. Lalu ia mengangkat tangan kanannya, memberi kode tiga gerakan cepat ke langit, satu gerakan ke tanah.
Beberapa titik di sekitar hutan Kala Wisesa segera bereaksi.
Satgas Bayusekti, pasukan tersembunyi yang menyamar sebagai petani, pencari kayu, dan bahkan beberapa sebagai penggembala, segera menunduk dan menghilang dari pandangan, bergerak ke posisi sembunyi masing-masing.
Di tengah kesunyian, di sekitar api unggun yang nyaris padam, Raksadana bersuara lirih namun tegas kepada timnya.
“Rombongan dari utara itu bukan pedagang biasa. Kalandra telah memberi sinyal. Target kemungkinan besar sedang menuju ke arah kita—ke Kala Wisesa.”
Bagas (mengencangkan sarung tangan besinya):
“Akhirnya... Misi Memburu Bayawira di Mulai.”
Jasana (duduk bersila namun tubuhnya tegang):
“Apa kita akan cegat mereka di gerbang hutan?”
Raksadana (menggeleng pelan):
“Belum. Kita biarkan mereka masuk… dan mengira mereka aman. Kita awasi dari balik bayangan.”
Arwani memeriksa Tameng suci dan Gada Kecil Miliknya serta mempersiapkan busur dan anak panahnya untuk serangan Jarak Jauh, dia Bisa menggunakan segala jenis senjata termasuk pedang dll.
“Satgas Bayusekti yang memeriksa hutan sudah ditarik mundur ke posisi sembunyi. Tinggal kita menunggu tanda kapan harus menggulung mereka.”
Pradipa Karna (berdiri, menatap ke arah lembah):
“Jangan lupakan dua hal Pendeta Gelap dan Penarik Roh. Mereka tidak bisa diremehkan. Kalau mereka sampai memulai ritual…”
Mekar Puspitawati (berbisik sambil menggenggam kalung pelindungnya)
“...maka Batu Napas Langit bisa terbangun. Dan itu… bencana jika Batu Napas Langit di ambil dari tempatnya, bisa mengganggu keseimbangan Alam di sekitar Wilayah Hutan dan Desa Kalapanunggal.”
Kapten Raksadana berjalan pelan mengelilingi mereka, lalu menancapkan Pedang Jatiwisesa ke tanah.
“Kita bukan pemburu biasa. Kita adalah penjaga nyala Bayu Geni. Hari ini, kita bukan hanya mencegah pencurian artefak—kita mencegah keseimbangan Alam di Wilayah ini jangan sampai Batu Napas Langit Jatuh ke tangan Mereka. Bersiap. Jika mereka melangkah ke jantung hutan dan ritual setengah jalan… kita akan jadi badai yang menyambutnya.”
Seluruh tim mengangguk serempak. Udara mulai menghangat, tapi ketegangan justru makin terasa dingin.
Dari kejauhan, bunyi roda kereta kayu dan langkah kaki rombongan "pedagang" mulai memasuki wilayah bawah hutan. Bayangan-bayangan di antara pohon mulai bergerak.
Dan hutan Kala Wisesa—tanah tua yang menyimpan rahasia dunia atas dan dunia bawah—akan kembali menjadi saksi.
Tirakat di Hutan Terlarang
Mentari baru saja menyembul dari balik bukit ketika tiga kereta kuda yang tampak lusuh namun padat muatan berhenti di tengah sebuah lapangan sunyi di Hutan Kala Wisesa. Tempat itu dikelilingi pohon-pohon tua dan akar menjulur seperti lengan-lengan hitam. Suasana dingin menyelimuti tanah lembab yang tidak lagi disentuh manusia biasa sejak puluhan tahun.
Kereta itu tampak seperti kereta dagang dari luar, namun begitu tirai-tirai dibuka, isinya adalah gulungan kain ritual, cawan hitam batu gunung, batu-batu segel, abu jenazah purba, dan wadah emas tua berisi air perak.
Di sekitarnya, lima orang Penarik Roh—berjubah hitam kelabu dan bermata cekung dengan manik-manik dari tulang di leher mereka—mulai menggambar lingkaran besar di tanah menggunakan abu dan darah ular hutan. Suara komat-kamit mantra dalam bahasa kuno mulai terdengar lirih.
Dua Pendeta Gelap, salah satunya bertubuh pendek dengan sorot mata tajam, sedang menyusun tujuh buah patung kecil batu hitam ke titik-titik arah mata angin. Mereka juga menancapkan bendera kecil bertuliskan aksara kuno di sudut-sudut lingkaran ritual.
Tak jauh dari situ, di atas batu besar, berdiri Kapten Prayogi Mahadipa, pria berusia matang dengan wajah keras dan tatapan penuh perhitungan. Di sampingnya, Wakil Kapten Sanjaya Reksamurti, pemuda tampan namun licik, sedang menggulung lembaran-lembaran dokumen palsu dan memeriksa sebuah cincin ukir yang berisi segel palsu Mandalagiri.
Sanjaya (setengah berbisik):
“Kalau benar dugaanmu… pihak kerajaan sudah mencium jejak kita. Apa tak sebaiknya kita tunda saja ritual ini?”
Prayogi (menatap ke kejauhan, tajam):
“Tidak. Langkah ini sudah terlalu jauh untuk mundur. tidak seperti Ritual pada umumnya yang dilakukan Malam Hari, Batu Napas Langit hanya bisa ditemukan saat matahari condong ke arah barat hari ini. Jika kita lewatkan… harus tunggu tujuh bulan lagi.”
Sanjaya (menyipitkan mata, memandang sekeliling):
“Tapi aku curiga. Terlalu sunyi. Kalapanunggal biasanya ramai pedagang pagi…”
Prayogi (menoleh cepat, nada tajam):
“Justru itu. Mereka mengosongkan jalur. Artinya mereka tahu kita datang. Dan kemungkinan Beberapa dari mereka berada di dekat sini dan memantau kita, jangan sampai kita melakukan kesalahan, Lakukan Ritual dengan cepat sampai Batu Napas Langit Bangkit segera kita Ambil dan Pergi dari sini.”
Ia memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih dalam hati
“Biarkan mereka. Biarkan mereka datang. ”
Di belakang mereka, dua Penarik Roh mulai menabur abu roh ke atas sebuah batu altar. Cahaya samar kekuningan mulai bergetar dari pusat lingkaran ritual, dan angin mulai berubah arah…
Bara dari neraka kuno yang tersembunyi mulai dibangkitkan.
Sanjaya (pelan, gugup):
“Kalau begitu… semoga kita cukup siap menanggung akibatnya.”
Kapten Prayogi hanya menatap tajam ke arah langit, di mana sekelompok burung gagak terbang menjauh dari hutan.
Sebuah pertanda.
Bayang-bayang pertempuran besar mulai menjelang.
Mentari baru mulai menyelinap di balik celah dedaunan saat aura ritual menggetarkan udara sekitar Hutan Kala Wisesa. Asap putih keabu-abuan mulai membumbung dari titik lingkaran yang dibuat para Penarik Roh. Cahaya-cahaya mistis seperti semburat kilat halus menari di udara, tanda bahwa ritual tengah menjangkau setengah dari tahapan pemanggilan Batu Napas Langit.
Di semak rapat di sisi barat, Tim Darat Bayu Geni yang dipimpin oleh Kapten Raksadana telah mengawasi pergerakan itu dari kejauhan. Tubuh-tubuh mereka menunduk di balik akar-akar pohon besar dan semak perdu. Kapten Raksadana berdiri sedikit lebih tinggi di balik batu besar, tangannya menggenggam Pedang Jatiwisesa, bilah panjang berurat seperti akar yang bersinar redup.
Raksadana (berbisik tapi tegas):
“Ritualnya sudah melewati batas tengah. Jika segel pengunci terbuka, medan energi akan sulit ditembus. Kita tak bisa menunggu lebih lama.”
Di sampingnya, Jasana mengangguk pelan. Ia menggenggam keris Parangjati erat-erat, bilahnya berkilau lembut dalam kabut pagi. Tatapan matanya tajam, wajahnya tenang meski dadanya berdegup cepat.
“Kita belum tahu bentuk ancaman penuh mereka. Tapi kalau dibiarkan, mereka bisa mengambil Batu Napas Langit yang bangkit.”
Bagas mengencangkan sarung tangan Tapak Maruta, kemudian menyentuh tanah sejenak untuk merasakan getaran dari pusat ritual.
Bagas (menggeram):
“Tanahnya panas… bukan karena api. Tapi karena jiwa-jiwa yang dipaksa bangkit. Kita harus hentikan itu.”
Pradipa Karna, sosok tinggi tegap dengan pedang bermata dua Dwijanaga di punggungnya, mengecek posisi dan jarak sambil memandangi arah tiupan asap.
Pradipa (tenang tapi mantap):
“Aku bisa menerobos dari kiri. Tapi kita harus punya sinyal jelas. Sekali masuk, kita semua harus kompak. Jangan beri mereka waktu panggil makhluk penjaga.”
Arwani Jayengsaka, dengan tameng Teguh Panji terikat di lengannya dan gada kecil serta panah di punggungnya, menyambut dengan lirih:
“Aku dan Mekar di belakang. Aku bisa lindungi Jasana dan Bagas dari serangan jarak jauh. Kalau ada pembukaan, aku akan layangkan panah untuk mengganggu fokus si Pendeta.”
Mekar Puspitawati, wanita paruh baya namun tegap, perlahan menarik Pedang Sabda Amreta dari sarungnya yang berisi Batu Mantra.
Mekar (dengan lirih dan penuh wibawa):
“Ritual ini tak hanya mengganggu keseimbangan dunia roh. Tapi juga mencoreng kehormatan tanah ini. Aku akan tutup celah sihir mereka. Tapi kalian harus bergerak cepat sebelum aku kehilangan kendali mantra.”
Raksadana mengangkat tangannya, memberi isyarat satu kali. Semua anggota langsung siaga.
Raksadana (pelan, namun penuh tekanan):
“Ini bukan misi biasa. Tapi jika kita gagal, hutan ini… dan Kalapanunggal bisa jadi kehilangan Keseimbangan. Kita berjuang bukan hanya untuk menang, tapi untuk mencegah hal itu terjadi.”
Angin seketika berhenti.
Burung-burung sunyi.
Tanah bergetar ringan.
Raksadana memberi isyarat dua jari—kode penyergapan siap dimulai.
Raksadana (datar dan pelan):
“Bayu Geni… menyala.”
Dentang Roh dan Pertarungan di Kala Wisesa
Dalam sekejap, udara di sekitar Hutan Kala Wisesa meledak dalam dentuman hening yang mengguncang jiwa—tanda tabir pengalih mata telah ditembus oleh kekuatan Kapten Raksadana.
Langit pagi mendadak meredup, seolah kabut spiritual mulai menebal. Di tengah lingkaran ritual, lima Penarik Roh yang sebelumnya duduk dalam meditasi kini mendongak. Mantra mereka terganggu. Dua Pendeta Gelap, berdiri di sisi utara dan selatan lingkaran, langsung menggenggam tongkat penuh ukiran darah dan tulang, bersiap mempertahankan ritual yang sudah mencapai tahap pemanggilan inti.
Dan saat itu juga, Jalur Darat Bayu Geni menerjang keluar dari semak-semak.
“SERBU!”
Jasana melesat seperti anak panah, keris Parangjati di tangannya menebas bayangan kabut yang menyambutnya. Di belakangnya, Bagas menghantam tanah dengan Tapak Maruta, mengirimkan gelombang kejut tanah yang melumpuhkan dua penjaga bayangan dari dalam semak ritual.
Pradipa Karna menerobos dari sisi kiri, Dwijanaga berputar menghantam dua Penarik Roh sekaligus, sementara Arwani memanggil Tameng Teguh Panji, menciptakan kubah cahaya yang menahan hantaman sihir kegelapan dari para Pendeta.
Sementara itu, Mekar Puspitawati berdiri tegak di luar lingkaran dan menancapkan Pedang Sabda Amreta ke tanah.
Mekar (mengerang mantra):
“Tanah leluhur, dengarkan… kunci kembali gerbang roh yang mereka paksa buka!”
Batu Mantra di sarung pedangnya bersinar terang, menarik pusaran kabut spiritual menjauh dari pohon-pohon dan menciptakan medan bersih untuk pertempuran.
Salah satu Penarik Roh mencoba memanggil Makhluk Bayangan, namun sebelum berhasil sepenuhnya, panah spiritual Arwani menembus dadanya, memutuskan fokus dan menghentikan mantranya.
Penarik Roh (menjerit):
“Mereka sudah menembus tabir sihir! Lindungi lingkaran! Lindungiii—!”
Tiba-tiba, dari balik kereta, muncullah tiga Penjaga Bayangan—makhluk setengah roh, bermata merah dan bertaring tajam, membawa senjata roh yang mengalirkan aura racun jiwa. Mereka melompat ke arah Bagas, Jasana, dan Pradipa.
Jasana langsung memutar keris Parangjati, menangkis cakar makhluk itu, lalu menusuk sisi dadanya dengan serangan balik yang mengalirkan panas dari emosi spiritualnya sendiri. Cahaya biru menyala dari kerisnya.
Jasana (berteriak dalam hati):
“Aku tidak akan biarkan kalian sentuh tanah ini…!”
Bagas bertarung dengan ganas, sarung besi di kedua tangannya menghantam keras satu Penjaga Bayangan ke batang pohon, lalu menghancurkan wajah makhluk itu dengan pukulan lurus bersinar merah.
Pradipa menghantam tanah dengan Dwijanaga, menciptakan celah yang membuat dua Penarik Roh terjatuh dan mantra mereka buyar.
Di seberang medan, Kapten Prayogi Mahadipa dan Wakil Kapten Sanjaya Reksamurti berdiri kaku, mengamati dengan mata tajam. Mereka tidak bergerak—belum.
Prayogi Mahadipa (berbisik ke Sanjaya):
“Mereka terlalu cepat. Tapi ritual sudah memanggil cukup untuk langkah selanjutnya, kita tahan sebisa mungkin...”
Sanjaya Reksamurti:
“Baik kita hentikan mereka Kapten.”
Namun sebelum mereka Menyerang kearah Jasana dan kawan-kawan, Raksadana melompat dan menghadang serta menebas bayangan menuju arah mereka.
Raksadana (mengerang):
“Kau pikir bisa dengan mudah menyerang mereka setelah mengotori tempat suci ini, Prayogi?!”
Pertarungan besar telah dimulai. Ritual telah rusak separuh, tapi kekuatan roh yang telah dipanggil belum sepenuhnya menghilang.
Pertarungan antara Bayu Geni dan sisa kekuatan Bayawira berada di ambang kekacauan yang bisa membangkitkan Batu Napas Langit atau menutupnya untuk selamanya.
Bentrokan Dua Pendekar—Raksadana vs Prayogi Mahadipa
Debu dan daun beterbangan di antara cahaya mantra yang masih menggantung di udara. Di tengah-tengah kekacauan, dua sosok berdiri saling berhadapan, dikelilingi reruntuhan kereta kuda dan bara sisa ritual.
Kapten Raksadana, tubuh kekar dan tegap di usia 42 tahun, menggenggam Pedang Panjang Jatiwisesa—senjata besar dengan lekukan agung dan ukiran mantra lama di bilahnya. Napasnya berat namun tenang, mata tajam mengamati setiap gerak lawannya.
Di hadapannya, Prayogi Mahadipa, tubuh ramping dan sigap, mengenakan jubah gelap bertanda Bayawira. Di tangannya, keris hitam berlekuk tujuh belas dengan aura gelap menyelubungi. Ia menari di tanah seperti bayangan yang hidup.
Mereka saling menatap, lalu tanpa aba-aba, terjadilah benturan pertama.
Tranggg!
Jatiwisesa menghantam keris hitam dengan dentuman nyaring. Raksadana menekan dengan kekuatan penuh, namun Prayogi memutar tubuh, menangkis lalu meluncur ke samping dengan kelincahan yang menipu.
Raksadana (mendesis):
“Kau masih main-main dengan kegelapan, Prayogi…”
Prayogi (tersenyum dingin):
“Dan kau masih terlalu percaya cahaya bisa melindungi segalanya.”
Srettt! Prayogi meluncur cepat, kerisnya menyasar perut Raksadana, namun sang kapten memutar badannya dan membalas dengan sabetan horizontal. Hampir saja mengenai dada Prayogi jika lawannya tidak mundur tepat waktu.
Dua pendekar itu bertukar serangan cepat, saling tebas, tusuk, dan tangkis. Debu spiritual mulai berputar seiring aura keduanya bergesekan: aura keteguhan bumi dari Raksadana dan aura kelicikan bayangan dari Prayogi.
Raksadana:
“Apa kau pikir ritualmu bisa membangkitkan Batu Napas Langit tanpa harga?”
Prayogi:
“Harga sudah dibayar oleh mereka yang tak dianggap kerajaan. Kini biar aku yang memungut warisan yang mereka buang!”
Trang! Sreeet! Brughhh!
Raksadana mundur satu langkah, keringat membasahi pelipisnya. Umurnya membuat geraknya tak secepat dulu, namun teknik dan kekuatan tiap tebasannya masih luar biasa. Prayogi sendiri mulai terlihat kelelahan meski lebih lincah.
Keris hitamnya sempat melukai pundak kiri Raksadana, tetapi dengan balasan keras, Jatiwisesa berhasil menebas bagian jubah Prayogi hingga robek, memperlihatkan bekas luka lama di dadanya.
Raksadana (bernapas berat):
“Kau sudah terlalu jauh, Prayogi…”
Prayogi (menunduk sebentar, lalu mendongak dengan sorot tajam):
“Dan kau terlalu lama tidur di bawah bayangan kerajaan yang pura-pura adil.”
Tiba-tiba, Prayogi melompat ke belakang dan mencabut jimat merah dari sabuknya.
Prayogi (berteriak pada Sanjaya yang masih mengamati pertarungan dari jauh):
“Sanjaya! Jaga lingkaran! Jangan biarkan satu pun dari mereka menghentikan ritual!”
Sanjaya Reksamurti mengangguk cepat dan melesat ke sisi lain, menarik dua penjaga bayangan bersamanya untuk melindungi para Penarik Roh yang kini tinggal tiga orang tersisa.
Sementara itu, pertarungan utama belum usai.
Raksadana mengangkat Jatiwisesa tinggi-tinggi, lalu menghentakkan ujungnya ke tanah, memunculkan gelombang spiritual tanah yang mencoba mengguncang keseimbangan Prayogi. Namun, sang lawan melompat, melingkarkan tubuhnya di udara, dan meluncur kembali ke depan dengan tebasan keris yang berpendar merah gelap.
Benturan berikutnya menanti—dan hasilnya bisa menjadi penentu arah pertempuran seluruh medan Kala Wisesa.
Api Garundhala dan Bayangan Wulandara
Suara gemuruh membelah udara. Langit yang mulai mengabur karena kepulan energi spiritual tampak berkedip-kedip dengan warna merah dan ungu kehitaman. Dua aura raksasa melingkupi medan pertarungan di kaki Hutan Kala Wisesa: Garundhala, sang Phoenix Api, dan Wulandara Jagatwala, Serigala Hitam dari Alam Bayang.
Raksadana, berdiri tegak meski napasnya kian berat, mengangkat Jatiwisesa yang kini membara oleh api khodamnya. Sayap-sayap cahaya phoenix berkibar dari balik tubuhnya, bergetar setiap kali langkahnya menapak tanah.
Sementara itu, Prayogi Mahadipa, berdiri dengan postur menukik, matanya berubah menjadi kelam berkilat. Di belakangnya menjulang bayangan Serigala Hitam yang menyeringai, menyatu dengan aura pekat dari keris hitamnya.
Raksadana (menghentak tanah, suara bergetar oleh kekuatan aura):
“Prayogi… lima tahun lalu kau telah bekhianat atas peristiwa pembunuhan anak dari saudagar berpengaruh di Kerajaan Mandalagiri, padahal prestasi-mu dan jasa-jasa pertempuran cukup mentereng, sungguh di sayangkan. ”
Prayogi (berjalan perlahan, keris ditarik melintang, suara rendah seperti desis angin malam):
“Lima tahun lalu sebelum peristiwa itu aku masih percaya kerajaan itu memihak rakyatnya. Tapi Kerajaan tidak memberikan sedikit ruang untuk membuktikan ucapanku, dan menimpakan semua kesalahan yang tidak pernah ku perbuat.”
BRAKKK!!!
Kedua senjata kembali beradu. Aura Garundhala membakar udara di sekitar, menciptakan gelombang panas yang membuat pepohonan mulai mengering dan terbakar di bagian atas. Namun Wulandara Jagatwala membalas dengan dentuman dingin, aura kegelapan menggulung seperti badai malam, merobohkan dahan dan menghantam tanah hingga pecah.
Raksadana (melangkah maju, api membungkus tangannya):
“Kau punya potensi jadi jenderal, Sungguh disayangkan kau bergabung dengan Bayawira.”
Prayogi (mata berkilat hitam, aura menggeliat seperti kabut hitam di sekelilingnya):
“Aku tidak mengkhianati Kerajaan! Justru Kerajaan yang telah mengkhianatiku, dan lebih mempercayai orang-orang serta Keluarga Saudagar itu, dan menumbalkan-ku demi cepat memperbaiki hubungan.”
SRETTT!!
Raksadana menebas dari atas, Garundhala mengaum, menciptakan sayap api raksasa yang menghantam Prayogi dari sisi kanan. Namun Prayogi melesat ke kiri, Wulandara membentuk cakar bayangan yang menghantam balik dari bawah.
Ledakan terjadi.
Tanah bergetar. Dua kekuatan khodam bentrok begitu kuat hingga batu-batu terpental dan lingkaran ritual yang masih aktif sempat terguncang.
Sementara api menyambar dedaunan dan bayangan melesat di antara celah, Raksadana menatap Prayogi—ada duka dalam sorot matanya.
Raksadana (lirih):
“Aku tidak terlalu dalam tau akan peristiwa itu, Jika kau bersabar dengan ujian-mu mungkin hal baik akan dapat dipetik, dan kebenaran sejati akan terungkap, tetapi kau malah jatuh ke lubang terdalam.”
Prayogi (terdiam sesaat, lalu berkata pelan):
“Dan aku berterima kasih, Raksadana. Tapi guru terbaik pun takkan bisa menutup luka seorang anak yang sudah kehilangan kepercayaan kepada Kerajaan.”
Keduanya kembali bertarung.
Kali ini lebih cepat, lebih kuat, lebih menghancurkan. Aura phoenix dan serigala hitam menari dalam pusaran pertempuran.
Pepohonan tumbang. Tanah terbelah. Udara penuh percikan cahaya dan bayangan.
Pertarungan belum menunjukkan tanda akhir, namun medan di sekitar mereka sudah menunjukkan dampak dua kekuatan besar yang bertarung demi keyakinan yang bertolak belakang.
Keris Ardhana dan Gema Batu Napas Langit
Langit mulai bergetar. Rerumputan di sekitar ritual menunduk seakan merespons tekanan tak kasat mata. Lingkaran mantra yang dilukis di tanah bersinar kian terang. Batu Napas Langit, yang tersembunyi dalam pusaran energi alam, mulai memancarkan denyut cahaya biru-putih dari balik altar batu.
Di sisi barat, pertempuran sengit berlangsung. Sanjaya Reksamurti, golok besar bertatahkan rajah darah, berdiri di depan formasi penarik roh dan dua pendeta gelap tersisa. Matanya menyala merah, tubuhnya diselimuti lapisan aura keras bagai batu karang.
Di hadapan mereka:
Jasana Mandira, Bagas Prayoga, Pradipa Karna, Arwani Jayengsaka, dan Mekar Puspitawati. Formasi ini tampak padat, solid, tapi tekanan dari musuh jelas tak main-main.
Sanjaya (mengangkat goloknya):
"Kalian pikir bisa menghentikan ini? Terlambat, anak-anak idealis! Batu itu akan bangkit, dan kami akan menjadi tuannya!"
Jasana diam sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia menggenggam keris Parangjati erat-erat dan berkata dalam hati.
"Ardhana... bimbing aku."
Seketika, cahaya putih bersinar dari dalam kerisnya. Aura tenang, lembut, namun tajam menyelimuti senjatanya. Di dalam pikirannya, terdengar suara lembut:
Ardhana (tenang, bijak):
“Lawan bukan hanya otot dan tenaga, Jasana. Dengarkan niat mereka... lalu temukan celahnya.”
Bagas di sampingnya berteriak sambil memutar tubuhnya dan menumbuk salah satu penarik roh ke semak-semak.
Bagas (teriak):
"YAAA! Kembali ke rahim semesta, wahai hantu penyusup! Heh, bro, ini orang baunya kayak belum mandi empat hari!"
Pradipa (datar):
"Itu karena dia selalu bersentuhan dengan alam kematian, Bagas."
Bagas (masih menghajar musuh sambil nyengir):
"Oh... pantes. Tapi tetep aja, sabun itu hak semua makhluk, hidup atau mati!"
Pertarungan pun pecah.
Arwani melompat ke udara, menembakkan panah spiritual yang meledak menjadi jaring cahaya. Mekar bergerak tenang namun tajam, pedang Sabda Amreta-nya berputar anggun, menghantam salah satu pendeta yang hendak menyelesaikan garis mantra.
Jasana menyerang Sanjaya langsung. Golok lawannya berat, bertenaga, dan setiap tebasan menciptakan retakan tanah. Namun keris kecil Jasana bergerak cermat dan cepat, dilapisi cahaya Ardhana yang terkadang memancarkan getaran putih penuntun.
Sanjaya (menyerang sambil berteriak):
“Kau tak punya kekuatan untuk menghadapi niat besar, bocah!”
Jasana (tenang, menangkis sambil berputar ke sisi kiri):
“Tapi aku punya kehendak yang tak bisa dibeli oleh kekuasaan mana pun.”
Benturan demi benturan menggema. Bagas menggulung dua penarik roh sekaligus dengan Tapak Maruta, membentuk pusaran angin yang menghempaskan mereka ke pepohonan. Lalu ia berseru:
Bagas (teriak ke Jasana):
"Bro! Jangan lama-lama! Batu langit itu mulai bangkit! Jangan sampai keluar duluan kayak kentut pas angkat beban!"
Jasana (berpikir): “...Terima kasih atas analogi yang sangat tidak membantu itu.”
Sementara itu, altar batu kini bergetar makin kuat. Cahaya biru menembus tanah, dan suara seperti napas dalam dari langit terdengar pelan namun semakin menguat.
Ardhana (dalam batin Jasana, tenang):
“Jasana... saatnya. Kalahkan niat gelap mereka sebelum batu itu bangkit dan memilih tuan yang salah.”
Jasana pun menarik kekuatan dari dalam. Cahaya putih melingkar di sekeliling kerisnya. Ia melompat tinggi, berputar di udara, dan bersiap menghantam Sanjaya Reksamurti dengan tebasan yang telah diarahkan oleh bimbingan Ardhana...
Golok Penderitaan dan Cahaya Ardhana
Langit mulai menggelap mendadak. Awan berpusar di atas altar Batu Napas Langit, meskipun fajar belum sepenuhnya usai. Dari kejauhan, suara pertarungan masih menggema, namun perhatian kini terpusat pada Jasana Mandira dan Sanjaya Reksamurti, dua bayangan yang saling berhadapan di tengah medan yang retak dan terbakar aura.
Sanjaya berdiri diam, napasnya berat, tangan menggenggam golok besar yang mulai bersinar dengan cahaya kehijauan dan coklat tua. Senjata itu mengeluarkan dengusan seperti nafas makhluk hidup—bergetar, bernafas... hidup.
Sanjaya (lirih, kepada Jasana):
“Kau pikir hanya kau yang diberkati oleh roh?”
Ia mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Ujungnya memancarkan aura lumpur, akar, dan darah yang kering. Tiba-tiba, aura itu meledak, membentuk siluet monster yang menjulang di belakang Sanjaya—makhluk besar bertanduk bengkok, bermata tiga, tubuhnya menyerupai akar tua yang membungkus tulang, berwarna hijau-coklat berlendir.
Sanjaya (berteriak):
“Bangkitlah, TARUMAGRAHANA, penderitaan yang tak pernah sembuh! Satu-satunya saksi saat aku dibuang dari kemuliaan!”
Golok itu bersinar terang, dan kini bernama Golok Darah Bumi (Bhujangapranala). Aura Tarumagrahana membungkus golok, menebarkan gelombang tekanan spiritual yang menusuk jiwa. Tanah di sekitar mereka pecah seperti kulit bumi yang dikhianati.
Jasana terpaku sesaat.
Di dalam pikirannya, suara Ardhana terdengar lagi—tenang, namun tegas.
Ardhana (dalam batin Jasana):
“Itu adalah roh yang tumbuh dari luka yang tak pernah diobati. Jangan benci dia. Pahami… dan hadapi.”
Jasana menarik napas panjang. Ia mengangkat keris Parangjati-nya, yang bersinar putih terang, menyeimbangi kekacauan warna aura Tarumagrahana. Aura Ardhana muncul sebagai siluet pria tua berjanggut putih bercahaya, melayang di belakang Jasana, menatap siluet monster itu dengan damai.
Pertarungan pun dimulai.
Bhujangapranala ditebaskan, mengirimkan gelombang tanah retak dan serpihan batu. Jasana melompat ke samping, lalu mengayunkan kerisnya ke arah aura busuk tersebut. Cahaya Ardhana membelah aura kelam, namun Tarumagrahana hanya menggeram dan menyerap sebagian besar serangan.
Sanjaya (marah):
“Kau... anak yang baru tumbuh! Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa kehilangan jabatan, harga diri, dan kehormatan yang dirampas!”
Jasana (serius, menangkis tebasan lawan):
“Aku mungkin belum kehilangan pangkat... tapi aku tahu bagaimana rasanya kehilangan arah. Tapi aku memilih untuk tidak larut di dalamnya.”
Benturan aura terjadi. Tarumagrahana menghantam tanah, menyebabkan gelombang lumpur spiritual yang menyerang Jasana. Namun Ardhana membentuk pelindung cahaya tipis yang membuat Jasana bisa terus bergerak.
Keris Parangjati berputar dan menyerang balik, menciptakan pusaran putih yang menerobos pertahanan Sanjaya, hingga membuatnya terdorong tiga langkah ke belakang.
Tarumagrahana meraung—satu nada dalam, penuh duka dan dendam. Wajahnya menampakkan penderitaan dan luka batin yang belum sembuh.
Jasana (dalam hati, lirih):
“Bahkan khodammu pun... hanyalah pantulan dari luka hatimu, Sanjaya.”
Pertarungan masih jauh dari usai, namun kini mereka bukan sekadar bertarung fisik—ini adalah pertarungan makna hidup, harga diri, dan penerimaan terhadap masa lalu.
Api Langit dan Serigala Jagatwala
Di udara yang mulai memanas dan terbelah oleh benturan kekuatan supranatural, dua sosok melayang di atas hutan Kala Wisesa yang porak-poranda. Raksadana, dengan rambutnya yang telah banyak memutih namun matanya menyala dengan tekad, melayang dengan balutan api emas kemerahan dari Khodam Phoenix-nya Sayap Phoenix terwujud di kedua punggungnya, Garundhala. Sementara di hadapannya, Prayogi Mahadipa tampak seperti bayangan tajam, tubuhnya dilapisi oleh aura Wulandara Jagatwala, Serigala Hitam Bertaring Api dengan bulu menyala keunguan pekat.
Cakar-cakar aura dan sayap api dari khodam mereka beradu, menghasilkan ledakan energi yang membuat langit di atas mereka berdenyut seperti nadi langit yang terbakar.
Raksadana (seraya mengayunkan Jatiwisesa):
“Prayogi... bahkan Garundhala menangis melihat murid sepertimu memilih jalan penghianatan.”
Prayogi (mendesis, kerisnya menebas dengan lintasan spiral):
“Murid? Aku hanyalah bayangan yang kalian bentuk lalu kalian tinggalkan. Wulandara-lah satu-satunya yang melihat siapa aku sesungguhnya!, dan Bayawira-lah yang mengerti segala-nya.”
Benturan Pedang Jatiwisesa yang menyala api langit dengan Keris Jagatwara menghasilkan ledakan yang menghancurkan puncak-puncak pohon. Akar-akar terbakar, burung dan roh-roh hutan beterbangan panik. Dua aura khodam melingkar, Garundhala dengan kepakan agung dan suara nyaringnya, Wulandara dengan geraman rendah dan sorot mata memburu—seperti pemangsa yang mengincar jiwa.
Pertarungan udara mereka kian menggila.
Prayogi berputar dengan kecepatan tinggi, aura Wulandara melingkar bagai badai serigala, menciptakan tebasan angin gelap. Namun Raksadana menerobos dengan formasi kepakan Garundhala, melemparkan lima semburan api keemasan yang membentuk lingkaran penjepit.
Raksadana (terengah, tapi penuh keyakinan):
“Masih bisa kau rasakan... kekuatan itu bukan milikmu seorang. Kau masih bisa kembali, Prayogi!”
Prayogi (marah, mata berubah kehitaman):
“Tidak! Aku telah menyatu dengannya... aku dan Wulandara adalah satu! Ini... jalan pilihanku!”
Ledakan besar terjadi saat keduanya mengeluarkan kekuatan penuh. Tanah di bawah mereka membara, menciptakan lingkaran hangus di tengah hutan, pepohonan tumbang dan asap menebal ke langit. Bahkan binatang gaib penjaga hutan enggan mendekat.
Di balik benturan itu, Garundhala terlihat mengepak dengan luka di sayapnya, sementara Wulandara menunjukkan cakar yang mulai meleleh karena terkena api suci. Kedua khodam saling menyerang sambil melindungi tuannya.
Raksadana (perlahan menurunkan posisi ke udara rendah):
“Jika kau telah menyatu sepenuhnya dengan kegelapan... maka aku tak punya pilihan, Prayogi...”
Prayogi (senyum miring):
“Tepat... mati atau menjadi abu.”
Mereka kembali menubruk satu sama lain, suara aura mereka membelah udara, membuat langit di atas Hutan Kala Wisesa retak oleh suara, seolah pertarungan mereka mengguncang takdir tempat itu sendiri.
Bentrokan Jiwa – Garundhala vs. Wulandara Jagatwala
Langit Kala Wisesa menjadi medan bagi pertarungan yang bukan lagi hanya milik manusia.
Setelah ledakan energi terakhir dari pedang dan keris yang berselimut aura, tubuh Raksadana dan Prayogi terdorong menjauh di udara, keduanya terengah namun masih menggenggam senjata. Namun kini, dua wujud kolosal mengoyak batas dunia fisik dan astral—Garundhala, sang Phoenix Emas Api Langit, dan Wulandara Jagatwala, Serigala Hitam Bermata Api Ungu, bangkit dalam bentuk penuh mereka.
Garundhala muncul sebagai burung api raksasa bersayap lebar, setiap kepakan membakar udara, tubuhnya membentuk pusaran cahaya keemasan. Di matanya, kilat kebijaksanaan dan kemurkaan yang terjaga.
Wulandara Jagatwala melompat keluar dari bayangan Prayogi dalam bentuk serigala raksasa seukuran gajah, tubuhnya dilapisi bulu hitam pekat berkilat ungu, taringnya memanjang seperti tombak kembar. Kegelapan mengikuti setiap langkahnya, seolah bumi sendiri menolak kehadirannya.
Benturan dimulai.
Garundhala menyembur napas api ke arah Wulandara, tapi si serigala melompat zig-zag di udara, menerkam leher sang burung api dengan cakar bercahaya ungu. Teriakan Garundhala mengguncang udara, namun ia membalas dengan mengepakkan sayap hingga badai api membakar tubuh Wulandara, mengoyak sebagian bulu dan melukai punggungnya.
Langit berpendar dua warna.
Raksadana (berbisik pada dirinya sendiri):
“Garundhala, engkau bagian dari kemurnian api. Ingatkan dia... bahwa jiwa tak diciptakan untuk dibelenggu.”
Prayogi (mengerang lirih, berdarah):
“Hancurkan dia, Wulandara... jangan beri kesempatan! Biarkan mereka merasakan penderitaanku!”
Di udara, Garundhala terbang melingkar membentuk formasi mandala api, mengurung Wulandara dalam cincin langit. Tapi Wulandara menjejak cakra itu, menciptakan ledakan bayangan dan meloncat ke atas, membuka rahangnya dan menyerang leher Garundhala, membuat nyala api raksasa terguncang.
Benturan Khodam ini mengguncang dimensi spiritual di sekitarnya. Pohon-pohon tua berubah menjadi abu, dan suara-suara roh penjaga hutan mulai merintih.
Pertarungan mulai memasuki puncak.
Garundhala mengerahkan Seruan Matahari Tertutup—sebuah semburan api putih keemasan yang menembus dari dalam dadanya, mengenai dada Wulandara, membuat sang serigala meraung keras hingga bayangannya goyah. Namun Wulandara menjawab dengan Tarian Cakar Neraka—serangkaian tebasan aura gelap yang membelah lima titik pelindung sayap Garundhala, hingga satu sayapnya koyak.
Prayogi (teriak):
“Inilah... kekuatan yang lahir dari kesendirian, penghianatan, dan penderitaan tanpa nama!”
Raksadana (membalas dengan mata tajam):
“Namun itu bukan kekuatan sejati... yang sejati, tumbuh dari pengampunan dan pengendalian, serta kesabaran akan ujian.”
Khodam mereka saling menubruk sekali lagi. Suara benturan terdengar seperti dua gunung saling bertabrakan. Langit meredup. Wajah Garundhala dan Wulandara saling menatap—jiwa yang pernah murni dan jiwa yang tercabik.
Garundhala, meski terluka, mengembang seutuhnya, mengerahkan Sinar Diri Terakhir, menyelimuti tubuhnya dengan cahaya terang seputih embun pagi. Cahaya itu menyeruak melalui bayangan Wulandara, yang mulai tergerus oleh terang. Raungan Wulandara berubah menjadi jeritan pilu—jeritan jiwa yang terpecah, bukan karena kejahatan, tetapi karena kehilangan harapan.
Wulandara (berbicara perlahan dalam bahasa khodam):
“Aku... hanya ingin dikenali.”
Dan seketika, tubuhnya terbelah menjadi siluet-siluet kecil: potongan emosi, trauma, dan penderitaan. Sebagian lenyap, sebagian mengalir kembali ke Prayogi, yang jatuh terduduk di tanah, darah menetes, pandangan kosong.
Garundhala, meski terluka parah, tetap melayang di atas Raksadana, menjaga tuannya, sebelum perlahan menghilang kembali ke dalam dimensi batin.
Raksadana (menatap Prayogi):
“Kau belum sepenuhnya hilang, Prayogi... selama kau masih bisa menyesali, kau masih bisa kembali.”
Prayogi (dengan suara serak):
“Tapi... aku sudah terlalu jauh.”
FLASHBACK – LIMA TAHUN LALU, KOTA TIRABWANA – KERATON MANDALAGIRI
Matahari sore menyapu lembut gerbang utama Kerajaan Mandalagiri, menyinari tembok-tembok kokoh yang membungkus ibu kota megah, Tirabwana. Di halaman utama pelatihan militer, seorang pemuda berpakaian prajurit dengan lambang Perwira Muda menghentakkan kaki dalam latihan. Tubuhnya tegap, tatapannya tajam, rambutnya hitam ikal disisir rapi. Namanya Prayogi Mahadipa—salah satu prajurit termuda dan paling berbakat yang pernah dilahirkan oleh barak Mandalagiri.
Ilmu pedang, tombak, panah, hingga bela diri tangan kosong dikuasainya dengan cepat. Namun ada satu kelebihan yang membuatnya istimewa—koneksi batinnya yang kuat dengan dunia gaib. Di antara malam-malam sunyi, ia sering bersemedi di tengah taman batu atau mendaki bukit sunyi untuk berbicara dengan entitas tak kasatmata. Bukan karena ambisi, tapi karena rasa hormatnya pada alam dan kekuatan spiritual semesta.
Sayangnya, bakat yang bersinar terang juga menimbulkan bayangan iri.
Salah satunya datang dari Nagari, sahabat dekat sekaligus rekan latihan sejak kecil. Di depan orang lain, Nagari adalah saudara seperguruan yang loyal. Namun diam-diam hatinya membusuk karena bayangan keberhasilan Prayogi yang terus mengunggulinya di mata para atasan.
Nagari (dalam percakapan pribadi di barak):
“Kau terlalu sering bermain dengan api, Prayogi. Suatu saat, dunia tidak akan bisa membedakanmu dari orang-orang sesat itu.”
Prayogi (menjawab tenang):
“Aku tidak memuja kegelapan, Nagari. Aku hanya memahami apa yang banyak orang takut pelajari.”
Nagari (dengan senyum palsu):
“Tapi semua itu... tetap berbahaya.”
Tragedi terjadi pada malam penuh gerimis, ketika tubuh Ardika, anak dari salah satu bangsawan saudagar besar, ditemukan tewas di pelataran taman istana. Darah menggenang, dan di sisi tubuhnya—sebuah keris hitam milik Prayogi, warisan leluhur yang biasa ia bawa dalam semedi.
Kabar itu menyebar cepat. Dalam waktu singkat, Prayogi ditangkap oleh pengawal kerajaan, tanpa diberi kesempatan membela diri. Semua mata—bahkan yang pernah memujanya—berubah menjadi tatapan penuh kebencian dan ketakutan.
Di ruang pengadilan militer, Nagari berdiri sebagai saksi utama.
Nagari (tegas, bersandiwara di depan petinggi kerajaan):
“Saya pernah melihat Prayogi melakukan ritual di malam hari... menggunakan keris itu. Dia terlalu akrab dengan dunia gelap, Hakim. Saya khawatir sejak lama.”
Prayogi (berteriak putus asa):
“Itu fitnah! Aku tidak pernah menyentuh Ardika! Keris itu—aku tinggalkan di kamarku! Seseorang... seseorang menjebakku!”
Namun tak ada yang peduli. Nama bangsawan yang berduka terlalu kuat. Teriakan hati Prayogi ditelan bisu pengadilan. Hukuman mati hampir dijatuhkan, tapi seorang penasihat kerajaan mengingatkan pada jasa-jasanya dalam banyak pertempuran penting. Akhirnya, keputusan diubah.
“Karena jasamu di medan perang dan pencapaianmu sebagai Perwira Muda... hukum mati diganti dengan pengasingan dalam penjara militer terpencil.”
Hari pengasingan itu sunyi.
Prayogi melangkah masuk ke penjara batu di lembah terpencil Mandalagiri, dengan tangan terbelenggu, matanya kosong, dan hatinya hancur oleh pengkhianatan.
Prayogi (dalam hati, suara narasi lirih):
“Aku hidup bukan untuk dipuja, tapi untuk melindungi. Namun ketika cahaya tak dipercaya... maka kegelapan pun jadi pelarian.”
Dan dari dalam kegelapan itulah, lahir sosok Wulandara Jagatwala...
Khodam Serigala Hitam yang muncul dari penderitaan, dendam, dan kesendirian mendalam, membalut jiwanya dengan amarah tak terucapkan.
Lembah Terpencil Mandalagiri – Penjara Militer Rahasia
Tengah Malam – Lima Tahun Lalu
Angin pegunungan mengiris dingin melewati jeruji besi sel batu. Bulan menggantung redup di langit kelabu, seolah enggan menyinari tempat muram ini. Di sudut salah satu sel sempit dan lembab, Prayogi Mahadipa duduk bersila di atas jerami tua. Bajunya lusuh, janggut tipis menyelimuti wajah letih, matanya kosong menatap dinding penuh goresan waktu.
Hari demi hari berlalu, kesendirian dan kehinaan memakan jiwanya perlahan. Tak ada teman. Tak ada suara. Hanya napasnya dan desau malam.
Namun malam itu berbeda.
Suatu keheningan tiba-tiba terasa bergemuruh.
Asap tipis menyelimuti ruang sel, dan udara menjadi hangat, berat. Dari sudut tergelap sel, bayangan bergulung seperti kabut hitam keunguan... perlahan membentuk wujud. Mata berwarna ungu membara terbuka di kegelapan, disusul siluet seekor serigala raksasa berbulu hitam legam, dengan lidah api berwarna ungu yang menjilat dari tulang punggungnya.
Wujud itu menunduk tenang.
???:
“Kau tidak sendirian lagi,.”
Prayogi terpaku. Tangannya gemetar, tapi tidak karena takut—melainkan karena jiwanya yang tiba-tiba terasa disentuh dengan lembut.
Prayogi:
“Siapa… kau…?”
Wujud itu menjawab, suaranya seperti gaung dari perut bumi:
“Aku adalah yang terlahir dari penderitaanmu, dari amarahmu yang kau telan sendiri… dari air mata yang tak pernah kau tumpahkan.
Namaku... Wulandara Jagatwala.”
Wulandara bergerak mendekat, tubuh besarnya tak menyentuh tanah. Ia mengitari Prayogi seolah melindunginya. Sorot matanya tak buas, namun teduh, penuh pengertian. Seolah berkata: Aku tahu rasa sakitmu, karena aku juga lahir darinya.
Prayogi (perlahan):
“Kau… kau bukan sekadar khayalan...”
Wulandara:
“Aku nyata. Aku adalah bagian dari jiwamu yang selama ini terkekang. Dan kini, kau tak harus lagi diam dan menerima.”
Prayogi terdiam, namun air matanya jatuh, tanpa isak. Air mata seorang pria yang akhirnya—untuk pertama kalinya—didengar.
Wulandara merebahkan diri di sampingnya, tubuh astralnya menyatu dengan bayangan dinding. Tapi ia tetap di sana. Diam. Setia. Menemani.
Malam-malam setelah itu, meski dalam penjara, Prayogi mulai tersenyum kembali. Ia berbicara pada sosok itu, berdiskusi, tertawa kecil, bahkan berlatih dalam batin bersama Wulandara. Hubungan mereka bukan hanya antara manusia dan khodam, tapi dua jiwa yang sama-sama terluka, saling menguatkan dalam kesendirian.
Wulandara (suatu malam):
“Kelak, saat saatnya tiba… dunia akan tahu bahwa kau bukan pengkhianat, melainkan korban dari keserakahan dan kepalsuan.”
Dan di malam itu, kebangkitan Prayogi Mahadipa yang baru dimulai—bersama Wulandara Jagatwala, Serigala Hitam Api Neraka yang setia.
Sekitar Enam Bulan Setelah Kemunculan Wulandara
Tengah Malam – Saat Hujan Deras Mengguyur Perbukitan
Petir menyambar langit. Gemuruhnya mengguncang dinding-dinding batu tua penjara militer rahasia. Namun di dalam sel batu itu, Prayogi Mahadipa duduk tenang, mata terpejam, bersila di tengah lingkaran goresan yang entah bagaimana memancarkan aura gelap samar.
Wulandara Jagatwala berdiri di belakangnya, dalam bentuk astral, samar tapi nyata.
Wulandara (dalam pikiran Prayogi):
“Malam ini… jiwamu akan bebas. Tapi jalanmu akan berdarah.”
Prayogi membuka matanya perlahan. Pintu selnya terbuka sendiri, tanpa suara. Di baliknya, seorang pria berjas hitam panjang dengan wajah tertutup bayangan pekat berdiri. Wajahnya tak bisa dikenali, bahkan oleh cahaya petir yang menerangi lorong sesaat.
Tubuh-tubuh penjaga bergelimpangan di lorong di belakangnya. Tidak satupun bersuara. Tidak satupun bernapas.
Orang Misterius:
“Waktu kita singkat, Mahadipa. Dunia masih membencimu. Tapi aku... melihat sesuatu yang lebih besar dalam dirimu.”
Prayogi menatap pria itu tajam. Ia tidak mengenalnya. Tapi cara pria itu berbicara, seolah mereka pernah berbagi nasib.
Prayogi:
“Kau siapa…?”
Orang Misterius:
“Seseorang yang sudah tak percaya lagi pada kerajaan. Seseorang yang juga pernah dihukum karena tidak tunduk pada kebenaran palsu.”
Wulandara mengeluarkan geraman rendah, namun bukan ancaman—lebih pada kewaspadaan.
Wulandara (kepada pria itu):
“Jiwamu gelap, seperti malam tanpa bulan. Tapi kau tidak palsu.”
Orang Misterius (tersenyum samar):
“Dan kau... seekor serigala dari jurang penderitaan. Menarik.”
Prayogi:
“Jika kau membantuku keluar dari neraka ini, maka aku akan mengingatmu seumur hidupku. Tapi katakan—kenapa?”
Pria itu menoleh, memperhatikan dinding-dinding penjara yang mulai retak karena ledakan energi sebelumnya.
Orang Misterius:
“Karena Kerajaan ini butuh perubahan. Dan perubahan tidak bisa datang dari mereka yang bersih—tapi dari mereka yang sudah dibuang.”
Ia melemparkan sebuah jubah hitam ke Prayogi. Prayogi mengenakannya, berdiri penuh wibawa untuk pertama kali setelah sekian lama.
Orang Misterius:
“Ikutlah denganku. Kita akan mendirikan sesuatu. Kelompok bayangan. Yang akan mengatur ulang keseimbangan kekuatan kerajaan ini. Namanya belum perlu kau tahu. Tapi kelak, mereka akan mengenalnya...”
Wulandara melolong pelan, suara mistiknya menggema dan menggetarkan udara. Dengan satu lompatan ringan, ketiganya menghilang di lorong, meninggalkan penjara kosong yang hancur, berdarah, dan terlupakan oleh sejarah resmi Mandalagiri.
Dan dari malam kelam itulah, bangkit seorang pengembara yang kelak menjadi lawan berat Guild Bayu Geni—karena keadilan baginya, tidak pernah datang dari mahkota. Tapi dari kehancuran.
PUNCAK PERTARUNGAN – ARENA RITUAL NAPAS LANGIT
Langit mulai kemerahan, bumi gemetar lirih.
Debu dan serpihan tanah beterbangan di sekitar medan pertempuran. Sanjaya Reksamurti terengah-engah, darah mengalir dari sudut bibirnya. Aura hijau kecoklatan menyelubungi tubuh dan golok besar yang ia pegang—Tarumagrahana, Khodamnya, mulai goyah. Di belakangnya, tampak bayangan raksasa berhijau-coklat, bertanduk bengkok, bermata tiga, tubuhnya menggeliat seperti akar tua hidup, mengaum dalam kepedihan.
Sementara itu, Jasana berdiri tegak, tubuhnya penuh luka, namun keris pusaka-nya bersinar putih keperakan, dikelilingi angin lembut yang mengangkat daun-daun kering mengelilinginya. Sosok Ardhana, Khodam miliknya—seorang tua berjanggut putih, mengenakan pakaian serba putih dan berselendang panjang—berdiri di belakangnya, tangan menyentuh bahu Jasana seolah memberkati langkah terakhirnya.
Ardhana (dalam benaknya):
"Ketika kau menebas… jangan benci. Saat kau mengalahkan… jangan sombong. Yang jatuh karena arogansi, biarlah ia belajar dari tanah.”
Jasana mengayunkan langkah.
Tarumagrahana melolong. Sanjaya meraung dan melompat, mengayunkan goloknya dengan seluruh kekuatan Khodamnya yang tersisa.
Sanjaya:
“AKU TIDAK AKAN DIKALAHKAN OLEH ANAK SEPERTIMU!”
Jasana (dengan suara tenang, penuh gema aura):
“Kau kalah… oleh dirimu sendiri.”
Tebasan keris Jasana menerobos udara. Aura putih Ardhana menyatu penuh dengan senjatanya. Serangan itu menusuk tepat ke tengah tubuh Tarumagrahana, dan sesaat makhluk itu menatap langit, seolah menyadari kebenaran—lalu tubuh akar besarnya meledak menjadi serpihan daun gugur, terpental bersama tubuh Sanjaya yang terhempas puluhan meter, menghantam batu besar dan tak bergerak. Sendi-sendinya lumpuh, tubuhnya remuk tanpa luka berdarah, hanya kehancuran dari dalam.
Hening sejenak. Lalu Jasana menurunkan kerisnya, menatap lawannya dengan iba.
SISI LAIN ARENA – TEMAN-TEMAN JASANA
Bagas, Pradipa, Arwani, dan Mekar berdiri tegap di antara tumpukan tubuh pendeta gelap, penarik roh, dan penjaga bayangan yang tersisa. Mekar bersandar dengan napas berat, Pradipa menarik pedang-nya dan menebas ke arah seorang pendeta yang mencoba melarikan diri.
Arwani menghantam tanah dengan pedangnya, membuat pusaran tanah dan api kecil menyapu musuh yang tersisa. Bagas, dengan baju compang-camping dan sarung tangan besinya hangus sebagian, tertawa sambil menendang salah satu mayat penjaga.
Bagas:
“Wah, aku hitung tadi, kita ngalahin dua puluh… atau dua ratus ya? Tapi serius, tadi yang rambutnya botak tuh… keras banget pala-nya, sumpah kayak batok kelapa!”
Mekar (terengah-engah):
“Salah satu dari mereka hampir ngambil rohnya Pradipa tadi.”
Pradipa (tersenyum lelah):
“Untung aku masih sempat menghindar…”
Tiba-tiba, suara dalam bumi menggemuruh. Semua pasang mata menoleh ke tengah altar ritual.
Langit terbuka sedikit, sinar putih keemasan turun perlahan. Dari bawah altar, retakan membentuk jalur lingkaran, dan dari tengahnya muncul batu kristal besar berwarna biru pucat berkilauan—
BATU NAPAS LANGIT.
Udara berubah. Semua makhluk, bahkan angin, terdiam. Batu itu melayang perlahan di udara, memutar pelan, dan menghembuskan aura murni yang menggetarkan jiwa.
Jasana (pelan):
“…Itu dia… Batu Napas Langit.”
Pradipa:
“Kita… berhasil? Atau baru saja memulai malapetaka baru?”
Bagas (menelan ludah):
“Jadi… gimana kalau kita cuma bikin dia bangun lebih cepat?”
Dan dari kejauhan… bayangan kekuatan baru mulai terasa…
KEMUNCULAN BAYANGAN MISTERIUS & MEREBUT BATU NAPAS LANGIT
Langit bergemuruh... Batu Napas Langit muncul… namun kedamaian tak bertahan lama.
Kilatan cahaya putih keemasan yang menyinari altar mulai menghilang. Dari retakan tanah yang terbuka, sebuah batu kristal besar berwarna biru safir bercahaya, muncul perlahan. Batu Napas Langit—sumber kekuatan purba yang disebut-sebut dapat membangkitkan kembali tanah yang mati atau menghancurkan keseimbangan Alam sekitar—kini menggantung di udara, bergetar pelan, seolah memilih pemiliknya.
Namun sebelum siapa pun bisa mendekat, langit tiba-tiba menggelap. Angin berhenti. Dan hawa dingin merayap di kulit.
DOR!!
Sebuah ledakan aura hitam kehijauan menghantam altar dan menghempaskan Jasana, Bagas, Arwani, Pradipa, dan Mekar ke segala arah. Mereka terlempar belasan meter seperti daun kering tertiup badai, tubuh mereka menghantam batu, pohon, dan reruntuhan. Tak satu pun mampu berdiri kembali dalam waktu singkat.
Langkah pelan terdengar. Dari balik asap dan debu, seseorang muncul.
Sosok misterius itu berjalan perlahan menuju Batu Napas Langit. Tubuhnya dibalut jubah dan setelan hitam pekat yang nyaris menyatu dengan bayangan sekitarnya. Topeng besi hitam menutupi wajahnya, hanya menyisakan sorot mata tajam dan hampa. Di dada kirinya, lambang melingkar ular berkepala dua menyala samar—Lambang Bayawira.
Mekar (tersedak):
"I-Itu... lambang itu...!"
Tanpa sepatah kata, sosok misterius itu mengangkat tangannya, dan Batu Napas Langit terhisap masuk ke kantong dimensi kecil di ikat pinggangnya. Semua terasa sunyi, hanya suara bisikan angin dan debu yang masih beterbangan.
Lalu dia menghilang—melesat seperti bayangan, bukan ke langit, melainkan ke sisi hutan, ke tempat Raksadana dan tubuh tak sadar Prayogi Mahadipa berada.
DI TEPI HUTAN – RAKSADANA VS PRAYOGI MAHADIPA SELESAI
Raksadana, dengan tubuh berlumuran luka dan jubahnya hangus sebagian, berdiri terengah-engah. Ia memandangi tubuh Prayogi yang terkapar tak sadarkan diri, Khodamnya, Garundhala, telah lenyap dalam cahaya setelah menguras seluruh tenaga.
Raksadana (dalam hati):
"Prayogi… kau jatuh… tapi kenapa terasa… ada yang salah?”
Tiba-tiba...
"WRUUUNGHH!!"
Gelombang aura hitam kelam menyapu pohon-pohon dan tanah, menghantam tubuh Raksadana dan membuatnya terhempas keras ke batu besar, membuat tanah di sekitarnya retak dan membentuk kawah kecil. Raksadana mengerang keras, matanya melebar. Ini bukan aura sembarangan—ini kekuatan di atas penguasa mana pun yang pernah ia lawan.
Ia menoleh.
Orang misterius bertopeng itu berdiri di samping tubuh Prayogi Mahadipa. Sambil menatap lurus pada Raksadana yang masih terkapar, ia meletakkan telapak tangannya di dada Prayogi.
Raksadana (lemah, penuh tanya):
"K-Kau… siapa kau sebenarnya…?"
Sosok Misterius (suara dalam dan datar):
“Belum waktunya kau tahu, Tapi percayalah, ini bukan akhir... hanya awal dari pertunjukan besar.”
Cahaya hitam membungkus tubuh mereka berdua. Dalam sekejap, tubuh Prayogi Mahadipa dan sosok misterius itu lenyap—seolah ditelan bayangan.
Raksadana menatap langit dengan napas berat… kesadarannya mulai kabur, namun hatinya dipenuhi kekhawatiran. Batu Napas Langit telah direbut. Dan kekuatan kegelapan kini punya taring.