Bab 16 - Pertarungan Pendekar Sejati

KEBAKARAN SUNYI DI BALIK TIRAI DESA

Senja hari keempat menyelimuti Desa Giriwasesa dengan langit jingga yang perlahan meredup menjadi kelam. Di kejauhan, tiga sosok menunggang kuda perlahan masuk dari jalur barat desa.

Mereka adalah Jagatmarma, Ratri, dan Teksaka, baru kembali dari perjalanan selama beberapa hari meninjau pos-pos di wilayah barat yang menjadi bagian dari pengawasan Bayawira Divisi Barat.

Pakaian mereka lusuh berdebu, tapi aura yang terpancar masih khas: penuh wibawa dan ketenangan yang menipu.

PENGINTAIAN DARI PONDOK SEWAAN

Di pondok sewaan sederhana di pinggiran desa, Maheswara, yang menyamar sebagai "Rana", mengintip dari celah dinding bambu. Tatapannya tajam. Dia mengenali sosok Jagatmarma dari kejauhan meski pria itu mengenakan pakaian sederhana. Namun gestur tubuh dan cara dia memegang tali kekang kuda tidak bisa ditipu.

Maheswara (dalam hati):"Akhirnya mereka kembali. Ini akan mempercepat segalanya."

Namun sebelum Maheswara sempat menyusun langkah selanjutnya, matanya menangkap sesuatu.

BISIKAN YANG MEMBAWA BAHAYA

Di depan balai desa, seorang pria desa tua, mengenakan caping dan membawa keranjang sayur, menghampiri Jagatmarma. Ia membungkuk sopan lalu membisikkan sesuatu ke telinga kapten itu. Maheswara yang cukup jauh tak bisa mendengar, namun ia melihat jelas:

Pria desa itu menunjuk ke arah pondok tempat Maheswara tinggal.

Jagatmarma mengangguk pelan, senyum santainya mengembang seperti biasa. Namun matanya berubah, kini tajam seperti seekor burung elang. Tanpa bicara, Ratri dan Teksaka yang berada di sisi kanan dan kirinya langsung memahami maksudnya.

Ketiganya berjalan tenang menuju rumah kepala desa—yang juga menjadi markas tak resmi Jagatmarma, sang Kapten Bayawira Divisi Barat.

KETEGANGAN YANG MENYUSUP

Dari pondok, Maheswara memperhatikan dengan penuh kehati-hatian.

Maheswara (berpikir cepat):"Mereka sudah curiga. Aku harus mempercepat rencana. Tapi jika aku bergerak sekarang, semua akan bubar. Aku belum cukup tahu."

Ia merapikan kembali barang-barang yang telah ia kemas rapi—sebagian besar hanya tanaman obat dan peralatan menyamar. Namun kini ia menyadari, ia tak punya banyak waktu lagi sebelum penyamarannya runtuh.

DI RUMAH JAGATMARMA

Di ruang dalam rumahnya yang temaram, Jagatmarma membuka kain penutup dari cermin perunggu tua yang tergantung di sudut ruang. Ia menatap ke cermin itu lama, lalu bergumam dalam bahasa kuno:

Jagatmarma:"Ada bayangan yang tak sesuai bentuknya di dalam desa ini. Jika dia hanya pengembara, aku akan memantiknya. Tapi jika bukan… maka Nirmanasmara mungkin harus digunakan lagi."

Ratri menyilangkan tangan, menyandarkan diri di dinding.

Ratri:"Kalau dia tahu lebih dari seharusnya, kita harus bertindak sebelum malam ini berlalu."

Teksaka:"Atau desa ini tak akan aman sampai fajar."

Jagatmarma hanya tertawa kecil, senyumnya santai seperti biasa.

Jagatmarma:"Tenang saja... kalau benar dia pencari, kita beri dia jalan. Tapi kalau dia pemancing, aku tahu cara membuatnya lupa dengan semua perahunya."

Maheswara kini tahu: permainan diam-diam telah berakhir. Malam ini adalah malam penentuan.

Apakah ia akan membuka kedok dan menghadapi Jagatmarma langsung? Atau menyusup lebih dalam, menguji batas kekuatan dari sang hipnosis bayangan?

PENYUSUPAN MAHESWARA KE RUMAH JAGATMARMA

Malam di Desa Giriwasesa begitu sunyi. Hanya suara angin lembut dan gemerisik daun bambu yang terdengar. Maheswara, atau yang dikenal dengan penyamaran "Rana", melangkah hati-hati di antara bayang-bayang pohon, menuju rumah Jagatmarma. Dia tahu betul bahwa ini adalah langkah yang sangat berisiko. Namun, rasa ingin tahu dan kecurigaan terhadap pergerakan di desa ini memaksanya untuk bertindak.

Dengan langkah ringan, dia memanjat pagar rumah kepala desa yang juga menjadi markas dari Bayawira Divisi Barat. Dari sana, ia menyelinap melalui celah dinding bambu yang tak terlihat, mendekati jendela ruang dalam rumah.

Namun, pada saat yang bersamaan, Jagatmarma yang sepertinya telah tahu ada yang mengintai, berdiam di dalam dengan ketenangan yang khas. Ia menatap cermin perunggu tua yang dipenuhi debu, dan entah bagaimana, ia merasakan ada sesuatu yang tidak biasa di udara malam ini.

PERTEMUAN TAK TERDUGA DI RUMAH JAGATMARMA

Sesaat setelah Maheswara membuka jendela dengan sangat pelan, Jagatmarma yang berada di ruang dalam langsung berdiri dari kursinya. Aura yang aneh dan familiar mulai tercium oleh Jagatmarma. Ia tidak langsung menggunakan ajian Nirmanasmara, meskipun itu adalah senjata utamanya. Sebaliknya, ia memutuskan untuk mengamati lebih dalam dan berdiam diri, mengatur napas.

Dengan langkah sigap, Maheswara berhasil memasuki ruang utama rumah, hanya untuk mendapati Jagatmarma sudah berdiri di tengah ruangan, menatapnya tajam. Tentu saja, Maheswara kaget, namun ia berusaha tetap tenang, berusaha menjaga identitas penyamarannya.

Jagatmarma:

"Kau tidak bisa bersembunyi dari orang yang dapat membaca aura. Dan aku rasa, kau bukan orang sembarangan."

Maheswara (dalam hati):

"Dia tahu..."

Jagatmarma mengamati sosok yang berdiri di hadapannya. Dari gerak-geriknya, ia tahu bahwa dia bukanlah orang biasa. Aura yang dimilikinya sangat kuat, lebih dari sekedar pencari tanaman obat atau pedagang keliling. Jagatmarma merasakan sesuatu yang familiar, sebuah aura yang ia kenal—adipati Maheswara. Meskipun dia menganggap ini sebuah kebetulan awalnya, semakin lama ia semakin yakin bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah sembarang pengembara.

Jagatmarma:

"Ah, jadi kau akhirnya datang juga... Aku sudah mengira ini akan terjadi, Maheswara."

Maheswara mematung sejenak, mencoba membaca wajah Jagatmarma. Tak ada tanda-tanda permusuhan atau ancaman. Jagatmarma bahkan tersenyum tipis, seolah tahu lebih banyak daripada yang bisa dibayangkan Maheswara.

Maheswara (dengan senyum konyol, berusaha mempertahankan penyamaran):

"Oh, mungkin aku terlihat mencurigakan, ya? Aku hanya seorang pengembara yang mencari tanaman obat. Tidak ada yang aneh, bukan?"

Jagatmarma:

"Tanaman obat? Pencari tanaman Obat masuk kedalam Rumah ini secara diam-diam, sungguh Alasan yang konyol, Aku tidak merasa ada tanaman obat yang perlu disembunyikan di tempat seperti ini. Kau datang jauh-jauh dari ibu kota, dan kau memiliki aura yang sangat kuat—sepertinya orang yang memiliki kedudukan tinggi di kerajaan atau di antara Guild Bayu Geni."

Maheswara (tersenyum tipis, tak bisa mengelak):

"Sangat tajam, Jagatmarma. Kau benar. Tapi aku berharap bisa mendapatkan sedikit informasi tanpa harus menjadi pusat perhatian."

Jagatmarma hanya tertawa pelan, tetap santai seperti biasanya.

Jagatmarma:

"Kau tahu, jika memang ada yang perlu dibicarakan, lebih baik kita berbicara dari hati ke hati daripada menyembunyikan semuanya dalam kegelapan. Aku lebih suka dialog dari pada konflik."

PERBINCANGAN ANTARA DUA TOKOH

Maheswara menyadari bahwa Jagatmarma bukanlah orang yang terburu-buru dalam tindakan. Kapten Bayawira ini lebih mengutamakan diplomasi, dan kebijaksanaannya sudah terlihat jelas dalam sikapnya. Ia tahu bahwa dialog lebih baik dari pada pertarungan yang tak perlu.

Maheswara (menghela napas, sedikit lebih santai):

"Aku datang bukan hanya untuk menyusup atau menyelidiki, Jagatmarma. Tapi untuk mencari tahu apa yang terjadi di sekitar desa ini. Ada sesuatu yang tidak beres. Jika kau tahu apa yang aku maksud, mungkin kita bisa berbicara lebih lanjut."

Jagatmarma (dengan santai, mengangguk):

"Aku tahu. Kita mungkin berbeda dalam metode, tapi kita berdua ingin melindungi kepentingan kita dengan cara-nya sendiri. Jika ada sesuatu yang mengancam, kita harus menemukannya bersama. Jangan khawatir, Maheswara. Aku akan mendengarkan apa yang ingin kau sampaikan."

Keduanya duduk, dan percakapan dimulai. Meskipun Maheswara datang dengan niat yang tersembunyi, ia merasa bahwa berbicara dengan Jagatmarma—yang memiliki pemahaman yang dalam tentang situasi yang lebih besar—adalah cara terbaik untuk melanjutkan penyelidikannya tanpa langsung terjebak dalam konfrontasi.

Dan di dalam percakapan itu, Maheswara semakin sadar bahwa Jagatmarma, meskipun dengan sikap santai dan konyolnya, adalah sosok yang sangat kuat dan penuh kebijaksanaan, dan mungkin, terlebih dari apa yang terlihat.

Maheswara (dalam hati):

"Aku harus berhati-hati. Mungkin kali ini, aku bisa bekerja sama dengannya, bukan melawannya."

Sementara itu, Jagatmarma, yang selalu tahu lebih banyak dari yang ditunjukkannya, hanya tersenyum, menunggu apa yang akan dibuka oleh Maheswara.

Maheswara:

"Kau tahu, Jagatmarma, aku datang ke sini bukan hanya karena curiga. Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di sekitar desa ini, terutama dengan para anggota Bayawira. Tidak mudah untuk datang sejauh ini tanpa alasan yang jelas."

Jagatmarma menghela napas panjang dan menatap Maheswara dengan tatapan serius. Namun, seiring waktu, ekspresinya berubah menjadi sedikit lebih santai, seperti biasa.

Jagatmarma:

"Memang begitu adanya, Maheswara. Sejujurnya, aku memang punya kebiasaan yang tidak biasa—aku memang mencuri dan memiliki bisnis jasa penyelundupan gelap di wilayah barat. Tapi, bukan untuk memperkaya diri sendiri. beberapa Hasil bisnis-ku… aku bagikan kepada desa-desa yang membutuhkan, atau warga yang terlantar. Tidak semua hasil itu masuk ke kas Bayawira."

Maheswara terkejut, sedikit melongo mendengar penuturan Jagatmarma. Jagatmarma yang selalu tampak tenang, santai, dan penuh diplomasi ternyata punya sisi gelap yang tak banyak orang ketahui.

Maheswara:

"Tunggu dulu, Jagatmarma. Kau… kau bilang kau membagikan kepada desa atau orang-orang di wilayah Barat?"

(Jagatmarma hanya mengangguk pelan.)

"Tapi kenapa? Bagaimana bisa seorang kapten Bayawira melakukan hal seperti itu?"

Jagatmarma:

"Itulah yang membuatku berbeda. Aku mencuri dari mereka yang memiliki lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Aku mengambil sebagian kecil, lalu membagikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Hasilnya? Desa-desa di wilayah barat ini makmur, tidak ada perampokan dari bandit, dan para warga hidup dengan lebih baik daripada sebelumnya."

Maheswara terdiam sejenak, mencoba memproses informasi yang baru saja didengarnya. Hatinya sedikit terguncang, namun ia menyadari satu hal desa-desa di wilayah barat memang lebih makmur terlebih desa-desa di wilayah pelosok barat, damai, dan bebas dari ancaman bandit. Ini adalah fakta yang tidak bisa disangkal.

Namun, Maheswara tahu bahwa meskipun ada manfaat, tindakan Jagatmarma tetap tidak bisa dibenarkan.

Maheswara:

"Aku mengerti, Jagatmarma, kalau apa yang kau lakukan berdampak positif untuk desa-desa ini. Tapi mencuri dan berbisnis ilegal tetaplah tidak dibenarkan. Ada cara yang lebih tepat untuk membantu mereka tanpa melibatkan tindakan yang melanggar hukum."

Jagatmarma (tersenyum tipis):

"Aku tahu itu, Maheswara. Tapi terkadang, cara-cara yang lebih halus dan formal tidak selalu cukup untuk mengatasi masalah mendalam yang ada. Aku melakukan apa yang menurutku terbaik untuk menjaga kedamaian di sini. Namun, aku juga paham bahwa tindakan ini tidak bisa terus berlangsung selamanya."

Sementara itu, di luar ruang utama, di ruang sebelah, Teksaka dan Ratri sedang mengintip percakapan itu dengan cemas. Mereka berdua berdiri terdiam, dengan napas yang sedikit terengah-engah. Keduanya tahu bahwa Maheswara—pemimpin Guild Bayu Geni dan anak dari selir Raja Mandalagiri—adalah sosok yang sangat berpengaruh dan tak terduga.

Menyadari bahwa Maheswara langsung datang ke desa ini dan diam-diam menyusup ke rumah Jagatmarma membuat mereka gemetar, merasa tak berdaya.

Teksaka (dengan suara bergetar):

"K-Kapten… b-bagaimana jika… jika Adipati mengetahui siapa kita?"

Ratri (gemetar, namun mencoba menenangkan diri):

"Tenang, Teksaka. Kita harus tetap tenang. Ini adalah kesempatan untuk belajar lebih banyak dari Maheswara. Kita tidak bisa terperangkap dalam ketakutan."

Setelah beberapa saat, Jagatmarma yang sadar akan kehadiran mereka berdua, memanggil mereka masuk ke ruang utama.

Jagatmarma (tersenyum lebar):

"Ayo, Teksaka, Ratri, masuklah. Tidak perlu takut, kita semua berada di tempat yang aman."

Teksaka dan Ratri melangkah masuk dengan perlahan, wajah mereka masih tampak gugup. Mereka sadar betul bahwa mereka tidak bisa sembarangan berbicara di hadapan Maheswara, apalagi sekarang mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

Jagatmarma:

"Kalian tidak perlu khawatir. Mari, perkenalkan dirimu kepada Maheswara."

Teksaka dan Ratri, meskipun masih gemetar, akhirnya memperkenalkan diri dengan suara yang sedikit goyah.

Teksaka (dengan suara pelan):

"S-Saya Teksaka, wakil kapten barat Bayawira, dari Kapten Jagatmarma."

Ratri (berusaha lebih tegas meski takut):

"Dan saya Ratri, wakil kapten barat Bayawira, juga di bawah Kapten Jagatmarma."

Maheswara (tersenyum dan mengangguk):

"Senang bertemu dengan kalian. Kalian pasti tahu betapa pentingnya kedamaian di wilayah ini. Jagatmarma memang tidak seperti kapten lainnya. Namun, dia tahu apa yang dia lakukan, tetapi hal ini tetap salah."

Teksaka dan Ratri hanya mengangguk, masih terperangah. Dalam hati, mereka merasa sangat terhormat sekaligus cemas berada di hadapan Adipati Maheswara yang misterius.

Jagatmarma (melanjutkan pembicaraan):

"Jangan khawatir, kalian berdua. Maheswara di sini hanya ingin memahami lebih banyak tentang apa yang terjadi di sekitar desa ini dan wilayah barat. Kami akan berbicara lebih lanjut.

Angin malam dari pegunungan membawa hawa dingin yang merambat ke setiap sudut ruangan bambu tempat Maheswara dan Jagatmarma berdialog. Di balik wajah santainya, Maheswara mulai menunjukkan sikap tegas dan penuh wibawa. Tatapannya tajam, dan nada suaranya berubah menjadi lebih berat.

Maheswara:

"Jagatmarma… Aku tidak datang sejauh ini hanya untuk berdamai dengan kebijaksanaanmu yang menyimpang. Bayawira, meskipun lahir dari pemikiran sesat dan sudah melenceng terlalu jauh, sekarang berubah menjadi ancaman bagi tatanan."

Jagatmarma (menatap tenang):

"Memang benar, Lalu Apa maksudmu?"

Maheswara:

"Perilaku Bayawira akhir-akhir ini tidak bisa ditoleransi. Di sebelah timur, kelompok Bayawira mengekstasi roh-roh purba dari Suralaya. Desa itu kini menjadi desa mati, sunyi dari kehidupan. Tidak ada yang tahu berapa banyak jiwa yang terhisap akibat ritual terlarang itu."

(Maheswara bangkit berdiri, menatap Jagatmarma dalam-dalam)

"Dan belum lama ini, regu tempur Bayawira Timur yang dipimpin oleh kapten Prayogi Mahadipa bertempur dengan pasukan kerajaan. Meski mereka kalah, pertempuran itu diakhiri dengan pencurian Batu Napas Langit di Kalapanunggal. Pelakunya… seorang pria bertopeng dengan teknik teleportasi. Dan lebih parah—dia seperti menyelamatkan Prayogi. Peristiwa ini cukup bagi kerajaan Mandalagiri untuk menganggap Bayawira sebagai ancaman."

Jagatmarma:

(ekspresi berubah serius, tubuhnya kini menegakkan diri, bayangan cahaya lampu minyak bergetar di matanya)

"Kedua peristiwa itu… di luar batas wilayahku setiap Kapten Memiliki Gaya Kepemimpinan yang berbeda-beda. Aku tidak terlalu tertarik untuk melakukan hal ekstrim seperti pemanggilan entitas purba di Suralaya dan Batu Napas Langit di Kalapanunggal. Bayawira Barat Memiliki Gaya-nya sendiri."

(sejenak hening)

"Namun… jika kau, Maheswara, tetap menganggap semua Bayawira satu racun yang sama, maka kita takkan menemukan penyelesaian dari diskusi ini."

Maheswara (dingin):

"Aku datang sebagai pemimpin. Dan aku bertindak demi menjaga keseimbangan."

Jagatmarma (dengan suara mantap dan nada pendekar sejati)

"Kalau begitu, seperti jalan para pendekar di zaman dahulu, jika tak ada lagi kesepakatan dari kata-kata... maka hanya duel satu-lawan-satu yang bisa menentukan siapa yang berdiri atas kebenaran. Duel kehormatan, bukan kebencian."

(dia berjalan ke tengah ruangan, menundukkan kepala hormat)

"Aku menantangmu, Adipati Maheswara. sepertinya tidak ada titik temu, maka mari kita selesaikan di tanah terbuka sebagai dua pendekar, bukan sebagai pemimpin dan bawahan."

Teksaka dan Ratri, ya berdiri dari ruang sebelah, langsung terdiam. Darah mereka seakan berhenti mengalir mendengar ucapan Jagatmarma. Duel? Dengan Adipati Maheswara?! Ini bukan hanya pertarungan kekuatan, tapi bisa mengubah arah.

Maheswara menghela napas panjang, matanya tak berkedip menatap sosok kapten Bayawira Barat yang berdiri seperti batu karang di hadapannya. Dalam dirinya, gejolak mulai muncul antara tanggung jawab sebagai pemimpin dan rasa hormat terhadap pendekar yang berdiri di hadapannya.

Apa yang harus Maheswara jawab?

Apakah duel ini akan terjadi?

Atau masih ada secercah akal sehat yang bisa menjembatani kedua pemegang kekuatan ini?

Hening. Hanya suara angin malam dan detak langkah Maheswara yang perlahan mendekat. Mata mereka saling bertaut — dua pemimpin, dua jalan hidup yang bertabrakan di malam yang menentukan ini.

Jagatmarma berdiri tegak di hadapan Maheswara. Suaranya tenang, namun mengandung kekuatan tekad yang tak tergoyahkan.

Jagatmarma:

"Sebelum kita melangkah ke duel, aku ingin menetapkan satu syarat, Maheswara."

(sejenak ia menatap Teksaka dan Ratri, lalu kembali menatap sang adipati)

"Jika aku kalah… aku akan membubarkan Bayawira Barat, mengakhiri seluruh jaringan dan bisnis jasa perdagangan gelap kami. Aku pun bersedia menyerahkan diri untuk ditangkap dan diadili oleh kerajaan."

(lalu suara lirih penuh permohonan)

"Namun… aku mohon satu hal jangan tangkap Ratri, Teksaka, dan anggota-anggota Bayawira Barat lainnya. Banyak dari mereka hanyalah orang-orang tersesat yang kubimbing dari kehancuran. Mereka bukan penjahat. Mereka hanya mencari arti baru dalam hidupnya."

Maheswara (menatap tajam, lalu mengangguk pelan)

"Kau mengambil tanggung jawab penuh. Itu sikap seorang pemimpin sejati. Baik… Aku setuju."

(lalu suara Maheswara merendah dengan nada penasaran)

"Dan… jika aku yang kalah?"

Jagatmarma (mengambil napas dalam-dalam):

"Maka Ajian Nirmanasmara akan meresap ke dalam jiwamu. Bukan maksud untuk memperbudak, tetapi untuk menutupi ingatan-mu tentang Kami sebagai Bayawira Barat, Aku memiliki hak untuk melindungi Kelompokku, meskipun menyimpang."

(ia membungkuk sedikit, seperti memberi penghormatan)

"Itulah satu-satunya bentuk hukuman yang bisa kutawarkan pada seorang pemimpin besar sepertimu."

Maheswara (menutup mata sejenak, lalu mengangguk mantap):

"Aku terima."

TRANSISI — MENUJU ARENA DUEL, UTARA DESA GIRIWASESA

Angin dini hari berembus di lembah utara. Langit masih remang, namun puluhan obor sudah menyala mengelilingi arena terbuka alami yang dikelilingi batu besar dan pepohonan tinggi. Suara gemerisik dedaunan jadi musik pengiring malam terakhir sebelum duel.

Ratusan mata tertuju ke tengah tanah lapang. Tak sedikit dari mereka adalah penduduk desa, yang ternyata adalah bagian dari jaringan Bayawira Barat. Mereka duduk bersila dengan tenang, seperti menyaksikan ritual suci — bukan sekadar pertarungan.

Teksaka dan Ratri berdiri di pinggir arena, wajah mereka tegang namun tetap menjaga wibawa. Di kejauhan, terlihat Jagatmarma berjalan perlahan ke tengah lapangan — mengenakan pakaian tempur khas Bayawira Barat, sederhana, longgar, dan berwarna gelap tak lupa simbol Bayawira tersemat di Dada Kiri-nya. Di belakangnya, Maheswara muncul, mengenakan pakaian hitam polos tanpa atribut apa pun, hanya sebilah keris tergantung di samping-nya dan sebuah pedang terselip di punggungnya.

Dua pendekar itu saling berdiri, tenang, mata bertaut, napas sejajar.

Jagatmarma:

"Kita akan mengukir sejarah malam ini. Bukan untuk menghancurkan… tapi untuk melindungi masing-masing kepentingan kita."

Maheswara (tegas):

"Mari kita mulai, Jalan Pendekar, Jalan Jiwa."

Obor-obor bergetar. Angin berhenti. Dan waktu seolah menahan napas.

Duel pun dimulai…

ARENA DUEL — UTARA DESA GIRIWASESA DINI HARI

Angin berhenti. Obor bergetar oleh aura yang saling bertabrakan.

Maheswara melangkah ke tengah arena, perlahan menghunus pedang pamungkasnya:

Arka Wijaya, bilah suci berlapis semburat merah keemasan. Saat pedang itu terhunus penuh, aura Rajawali Api meledak dari bilahnya — seekor sosok Sambara Geni, khodam yang membentangkan sayap api, melambung di balik bahu Maheswara.

Di tangan kirinya, ia menghunus keris pusaka kecil berwarna legam, yang tampak menyerap cahaya di sekitarnya. Aura dingin membekukan udara di sekelilingnya.

Itulah khodam hitam: Aswanir Lodra — lahir dari kesedihan terdalam Maheswara atas kematian ibundanya.

Dua kekuatan bertolak belakang, namun menyatu dalam kendali Maheswara. Simetris. Mengerikan.

Sementara itu, Jagatmarma berdiri tenang.

Pedang biasa di tangannya tampak tak mencolok, tapi dari bilahnya perlahan muncul cahaya putih lembut.

Aura khodam putih mengalir samar, nyaris seperti senyum hangat di tengah medan laga.

Belum jelas wujudnya… tapi terasa nyawanya.

Semangat. Keceriaan. Kebaikan tanpa pamrih.

SAMBARA GENI dan ASWANIR LODRA menyatu dalam Maheswara.

Khodam Putih samar menyatu dalam Jagatmarma.

Lalu—

CLANG!

Dua pedang beradu, bunga api membuncah ke udara. Serangan demi serangan dilayangkan, lompatan cepat, hentakan kaki menghentak tanah.

Jagatmarma (menahan sabetan Maheswara, berseru):

"Ternyata benar, kau bukan cuma pemimpin… tapi juga petarung sejati."

Maheswara (berputar dan menebas rendah, suaranya dingin):

"Dan kau terlalu meremehkan hukum hanya karena punya alasan sendiri."

Jagatmarma (mengelak dan balas menusuk):

"Keadilan bukan cuma soal aturan, Maheswara. Kadang… keadilan lahir dari keberanian untuk melanggar!"

Maheswara (melompat mundur, mengangkat pedangnya tinggi, aura Sambara Geni menyala):

"Dan kau berani mempertaruhkan ratusan nyawa demi hasrat bebasmu?!"

Jagatmarma (tersenyum kecil meski berkeringat):

"Aku tidak bertaruh untuk bebas… tapi agar mereka punya harapan."

KEDUANYA MELUNCUR MAJU — PEDANG BERTEMU PEDANG, KERINGAT BERCAMPUR API DAN KABUT AURA.

Pertarungan mereka terus berlangsung, semakin intens. Para penonton diam dalam hening dan kekaguman — menyaksikan bukan sekadar duel… tapi dua jalan hidup yang saling menguji.

Duel Pendekar Maheswara vs Jagatmarma

Waktu berlalu cukup lama.

Ayunan demi ayunan pedang, gesekan aura, denting senjata, dan pijakan kaki di tanah berderak telah berlangsung sangat lama.

Peluh bercucuran, napas kian berat, tapi semangat mereka tetap menyala — lebih tajam dari mata senjata yang saling memburu.

Langit mulai mengusir kelamnya malam.

Fajar mengguratkan warna jingga tipis di balik hutan dan bukit.

Tiba-tiba—

Ledakan aura terjadi dari tubuh Maheswara dan Jagatmarma hampir bersamaan.

Tanah bergemuruh halus, angin berhenti sejenak.

Aura khodam mereka kini melampaui batas biasa — masuk ke fase semi-fisik.

Di belakang Maheswara, muncul Sambara Geni — sosok Rajawali Api raksasa, setengah transparan, sayapnya membentang luas menyentuh pucuk pohon, matanya membara dan paruhnya tajam seperti tombak merah. Aura keberanian dan semangat muda memancar darinya.

Sedangkan dari tangan kiri Maheswara, Aswanir Lodra, keris hitam itu mengundang keheningan pekat, menyatu —

Sosok bayangan tinggi bertudung, berselimut asap hitam dengan sorot mata biru menyala penuh luka dan kegetiran.

Sosok ini membawa energi kesedihan dalam diam yang menusuk.

Sementara dari belakang Jagatmarma, muncul cahaya terang putih keperakan.

Dari dalam aura itu, perlahan terlihat sosok Resi suci berjubah angin, bermata damai dan membawa sebuah jam pasir besar dari kaca dan akar.

Jam pasir itu mengalirkan cahaya bening dan butiran aura khodam putih seperti bintang-bintang kecil.

Khodam yang bangkit dari ketulusan, tawa, dan pengampunan. Ia adalah lambang waktu yang menyembuhkan, kesadaran atas hidup, dan cahaya dari dalam batin.

Maheswara (menatap khodam Jagatmarma dengan takjub)

"Khodam sejenis itu, jarang muncul bahkan di kalangan resi dan guru besar."

Jagatmarma (tersenyum kecil):

"Dia lahir saat aku berhenti membenci dunia... dan mulai menertawakan segala luka."

Maheswara (mengangguk pelan):

"Kau memang bukan sekadar pendekar jalanan, Jagatmarma."

Jagatmarma (melihat Sambara Geni dan Bayulodra):

"Dan kau... dua khodam sekaligus, dari semangat dan duka. Tubuhmu pasti tak ringan menanggungnya."

Maheswara:

"Benar. Tapi merekalah yang membuatku tetap hidup. Dan tetap berjalan."

Kedua pendekar menunduk satu sama lain.

Kemudian, dalam hening fajar yang mulai menyingsing—

Mereka berdua maju.

Khodam mereka ikut bergerak di belakang, membentuk bayangan raksasa yang menyatu dalam gerakan senjata.

Sambara Geni mencakar dari langit, Rasatita Jnana memutar jam pasir hingga menciptakan pusaran angin bercahaya.

Pedang dan keris beradu. Aura saling menghantam.

Api dan cahaya putih berpadu membentuk tarian ilahi.

Warga yang menonton terdiam.

Beberapa mulai menitikkan air mata, bukan karena takut, tapi karena menyaksikan pertarungan antara dua jiwa besar — yang tak saling membenci, tapi mencari jawaban melalui gerakan dan semangat.

Ratri (berbisik):

"Aku belum pernah melihat pertarungan seagung ini…"

Teksaka:

"Ini... seperti kisah dalam kitab tua. Dua cahaya yang bertarung bukan untuk menang, tapi untuk melindungi keyakinan masing-masing."

MARKAS UTAMA BAYAWIRA, GUA SUNYI PEGUNUNGAN MANDALGRAHA

Di tengah keheningan yang masih menyelimuti puncak Gunung Mandalgraha,

di sebuah gua luas tersembunyi di balik tebing, berdiri bangunan kuno bercampur teknologi purba—

tempat rahasia yang dikenal sebagai Markas Utama Bayawira.

Di ruang tengah markas itu, hanya ada satu sosok.

Seorang pria bertopeng hitam berdiri di depan sebuah bola kristal kaca besar yang melayang sedikit di atas altar batu.

Di balik topengnya, matanya menyorot tajam tapi penuh perhitungan.

Di dalam bola kristal, tergambar dengan jernih duel antara Adipati Maheswara dan Kapten Barat Jagatmarma.

Sorotan fajar menyinari arena, dan aura dari khodam mereka membuat bola kristal bergetar perlahan akibat energi besar yang tertangkap.

Sosok bertopeng hitam itu menyaksikan tanpa suara, tapi tatapannya menyala kagum.

Pemimpin Bayawira (dalam hati, tenang dan dalam):

"Dua pendekar... yang kekuatannya bisa mengguncang satu negeri."

"Jagatmarma... kau tidak menunjukkan taringmu sepenuhnya, bukan? Aku tahu kau lebih dari itu."

"Tapi kau memilih untuk menguji, bukan menaklukkan. Itulah dirimu."

Dia melangkah mundur sedikit, lalu duduk bersila di kursi batu, tangannya menyatukan jari dalam sikap meditasi.

Pemimpin Bayawira:

"Apapun hasilnya... aku akan menerima keputusanmu, Jagatmarma."

"Tapi jika saatnya tiba... dan kekuatan sejati Bayawira dibutuhkan... kau tahu apa yang harus kau lakukan."

Angin dingin gunung menerpa masuk dari celah gua.

Jubah hitamnya berkibar perlahan.

Di balik topengnya, ia tersenyum samar.

"Dunia belum siap untuk kekuatan yang sebenarnya... sahabat lama."

ARENA UTARA DESA, WAKTU FAJAR

Udara pagi yang dingin mulai menghangat oleh ledakan energi khodam yang memenuhi langit.

Di atas arena tanah lapang, dua cahaya besar saling bertarung di udara:

Sambara Geni, Rajawali Api raksasa, mengepakkan sayapnya membakar langit dengan api jingga menyala—

sementara dari sisi lain, Aswanir Lodra, Khodam hitam berwujud sosok berjubah kabut dan tatapan kosong dari keris Maheswara,

bergerak memecah udara dengan desiran bayangan kelam.

Namun lawan mereka tak kalah memukau...

Dari tubuh Jagatmarma, naik ke langit sosok khodam putih yang kini terlihat utuh dan megah.

Ia tampak seperti Resi Suci dengan tubuh bercahaya, mengenakan kain suci dan membawa alat mirip jam pasir besar yang melayang di belakang punggungnya.

Namanya: Rasatita Jnana — khodam yang lahir dari keseimbangan batin, keceriaan, dan semangat hidup Jagatmarma.

Di langit, Sambara Geni dan Rasatita Jnana saling menghantam,

gelombang kejut spiritual mereka membuat awan-awan fajar tercerai-berai.

Sementara itu, di bawahnya...

Maheswara dan Jagatmarma bertarung jarak dekat dengan kecepatan tinggi.

Bilah Arka Wijaya memercikkan api saat berbenturan dengan pedang biasa Jagatmarma yang kini diselimuti aura putih samar.

Tiap gerakan mereka seperti tarian—cepat, presisi, tapi juga penuh jiwa.

Penonton yang sebelumnya berdiri santai, kini mundur beberapa langkah,

tekanan aura yang keluar dari duel ini membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Beberapa warga desa bahkan duduk bersila, menonton dengan khidmat seolah menyaksikan pertunjukan agung para dewa.

Teksaka (pelan, gemetar):

"Aku... aku belum pernah melihat sesuatu seperti ini. Ini sudah bukan pertarungan manusia biasa."

Ratri (menelan ludah, kagum):

"Mereka bertarung... tapi tersenyum...? Apa mereka gila... atau... mereka benar-benar menikmati pertarungan ini?"

Darah menetes perlahan dari bahu Maheswara, goresan halus dari serangan Jagatmarma sebelumnya.

Sementara Jagatmarma juga mendapat luka sobek kecil di lengannya, tapi keduanya berdiri tegar.

Maheswara (tersenyum sambil menangkis):

"Jagatmarma... ternyata kau masih punya taji."

Jagatmarma (tertawa kecil):

"Kau pikir jadi kepala desa membuatku berkarat? Heh... justru di sinilah aku menempa jiwa."

Maheswara:

"Aku berpikir pendekar sejatimu tersembunyi di balik kelakar... ternyata bukan sekadar pura-pura."

Jagatmarma (menunduk, lalu menatap tajam):

"Dan kau... Adipati yang masih membawa bara petualangan meski sangat berpengaruh. Tidak banyak yang sepertimu."

Keduanya saling melompat mundur sejenak.

Udara kembali tenang, hanya gema napas dan api yang bergetar di udara.

Lalu... mereka kembali melompat, saling serang—kali ini lebih cepat dan lebih dalam.

Langit dan tanah kini menyatu dalam tarian antara jiwa, khodam, dan kehendak dua pendekar sejati.

Langit timur mulai berubah jingga,

dan saat mentari hampir menyingkap cakrawala,

Maheswara memanggil kekuatan penuh dua khodamnya.

“Sambara Geni—Aswanir Lodra—waktunya kita akhiri ini.”

Rajawali Api menyemburkan kobaran panas yang menggulung udara,

sementara Aswanir Lodra melesat dari bayangan Maheswara,

berubah menjadi sosok mirip arwah berjubah hitam dengan ribuan tangan bayangan siap mencengkeram lawan.

Keduanya melesat bersamaan,

satu dari langit, satu dari bayangan tanah,

mengapit Jagatmarma dari dua sisi seperti ancaman maut yang tak mungkin dihindari.

Para penonton terdiam—bahkan napas mereka seperti terhenti.

Namun...

Bersamaan dengan itu, jam pasir dari Rasatita Jnana menyala terang.

Butiran pasir cahaya membalik arah.

“Ajian Pramana-Loka…” bisik Jagatmarma lirih.

Cahaya membutakan... dan waktu berhenti.

Segalanya membeku.

Sambara Geni dan Aswanir Lodra kini tampak seperti lukisan yang tergantung di udara.

Panas api tak bergerak, bayangan tidak beriak,

suara lenyap... dunia diam.

Di tengah keheningan itu,

Jagatmarma perlahan melangkah,

ia berjalan melewati Sambara Geni yang beku di udara,

dan memiringkan tubuhnya dari jalur serangan Aswanir Lodra.

Napasnya tenang. Matanya jernih.

Ia berdiri kembali di posisinya semula,

dan saat jam pasir berhenti bersinar—

waktu pun kembali mengalir.

BOOM!!

Suara ledakan menggemuruh saat dua khodam Maheswara bertabrakan di udara...

tanpa mengenai apapun.

Maheswara menyipitkan mata,

rautan wajahnya bingung.

Maheswara (menahan napas):

"Apa... bagaimana kau bisa... menghindar...?”

Jagatmarma (tersenyum kecil, mengatur napas):

"Mungkin... aku hanya beruntung."

Maheswara (dalam hati, terkejut):

"Dia... memutar waktu...? Atau... memperlambatnya? Itu bukan kekuatan biasa. Itu... kekuatan pelampau nalar manusia."

Namun Jagatmarma tetap tidak menjelaskan.

Ia hanya berdiri dengan santai,

mata penuh damai,

seolah ia tidak pernah ada dalam bahaya.

Ratri (berbisik pada Teksaka):

"Kau lihat tadi...? Dia seperti menghilang... lalu muncul, seperti menghindari serangan dengan sangat cepat tak terlihat..."

Teksaka (gemetar):

"Itu... itu seperti... Mustahil dilakukan pendekar biasa, seperti pendekar yang hanya ada dalam legenda!"

Duel belum selesai.

Namun kini semua orang tahu...

ini bukan lagi hanya tentang kekuatan.

Ini tentang kehendak... dan kedalaman jiwa.

Mentari mulai menembus cakrawala,

cahaya keemasan mengguyur arena pertempuran,

mewarnai debu dan aura yang masih menggantung di udara.

Maheswara bangkit berdiri, darah mengalir dari luka kecil di bahunya.

Tatapannya tajam. Nafasnya berat.

Namun semangat juangnya masih menyala seperti bara api.

Maheswara:

"Kau belum menang, Jagatmarma... Sambara Geni... Aswanir Lodra... SEKARANG!!"

Kedua Khodamnya langsung melesat bagaikan petir menyambar:

Rajawali Api Sambara Geni dari langit—

Arwah Bayangan Aswanir Lodra dari balik tanah—

dua arah serangan mutlak dengan sangat cepat menuju tubuh Jagatmarma.

Namun…

Jam pasir Rasatita Jnana kembali bersinar menyilaukan.

Butiran waktu berhenti.

Langit dan bumi membeku.

Jagatmarma, dengan tatapan tenang, menghindari Sambara Geni yang hendak mencengkeram tubuhnya,

kemudian ia melompat ringan melewati bayangan Aswanir,

dan dalam langkah ringan—ia telah berada di depan Maheswara yang membeku dalam waktu.

“Maafkan aku, Maheswara…”

Bisiknya lirih, sebelum menebas ringan dada Maheswara dengan sisi tajam pedangnya,

bukan untuk membunuh,

tapi cukup dalam untuk membuktikan kemenangan.

Dan saat jam pasir meredup—

WAKTU BERJALAN KEMBALI.

DUAR!!!

Dua Khodam Maheswara bertabrakan di titik kosong,

menghasilkan gelombang aura dahsyat yang mengguncang arena,

membuat tanah bergetar, dan angin menjerit ke segala arah.

Maheswara terhuyung ke belakang,

terseret beberapa langkah, lalu jatuh berlutut, seperti-nya energi fisik dan spiritual-nya semakin melemah efek pertarungan panjang dan serangan besar yang dilakukan kedua Khodamnya.

Tangan kirinya memegang dadanya—darah menetes.

Matanya membelalak.

Maheswara:

"A... Aku tidak melihatnya... Bagaimana bisa kau tiba-tiba di depanku...? Bahkan Sambara Geni pun tak sempat menyentuhmu..."

Jagatmarma hanya tersenyum tipis.

Jagatmarma:

"Mungkin aku hanya lebih cepat... atau mungkin hanya kebetulan."

Ia tidak menyombong.

Ia tidak menjelaskan.

Ia menyimpan rahasianya dengan tenang,

seperti resi yang tahu kapan harus bicara… dan kapan membiarkan waktu menjadi saksi.

Penonton terdiam.

Ratri memejamkan mata dengan lega.

Teksaka menggenggam dadanya sendiri—tak percaya.

Di kejauhan, dari ruang gelap di Gunung Mandalgraha,

Pria bertopeng hitam menatap bola kristalnya.

Tertawa kecil.

Pemimpin Bayawira:

"Kau memang tak pernah gagal membuatku terpukau... Jagatmarma."

Jagatmarma lalu mendekati Maheswara,

mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri,

membuktikan bahwa tidak ada kebencian dalam pertarungan mereka.

Sebuah duel kehormatan,

yang menjadi legenda baru,

di fajar yang menyambut dunia yang tak lagi sama.

Maheswara tersungkur…

Keringat dan darah bercampur di tubuhnya.

Nafasnya memburu. Sorot matanya yang dulu tajam kini meredup,

namun masih menyiratkan kebesaran hati.

Ia mengangkat tangan, menyerah…

Menanggalkan gengsi dan harga diri, demi kehormatan.

Maheswara:

"Jagatmarma… aku kalah. Aku mengakuinya... Seperti yang telah dijanjikan—lakukanlah Ajian itu."

Jagatmarma mengangguk pelan.

Seketika auranya berubah menjadi tenang dan agung.

Dari dalam dirinya,

Rasatita Jnana memancarkan cahaya biru keperakan,

dan Jam Pasir yang melayang di udara mulai menyala terang.

Pasir-pasir waktu berputar terbalik… lalu diam.

Ajian Nirmanasmara telah diaktifkan.

Tanpa mantra, tanpa gerakan tangan—

hanya melalui tatapan dan kedalaman spiritualnya,

aura ajian itu mengalir ke tubuh Maheswara,

menyentuh lapisan terdalam pikirannya penuh ketenangan dan kedamaian.

Maheswara:

"...Aku… ingatanku… mulai mengabur..."

Dan seketika tubuh Maheswara roboh.

Pingsan.

Hening.

Satu helaan nafas panjang dari penonton.

Lalu—

GEMURUH TEPUK TANGAN DAN SORAK SORAI memenuhi arena.

Jagatmarma berdiri tegak, memejamkan mata sejenak,

menghormat pada lawannya, lalu melambaikan tangan ke arah kelompoknya.

Jagatmarma:

"Teksaka! Ratri! Bantu aku bawa Maheswara… ia harus segera dirawat."

Keduanya segera melesat, membantu menopang tubuh sang Adipati yang tak sadarkan diri.

Ratri:

"Kapten… kau… luar biasa… Kau bahkan tak terluka serius. Apa sebenarnya kemampuanmu…?"

Jagatmarma:

(dengan gaya dramatis dan suara dibuat-buat)

"Ah, kau tahu… aku hanya kebetulan latihan setiap sore sambil nyapu halaman markas, lalu makan ketela rebus dan minum air kelapa—efeknya gini deh."

Teksaka:

"Kau bisa serius satu menit saja, Kapten! Tapi jujur, ini luar biasa!"

Jagatmarma mengedip jahil, lalu mengangkat tangan seolah memberi salam kemenangan dengan gaya berlebihan.

Jagatmarma:

"Pendekar sejati bukan yang paling kuat… tapi yang paling tahu kapan harus menghentikan pedangnya dan membuka tangan untuk merawat."

Teksaka dan Ratri tertawa keras,

dan di sekitarnya, suasana terasa hangat.

Cahaya pagi menyinari mereka,

seolah menyambut babak baru yang akan segera dimulai…

Duel telah selesai.

Tapi gelombangnya baru akan terasa.

KEESOKAN HARINYA, DI DESA GIRIWASESA

Mentari pagi menyapu perlahan atap-atap bambu dan genting tanah liat.

Embun masih menggantung di pucuk-pucuk daun jati yang mengelilingi Desa Giriwasesa.

Di sebuah ruang pengobatan sederhana yang bersih dan rapi,

Maheswara terbaring di atas dipan rotan, tubuhnya ditutupi selimut tipis.

Ia membuka mata perlahan.

Matanya menyipit menahan cahaya pagi yang menyusup dari kisi-kisi jendela.

Maheswara:

"Di mana… aku…?"

Suara langkah ringan terdengar mendekat.

Ratri, mengenakan pakaian sederhana khas gadis desa, masuk membawa baskom air dan kain hangat.

Ratri:

"Oh! Kau sudah sadar! Puji syukur. Tadi malam kau pingsan di tepi jalan desa, untung Pak Jagatmarma menemukanmu."

Maheswara:

(memegang kepala)

"Kepalaku masih berdenyut… Jagatmarma…? Pak Jagatmarma... itu…"

Ratri tertawa pelan.

Teksaka masuk tak lama kemudian sambil membawa mangkuk bubur hangat.

Teksaka:

"Pak Kepala Desa Jagatmarma, sahabatmu sendiri katanya. Kau ini aneh,. Sampai lupa kawan sendiri."

Maheswara mencoba duduk tegak, walau tampak lemah.

Maheswara:

"Ah… iya… aku ingat samar. Desa ini… aku pernah ke sini sebelumnya, kan? Giriwasesa… tempat yang damai. Aku… aku jatuh dari kudaku kemarin, lalu pingsan, ya?"

Ratri dan Teksaka saling pandang, kemudian tersenyum lembut.

Ratri:

"Kurang lebih begitu. Tenang saja, sekarang kau aman di sini. Kami rawat sebaik mungkin."

Di luar, suasana desa berjalan seperti biasa.

Anak-anak bermain. Para petani menyiapkan cangkul.

Dan Jagatmarma, dengan kain di bahu dan topi caping besar, berjalan santai menuju klinik.

Saat ia masuk, Maheswara menatapnya sejenak…

Ada sesuatu yang aneh di matanya.

Bukan curiga.

Tapi semacam rasa hormat dan percaya yang tumbuh secara alami.

Maheswara:

"Jagatmarma… sahabatku. Terima kasih… kau menyelamatkanku lagi rupanya."

Jagatmarma duduk di sampingnya, tersenyum tenang.

Tidak ada aura khodam, tidak ada tekanan spiritual—hanya ketulusan dari seorang “kepala desa.”

Jagatmarma:

"Tenang saja,. Ini rumahmu juga. Kau bisa pulang ke Tirabwana bila sudah cukup pulih. Tapi untuk hari ini… istirahat dulu. Nanti kupinjamkan kudaku."

Maheswara mengangguk.

Ia menatap langit-langit…

Tak satu pun kilasan duel panjang atau denting pedang muncul di benaknya.

Segalanya… telah berubah.

—Nirmanasmara bekerja sempurna.

Di luar klinik, angin membawa suara burung dan dedaunan.

Namun jauh di sudut desa, di balai desa tempat rahasia Bayawira Barat yang tersembunyi,

para anggota masih ingat duel semalam—dan kini menjalani identitas baru demi melindungi rahasia besar mereka.

Ratri (pelan, sambil menyendok bubur):

"Aneh ya, Kapten bisa ngubah ingatan orang kayak gitu… Tapi syukurlah, sekarang baik-baik saja."

Teksaka:

"Kapten Jagat itu… aneh tapi luar biasa. Aku penasaran seberapa dalam kekuatannya sebenarnya."

Jagatmarma (tersenyum jahil):

"Kalau kupikir-pikir… mungkin aku ini keturunan naga yang nyasar jadi kepala desa."

Mereka bertiga tertawa—dan hari pun bergulir perlahan, menyimpan rahasia di balik wajah damai Giriwasesa.

MARKAS RAHASIA BAYAWIRA UTAMA, GUNUNG MANDALGRAHA

Langit mulai memutih di puncak Gunung Mandalgraha. Kabut tipis menyelimuti pintu masuk gua besar yang tersembunyi di balik tebing curam. Di baliknya, lorong-lorong sunyi membawa kita ke Ruang Inti Markas Bayawira.

Di tengah ruangan luas yang remang, tampak sebuah meja bundar batu, dan di ujungnya—duduk sosok pria misterius bertopeng hitam legam, berjubah kelam, tubuhnya dilapisi aura dingin dan menggetarkan.

Dialah Pemimpin Utama Bayawira.

Namun pagi ini…

Suasana berbeda.

Tidak ada keheningan mencekam, tidak ada perintah tegas, tidak ada aura intimidasi.

Yang terdengar hanya satu hal:

Tawa.

Tawa keras dan panjang yang menggema hingga sudut-sudut gua.

Sampai para penjaga di luar pun saling pandang bingung.

Pemimpin Bayawira:

“HAHAHAHA!! Astaga… Jagatmarma! Kau benar-benar sinting! Menghapus ingatan Maheswara?! Dengan Nirmanasmara pula! Anak selir raja Mandalagiri itu bahkan tidak sadar ia ditertawakan oleh seluruh langit!!”

Ia menyender ke sandaran kursi batu besar itu, kedua tangan menahan perut karena terus tertawa di balik topengnya.

Suara tawanya bergema bersama desahan kagum:

“Dia kira dirinya terjatuh dari kuda? Dan sekarang dirawat desa?! Hahahaha! Kau memang tak pernah kehilangan gaya, Jagatmarma...”

Ia lalu bangkit perlahan, masih tersenyum, meski tawanya mulai mereda.

Pemimpin Bayawira:

"Namun... di balik semua lelucon itu, aku tahu satu hal."

Langkahnya berat namun mantap menuju bola kristal yang memantulkan pemandangan dari Desa Giriwasesa.

Di sana, tampak Maheswara sedang tertawa kecil bersama Jagatmarma, Ratri, dan Teksaka.

Pemimpin Bayawira (pelan):

“Kau menyelamatkan kita semua dari celaka besar... dengan caramu sendiri.”

Ia menunduk sedikit.

Suasana menjadi sunyi kembali.

Namun sebelum keluar dari ruangan…

Ia berkata pelan:

“Tapi awas kau, Jagatmarma... Bila kau gunakan Nirmanasmara pada diriku, aku pastikan kau bangun esok hari dengan tubuh penuh kutu dan ingatan seekor ayam kampung. HAHAHAHA....”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama… Pemimpin Bayawira tertawa lagi.

Tertawa seperti manusia biasa.

Bukan sebagai bayangan yang ditakuti seluruh tanah Mandalagiri.

PAGI HARI DI GERBANG DESA GIRIWASESA

Kabut tipis menyelimuti jalanan tanah merah yang mengarah keluar dari desa. Mentari pagi mengintip perlahan dari balik bukit, cahayanya menari di antara dedaunan yang basah oleh embun.

Maheswara berdiri dengan pakaian lengkap, pedangnya tergantung di punggung. Wajahnya tampak cerah, jauh dari luka dan ketegangan yang sebelumnya menguasai dirinya. Senyum hangat tersungging di wajahnya.

Di belakangnya, berdiri Jagatmarma, mengenakan pakaian kepala desa sederhana, tampak bersahaja namun berwibawa. Di sampingnya Ratri dan Teksaka, tampak santai namun sorot mata mereka mengandung kelegaan dan kekaguman.

Beberapa penduduk desa ikut berdiri di belakang mereka. Mereka melambai ramah, berwajah damai dan biasa—padahal di balik senyuman itu, mereka adalah para pendekar Bayawira Barat yang telah "dilenyapkan" dari ingatan Maheswara.

Maheswara (tersenyum kecil):

"Rasanya... seperti mimpi. Aku tak ingat jelas bagaimana bisa sampai di sini. Tapi kalian semua sudah merawatku dengan sangat baik. Terima kasih, Jagatmarma... Ratri, Teksaka. Aku berhutang pada kalian."

Jagatmarma (dengan senyum hangat):

"Sudah menjadi kewajiban kami merawat tamu desa. Kau adalah sahabatku,. Jangan lupakan itu."

Maheswara mengangguk. Ia menatap desa sekali lagi, menyimpan suasana damai itu dalam hatinya.

Ratri (bercanda):

"Kalau suatu saat kau jatuh dari kuda lagi, jangan lupa arah ke Giriwasesa."

Teksaka menimpali sambil tertawa:

"Tapi kali ini, kami pastikan kau tak pingsan Ya."

Maheswara tertawa lepas, lalu menghampiri kudanya dan menyiapkannya untuk perjalanan jauh kembali ke Tirabwana. Ia menaiki pelana dengan cekatan.

Maheswara:

"Baiklah. Aku pamit. Sampai jumpa lagi, sahabat-sahabatku. Semoga kita bertemu kembali dalam damai."

Semua melambaikan tangan.

Maheswara melajukan kudanya perlahan, membelah kabut pagi menuju jalanan besar. Ia tak sadar bahwa semua tentang Bayawira Barat, duel dengan Jagatmarma, dan peranannya dalam konflik besar... telah terhapus dari ingatannya.

Yang tersisa hanya: Sahabat di desa.

Kepala desa bijak.

Penduduk ramah.

Dan satu kenangan yang tampak indah, namun tak utuh.

Jagatmarma menatap kepergiannya dari kejauhan.

Di balik senyum tenangnya, matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam—sebuah keputusan berat yang ia ambil demi menjaga kepentingan kelompoknya.

Jagatmarma (dalam hati):

"Maaf, Maheswara... untuk kebenaran yang kau tak lagi miliki. Tapi ini jalan terbaik bagi kami."

MALAM HARI, GUILD BAYU GENI – GERBANG LORONG RAHASIA

Langit Tirabwana mendung. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah dan hembusan angin malam yang menggigilkan. Di sisi belakang sebuah bukit kecil yang tertutup semak dan pohon rindang, seekor kuda cokelat gagah melaju perlahan, membawa seorang penunggang berkerudung hitam.

Sosok itu adalah Maheswara.

Tubuhnya tegap. Matanya tajam, namun tidak lagi menyimpan aura keras seperti sebelumnya. Ia terlihat tenang—nyaris terlalu tenang.

Maheswara (dalam hati, perlahan):

"Terlalu lama... Tapi semuanya terasa seperti biasa. Seperti aku hanya singgah ke desa sahabat lama."

Ia menatap dinding bukit batu di depannya. Tangannya menyentuh sebuah cekungan kecil di balik semak. Ia mengetukkan tiga kali dengan pola yang spesifik—ketukan rahasia Bayu Geni.

Suara mekanik pelan terdengar.

Sebuah pintu batu terbelah perlahan ke samping, memperlihatkan lorong batu spiral menurun dengan suluh-suluh yang otomatis menyala satu per satu.

Maheswara menepuk leher kudanya pelan.

Maheswara:

"Pergilah, seperti biasa."

Kudanya meringkik singkat, lalu berbalik arah, berlari dengan cepat menyusuri jalan setapak menuju kandang kuda utama Guild. Gerakan yang sudah dilatih berkali-kali.

Maheswara menarik nafas, lalu melangkah masuk.

SUASANA DALAM LORONG

Lorong itu sempit, hanya cukup untuk satu orang. Dindingnya dipenuhi simbol-simbol sihir kuno dan lambang Bayu Geni yang berkilau samar terkena cahaya obor sihir. Kakinya menyusuri anak tangga batu satu demi satu dengan langkah mantap.

Beberapa sistem pertahanan sihir mengenali auranya dan menyala sebentar, lalu padam kembali—tanda bahwa hanya pemilik resmilah yang boleh lewat.

Setelah hampir dua menit menuruni lorong, akhirnya ia tiba di sebuah pintu logam besar dengan segitiga merah berkilat di tengahnya. Maheswara menyentuh simbol itu dengan telapak tangannya.

Pintu membuka perlahan.

RUANGAN PRIBADI MAHESWARA – GUILD BAYU GENI

Sebuah ruangan luas terbuka. Di dalamnya terdapat meja kerja besar dengan peta ekspedisi, rak buku penuh gulungan taktik dan strategi, serta satu kursi singgasana kecil yang menghadap ke jendela kristal transparan memperlihatkan pusat Guild di bawah sana.

Maheswara masuk. Ruangan mengenalinya. Cahaya api biru menyala otomatis dari setiap sudut dinding.

Ia melepas jubahnya dan menggantung pedangnya di rak. Tatapannya menyapu seluruh ruangan.

Lalu... diam. Sejenak ia berdiri terpaku.

Maheswara (lirih):

"Kenapa rasanya... seperti ada yang hilang?"

Ia mengusap pelipisnya.

Wajahnya masih terlihat sehat, namun ada sesuatu dalam sorot matanya. Keraguan halus, seperti sepotong kepingan yang hilang dari pikirannya—namun ia tak tahu kepingan apa.

Ia duduk di kursi singgasananya.

Lalu membuka laci. Mengambil sebuah gulungan tua—tapi belum dibuka. Di permukaan gulungan itu, tertulis samar:

Maheswara mengernyit.

Matanya menatap gulungan itu. Ada rasa asing, seolah ia belum pernah menyentuhnya.

Maheswara (pelan):

"Apa ini...?

…Kenapa aku tidak ingat pernah menyetujui ekspedisi ini?"

Ia kembali bersandar.

Angin malam berhembus dari lubang ventilasi di dinding.

Sementara itu, di luar ruangan—Guild Bayu Geni tertidur, tak menyadari bahwa sesuatu telah berubah dalam diri Adipati Maheswara…

Scene berakhir dengan suara bisikan samar dari gulungan sihir di tangannya… seperti menyimpan rahasia yang tak seharusnya terlupa.