ENAM BULAN BERLALU DI GUILD BAYU GENI
Tak terasa...
Enam bulan telah berlalu sejak Jasana Mandira pertama kali melangkahkan kakinya ke halaman megah Guild Bayu Geni—masih membawa ransel lusuh, pedang kayu usang, dan semangat membara yang lahir dari tanah Kalabumi yang sunyi.
Dalam waktu yang terbilang singkat itu, dunia yang dahulu hanya ada dalam lembar-lembar buku latihannya kini terbentang nyata di hadapannya.
Misi demi misi dijalani.
Dan terakhir kali adalah Misi pencarian artefak di reruntuhan Argasila, hingga penyelamatan sandera dari puing-puing lembah Suralaga, Jasana selalu kembali dengan keberhasilan dan laporan misi yang rapi, runtut, dan tajam—menunjukkan bukan hanya ketajaman pedang, tapi juga akalnya.
Ia menjadi langganan perpustakaan guild, meminjam gulungan-gulungan tua berisi teori pedang kuno, teknik langkah kaki leluhur, hingga catatan meditasi roh. Jasana bukan hanya bertarung dengan otot—tapi dengan akal dan hasrat belajar yang menyala.
Aliran pedang yang dikuasainya kini beragam.
Dari Gaya Angin Silir milik Tanah Pawana, Langkah Senyap Daun Luruh dari hutan Selampa, hingga Formasi Pedang Tunggal Purnama milik pendekar klasik Nusanta.
Dalam catatan resmi guild, Jasana ditetapkan sebagai Anggota Junior Terbaik Tahun ke-541, mengungguli puluhan anggota lain, bahkan melewati ekspektasi para pelatih.
SIANG HARI, RUANG LATIH GUILD – DIVISI PANGGRAHITA AJI
Ruang Latih Panggrahita Aji berdinding batu hitam berukir mantra, langit-langit tinggi, dan sirkulasi udara yang membuat tempat itu terasa hidup. Deru napas dan denting senjata terdengar siang itu.
Jasana berdiri di tengah lapangan dengan peluh yang mengalir, memegang pedang perak berurat emas—pedang yang kini menjadi senjatanya yang resmi pemberian Kapten Raksadana. Di pinggangnya, Keris kecil yang menjadi tempat Khodam Ardhana, khodamnya, terpancar aura samar.
Kapten Raksadana, tubuhnya besar bagai raksasa tapi berhati bijak, berjalan menghampiri. Jubah latihnya bergoyang ringan.
Raksadana (dengan suara berat, penuh kebanggaan):
"Anak muda, enam bulan lalu kau datang dengan kaki kotor dan tatapan keras kepala. Sekarang... lihat dirimu."
(Ia menunjuk dada Jasana dengan telunjuk besarnya.)
"Tubuhmu bukan hanya kuat, tapi juga kokoh oleh tekad. Pedangmu bukan hanya tajam, tapi juga tahu kapan harus berhenti. Kau telah menjadikan ilmu sebagai kawan dan khodammu sebagai saudara."
(Ia menghela napas pendek, lalu tersenyum tipis.)
"Aku jarang mengakui murid. Tapi kalau kau bertanya... ya, aku bangga padamu, Jasana."
Jasana (menunduk sedikit, suaranya pelan namun mantap):
"Saya belajar dari banyak hal, tapi terutama dari pedang ini."
(Ia membuka ranselnya, menarik keluar pedang kayu tua penuh luka.)
"Ardhana. Lima tahun hanya bersamanya. Dia satu-satunya saksi jatuh bangunku. Bukan pedang biasa. Tapi guru pertama saya."
Raksadana memandangi pedang kayu itu sejenak. Tak berkata apa-apa, hanya mengangguk perlahan. Dalam diam, ia tahu—semangat seorang pendekar sejati tidak ditentukan oleh senjata terbaik, tapi oleh sejarah luka dan pelajaran yang tertinggal di setiap ukiran pedang.
Di balik peluh dan debu latihan, di sanalah lahir pendekar yang akan mengubah sejarah—bukan karena nama besar, tapi karena kerja keras yang tak terlihat.
Dan tahun ke-541 pun mencatatnya:
Jasana Mandira, Anggota Junior Terbaik Guild Bayu Geni.
BALAI UTAMA GUILD BAYU GENI
Hari Penghargaan Semester Pertama, Tahun ke-541
Langit Tirabwana cerah siang itu. Di tengah bangunan Guild Bayu Geni yang megah dan penuh wibawa, balai utama guild dipenuhi oleh riuh rendah anggota dari berbagai divisi. Bangku-bangku panjang disusun rapi menghadap panggung utama, di mana lambang Bayu Geni— Api yang melingkar bagikan Angin—bersinar di latar belakang.
Puluhan anggota guild—sekitar 71 orang—hadir lengkap.
Para Kapten Divisi duduk di barisan depan, bersisian dengan staf administrasi dan petugas logistik. Dari atas panggung, Adipati Maheswara berdiri tegak dalam jubah resmi pemimpin Guild, wajahnya tenang dan anggun, namun mata tajamnya mengamati semua yang hadir.
Suasana hening.
Lalu suara Maheswara menggema:
"Dalam semangat tugas, kita ditempa. Dalam keberhasilan, kita dikenang. Dan dalam dedikasi—kita dibentuk menjadi pilar masa depan Bayu Geni."
Ia mengangkat gulungan perkamen, membuka segel emasnya.
"Dan hari ini... kami menyampaikan penghargaan kepada anggota junior yang telah menunjukkan pencapaian luar biasa dalam enam bulan pertamanya."
"Seseorang yang tidak hanya unggul dalam laporan, strategi, dan pertarungan, tapi juga menjadi teladan dalam ketekunan, etika, dan semangat belajar."
"Jasana Mandira, majulah ke depan."
Sorak sorai meletus dari para anggota junior.
Nandika dan Bagas bersiul dan bertepuk tangan, diikuti oleh Kirta, Pratiwi, Surya, Brahma, Rakha, Larasmi, dan Wigra yang mengangguk penuh hormat.
Tapi di antara mereka, Darsa duduk tegak, wajahnya tetap, tapi sorot matanya dingin.
Dalam hatinya ia bergumam:
"Anak pandai besi... anak desa... bisa naik ke panggung ini hanya karena keberuntungan dan tekad. Tapi dia bukan keturunan ksatria... bukan darah tentara seperti aku."
(Ia mengepalkan tinju, namun tetap tenang.)
Jasana naik ke atas panggung. Langkahnya mantap, tapi sorot matanya tetap sederhana dan rendah hati.
Maheswara menyerahkan plakat kristal merah berbentuk sayap api, simbol pencapaian tertinggi untuk anggota junior. Ia mengangguk pelan.
"Kau menulis dengan disiplin, bertarung dengan hati, dan belajar dengan semangat. Teruslah menapak seperti ini, Jasana Mandira. Guild ini akan lebih kuat dengan generasi sepertimu."
Setelah menerima penghargaan, Jasana menyalami para Kapten satu per satu:
Kapten Raksadana menepuk pundaknya kuat.
"Kau layak mendapatkannya. Tapi ingat, pendekar sejati terus belajar sampai ajal."
Kapten Lodra Wahana, wajahnya teduh namun penuh kebanggaan:
"Kau membawa nama Divisi Raka Lelana dengan bangga. Teruslah berpetualang, Jasana. Dunia masih luas."
Kapten Mahadewa Rakunti hanya mengangguk kecil, matanya seolah bisa melihat aura khodam di tubuh Jasana.
Kapten Kalandra Wisanggeni mengamati tanpa banyak bicara. Tapi senyumnya tipis menunjukkan pengakuan.
Kapten Doyantra Puspaloka tersenyum hangat dan berseloroh, "Mungkin lain waktu kami harus membajakmu ke urusan niaga."
Setelah itu, Maheswara berbicara kembali:
"Sebagai penutup semester pertama, kami umumkan bahwa mulai besok, Guild akan memasuki masa libur selama satu bulan. Para anggota dipersilakan untuk pulang kampung, menyepi, atau menetap di kota Tirabwana sesuai kebutuhan masing-masing. Gunakan waktu ini untuk menyegarkan jiwa, karena semester selanjutnya akan lebih berat dan lebih menantang."
Suasana jadi lebih santai. Sorak kembali pecah, banyak yang tertawa, saling menyikut dengan semangat rencana liburan.
Namun mata Darsa tetap terpaku pada punggung Jasana yang menuruni panggung.
Dalam dirinya, ia bersumpah:
"Jika dunia mengagung-agungkanmu, Jasana... maka aku akan menjadi batu ujianmu. Kita belum selesai."
MALAM HARI, TAMAN BELAKANG GUILD BAYU GENI
Satu malam sebelum liburan, setelah upacara penghargaan
Bulan menggantung pucat di langit Tirabwana. Taman belakang Guild Bayu Geni—sebuah tempat sunyi dengan kolam kecil, bebatuan meditatif, dan pohon kersen tua—terlihat tenang, jauh dari hiruk pikuk para anggota guild yang tengah berkemas atau merayakan awal masa liburan.
Jasana duduk di bawah pohon, bersandar pada batangnya. Di pangkuannya, terbentang pedang kayu usang yang selalu ia simpan: Ardhana. Angin malam berembus pelan, membawa aroma bunga-bunga malam yang mekar di taman rahasia itu.
Tiba-tiba, suara langkah perlahan mendekat. Kapten Raksadana muncul dari balik bayangan, mengenakan jubah latihan berwarna abu kelam. Matanya memandang Jasana dengan tenang.
Raksadana:
"Kau lebih sering bicara dengan pedang kayumu itu daripada orang-orang di sekelilingmu."
Jasana (tersenyum kecil):
"Kadang pedang ini lebih banyak mengerti daripada mulut-mulut yang terburu memberi penilaian, Kapten."
(Ia mengelus gagang Ardhana.)
Raksadana duduk di batu di sampingnya.
Mereka terdiam sejenak, hanya ditemani suara jangkrik dan percikan air kolam kecil.
Raksadana:
"Kau tahu kenapa aku memilihmu untuk bimbingan pribadi sejak hari itu?"
Jasana (pelan):
"Karena saya tidak punya latar belakang apa-apa?"
Raksadana (tersenyum miring):
"Karena kau punya mata orang yang pernah sendirian terlalu lama... dan tidak menyerah. Karena pedang ini—"
(Ia menunjuk Ardhana)
"—tak dibuat dari kayu biasa. Tapi dari waktu, luka, dan ketekunan."
Jasana menunduk, menggenggam Ardhana lebih erat.
Raksadana (melanjutkan):
"Kau tak punya darah bangsawan, tak punya warisan teknik. Tapi dalam dirimu, ada sesuatu yang bahkan beberapa anak ksatria pun tak punya: tekad yang tidak bisa diajarkan."
"Simpan itu. Jangan hilangkan. Sebab dunia di luar sini... akan mencoba mencurinya."
Jasana:
"Saya... hanya ingin bisa berdiri sejajar dengan mereka semua, Kapten. Bukan karena darah. Tapi karena pantas."
Raksadana (mengangguk bangga):
"Dan kau sudah lebih dari itu. Tapi ingat, perjalananmu baru dimulai. Lencana itu hanyalah tanda... bukan tujuan."
(Ia berdiri, menepuk bahu Jasana.)
Raksadana:
"Pulanglah ke Kalabumi. Temui akar tempatmu tumbuh. Kadang untuk naik lebih tinggi, kau harus tahu seberapa dalam akarmu tertanam."
Jasana mengangguk.
Matanya menatap langit malam, di mana bintang-bintang bersinar diam-diam, seolah menyaksikan lahirnya seorang pendekar.
PAGI HARI, HALAMAN DEPAN GUILD BAYU GENI
Mentari pagi baru saja muncul dari balik tembok-tembok tinggi Kota Tirabwana, menyiramkan cahaya keemasan ke halaman Guild Bayu Geni. Anggota-anggota guild tampak sibuk dengan koper, ransel, dan perlengkapan pribadi. Masa libur telah dimulai.
Jasana berdiri di depan gerbang utama, mengenakan pakaian perjalanan: mantel ringan coklat tanah, ransel besar di punggung, dan sarung Ardhana tergantung di pinggang kiri. Kereta kuda untuk transportasi umum ke arah selatan sudah menanti di seberang jalan.
Nandika, Bagas, dan Kirta datang menyapanya. Mereka semua juga siap berangkat.
Bagas (dengan senyum lebar):
"Wah, akhirnya libur juga! Rasanya badan ini minta dipijat tujuh hari tujuh malam!"
Nandika (menyikut Bagas):
"Kau bisa istirahat nanti. Sekarang ucapkan salam perpisahan dulu ke pendekar junior terbaik kita."
(Ia tersenyum ke arah Jasana.)
Kirta (tenang, mengangguk):
"Jasana, selamat jalan. Semoga Kalabumi menyambutmu dengan damai. Jangan lupa... catat semua hal menarik di sana. Bisa jadi bahan misi studi lapangan nanti."
Jasana tertawa kecil, lalu menyalami satu per satu.
Jasana:
"Terima kasih. Kalian juga hati-hati. Nandika, salamku untuk keluarga di Tanah Selampa. Bagas, jangan terlalu banyak makan daging panggang di kampung ya, bisa-bisa perutmu lupa latihan."
Bagas (bercanda):
"Wah, jangan bocorkan rahasia perangku, Jas!"
Nandika (tersenyum tulus):
"Kalau kau sempat, mampirlah ke Selampa. Ibuku pasti senang bertemu temanku yang pernah menyelamatkan tombakku."
Kereta kuda mulai bersiap.
Suara cambuk ringan terdengar dari kusir. Jasana mengangkat tangannya, melambaikan perpisahan. Ketiganya membalas lambaian itu dengan semangat.
Jasana naik ke atas kereta, duduk dekat jendela, dan menatap ke arah gerbang Guild yang perlahan menghilang dari pandangan. Dalam dadanya, ada rasa hangat bercampur haru—perjalanan baru akan dimulai.
Kalabumi, tempat di mana langkahnya dimulai. Tapi sebelum itu, ada janji kecil yang harus ditunaikan... di sebuah desa bernama Rawasinga.
PERJALANAN DI ATAS KERETA KUDA, SIANG HARI
Kereta kuda melaju tenang menyusuri jalanan yang mulai berganti dari batuan kota menuju tanah desa. Hutan-hutan kecil dan sawah-sawah mulai menghiasi sisi perjalanan. Angin menerpa rambut Jasana yang sedikit lebih panjang dari saat pertama masuk guild.
Jasana (dalam hati):
"Pak Bramasuta... semoga masih ingat padaku. Aku ingin menunjukkan padamu, bahwa pedang yang kau berikan... tak sia-sia."
SORE HARI, DESA RAWASINGA
Langit mulai meremang jingga saat kereta kuda yang ditumpangi Jasana memasuki gerbang alami Desa Rawasinga—gerbang itu tak lain dari dua pohon beringin tua yang berdiri tegak seperti penjaga waktu. Jalan utama desa tampak bersih, dengan rumah-rumah panggung berjajar rapi di kiri kanan, dan suara gemericik sungai kecil mengiringi langkah para petani yang pulang.
Kereta berhenti di depan Balai Desa Rawasinga. Jasana turun, mengatur posisi ransel dan membenarkan letak pedangnya. Ia memandang sekeliling—desa ini tak banyak berubah. Masih setenang yang ia ingat.
Jasana (berbisik):
"Rasanya seperti pulang ke halaman pertama sebuah buku."
Dari arah balai desa, tampak seorang lelaki tua mengenakan ikat kepala batik dan jubah abu-abu bersulam benang emas di ujungnya. Pak Bramasuta. Posturnya sudah membungkuk, tapi sorot matanya tetap tajam dan bijak.
Pak Bramasuta (tersenyum lebar begitu mengenali Jasana):
"Heh... anak muda yang dulu datang membawa tekad dari Kalabumi, sekarang kembali dengan aura seorang pendekar sejati."
Jasana (tersenyum, membungkuk hormat):
"Pak Bramasuta... aku kembali, seperti janjiku dulu. Terima kasih... untuk pedang itu. Tanpanya, mungkin aku takkan berdiri seperti ini."
Pak Bramasuta berjalan mendekat, menepuk bahu Jasana dengan bangga.
Pak Bramasuta:
"Langkahmu tak sia-sia, Nak. Aura di sekitarmu sudah berbeda. Kau bukan lagi anak muda yang penuh tanya... tapi pemuda yang telah menjawab sebagian teka-teki hidupnya."
Jasana:
"Bolehkah aku bermalam di desa ini? Besok pagi aku akan lanjutkan perjalanan ke Kalabumi."
Pak Bramasuta:
"Tentu saja, Jasana. Malam ini kau tamu kehormatan Rawasinga. Mari, kita bercerita di beranda rumahku. Sepertinya, banyak kisah yang ingin saling kita bagi."
Dan begitu, senja Rawasinga menjadi saksi pertemuan dua generasi. Di bawah lampu minyak dan temaram langit pedesaan, kisah perjalanan kembali dimulai—bukan sebagai anak pandai besi... tapi sebagai pendekar muda Guild Bayu Geni, yang tak pernah melupakan akar tanah tempat dia berpijak.
MALAM HARI, BERANDA RUMAH PAK BRAMASUTA, DESA RAWASINGA
Angin malam berembus lembut, membawa aroma tanah lembap dan daun kering dari sawah yang mulai beristirahat. Lentera minyak menggantung di salah satu tiang beranda, cahayanya bergoyang pelan disapu angin, memantulkan bayangan Jasana dan Pak Bramasuta yang duduk bersila di atas tikar pandan.
Meja kayu di antara mereka menampung teh hangat, sepiring singkong goreng, dan sepasang cangkir tanah liat tua.
Pak Bramasuta (menyesap teh, matanya menatap ke kegelapan pekarangan):
"Tiap kali angin malam seperti ini bertiup, aku merasa... Rawasinga tetap sama, tenang dan diam. Tapi dunia di luar sana, pasti sedang bergejolak."
Jasana (diam sejenak, lalu berkata perlahan):
"Memang sedang bergejolak, Pak."
Pak Bramasuta menoleh pelan, wajahnya serius kini.
Pak Bramasuta:
"Ada yang ingin kau ceritakan, Jasana?"
Jasana (menatap langit, lalu bicara dengan nada hati-hati):
"Bayawira... kelompok itu. Sudah empat bulan ini tak menunjukkan pergerakan apa pun. Tidak ada laporan dari perbatasan, tidak ada laporan dari para pengintai. Sunyi. Terlalu sunyi."
Pak Bramasuta mengangguk pelan, wajahnya menyempit.
"Seperti ketenangan sebelum badai."
Jasana:
"Aku... khawatir mereka sedang menyusun siasat besar. Mereka tahu Mandalagiri sedang dalam masa tenang, mungkin terlalu tenang. Aku takut Guild dan pasukan kerajaan akan lengah."
Pak Bramasuta (menyesap tehnya lagi, lalu berucap pelan):
"Kebijakan tua mengajarkan: musuh paling berbahaya bukan yang menantang terang-terangan, tapi yang belajar dari kekalahan, lalu menyusun ulang dirinya dalam kegelapan."
Jasana:
"Itu yang membuatku gelisah, Pak. Aku punya perasaan... waktu kita tak banyak."
Pak Bramasuta (menatap mata Jasana dalam-dalam):
"Kalau begitu, jangan biarkan dirimu tertidur. Kau sudah melihat badai sebelumnya, dan selamat. Bila badai baru datang, mungkin kau akan menjadi orang pertama yang menatapnya lurus-lurus di mata."
Malam di Rawasinga menjadi ruang bagi firasat dan kebijaksanaan. Di tengah keheningan desa kecil itu, dua jiwa berbagi kekhawatiran atas dunia yang sedang menahan napasnya. Dan dalam diam mereka, satu hal menjadi jelas: bayang-bayang Bayawira belum menghilang. Ia hanya bersembunyi... menunggu waktu untuk muncul kembali.
MARKAS RAHASIA BAYAWIRA, GUA BERKABUT DI GUNUNG MANDALGRAHA
Kabut tebal menyelimuti pintu masuk gua seperti tirai yang menjaga rahasia kelam di dalamnya. Jauh di dalam perut Gunung Mandalgraha, cahaya obor redup menari di dinding batu yang basah oleh embun abadi. Sebuah meja batu melingkar berdiri kokoh di tengah ruangan, di sekelilingnya duduk empat sosok dengan aura berbeda namun sama-sama mematikan.
Kapten Barat Jagatmarma, bersandar santai di kursinya, kaki bertumpu di meja tanpa rasa hormat. Ia mengenakan seragam kepala desa yang lusuh, sama seperti saat memimpin Desa Giriwasesa, lengkap dengan topi bambu di pangkuannya. Tangannya sibuk mengupas kacang, mulutnya mengunyah tanpa peduli etika. Sorot matanya tak lepas dari bayangan tembok yang terus bergerak.
Di sisi seberangnya, duduk tegap dan penuh wibawa, Kapten Utara Kandhara Mangkara, sosok raksasa bertubuh besar dengan kulit legam sawo matang. Dua kapak besarnya bersandar di samping kursi batu. Ia memakai baju tempur khas Bayawira berwarna hitam gelap, dengan lambang ular berkepala dua melingkar—simbol Bayawira. Tatapannya tajam, nyaris tak berkedip.
Kapten Selatan Resi Wighna Laksa, pendeta perang berjubah resi hitam, duduk dengan tangan bersedekap, mata terpejam seperti bermeditasi. Suara detak detik obor yang menetes ke lantai batu menjadi satu-satunya bunyi selain suara kunyahan Jagatmarma.
Dari balik bayangan terdalam gua, muncullah Pemimpin Tertinggi Bayawira—sosok berjubah hitam pekat, mengenakan topeng besi hitam polos tanpa mulut, hanya menyisakan sepasang mata yang bersinar samar seperti bara api tua. Suaranya berat dan menggema saat berbicara:
“Kapten Timur… Prayogi Mahadipa… telah tiada, Luka Fisik dan Spiritual-nya terlalu Parah dan sulit di sembuhkan, Bahkan Tabib terbaik Bayawira tidak bisa menyelamatkan-nya”
Sejenak hening. Kabut di dalam gua seolah menjadi lebih pekat. Ketiga kapten menyampaikan belasungkawa mereka dengan cara masing-masing:
Jagatmarma: “Hm. Akhirnya. Dia keras kepala, sudah waktunya, sudah Resiko Pekerjaan kita.” katanya seraya melempar kulit kacang ke tanah.
Wighna Laksa membuka mata perlahan, membungkuk hormat sambil berbisik, “Jiwa yang kembali pada akar segala.”
Kandhara Mangkara hanya menunduk sebentar. Diamnya cukup untuk menyatakan penghormatan.
Pemimpin melanjutkan, suaranya kali ini lebih tegas:
“Waktunya tiba. Tanda-tanda telah muncul di Utara... Hutan Lembayung Dipa mulai berguncang oleh resonansi roh. Kandhara, kau akan pergi ke sana. Cari dan ambil Kekuatan Purba ketiga... ‘Manikara Darpa’, Batu Keteguhan Jiwa.”
“Permata itu tersembunyi di celah antara dunia manusia dan dunia jin. Celah retakan cukup untuk kita masuki. Tetapi mungkin Akan ada gangguan dari penjaga bangsa Jin. Akan ada pertarungan. Tapi kekuatan purba harus menjadi milik kita.”
“Ingat... Kita telah memiliki Batu Ekstrasi Roh Purba Suralaya dan Batu Napas Langit Kalapanunggal. Manikara Darpa akan menyatukan kekuatan jiwa dan raga. Tiga dari tujuh, dan rencana kita akan berjalan... seperti yang kita rencanakan.”
Kandhara Mangkara berdiri, kapaknya terangkat bersamaan.
“Aku akan menaklukkan dunia jin. Mereka takkan mampu menghentikan langkahku. Jika mereka menjaga permata itu karena takut... mereka punya alasan untuk takut lebih dalam sekarang.”
Pemimpin Bayawira mengangguk. Jagatmarma menyeringai sambil meneguk air kelapa dari kendi tua.
Resi Wighna kembali memejamkan mata, membaca mantra untuk keselamatan—atau mungkin untuk memanggil entitas yang lebih gelap.
Kabut semakin tebal. Pertemuan berakhir tanpa salam, hanya dengan gema langkah Kandhara Mangkara yang bergema ke lorong-lorong gua, menuju misinya yang baru—perburuan kekuatan di perbatasan dunia nyata dan alam jin.
TEPI UTARA HUTAN LEMBAYUNG DIPA, MALAM HARI
Langit di utara Mandalagiri diselimuti kabut ungu yang menggantung rendah, menyatu dengan pepohonan tua berakar gantung. Hutan Lembayung Dipa bukan sekadar tempat biasa—ia hidup, bernafas, dan menatap balik pada siapa pun yang mendekat. Pepohonan di dalamnya berbisik dengan suara roh, dan bayangan di antara celah ranting seperti menonton, menunggu.
Kapten Utara Kandhara Mangkara berdiri gagah di depan gerbang alam yang tak kasatmata, mengenakan baju tempurnya dan menggenggam dua kapak raksasa berujung ganda, yang masing-masing berlapis manik-manik besi hitam sebagai penangkal gangguan roh.
Di sampingnya berdiri dua sosok yang tak kalah garang:
Wakil Kapten 1: Gerungga Balaratri — seorang pria tinggi berambut gimbal putih, mengenakan rompi lapis kulit naga hutan. Di punggungnya tersampir tombak panjang bermata tiga, disebut “Dresnawa”, konon dapat membelah tubuh dan bayangan sekaligus. Ia dikenal sebagai pemburu roh yang tak pernah tersesat di antara dimensi.
Wakil Kapten 2: Inggrita Maranile — wanita bertubuh lentur, wajah separuh tertutup topeng tengkorak iblis. Ia membawa sepasang keris pendek berliku-liku yang selalu bergerak seolah hidup. Senjatanya bernama “Asmaragata dan Kalamantri”, sepasang keris pemecah ilusi dan penyerap energi ghaib. Inggrita dikenal sebagai "penembus batas sadar", ahli pengendali mimpi dan pengelabuan roh.
Kandhara menatap hutan itu, udara di sekeliling mulai mendingin, dan garis tanah tempat mereka berdiri mulai bercahaya samar biru—tanda bahwa batas dunia mulai renggang.
“Gerbangnya terbuka. Alam Jin tak suka didatangi, tapi mereka menyimpan apa yang kita perlukan,” gumam Kandhara pelan namun tegas.
Gerungga memutar tombaknya, menciptakan pusaran kecil di udara yang memotong kabut.
“Jika yang kita cari dijaga oleh Jin Tinggi, maka akan kubuat mereka tunduk atau lenyap.”
Inggrita tersenyum miring, suaranya lirih namun tajam, “Kita bukan tamu yang sopan. Kita datang untuk mengambil. Jin punya harga diri. Tapi kita punya kehendak yang lebih tua dari rasa takut.”
Langkah mereka memasuki hutan membuat angin mati. Pohon-pohon seketika membisu. Daun-daun menggulung sendiri, dan suara gema dari alam lain mulai terdengar—ratapan, tawa anak kecil, geraman binatang tanpa tubuh.
Kabut berubah warna. Langit menghitam sepenuhnya. Dunia nyata telah mereka tinggalkan.
Di depan mereka terbentang celah retakan di tanah berbentuk mata yang menyala ungu.
“Di sinilah Manikara Darpa disimpan,” ujar Kandhara. “Di balik celah ini... Alam Jin.”
Tanpa ragu, ia melompat masuk.
Gerungga dan Inggrita mengikuti, dan dunia di sekeliling mereka runtuh menjadi bayangan, gema, dan cahaya tak masuk akal. Mereka telah memasuki perbatasan paling dalam dari misteri Mandalagiri.
Dan di dalam sana... para penjaga Permata telah bangkit.
Di balik batas dunia yang kasatmata, ketika langkah terakhir Kandhara Mangkara dan kedua wakilnya menembus celah retakan menuju Alam Jin, sesuatu yang tak kasat rasa pun turut berubah. Pergerakan waktu di Alam Jin berbeda. Ia tak berjalan sejajar dengan waktu dunia nyata, seolah menyusuri aliran sungai yang mengalir ke arah yang tak bisa ditebak: kadang deras, kadang membeku, kadang berputar kembali.
Satu hari di dalam sana bisa berarti satu bulan di dunia nyata. Atau sebaliknya.
Itulah harga yang harus dibayar oleh siapa pun yang berani menjejakkan kaki di dalam kedalaman Hutan Lembayung Dipa, hutan roh yang lebih tua dari Kerajaan Mandalagiri sendiri. Di dalamnya, realitas adalah teka-teki, dan keberadaan hanyalah kemungkinan yang belum tentu tetap. Waktu menjadi kabur, logika mencair, dan kebenaran berubah bentuk.
Misi mereka untuk merebut Permata Manikara Darpa—salah satu dari Tujuh Kekuatan Purba yang tersebar di Mandalagiri—bukanlah sekadar perjalanan untuk mencuri kekuatan. Ini adalah ujian, penantangan, dan bahkan mungkin... hukuman.
Mereka bukan hanya akan bertarung melawan Jin penjaga dan makhluk-makhluk ghaib yang melindungi permata itu dengan naluri purba. Mereka akan bertarung dengan diri mereka sendiri. Dengan kenangan, ketakutan, harapan, dan kelemahan yang dikubur jauh di dalam jiwa.
Pertarungan fisik hanya satu sisi.
Ada ruang-ruang dalam Alam Jin di mana suara tidak bersuara namun menggema ke dalam jiwa, di mana langkah yang salah membuat hati terbelah, dan di mana melihat terlalu dalam bisa membuat seseorang lupa siapa dirinya.
Tapi Kandhara Mangkara bukan prajurit sembarangan. Ia telah menyiapkan diri untuk ini. Dan ia tidak pergi begitu saja.
Sebelum berangkat, Pemimpin Tertinggi Bayawira, pria misterius yang hanya tampak sebagai jubah hitam dan mata bercahaya, telah memanggil mereka ke altar batu kabut di jantung Markas Gunung Mandalgraha. Di sana, dalam ritual sunyi yang hanya dikenal oleh segelintir leluhur Bayawira, ia memberikan sesuatu.
Bimbingan.
Dan kekuatan.
Bukan kekuatan yang bisa dilihat, namun terasa membakar di dalam dada. Sebuah aliran roh dari zaman sebelum manusia mengenal tulisan. Perlindungan spiritual yang akan menyala dalam senyap ketika ketiganya menghadapi keputusasaan.
“Permata itu,” ujar sang pemimpin, “bukan untuk mereka yang hanya kuat tubuhnya. Ia memilih siapa yang layak menyentuhnya. Jika kalian berhasil... kalian akan kembali membawa lebih dari kekuatan. Kalian akan kembali... sebagai ancaman sejati.”
Maka dimulailah perjalanan yang akan menjadi legenda.
Apakah mereka akan berhasil?
Tak ada yang tahu.
Yang pasti... Kandhara Mangkara sudah menjalaninya.
Dan dunia nyata... hanya bisa menunggu.
PAGI HARI DI DESA RAWASINGA — NARASI SCENE JASANA
Mentari pagi merayap malu-malu di antara kabut tipis Desa Rawasinga. Embun masih menempel di ujung daun dan suara ayam jantan samar terdengar dari kejauhan. Di salah satu sudut rumah kayu sederhana, Jasana Mandira tengah bersiap. Tubuhnya tegap, namun gerakannya penuh kehati-hatian, seolah tiap benda yang ia bawa memiliki kenangan sendiri.
Ia merapikan ransel besar dan koper kulitnya. Di dalamnya tersimpan bukan hanya bekal perjalanan, tapi juga luka, warisan, dan harapan. Deretan senjata disusun dengan rapi dan penuh hormat:
Keris pusaka pemberian Kapten Mahadewa Rakunti, berselubung kain hitam berbau menyan, ringan tapi terasa berat saat digenggam.
Pedang baja berukir, hadiah dari Pak Bramasuta, senjata buatan lokal yang tahan panas dan cocok untuk duel jarak dekat.
Pedang perak panjang, pemberian Kapten Raksadana, menyimpan aura latihan keras dan pertarungan sengit.
Belati kecil berbalut kulit rusa, pemberian ayahnya Karmawijaya, yang dulu digunakan untuk mengukir logam panas di bengkel tua Kalabumi.
Dan tentu saja... Pedang kayu usang "Ardhana", satu-satunya saksi bisu yang selalu menemaninya. Pedang yang menjadi awal sarang Khodam-nya, hingga nama Ardhana tak lagi sekadar nama benda, melainkan separuh jiwanya.
Pak Bramasuta, dengan wajah keriput yang menyimpan seribu pengalaman, berdiri di ambang pintu. Tangan tuanya menggenggam tongkat kayu, tapi sorot matanya tetap tajam dan hangat. Ia menepuk pundak Jasana, lalu tersenyum.
“Kalabumi mungkin hanya desa di peta, tapi semangatmu sudah keluar dari bingkai peta itu, Nak,” ucapnya pelan. “Sampaikan salamku pada Karmawijaya. Semoga rahmat leluhur menyertaimu.”
Jasana menunduk hormat. “Terima kasih atas semuanya, Pak Bram.”
Tak lama, roda kereta kuda dagang terdengar mendekat dari arah jalan utama. Kereta besar bersimbol lambang Guild Bayu Geni di sisinya berhenti di depan rumah. Kusirnya, seorang pria berperut buncit tapi penuh semangat bernama Manten, melambai dari atas dudukannya.
“Heh, Jasana, lama tak ketemu! Sudah siap pulang ke ‘negeri besi’?” serunya sambil tertawa.
Jasana naik ke kereta dan duduk di sebelah Manten. Ia menatap ke arah barat, ke arah jalan yang akan membawanya pulang.
“Lebih dari siap,” jawabnya.
Kereta pun mulai berjalan pelan, meninggalkan Rawasinga. Angin pagi menyapa wajah Jasana. Di dalam dada, Ardhana—khodamnya—berdesir tenang. Dalam diam, mereka tahu: pulang ke Kalabumi bukan sekadar pulang. Itu adalah persiapan menuju babak selanjutnya.
"Kau tahu, Jasana," ucap Manten sembari menggertak tali kendali kuda, "besok kita ambil barang dari bengkel ayahmu. Ada satu pesanan penting buat pangkalan barat Guild. Mungkin ayahmu sedang menunggumu dengan kejutan."
Jasana tersenyum tipis.
“Kalabumi tak pernah kehabisan bara. Termasuk dalam darahku.”
PERJALANAN MENUJU KALABUMI — MELINTASI HUTAN GANTARAWATI
Kereta kuda besar itu kini mengayun pelan melewati jalan tanah berbatu yang dikelilingi semak-semak liar dan pepohonan menjulang. Matahari sudah bergeser ke atas kepala, tapi kabut tipis masih menempel di ujung dedaunan. Jalan menuju Kalabumi tak bisa ditempuh lurus ke selatan karena barisan pegunungan Kukusan Langit memblokir jalur langsung. Maka, rute harus sedikit memutar ke timur — melewati Hutan Gantarawati, sebuah belantara yang menyimpan banyak kisah dan bahaya.
Jasana menyandarkan punggungnya sambil memandang ke arah hutan yang mulai merapat. Sesekali matanya menyapu ilalang tinggi yang bergerak perlahan seperti bisikan makhluk tak kasatmata.
“Dulu, saat pertama kali berangkat ke Tirabwana,” ujar Jasana perlahan, “aku bertemu makhluk bernama Punggrang di sini. Sejenis goblin licik, tubuhnya kecil tapi gesit, kulit hijau berlendir, dan giginya bergerigi... ia menyerang di tengah kabut, mengira aku mangsa mudah.”
Manten sang kusir melirik sejenak, tertawa pelan.
“Punggrang, ya? Mereka itu sering coba mengadang dagangan juga. Tapi biasanya kalau tahu lawannya tangguh, mereka kabur ketakutan.”
Jasana mengangguk.
“Benar. Setelah kuhadapi sebentar, dia melarikan diri ke semak.”
“Hati-hati kalau makin masuk ke timur,” sambung Manten, suara serius. “Katanya di bagian terdalam Hutan Gantarawati, ada Balarakasa — sejenis Orc, tapi lebih besar dan bau darah. Mereka sering bergerak malam hari, berburu hewan besar, bahkan manusia.”
Jasana menggenggam gagang Ardhana di sabuknya. “Beruntung kita hanya melewati tepiannya.”
“Belum lagi kabar terbaru,” lanjut Manten, nadanya kini menurun, “4 bulan lalu, Batalion Trikandha dan pasukan khusus Bayusekti berhasil menggerebek markas Bayawira Timur... Setelah Kemenangan di Pertempuran Kalapanunggal Ternyata mereka bersembunyi di ujung paling timur hutan ini. Markas itu digunakan untuk menyelundupkan senjata, artefak gelap, dan juga membuat racun untuk dijual ke luar Mandalagiri.”
“Bayawira Timur?” Jasana mengerutkan kening. “Jadi, teringat kejadian misi tingkat nasional memburu Bayawira, walaupun menang dalam pertempuran tapi batu Napas Langit hilang.”
“Tapi sekarang... tinggal abu. Banyak anggota ditangkap, sisanya lari ke utara dan selatan. Bisnis ilegal mereka dihancurkan, Mandalagiri Timur sekarang terbebas dari Bayawira.”
Kereta berguncang saat roda melindas akar besar pohon. Tak lama, dari kejauhan, tampak sebuah pertigaan besar dengan papan kayu bertuliskan ukiran:
“Kalabumi-Desa Pandai Besi.”
Kereta berbelok ke arah selatan. Kabut mulai menipis dan semilir angin dari arah pegunungan membawa aroma logam panas—pertanda mereka mendekat ke wilayah para pandai besi.
“Kalau tak ada rintangan,” ujar Manten sambil menarik tali kekang, “kita akan sampai di Kalabumi menjelang malam. Mungkin tepat waktu untuk makan malam dan memeluk ayahmu.”
Jasana menatap ke depan, matanya tenang namun waspada. Ia tahu, perjalanan ini hanyalah awal dari perjalanan yang jauh lebih besar.
“Kalabumi… aku pulang.”
KALABUMI — MALAM YANG BERCAHAYA OLEH TEMBAGA DAN RINDU
Di Desa Kalabumi yang sunyi di bawah langit berbintang, cahaya merah dari tungku-tungku pandai besi masih menyala di beberapa rumah. Suara palu logam sudah mereda, digantikan gemeretak kayu terbakar dan angin malam yang membawa wangi asap besi dan tanah lembab. Rumah keluarga Karmawijaya berdiri kokoh di pinggir bengkel tua yang diwariskan turun-temurun.
Di dalam rumah sederhana itu, Karmawijaya tengah membersihkan bilah panjang pesanan terakhir hari itu—sebilah tombak bermata ganda dengan sulaman logam perak. Sementara itu, istrinya, Wirasih, tengah menyiapkan teh akar langit di dapur kecil. Keduanya terlihat letih, namun terbiasa dengan malam-malam panjang seperti ini.
“Kurasa kereta kuda pengangkut pesanan akan tiba malam ini,” ujar Karmawijaya, menatap ke luar jendela.
“Iya, katanya hari ini jadwalnya... semoga barangnya tidak rusak di jalan,” sahut Wirasih sambil menuang teh ke dalam kendi tanah liat.
Tak lama, derap roda kereta kuda terdengar di luar, disertai suara lembut lonceng gantung bambu yang tergantung di depan rumah. Karmawijaya meletakkan tombaknya, dan Wirasih melangkah ke pintu depan. Mereka menyangka kusir akan meminta tanda terima.
Tapi saat pintu dibuka, sinar obor dari kereta menyinari sosok muda bertubuh tegap, berpakaian bersih, dan menyandang pedang-pedang indah di punggung serta sabuk. Rambutnya lebih rapi dari terakhir mereka lihat, dan wajahnya... jauh lebih dewasa.
“Ibu... Bapak... aku pulang.”
Sejenak dunia terasa hening. Wirasih menutup mulutnya, matanya membelalak, lalu berkaca-kaca.
“Ja... Jasana...?”
Karmawijaya berdiri mematung beberapa detik, lalu melangkah cepat. Wirasih mendahuluinya dan langsung memeluk anaknya erat-erat. Tangis pecah, deras, hangat, penuh rindu yang tertahan. Karmawijaya akhirnya merengkuh bahu keduanya, mengusap kepala anak yang dulu ia lepas dengan penuh kekhawatiran.
“Kau... sudah jadi lelaki sejati sekarang,” ucap Karmawijaya dengan suara berat, tapi tak bisa menyembunyikan gemetar di dadanya.
Jasana tak mampu berkata-kata sejenak. Ia hanya membalas pelukan itu dengan erat, seakan ingin mengunci kembali kenangan rumah yang lama hilang.
“Maaf baru bisa pulang sekarang…”
Malam itu, kereta kuda pun berhenti sejenak lebih lama dari seharusnya. Manten sang kusir hanya tersenyum melihat adegan itu, lalu menurunkan beberapa peti kayu berisi pesanan dan menepuk pundak Jasana dari kejauhan sebelum melanjutkan perjalanannya ke pusat desa.
Sementara itu, di dalam rumah kecil di Kalabumi, suara tawa, tangis, dan kisah mulai mengalir kembali. Api dapur dinyalakan lebih hangat dari biasanya. Teh diseduh ulang. Dan dunia pun terasa kembali utuh bagi tiga jiwa yang sempat lama terpisah.
MALAM KEHANGATAN DI RUMAH KARMAWIJAYA
Di dalam rumah yang kini diterangi pelita minyak dan cahaya hangat dari dapur, aroma sayur akar langit rebus, ikan asap rimba, dan sambal kencur memenuhi udara. Wirasih dengan cekatan menyusun makanan di atas tampah besar yang dialasi daun pisang, sementara Karmawijaya menuangkan air jahe hangat ke dalam cangkir tanah liat buatan tangan sendiri.
Jasana duduk bersila di tikar pandan dengan senyum damai, sesuatu yang dulu jarang terlihat di wajahnya sebelum pergi. Namun di antara hangatnya suasana keluarga itu, terdengar langkah ragu dari depan rumah.
Manten, sang kusir kereta kuda, berdiri kikuk di depan pintu, topi kainnya dilepas dan dipegang di dada.
“Maaf, saya... hanya hendak menjemput peti yang di luar tadi. Tak ingin ganggu, Pak Karma.”
Karmawijaya hendak menjawab, tapi Jasana bangkit duluan, mendekati Manten dan menepuk bahunya dengan senyum lebar.
“Kalau bukan karena Manten, aku belum tentu sampai secepat ini ke rumah. Sudah gelap juga, ayolah... makan dulu sebentar. Masakan Ibu gak bakal habis tanpa bantuanmu.”
Manten tertawa kecil, menunduk malu.
“Wah, saya ini cuma kusir, Mas Jasana. Gak enak rasanya duduk bareng di meja keluarga.”
“Lho, siapa bilang ini meja keluarga? Ini meja pejuang kelaparan, dan malam ini kau pejuangnya juga,” sahut Karmawijaya sambil terkekeh.
Wirasih menambahi satu piring lagi tanpa diminta. Akhirnya, Manten pun ikut duduk bersama mereka, awalnya canggung tapi perlahan larut dalam tawa dan cerita.
Percakapan pun mengalir:
“Jasana, kau bawa semua pedang dari Guild itu? Apa gak berat?” tanya Karmawijaya sambil mengunyah pelan.
“Berat, Pak. Tapi lebih berat janji yang kuikat dengan semuanya...” jawab Jasana, suaranya tenang namun penuh makna.
“Termasuk pedang kayu usang itu?” celetuk Wirasih, matanya melirik benda yang digenggam Jasana sejak turun dari kereta.
“Yang ini... justru paling ringan, tapi paling bermakna,” Jasana mengusap permukaan kayu yang sudah mulai halus karena waktu.
Manten menyimak, kagum tapi tetap sederhana.
“Kalabumi ini kecil, tapi anak-anaknya bisa pergi sejauh itu ya,” gumamnya.
“Kami pandai besi bukan untuk membuat pedang perang saja,” ujar Karmawijaya sambil menatap putranya, “Tapi untuk menempa watak. Yang seperti ini,” ia menepuk pundak Jasana, “dibentuk lebih dari sekadar baja.”
Malam itu pun ditutup dengan gelak ringan, obrolan bersahaja, dan rasa syukur diam-diam yang menghangatkan hati. Setelah makan, Manten pamit dengan hormat dan rasa kenyang yang jarang ia rasakan di jalan-jalan panjang seperti ini. Ia kembali ke kereta dengan tenaga baru, siap menjemput pesanan lain dari bengkel Kalabumi.
Sementara itu, Jasana duduk di depan rumah, memandang langit gelap dan bintang-bintang—dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa benar-benar pulang.
PAGI DI BENGKEL KARMAWIJAYA
Bunyi logam beradu dengan logam kembali menggema di sudut desa Kalabumi. Asap tipis mengepul dari cerobong bengkel tua itu, menari di antara sinar matahari pagi yang hangat dan embun yang masih menggantung di daun-daun.
Di dalam bengkel, Jasana tampak sedang mengangkat palu besi besar dan mencoba membentuk bilah pedang di atas landasan. Keringat mengalir di pelipisnya, tangannya gemetar sedikit, dan ayunannya kurang stabil. Karmawijaya memperhatikan dari balik meja kerja, tersenyum kecil namun penuh pengertian.
“Kau seperti pemula lagi, San,” gumam sang ayah, suaranya ringan namun mengandung kehangatan.
“Enam bulan terlalu lama meninggalkan api dan baja, Pak,” sahut Jasana, tertawa kecil, “Tangan ini lebih terbiasa mencabut pedang, bukan menempanya.”
Karmawijaya menghampiri perlahan, lalu mengambil alih palu, menunjukkan kembali ritme yang benar. Ayunannya mantap, menghantam baja panas dengan ketukan berirama yang menggema seperti lagu kuno dari Kalabumi—lagu yang hanya dikenal oleh mereka yang hidup dari besi.
“Bengkel ini berubah sejak kau berangkat. Guild Bayu Geni bukan cuma beli senjata, tapi juga memberi kami kepercayaan. Bahkan beberapa bangsawan yang sebelumnya tak pernah dengar nama Kalabumi kini tahu... karena mereka tahu anak Karmawijaya ada di sana.”
Jasana berhenti sejenak, menatap ayahnya. Ia merasa bangga, namun juga jengah.
“Sebenarnya aku yang harusnya berterima kasih, Pak. Tanpa bengkel ini, tanpa pelajaran dari Ayah... aku mungkin tak akan pernah cukup kuat untuk mengangkat pedang Ardhana dulu.”
Karmawijaya tersenyum, lalu menyeka keringat di dahinya dengan lengan bajunya.
“Mungkin benar. Tapi sekarang kau bukan hanya penempaan logam. Kau menempamu sendiri—jiwa, tekad, dan tujuan.”
Ia memandangi bilah yang hampir selesai ditempa.
“Pedang bisa diasah di api, tapi watak seorang kesatria hanya bisa ditempa di ujian hidup.”
Mereka berdua tertawa kecil, lalu kembali bekerja, bahu-membahu di tengah percikan bara dan bau logam panas.
Di luar bengkel, suara anak-anak desa mulai terdengar. Orang-orang mulai beraktivitas. Dan di antara kabut yang perlahan sirna, nama Kalabumi kini mulai menggema tidak hanya sebagai desa pandai besi, tetapi juga sebagai tempat lahirnya seorang kesatria muda bernama Jasana Mandira.
SIANG DI DESA KALABUMI
Setelah beberapa jam membantu sang ayah di bengkel, Jasana keluar sejenak untuk menyejukkan diri. Ia berjalan menyusuri jalanan berbatu desa Kalabumi, udara mulai menghangat, dan angin berembus lembut dari arah pegunungan selatan.
Warga desa menyambutnya dengan ramah. Anak-anak kecil berlari menghampiri sambil berseru:
“Kak Jasana pulang! Kak Jasana bawa cerita petualangan ya?!”
Beberapa orang tua menepuk pundaknya dengan bangga, memberi salam sambil memuji betapa gagah dan terawat penampilannya sekarang. Bahkan para petani di ladang sekitar menengok sejenak dan mengangguk hormat saat melihatnya lewat. Jasana membalas semua dengan sapaan dan senyum, kadang membungkuk sedikit sebagai tanda hormat.
Namun perhatian paling terasa datang dari arah berbeda.
Di bawah pohon jambu yang rindang, beberapa gadis desa Kalabumi sedang duduk sambil menumbuk rempah dan menganyam bakul. Ketika Jasana lewat, tawa kecil terdengar, dibarengi bisikan pelan.
“Lihat itu… Itu Jasana ya? Ganteng banget sekarang…”
“Kulitnya bersih… tangannya besar… bajunya kaya orang kota…”
“Eh, itu baju dari Tirabwana bukan? Lihat sabuk kulit dan sepatu tingginya…”
Jasana yang semula berjalan santai langsung terdiam sepersekian detik. Ia menyadari dirinya sedang diperhatikan. Dengan cepat, ia hanya menoleh sebentar dan tersenyum kaku, pipinya memerah samar, lalu buru-buru mempercepat langkah sambil menunduk.
“Duh, aku lupa kampung ini kecil… kabar jalan lebih cepat dari angin,” batinnya sambil mencoba terlihat tenang.
Di belakangnya, suara cekikikan para gadis terdengar makin riuh, seolah menikmati betapa canggung dan groginya seorang kesatria Guild Bayu Geni ketika berhadapan dengan senyum dan lirikan gadis desa.
Tak jauh dari sana, Pak Darsa, tukang kayu tua yang dulu pernah mengajari Jasana membuat sarung pedang, memanggil:
“Jasana! Kalau kau terus lari begini, gadis Kalabumi bisa kecewa semua, haha!”
Jasana hanya membalas dengan tawa malu sambil mengangkat tangan, sebelum bergegas menuju warung tua milik Bu Sura, tempat ia biasa membeli roti kelapa hangat saat kecil.
Warung itu masih sama: atap ijuk, dinding anyaman bambu, dan aroma kayu manis serta jahe yang memenuhi udara. Bu Sura menyambut dengan gembira, memberi roti lebih tanpa diminta.
“Buat pendekar Kalabumi, ini bonus. Tapi jangan lupa, tetap anak kampung ya,” katanya sambil mengedipkan mata.
Jasana duduk di bangku kecil di bawah pohon randu besar, menggigit roti dan menyesap teh manis. Suasana damai itu membuatnya sadar betapa jauh dirinya melangkah, namun betapa rumah tetap memiliki caranya sendiri untuk menyambut pulang.
SORE HARI DI KALABUMI – JEJAK LAMA DI LADANG
Sore perlahan menggantung di langit Kalabumi. Cahaya keemasan menyapu rerumputan yang bergoyang pelan di tiupan angin senja. Dari balik bengkel, Jasana berjalan menyusuri jalur kecil berbatu yang mengarah ke ladang di seberang rumahnya—tempat yang sangat dikenalnya.
Di sanalah, di bawah bayang pohon randu tua yang berdiri menyendiri di tengah hamparan ladang, tempat latihan lamanya masih tampak sama: tanah agak keras di tengah rerumputan, bekas tapak kaki dan sayatan pedang kayu yang dulu pernah ia buat. Semua membisu, tapi tak lupa.
Jasana berdiri diam, memandang ke tanah.
Ia mengangkat tangan kirinya. Tangan itu dulu kurus, kecil, dan penuh lecet, memar yang selalu berulang karena latihan yang terlalu keras. Kini, urat-uratnya tampak jelas, ototnya padat dan kokoh. Lima tahun berlatih tanpa guru, hanya ditemani pedang kayu dan tekad yang tak pernah padam.
Dari balik punggungnya, ia melepaskan Ardhana, pedang kayu usang yang kini nyaris tak pernah ia gunakan lagi, tapi tak pernah juga ia tinggalkan. Ia menggenggamnya, mengayunkan pelan seperti dulu.
“Di sinilah semuanya dimulai…” gumamnya lirih.
Wajahnya menegang sejenak, kenangan mengalir cepat—monster lumpur, makhluk berlendir dengan mata redup dan bau busuk, muncul dari rawa tak jauh dari sini, mengamuk di ladang warga. Saat itu, Jasana belum tahu banyak teknik, hanya mengandalkan satu-dua gerakan dari buku tua warisan pamannya. Tapi ia tetap maju, dengan pedang kayu dan keberanian nekat.
Ia bertarung… dan menang. Luka-luka memang ia dapat, tapi ia juga memperoleh sesuatu yang lebih besar: perhatian dari Kapten Raksadana, yang kebetulan sedang melintasi wilayah selatan dalam misi inspeksi.
“Anak muda… berani melawan monster sendirian, tanpa mantra, tanpa khodam. Itu bukan hal biasa.”
Kalimat itu masih terpatri kuat. Dari sanalah segalanya bergerak. Undangan ujian masuk Guild Bayu Geni pun datang, dan hidupnya berubah untuk selamanya.
Jasana duduk perlahan di tanah, memandangi horizon, cahaya matahari senja memantulkan bayangan panjang tubuhnya yang kini lebih tegap dan dewasa.
“Aku bukan siapa-siapa saat mulai… Tapi aku tetap melangkah.”
Ia mencengkeram gagang Ardhana dan menghela napas dalam. Malam ini ia akan kembali beristirahat, tapi di dalam hatinya, dia tahu: perjalanan belum usai. Ini hanya salah satu jeda… sebelum panggilan baru datang.
MALAM PERPAMITAN – MENUJU GANTARAWATI
Malam itu, angin dingin berhembus pelan di Kalabumi. Langit bertabur bintang, dan bulan separuh menggantung di ufuk timur, menyinari jalan setapak yang memanjang keluar desa. Di depan rumah panggung milik keluarga Karmawijaya, Jasana berdiri dengan ransel di punggung, pakaian perjalanan lengkap, dan mata yang memantulkan tekad kuat.
Wirasih, ibunya, berdiri di serambi dengan senyum lembut namun penuh doa. Sementara Karmawijaya, sang ayah, menepuk bahu putranya perlahan.
“Hutan Gantarawati bukan tempat bermain, tapi aku percaya kau bukan lagi anak yang dulu. Instingmu sudah terasah, dan senjatamu bukan cuma logam, tapi juga jiwa.”
Jasana mengangguk dalam, menunduk memberi hormat kepada keduanya.
“Aku hanya ingin menajamkan kembali naluri, Ayah, Ibu. Sudah seminggu sejak liburan dimulai… tubuh ini rasanya terlalu diam.”
Ia membuka selempang di pinggangnya dan memastikan pedang perak pemberian Kapten Raksadana tersarung rapi di sisinya. Pedang itu ringan, cepat, dan sangat ia andalkan dalam berbagai misi. Di balik selempang dalam, tersembunyi keris kecil berhulu gading—pemberian Kapten Mahadewa Rakunti. Keris itu kini telah menjadi media tempat Ardhana, khodamnya yang berwujud pria tua berjanggut dan berpakaian serba putih, bersarang dan terikat padanya.
“Aku akan mengelilingi bagian utara lalu memutar ke timur, menyusuri tepi dan masuk ke dalam. Mungkin tiga hari, mungkin lima. Tapi aku akan kembali.”
Karmawijaya hanya mengangguk dengan tegas, matanya tak menunjukkan kekhawatiran, hanya kebanggaan.
“Bawalah dirimu pulang dengan utuh, bukan hanya tubuh, tapi juga hatimu.”
Dengan pelukan singkat dari ibunya dan anggukan restu dari ayahnya, Jasana melangkah meninggalkan desa.
Langkah kakinya mantap, menuruni jalur batu menuju luar Kalabumi. Dari kejauhan, garis gelap pohon-pohon raksasa Hutan Gantarawati sudah tampak berdiri sunyi. Namun bagi Jasana, malam bukanlah halangan—melainkan ujian.
Malam ini, ia bukan hanya menyusuri hutan. Ia menyusuri diri dan takdirnya sendiri.
MEMASUKI GANTARAWATI – BISIKAN DARI ARDHANA
Langkah Jasana menjejak tanah hutan Gantarawati saat malam semakin dalam. Udara menjadi lebih dingin, daun-daun lembap mengeluarkan aroma tanah yang tajam, dan suara jangkrik bersahut-sahutan di antara rimbun semak dan pepohonan tinggi menjulang.
Ia berjalan perlahan, melewati lorong-lorong alami yang dibentuk oleh akar-akar besar dan dahan yang menunduk rendah. Tangan kirinya sesekali menyentuh pohon tua, mengenali arah dengan naluri dan ingatan. Di sinilah dahulu ia pernah berhadapan dengan Punggrang—dan menang. Tapi kini, ia datang bukan untuk bertarung, melainkan menyatu kembali dengan alam liar… dan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, dari balik suara malam, terdengar hembusan angin yang berbeda. Sejuk, namun mengandung getar spiritual yang dalam.
Jasana berhenti. Ia menutup mata sejenak… dan di dalam kesadarannya, muncul sosok berjubah putih panjang, berjanggut lebat seputih kapas, dengan sorot mata teduh namun dalam—Ardhana.
“Wahai anak pedang dan kesunyian…
Malammu adalah cermin, bukan hanya ujian.
Jangan sekadar mencari yang terlihat.
Temuilah bayang-bayang dalam dirimu,
Sebab yang tersembunyi di hutan ini,
Bukan sekadar makhluk… tapi juga bagian dari dirimu yang belum dikenali.”
Jasana membuka matanya pelan. Nafasnya teratur, tapi jantungnya berdetak lebih keras.
“Bayang-bayang dalam diriku…? Apa maksudmu, Ardhana?”
Khodam itu tidak menjawab secara langsung, namun suaranya mengalun kembali, seperti gema dalam kabut tipis.
“Kau bawa pedang perak dan keris bersamaku,
Namun senjata utamamu adalah niat.
Maka biarlah malam ini menunjukkan:
Mana luka yang belum sembuh,
Mana jiwa yang belum utuh,
Dan apa yang sejatinya kau cari
di balik nyala api Bayu Geni.”
Jasana terdiam. Angin kembali berhembus, kali ini lebih dingin. Di antara pepohonan, kilatan mata merah menyala sebentar… lalu menghilang. Seekor makhluk hutan… atau mungkin sesuatu yang lebih tua.
Tanpa berkata-kata lagi, Jasana melanjutkan langkahnya. Ia tahu—malam ini bukan sekadar perjalanan ke dalam hutan. Ini adalah perjalanan ke dalam dirinya sendiri.
HUTAN GANTARAWATI — PERTEMUAN DI BAWAH REMBULAN
Langkah Jasana berhenti di sebuah celah lapang yang disinari cahaya rembulan dari sela pepohonan tinggi. Suara malam mendadak hening, seolah seluruh hutan menahan napas.
Dari bayangan antara dua pohon beringin tua, sesosok makhluk tinggi melangkah keluar. Tubuhnya berbalut kulit kasar, matanya merah menyala, rambutnya menjuntai seperti akar pohon yang membusuk, dan di punggungnya menjuntai duri-duri panjang yang bergetar pelan seperti merasakan getaran udara.
Makhluk itu berbicara dengan suara parau, namun mengandung kefasihan tak terduga.
"Anak manusia... kau menjejak tanah yang lama tidak disentuh keberanian."
Jasana tidak gentar. Ia berdiri tegap, tangan kanannya menyentuh gagang pedang perak yang tergantung di pinggang.
"Aku datang bukan untuk menaklukkan... hanya menantang diriku sendiri."
Makhluk itu menyeringai, menampakkan deretan gigi tajam berlumur lumut.
"Ah... keberanian yang dibungkus kerendahan hati. Jarang kulihat dari manusia. Siapa namamu, pendekar muda?"
"Jasana Mandira, dari Kalabumi. Murid kehidupan dan prajurit Guild Bayu Geni."
Makhluk itu tertawa kecil, suaranya seperti ranting tua yang patah.
"Namaku Kaladriya. Penjaga batas antara hutan dan dunia mimpi. Mereka yang takut, kulenyapkan. Mereka yang sombong, kuhancurkan. Tapi mereka yang jujur... kuberi pelajaran. Siapkah kau menerima pelajaran malam ini, Jasana?"
"Jika itu adalah ujian... aku siap. Tapi aku takkan menggunakan apa pun selain apa yang kupelajari."
Jasana mencabut pedang perak pemberian Kapten Raksadana, dan sinar rembulan memantul di bilahnya yang ramping namun kokoh.
Kaladriya bergerak cepat, seperti bayangan yang merambat di angin. Cakar besar menyambar ke arah Jasana, tapi dengan langkah ringan dan teknik kaki ‘Surya Langit’, Jasana melompat ke samping dan mengayunkan pedangnya — bukan untuk melukai, tapi menangkis dan membaca gerakan.
Pertarungan berlangsung cepat. Kaladriya menyerang dengan teknik binatang liar, tapi cerdik. Jasana membalas dengan gerakan presisi, memanfaatkan celah kecil, membaca arah bahu, dan menyarungkan bilah hanya untuk mengeluarkannya kembali dalam satu ayunan cepat.
Beberapa kali pedang perak memantul di kulit Kaladriya, membuat makhluk itu mundur sesaat, tersenyum puas.
"Hm... teknikmu bersih. Tidak rakus. Tidak ragu. Seperti arus sungai yang telah lama mengalir, tak lagi mencari sumbernya, hanya melaju."
Jasana, masih tenang namun napasnya mulai berat, menjawab:
"Aku tidak bertarung untuk menang. Hanya untuk membuktikan bahwa aku masih hidup... dan belajar."
Kaladriya menunduk hormat, perlahan wujudnya memudar seperti asap disapu angin malam.
"Malam ini kau lulus, Jasana dari Kalabumi. Tapi ingat, hutan ini belum selesai denganmu. Akan tiba saatnya... kau harus memilih: tetap menjadi manusia... atau menjadi legenda."
Setelah itu, hanya suara hutan yang tersisa.
Jasana menyarungkan pedangnya. Tangannya sedikit bergetar, bukan karena takut, tapi karena sadar… di malam ini, ia baru saja melewati batas dirinya yang lama.
“Terima kasih… Ardhana. Dan terima kasih… Kaladriya.”
DINI HARI DI HUTAN GANTARAWATI — JEJAK YANG TERTINGGAL
Langkah Jasana kini menuntunnya ke arah timur Gantarawati, tempat yang dalam bisik-bisik para petualang disebut sebagai daerah bekas Markas Bayawira Timur — sebuah kelompok pemberontak yang dahulu cukup ditakuti karena keahlian mereka dalam taktik gerilya dan kekuatan gaib. Namun kini, setelah Pertempuran Kalapanunggal yang berdarah empat bulan lalu, yang tersisa hanyalah puing dan arwah dendam.
Angin malam berhembus lembap dan dingin. Jasana melangkah perlahan, pandangannya waspada. Di tangannya, pedang perak siap siaga. Sekali waktu, ia menyentuh gagang keris di balik bajunya — tempat Ardhana bersemayam.
Suara lembut dan berat terdengar dari dalam dirinya, suara Khodam Ardhana, seperti bisikan dari balik tabir dunia lain.
Ardhana: "Jasana… angin di sini tak menyapa, hanya mengamati. Kau yakin ingin ke tempat ini malam-malam begini?"
Jasana: "Justru karena malam... aku bisa melihat bayangan yang tertinggal. Tempat ini bukan hanya medan bekas perang... tapi cermin untuk masa depan."
Ardhana: "Kau sudah belajar banyak sejak aku bersemayam dalam keris ini... tapi ingat, yang jatuh dalam perang bukan hanya tubuh, tapi juga kebenaran yang ikut terkubur."
Jasana: "Itu sebabnya aku harus melihat sendiri. Apa yang pernah berdiri di sana… dan apa yang membuatnya runtuh."
Ardhana terdiam sejenak, seolah menguji niat Jasana dengan keheningan.
Ardhana: "Kalau begitu, dengarkan tanahnya. Bau besi terbakar dan darah belum sepenuhnya hilang. Tapi juga… masih ada suara. Suara dendam. Suara yang mungkin akan mencoba merasukimu nanti."
Jasana: "Biar mereka bicara. Aku datang bukan untuk melawan... hanya menyimak."
Langkah Jasana melewati akar-akar besar yang bersilang seperti penjaga gerbang. Di balik semak, reruntuhan kayu lapuk, batu berserakan, dan bekas tiang pancang mulai terlihat. Di ujung sana, sebatang panji robek Bayawira Timur masih berdiri miring — warna merah tuanya hampir tak tampak di gelap malam.
Jasana berdiri diam.
Jasana: "...Mereka pernah percaya bahwa ini adalah rumah mereka. Lalu semuanya berubah."
Ardhana: "Kepercayaan bisa membangun istana... atau membakar hutan. Kau akan belajar banyak di sini. Tapi jangan terlalu lama. Beberapa luka di tanah ini masih panas meski siang sudah lewat berbulan-bulan."
Di kejauhan, terdengar suara burung malam melengking... lalu hening.
Jasana melangkah lagi, lebih hati-hati. Ia tahu… di tempat ini, sejarah dan arwah belum sepenuhnya pergi.
Jasana (pelan): "Aku di sini bukan untuk menggali kubur... tapi untuk memahami apa yang bisa terjadi… bila jalan yang kupilih melenceng."
Dan malam pun terus menyelimuti Gantarawati.
Jasana, dengan nyala tekad dalam dada, terus melangkah… menuju bekas peradaban yang tumbang, dan mungkin, ke arah misteri baru yang akan menguji jiwa petualangnya.
HUTAN GANTARAWATI – BEKAS MARKAS BAYAWIRA TIMUR, DEKAT TENDA UTAMA (DINIHARI)
Jasana melangkah perlahan di atas tanah yang beraroma arang dan lumut tua. Di depannya, tampak rangka tenda besar yang separuh roboh namun masih menyisakan jejak kejayaan: tenda utama Bayawira Timur, yang konon dulunya dipimpin langsung oleh Prayogi Mahadipa.
Namun tiba-tiba, suasana berubah. Udara di sekitar menjadi dingin dan berat, seperti dicekam oleh kehadiran sesuatu yang tak kasat mata. Dari balik bayang-bayang tenda yang setengah runtuh, sesosok pria berjubah hitam pekat dan bertopeng legam muncul. Hanya sepasang mata bersinar lembut yang terlihat — tenang, namun dalam sekejap membuat jantung Jasana berdebar keras.
Langkah Jasana terhenti. Tangannya refleks menggenggam gagang pedang.
Jasana (tegang): "Kau...! Aku ingat matamu... Kau yang mencuri Batu Napas Langit waktu itu…!"
Sosok itu berdiri tanpa bergerak, lalu suaranya terdengar — dalam, tenang, dan sangat terukur, seperti suara angin malam yang menyelinap ke dalam jiwa.
Pria Bertopeng: "Aku tahu kau mengingatku, anak muda. Tapi malam ini aku tak datang sebagai musuh... aku datang sebagai penziarah."
Jasana masih siaga, meski rasa takutnya mulai berubah menjadi waspada. Sosok itu mengangkat wajahnya sedikit ke arah puing-puing tenda.
Pria Bertopeng: "Di sinilah dulu Prayogi Mahadipa berdiri... sebagai tombak keadilan kami. Dia bukan hanya pejuang. Dia adalah cahaya kecil di malam panjang kami. Kini dia telah tiada..."
Jasana menunduk sejenak, teringat pertarungan sengit antara Kapten Raksadana dan Prayogi Mahadipa di Kalapanunggal, yang begitu dahsyat hingga menghancurkan ratusan meter medan tempur. Tapi ia tak tahu bahwa Mahadipa sempat koma selama berbulan-bulan sebelum akhirnya wafat.
Jasana: "Dia musuh kami… tapi bukan orang jahat."
Pria Bertopeng (pelan): "Keberanianmu untuk mengucap itu menunjukkan kedewasaan, Jasana. Kau telah tumbuh… jauh dari remaja dengan pedang kayu yang dulu hanya tahu menyerang tanpa arah."
Jasana menegang. Ia tak pernah menyebutkan nama kepada sosok ini sebelumnya.
Ardhana berbisik pelan dalam batinnya.
Ardhana: "Ia melihatmu lebih dari sekali. Bahkan mungkin, sebelum kau mengenal dirimu sendiri."
Sosok bertopeng berjalan perlahan ke tiang bendera yang setengah roboh. Tangannya menyentuhnya sebentar.
Pria Bertopeng: "Prayogi tidak kalah karena dia lemah. Dia kalah karena luka… luka yang bukan hanya di tubuhnya, tapi di jiwanya. Raksadana bukan hanya lawan fisik… dia adalah cermin. Dan kadang, yang kita lihat di cermin… adalah hal paling menakutkan."
Jasana menggenggam gagang pedangnya erat.
Jasana: "Kau bilang Bayawira masih ada?"
Pria Bertopeng: "Bayawira tidak pernah mati. Kami adalah bisik keadilan yang ditinggalkan oleh kerajaan. Dan kami akan terus bergerak... selama dunia ini belum benar-benar seimbang. Namun, bukan untuk malam ini. Malam ini… kami hanya mengenang."
Lalu, seperti diselimuti oleh kabut yang tiba-tiba menebal, sosok itu perlahan menghilang, lenyap di antara kabut malam yang mengalir seperti air hening.
Jasana berdiri diam. Pedangnya masih di tangan, tapi hatinya tak terasa ingin menyerang.
Ardhana (lembut): "Tidak semua musuh harus ditebas. Beberapa hanya perlu didengarkan... agar kita tahu medan perang sesungguhnya."
Dan malam kembali sunyi.
Namun jauh di dalam hatinya, Jasana tahu — benih konflik yang lebih besar baru saja menampakkan bayangannya.