Bab 14 - Operasi Jantung Mandalagiri

Subuh di Pinggiran Kota Tirabwana, Wilayah Barat

Langit masih remang, warna keunguan menggantung di ufuk timur, sementara kabut tipis menyelimuti tanah perbukitan di luar kota. Di atas salah satu bukit yang menghadap ke Tirabwana, Ratri Andani dan Teksaka berdiri berdampingan, memandang kota yang perlahan mulai hidup. Mereka mengenakan pakaian gelap, rapi, dan siap beraksi. Di belakang mereka, beberapa anggota Bayawira Barat bersiap di bawah perintah langsung.

Ratri (dengan nada geram sambil melipat tangan):"Dia di mana sekarang? Jangan bilang dia masih tidur karena terlalu banyak makan kudapan semalam."

Teksaka (tersenyum tipis):"Tenang, dia akan datang... Seperti biasa, dengan caranya sendiri."

Ratri:"Sial. Kita sedang mempersiapkan aksi penyusupan ke gudang penyimpanan senjata gelap, dan kapten kita entah di mana. Kadang aku heran kenapa pemimpin menunjuk orang seperti dia untuk memimpin wilayah sepenting barat."

Teksaka (diam sejenak, lalu memandang ke kejauhan):"Kau tahu, Ratri… aku juga pernah berpikir seperti itu dulu. Tapi setelah bertahun-tahun di sisinya, aku menyadari satu hal."

Ratri (mengangkat alis):"Apa itu?"

Teksaka:"Di balik kelakuannya yang seperti bocah... Jagatmarma adalah kapten terkuat yang dimiliki Bayawira."

(ia menoleh, menatap mata Ratri dengan serius)

"Dalam segala jenis pertarungan—fisik, spiritual, bahkan strategi gerilya—dia tak tertandingi. Tidak hanya oleh kita, bahkan oleh para kapten wilayah lain."

Ratri (masih tak puas):"Tapi tetap saja, tidak ada disiplin, tidak ada wibawa..."

Teksaka (mengangguk pelan):"Benar. Tapi hasil selalu berpihak padanya. Dan kau tahu apa yang paling aneh?"

Ratri (menunggu):"Apa?"

Teksaka:"Tak ada satu pun dari kita, bahkan aku, yang tahu identitas aslinya. Dari mana asalnya, siapa keluarganya, atau bahkan nama aslinya. Yang tahu hanya satu orang."

Ratri (terdiam sesaat, lalu membalas pelan):"Pemimpin tertinggi Bayawira."

Teksaka (mengangguk):"Bahkan pihak kerajaan Mandalagiri tak punya catatan tentangnya. Guild Bayu Geni pun tak tahu. Ia seperti sosok bayangan yang muncul entah dari mana... dan sampai sekarang, tetap jadi misteri."

Ratri (menghela napas):"Kadang aku merasa dia hanya beruntung terus-menerus..."

Teksaka (tersenyum tipis):"Kau belum melihatnya bertarung dengan sungguh-sungguh. Saat ia serius, dunia sekitarnya akan seperti berhenti bergerak."

(mereka berdua terdiam, suasana sunyi untuk sesaat. Lalu, dari kejauhan, terdengar suara bernyanyi sumbang yang makin lama makin dekat.)

Jagatmarma (muncul dari balik semak sambil mengunyah roti, wajah cerah tak berdosa): "Selamat pagi, wahai para pejuang gelap yang tampan dan cantik! Apa sudah siap merampok demi kemaslahatan kas organisasi?!"

Ratri (menutup wajah dengan tangan): "Astaga... dia benar-benar tidak berubah."

Teksaka (tersenyum puas): "Dan itulah… kapten kita."

Tirai kabut mulai tersibak. Aksi pertama Bayawira Barat di kota Tirabwana segera dimulai—berbekal strategi, penyamaran, dan satu kapten yang tak bisa ditebak tapi selalu membawa hasil. Dunia akan segera kembali mengingat nama Bayawira... dimulai dari kejahilan kecil.

Beberapa Saat Kemudian, Bukit Pengamatan di Barat Tirabwana

Tirai kabut mulai menipis. Matahari pagi mulai menyembul, menyinari papan peta yang dibentangkan di atas tanah. Beberapa anggota Bayawira Barat berdiri melingkar. Di tengah mereka, Ratri, Teksaka, dan Jagatmarma membahas target pertama mereka: sebuah rumah lelang eksklusif yang diam-diam menjual artefak langka dan ilegal di kawasan elit Tirabwana.

Ratri (dengan penunjuk kayu menunjuk peta): "Di sini. Gedung Lelang Arkamulia. Bagian depan hanya menjual barang antik legal, tapi bagian bawah tanahnya... menyimpan ratusan artefak hasil jarahan dari berbagai situs tua, bahkan dari luar Nusapati."

Teksaka (menimpali): "Akses ke ruang bawah tanah hanya dibuka untuk kolektor khusus. Pemiliknya, seorang keturunan bangsawan bernama Tuan Wiraguna, juga dikenal sebagai tangan kanan dari sindikat dagang gelap di sektor tengah."

Jagatmarma (sambil mengunyah kacang): "Bagus, bagus... Jadi kita rampok rumah bangsawan sambil main petak umpet, ya? Aku suka!"

Ratri (tegas): "Ini bukan main-main. Keamanan mereka sangat ketat. Kita butuh penyusup, pengalih perhatian, dan pengangkat barang. Tidak bisa asal serbu."

Teksaka: "Kita tidak akan menyerang langsung. Hari ini kita akan mulai dari pendekatan, pengamatan, interaksi ringan, lalu lanjutkan dengan penyusupan kecil di hari berikutnya."

Jagatmarma (menepuk tangan): "Sip. Aku akan jadi... pengganggu menawan di acara makan siang mereka nanti. Biar si tua Wiraguna penasaran!"

Siang Hari, Distrik Arkamulia

Keramaian terlihat di sekitar area rumah lelang. Beberapa tokoh penting dan bangsawan lokal terlihat keluar-masuk gedung utama. Di seberang jalan, Jagatmarma sudah berubah penampilan rapi, rambut disisir, mengenakan jubah biru gelap berbordir emas, tampak seperti saudagar kaya dari luar kota.

Ia duduk di kedai teh mewah tepat di seberang gedung lelang, ditemani Teksaka yang menyamar sebagai pelayannya.

Jagatmarma (dengan nada genit pada pelayan kedai): "Nona, tahukah kau... teh di sini hanya kalah manis dari senyummu."

Teksaka (berbisik): "Kapten, fokus... itu dia. Wiraguna keluar bersama ajudannya."

Jagatmarma (sambil mengangkat cangkir dan melirik diam-diam): "Hoo... jadi itu wajah si tikus tua. Kurus, tajam, dan penuh rahasia. Cocok jadi korban pertama."

Wiraguna (berjalan pelan ke arah kereta kudanya, sempat memandang ke arah Jagatmarma): "...Orang asing? Hmm."

Jagatmarma (tersenyum kecil, lalu mengangkat cangkir ke arahnya tanda hormat): "Selamat siang, Tuan... aroma artefak dari bangunanmu membuat para pencari sejarah seperti saya tergoda mampir."

Wiraguna (menyipitkan mata): "Kau... siapa?"

Jagatmarma (berdiri perlahan dan membungkuk ala bangsawan luar Daerah): "Jagat Madara, saudagar kolektor dari Tanah Langkisau. Pemburu sejarah... dan keindahan yang tersembunyi."

Wiraguna (menatap tajam, lalu tersenyum kaku): "Mungkin... kita bisa bicara lebih lanjut besok. Bawakan sesuatu yang layak ditukar."

Jagatmarma (menunduk hormat): "Dengan senang hati."

Gang Belakang Kedai, beberapa menit kemudian

Teksaka dan Jagatmarma kembali bergabung dengan Ratri yang telah mengawasi dari kejauhan.

Ratri (datang sambil menghela napas): "Kau terlalu mencolok."

Jagatmarma (mengangkat alis): "Tapi dia terpancing. Besok kita diundang masuk. Dari dalam, barulah kita bisa mulai mencabut akar kerakusan tua itu."

Teksaka (tersenyum): "Tepat seperti rencana. Malam ini kita siapkan jalur penyusupan ke ruang bawah tanah, dan siapa tahu… mungkin kita bisa mencomot lebih dari sekadar artefak."

Rencana licik mulai berjalan. Bayawira Barat bersiap membuat Tirabwana goyah... dengan langkah-langkah yang tersembunyi di balik senyuman dan kebohongan.

Lorong Belakang Rumah Lelang, Pukul 01.12 Malam

Bayangan tiga sosok muncul dari balik gelap. Ratri, Teksaka, dan seorang anggota Bayawira berpakaian hitam penuh, spesialis kunci dan jebakan, menyusup melalui saluran air yang terhubung ke bagian belakang rumah lelang.

Teksaka (berbisik):"Kita punya waktu tiga puluh menit sebelum penggantian jaga. Kau yakin bisa buka pintu rahasia itu dalam sepuluh?"

Spesialis (tersenyum percaya diri):"Delapan menit. Sisa waktunya bisa kupakai buat main petak umpet dengan jebakan mereka."

Ratri (dingin):"Fokus. Satu kesalahan kecil, kita semua diburu seluruh penjaga kota."

Mereka bergerak lincah melewati lorong tersembunyi yang sempit dan lembap. Bau logam dan jamur menyengat di udara. Setelah menyusuri saluran selama lima menit, mereka tiba di dinding logam tua yang tampak seperti biasa—namun memiliki celah kecil di pojok bawah.

Spesialis (menarik alat dari kantongnya):"Pintu ini dilapisi mantrik penyegel ringan. Sudah retak. Seseorang pernah pakai ini beberapa minggu lalu. Aku bisa retas lewat celah kelemahannya."

Dengan jari yang cekatan, ia mengaktifkan rune penangkal, lalu memutar tiga silinder logam kecil. Terdengar klik halus, dan dinding itu terbuka perlahan—menampakkan tangga batu menurun ke ruang bawah tanah.

Ruang Bawah Tanah Arkamulia

Lampu kristal magis memancar redup. Rak-rak penuh artefak berjajar rapi senjata tua dari kerajaan-kerajaan gugur, gulungan mantra, jimat emas, bahkan topeng kayu merah dengan aura kelam yang menggantung sendirian dalam kotak kaca.

Ratri (berbisik):"Ambil target yang sudah kita tandai. Jangan ambil lebih dari lima—kalau rak kosong terlalu mencolok."

Teksaka (mengangguk, mulai membuka tas khusus):"Aku ambil Tombak Udanmawur, gelang batu Langit Tua, dan salinan gulungan mantra Kinantara."

Spesialis (mengangkat benda berbentuk kecil seperti kristal ungu):"Aku ambil ini. Mata Pandita Lelana. Pemindai spiritual yang sudah dilarang di tujuh kerajaan."

Mereka bekerja cepat dan efisien, tidak menyisakan jejak kecuali sedikit debu yang terusik.

Namun saat mereka hendak keluar—

Terdengar suara langkah kaki di atas.

Ratri (menyentuh belatinya, matanya waspada):"Ada patroli darurat. Kita keluar lewat ventilasi samping, bukan lorong masuk tadi."

Mereka menyeberang ruangan dan menemukan ventilasi tersembunyi. Dengan kecepatan terlatih, satu per satu menyelinap keluar tanpa suara.

Lima Menit Kemudian, Atap Bangunan Sebelah

Mereka muncul di atap gedung sebelah, mengamati rumah lelang dari kejauhan. Penjaga terlihat mengecek area, tapi tidak menemukan apa-apa.

Teksaka (menarik napas lega):"Aksi pertama kita… sukses tanpa jejak."

Ratri (tegas):"Jangan terlalu puas dulu. Ini baru awal. Kita masih punya daftar panjang target berikutnya."

Jagatmarma (muncul entah dari mana sambil menguap dan membawa roti isi):"Kalian serius banget, padahal aku cuma ketiduran di gudang sebelah... Lihat, aku bawa sarapan!"

Teksaka & Ratri (hampir serempak):"KAPTEEEEEN!!"

Keesokan Paginya, Rumah Lelang Arkamulia, Tirabwana

Mentari pagi baru saja merangkak naik di ufuk timur, namun suasana di Rumah Lelang Arkamulia sudah jauh dari damai. Puluhan penjaga berlarian, beberapa staf panik berserakan di aula utama. Seorang pria paruh baya berkumis lebat dengan jubah hijau gelap berdiri di tengah aula, wajahnya merah padam menahan amarah.

Pria itu adalah Kepala Kurator Lelang, Bhagawan Mreta.

Bhagawan Mreta (membentak para staf):"Bagaimana mungkin kalian tidak menyadari ada yang membobol ruang bawah tanah kita?! Ini bukan toko mainan pinggir pasar, ini Arkamulia!"

Staf Muda (gemetar):"Kunci dan segel mantrik... tidak menunjukkan tanda-tanda rusak, Bhagawan. Seperti... mereka tahu celahnya."

Bhagawan Mreta:"Jangan beri aku 'seperti'! Yang jelas, tiga artefak utama dan satu artefak rahasia tingkat tinggi hilang!"

Ia berjalan mondar-mandir, lalu berhenti di depan rak kosong yang sebelumnya menyimpan Tombak Udanmawur, Gelang Langit Tua, dan Mata Pandita Lelana. Sebuah kotak kaca lainnya bahkan sudah tidak ada isinya sama sekali, hanya meninggalkan debu halus yang nyaris tak terlihat.

Kantor Administrasi Rumah Lelang, Tak Lama Kemudian

Beberapa agen intelijen kota Tirabwana telah dipanggil. Salah satu di antaranya, Inspektur Rakhma, seorang perempuan bertampang tegas dengan jubah pelindung kulit, sedang mencatat hasil investigasi awal.

Inspektur Rakhma:"Tidak ada kerusakan mencolok. Ini bukan perampokan biasa. Mereka mengerti sihir segel. Dan lebih penting lagi—mereka tidak rakus. Itu yang menakutkan."

Bhagawan Mreta (dengan suara berat):"Apa kau... curiga ini pekerjaan Guild Bayu Geni?"

Rakhma menggeleng, lalu berkata dengan nada penuh pertimbangan:

"Tidak ada anggota Guild yang kami pantau menunjukkan gerakan mencurigakan. Ini... terasa seperti kerjaan kelompok lain. Bawah tanah. Terorganisir. Mungkin kelompok tua yang kembali bangkit."

Ia menoleh ke rak yang kosong dan menyipitkan mata.

"Dan siapa pun mereka... mereka tahu apa yang mereka cari."

Di Luar Rumah Lelang, Jalanan Kota Tirabwana

Warga mulai berdatangan, mendengar kabar bahwa rumah lelang terbesar kota dibobol tanpa jejak. Bisik-bisik mulai menyebar di pasar, di kedai, dan di antara para petualang:

“Kudengar artefak tua Mandalagiri hilang…”“Mungkin itu kerjaan pemburu artefak… atau sisa-sisa pasukan pemberontak lama…”“Apa jangan-jangan itu tanda bakal ada perang baru?”

Di Pojokan Kedai, Seorang Pria Tua Tersenyum Sendiri

Di pojok sebuah kedai kecil, seorang pria tua bertopi rumbai meminum tehnya pelan. Di depannya, sebuah koran dengan judul besar:

“RUMAH LELANG ARKAMULIA DIBOBOL – 4 ARTEFAK LANGKA RAIB”

Ia menutup koran itu sambil terkekeh kecil.

Pria Tua (lirih):"Akhirnya... para Bayawira mulai bergerak lagi. Dunia sedang bersiap untuk badai."

Istana Kerajaan Mandalagiri, Ruang Rapat Pagi

Kabar tentang pembobolan Rumah Lelang Arkamulia sudah sampai ke telinga para pejabat tinggi kerajaan. Di ruang rapat yang luas, di bawah cahaya lentera besar, tampak sejumlah penasihat, prajurit senior, dan pemimpin departemen intelijen kerajaan yang tengah duduk serius.

Di meja utama, Raja Mandalagiri Sri Maharaja Darmawijaya, seorang pria dengan wajah penuh kebijaksanaan dan cerminan masa lalu yang penuh perjuangan, duduk dengan ekspresi tenang. Di sebelahnya, Penasihat Utama Mahamentri Palindrasuta dan Komandan Pasukan Keamanan, serta beberapa anggota lainnya, sedang menunggu instruksi.

Sri Maharaja Darmawijaya (dengan nada datar):"Kita mendapat laporan tentang pembobolan di Rumah Lelang Arkamulia. Ini bukan kejadian biasa. Artefak-artefak yang hilang, terutama yang berkaitan dengan sejarah Mandalagiri, sangat berharga."

Komandan Pasukan Keamanan (tegas):"Kejadian ini bisa menandakan dua hal, Yang Mulia. Bisa jadi ini merupakan perampokan oleh kelompok kriminal, atau mungkin... sebuah sinyal dari kelompok yang lebih berbahaya yang sedang mengincar artefak bersejarah kita. Kami harus segera memperketat pengawasan."

Mahamentri Palindrasuta (menambahkan dengan cermat):"Dan kami juga harus memantau segala gerakan dari Guild Bayu Geni. Mereka memiliki jaringan luas dan keterampilan yang tinggi, meskipun kami belum pernah menangkap mereka dalam aksi terorganisir seperti ini. Tetapi kita tidak bisa menutup mata."

Sri Maharaja Darmawijaya (menatap serius):"Pastikan tidak ada yang terlewat. Kita harus mengetahui siapa yang berada di balik ini sebelum mereka mengambil lebih banyak lagi dari kita. Semua pintu informasi harus dibuka. Temui Rumah Lelang Arkamulia untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Tidak ada yang boleh lolos begitu saja."

Markas Guild Bayu Geni, Ruang Rapat Divisi Bayang-bayang Geni

Di ruang rapat tersembunyi yang dalamnya gelap, hanya diterangi oleh cahaya api biru redup yang mengelilingi meja bundar, seluruh anggota divisi intelijen Guild Bayu Geni berkumpul. Tensi ruangan terasa sangat tinggi karena kabar terbaru yang datang begitu cepat.

Kapten Kalandra Wisanggeni berdiri di depan meja, wajahnya serius. Di sekelilingnya, beberapa petugas intelijen dan anggota yang lain, termasuk Darsa, Larasmi, dan Pratiwi, turut mendengarkan.

Kalandra Wisanggeni (dengan tegas):"Kita baru saja mendapatkan kabar bahwa pembobolan yang terjadi di Rumah Lelang Arkamulia bukanlah sebuah kebetulan. Keterampilan yang digunakan dalam pencurian itu... bukan milik sembarang orang. Ini lebih dari sekadar aksi kriminal biasa."

Darsa (dengan mata tajam, mencermati pernyataan Kalandra):"Sepertinya mereka mengincar artefak yang sangat spesial. Jika kita bicara tentang artefak langka dari Mandalagiri, itu berarti mereka tahu lebih banyak daripada yang kita kira."

Larasmi (dengan nada waspada):"Ada kemungkinan, ini juga ada hubungannya dengan informasi yang selama ini beredar tentang artefak Mandalagiri yang hilang. Tidak mungkin ini hanya kebetulan."

Pratiwi (menambahkan dengan serius):"Jadi, siapa yang kita curigai? Kelompok mana yang sedang bergerak?"

Kalandra Wisanggeni (memandang mereka satu per satu):"Ada beberapa kemungkinan, tapi kita tahu satu hal: ini bukan kelompok sembarangan. Mereka pasti sudah tahu cara masuk ke tempat-tempat dengan pengamanan tinggi seperti itu. Dan mereka pasti juga memiliki koneksi. Kita harus segera menggali lebih dalam siapa yang mungkin berada di balik ini."

Darsa (dengan senyum tipis, sedikit sinis):"Mungkin kita bisa melibatkan pihak luar untuk melacak jejak mereka. Ada beberapa orang di luar sana yang tak akan terlalu mencurigakan."

Kalandra Wisanggeni (mengangguk):"Itulah sebabnya kita harus bergerak cepat. Jangan sampai pihak kerajaan mendapatkan informasi lebih dulu. Kita harus memastikan, jika ada permainan yang lebih besar di balik ini, kita yang mengendalikannya."

Kamar Pribadi Adipati Maheswara, Markas Guild Bayu Geni

Sementara itu, Adipati Maheswara, pemimpin tertinggi Guild Bayu Geni, sedang duduk dengan wajah serius di ruang kerjanya. Seorang pengurus baru saja mengantarkan laporan mengenai insiden di Rumah Lelang Arkamulia.

Adipati Maheswara (membaca laporan dengan tenang):"Pembobolan di Rumah Lelang Arkamulia... ini bisa menjadi masalah. Mereka mengambil artefak-artefak bersejarah yang sangat berharga."

Ia meletakkan laporan tersebut dan menatap keluar jendela, merenung.

Adipati Maheswara (dengan suara dalam, berbicara pada dirinya sendiri):"Bayawira sudah mulai bergerak. Tetapi, kita harus waspada. Pihak kerajaan sudah mulai menyelidiki, dan kita tidak ingin perhatian mereka beralih ke arah kita. Kita harus mengendalikan kerusakan yang terjadi dan mengamankan langkah-langkah selanjutnya."

Ruang Divisi Ekspedisi dan Perburuan (Raka Lelana)

Di ruangan yang penuh dengan peta dan strategi, Kapten Lodra Wahana dan beberapa anggota divisi berdiskusi setelah mendengar kabar tersebut.

Kapten Lodra Wahana (berpikir sejenak):"Jika ini adalah aksi yang terkait dengan Guild Bayu Geni, kita harus hati-hati. Kita tidak bisa langsung terjun ke dalam masalah yang lebih besar tanpa persiapan."

Pratiwi (mengenang percakapan dengan Kalandra sebelumnya):"Namun, apakah kita benar-benar yakin bahwa ini adalah aksi yang diatur oleh orang kita? Mungkin ini adalah langkah dari pihak lain yang tidak kita duga."

Kapten Lodra Wahana (serius):"Apa pun itu, kita tidak bisa membiarkan pihak luar tahu tentang langkah-langkah kita. Ini saatnya untuk bersiap."

Dengan kabar tersebut menggema ke berbagai pihak, baik dari pihak kerajaan maupun Guild Bayu Geni, ketegangan semakin terasa. Masing-masing pihak bersiap untuk menghadapinya dengan cara mereka sendiri.

Beberapa Hari Setelah Aksi Pertama, Sore Hari di Penginapan Rahasia Kota Tirabwana

Di dalam kamar lantai dua penginapan sederhana yang mereka sewa sebagai markas sementara, Jagatmarma, Teksaka, dan Ratri berkumpul. Suasana tenang sore hari seolah tak mencerminkan apa yang akan dibicarakan. Jagatmarma, seperti biasa, duduk santai di atas meja dengan kaki bersilang, sambil mengunyah kudapan kacang goreng dan sesekali tertawa kecil melihat burung merpati lewat di jendela.

Jagatmarma (dengan santai):"Jadi… kupikir sekarang waktunya kita naik level. Rumah lelang kemarin itu cuma pemanasan."

Ratri (mengangkat alis curiga):"Naik level maksudmu…?"

Teksaka (sudah curiga dan bersandar di dinding sambil mengangkat tangan pelan):"Jangan bilang… kau ingin menyusup ke…"

Jagatmarma (sambil mengangkat dua alis dan menunjuk ke atas seolah menunjukkan bangunan tinggi):"Istana Tirabwana, teman-teman. Jantungnya kerajaan Mandalagiri. Tempat penyimpanan segala artefak kerajaan paling langka. Bayangkan, hanya satu barang dari sana… bisa membiayai operasi kita selama bertahun-tahun."

Hening sesaat. Ratri memelototinya. Teksaka menutup wajahnya dengan satu tangan.

Ratri (meledak marah):"APA KAU GILA!? Itu ISTANA! ISTANA, kapten! Dikelilingi penjaga elit, lapisan mantra pelindung, dan… dan… sensor spiritual. Kita mencuri di sana, itu artinya menantang seluruh kerajaan!"

Teksaka (menggeleng sambil mendesah panjang):"Kau tahu nggak, hanya penyusup kaliber legenda yang pernah bisa masuk ke istana dan keluar hidup-hidup? Dan itu pun, cuma rumor. Kau serius mau coba itu sekarang?"

Jagatmarma (dengan wajah tak berdosa, sambil mencelupkan kacang ke dalam garam):"Tentu saja serius. Tapi jangan khawatir, aku sudah punya sedikit… informasi internal. Ada satu bagian dari istana yang selama beberapa hari ke depan akan dalam kondisi lemah penjagaannya karena persiapan upacara kerajaan. Kita tidak perlu masuk terlalu dalam. Target kita ada di sayap barat, ruang penyimpanan artefak usang. Yang tua-tua tapi… mahal."

Ratri (menepuk dahinya, frustasi):"Dan kalau ketahuan? Kita bukan cuma jadi buronan kerajaan, tapi juga semua faksi bawah tanah bakal kabur dari kita karena terlalu nekat!"

Jagatmarma (menoleh santai, senyumnya lebar):"Ratri… Teksaka… bukankah hidup ini terlalu membosankan kalau hanya main aman? Lagi pula, siapa yang bisa mencurigai kita… tiga penyusup tak dikenal dari barat yang bahkan tidak pernah muncul di daftar intel kerajaan?"

Teksaka (sambil tertawa kecut):"Kau memang gila, Kapten. Tapi sayangnya… biasanya ide gilamu justru berhasil."

Ratri (menggeram dan menunjuk tajam ke arah kaptennya):"Baik. Tapi kalau ini gagal… aku yang akan menyeretmu sendiri ke gerbang istana sebagai penebusan dosa!"

Jagatmarma (berdiri dengan gaya pahlawan kartun):"Deal! Maka mari kita rancang rencana pencurian terbesar dalam sejarah Bayawira: Operasi Jantung Mandalagiri!"

Malam Hari, Ruang Tengah Penginapan Rahasia TirabwanaTopik: Rencana Pencurian Artefak Istana Tirabwana

Lampu minyak kecil menyala redup di tengah meja bundar dari kayu jati. Peta istana Tirabwana terbentang, disusun dari berbagai potongan informasi intel yang mereka kumpulkan selama beberapa waktu. Jagatmarma terlihat paling bersemangat. Sementara itu, Teksaka dan Ratri duduk dengan raut waspada dan masih agak syok dari kegilaan ide kapten mereka.

1. PENYAMARAN

Teksaka (serius):"Untuk menyusup ke kompleks istana, kita tidak bisa hanya pakai penyamaran pedagang atau warga biasa. Penjagaan sedang ditingkatkan karena upacara kenegaraan."

Ratri (menimpali):"Benar. Tapi berdasarkan catatan pengawasan, beberapa pengrajin dan penari tradisional dari luar kota akan masuk istana dua hari menjelang acara. Kita bisa menyamar sebagai rombongan itu."

Jagatmarma (sambil menunjuk peta):"Aku akan menyamar sebagai pemimpin rombongan penabuh gamelan. Teksaka sebagai pembawa alat berat, dan Ratri sebagai penata kostum serta tata panggung. Kalian pernah lihat aku main kendang, ‘kan? Hebatnya nggak kalah dari maling topeng."

Teksaka:"Itu baru sekarang kau anggap keahlian...."

2. LINTAS LAPISAN MANTRA PELINDUNG

Ratri (sambil membentangkan gulungan perkamen):"Istana Tirabwana memiliki tiga lapisan mantra utama yang melindungi dari penyusup:"

Lapisan pertama: Mantra identifikasi aura.

Lapisan kedua: Sensor pergerakan abnormal dalam zona terlarang.

Lapisan ketiga: Sinar pengikat spiritual—hanya bisa dilewati oleh orang yang memiliki izin kerajaan.

Teksaka:"Kita tidak mungkin bisa menembus semuanya… kecuali…"

Jagatmarma (tersenyum licik, lalu berdiri pelan dan menjentikkan jari):"Sudah saatnya aku perkenalkan sedikit rahasia…"

3. KEMUNCULAN KEKUATAN MISTERIUS JAGATMARMA

Jagatmarma membuka mantel luarnya perlahan. Di dadanya, tampak sebuah liontin hitam legam berbentuk lingkaran dengan ukiran yang hampir tak terbaca, memancarkan aura gaib yang aneh. Udara di ruangan tiba-tiba berubah. Lampu minyak berkedip.

Ratri (mundur setengah langkah, tatapannya tajam):"Itu… bukan liontin biasa. Apa itu… khodam?"

Jagatmarma (suara menjadi sedikit lebih dalam, seolah ditumpangi oleh suara lain):"Bukan khodam. Ini entitas penjaga batas. Ia menyatu denganku sejak aku masih bocah. Ia… melahap mantra."

Teksaka (berbisik dengan nada tak percaya):"Kau… bisa menghapus lapisan sihir pelindung dengan itu?"

Jagatmarma (tersenyum):"Aku tidak menghapusnya. Aku berjalan di antaranya. Mantra hanya mengenali niat, bukan jasad. Aku bisa 'mengaburkan' niat kita agar dianggap bukan ancaman. Setidaknya… untuk 10 menit."

Ratri (dengan dingin):"Dan setelah 10 menit?"

Jagatmarma:"Kita sudah harus di luar zona mantra. Karena setelah itu, entitas ini akan masuk ‘fase lapar’... dan bisa menelan lebih dari sekadar sihir."

4. PELAKSANAAN STRATEGI

Teksaka:"Jadi kita masuk sebagai tim penari dan musisi, lalu saat jam istirahat latihan, kita menyelinap ke sayap barat. Lewati dapur, masuk ruang artefak lewat celah ventilasi yang dulunya adalah gudang bawah."

Ratri (menambahkan):"Jagatmarma akan mengaktifkan entitasnya sesaat sebelum kita masuk ke zona mantra. Kita harus cepat. Di ruang penyimpanan, kita ambil hanya satu barang: Peti Hitam Pusaka Pralaya. Isinya tidak diketahui, tapi nilainya… bisa membeli separuh pelabuhan selatan."

Jagatmarma (sambil bertepuk tangan pelan):"Sebuah pencurian agung… dengan tempo tarian dan ketukan kendang."

Teksaka:"Kalau ini berhasil… kita bukan lagi Bayawira. Kita legenda."

Ratri (menatap Jagatmarma dalam-dalam):"Dan kalau gagal… takkan ada tempat di seluruh Mandalagiri yang bisa jadi tempat kita bersembunyi."

Jagatmarma (meneguk teh dingin, lalu tersenyum gila):"Maka jangan gagal."

Ebesokan Harinya, Istana Tirabwana, Menjelang Sore HariTopik: Awal Aksi Penyusupan Kelompok Bayawira ke Istana Tirabwana

Langit Tirabwana berwarna oranye keemasan ketika sekelompok rombongan kesenian tradisional tiba di gerbang luar istana. Kereta kecil pembawa alat gamelan, kain pentas, dan beberapa kostum ditarik oleh dua kuda cokelat. Rombongan itu tampak seperti para seniman dari luar kota yang diundang untuk memeriahkan upacara kenegaraan.

1. PENYUSUPAN DENGAN SAMARAN SENIMAN

Penjaga Gerbang (dengan nada resmi):"Nama rombongan dan surat izin masuk?"

Jagatmarma (dengan logat khas seniman daerah, sambil menabuh kendang kecil di pinggangnya):"Kami dari Sanggar 'Swara Buwana' dari Tanah Menur. Ini suratnya, lengkap dengan cap resmi dari Padepokan Seni Tirabwana."

Ratri dengan anggun menyerahkan dokumen palsu yang telah mereka siapkan jauh-jauh hari dengan bantuan koneksi bayangan Bayawira.

Penjaga (membaca cepat lalu mempersilakan):"Silakan langsung ke pendopo sisi timur. Jangan lewat jalur tengah, masih dalam pembersihan untuk acara puncak."

Teksaka (membungkuk ringan sambil mengangkat alat-alat gamelan):"Siaap, kami cuma ingin cepat berlatih dan menyusun alat."

Rombongan masuk. Gerakan mereka mulus dan santai, seperti seniman pada umumnya. Tak ada satupun dari para penjaga mencurigai identitas asli mereka.

2. MEMASUKI KOMPLEKS ISTANA

Setelah mendapat ruangan kecil di sisi timur pendopo, kelompok ini menyiapkan alat-alat mereka. Saat malam mulai jatuh, Jagatmarma berdiri di sisi jendela, menatap bagian dalam istana yang dijaga ketat oleh prajurit dan para penjaga spiritual berpakaian jubah putih.

Ratri (berbisik dengan peta kecil di tangan):"Target ada di ruang penyimpanan inti, di bawah Aula Saka Raja. Itu bagian paling dalam, dijaga mantra dan jalur spiritual."

Teksaka (mendesah pelan):"Dan jalurnya cuma satu: lorong belakang dapur kerajaan, lalu turun ke ruang bawah tanah tua. Kalau kita tertangkap..."

Jagatmarma (menyela sambil tersenyum nakal):"Kita jadi legenda. Atau… arwah penasaran."

3. AKTIVASI ENERGI GELAP – PENEMBUS MANTRA

Malam pun tiba. Ratri memadamkan cahaya di ruangan mereka. Jagatmarma berdiri di tengah lingkaran kecil dari garam dan serbuk tanaman kering. Ia membuka jubah luarnya, memperlihatkan liontin hitam misterius. Tangannya membentuk mudra, bibirnya menggumamkan kata-kata dalam bahasa tua yang asing.

Ratri dan Teksaka (berdiri berjaga, aura tegang):"...Tiraksa Saka... Nyantra... Bhuwana Lenyap..."

Udara di sekitar mereka bergetar. Mantra pelindung istana mulai beriak, tapi tidak pecah. Justru meredup dan membuka “jalur buta”—sebuah celah spiritual tak terlihat yang hanya bisa dimanfaatkan dalam waktu terbatas.

Jagatmarma (pelan):"Kita punya waktu sepuluh menit. Lewati semua titik penjagaan. Jangan keluarkan niat membunuh, atau semua akan bangkit."

4. MENYUSUP KE RUANG PENYIMPANAN INTI

Dengan gerakan senyap, ketiganya meninggalkan ruangan mereka. Lewat koridor kosong dan melintasi dapur besar yang sudah ditinggalkan para juru masak. Mereka lalu menuruni tangga tersembunyi menuju ruang bawah tanah yang dingin dan lembap.

Di depan mereka, pintu besar dengan ukiran naga Mandalagiri berdiri megah. Di balik pintu itu, tersimpan benda-benda pusaka, artefak kuno, dan catatan rahasia kerajaan.

Teksaka (berbisik):"Kau yakin benda itu ada di sini?"

Jagatmarma (senyum misterius):"Artefak 'Silapada'—keris berisi ingatan spiritual para leluhur Mandala. Nilainya lebih dari sekadar uang. Bayawira akan hidup lagi dengan ini."

Ratri:"Kalau begitu, kita buka pintunya. Sekarang."

Dengan ritual singkat dan liontin misteriusnya, Jagatmarma menonaktifkan segel spiritual pintu. Mereka pun masuk... dan misi paling nekat dalam sejarah Bayawira dimulai.

Malam Hari, Dalam Kompleks Istana TirabwanaTopik: Proses Pencurian Artefak oleh Bayawira Barat

1. MENEMBUS LORONG TERLARANG

Jagatmarma, Ratri, dan Teksaka menyusup ke lorong dapur belakang istana. Langkah mereka ringan, tak menimbulkan suara. Ratri membawa jimat penenang aura spiritual, membuat kehadiran mereka tampak “kosong” bagi deteksi para penjaga spiritual.

Mereka tiba di dinding batu tua di balik rak penyimpanan garam dapur. Teksaka menempelkan telapak tangan, meraba permukaan. Batu itu memancarkan kehangatan aneh.

Teksaka (berbisik):"Ada mantra pengunci di sini... tapi sepertinya Kapten bisa menanganinya."

Jagatmarma (sambil memutar cincin di jarinya):"Langsung, sebelum aura kita menguat dan terdeteksi."

Ia menyalurkan kekuatan spiritual lewat cincin hitamnya. Batu itu gemetar pelan, lalu terbuka seperti pintu air, memperlihatkan tangga menurun yang gelap dan berlumut.

2. RUANG PENYIMPANAN INTI

Tangga membawa mereka pada lorong gelap yang berujung pada gerbang logam kuno, berhiaskan simbol kuno Kerajaan Mandalagiri. Di baliknya, sebuah ruangan kecil bercahaya samar menyimpan artefak penting kerajaan—pedang perunggu bertatahkan batu merah, keris pusaka, serta kristal bulat dalam kaca berlapis mantra.

Ratri (menahan napas):"Itu dia... Kristal Kenanga, peninggalan Maharani pertama."

Teksaka (mendesah tak percaya):"Kita benar-benar mencuri ini? Kita bisa dihukum mati hanya karena menyentuhnya."

Jagatmarma (dengan santai):"Itu sebabnya kita tidak akan menyentuhnya… secara langsung."

Ia mengeluarkan sarung tangan hitam dari balik pakaiannya, terbuat dari bahan yang meredam getaran spiritual. Dengan hati-hati, ia mengangkat kaca pelindung tanpa memicu jebakan, lalu mengambil kristal itu. Cahaya di dalamnya redup seketika.

3. TERJADI GANGGUAN

Saat mereka bersiap kembali, bunyi samar terdengar dari ujung lorong: “Takk... takk... takk…”—suara langkah sepatu penjaga.

Ratri (panik menahan napas):"Ada seseorang!"

Teksaka (bersiap menarik belatinya):"Kita ketahuan?"

Jagatmarma (dengan cepat):"Tenang. Biarkan aku yang urus."

Dengan gerakan cepat, ia menggambar simbol spiritual di udara menggunakan kristal yang baru dicuri. Simbol itu meledak perlahan menjadi kabut hitam pekat yang menyelimuti ruangan. Saat penjaga tiba, lorong sudah kosong.

4. MISI SUKSES DENGAN TENANG

Mereka keluar dari pintu belakang dapur sebelum fajar, berganti kostum dengan cepat menjadi rombongan seniman lagi. Saat langit mulai memutih di ufuk timur, mereka sudah keluar dan kembali menuju kereta kuda-nya yang membawa alat-alat kesenian.

Teksaka (masih tercengang):"Kita baru saja merampok istana… tanpa satu tetes darah."

Ratri (menggeleng pelan):"Kapten benar-benar gila... tapi gila yang tidak bisa dihentikan."

Jagatmarma (tersenyum lebar):"Seni menyusup bukan hanya tentang menyelinap, tapi mencuri tanpa semesta sadar bahwa kau pernah ada."

Pagi Hari, Halaman Utama Istana TirabwanaTopik: Upacara Kenegaraan & Pertunjukan Seni – Bayang-bayang Bayawira Menyelinap di Tengah Keramaian

1. PERAYAAN DIMULAI

Mentari pagi menyinari halaman megah Istana Tirabwana. Kain-kain berwarna merah emas dan biru tua berkibar, gamelan ditabuh dengan ritme megah. Penduduk kota, bangsawan, dan para pejabat tinggi berkumpul dalam kemegahan upacara kenegaraan tahunan untuk memperingati Hari Penobatan Sri Maharaja Darmawijaya.

Suara Pembawa Acara Kerajaan (dengan lantang):"Rakyat Mandalagiri, sambutlah Yang Mulia Sri Maharaja Darmawijaya beserta keluarga kerajaan!"

Para tamu berdiri dan membungkuk saat Raja muncul di pelataran istana, berdiri megah di antara Permaisuri Shandrakirana, Pangeran Mahkota Aryasatya yang berseragam tempur perak-putih, serta Pangeran Mahadarsa yang elegan dan pendiam. Di sebelah, berdiri Adipati Maheswara—anak dari selir kerajaan dan pemimpin Guild Bayu Geni—dengan jubah hitam berbordir merah. Di belakang, Mahamentri Palindrasuta dan Panglima Agung Jayasatya berdiri dengan sikap waspada. Di antara pasukan elit, terlihat Sangbra Witanta yang mengenakan baju zirah tipis dan wajah dingin tanpa emosi.

2. GUILD BAYU GENI HADIR

Di sisi selatan halaman istana, beberapa anggota dan kapten Guild Bayu Geni hadir sebagai tamu kehormatan. Lodra Wahana berdiri tegap dengan senyum diplomatis. Raksadana, bertubuh tinggi besar, mengenakan pakaian tradisional biru dengan senjata besar tersarung. Doyantra Puspaloka yang elegan menebar senyum tenang sambil mengawasi jalannya acara.

Anggota muda guild membaur dalam kerumunan:

Jasana mengenakan pakaian batik sederhana, wajahnya tenang namun matanya awas.

Bagas tampak kikuk memakai pakaian resmi.

Darsa terlihat menatap ke arah panggung, seperti menghitung titik-titik strategis.

Nandika berdecak kagum melihat arak-arakan barisan penari kerajaan.

Pratiwi sudah sibuk berbaur dengan pedagang dan rakyat jelata di luar pagar, mencatat suasana dengan rasa ingin tahu yang khas.

3. PERTUNJUKAN SENI DIMULAI

Sementara acara kenegaraan berlangsung, para seniman dari berbagai penjuru diundang untuk mempersembahkan pertunjukan. Di antara mereka adalah satu kelompok seni kecil dari barat yang konon ahli memainkan lakon komedi bayangan dan akrobatik.

Di balik panggung:

Jagatmarma, mengenakan topeng kayu kera tua dan jubah sobek-sobek, sibuk menghangatkan tubuhnya dengan gerakan lucu.

Teksaka, menyamar sebagai penabuh musik tradisional, duduk tenang tapi matanya memindai tiap sudut halaman dengan presisi militer.

Ratri, mengenakan busana penari rakyat, berdiri di antara penari sungguhan sambil terus melirik arah para penjaga istana.

Mereka bertiga tetap tenang, menyatu sempurna dalam suasana meriah. Tak satu pun tamu menyadari bahwa semalam, tepat di bawah kaki mereka, ketiga seniman inilah yang berhasil mencuri Kristal Kenanga dari ruang penyimpanan rahasia istana.

4. BAYANG-BAYANG ANCAMAN

Dari balkon istana, Pangeran Mahkota Aryasatya memperhatikan panggung dengan sorot mata tajam. Ia sempat menyipitkan mata saat melihat sosok penari dengan langkah terlalu presisi.

Pangeran Aryasatya (berbisik kepada Sangbra Witanta):"Kau lihat itu? Penari paling belakang... gerakannya seperti prajurit, bukan seniman."

Sangbra Witanta (dingin):"Akan saya selidiki diam-diam, Paduka."

Namun, mereka belum menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.

5. PENUTUP SCENE

Pertunjukan dimulai. Jagatmarma beraksi di atas panggung, melakukan lelucon slapstick dan akrobat lucu. Tawa rakyat bergema, termasuk para bangsawan yang tertawa geli.

Teksaka (sambil tetap memainkan kendang):"Dia bisa mencuri artefak raja dan membuat mereka tertawa keesokan harinya. Gila."

Ratri (masih berputar menari):"Dan kita harus bertahan hidup sambil menutupinya. Itu yang lebih gila."

Jagatmarma (sambil berakting jatuh tersungkur ke panggung, berbisik pelan ke Ratri):"Kau pikir Kristal Kenanga itu luar biasa...."

Beberapa Hari Setelah Upacara KenegaraanTopik: Kabar Penjualan Artefak & Reaksi Kerajaan Setelah Menyadari Pencurian

MARKAS RAHASIA — WILAYAH BARAT MANDALAGIRI

Di sebuah rumah kecil sederhana di balik lembah berkabut wilayah barat, tiga orang duduk mengelilingi meja kayu tua.

Jagatmarma bersandar santai sambil meniup asap dari pipa bambunya. Teksaka duduk dengan punggung lurus, membaca selembar dokumen bersegel, sementara Ratri berdiri sambil menyilangkan tangan, menunggu dengan tatapan tajam.

Teksaka (membaca cepat):"…penjualan empat artefak dari rumah lelang Arkamulia dan Kristal Kenanga telah selesai. Kolektor: Bangsawan Hutan Merah, nama disamarkan. Nilai transaksi: tiga puluh lima ribu keping emas kuno. Dana ditransfer dalam bentuk logam dan kristal suling ke kas rahasia kelompok Bayawira Barat. Cukup untuk operasional satu setengah tahun.”

Jagatmarma (menyeringai lebar):"Heeeeh...! Bukankah ini kabar yang bikin hidup kembali berwarna, hah? Kukira kita hanya dapat satu atau dua artefak, ternyata paket lengkap~"

Ratri (tegas):"Jangan terlalu santai. Kita mencuri dari jantung kerajaan. Bukan gudang pedagang biasa. Ini bisa membuat seluruh istana mengguncang."

Teksaka (tenang):"Tapi kita berhasil... dan tak seorang pun tahu pelakunya. Bahkan tim sensor spiritual pun tak bisa mendeteksi apa pun. Aku harus akui, kekuatan misteriusmu, Kapten, benar-benar luar biasa."

Jagatmarma (mengangkat bahu dengan senyum misterius):"Hehe… Aku hanya membuka satu pintu yang tak bisa mereka lihat. Sisanya? Kalian yang hebat."

ISTANA TIRABWANA – TIGA HARI SETELAH UPACARA

Koridor Istana, Gudang Relik Suci – Pagi Buta

Seorang pelayan istana hendak membersihkan ruangan penyimpanan benda pusaka, namun berhenti mendadak. Laci berukir emas yang menyimpan Kristal Kenanga, pusaka dari Maharani Ken Daryani, terbuka—kosong. Ia menjatuhkan ember air, airnya tumpah ke lantai berkarpet merah.

Pelayan (gugup, berseru):"Penjaga! Pusaka hilang! Kristal Kenanga lenyap!"

Geger. Dalam waktu sejam, berita menyebar ke seluruh lingkungan istana. Para ahli mantra diperiksa. Segel tak terdeteksi rusak. Tak ada alarm magis yang berbunyi.

Di Ruang Mahamentri

Mahamentri Palindrasuta:"Ini… ini tidak masuk akal. Tak ada jejak sihir. Tak ada aura spiritual berubah. Ini seperti... benda itu menghilang dengan kehendaknya sendiri!"

Panglima Agung Jayasatya (berdiri gusar):"Ini aksi terencana. Jangan remehkan. Jika ada pihak yang bisa menyelinap sedemikian rupa… itu bukan pencuri biasa."

Pangeran Mahkota Aryasatya (dengan dingin):"Kita mungkin sedang menghadapi organisasi dalam bayangan. Segera tutup semua akses ke pasar artefak. Kirimkan intel ke seluruh wilayah barat dan selatan. Aku ingin nama pelaku sebelum akhir bulan."

3. KECEMASAN DALAM ISTANA

Para petugas istana terlihat lalu lalang, memeriksa ulang semua ruangan. Pengawal-pengawal sihir dari Akademi Mandalagiri mulai dipanggil untuk menyelidiki kemungkinan celah dimensi atau sihir tingkat tinggi. Ketegangan meningkat di istana. Desas-desus menyebar: "Siapa yang berani mencuri dari sang raja?"

Sementara itu, di luar istana, pasar gelap mulai membicarakan kabar bahwa benda pusaka kerajaan telah berpindah tangan, tapi tak satu pun tahu siapa yang melakukannya.

Teksaka (di markas, setelah mendengar laporan pencarian besar-besaran):"Kita harus menghilang sebentar. Mereka akan menggali dalam-dalam untuk ini."

Jagatmarma (menarik nafas panjang, lalu tersenyum nakal):"Sudah lama aku ingin melihat kerajaan Mandalagiri kebakaran jenggot. Tapi santai saja, ini baru permulaan..."

AULA STRATEGI, MARKAS UTAMA GUILD BAYU GENI — TIRABWANA

Langit Tirabwana diselimuti awan kelabu. Di dalam aula besar berbentuk segi delapan, suasana terasa tegang. Di tengah ruangan, meja bundar besar dari kayu jati tua dipenuhi peta, catatan sihir, dan dokumen hasil penyelidikan.

DOYANTRA PUSPALOKA, kapten tambun berperawakan besar dengan suara bergemuruh, berdiri di depan papan taktis. Gada emas miliknya bersandar di kursi khusus berlapis baja. Ia menggerakkan jarinya di atas peta istana sambil mengerutkan dahi.

Doyantra:"Empat artefak dari rumah lelang Arkamulia… lenyap tanpa jejak. Kristal Kenanga dari dalam istana pun ikut menghilang... Ini bukan pencurian biasa. Ini pernyataan perang terhadap integritas Kerajaan Mandalagiri."

Di sekeliling meja, duduklah para anggota tim investigasi gabungan:

Jasana Mandira — perwakilan Raka Lelana, duduk tenang sambil mengamati dokumen dengan seksama.

Darsa Nagawikrama — perwakilan Bayang-bayang Geni, mencatat dan sesekali bertanya pada Wigra tentang jejak aura sihir.

Rakha Udiyana — mewakili Mandala Dhana, sedang menghitung estimasi nilai pasar gelap dari barang yang dicuri.

Wigra — pemuda tenang berambut putih, mewakili Rasa Prawira, memperhatikan fragmen mantra yang tertinggal di titik-titik pencurian.

Pradipa Karna — senior dari Raka Lelana, berbadan kekar dengan tato mantra di lengan, menatap serius peta jalur evakuasi istana.

Ratnadewi Sasmara — senior dari Rasa Prawira, perempuan paruh baya yang berkain ungu dan membawa tongkat sihir dari kayu jawar.

Sandaka Langkara — senior dari Bayang-bayang Geni, berjubah hitam dengan tudung, ahli pelacakan aura bayangan.

Gintara Rahadyan — senior dari Mandala Dhana, pria licik namun jenius dalam analisis perdagangan dan jaringan gelap.

Doyantra (melanjutkan):"Atas mandat Adipati Maheswara, kita membentuk Tim Penyigi Dalam. Kita selidiki pencurian ini dari empat sisi: spiritual, logistik, jalur pelarian, dan transaksi. Jika ini ulah organisasi dalam bayangan, mereka pasti punya jejak."

Ratnadewi Sasmara (suara dalam dan halus):"Tidak ada aura pemaksa dalam mantra penjaga istana yang rusak. Tapi ada bekas manipulasi dimensi. Mereka tak menghancurkan pelindung, mereka menari di sela-selanya."

Sandaka Langkara:"Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seseorang dengan pemahaman yang absurd terhadap ruang gaib... atau memiliki sesuatu — atau seseorang — di luar sistem kita."

Rakha (menggeleng sambil mencatat):"Lima pasar gelap di wilayah barat, tiga di antaranya melaporkan kenaikan harga mendadak untuk artefak tinggi. Seseorang sedang mencairkan barang rampasan dalam skala besar."

Pradipa Karna:"Kalau mereka bergerak sejauh ini, pasti sudah menyiapkan jalur pelolosan bertingkat. Mereka punya mata dan kaki di kota ini."

Doyantra (menggebrak meja ringan dengan telapak):"Kita bagi tugas. Tim pertama: Rasa Prawira dan Bayang-bayang Geni, fokus ke residu sihir dan jaringan penyelundupan.Tim kedua: Raka Lelana dan Mandala Dhana, fokus ke jalur pelarian, rantai pasok, dan transaksi pasar gelap.Aku pimpin langsung penyusunan ulang peta keamanan istana. Kita kejar mereka dengan cerdas, bukan dengan emosi."

Jasana (menatap semua rekan):"Kalau benar mereka bisa menghilang begitu saja… kita butuh lebih dari sekadar mata. Kita butuh alasan."

Darsa (mendengus):"Dan kalau ini benar ulah organisasi… siapa yang cukup gila untuk mencuri dari kerajaan dan masih tinggal di kota ini seperti tak terjadi apa-apa?"

Gintara (dengan senyum menyipit):"Orang gila bisa menimbulkan kekacauan... Tapi orang cerdas bisa menari dalam bayangannya. Kita sedang menghadapi yang kedua."

PASAR GELAP BAWAH TANAH – GUDANG TIMUR, TIRABWANA

Malam itu hujan rintik turun pelan, membasahi lorong-lorong gelap di balik pasar kota Tirabwana. Di bawah reruntuhan gudang tua yang tak lagi digunakan, terdapat pintu rahasia menuju jaringan pasar gelap bawah tanah — tempat segala hal ilegal diperdagangkan dalam bisik-bisik.

Tiga anggota tim investigasi melangkah pelan dalam penyamaran: Darsa, Rakha, dan Wigra. Mereka menjadi tim depan untuk menelusuri jejak artefak curian.

Darsa (berbisik, menyentuh alat komunikasi mantra di lehernya):"Misi 'Bayangan Satu'. Kami sudah masuk ke lokasi. Rakha sedang memancing kontak, Wigra memeriksa resonansi aura."

Rakha menyamar sebagai pedagang barang antik langka. Ia duduk di salah satu kios bayangan, berbicara kepada seorang lelaki berjubah kelabu dengan topeng kayu.

Rakha (senyum licik):"Dengar-dengar ada koleksi langka masuk dari tangan pertama. Aku cari artefak bercahaya merah, terbuat dari pecahan kristal... katanya milik maharani."

Si lelaki berjubah mendelik waspada. Tapi Rakha memberikan koin emas kerajaan sebagai "bukti niat".

Sementara itu, Wigra menyusup lewat lorong samping, memegang kristal pelacak sihir. Cahaya samar dari alat itu mulai berkedip ketika ia mendekati salah satu peti besar yang dijaga ketat oleh dua penjaga.

Wigra (pelan lewat komunikasi mantra):"Resonansi kristal kenanga... 40% kecocokan. Kita dapat fragmen bekas tempat penyimpanan."

Darsa, yang menyamar sebagai pengawal pribadi Rakha, melangkah ke arah Rakha dan lelaki berjubah.

Darsa (nada tenang, namun tajam):"Kalau tidak bisa bicara sekarang, kami punya cara lain membuatmu bicara... di ruang interogasi Divisi Bayang-Bayang Geni."(ia menurunkan tudungnya, menunjukkan lambang Guild Bayu Geni tersembunyi di balik mantel)

Si lelaki topeng kayu pucat. Ia mencoba kabur — namun dalam sekejap, Rakha menjentikkan salah satu senjata rahasianya: benang kawat baja terulur dari lengan bajunya dan melingkari kaki lelaki itu, menjatuhkannya.

Rakha:"Kau mengaku atau kuputus kedua kakimu."

LOKASI BERPINDAH: TEMPAT RAHASIA INTEROGASI BAYU GENI

Lelaki topeng kayu kini terikat pada kursi di ruangan gelap. Di depannya: Gintara Rahadyan, senior dari Mandala Dhana, dan Sandaka Langkara, senior dari Bayang-bayang Geni.

Gintara (suara sinis):"Katakan nama kolektor yang membeli artefak itu. Kami tahu nilainya, kami tahu asalnya, dan kami tahu kau cuma perantara. Tapi kami belum tahu... sejauh apa keterlibatanmu."

Sandaka:"Dan bila kau bohong, kami akan tahu lewat mantra penyaring niat. Jadi hemat waktu dan nyawamu."

Setelah ditekan dengan teknik sihir dan psikologis dari dua senior itu, lelaki tersebut akhirnya membuka mulut:

"Artefak dijual melalui jaringan Baron Brawika, bangsawan wilayah selatan yang sering menggelar lelang rahasia di Lautan Ireng. Barang dari rumah lelang Arkamulia, bahkan pecahan kristal dari istana... semua sudah berpindah tangan ke kapal rahasia miliknya."

KEMBALI KE MARKAS BAYU GENI

Tim investigasi berkumpul kembali di ruang strategi. Peta Lautan Ireng terbentang luas, titik-titik lokasi disorot dengan tanda merah.

Doyantra Puspaloka (mengangguk mantap):"Misi pertama: sukses. Kita tahu alur distribusi, tahu siapa pembelinya. Misi berikutnya: kita harus hadang barang-barang itu sebelum keluar dari perairan Mandalagiri. Kita mulai rencana pengepungan laut."

Jasana:"Berarti kita akan keluar dari bayang-bayang... dan mulai bicara dengan kekuatan nyata."

Doyantra (tersenyum):"Betul, bocah. Ini bukan sekadar penyelidikan lagi. Ini… perburuan.”

TELUK LAUTAN IRENG – MALAM HARI

Bulan sabit menggantung redup di langit saat kapal perang kecil milik Guild Bayu Geni membelah ombak ke arah barat daya. Di geladak kapal, tim investigasi bersiaga — kini dalam formasi lengkap. Pimpinan misi, Kapten Doyantra Puspaloka, berdiri di haluan kapal, senjata gada emasnya bersandar di bahu.

Doyantra (berbicara keras ke seluruh awak tim):"Target kita: kapal dagang pribadi milik Baron Brawika, dikenal sebagai Bulan Kelam. Berdasarkan informasi, artefak curian berada di lambung kapal, dikawal pasukan bayaran bersenjata dan ahli sihir laut.""Kita sergap sebelum mencapai perairan netral. Jangan beri mereka kesempatan menyebar atau menghancurkan artefak."

FORMASI TIM INVESTIGASI:

Doyantra Puspaloka (komando, senjata gada)

Pradipa Karna (divisi Raka Lelana, pemanah jarak jauh)

Rakha Udiyana (pengalih perhatian, senjata rahasia)

Darsa (pengintai, infiltrasi cepat)

Wigra (deteksi spiritual, mantra penetral)

Tiga senior lain dari Bayang-bayang Geni, Rasa Prawira, dan Mandala Dhana (spesialis sihir proteksi, navigasi, dan taktik penyekatan laut)

Jasana (pengawal tempur garis depan)

PENYERGAPAN DIMULAI

Saat kapal Bulan Kelam tampak di kejauhan, Pradipa Karna menarik busur istimewanya. Anak panah bercahaya dilepaskan ke langit — tanda penyerbuan.

RAKKK!Ledakan kecil terjadi di samping kapal target — hasil dari anak panah sihir Pradipa yang memanggil badai kecil sebagai distraksi.

Doyantra:"Serbu!! Jangan biarkan mereka kabur!"

Tiga perahu cepat diturunkan, membawa Darsa, Rakha, Jasana, dan Wigra mendekati kapal target. Ombak menghantam keras, tapi Darsa melompat ke sisi lambung kapal musuh dengan tali kait. Jasana dan Rakha mengikuti di belakang.

DI ATAS KAPAL BULAN KELAM

Pasukan bayaran bersenjata pedang dan senapan busur menahan mereka. Tapi Jasana menebas dua lawan sekaligus, sementara Rakha melemparkan kantung asap khusus yang membuat musuh kehilangan orientasi.

Wigra (dari belakang):"Zona ini dilingkupi lapisan pelindung spiritual, aku pecahkan sekarang..."(ia menghantam tanah dengan tongkat kristalnya, mantra berbentuk jaring cahaya merambat)

Boom! Aura pelindung runtuh.

Doyantra melompat dari geladak kapal Guild langsung ke Bulan Kelam, mengayunkan gada emasnya. Sekali hantaman, dek kapal terbelah sedikit — musuh mental terpental.

Kapten Kapal Musuh (berteriak):"Buang artefaknya ke laut!! Jangan sampai direbut!!"

Tapi Pradipa yang sudah di atas tiang layar memanah ke arah tangan prajurit yang memegang peti artefak — panah menembus dengan presisi, membuat peti jatuh ke dek, utuh.

PEMULIHAN ARTEFAK & PENANGKAPAN

Wigra memastikan bahwa keempat artefak rumah lelang dan kristal kenanga aman — meski sudah dimodifikasi oleh sihir penyegel. Ia menanamkan segel baru dari Divisi Rasa Prawira.

Doyantra (menghela napas puas):"Artefak utuh. Tidak ada korban jiwa di pihak kita. Kapal dikuasai. Bawa Baron Brawika ke pengadilan kerajaan."

PENUTUP SCENE

Saat fajar menyingsing, kapal Guild Bayu Geni kembali menuju pelabuhan kerajaan dengan layar dikibarkan penuh kemenangan. Di bawah geladak, peti artefak dijaga ketat.

Sementara di ruang tahanan kapal, Baron Brawika hanya tersenyum tipis —

“Kalian pikir kalian sudah menang... tapi kalian belum tahu siapa yang memintaku membelinya...”

BALAI AGUNG ISTANA TIRABWANA – RUANG SIDANG RAJA

Baron Brawika, bangsawan berpakaian mewah tapi dengan tangan terborgol, berdiri di tengah ruangan besar yang dijaga ketat. Di hadapannya duduk Sri Maharaja Darmawijaya, didampingi oleh Permaisuri Shandrakirana, Pangeran Aryasatya, Mahamentri Palindrasuta, dan Panglima Agung Jayasatya. Suasana mencekam.

Mahamentri Palindrasuta (dengan nada dingin):"Baron Brawika, Anda didapati memiliki dan memperjualbelikan artefak suci peninggalan Maharani Kenanga serta empat benda pusaka yang hilang dari rumah lelang Arkamulia. Dari mana Anda mendapat barang-barang tersebut?"

Baron menunduk, berkeringat.Baron Brawika:"Hamba… tidak tahu asal mula pastinya. Hamba hanya menerima penawaran dari pihak perantara… seorang penyelundup yang dikenal dengan nama samaran ‘Brahmana Hitam’ dari jalur pasar gelap wilayah Mandalagiri barat."

Pangeran Mahadarsa (tegas):"Siapa Brahmana Hitam itu sebenarnya?"

Baron (gelisah):"Wajah dan namanya tak pernah diketahui. Ia menggunakan jubah kedap aura dan suara diubah oleh alat sihir. Semua komunikasi dilakukan lewat simbol rahasia. Tapi... hamba tahu ia bukan orang biasa. Ia menyusup ke dalam lingkaran para bangsawan—dan ia tahu banyak hal dalam kerajaan…"

Sri Maharaja (penuh wibawa):"Dengan kata lain, kau membantu penghianat kerajaan demi keuntungan pribadi."

Baron Brawika:"Ampun, Paduka! Hamba tidak tahu artefak itu berasal dari istana..."

Mahamentri Palindrasuta:"Bodoh atau pura-pura bodoh, kau tetap bersalah. Hukumannya menanti."

LOKASI: MARKAS GUILD BAYU GENI – RUANG STRATEGI DIVISI INTELIJEN

Tim investigasi berkumpul kembali setelah mengamankan artefak. Peta-peta dan dokumen tersebar di meja batu besar.

Kapten Doyantra Puspaloka:"Keterangan Baron cocok dengan laporan Wigra. Kristal kenanga sempat disegel ulang dengan teknik yang hanya diketahui oleh penyihir-penyihir tingkat tinggi dari selatan. Namun jejak energinya... bukan dari selatan, melainkan lebih condong ke gaya kuno... yang dikenal dalam aliran Bayangan Wesi."

Darsa (mendekatkan simbol dari peti curian):"Simbol ini... kupikir pernah kulihat saat menjalankan misi kecil bersama di barat. Simbol ini juga muncul di laporan kasus penyelundupan pusaka. Tanda kelompok rahasia… mungkin inilah jaringan Bayawira Barat itu."

Rakha Udiyana:"Kelompok yang tak terdaftar, tak terpantau, tapi diam-diam bergerak di bawah hidung kerajaan dan guild. Kalau benar mereka terlibat, berarti mereka punya sumber daya besar, dan... dalangnya mungkin seseorang yang bahkan belum terdeteksi sampai sekarang."

Wigra (muram):"Dan jika benar artefak-artefak ini digunakan bukan sekadar untuk dijual... bisa jadi ada ritual, pemanggilan, atau alat untuk membuka sesuatu. Artefak kenanga itu punya kaitan dengan segel kuno peninggalan Maharani pertama."

Doyantra:"Kita belum selesai. Tim kita akan menyelam lebih dalam ke jaringan Bayawira Barat. Cari semua transaksi, jejak spiritual, dan orang-orang yang bersinggungan dengan mereka. Kita belum tahu siapa ‘Brahmana Hitam’, tapi jika ia dalangnya, maka kita belum melihat wajah sebenarnya dari ancaman ini."

Sementara itu, di suatu tempat terpencil di wilayah barat, di balik hutan dan bangunan kuno, seorang pria bertopeng duduk di ruang gelap, memainkan kristal kecil berkilau dengan cahaya ungu.

Suara misterius (berbisik):"Bayu Geni sudah mulai mencium jejakmu, Kapten Jagatmarma... tapi permainan ini masih jauh dari selesai."