PERTEMPURAN DI DESA KALAPANUNGGAL
Beberapa Waktu yang lalu sebelum Batu Napas Langit Bangkit, Pada Awal-nya 40 Regu tempur Bayawira bersert ke-5 Elit muda Bayawira yang di Pimpin Oleh Wakil Kapten 1 Galang Wrahatama bermaksud untuk mengurung Tim Jalur Darat yang di Pimpin oleh Raksadana dan akan Bergerak kearah Hutan Kala Wisesa, Namun langkah mereka di hadang oleh satu Peleton Batalion Trikandha yang sudah bersiap dari tempat persembunyiannya, dibantu Tim Jalur Bayangan yang di Pimpin Kapten Kalandra Wisanggeni, dan seorang Pendekar Muda Arya Dirgantara. Pertempuran di tengah Desa Kalapanunggal pun pecah.
Langit di atas desa Kalapanunggal memerah, debu dan kepulan asap membumbung dari rumah-rumah yang sebagian sudah dilalap api. Jerit kuda, derap sepatu logam, dan gelegar benturan senjata memecah malam. Desa yang semula tenang berubah menjadi ladang pertempuran berdarah.
Di pusat desa, dua kekuatan besar saling berhadapan.
Kalandra Wisanggeni berdiri di depan barisan Guild Bayu Geni Jalur Bayang, pedang panjang menyerupai katana di tangannya telah dilapisi aura khodamnya yang mengerikan: sekumpulan gagak kehitaman beterbangan mengelilingi tubuhnya, menciptakan aura intimidasi yang berat.
Galang Wrahatama, Wakil Kapten ke-1 Bayawira, maju dengan dua golok bergerigi melengkung yang menyala dengan aura merah membara. Di belakangnya, tubuh humanoid dari kobaran api—khodamnya—berdiri dengan mata penuh kebencian.
Galang (mengejek): "Kalandra... lama tak bertemu. Masih mengandalkan burung-burung bangkainya itu?"
Kalandra (dingin): "Dan kau... masih membakar dunia dengan ambisi buta."
Benturan pertama terjadi. Gagak-gagak hitam menyerbu, sementara kobaran humanoid menerjang balik. Senjata beradu keras, api melawan kegelapan. Tanah retak, udara berdesis karena tekanan aura mereka.
Di sisi lain, Darsa Nagawikrama berhadapan dengan salah satu anggota elit Bayawira, bertubuh kecil namun lincah dengan dua senjata chakram. Darsa menyerang cepat dengan Sahya, pedang pendeknya, dan mengaktifkan bayangan tipuan.
Elit Bayawira: "Cepat... tapi bisa kau potong cakraku?"
Darsa (mengejek sambil menghindar): "Kau harus bisa menyentuhku dulu."
Bayangan Darsa bergerak, menyerang dari sisi yang berbeda, menciptakan ilusi maut di tengah medan pertempuran.
Sementara itu, Arya Dirgantara, pendekar muda dari Kalapanunggal, berhadapan langsung dengan Randi, ketua elit Bayawira, seorang pemanah berbaju ringan dengan mata tajam. Busur di tangannya menari, dan anak panah bercahaya merah melesat ke arah Arya.
Arya menepis dengan Sundala dan Santika, dua belatinya, kemudian berlari zig-zag mendekat.
Arya: "Tak akan kubiarkan kau lukai desaku!"
Randi (menarik tiga anak panah sekaligus): "Desamu akan jadi abu..."
Ledakan terjadi saat ketiganya bertemu dalam jarak dekat, saling mengunci dalam pertarungan jarak pendek.
Di gerbang desa, Batalion Trikandha bentrok dengan 40 orang Regu Tempur Bayawira. Formasi segitiga pasukan Trikandha dengan tombak dan perisai menahan gempuran pedang dan sihir dari lawan.
Prajurit Trikandha: "Pertahankan garis! Jangan biarkan mereka masuk ke tengah desa!"
Komandan Trikandha: "Tahan!! Atas nama Mandalagiri!!"
Gemuruh perisai dan pekikan sihir menyatu. Tanah becek, darah dan tanah, teriakan bergema dari dua kekuatan besar yang bertarung untuk dominasi.
Laras Indreswari menari di tengah bayang-bayang, dua keris Lintang Silam bersinar hijau kebiruan, meninggalkan bekas racun dan ilusi. Ia memburu regu kecil Bayawira, menusuk cepat sebelum kembali ke kegelapan.
Madyan Reksadipa mengayunkan Kundhala Brahmi, cambuk petir yang melesat dengan kilat, menghantam dua musuh sekaligus. Mantra hitam dari segel di lengannya terbuka perlahan, menghisap energi lawan.
Wulan Tresnadewi melindungi barisan belakang, memainkan kipas mantra Sasih Kinayung, menciptakan dinding angin dan jaring halimun dari Benang Jiwa, menahan anak panah dan sihir yang datang.
Sundra Mahendra menerjang dengan tombaknya yang bermata tiga, logam hijau selatan menyala saat ia menembus barisan elit Bayawira.
Sundra: "Mundur kalian!"
Pertempuran terus berkecamuk. Masing-masing pihak menampilkan kekuatan terbaiknya. Namun satu hal jelas: Bayawira tak lagi bersembunyi. Mereka telah menyatakan perang.
Asap mulai menggulung dari beberapa atap rumah yang terbakar. Jeritan warga bercampur dengan dentang senjata, ledakan mantra, dan raungan khodam. Langit pagi yang harusnya cerah, diselubungi aura kabut tipis dari benturan energi spiritual yang terus terjadi tanpa henti.
Di sisi timur desa, 40 regu tempur Bayawira yang mengenakan seragam gelap dengan lambang ular kepala dua menyerang dengan formasi disiplin namun brutal. Mereka membawa berbagai senjata: tombak, pedang panjang, dan senjata jarak jauh, dibantu sejumlah pengguna kekuatan ghaib berlevel menengah. Serangan mereka menghantam dengan kecepatan militer.
Menghadapi mereka, satu peleton batalion Trikandha—sekitar 30 lebih prajurit pilihan Kerajaan Mandalagiri—berusaha menahan gempuran. Mereka membentuk barisan tempur dengan perisai besar dan tombak panjang. Di antara barisan ini, Laras Indreswari dan Wulan Tresnadewi menjadi titik fokus kekuatan bertahan.
Laras Indreswari melesat dengan dua keris melengkung Lintang Silam. Kilatan hijau kebiruan dari kerisnya menyayat udara dan musuh sekaligus, tiap tebasan diiringi jejak cahaya ghaib yang memekik seperti bisikan angin neraka.
"Wulan! Jaga sisi barat! Mereka coba mengepung dari arah pasar!" teriak Laras, tubuhnya memutar, menebas dua prajurit Bayawira sekaligus dengan presisi mematikan.
Wulan Tresnadewi, berdiri gagah di tengah kobaran api kecil, membuka Kipas Mantra Sasih Kinayung, seketika membentuk tameng angin yang menghempaskan musuh di sekelilingnya. Di tangannya yang lain, Benang Jiwa melesat mengikat kaki seorang pemanah Bayawira, lalu menghantamnya ke dinding rumah dengan hantaman ghaib.
"Aku lihat! Tapi bagian selatan juga mulai rapat! Kita terlalu terpisah dari Kapten Kalandra!" jawab Wulan dengan suara lantang.
Di sekeliling mereka, prajurit Trikandha bertarung gagah berani. Beberapa sudah gugur, darah dan debu menyatu di tanah desa yang biasanya damai. Tapi mereka tetap berdiri, menyadari apa yang dipertaruhkan.
“Mereka bukan pasukan biasa… ini jelas penyerbuan terencana,” gumam salah satu prajurit tua Trikandha pada rekannya sambil memuntahkan darah dari bibirnya.
“Gak peduli siapa mereka, ini tanah kita!” sahut yang lain, tombaknya menembus pelindung dada lawan dengan teriakan penuh amarah.
Sementara itu, di antara reruntuhan toko rempah, seorang warga tua menyeret cucunya menjauh dari jalan utama.
“Cepat, Lintang! Lari ke arah ladang! Jangan lihat ke belakang!”
“Biarkan mereka bertarung! Kita harus hidup dulu, Nak!”
Di atas atap rumah yang mulai retak, bayangan khodam Laras—berbentuk wanita bersayap daun cemara—berkelebat di udara, memekikkan aura peringatan, memperluas pengaruh pertahanannya.
Pertempuran terus berlanjut. Dentum ledakan mantra, semburan aura, dan pekik perintah dari kedua kubu memenuhi desa Kalapanunggal. Ini baru tengahnya—dan gelombang paling berbahaya belum datang…
Kabut tipis mulai berarak rendah di antara puing-puing rumah desa yang hancur. Di tengah reruntuhan dan debu, Sundra Mahendra berdiri dengan tubuh tegak, tombak bermata tiga miliknya—Logam Hijau Selatan—berkilat di bawah cahaya matahari yang temaram oleh asap. Di sampingnya, Madyan Reksadipa berdiri gagah, tubuhnya diliputi cambuk petir Kundhala Brahmi yang bergetar halus diselimuti aura keunguan, serta segel mantra hitam yang menyala samar di kedua lengannya.
Menghadapi mereka, tiga elit muda Bayawira telah mengepung, masing-masing dengan senjata dan khodam yang berdesing liar dalam aura mereka.
Yang pertama: Arga Sulindra, bertubuh kekar dengan kapak bermata dua, auranya merah tua menyala membentuk sosok raksasa bertanduk empat.
Yang kedua: Jinawi, wanita bertopeng perak dengan cakar belati melengkung, khodamnya berupa ular bersayap dari bayangan.
Yang ketiga: Paranta, pengguna rantai senjata bercakar lima, khodamnya berbentuk monyet besi bermata hijau yang melompat cepat dari satu bangunan ke lainnya.
Teriakan Jinawi memecah keheningan:
"Dua orang saja melawan kami bertiga? Keberanian atau kebodohan?"
Madyan Reksadipa tersenyum tipis. Suara cambuknya meledak ringan, seperti sambaran petir kecil.
"Tidak perlu tiga untuk mengalahkan dua, kalau dua itu kami."
Pertarungan pun meledak.
Paranta melecutkan rantainya, mencoba mengikat kaki Sundra, tapi dengan satu putaran tubuh, Sundra memutar tombaknya membentuk pusaran udara hijau, menangkis serangan dan memaksa Paranta mundur. Dari belakang, Arga Sulindra melompat turun dari puing atap, kapaknya menukik keras.
Benturan besar!
Sundra menahan serangan itu dengan dua tangan, aura logam hijau menyembur seperti retakan petir ke tanah. Gema keras membuat sekeliling bergetar.
Sementara itu, Madyan sudah bergerak, cambuk Kundhala Brahmi melingkar cepat, membentuk pola petir yang menghantam cakar Jinawi. Sekali sambaran, Jinawi terpental mundur, tubuhnya bergetar karena serangan energi murni.
"Khmm… ini bukan sembarang cambuk...," gumam Jinawi dengan nada terkejut.
Paranta mencoba menyerang dari sisi lain, tapi Sundra Mahendra melompat, memutar tombaknya, lalu melempar ujung matanya dengan gaya lemparan tiga arah. Ujung tombak berputar seperti bumerang, memukul rantai Paranta dan menancap di dinding di belakangnya, menciptakan ledakan aura hijau yang membuat tanah retak.
Madyan, kini memusatkan tenaga. Segel mantranya menyala lebih terang, membentuk lapisan pelindung dan memperkuat cambuknya. Ia melepaskan satu tebasan lurus: ledakan energi petir menjalar lurus ke arah ketiga lawan, memaksa mereka melompat mundur bersamaan.
“Kau lihat, Sundra? Mereka terlalu banyak bicara!” seru Madyan.
“Dan terlalu lambat bergerak,” jawab Sundra tenang sambil menangkap kembali tombaknya.
Ketiganya elit Bayawira kini terluka ringan dan mulai menyadari, dua petarung Bayu Geni ini bukan lawan sembarangan. Wajah-wajah mereka berubah lebih serius, aura khodam makin padat. Tapi sudah jelas, keseimbangan sudah bergeser.
Sundra Mahendra dan Madyan Reksadipa, meski kalah jumlah, mulai mendominasi pertarungan.
Darsa vs Elite Muda Bayawira – Sudut Timur Desa
Asap masih membubung, reruntuhan rumah menyisakan puing dan bara yang membakar. Di tengah tanah lapang penuh retakan bekas ledakan aura, Darsa Nagawikrama berdiri dengan nafas berat. Tubuhnya penuh luka, peluh membasahi rambutnya yang kusut. Di hadapannya, sosok lawannya—Saka Linggar, elite muda Bayawira bertubuh pendek, gesit dan mematikan, pengguna senjata cakram & senar kawat baja yang mampu mencabik dari kejauhan.
Tadi pertarungan mereka nyaris seimbang. Saka Linggar menggunakan kecepatan dan jebakan senar tipis yang menari di udara, melukai Darsa berkali-kali. Tapi Darsa tetap tenang, membaca irama serangan lawan.
Hingga akhirnya…
“Sahya,” pedang pendek milik Darsa, menyala samar dengan aura khodamnya—Aswangga, kucing hitam keunguan berwujud bayangan pekat yang mengendap-endap.
Dalam satu gerakan cepat, Darsa mengelabui Saka dengan menyayat salah satu senarnya sendiri, menyebabkan percikan. Lalu tubuhnya melesat ke sisi kanan, menebas pundak Saka hingga lawan terpental jatuh.
Saka mencoba bangkit.
Namun Darsa tak menyadari… Aswangga tiba-tiba meledak keluar dari tubuhnya.
“Aswangga, jangan—!” pekik Darsa terkejut.
Tapi sudah terlambat.
Kucing bayangan itu mengaum—gigi-giginya memanjang—dan mencakar dada Saka bertubi-tubi, hingga tubuh pendek itu robek dengan suara tulang patah dan semburan darah.
Tubuh Saka berhenti bergerak. Nyawanya terenggut… mengenaskan.
Darsa terduduk, memegangi kepala. Aswangga mengeong rendah, seperti menyesal… lalu kembali menyatu dalam bayangan Sahya.
“Aku belum cukup kuat menahanmu, ya… Aswangga…”
Arya Dirgantara vs Randi – Atap Utama Balai Desa
Sementara itu, di atas bangunan utama balai desa yang nyaris roboh, dua sosok bergerak cepat seperti bayangan.
Randi, pemanah ulung pemimpin elite Bayawira, dengan busur melengkung besar di tangan dan belasan anak panah berpendar merah mengelilinginya. Ia bertarung dari jarak menengah, meluncurkan panah bertubi-tubi dengan teknik Panah Beruntun Bayangan Api.
Melawannya, Arya Dirgantara—pemuda desa Kalapanunggal yang lincah dan tenang, membawa dua belati pendek: Sundala dan Santika. Tubuhnya menari di antara ledakan panah, kakinya lincah seperti kijang, lompat dari satu tiang ke balok lain, bahkan melangkah di dinding.
“Kau terlalu dekat, bocah desa!” seru Randi, menembakkan panah berantai yang membelah udara.
Tapi Arya hanya menangkis dengan putaran ganda belatinya, lalu mendekat cepat.
Serangan balik Arya meledak: gerakan Pedang Lintasan Awan—gerakan cepat dengan serangkaian tebasan pendek dan menyilang. Satu goresan melukai pundak Randi. Satu lagi menyayat kakinya. Dalam satu momentum Arya melompat tinggi dan…
“TEBAKAN DUA SANTIKA!!” serunya.
Dua belati diputar lalu ditebaskan sekaligus ke arah busur Randi, menghantam keras hingga senjata lawan terpental.
Randi mundur selangkah… kehilangan keseimbangan…
Dan terpeleset dari atap.
Tubuhnya jatuh menghantam tanah keras, darah mengalir dari pelipisnya. Ia tak sadarkan diri.
Arya mendarat tak jauh dari tubuhnya, napasnya terengah. Ia menggenggam erat dua belatinya, matanya masih waspada, tapi jelas…
Ia menang.
Desa Kalapanunggal kini penuh asap, tangisan, dan darah…Tapi perlahan, di berbagai penjuru, para pasukan Trikandha & Bayu Geni mulai unggul satu per satu…
Galang Wrahatama, wakil kapten kedua Bayawira—bertubuh tegap, membawa dua golok melengkung bergerigi, berkilat dengan aura merah menyala. Di belakangnya, Khodaṃ berwujud humanoid raksasa berselimut api, berdiri tegak dengan wajah mengerikan seperti bertanduk, seolah dewa perang yang menyala-nyala.
Kalandra Wisanggeni, pemimpin Jalur Bayang Guild Bayu Geni—berdiri tenang dengan tubuh dibalut pakaian gelap seperti bayangan, pedang panjang ramping seperti katana terhunus di tangan kanan, dan kantung senjata rahasia tergantung di ikat pinggangnya. Di belakangnya, aura khodam menyebar pekat—seribu burung gagak coklat kehitaman mengitari tubuhnya, mata-mata merah mereka berkilat seperti neraka sunyi.
Galang menggeram. “Jangan pikir kau bisa menginjakku, Kalandra! Aku bukan orang biasa!”
Kalandra mendesis ringan, suara tenangnya bagai senja yang menanti malam. “Kau tidak lebih dari api kosong. Berisik… dan mudah padam.”
Galang menyerbu terlebih dahulu, mengayunkan dua goloknya bersamaan dengan teknik Gelombang Golok Merah—serangan fisik dan aura menyatu jadi satu, membelah tanah di sekitarnya. Namun Kalandra menghilang sekejap—teknik bayangan ninja tingkat tinggi: Langkah Menyusup Arah.
Saat Galang berbalik…
CRAAK!!
Tiga senjata lempar berbentuk bulan sabit sudah menancap di bahunya. Lalu pedang Kalandra menghantam goloknya dari samping, menghancurkan keseimbangan Galang dan mendorongnya mundur.
Serangan demi serangan diluncurkan, tapi Galang semakin mundur, luka semakin banyak. Kalandra tetap tak tersentuh.
Akhirnya kedua Khodam dipanggil penuh.
Galang berteriak, “Keluarlah, Bathara Agni!!”Kalandra berbisik, “Bangkit… Kala Cakra Ranti.”
Langit menggelap sesaat.
Khodam Galang mengaum, tubuhnya membesar seperti iblis api. Namun begitu khodam Kalandra melebar, seribu gagak berhamburan membentuk lingkaran langit gelap, berputar dengan kekuatan misterius.
“Seribu Gagak… Pemangsa Arwah…!!”“GRRRRRAAAAAAAAAAAAKKK!!!” gagak-gagak itu menerjang seperti badai bayangan.
Mereka menyerbu Bathara Agni, dan dalam hitungan detik, api yang menyala padam satu per satu, tubuh khodam Galang terkoyak dan meledak jadi partikel debu aura.
Gagak-gagak itu tak berhenti. Mereka menerjang tubuh Galang yang jatuh berlutut, tak lagi bisa berdiri.
CRAARR! CRAARRR! CRAARRRRRR!!
Paruh-paruh tajam, cakar-cakar hitam mencabik seluruh tubuh Galang. Jeritannya menggema namun segera lenyap ditelan ribuan sayap pekat. Darah menyembur dari setiap sudut, hingga akhirnya…
Tubuh Galang ambruk… bagai daging tanpa bentuk. Matanya terbuka, tak bernyawa.
Gagak-gagak itu terbang naik… menyisakan kabut tipis kematian.
Kalandra menghela napas. Pedangnya dimasukkan kembali ke sarungnya.
“Satu bayangan telah dipadamkan,” bisiknya.
Lalu ia berjalan menjauh… meninggalkan mayat Galang Wrahatama yang sudah tak bisa dikenali.
Asap tipis masih bergulung dari reruntuhan desa. Mayat-mayat berserakan di antara parit dan reruntuhan rumah. Denting senjata mulai mereda, digantikan oleh desah napas berat dan teriakan luka dari para prajurit yang tersisa. Tapi semua terasa sunyi… sesaat setelah tubuh Galang Wrahatama roboh di tengah medan.
Pasukan Bayawira yang tersisa—mata mereka membelalak tak percaya, menatap dari kejauhan tubuh pemimpin mereka yang tercabik-cabik, tak bersisa bentuk.
“I-Itu… Wakil Kapten Galang…?!”
“Dia… Dia benar-benar mati…”
“Itu… mustahil…!”
Tubuh mereka seketika melemas. Tangan-tangan yang sebelumnya menggenggam senjata dengan penuh keyakinan, kini mulai gemetar. Beberapa menjatuhkan pedangnya. Ketakutan bukan hanya menyelimuti, tapi mencekik.
Mereka melihat ke arah Kalandra yang berdiri tegak, siluetnya dilingkupi bayangan, tatapannya dingin tanpa emosi. Di atas, segumpal gagak hitam masih melayang… seolah menunggu giliran untuk menyerbu mangsa berikutnya.
“Kita harus… mundur…!”
“Lari! Lari!!”
KEPANIKAN meledak. Pasukan Bayawira pecah arah, seperti kawanan serigala tanpa pemimpin. Mereka tak lagi mempertimbangkan taktik atau kehormatan. Naluri bertahan hidup mengambil alih.
Para tiga elit muda Bayawira yang masih tersisa—wajah mereka penuh luka dan debu, saling melirik cepat, kemudian tanpa kata berbalik arah, kabur ke tiga penjuru berbeda.
“Aku tidak ingin mati di sini!”
“Wakil Kapten sudah mati… kita tak punya harapan…!”
“Maafkan kami…”
Sementara itu, Pasukan Batalion Trikandha yang melihat kekacauan itu tak membuang waktu.
“KEJAR MEREKA!! JANGAN BIARKAN KABUR!!”teriak Letnan utama yang memimpin peleton.
Puluhan prajurit bersenjata tombak dan panah mengejar, menembakkan panah ke arah para Bayawira yang lari tunggang langgang.
Beberapa Bayawira terkena panah, roboh menjerit. Sebagian lagi berhasil melompat masuk ke dalam hutan atau memanfaatkan reruntuhan desa untuk menyelinap keluar. Tapi jumlah yang selamat sangat sedikit.
Mereka yang berhasil kabur hanya mengingat satu hal dalam benak mereka—mata Kalandra, dingin seperti batu karang, dan wajah Galang Wrahatama yang tidak utuh lagi.
Hari itu, Bayawira mengalami kekalahan telak. Pasukan mereka hancur, moral mereka remuk. Dan berita kekalahan ini akan menyebar seperti wabah… ke seluruh kerajaan.
Setelah Pertempuran Mereda Desa Kalapanunggal, Tanah Penuh Luka
Asap tipis masih mengepul dari reruntuhan, dan bau darah menguar kuat di udara. Puluhan mayat dari kedua belah pihak, Bayawira dan Batalion Trikandha, bergelimpangan tanpa suara. Langit pagi yang cerah terasa seperti mengejek kehancuran yang baru saja terjadi.
Di antara puing-puing dan tanah berlumpur darah, para penyintas dari Guild Bayu Geni Jalur Bayang berdiri dalam diam. Kalandra Wisanggeni, tubuhnya berbalut darah musuh, berdiri di tengah lapangan yang porak-poranda, tatapannya kosong dan tajam seperti mata burung gagak di bahunya.
Dari arah hutan Kali Wisesa, suara langkah berat menggema. Tanah bergetar sedikit oleh kehadiran Regu Jalur Darat yang dipimpin oleh Kapten Raksadana.
Jasana, Bagas, Pradipa, Arwani, dan Mekar muncul satu per satu dari balik kabut pepohonan. Tubuh mereka penuh luka, debu, dan darah kering. Nafas mereka tersengal, langkah kaki berat. Tatapan mereka campur aduk: lelah, murka, dan kecewa.
Saat mereka tiba, tatap mata Jasana bertemu dengan Kalandra. Keduanya tak berkata apa-apa, tapi saling mengangguk… satu pengakuan diam bahwa mereka telah melewati sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Raksadana, sosok tua perkasa itu, tertatih-tatih ke depan. Darah mengucur dari pundaknya, dan lengan kirinya tampak terluka cukup parah. Namun wajahnya tak menunjukkan rasa sakit—hanya duka.
Dia berhenti di hadapan Kalandra, lalu menunduk sejenak. Semua orang menahan napas.
“Aku… gagal…” suara Raksadana berat, seperti karang yang retak.“Batu Napas Langit… telah dicuri…”
“Apa?” Laras mendesis kaget.“Oleh siapa?!”
Raksadana mengangkat kepala, menatap mereka semua dengan tatapan yang seperti menembus jiwa.
“Seseorang… bertopeng. Sosok yang bahkan aura-nya membuat tanah menggigil. Aura hitam pekat… seperti kematian itu sendiri.”
“Kami mencoba bertahan… Jasana dan yang lain berjuang dengan sekuat tenaga. Tapi… saat Prayogi roboh, orang itu datang…”
Bagas mengepalkan tinjunya, wajahnya menunduk, bahunya berguncang karena kemarahan yang tertahan.
“Dia menyentuh tubuh Prayogi… dan lalu... menghilang. Seperti kabut tertelan malam. Kami tak bisa berbuat apa-apa...”
Kalandra memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu berucap:
“Ini bukan sekadar pencurian. Ini pertanda… bahwa kita sedang menghadapi sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertempuran antar pasukan.”
Sundra Mahendra melangkah mendekat, matanya tajam:
“Jika mereka bisa muncul dan menghilang sesuka hati… kita tidak hanya berhadapan dengan kekuatan manusia.”
“Tapi sesuatu yang jauh lebih kelam…”
Wulan Tresnadewi menatap ke arah langit, kipasnya yang ternoda darah ditekuk perlahan.
“Langit pagi ini… seperti menyembunyikan kebenaran di balik sinarnya…”
Jasana akhirnya bicara, suaranya berat:
“Apa pun yang akan kita hadapi… ini baru awal. Batu itu—kalau jatuh ke tangan yang salah, bisa membangkitkan bencana yang bahkan kerajaan tidak siap menanggungnya.”
Hening. Semua menatap satu sama lain. Anggota Bayu Geni, Batalion Trikandha yang selamat, bahkan penduduk desa yang mulai muncul dari persembunyian, semuanya menyadari satu hal:
Pertempuran telah usai. Tapi perang yang sesungguhnya… baru saja dimulai.
Pascapertempuran Desa Kalapanunggal: Hari demi Hari
Hari Pertama
Langit di atas Desa Kalapanunggal masih kelabu, seolah mengenang tragedi yang baru saja terjadi. Aroma darah dan abu belum sepenuhnya hilang, dan para korban yang gugur—baik dari pihak Bayawira maupun Trikandha—telah dikuburkan secara layak di sisi barat desa, di tanah lapang yang kini dijuluki "Padang Para Penjaga".
Raksadana dan Kalandra, bersama anggota masing-masing, langsung membagi tugas. Yang masih kuat membantu warga mencari korban, menguburkan mayat, dan membersihkan reruntuhan. Jasana dan Bagas terlihat mengangkat balok kayu dari rumah-rumah yang roboh. Mekar merawat warga yang terluka dengan ramuan dan teknik penyembuhan dasar dari guild. Wulan dan Laras mendampingi anak-anak yang trauma, memainkan peran sebagai penjaga dan pereda ketakutan.
Hari Kedua - Ketiga
Tim dari Batalion Trikandha mendirikan tenda darurat sebagai pos medis. Warga mulai bergotong-royong memperbaiki sumur, jembatan bambu, dan jalan tanah yang hancur.
Kalandra sesekali terlihat mengawasi wilayah sekitar desa, memastikan tidak ada ancaman lanjutan dari Bayawira yang mungkin kembali. Sundra Mahendra dan Madyan Reksadipa membantu mengajarkan teknik bertahan diri sederhana kepada warga—untuk berjaga, jika sewaktu-waktu musuh kembali.
Di malam hari, api unggun dinyalakan di tengah desa. Para penyintas berkumpul, berbagi makanan dan cerita. Rasa duka masih menyelimuti, namun kebersamaan perlahan menyembuhkan luka batin.
Hari Keempat - Kelima
Bangunan-bangunan utama seperti balai desa, lumbung pangan, dan tempat umum mulai diperbaiki. Arya Dirgantara, meski terluka, sudah bisa berdiri dan mulai membantu dengan tenaganya. Ia kini terlihat akrab dengan beberapa anggota Bayu Geni, terutama Jasana yang memujinya sebagai pendekar muda berbakat.
Ki Sadyana, kepala desa, mendampingi proses pemulihan. Dalam satu momen sunyi, ia berucap kepada Raksadana:
“Desa kami... hancur bukan karena lemah. Tapi karena dunia luar memang tak bisa kami hadapi sendiri. Kami berterima kasih.”
Hari Keenam
Warga mulai kembali ke kehidupan normal mereka. Ladang mulai dibersihkan, ternak dikumpulkan, dan anak-anak kembali belajar di bale desa. Darsa, meskipun masih terguncang akibat lepas kendalinya Aswangga, ikut membantu memperbaiki pagar desa. Rasa bersalah terlihat jelas di matanya, tapi tak ada satu pun warga yang menyalahkannya—mereka justru mengucapkan terima kasih karena sudah menyelamatkan banyak nyawa.
Hari Ketujuh: Perpisahan
Di alun-alun desa yang kini bersih dan ditata ulang, Raksadana dan Kalandra berdiri di hadapan Ki Sadyana dan para tetua. Di belakang mereka berdiri para anggota Guild Bayu Geni, sebagian sudah siap melanjutkan perjalanan.
Raksadana menunduk dalam-dalam.
“Kami mohon maaf, Ki. Batu Napas Langit gagal kami lindungi. Itu tanggung jawab kami, dan kami akan mencarinya kembali… ke mana pun musuh itu pergi.”
Ki Sadyana menghela napas, lalu menepuk bahu Raksadana dengan hangat.
“Kalian telah menyelamatkan jiwa kami semua. Batu bisa dicari… Tapi hidup kalian jauh lebih berharga. Tak usah meminta maaf.”
Kalandra menambahkan pelan:
“Kami janji… kami tak akan membiarkan kekuatan itu jatuh ke tangan yang salah. Kami akan terus mencari… dan menuntaskan ini.”
Sebelum benar-benar berpamitan, Raksadana menoleh kepada Arya Dirgantara, yang berdiri tak jauh, mengenakan pakaian pendekar barunya.
“Arya… jika kau mau, kami ingin kau ikut bersama kami. Kau dibutuhkan.”
Arya terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Aku butuh waktu… Desa ini masih membutuhkanku. Tapi jika saatnya tiba, aku akan datang. Itu janjiku.”
Raksadana mengangguk perlahan, lalu menatap seluruh warga desa.
“Hidup Guild Bayu Geni.”
“Hidup para penjaga Tanah Leluhur.”
Diiringi tatapan penuh haru dan teriakan perpisahan warga, para anggota Bayu Geni satu per satu melangkah meninggalkan Kalapanunggal, menuju misi baru... dan jejak musuh yang kini mulai mengabur di balik bayangan dunia.
Beberapa hari kemudian setelah pertempuran di Desa Kalapanunggal, Rapat Tertutup di Aula Inti Guild Bayu Geni — Malam Hari
Langit di atas Benteng Angin Kelana, markas utama Guild Bayu Geni, mulai diselimuti awan tebal. Di dalam Aula Inti, tempat sakral yang hanya digunakan untuk rapat-rapat darurat dan keputusan strategis, tampak Adipati Maheswara duduk di kursi utama berlapis kayu gaharu hitam, berhiaskan simbol Burung Geni.
Di hadapannya, kelima Kapten Divisi telah berkumpul:
Raksadana – Divisi Latihan (Panggrahita Aji)
Lodra Wahana – Divisi Ekspedisi dan Perburuan (Raka Lelana)
Mahadewa Rakunti – Divisi Penyihir dan Rohani (Rasa Prawira)
Kalandra Wisanggeni – Divisi Bayangan (Bayang-bayang Geni)
Doyantra – Divisi Ekonomi dan Niaga (Mandala Dhana)
Wajah mereka tegang, masing-masing membawa laporan dan ingatan yang sama: sosok bertopeng berbalut aura hitam pekat.
Adipati Maheswara membuka rapat dengan suara berat:
"Raksadana... jelaskan apa yang kau lihat di Kalapanunggal."
Raksadana, dengan kain perban di lengan dan pelipisnya, angkat bicara:
"Orang itu... muncul saat di ujung pertempuran. Aku dan yang lain sedang kelelahan akibat pertempuran, lalu Batu Napas Langit Bangkit... tapi sosok itu datang mendahului kami. Bertopeng, jubah hitam dengan lambang bayawira... auranya seperti gaung kematian. Aku dan bahkan kami semua tim jalur darat terhempas hanya dengan hempasan Aura hitam yang dia keluarkan."
Mahadewa Rakunti mengangguk perlahan, sorot matanya serius:
"Aura seperti itu bukan dari khodam biasa... Itu kemungkinan besar hasil ikatan roh kelas tinggi. Bisa jadi... ia sudah menembus batas kontrak roh suci atau malah... roh terlarang."
Kalandra, yang duduk bersandar dengan tangan menyilang, ikut menambahkan:
"Dan tekniknya... teleportasi tanpa jejak, tanpa elemen pendukung. Itu bukan mantra perjalanan biasa. Bahkan para pemuka Rasa Prawira pun butuh jimat transisi untuk melakukan teleport jarak menengah."
Lodra Wahana, yang biasanya tenang, kini terlihat gelisah:
"Apa mungkin... dia bukan manusia sepenuhnya?"
Sunyi sesaat menyelimuti ruangan.
Adipati Maheswara menatap api lentera yang berkedip-kedip.
"Apakah ada laporan soal siapa identitasnya?"
Kalandra menggeleng.
"Topengnya dari logam hitam tua, seperti obsidian, tak ada lambang. Tapi suaranya... suara dalam, terdistorsi. Mungkin ada alat di balik topengnya. dan yang pasti dia berasal dari Bayawira entah itu Kapten atau bahkan mungkin Pemimpin-nya."
Doyantra mengangkat satu kertas dari tumpukan laporan:
"Tapi ini yang menarik. Sebelum Batu Napas Langit dicuri, pergerakan dana gelap dalam jaringan perdagangan artefak kuno tiba-tiba melonjak di pasar bayangan Nusapati. Ada transaksi senilai lima kali lipat nilai pasaran batu roh tingkat tinggi."
Adipati Maheswara menajamkan tatapannya.
"Jadi... ada kemungkinan orang bertopeng itu bagian dari organisasi bawah tanah?"
Raksadana menjawab:
"Atau malah, mereka sedang membuka tirai perang baru… dari balik bayangan."
Mahadewa Rakunti menutup dengan nada waspada:
"Kalau benar sosok itu menguasai teleportasi gelap dan kontrak roh tinggi... maka kita menghadapi musuh yang levelnya melampaui apa pun yang pernah kita lawan. Kita bukan hanya harus mengejar Batu Napas Langit... tapi harus siap menghadapi pergeseran kekuatan dunia bawah."
Adipati Maheswara berdiri perlahan. Suaranya tegas namun penuh beban:
"Mulai hari ini, bentukkan tim pelacak bayangan. Prioritas: identifikasi dan temukan sumber kekuatan sosok bertopeng itu. Aku akan mengaktifkan kembali Sangkar Wisesa."
Semua mata menoleh kaget.
Kalandra bersuara lirih:
"Itu... jaringan pengamat rahasia warisan Sang Hyang Wijaya..."
Maheswara mengangguk.
"Jika dunia akan diliputi kegelapan... kita harus lebih dahulu melihat dalam gelap itu."
Pembukaan Sangkar Wisesa
Lokasi: Ruang Rahasia di Bawah Benteng Angin Kelana — Tengah Malam
Setelah keputusan bulat dalam rapat tertutup, Adipati Maheswara memerintahkan pembukaan kembali Sangkar Wisesa, sebuah sistem pengawasan rahasia kuno warisan Sang Hyang Wijaya — pendiri pertama aliran intelijen spiritual di tanah Mandalagiri. Sistem ini sempat dimeteraikan karena sifatnya yang terlalu dalam mencampuri jalur roh dan ruang gaib, menjadikannya kekuatan berbahaya bila jatuh ke tangan yang salah.
Langkah Pembukaan Sangkar Wisesa
1. Persiapan dan Panggilan Para Penjaga Bayangan
Dalam malam hening tanpa bintang, Maheswara memanggil empat orang berpakaian hitam-hitam, bertudung dan berwajah tertutup — Penjaga Bayangan, satuan intelijen rahasia yang tidak terdaftar di struktur resmi Guild Bayu Geni.
“Tandai setiap lokasi di mana aura gelap seperti itu pernah terdeteksi. Buka seluruh jaringan jalur gaib—termasuk yang disegel oleh para leluhur.”
2. Pintu Tertutup di Ruang Bawah Tanah
Ruang bawah tanah di balik ruang taktis Benteng Angin Kelana terbuka. Di sana, di dalam lingkaran segel kuno dengan aksara Kawi Langit, terdapat Arca Wisesa — sebuah patung batu berwajah tiga dengan mata tertutup.
Maheswara meletakkan Cincin Darah Mahameru, warisan darah Sang Hyang Wijaya, ke dalam lekukan tangan patung tersebut. Suara gaib bergema dari dinding:
“Apakah kau benar-benar ingin membuka mata ketiga Sangkar Wisesa... meski bayangan yang dilihat bisa merobek batinmu sendiri?”
3. Pengaktifan Sistem Roh Intelijen
Segel kuno terbuka. Cahaya biru kehijauan menyala dari dalam mata patung. Dari dalamnya, ribuan manik-manik roh pengamat — mata roh kecil berbentuk seperti burung gagak mungil dan kupu-kupu bercahaya — beterbangan ke segala penjuru. Mereka menyatu dengan angin, bayangan pepohonan, dan aliran air, tersebar ke seluruh pelosok bumi Mandalagiri.
“Sangkar Wisesa telah bangkit. Mulai malam ini, tak satu pun gerakan aura gelap akan lolos dari mata para leluhur.”
Fungsi Sangkar Wisesa
Pemantauan Aura Gelap dan Roh Kelas Tinggi
Deteksi otomatis terhadap fluktuasi kekuatan spiritual jahat, teleportasi terlarang, dan kontrak roh ilegal.
Jalur Komunikasi Bayangan
Jalur rahasia antar Divisi Bayang-bayang dan Pusat Komando tanpa perlu utusan fisik.
Peta Lintasan Energi Gaib
Menyusun peta-peta dinamis dari lintasan kekuatan gaib yang berhubungan dengan sosok bertopeng misterius.
Reaksi Para Kapten
Kalandra, yang jarang sekali memperlihatkan emosi, kini memandang patung itu dengan dalam:
“Jika kita membuka Sangkar Wisesa... maka lawan kita pun akan merasa guncangan di alam roh. Mereka akan tahu kita mulai memburu mereka.”
Adipati Maheswara menjawab lirih:
“Biarkan mereka tahu bahwa kita tidak akan tinggal diam... karena perburuan ini baru dimulai.”
Intrik Istana dan Pengkhianatan Darah Bangsawan
Lokasi: Ruang Dalam Istana Wiyata Mandala – Kediaman Para Pangeran, Tengah Malam
Cahaya lentera minyak berkelap-kelip menerangi ruangan megah berlapis ukiran emas dan kain beludru merah. Di tengah ruangan itu, tiga sosok bangsawan berdarah kerajaan tengah duduk mengelilingi meja pendek dari kayu gaharu — seolah sedang bersantai, namun percakapan mereka penuh racun dan rencana gelap.
Tampak Pangeran Aryasatya, si sulung dari istri utama dan Pangeran Mahadarsa, licik dan tenang, dan Sangbra Witanta, ahli strategi sekaligus komandan pasukan pribadi Kerajaan yang terkenal licik. Mereka tertawa kecil di sela anggur dan buah kering, namun yang dibicarakan adalah penggulingan kehormatan darah mereka sendiri — Adipati Maheswara, pemimpin Guild Bayu Geni.
Percakapan Malam Penuh Dendam
Sangbra Witanta meletakkan cawan anggurnya sambil terkekeh:
“Dia pikir hanya karena menumpuk prestasi dari medan perburuan, dia bisa disetarakan dengan darah utama kerajaan?”
“Lucu. Kalapanunggal hancur, Suralaya musnah, dan Batu Napas Langit lenyap di bawah hidungnya… Bahkan dengan dua orang paling sakti di guild itu — Kalandra dan Raksadana.”
Mahadarsa menyambung, suaranya halus tapi menusuk:
“Dan rakyat… mulai ragu. Mudah kita dorong keraguan itu menjadi kebencian. Kita sudah siapkan narasi — bahwa Guild Bayu Geni terlalu ambisius, terlalu berkuasa tanpa kendali, bahwa mereka menampung orang-orang dengan masa lalu kelam…”
Aryasatya, penuh amarah membara, menepuk meja:
“Dia bahkan bukan anak dari permaisuri! Maheswara hanya anak selir dari Raja. Tapi lihatlah — rakyat mencintainya. Itu... harus diakhiri.”
Sangbra Witanta tersenyum penuh siasat:
“Biarkan rumor bertumbuh, dibumbui kematian para tentara kerajaan, para penduduk desa tetapi entah mengapa para anggota bayu geni tidak ada satupun yang menjadi korban jiwa dengan begitu masyarakat pasti akan sedikit curiga.”
Mahadarsa mengangguk pelan, sambil menatap lukisan besar raja terdahulu di dinding:
“Perang bukan lagi soal pedang. Sekarang ini… perang adalah siapa yang bisa membakar kepercayaan lebih cepat. Kita rebut kepercayaan para saudagar, para penanam modal guild. Jika keuangan mereka ambruk, tak peduli seberapa kuat mereka, mereka akan runtuh... seperti tanah longsor.”
Rencana Dimulai
Pangeran Aryasatya menyerahkan daftar bertulisan tangan — nama-nama pengusaha besar, bangsawan minor, dan perantara kekuasaan di kota-kota yang selama ini menjadi penyokong Guild Bayu Geni. Mereka akan dijadikan sasaran propaganda, intimidasi halus, dan iming-iming keuntungan lebih besar jika menghentikan dukungan pada Maheswara.
Sangbra mengakhiri pertemuan malam itu dengan kalimat tajam:
“Adipati Maheswara ingin membuka mata mandalagiri dengan Sangkar Wisesa? Maka biar kita jadi bayangan yang menyusup ke balik mata itu... dan menusuk jantungnya dari dalam.”
Tawa mereka menggema di ruangan, seperti suara burung gagak mengitari menara raja tua yang sebentar lagi runtuh.
Reaksi Maheswara dan Gejolak Internal Guild Bayu Geni
Lokasi: Ruang Rapat Dalam, Markas Utama Guild Bayu Geni – Tirabwana
Sudah tiga hari berlalu sejak dua bencana besar mencoreng nama Guild Bayu Geni.— Desa Suralaya, yang kini dijuluki Desa Mati, bekas percobaan Prayogi yang menyeret roh-roh dalam ritual brutal.— Desa Kalapanunggal, yang kehilangan Batu Napas Langit, sumber keseimbangan alamnya.
Dampaknya meluas. Rakyat mulai bergumam. Para bangsawan mulai bersiasat. Dan para penanam modal dari kalangan saudagar serta penguasa kecil perlahan menarik diri.
Ruang Rapat Guild – Hari Ketiga Pasca Peristiwa Kalapanunggal
Di ruang rapat tertutup berlapis dinding batu waja dan jendela tinggi, para pemimpin Guild Bayu Geni berkumpul. Adipati Maheswara duduk di kursi tengah, mengenakan jubah hitam-kelam berlapis kain perak kebesaran guild. Sorot matanya tenang, namun wajahnya terlihat letih.
Di depannya berdiri Doyantra Puspaloka, Kapten Divisi Mandala Dhana — ahli ekonomi, diplomasi, dan urusan eksternal guild. Wajahnya tegang, suara lembutnya membawa kabar yang berat.
Doyantra:"Adipati… tiga saudagar besar dari Pelabuhan Lambangjati telah menunda pengiriman logistik ke Pos Gunung Surengpati. Dua bangsawan penyokong utama ekspedisi kita, Tumenggung Adhikara dan Adipati Ramakrama, mulai mempertanyakan arah kebijakan dan keamanan dari kerja sama mereka dengan kita.Mereka khawatir... kita sedang bermain terlalu dekat dengan bahaya yang tak bisa kita kendalikan."
Semua hening. Suasana begitu tegang hingga hanya terdengar bunyi embusan angin dari ventilasi batu.
Kapten Kalandra, duduk menyamping, hanya mengatupkan bibir. Di matanya, ini adalah bayangan permainan istana.Kapten Raksadana, berdiri sambil menahan luka lamanya, menatap Maheswara dengan sorot hormat.
Maheswara kemudian angkat bicara. Suaranya datar namun penuh beban:
Maheswara:"Kita menang dalam pertempuran... tapi kalah dalam sorotan.Dan kalah dalam kepercayaan lebih berbahaya dari kalah di medan perang."
Ia berdiri, menyapu pandang para kapten dan perwakilan divisi.
Maheswara:"Aku tahu… ini bukan hanya tentang Kalapanunggal. Ini tentang bayangan di dalam istana. Tentang mereka yang tak senang Guild ini tumbuh melebihi batas yang mereka harapkan.Tapi kita tidak bisa melawan bayangan... hanya dengan kekuatan. Kita butuh strategi. Dan kita butuh... kepercayaan rakyat."
Ia menoleh ke Doyantra.
"Kirim utusan ke para saudagar utama. Jelaskan posisi kita. Tawarkan pembaruan kontrak, dengan sistem pengawasan bersama. Biar mereka tahu… kita bukan kekuatan yang lepas kendali.Dan kepada rakyat Kalapanunggal… kirim tim bantuan logistik dan pemulihan. Gratis. Kita bantu membangun kembali, meski mereka mengutuk nama kita."
Raksadana menambahkan dengan suara parau:
"Biarkan kami juga mengirim perwakilan pendekar muda ke desa-desa sekitarnya untuk menjaga keamanan. Bukan untuk menekan. Tapi untuk menunjukkan bahwa kita masih berdiri di sisi rakyat."
Maheswara mengangguk, lalu memandangi selembar peta besar yang terbentang di meja batu Suralaya, Kalapanunggal… dan bayangan hitam yang makin membesar di antara keduanya.
Penutup Adegan – Awal dari Perang Citra
Kabar niat baik mulai disebarkan.Namun di luar markas guild, para penyebar bisik-bisik, agen bayangan dari para pangeran istana, terus memainkan opini di jalanan.— Bahwa Guild Bayu Geni telah bermain dengan kekuatan yang melampaui kodrat.— Bahwa “khodam” dan eksperimen roh mereka adalah awal dari bencana yang lebih besar.
Maheswara tahu… ini belum berakhir.Perang baru telah dimulai. Bukan di medan laga. Tapi di medan kepercayaan.
Misi Pemulihan Citra Guild Bayu Geni
Lokasi: Halaman Utama Asrama Guild Bayu Geni, Tirabwana – Pagi Hari
Beberapa hari setelah rapat besar di ruang dalam, strategi Maheswara untuk memulihkan nama baik guild mulai dijalankan. Salah satunya: mengirim tim ekspedisi terbuka ke wilayah-wilayah terpencil yang rawan konflik—bukan hanya sebagai bentuk pengabdian, tapi juga simbol bahwa Guild Bayu Geni masih peduli pada akar kerajaan: rakyat kecil.
Tim Khusus Pemulihan – Regu “Geni Lestari”
Lima sosok muda berdiri di pelataran asrama, mengenakan pakaian tempur ringan dan perbekalan perjalanan:
Jasana Mandira, pemimpin misi—tenang dan penuh tekad.
Darsa Nagawikrama, dengan pedang dan taktik jebakan, selalu memetakan rute dan potensi bahaya.
Bagas Prayoga, dengan sarung tangan besi yang masih menunjukkan bekas luka lama, siap menjaga garis depan.
Pratiwi Manggala, cepat, lincah, dan ahli penyamaran; si mata dan telinga regu.
Nandika Sutasmi, tombak tajam dan insting pelindung rakyat; semangatnya tak pernah padam sejak tragedi Kalapanunggal.
Raksadana Memberi Arahan
Raksadana, meski masih tampak lelah dan menggunakan penyangga lengan, berdiri memberi arahan langsung kepada kelima anak muda tersebut.
Raksadana:"Kalian berlima bukan sekadar menjalankan misi. Kalian adalah wajah Guild ini......Wajah yang harus dilihat rakyat sebagai pelindung, bukan penyebab malapetaka.Tujuan kalian adalah Desa Panundaan, sebuah desa nelayan kecil di pesisir barat Mandalagiri.Sudah dua kali desa itu diserang bandit dalam sebulan. Kami curiga, itu bukan bandit biasa.Ada kemungkinan... sisa-sisa Bayawira mencoba menciptakan kekacauan di daerah terpencil."
Ia memandang satu per satu wajah mereka.
"Berangkatlah sebelum matahari meninggi. Dan ingat, kalian tak hanya harus menang...Tapi juga harus membuat rakyat percaya bahwa mereka aman... saat nama 'Bayu Geni' disebut."
Persiapan dan Keberangkatan
Dengan pelana kuda dan kantung suplai di punggung, regu kecil itu bersiap menyusuri jalur barat menuju pesisir.
Sebelum mereka pergi, Kapten Kalandra datang tanpa suara, memberi mereka gulungan kecil bersegel merah.
Kalandra (pelan):"Jika kalian bertemu tanda keberadaan kelompok bayangan Bayawira... buka ini."
Ia lalu pergi tanpa penjelasan lebih lanjut.
Penutup Adegan – Jalan Menuju Panundaan
Angin pagi membawa kabut tipis dari arah barat saat lima orang itu memacu kudanya meninggalkan Tirabwana.Di cakrawala, suara camar dan bau asin laut mulai terasa…Sementara di kejauhan, sebuah desa nelayan yang tenang—dan mungkin, berbahaya—menanti kedatangan mereka.
Malam Hari – Desa Panundaan, Pesisir Barat Mandalagiri
Malam pertama regu “Geni Lestari” tiba di desa nelayan kecil ini. Langit penuh bintang, angin laut berhembus lembut, dan suara deburan ombak jadi latar alami yang menenangkan... tapi juga menyimpan sesuatu yang tak terlihat.
Mereka berlima baru saja disambut oleh Kepala Dusun setempat dan diberi tumpangan sementara di sebuah balai bambu sederhana dekat tepi pantai. Warga desa terlihat ramah, tapi ada sorot takut di mata mereka saat membicarakan serangan sebelumnya.
Obrolan Malam – Di Dalam Balai Bambu
Di dalam balai, obor dipasang seadanya. Jasana duduk bersila membaca peta desa. Darsa sedang membuat sketsa rute patroli. Pratiwi membersihkan bilah senjatanya sambil menguping. Nandika tengah membalut luka kecil di lengan. Dan… tentu saja, Bagas duduk paling santai dengan sepotong ikan bakar di tangan dan wajah berminyak karena makan rakus.
Bagas (dengan mulut penuh):
"Nih ikan bakar desa ini... wushh, rasanya kayak ditampar pakai pelukan emak pas pulang telat!"
Pratiwi (menoleh dengan alis naik):
"Gimana sih tuh perumpamaannya, Gas?"
Bagas (mengunyah):
"Ya... manis, pedes, penuh kehangatan, tapi tetep aja... nyelekit!"
Semua tertawa kecil, termasuk Jasana yang biasanya serius.
Darsa Ikutan Menggoda
Darsa:
"Bagas... kau tuh satu-satunya orang yang bisa bikin analogi antara makanan dan trauma masa kecil."
Bagas (sambil menggigit ikan lagi):
"Itu tandanya penuh rasa, Darsa. Liat aja, kalo aku jadi Khodam, namaku pasti 'Rasa Mandalagiri'."
Nandika (berusaha tahan ketawa):
"Habis itu kamu tinggal di cobek batu dan muncul tiap ada sambal."
Bagas:
"Betul! Dan mantra panggilanku cuma: Gas, bikin sambal!"
Tawa meledak lagi, bahkan Pratiwi ikut menyandarkan kepala ke dinding sambil tergelak. Suasana ringan itu menjadi penting setelah hari-hari berat sebelumnya.
Jasana Menutup Obrolan
Jasana (tersenyum tipis):
"Terima kasih, Bagas. Obrolanmu absurd, tapi ampuh bikin kita rileks.Tapi ingat... besok pagi kita mulai patroli.Kalau Bayawira memang sembunyi di sini, kita harus siap. Malam ini jaga bergilir, aku duluan."
Bagas (berbaring):
"Oke, oke... tapi tolong bangunin aku kalau ada serangan......atau kalau ada ikan bakar gelombang dua!"
Kamera perlahan menyorot ke luar balai, memperlihatkan pantai gelap dengan bayangan karang, suara ombak masih bergulung...…dan dari kejauhan, sesosok mata mengintai dari balik pohon kelapa, tanpa suara.