Bab 13 - Para Kapten Bayawira Mulai Bergerak

Esok Harinya di Desa Panundaan – "Setelah Kabut Menghilang"

Mentari pagi perlahan naik dari ufuk timur, menyinari desa Panundaan yang mulai menggeliat kembali. Aroma garam laut bercampur dengan bau tanah basah dan arang sisa pertempuran malam sebelumnya. Debur ombak di kejauhan terdengar lebih tenang, seolah ikut menghembuskan rasa lega.

Di tengah jalanan utama desa yang belum sepenuhnya pulih, terlihat Jasana, Darsa, dan Bagas bahu-membahu bersama para warga lelaki—mengangkat reruntuhan rumah, memperbaiki pagar kayu yang patah, serta membersihkan puing-puing sisa ritual sesat yang dilakukan oleh Sekte Mata Niskala.

Jasana berdiri dengan lengan tergulung, tubuhnya berpeluh, namun wajahnya tetap tenang. Ia mengangkat sebatang balok kayu besar dari depan rumah salah satu warga bersama dua pria desa.

Darsa terlihat memberi arahan dengan tenang kepada beberapa anak muda desa. Ia memperlihatkan denah sederhana yang ia buat dari arang di tanah, membantu mereka menata ulang susunan tanggul pemecah ombak yang sempat rusak.

Bagas, dengan gaya khasnya, sedang menarik kereta dorong penuh serpihan bambu dan batu sambil berseru,“Ayo-ayo, siapa cepat dia dapat… teh panas gratis dari Mbok Suni kalau kita selesai sebelum matahari di ubun-ubun!”

Anak-anak desa pun tertawa melihat gaya lebay Bagas, yang sesekali berakting seperti kuda jantan yang kelelahan.

Sementara itu, di balai kesehatan desa Panundaan, Pratiwi dan Nandika membantu warga yang terluka ringan hingga parah.

Pratiwi, dengan ketelatenan luar biasa, sedang membersihkan luka seorang kakek yang terkena pecahan batu saat ritual berlangsung. Ia menggunakan cairan herbal sambil menenangkan sang kakek dengan suara lembut.

“Sabar ya, Kek. Ini agak perih sebentar, tapi habis itu bisa makan pepes ikan lagi…”

Nandika, meski biasa garang di medan pertempuran, kini terlihat lembut saat membantu membalut luka seorang anak perempuan yang ketakutan. Ia duduk sejajar dengan si bocah, tersenyum dan berkata,

“Luka ini bukan tanda kalah, tapi tanda berani. Kamu hebat ya, berani bantu menyelamatkan adikmu semalam.”

Di antara mereka, berdiri seorang tabib perempuan berusia sekitar tiga puluh tahunan, berwajah tenang dengan sorot mata penuh pengalaman. Namanya Tabib Raras Suyatmi, yang dikenal warga sebagai penyembuh terbaik di sepanjang pesisir barat Mandalagiri. Ia mengenakan pakaian sederhana berwarna tanah liat dan sabuk rotan tua tempat ia menyimpan berbagai ramuan.

“Kalian berdua cepat belajar dan penuh rasa,” ucap Tabib Raras kepada Pratiwi dan Nandika,

“Kalau Guild Bayu Geni punya pendekar seperti kalian, maka tak hanya perang yang bisa mereka menangkan... tapi juga harapan.”

Kata-kata itu membuat Pratiwi menunduk sambil tersenyum, sementara Nandika sekilas menoleh ke jendela, melihat kilau laut yang perlahan membiru kembali.

Desa Panundaan hari itu kembali bernapas. Tapi semua tahu, ketenangan ini hanya sekejap. Karena bayangan dari dua kepala ular masih menunggu di kegelapan Mandalagiri…

Di Perbatasan Hutan Bakau – “Dua Bayangan di Balik Jubah Pengelana”

Mentari siang merambat naik di langit barat Mandalagiri, menyinari dua sosok penunggang kuda yang tampak seperti pengelana biasa. Jubah lusuh membungkus tubuh mereka, dan seutas ilalang terselip santai di mulut salah satunya.

Namun bila diperhatikan lebih saksama, gerakan keduanya terlalu sigap untuk sekadar orang kampung biasa. Ya, mereka adalah Jagatmarma, Kapten Barat Bayawira dari Kelompok Bayawira, dan wakilnya yang setia namun sering sial, Teksaka.

Kuda mereka melaju pelan di jalan setapak, menyusuri jalan keluar dari desa Panundaan menuju arah selatan, melewati pohon-pohon kelapa dan ladang-ladang sunyi. Tidak ada tanda buru-buru. Hanya percakapan ringan—yang semakin absurd tiap kalimatnya.

Jagatmarma (mengulum ilalang, bersandar malas di pelana): "Teh kelapa muda di Tirabwana itu... ah, manisnya sampai bisa bikin orang lupa hutang negara."

Teksaka (berkerut dahi, kuda nyaris melenceng): "Kapten, ini bukan waktu piknik! Sekte Mata Niskala hancur, bayangan kita hilang, dan kita malah... mau ke kota buat minum kelapa?"

Jagatmarma (menoleh santai, tatapan licik): "Justru itu. Kau pikir strategi hanya lahir di ruang rapat dan medan perang? Inspirasi itu butuh... suasana. Dan suasana terbaik itu ya di warung kelapa sambil lihat gadis penjual sate."

Teksaka (menyeringai kesal, namun tak bisa membantah): "Aku rasa... satu-satunya strategi yang kau pikirkan sekarang adalah mencuri hati Para Gadis dan janda-janda muda!"

Jagatmarma (terbahak, nyaris jatuh dari pelana): "Hoho! Kau tahu aku lemah pada wanita berambut cepol dan suara cempreng! Itulah kelemahan terkuatku."

Teksaka (geleng-geleng, menahan tawa): "Kita ini buronan kerajaan dalam diam, bukan pasangan pelancong cinta! Setidaknya... bisa kita ganti jubah? Yang ini bau ikan asin sejak dari rawa kemarin."

Jagatmarma (sambil mencium lengan jubahnya sendiri): "Hmm... aromanya autentik. Ini bukan bau ikan—ini bau penyamaran kelas tinggi."

Teksaka: “Ini bau jompo, Kapten.”

Jagatmarma: “Haha! Bahkan musuh pun enggan mendekat kalau hidungnya tak kuat. Ini pertahanan pasif!”

Mereka pun terus melaju ke arah Tirabwana, di mana angin kota membawa riuh keramaian dan aroma sate tusuk yang merusak logika militer. Tapi dalam kejenakaan mereka, sesungguhnya ada rencana. Kota Tirabwana bukan hanya tempat berlibur—namun tempat bersemainya langkah Bayawira berikutnya…

Senja di Pantai Panundaan – “Sejenak untuk Tertawa”

Langit Panundaan mulai berubah warna, menyiratkan senja yang lembut. Sinar mentari jatuh miring ke permukaan laut, memantulkan kilau jingga keemasan yang memesona. Debur ombak perlahan menggulung, seolah mengelus pantai dengan irama tenang.

Di bawah sebatang pohon kelapa miring yang menghadap laut, tiga sahabat duduk santai. Jasana, Bagas, dan Darsa—bertiga dalam diam yang nyaman, masing-masing menggenggam batok kelapa muda segar yang baru saja mereka tebas dari pohonnya sendiri.

Jasana (menyesap, matanya menerawang laut): "Aku tak pernah membayangkan bisa duduk seperti ini... setelah semua yang terjadi kemarin. Rasanya seperti hidup kembali."

Darsa (tersenyum tipis): "Dan kita masih hidup... walau nyaris dijadikan lauk makhluk bayangan."

Bagas (menyandarkan tubuh ke pohon, berseru): "Lauk? Aku sih yakin mereka trauma setelah nyaris kutampar pakai Tapak Maruta-ku! Kalau bukan karena ditarik ke alam ghaib, pasti udah kulari keliling pantai sambil nyanyi."

Jasana (tertawa): "Nyanyi? Bagas... suaramu itu bikin arwah tenang karena putus asa, bukan karena indah."

Bagas (menekuk wajah, pura-pura kesal): "Jangan salah! Suara saya itu... mistis! Pernah bikin seekor kucing kesurupan diam dan tidur tiga hari!"

Darsa (terbahak, menepuk lutut): "Itu namanya trauma suara, bukan ketenangan spiritual!"

Bagas (sambil mengelus perut): "Aku sih cuma kangen makan banyak. Tadi pagi nasi cuma satu piring... masa pahlawan kayak kita gak dapat jatah tambahan?"

Jasana (menenggak air kelapa, tenang): "Kadang yang kita butuhkan cuma... secuil ketenangan. Dan air kelapa."

Bagas (menatap kelapanya dengan khidmat): "Air kelapa ini... rasanya seperti pelukan nenek di musim hujan. Adem. Manis. Dan... kadang bikin kebelet."

Darsa: "Yakin itu bukan karena kau minum lima batok, Bagas?"

Bagas: "Haha! Ini namanya detoks tubuh sekaligus jiwa!"

Mereka tertawa bersama, gelak mereka menyatu dengan desir angin pantai yang hangat. Senja mengiringi tawa itu dengan lembut, memberi mereka waktu sejenak untuk benar-benar merasa muda dan bebas—tanpa ancaman, tanpa strategi.

Sore itu... adalah hadiah kecil dari dunia yang keras.

Kota Tirabwana – Malam Hari di Toko Pakaian

Angin malam Tirabwana berhembus lembut, membawa aroma rempah dari pasar malam yang mulai ramai. Kota ini, ibukota kerajaan dengan jalan-jalan batu yang terang oleh lentera minyak dan bangunan berarsitektur megah, tetap hidup meski hari telah larut. Lampu-lampu temaram menerangi toko-toko yang masih buka, termasuk sebuah toko pakaian sederhana di sudut jalan utama.

Di dalam toko itu, dua pria sedang sibuk memilih-milih pakaian.

Yang satu bertubuh kekar dan tinggi, rambut panjang diikat ke belakang, wajahnya dihiasi janggut tebal namun terawat, dan langkahnya penuh percaya diri. Ia adalah Jagatmarma, Kapten Barat Bayawira yang kini menyamar sebagai rakyat biasa. Meski memakai pakaian lusuh dan berbau keringat serta lumpur, ia tampak seperti bangsawan yang sedang bertamasya... dalam balutan kain karung.

Yang satunya lebih ramping, bermuka tajam dan tenang, dengan sorot mata tajam yang terus-menerus melirik kanan-kiri penuh kewaspadaan. Dialah Teksaka, Wakil Kapten Barat, yang tampak gelisah berada di tengah hiruk-pikuk kota. Tindak-tanduk Kaptennya yang santai membuatnya ingin menenggelamkan diri ke tong minyak terdekat.

Jagatmarma (memegang jubah biru laut dengan bordir naga emas di lengan):

"Ah! Yang ini bagus, kan? Cocok buat makan malam di istana, atau kabur dari pengejaran sambil tetap gaya."

Teksaka (berbisik keras): "Kapten... kita di sini menyamar. Menyamar. Tolong jangan pilih jubah yang lebih mencolok."

Jagatmarma (mengangguk, lalu menunjuk celana sutra merah menyala): "Baik, kalau begitu yang ini saja. Sederhana."

Teksaka (mengerang pelan): "Kapten... itu tidak sederhana. Itu tampak seperti pakaian untuk pertunjukan tari api."

Jagatmarma (tertawa, lalu memeluk satu set pakaian abu-abu tua yang lebih kalem): "Baiklah, baiklah. Yang ini saja, hanya agar kau tidak terus mengomel seperti ibu saya saat saya bermain lumpur."

Teksaka (berbisik lebih tajam): "Aku hanya ingin kita selesai cepat. Kita belum tahu seberapa jauh informasi tentang Panundaan menyebar."

Penjaga toko, seorang pria tua dengan kacamata bundar dan suara pelan, mendekat sambil tersenyum sopan: "Tuan-tuan berasal dari mana? Jarang ada pelancong dengan lengan sekeras kayu jati dan tatapan seolah ingin membunuh cermin."

Jagatmarma (tersenyum santai, menyodorkan beberapa koin emas): "Hanya pelancong dari desa pegunungan. Ingin menikmati angin kota dan... mengganti baju yang baunya bisa membangunkan roh leluhur."

Teksaka (menunduk pelan, berdesis): "Aku masih tidak percaya kita sedang berlibur, Kapten."

Jagatmarma (mengancingkan bajunya yang baru, menyisir rambut dengan jari): "Kau harus belajar... menikmati perburuan. Bahkan pemburu sesekali perlu bersantai sebelum kembali menerkam."

Sambil membawa pakaian lamanya dalam karung lusuh, mereka meninggalkan toko. Jagatmarma berjalan santai seperti seorang pedagang kaya yang baru saja memenangkan undian pasar, sementara Teksaka terus-menerus melihat ke belakang, mewaspadai segala gerak-gerik.

Namun di balik semua kesantaiannya, ada rencana yang tengah dirajut. Kota Tirabwana bukan hanya tempat peristirahatan—tapi titik berikutnya dalam pergerakan Bayawira.

Bar "Arunika" – Tirabwana, Malam Hari

Tempat berkumpul santai para petualang dan anggota Guild Bayu Geni

Lonceng kecil berdenting saat pintu bar “Arunika” terbuka. Aroma asap daging panggang dan arak kelapa menyambut masuknya dua pria asing berpenampilan sederhana—namun bagi yang jeli, ada aura tak biasa dari mereka.

Jagatmarma, kini dalam pakaian abu-abu bersih dan rapi, menyingsingkan lengan bajunya dan tersenyum puas. Teksaka, masih dengan ekspresi murung namun patuh, menyusul dari belakang, tetap memperhatikan sekeliling seperti seekor serigala penjaga kawanan.

Suasana di dalam bar ramai, obrolan penuh tawa, denting gelas kayu beradu, dan nyanyian dari musisi jalanan yang duduk di sudut ruangan. Di beberapa meja, terlihat anggota-anggota guild Bayu Geni sedang bersantai—walau tak ada dari inti tim Jasana di sana malam ini.

Jagatmarma (menarik kursi dan duduk dengan santai): "Tempat yang bagus untuk bersantai... dan makan ayam panggang."

Teksaka (berdiri di samping meja, tidak duduk): "Kapten... ini tempat nongkrong anak-anak Bayu Geni. Kau yakin ingin mengobral wajahmu di sini?"

Jagatmarma (menyandarkan tubuhnya sambil menepuk perut): "Teksaka, Teksaka… ingat pelajaran dari serigala kadang yang paling aman adalah di tengah kawanan mangsa. Siapa yang curiga pada dua pelancong lapar yang ingin minum arak dan dengar lagu?"

Seorang pelayan perempuan muda datang membawa baki.

Pelayan: "Selamat malam, tuan-tuan. Mau pesan apa?"

Jagatmarma (tanpa ragu): "Ayam panggang dua ekor, nasi gurih, arak kelapa seember, dan... oh, kue kelapa jika ada."

Teksaka (berbisik pelan dengan alis terangkat): "Apa kau ingin perutmu atau rahasiamu yang bocor duluan?"

Jagatmarma (menjawab sambil tersenyum): "Kalau perut kenyang, rahasia lebih mudah dijaga."

Saat makanan datang, Jagatmarma mulai makan dengan lahap seolah tidak ada kekacauan atau konspirasi yang sedang berlangsung. Sementara Teksaka akhirnya duduk, meskipun hanya mencicipi sedikit dan lebih sering menatap satu per satu wajah di bar.

Di seberang ruangan, beberapa petualang mengenali mereka sebagai orang asing, tapi tidak mencurigai apa pun. Penyamaran mereka nyaris sempurna—karena justru terlalu mencolok kalau mereka terlihat terlalu ‘tak mencolok’.

Jagatmarma (sambil mengunyah, mata memicing ke arah salah satu meja): "Kau lihat yang di sana? Itu anak Bayu Geni. Dengar-dengar pernah ikut ekspedisi di Lembah Jangkrik Hitam."

Teksaka (mengangguk pelan): "Dan di sebelahnya, kalau tidak salah mantan tukang sihir jalanan yang sekarang ikut divisi penyihir Rasa Prawira."

Jagatmarma (menyeruput arak dan tersenyum miring): "Bagus. Kita tetap di sini sebentar. Dengarkan cerita, cari celah. Lalu pulang dengan kepala penuh... bukan perut saja."

Teksaka (menghela napas panjang): "Kalau tidak gila, pasti jenius."

Jagatmarma (angkat gelas, bersulang): "Semoga keduanya."

Malam terus bergulir. Di tengah tawa dan musik bar, dua mata tajam menyerap informasi tanpa suara. Dan tanpa seorang pun tahu, dua dari Bayawira telah menjejakkan kaki mereka ke jantung kota Tirabwana—di tengah pesta dan nyanyian damai.

Ruangan Gelap, Markas Rahasia Bayawira – Tengah Malam

Suara detak alat-alat medis sederhana bercampur dengan gemuruh lembut api obor. Di tengah ruangan yang suram, tubuh kekar seorang pria terbaring lemah di atas ranjang batu hitam. Tubuhnya dibalut perban dari dada hingga kaki, beberapa luka dalam tampak masih menyala samar dengan bekas energi mistik. Di sekelilingnya, tiga orang tabib dengan pakaian kelam dan penutup wajah sedang sibuk merawat luka-lukanya menggunakan ramuan herbal, mantra penyegel luka, dan alat penyambung syaraf rahasia Bayawira.

Wajah pria itu—sekarang terlihat jelas dalam cahaya obor—adalah Prayogi Mahadipa, Kapten Timur Bayawira (Kapten Ke-4). Matanya terpejam, kulitnya pucat, dan napasnya berat namun stabil. Bekas pertarungannya dengan Raksadana, yang mengguncang Kalapanunggal, telah meninggalkannya dalam koma selama berhari-hari bahkan lebih dari dua minggu.

Suasana sunyi mencekam. Namun, dari balik tirai bayangan di luar ruangan, sebuah siluet muncul… berjalan perlahan dengan langkah mantap. Sosok berjubah hitam itu berdiri di depan pintu batu tanpa suara, hanya aroma aura gelap yang menggantung pekat di udara.

Dari jubah hitamnya, tersemat simbol ular berkepala dua melingkar di dada kirinya—tanda khas Bayawira. Tapi kehadirannya memancarkan rasa lain dingin, dalam, dan jauh lebih mengancam. Wajahnya tertutup topeng hitam polos, hanya mata terang yang menyala seperti bara dalam gelapnya malam.

Sambil menatap tubuh Prayogi dari kejauhan, dia bergumam lirih…

Sosok Misterius (dalam hati, suara dalam dan tenang):

“Prayogi... terlalu tergesa-gesa. Kau memaksa masuk ke pusaran kekuatan Raksadana tanpa perhitungan. Kini, kau terkapar. Kita kehilangan banyak anggota dan Sumber Daya di Timur... Kalapanunggal jadi luka sejarah Bayawira."

Dia membalikkan badan pelan, berjalan meninggalkan lorong tanpa menimbulkan suara langkah sedikit pun. Sebelum menghilang, dia kembali bergumam dalam hati…

“Tapi setidaknya... Batu Napas Langit sudah di tanganku. Dua kekuatan besar telah kami kuasai... Batu Ekstraksi Roh-roh Purba tingkat tinggi dari Suralaya dan Batu Napas Langit, tinggal lima lagi. Tidak perlu tergesa. Aku akan... bersantai sebentar, sembari memulihkan Sumber Daya dan Pasukan.”

Bayangan tubuhnya lenyap dalam kabut pekat di ujung lorong, bersatu dengan kegelapan.

Dunia tidak tahu… bahwa permainan kekuatan baru saja dimulai kembali—dan Bayawira belum selesai.

Pagi Hari di Desa Panundaan — Halaman Depan Balai Desa

Mentari pagi memantul tenang di permukaan laut, udara pantai membawa aroma garam dan semilir angin yang menyejukkan. Desa Panundaan mulai beraktivitas kembali seperti biasa. Suara burung camar bersahut-sahutan di atas perahu-perahu yang berjajar rapi di dermaga. Di halaman depan balai desa, Jasana, Bagas, Darsa, Nandika, dan Pratiwi berdiri rapi di atas pelana kuda masing-masing, siap berangkat kembali ke Kota Tirabwana.

Mereka mengenakan pakaian perjalanan yang bersih, dengan perbekalan sudah tertata di pelana. Jasana berada paling depan, memegang kendali kudanya dengan tenang, sementara Bagas sudah sesekali menguap dan menepuk-nepuk leher kudanya yang ia beri nama "Si Cempluk".

Di depan mereka, berdiri Ki Aryanata, tetua desa Panundaan, bersama beberapa warga yang datang untuk mengantar dan mengucapkan salam perpisahan.

Ki Aryanata (tersenyum bijak): "Kalian sudah menorehkan jasa besar bagi desa ini... Terimakasih, anak-anak. Semoga jalan kalian selalu terang, dan kelak jika angin membawa kalian kembali ke Panundaan, kami akan menyambut kalian dengan hangat."

Jasana (membungkuk hormat di atas kuda): "Kami yang berterimakasih, Ki. Atas segala keramahan, kepercayaan, dan pelajaran yang kami dapat di sini. Kami akan segera laporkan misi ini ke Markas Guild di Tirabwana."

Pratiwi (tersenyum sambil melambai ke beberapa anak kecil desa): "Jaga diri ya, semuanya! Jangan bandel, nanti kalau laut sedang marah, ombaknya bisa bicara!"

Anak-anak: "Iyaaaa Kakaaaaa~!"

Bagas (berteriak ke warga yang membawa keranjang makanan): "Mbak! Bungkusin cemilan panundaan lima puluh biji buat bekal jalan dong! Hahaha—eh... beneran tuh?"

Gelak tawa pun terdengar. Suasana menjadi hangat dan penuh keharuan. Darsa tersenyum kecil sembari membetulkan pedang sahya di punggung, sementara Nandika memandangi laut sejenak, seolah menyimpan janji dalam hati.

Akhirnya, setelah saling berpamitan, Jasana mengangkat tangan tinggi-tinggi.

Jasana: "Bayu Geni! Siap jalan!"

Yang lain serempak: "SIAP!!"

Mereka pun mulai memacu kuda perlahan, meninggalkan desa Panundaan yang kini kembali damai. Debu jalanan pantai berterbangan pelan di belakang mereka. Penduduk desa melambaikan tangan dengan senyum bangga dan rasa terima kasih.

Langit cerah. Ombak tenang.Tapi mereka tidak tahu… bahwa bayangan gelap telah bergerak menuju Tirabwana lebih dulu.

Markas Guild Bayu Geni — Malam Sebelum Tengah Malam

Udara malam di Kota Tirabwana masih hangat, namun mulai dipeluk angin sejuk khas dataran tinggi. Di kejauhan, gemerlap cahaya dari lentera-lentera kota tampak seperti bintang yang turun ke bumi. Suara derap kaki kuda terdengar berirama memasuki gerbang besar Markas Guild Bayu Geni, menandai kembalinya sekelompok anggota muda dari misi mereka yang baru saja selesai.

Jasana, Darsa, Bagas, Nandika, dan Pratiwi menghentikan kuda-kuda mereka tepat di depan pelataran batu di mana lambang besar Bayu Geni terpahat di tengah-tengah. Suasana markas sunyi. Pintu depan utama sudah tertutup, hanya menyisakan cahaya dari lentera kecil dan beberapa penjaga yang berjaga malam.

Bagas (melirik jam air di dinding dekat menara depan): "Walah… udah lewat jam kerja para penjaga meja pelaporan. Nggak bisa langsung setor misi, nih."

Darsa (menurunkan pedang dari punggungnya, tenang seperti biasa):"Sudah kuduga. Jam operasional bagian administrasi selesai setelah lonceng kesepuluh malam. Kita lapor besok pagi saja."

Pratiwi (meregangkan lengan dan menguap kecil): "Aku bahkan tak ingin bicara terlalu banyak sekarang. Kasur terasa lebih memanggil dari pada pujian Staff Pelaporan atau Para Kapten."

Nandika (tersenyum):

"Setidaknya, kita bisa tidur nyenyak malam ini. Tak ada ilusi gaib, jebakan sekte, atau jebakan Bagas."

Bagas:"Eh! Aku bukan jebakan. Aku pemecah suasana tegang!"(sambil menepuk dada dan kemudian bersin karena debu pelana)

"Dan mungkin juga pemecah rekor ngorok!"

(Tawa ringan pecah di antara mereka.)

Mereka berjalan ke arah kandang kuda Guild Bayu Geni, sebuah bangunan besar dari kayu dan batu, dengan aroma jerami dan suara kuda yang tenang di dalamnya. Mereka menyerahkan tali kekang kepada petugas jaga malam di sana.

Darsa (sambil menepuk bahu Jasana):"Aku langsung pulang. Rumahku tak jauh dari distrik barat. Besok pagi kita bertemu di ruang pelaporan, ya."

Jasana: "Baik, Darsa. Hati-hati di jalan. Sampaikan salam pada Orangtuamu."

Darsa: "Akan kusampaikan. Terimakasih."

Darsa melangkah pergi, bayangannya perlahan menghilang di lorong-lorong kota malam. Sementara itu, Jasana, Bagas, Pratiwi, dan Nandika berbalik menuju arah asrama Guild, yang terletak di sisi timur dan barat kompleks markas.

Bagas (menoleh sambil berjalan): "Tunggu, tunggu! Jangan ada yang ngajak sparring malam-malam ya. Kalau masih mimpi lawan sekte kemarin, aku pura-pura tidur aja."(disambut lemparan kecil bantal lipat dari Pratiwi)

Pratiwi: "Simpan tenagamu buat ngorok, Bang Gembul!"

Nandika (tersenyum geli): "Sampai besok pagi, teman-teman. Tidur nyenyak."

Mereka akhirnya berpencar, Jasana dan Bagas menuju asrama laki-laki, Pratiwi dan Nandika ke asrama perempuan. Markas Guild Bayu Geni kembali sunyi. Hanya suara serangga malam dan desir angin yang menemani. Tapi ketenangan ini hanya sementara… karena esok, dunia akan bergerak kembali.

Pagi Hari – Ruang Pelaporan Misi, Markas Guild Bayu Geni

Mentari pagi menyapu kota Tirabwana dengan cahaya keemasan yang hangat. Di dalam markas megah Guild Bayu Geni, lorong-lorong mulai ramai oleh langkah para anggota guild yang bersiap menjalankan tugas atau melaporkan hasil misi mereka.

Di salah satu sisi bangunan utama terdapat Ruang Pelaporan Misi, sebuah ruangan luas dengan meja-meja panjang yang ditata rapi, dipenuhi tumpukan gulungan naskah, peta, dan berkas laporan. Di balik meja-meja itu duduk para petugas administrasi guild—mereka bekerja dengan cekatan, mencatat, mengecek dokumen, dan sesekali memberi cap pengesahan dengan stempel berlogo api yang melingkar seperti angin—lambang resmi Guild Bayu Geni.

Kelima anggota tim: Jasana, Darsa, Bagas, Pratiwi, dan Nandika, memasuki ruangan bersama, berpakaian rapi dengan lambang kecil guild yang tersemat di dada kiri mereka. Jasana membawa gulungan laporan misi yang telah mereka susun bersama malam sebelumnya.

Petugas Meja 3, seorang pria muda berkacamata bernama Soma, menyambut mereka dengan senyum profesional.

Soma: "Selamat pagi, Tim. Wah, kalian ini yang baru pulang dari Panundaan, bukan? Kami sudah dengar kabar dari pos utara. Silakan lapor di sini."

Jasana (menyerahkan gulungan laporan): "Ini laporan lengkap misi, termasuk kronologi, kondisi desa, penyergapan Sekte Mata Niskala, dan keterlibatan pihak eksternal."

Soma mulai membaca laporan itu cepat namun teliti, sesekali mengangguk puas.

Soma: "Luar biasa… ini rapi sekali. Tindakan kalian cepat, tepat, dan yang terpenting: misi berhasil tanpa korban jiwa dari pihak sipil. Sungguh kerja tim yang patut dicontoh."

Bagas (membungkuk santai): "Terima kasih, kami juga hampir dibakar sekte itu, jadi anggap saja ini laporan dari lima orang yang nyaris jadi sate."

Pratiwi (menepuk bahu Bagas): "Kamu saja yang hampir jadi sate. Aku sih tetap cantik meski bau asap."

Soma tertawa kecil, lalu memberikan isyarat kepada staf di belakangnya. Tak lama kemudian, sebuah kotak kayu dibawa ke depan mereka. Isinya adalah kantong-kantong kulit berisi koin perak dan emas.

Soma:"Sebagai kompensasi dan bentuk penghargaan dari Guild Bayu Geni atas keberhasilan misi kelas-B ini, masing-masing anggota mendapatkan upah sebesar 80 koin perak dan 10 koin emas. Silakan diterima."

Kelima anggota saling berpandangan, tersenyum lebar. Nandika bahkan tampak terkejut.

Nandika: "Ini… lumayan banget. Bisa buat beli tombak baru yang kusukai itu!"

Darsa (memeriksa kantongnya): "Atau memperbaiki rumah. Lumayan lah."

Bagas:"Aku… mungkin akan beli kasur baru. Yang lebih empuk dari batu Panundaan."

Mereka tertawa kecil. Setelah tanda terima ditandatangani dan semua proses selesai, mereka pun mundur dari meja pelaporan dengan hati lega dan rasa puas. Pekerjaan telah dilaporkan, misi selesai, dan kini mereka punya waktu sejenak untuk beristirahat—atau mungkin, bersiap menghadapi tantangan berikutnya yang sudah menanti di balik bayang-bayang dunia.

Gua Rahasia Mandalagraha — Markas Bayawira

Waktu: Malam, cahaya obor berkedip-kedip di antara batu-batu hitam basah. Aroma tanah dan kabut memenuhi udara.

Tersembunyi di balik pegunungan berkabut di sekitar Gunung Mandalagraha, terdapat sebuah gua besar yang menjadi markas rahasia Bayawira—organisasi kelam yang beroperasi dalam bayang-bayang kekuasaan. Dinding gua dihiasi ukiran ular kembar melingkar dan bendera-bendera hitam yang berlogo ular berkepala dua di dada sebelah kiri setiap anggotanya.

Di tengah ruangan utama, terdapat meja batu bundar yang dikelilingi oleh empat sosok penting Bayawira—kapten dan salah seorang wakil kapten dari penjuru arah kekuasaan mereka.

Cahaya obor menyorot pertama ke sosok bertopeng hitam, berdiri dengan tangan bersedekap. Hanya cahaya matanya yang terpancar dari balik topeng, memancarkan aura tekanan yang membuat udara terasa berat. Ia tak memperkenalkan nama—karena semua orang tahu dia adalah Pemimpin Bayawira Tertinggi.

Di sampingnya berdiri seorang raksasa bertubuh kekar, berkulit sawo matang legam, mengenakan zirah gelap yang berlapis baja berlogo ular melingkar di dada kiri. Di punggungnya tergantung dua kapak raksasa yang bilahnya terukir motif naga.

Dialah Kapten Utara Bayawira: Kandhara Mangkara Dikenal sebagai “Penggempur Dingin Utara”, pria brutal yang tenang namun sekali bergerak menghancurkan barisan musuh dalam sekejap.

Duduk bersila di sisi lain meja, terlihat sosok tua berjanggut panjang keabu-abuan, mengenakan jubah resi berwarna hitam legam. Matanya tajam dan tenang, di tangannya menggenggam sebuah tongkat sihir kuno berhias ukiran tengkorak naga dan batu obsidian di ujungnya.

Inilah Kapten Selatan Bayawira: Resi Wighna Laksa Seorang mantan tabib kerajaan yang kini membelot menjadi penyihir gelap dan mengatur pasukan dari balik tirai.

Di sisi terakhir, seorang wanita muda bersenjata belati melengkung, mengenakan pakaian gelap yang ketat dan rapi. Wajahnya cantik namun penuh kejengkelan. Di dada kirinya tersemat lambang Bayawira. 

Dia adalah Ratri Andani, Wakil Kapten Barat Bayawira (Wakil Kapten ke-2), Dia mewakili sang kapten utama, Jagatmarma, yang kini malah asyik “liburan” di Tirabwana bersama Teksaka.

[Dialog dan Rapat Rahasia Dimulai]

Pemimpin Bayawira (Topeng Hitam) (dengan suara berat dan datar)"Divisi Timur hancur total... Prayogi Mahadipa masih terbaring koma. Setengah pasukan mereka musnah di Kalapanunggal. Dan kini, Guild Bayu Geni makin menguat."

Kandhara Mangkara (menggeram pelan) "Prayogi terlalu congkak. Mengira bisa menumbangkan Raksadana sendirian. Akibatnya, dia dan pasukannya menjadi bahan tertawaan."

Resi Wighna Laksa (suara pelan tapi tajam) "Aku sudah peringatkan. Lawan-lawan lama dari masa perang belum mati. Mereka hanya tidur. Dan kini satu demi satu bangkit."

Ratri Andani (melipat tangan, wajah kesal) "Dan kapten barat kami? Jagatmarma? Dia malah main-main. Jalan-jalan ke Tirabwana, makan di bar, beli baju baru. Apa dia pikir ini masa damai?"

Kandhara Mangkara (sedikit tertawa dingin) "Itu memang gaya dia. Santai... tapi saat bertarung, aku sendiri enggan berhadapan langsung. Kau tahu kekuatannya, Ratri."

Ratri Andani (menghela napas panjang) "Aku tahu... dia bahkan bisa mengalahkan 10 penjaga elit dalam lima menit tanpa berkeringat. Tapi tetap saja—setidaknya beri laporan!"

Pemimpin Bayawira (membalas dingin) "Santai, tidak berarti lemah. Jagatmarma tahu apa yang dia lakukan. Kita kehilangan Timur. Tapi Batu Napas Langit dari Kalapanunggal sudah di tanganku."

Semua diam sesaat. Aura magis pekat menyelimuti gua.

Resi Wighna Laksa (melihat Pemimpin dengan mata sempit) "Itu artinya... dua kekuatan purba kini di tangan kita. Tinggal lima lagi, dan ritual bisa dimulai..."

Pemimpin Bayawira "Benar. Tapi kita tidak perlu terburu-buru. Bayu Geni belum sadar apa yang sedang bergerak dalam bayang-bayang mereka. Biarkan mereka bermain sebagai pahlawan sebentar lagi."

Ratri Andani (menyeringai tipis) "Lalu, siapa yang akan kita kirim untuk menekan langkah mereka selanjutnya?"

Pemimpin Bayawira (menoleh ke arah Kandhara) "Kapten Utara akan bergerak dalam waktu dekat. Tapi bukan untuk menyerang langsung... Kita akan kirim peringatan. Biarkan mereka mencium aroma ketakutan."

Kandhara Mangkara (mengangguk perlahan, matanya menyala)"Sudah lama kapakku haus darah."

Setelah pembicaraan tentang kegagalan Prayogi Mahadipa, suasana ruangan makin pekat. Api obor bergoyang pelan di sela diam yang menegangkan.

Ratri Andani (mendecak kecil, bersandar di kursi batu) "Selain kehilangan pasukan, kita juga kehilangan modal besar di Kalapanunggal. Satu gudang senjata ilegal kita dihancurkan oleh pasukan Trikandha dan Satgas Bayusekti yang entah dapat informasi dari mana."(nada tajam, penuh kecurigaan)"Mungkin ada mata-mata di antara kita."

Kandhara Mangkara (mendesah pelan, menghela napas berat) "Gudang itu menyimpan setidaknya tiga peti artefak langka dan dua mantra segel tingkat tinggi. Semuanya lenyap. Kita butuh waktu berminggu-minggu untuk dapatkan kembali di pasar bayangan."

Resi Wighna Laksa (suara tenang, nyaris seperti berbisik) "Pasar Bayangan Nusapati kini juga makin diawasi. Para pedagang gelap mulai takut. Kita butuh jalur distribusi baru... mungkin lewat perbatasan Wulantara atau lewat laut Utara."

(menyentuh tongkatnya, berpikir dalam-dalam) "Dan kita masih punya koneksi lama di Pelabuhan Mangindara, jika kalian ingat."

Ratri Andani "Koneksi kita kuat, tapi kas kita menipis. Tanpa hasil rampasan dari Kalapanunggal, kita tidak bisa terus membayar informan dan penyuap pejabat seperti biasa."

(menatap tajam ke arah sosok bertopeng)"Apa kita tidak akan melakukan serangan balasan atau misi penyergapan untuk menutupi kerugian?"

Pemimpin Bayawira (Topeng Hitam) (suaranya dalam dan menggelegar meski tenang) "Tidak... Kita tidak akan mengulang kesalahan Prayogi. Kegagalan itu terjadi karena tergesa-gesa dan memaksakan kehendak."

(ia melangkah ke depan meja, bayangannya jatuh panjang ke lantai batu)

"Sekarang bukan waktunya menyerang. Kita observasi. Kita rancang ulang skema distribusi kita di Pasar Gelap Nusapati. Biarkan Guild Bayu Geni mengira mereka menang..."

(berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada berat)"...karena ketika kita bergerak lagi, mereka tidak akan punya waktu untuk merespons."

Kandhara Mangkara (mengangguk pelan) "Aku tidak suka menunggu. Tapi kalau itu perintah... aku akan jaga perbatasan Utara dan kawal distribusi senjata baru."

Resi Wighna Laksa "Aku akan mengaktifkan kembali jaringan dukun hitam di Selatan. Mereka masih setia padaku."

Ratri Andani (melirik sinis ke arah kosong tempat biasanya Jagatmarma duduk)

"Dan aku... akan mengurus kelakuan kaptenku sebelum dia menimbulkan masalah lebih besar."

Pemimpin Bayawira_"Bagus. Bergeraklah perlahan. Tapi jangan berhenti. Dan ingat... kita sudah punya dua dari Tujuh Kekuatan Purba. Kemenangan bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa yang paling sabar menunggu semua jatuh ke tempatnya..."

(lampu obor mulai padam satu demi satu, meninggalkan ruangan hanya dengan gema suara dan embusan napas dingin dari perut gua)

Setelah Rapat Rahasia — Markas Bayawira, Gua Tersembunyi Mandalagraha

Kabut tipis bergelayut di dalam ruangan batu setelah rapat rahasia selesai. Api terakhir dari obor padam perlahan, menyisakan hanya cahaya redup dari kristal hitam di dinding. Sang Pemimpin berdiri di depan kedua kapten dan salah satu wakil kapten yang mewakili, suaranya bergema tegas dan penuh perhitungan.

Pemimpin Bayawira (Topeng Hitam) "Kita tak akan bergerak besar-besaran dalam waktu dekat... tapi itu tidak berarti kita harus tidur."

(mengangkat tangan, seolah membagi udara di depannya)

"Lakukan kejahilan kecil. Goyahkan sedikit tatanan. Rampok karavan. Curi artefak kecil. Ganggu pos-pos kecil. Tapi… jangan terlalu mencolok ."

(suara menajam) "Ini demi keuangan kita. Demi jaringan kita tetap hidup."

Ketiganya mengangguk hormat. Suasana menjadi lebih cair, meski aura gelap tetap terasa.

Kandhara Mangkara — Kapten Utara Bayawira (suara berat, menepuk dua kapak besar yang tergantung di punggungnya) "Wilayah utara akhir-akhir ini sunyi. Terlalu damai. Mungkin sudah waktunya memancing beberapa bocah Bayu Geni ke luar sarang."

(tersenyum miring dengan nada menantang)"Aku ingin melihat seperti apa kekuatan generasi baru mereka. Mungkin saja aku menemukan bakat muda untuk dijadikan tawanan... atau umpan."

(ia membungkuk singkat pada pemimpin, lalu berjalan keluar dengan langkah berat dan tegas menuju lorong utara gua.)

Resi Wighna Laksa — Kapten Selatan Bayawira (duduk bersila sebentar, menunduk)"Sudah saatnya para dukun hitam di Selatan kembali dibangunkan dari tidur mereka. Mereka masih memiliki hutang pada nama Laksa."

(mengangkat tongkatnya yang berkilau redup di ujungnya) "Ada darah lama yang bisa dibangkitkan… dan mantra-mantra yang telah lama dikubur."

(ia berdiri perlahan dan menyusuri lorong berliku ke arah Selatan, seolah tenggelam dalam kegelapan itu sendiri.)

Ratri Andani — Wakil Kapten Barat Bayawira (menghela napas keras, melipat tangan di dada)"Sementara itu, aku punya urusan pribadi... ke Tirabwana."

(matanya berkilat marah)"Jagatmarma pikir ini semua hanya piknik dan minum anggur. Tapi dunia sedang terbakar, dan dia masih bersantai."

(menggigit bibirnya lalu bersikap tenang kembali) "Aku akan memastikan dia mengingat siapa yang mengatur keseimbangan wilayah Barat saat dia liburan."

(tanpa membungkuk, ia berbalik cepat dan melangkah keluar dengan langkah ringan dan lincah menuju pintu keluar utama gua, meninggalkan keheningan di belakangnya.)

Pemimpin Bayawira (Topeng Hitam) (berdiri sendiri di tengah ruangan, menatap api kristal yang berkedip pelan)

(gumam dalam hati)"Bermainlah, Bakar pelan-pelan negeri ini dengan luka kecil... sampai mereka tak sadar bahwa badai besar sudah tepat di depan mata."

Angin dingin dari dalam gua berhembus. Terdengar suara gaung langkah-langkah terakhir menghilang, menyisakan sunyi dan aroma rencana yang baru dimulai.

Mentari sudah mulai condong ke barat, cahayanya menyelinap samar melalui kisi-kisi kayu di ruang latihan tertutup. Keringat membasahi tubuh Jasana dan Bagas, pakaian pelatihan mereka basah di beberapa bagian. Lantai kayu tatami tampak penuh jejak kaki dan goresan ringan akibat latihan intensif.

Mereka saling berdiri berhadapan di tengah ruangan. Jasana menggenggam pedangnya dengan tenang, posisi kuda-kudanya rendah namun lentur, tubuhnya condong mengikuti pola Bayu Lelana, seolah menjadi bagian dari arus angin itu sendiri. Sementara Bagas telah melepas pelindung lengan, hanya menyisakan sarung tapak besi yang terpasang erat di tangannya. Otot-ototnya menegang, namun matanya berbinar penuh semangat.

Bagas (menarik napas panjang, lalu tersenyum jenaka):"Hati-hati ya, Jas. Jangan sampai nanti pedangmu patah kena tamparanku."

(mengepalkan tangan dan menggetarkan lantai dengan hentakan kecil)"Tapak Bajra ini bukan buat ngelus pipi lawan."

Jasana (tersenyum tenang): "Kalau aku kalah, aku akan traktir kau makan di kedai seribu rasa."

(mengangkat pedang dalam posisi miring, siap menari dengan angin)"Tapi kalau kau yang kalah, kau harus bersihin kamarmu yang penuh kaus kaki bau itu."

Bagas: "Wah, taruhan yang berat."(tertawa sebelum melompat maju dengan ledakan energi dari kakinya)

Fase Awal – Kocak dan Seimbang

Mereka mulai bertarung. Jasana dengan gerak mengalir, memutar dan menghindar serangan Bagas. Sementara Bagas menggunakan kekuatan dan gaya bertarung langsung dengan serangan-serangan eksplosif. Terkadang ia menambahkan komentar kocak di tengah gerakan.

Bagas (sambil memutar badan dan meninju):"Ini namanya jurus 'Tapak Dewa Lapar'—kena satu langsung pingin makan!"

Jasana (menangkis dan berputar): "Sayangnya aku kenyang!"

Serangan dan tangkisan mereka diselingi tawa. Namun setelah beberapa menit, ekspresi mereka mulai berubah.

Fase Serius – Fokus dan Teknik

Bagas mulai menutup celah, gerakannya lebih terarah. Pukulan-pukulan Tapak Bajra-nya mulai menghasilkan gelombang udara, cukup untuk menggetarkan tubuh jika terkena langsung. Jasana mulai memperlihatkan teknik Bayu Lelana yang sesungguhnya—menyelinap di antara momentum lawan, menggunakan arah angin sebagai panduan gerak dan menahan hanya di titik penting.

Suara benturan keras antara sarung besi dan bilah pedang menggema. Percikan api sesekali memercik di antara benturan keras itu.

Fase Akhir – Seimbang

Mereka terus bertukar serangan. Bagas menyerang dari bawah, Jasana melompat dan memutar tubuhnya di udara, pedangnya berputar mengikuti arah angin. Bagas menangkis dengan kedua tangannya dan membalas dengan hentakan keras ke lantai, membuat Jasana terguncang sebentar.

Namun Jasana menggunakan momen itu untuk menyelinap di belakang Bagas, mengarahkan ujung pedangnya ke tengkuk. Bagas justru berbalik cepat dengan pukulan memutar ke arah perut. Keduanya berhenti... tepat sebelum serangan mereka mengenai.

Hening sejenak.

Mereka saling menatap. Nafas terengah. Peluh membasahi dahi. Tapi senyuman mengembang di wajah keduanya.

Bagas: "Kurasa... kita imbang."

(menurunkan tangan dan duduk bersila di lantai)"Kau ngeri juga kalau serius, Jas."

Jasana (menurunkan pedang, lalu duduk di sampingnya):"Kau juga. Teknik Tapak Bajra itu... kalau sedikit lagi kena, bisa bikin tulang retak."

Mereka duduk berdua, diam dalam keheningan yang damai, hanya terdengar suara napas mereka dan semilir angin dari jendela.

Bagas (sambil memejamkan mata):"Gini nih yang kusebut hari produktif."

Jasana (mengangguk pelan):"Setiap tarikan napas adalah latihan... setiap keringat adalah pengetahuan."

Kota Tirabwana, Siang Hari, Beberapa Hari Kemudian

Suasana kota Tirabwana sedang riuh namun teratur. Pedagang berlalu-lalang, anak-anak berlarian, dan pengunjung dari berbagai daerah memenuhi jalanan utama. Di antara keramaian itu, seorang perempuan muda berjalan dengan langkah cepat namun berusaha tenang.

Ratri Andani, Wakil Kapten Barat Bayawira (Wakil Kapten Ke-2), kini mengenakan pakaian sederhana khas penduduk desa pegunungan barat—kain selendang tenun dan ikat kepala kecil. Tak ada yang menyadari bahwa di balik wajah lembut dan senyum tipisnya, ia menyimpan kekesalan yang mendalam.

Ratri (berbisik sambil berjalan menyusuri lorong kota):"Kapten Jagatmarma... kau benar-benar keterlaluan. Liburan ke kota, lalu menghilang tanpa kabar? Apa ini gaya kepemimpinan barat sekarang?!"

(ia menarik napas kesal)"Huh… sekarang aku harus mencari jarum di tengah lautan manusia bernama Tirabwana."

Setelah berjam-jam berjalan, bertanya di beberapa tempat dan tetap tidak mendapatkan petunjuk, ia akhirnya memilih untuk beristirahat sejenak. Pandangannya tertuju pada sebuah kedai makan kecil di sisi utara alun-alun kota, dengan aroma rempah yang menggoda.

Begitu masuk dan duduk, pelayan mengantarkan teh hangat dan kudapan ringan. Ia menghela napas dan mulai menyesap perlahan. Namun tak lama kemudian, dua suara familiar terdengar dari arah meja sebelah.

Nandika (tertawa kecil):"Pratiwi, kamu benar-benar tahu tempat makan enak! Rasa sambalnya ini luar biasa!"

Pratiwi (mengunyah sambil menunjuk):"Nah kan! Aku bilang juga apa. Jangan asal pilih kedai, harus yang punya sambal kayak begini!"

Ratri menoleh, lalu sedikit kaget saat melihat dua perempuan yang duduk hanya beberapa langkah darinya. Wajah mereka mirip dengan deskripsi yang pernah ia dengar… namun ia menahan reaksi.

Pratiwi menoleh dan tersenyum ramah padanya.

Pratiwi:"Mbak, sendirian? Mau gabung sama kita? Kedai ini sering penuh siang hari."

Nandika (ikut mengangguk):"Iya, duduk sini aja. Makan bareng lebih enak, kan?"

Ratri (tersenyum cepat-cepat, tetap menyembunyikan identitas):"Terima kasih… saya memang cuma sendirian. Lagi liburan di Tirabwana."

(ia menarik kursi dan duduk)"Nama saya Ratri, dari desa sebelah barat Mandalagiri. Iseng saja jalan-jalan kemari."

Pratiwi (tersenyum cerah):"Wah, jauh-jauh dari barat! Seru juga ya. Aku Pratiwi, dan ini Nandika. Kami tinggal di sini, semacam... asrama pelatihan."

Nandika:"Iya. Kalau butuh info tempat seru di Tirabwana, tanya aja. Kami cukup hafal seluk-beluknya."

Ratri:"Wah, terima kasih... kalian baik sekali."(tersenyum manis, meskipun dalam hati ia masih gusar memikirkan kaptennya yang belum juga ditemukan)

Mereka bertiga pun terlibat dalam obrolan santai. Ratri menjaga agar jawabannya tetap netral, sesekali menyelipkan canda kecil, dan tampak seperti penduduk biasa. Di balik senyumnya, pikirannya terus menghitung langkah selanjutnya—misi mencari Kapten Jagatmarma, dan sekarang, dua wajah Guild Bayu Geni ada tepat di depannya.

Kedai di Kota Tirabwana, Siang Hari 

Suasana siang yang semula panas kini terasa lebih teduh di bawah rindang atap kedai dan semilir angin kota Tirabwana. Ratri duduk santai bersama Pratiwi dan Nandika, menjaga sikapnya tetap ramah dan santai walau di dalam hati pikirannya terus bekerja—menggali informasi tanpa mencurigakan mereka.

Pratiwi (menggoda):"Kalau kamu dari Mandalagiri barat, pasti biasa naik turun bukit, ya? Badanmu kelihatan gesit."

Ratri (tertawa kecil):"Ah, iya. Hidup di tempat berbukit memang membentuk tubuh tanpa sadar. Tiap hari harus jalan jauh hanya untuk ambil air atau sekadar ke ladang."

Nandika (menyimak sambil minum):"Aku pernah ke barat Mandalagiri waktu kecil. Suasananya sejuk, tapi medannya berat. Orang-orangnya keras, tapi jujur."

Ratri (mengangguk sopan):"Benar, kami terbiasa hidup sederhana dan langsung pada tujuan. Tidak banyak basa-basi."

(ia berpikir sejenak lalu mencoba memancing topik lebih dalam)"Kalian bilang tadi tinggal di asrama pelatihan? Wah, jadi kalian petarung?"

Pratiwi (sedikit bangga):"Hehehe, bisa dibilang begitu. Kami bagian dari… kelompok pelatihan petualang. Macam sekolah, tapi langsung turun ke lapangan."

Nandika (melirik Ratri dengan santai):"Tapi kami tidak bisa cerita terlalu banyak. Ada semacam... aturan. Tapi seru kok. Baru beberapa hari lalu kami kembali dari misi."

Ratri (berpura-pura terkejut):"Wah, kalian pasti hebat sekali! Aku bahkan tidak bisa bayangkan bertarung seperti di cerita-cerita. Misinya seperti apa?"

Pratiwi (menyeringai):"Rahasia dong! Tapi, yah... kadang mengejar sesuatu, kadang mencari tahu sesuatu. Pokoknya tidak membosankan."

Ratri (berlagak polos):"Pantas saja kalian kelihatan sigap dan penuh percaya diri. Tapi hati-hati ya, kadang orang jahat suka mengincar para pejuang muda. Apalagi yang sedang terkenal."

Nandika (tertawa kecil):"Kami bukan selebriti kok. Tapi ya, di luar sana memang banyak bahaya yang tidak terlihat."

Pratiwi:"Tapi sejauh ini, semua masih terkendali. Kami juga punya senior dan kapten yang selalu mengawasi dari jauh."

Ratri (menyimpan informasi itu di dalam benaknya):"Kapten, ya? Wah, jadi seperti militer dong rasanya."

Nandika (dengan nada setengah bangga):"Sedikit mirip, tapi lebih bebas. Yang jelas, kami tidak sendirian."

Setelah beberapa waktu berbincang, mereka menyelesaikan makan siang bersama. Ratri tampak sangat ramah dan tidak mencurigakan. Ia pamit dengan sopan, menyebut akan berjalan-jalan ke pasar sore. Pratiwi dan Nandika pun kembali ke markas Guild tanpa merasa ada yang janggal.

Gang Sepi dekat Pasar Tirabwana

Ratri menyusuri gang kecil menuju jalan utama. Begitu ia tiba di sudut yang sepi, wajahnya berubah. Tatapannya tajam, senyumnya menghilang.

Ratri (berbisik ke diri sendiri):"Ternyata dua di antara mereka adalah bagian dari guild itu… Menarik. Kelompok Bayu Geni memang makin berkembang."

(ia melangkah mantap)"Tapi urusan pertama… aku harus temukan si malas itu dan menyeretnya kembali ke tempatnya."

Malam Hari, Sebuah Tempat Hiburan Malam di Kota Tirabwana

Lampu lentera warna-warni menggantung rendah di ruangan yang dipenuhi asap dupa dan aroma arak manis. Suara musik kecapi dan suling menggema, berpadu dengan gelak tawa para pengunjung. Di sudut paling ramai, seorang pria bertubuh besar dengan rambut dikuncir tinggi tampak tengah berpesta pora.

Jagatmarma, sang Kapten Barat Bayawira, tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk meja. Satu tangan memegang cangkir arak, sementara tangan lainnya dilingkarkan ke bahu dua wanita muda yang tengah menemaninya minum.

Di pojok ruangan, Teksaka, sang tangan kanan kapten, duduk tenang. Wajahnya datar, namun jelas ia sedang tidak menikmati suasana. Matanya mengamati setiap sudut ruangan dengan cermat, termasuk gerak-gerik para pelayan dan pengunjung.

Jagatmarma (mabuk):"Hahahaha! Hidup cuma sekali, Teksaka! Kita ini pejuang, harus tahu cara menikmati kemenangan... walau cuma kemenangan dari tidur siang! HAHAHA!"

Teksaka (datar):"Kapten, kita tidak sedang dalam liburan... Ini misi terselubung."

Jagatmarma (menenggak arak):"Terselubung, terang, sama saja kalau hatimu gelap! Ayo, minum lagi—!"

???: (suara tegas dari belakang)"JAGATMARRRMA!"

Jagatmarma kaget, cangkir araknya hampir terlepas dari tangannya. Para wanita penghibur ikut tersentak. Di depan mereka berdiri seorang gadis muda berpakaian sederhana, wajahnya dikenal baik oleh Teksaka—dan tentu saja oleh sang kapten.

Ratri Andani.

Ratri (dengan senyum marah):"Sayaaaang~ Sudah kubilang jangan minum terlalu banyak tanpa aku!"(dengan satu gerakan cepat, ia menjewer telinga Jagatmarma yang besar dan keras seperti batu)"Ikut! SEKARANG!"

Jagatmarma (merintih dan teriak):"AAAKH! Ampuuun! Aduuuh! Ratri, ini bisa menjatuhkan martabatku sebagai pria!!"

Ratri (sambil menariknya keluar):"Kau tidak punya martabat kalau tingkahmu seperti ini! Dasar pemalas, tukang kabur dari tanggung jawab!"

Jagatmarma (berusaha berjalan sambil mabuk):"Aku hanya sedang... ehm, menyelidiki... moralitas lokal... hik!..."

Sementara Ratri menyeret kaptennya keluar kedai hiburan dengan masih diikuti beberapa wanita penghibur yang kebingungan, Teksaka berdiri, menghampiri mereka dengan ekspresi sedikit puas.

Teksaka (menunduk sedikit, ramah):"Selamat malam, Nona Ratri. Terima kasih sudah datang... akhirnya."

Ratri (menoleh, masih mencengkeram kuping sang kapten):"Malam, Teksaka. Aku tidak tahu harus menampar dulu atau menyiram air es ke wajah kaptenmu ini. Tapi... setidaknya sekarang dia sudah di tangan."

Teksaka (senyum tipis):"Saya lebih suka kau bawa dia ke tempat yang sepi dan marahi dia semalaman. Mungkin baru besok dia sadar dia seorang kapten."

Jagatmarma (berusaha mengelak):"Aku sadar kok! Sadar bahwa aku lapar! Ratri, kita makan dulu—tolong jangan tarik aku seperti ayam dijual di pasar—AAAK!"

Scene berakhir saat ketiganya berjalan keluar dari tempat hiburan.

Ratri masih menjewer kuping Jagatmarma, Teksaka berjalan tenang di belakang mereka, dan para penghibur hanya bisa saling melirik, bingung apa yang sebenarnya terjadi barusan.

Malam Hari, Sebuah Penginapan Sederhana di Tengah Kota Tirabwana

Lampu minyak bergoyang pelan di sudut langit-langit kamar utama penginapan. Meja bundar kayu berada di tengah ruangan, dikelilingi tiga kursi. Di satu sudut, tergantung jubah Kapten Jagatmarma yang kini tengah duduk menyender di kursi paling empuk dengan kain basah di dahinya, masih mengenakan pakaian pesta setengah terbuka. Di sisi kanan, Teksaka duduk dengan sikap tenang seperti biasa, sedangkan Ratri Andani berdiri sambil bersedekap dan wajah datar penuh amarah terpendam.

Jagatmarma (sambil menyesap air jahe):"Ratri sayang, tidak bisakah kita bahas ini besok pagi? Aku masih merasa seperti dipukul pakai genta gamelan..."

Ratri (dingin):"Kau mabuk seperti kuda lumping tadi. Sudah cukup kita kehilangan muka di hadapan rakyat kota Tirabwana hanya karena kaptennya berlagak seperti badut keliling."

Teksaka (berdeham):"Ratri... to the point saja. Apa hasil rapatnya?"

Ratri (menarik nafas dalam-dalam, lalu duduk):"Tiga hari lalu, para kapten Bayawira berkumpul. Kondisi keuangan kelompok kita... kritis. Terutama sejak kerugian besar yang ditanggung wilayah timur setelah kekalahan Prayogi Mahadipa di Kalapanunggal."

(ia menatap keduanya dengan serius)"Pasokan artefak dari jalur timur terputus, markas mereka hancur, dan banyak anggota hilang atau tewas. Itu pelajaran pahit bagi kita semua."

Jagatmarma (meneguk air jahe lagi):"Aduh... Prayogi itu selalu terlalu percaya diri. Aku sudah bilang, jangan terlalu terbuka kalau bergerak di wilayah yang dekat dengan pengaruh Kerajaan Mandalagiri."

Teksaka (mengangguk pelan): "Dan sekarang?"

Ratri (lanjut):"Pemimpin tertinggi sudah memberi arah. Kita harus tetap bergerak... tapi perlahan, tidak mencolok. Fokus pada kejahilan kecil—perampokan berskala kecil, sabotase ringan, dan pencurian artefak minor dari para kolektor lokal. Semua demi menambah kas Bayawira yang hampir kosong."

Jagatmarma (bertepuk tangan pelan dengan ekspresi girang):"Aha! Akhirnya tugas yang cocok untukku! Aku bisa jadi perampok romantis! Bayangkan, aku menyelinap ke rumah pedagang kaya, lalu berkata: 'Maaf, aku datang mengambil emasmu, dan mungkin juga hatimu'—"

Ratri (memotong tajam):"—dan mungkin juga lehermu dipotong warga kota kalau ketahuan."

Teksaka (tersenyum kecil):"Kapten... tolong, fokus sedikit."

Jagatmarma (berdiri dan bergaya seperti aktor sandiwara):"Baik, baik! Kita akan bergerak di barat. Curi di tempat sepi, rampok pedagang rakus, bikin huru-hara kecil yang bisa menutupi langkah besar kita. Aku akan memimpin dengan seni, dengan gaya, dengan... eh, bantuan kalian tentu saja."

Ratri (menggeleng pelan):"Kapten, ini bukan pertunjukan. Kalau kita gegabah seperti Prayogi, giliran kita yang jatuh. Kau tahu siapa yang akan maju pertama kalau terjadi kekacauan?"

Jagatmarma (berhenti sejenak, lalu menunjuk Teksaka):"Teksaka."

Teksaka:"Tepat."

(mereka bertiga saling menatap, lalu terdiam sesaat)

Jagatmarma (menarik nafas panjang, lalu tersenyum):"Baiklah, Ratri. Besok kita mulai. Teksaka, pilih dua-tiga orang tercepat kita untuk menyusup ke pasar artefak di ujung barat kota. Kita mulai dari situ. Tapi malam ini..."

(ia berdiri, lalu membuka jendela kamar, menatap bintang)

"...izinkan aku tidur dulu. Karena kalau aku kurang tidur, aku akan jadi perampok yang ngantukan."

Ratri (kepala berdenyut):"Aku akan tidur duluan. Jika besok pagi kau masih pakai jubah pesta dan bicara soal mencuri hati orang lagi, aku sumpah akan kubakar sepatu botmu."

Teksaka (sambil mematikan lentera):"Sudah seperti biasa... Ratri yang berpikir, aku yang bekerja, dan kapten yang membuat kita stress."

(ketiganya akhirnya terdiam. Di luar, kota Tirabwana mulai redup. Namun Bayawira Barat telah mulai bergerak kembali...)