Bab 18 - Sebuah Kebenaran yang terungkap

KOTA TIRABWANA, DISTRIK TIMUR – RUMAH KELUARGA KAPTEN RAKSADANA (SORE HARI)

Mentari sore menyinari bangunan berarsitektur khas Mandalagiri, dinding batu putih dengan ukiran naga dan bunga teratai perak, lambang kejayaan kaum ksatria. Halaman luas dengan taman kecil dan kolam ikan, dijaga dua penjaga berseragam khas rumah bangsawan.

Di dalam rumah, suasana terasa hangat. Aroma rempah kayu manis dan teh bunga menguar dari dapur. Kapten Raksadana, mantan panglima perang kerajaan Mandalagiri dan kini Kapten Divisi Panggrahita Aji Guild Bayu Geni, duduk bersila di ruang tengah. Rambutnya yang sedikit memutih tetap rapi, tubuhnya masih tegap meski mulai memasuki usia paruh baya. Di hadapannya, dua anak laki-lakinyaWira (16 tahun) dan Brata (14 tahun) — tampak antusias bercerita. Di sisi Raksadana duduk istrinya, Nyantri, perempuan tenang berselendang biru tua, menyajikan teh hangat.

Terdengar suara lembut gemerincing gelas dan langkah para pelayan yang melintas membawa baki makanan kecil.

Wira (bersemangat):"Ayah! Minggu depan aku dan Brata akan uji medan di Benteng Gunung Nagasura. Instruktur kami bilang, teknik tempur kami mirip gaya bertarungmu zaman muda."

Brata (menimpali):"Tapi aku lebih suka pertarungan satu lawan satu. Pedang panjang… bukan formasi pasukan. Seperti Ayah saat duel dengan Kapten Bayawira Timur!"

Kapten Raksadana (tersenyum kecil):"Hm. Kalian terlalu suka mengagungkan kisah lama. Tapi ingat, peperangan bukan hanya soal menang. Tapi bagaimana membawa pulang orang-orangmu hidup-hidup."

Istrinya menyela dengan suara lembut.

Nyantri:"Kalian ini… tak bosan bicara medan perang terus? Setiap pulang, aku berharap kau cerita tentang cuaca, bunga di hutan Guild, atau makanan baru… tapi yang dibahas selalu ‘pertempuran’."(tertawa lembut, menatap suaminya dengan kasih)

Kapten Raksadana (tersenyum dan menyesap tehnya):"Kau benar, Nyantri. Tapi medan perang… sudah seperti bayangan yang tak pernah lepas dari langkahku. Meski aku berada di ruang ini… suaranya masih terngiang."

Suasana hening sejenak. Cahaya senja menyorot lembut ke dalam ruangan. Angin menerpa tirai tipis yang melambai pelan. Di dinding, tergantung lukisan tua saat Raksadana masih mengenakan zirah panglima perang di masa mudanya — diapit dua rekannya yang kini telah gugur.

Brata (pelan):"Ayah… jika nanti kami jadi tentara seperti cita-cita, apa kami harus seperti Ayah… menyerahkan waktu, tubuh, bahkan mungkin... nama baikmu, untuk negeri ini?"

Raksadana menatap kedua anaknya dalam-dalam. Matanya tajam, namun ada rasa teduh di sana.

Kapten Raksadana:"Tidak semua orang dilahirkan untuk mengangkat pedang demi kerajaan. Tapi jika kalian memilih jalan itu, pastikan… kalian tidak hanya bertarung karena perintah. Tapi karena kalian tahu apa yang kalian lindungi. Dan kalian siap menerima luka, yang tak selalu terlihat di tubuh."

Wira dan Brata mengangguk perlahan.

Nyantri tersenyum, meski sorot matanya menyimpan kekhawatiran seorang ibu. Ia tahu, hidup bersama seorang prajurit besar berarti hidup berdampingan dengan kehilangan — walau belum terjadi.

Di luar rumah, cahaya senja mulai pudar, dan Tirabwana Timur perlahan bersiap menyambut malam.

Kapten Raksadana (pelan):"Besok Ayah kembali ke Guild Bayu Geni. Tapi malam ini… kita bicara bukan sebagai prajurit, tapi sebagai keluarga."

Dan mereka pun tertawa ringan, untuk sesaat, menanggalkan bayang-bayang perang yang selama ini terus melekat.

KAMPUNG HALAMAN KAPTEN LODRA WAHANA – DESA ARUNASWARA, MANDALAGIRI SELATAN

Senja melingkupi langit Desa Arunaswara, desa kecil di lereng selatan Mandalagiri yang dikenal dengan pemandangan alamnya yang hijau dan situs-situs sejarah tua peninggalan masa kerajaan awal. Udara sejuk dengan embusan harum dedaunan pinang dan bunga angsana yang berguguran.

Di tengah desa itu, berdiri sebuah rumah sederhana namun mencolok. Bukan karena ukurannya, melainkan arsitekturnya yang unik — dengan pilar-pilar kayu bercorak naga laut purba, pintu berhiaskan ukiran relief Dwapara, dan ornamen dari pecahan artefak tua yang disusun rapi di dinding luar. Rumah itu milik Kapten Lodra Wahana, pria berusia 31 tahun, Kepala Divisi Ekspedisi dan Perburuan Raka Lelana di Guild Bayu Geni.

Terdengar tawa riang seorang anak kecil di pekarangan. Bocah itu — Ananda, putra Lodra yang berusia 5 tahun — sedang bermain dengan sebilah pedang kayu kecil, berlarian di antara pot-pot tanaman herbal dan batu-batu pahatan tua yang tertata rapi.

Lodra Wahana duduk di beranda rumah mengenakan pakaian kasual dari kain tenun lokal. Rambutnya diikat ke belakang, cambangnya rapi. Di pangkuannya duduk istrinya, Sekar Lintang, perempuan ceria berambut pendek yang sedang membersihkan artefak kecil dari tanah liat kuno.

Sekar Lintang (tersenyum):"Kau belum berubah, Lodra… Pulang hanya saat liburan, tapi yang kau bawa malah batu ukir dan pecahan kendi tua."

Lodra (tertawa ringan):"Karena di Guild, yang kusebut rumah hanyalah petualangan. Tapi saat kembali ke sini… rasanya seperti kembali ke awal. Semua benda tua ini… punya cerita yang tak kalah indah dibandingkan pertempuran."

Sekar:"Tapi Ananda hanya ingin cerita tentang naga dan monster."(melirik anak mereka yang kini berdiri dengan pose meniru pendekar)

Lodra tertawa, lalu memanggil anaknya.

Lodra:"Ananda! Sini, Nak. Sudah waktunya mandi. Pendekar juga perlu bersih sebelum tidur."

Ananda berlari mendekat dan langsung duduk di pangkuan ayahnya.

Ananda (bersemangat):"Ayah! Ceritakan lagi yang tentang gua di Utara! Yang kau temukan patung kepala raksasa yang bisa bicara!"

Lodra (mengelus rambut anaknya):"Ah, gua itu… Itu bukan kepala raksasa. Tapi reruntuhan penjara tua dari zaman Raja Mandalagiri keempat. Suaranya bergema karena aliran angin dan ruangannya yang berlapis batu hitam."

Ananda:"Tapi di kepalaku itu tetap raksasa yang disegel naga!"

Sekar dan Lodra tertawa bersama.

Sekar:"Kau lihat? Imajinasi anakmu sudah seperti pengembara. Sepertimu dulu."

Lodra (menatap langit pelan):"Petualangan terbaik adalah yang bisa kita bagi… kepada mereka yang kita cintai."

Ia memeluk Ananda erat. Cahaya jingga terakhir menghilang di balik bukit, dan lampu minyak dinyalakan satu per satu di sepanjang desa. Dari kejauhan terdengar suara gamelan kecil dari kelompok tetua yang sedang berlatih untuk festival desa minggu depan.

Sekar:"Besok kita ke Candi Luhur, ya? Kau janji tunjukkan tempatmu dulu bersembunyi waktu dikejar lebah liar."

Lodra (tertawa keras):"Itu kenangan yang tak perlu diulang!"

Suasana malam pun tiba, penuh kehangatan dan tawa kecil, jauh dari tekanan pertempuran dan urusan Guild. Tapi di mata Lodra, terpancar kewaspadaan tenang — seorang pengembara sejati, yang tahu bahwa kedamaian adalah kemewahan yang tak selamanya abadi.

PADEPOKAN SUMILAR — PEGUNUNGAN KUNINGGIRI, MANDALAGIRI BARAT

Kabut tipis menggantung di antara pepohonan pinus dan wangi dupa membumbung dari altar kecil di tengah pendopo kuno. Kapten Mahadewa Rakunti, usia 32 tahun, berdiri tegap di hadapan gurunya — seorang resi tua berjenggot putih panjang, mengenakan jubah kasar dari serat daun kelapa.

Mahadewa mengenakan jubah kasual coklat gelap, dengan selempang hitam khas Divisi Rasa Prawira. Sorot matanya tetap tajam dan menenangkan. Namun, kali ini bukan untuk berlatih sihir tingkat tinggi — ia hanya ingin mengisi waktu luangnya dengan ziarah batin ke masa kecilnya.

Resi Bagaskara (tersenyum lebar):"Heh… Mahadewa, Mahadewa. Datang jauh-jauh untuk belajar padaku, tapi tak ada lagi mantra yang bisa kuberikan padamu. Bahkan api sembahyang takut menyala kalau kau lewat."

Mahadewa (menunduk sopan):"Saya hanya ingin menyelaraskan diri, Guru. Ilmu sihir tanpa keseimbangan akan menelan tuannya."

Resi Bagaskara (tertawa lepas):"Halah! Kau terlalu kaku. Dulu kau bocah lemah, sekarang semua roh halus pun segan menatap matamu. Sudah, sudah. Kau bukan murid lagi. Kau itu... sudah waktunya jadi guru!"

(Beberapa murid muda di sekitar pendopo tertawa geli. Mahadewa hanya tersenyum kecut.)

Resi Bagaskara (menyipitkan mata):"Atau… sudah saatnya kau menikah saja, Nak."

Mahadewa (menarik napas):"Guru, saya belum terpikir sejauh itu."

Resi Bagaskara:"Ilmu bisa membuatmu bijak, tapi keluarga akan membuatmu utuh."

Angin pegunungan meniupkan suara lonceng kecil. Mahadewa menatap jauh ke arah lembah, merenungi kata-kata gurunya — ada kebenaran yang diam-diam menyelinap ke dalam hatinya.

HUTAN PENGLAYON — DEKAT TIRABWANA

Di hutan kecil yang sunyi dan gelap, sosok Kapten Kalandra Wisanggeni, 35 tahun, tampak seperti bayangan. Ia melompat dari satu batang pohon ke batang lainnya tanpa suara. Bajunya gelap, wajahnya tertutup setengah dengan kain tipis.

Hanya suara gesekan angin dan derik serangga hutan yang menemani. Di sekelilingnya tertancap berbagai boneka latihan kayu dengan titik-titik vital yang digambar samar.

Dalam sekejap, Kalandra melempar tiga jarum halus ke arah tiga titik leher dari boneka itu — semua tepat sasaran.

Kalandra (gumam lirih):"Dalam gelap… tak ada suara, tak ada nama."

Dia duduk di atas dahan pohon, mata menatap langit.

"Kadang aku lupa... rasanya berbicara dengan orang yang tak menyimpan rahasia."

Ia mengeluarkan liontin tua dari saku bajunya — bukan harta sihir, hanya kenangan dari seseorang yang dulu pernah ia lindungi, dan kini telah tiada.

"Aku tak butuh keluarga… tapi kadang aku ingin pulang."

DESA PUSPALOKA — MANDALAGIRI UTARA

Kemeriahan meledak saat Kapten Doyantra Puspaloka menuruni kudanya di alun-alun desa. Pria tinggi berumur 35 tahun itu mengenakan pakaian kebesaran bangsawan — jubah biru laut berhias bordir perak dan cap lambang Puspaloka di dada.

Ia disambut dengan gegap gempita oleh para warga. Musik seruling, tari rakyat, dan anak-anak desa membawakan bunga dan hasil panen terbaik mereka.

Warga Tua:"Selamat datang, Tuan Puspaloka! Sawah kami berlimpah sejak irigasi baru yang Tuan bangun!"

Petani Muda:"Kuda betina dari peternakan Tuan telah menjuarai pacuan di Mandalagiri Utara!"

Doyantra (tersenyum hangat):"Itu semua berkat kalian yang tak pernah lelah menjaga tanah ini."

Ia berjalan ke balai desa yang berdiri megah — terbuat dari batu bata merah tua dengan atap ijuk lebar. Di belakangnya, terbentang ladang luas, kandang kuda berjejer, dan kilang minyak atsiri dari tanaman bunga lokal.

Seorang pengurus desa mendekat.

Pengurus:"Kami dengar Tuan kini juga semakin terkenal sejak menjadi Kapten Mandala Dhana di Guild Bayu Geni."

Doyantra:"Kemakmuran tak boleh berhenti di satu tempat. Puspaloka bukan hanya tempat lahirku — tapi akar dari semua langkahku."

Di kejauhan, langit Mandalagiri mulai gelap, namun desa itu terang oleh cahaya lentera dan semangat warga.

KEDIAMAN ADIPATI MAHESWARA — DISTRIK PUSAT, TIRABWANA

Langit Tirabwana berwarna jingga keemasan, matahari hampir tenggelam di balik menara-menara kerajaan. Di distrik pusat yang bergengsi, berdiri sebuah kediaman megah berpagar batu putih dan taman bergaya klasik Mandalagiri, lengkap dengan kolam teratai dan patung singa emas — lambang kehormatan para keturunan raja.

Adipati Maheswara, pemimpin Guild Bayu Geni, tengah berada di dalam ruang pribadinya, sebuah perpustakaan megah berdinding kayu wangi dan penuh tumpukan dokumen serta peta-peta misi. Cahaya lentera gantung menerangi wajahnya yang tenang tapi penuh tekanan.

Ia mengenakan jubah dalam berwarna abu tua, tanpa hiasan pangkat — hanya bros perak kecil lambang Guild yang tersemat di dadanya. Di meja depannya tersusun:

Laporan kegiatan Divisi Bayang-bayang Geni.

Draf rencana ekspedisi baru dari Divisi Raka Lelana.

Catatan pertumbuhan ekonomi dari Mandala Dhana.

Surat peringatan dari Istana tentang gangguan spiritual di selatan.

Tangan Maheswara mengusap pelipis, matanya masih menyusuri deret kalimat pada dokumen yang ia pegang.

Suara lembut dari balik pintu (istrinya):“Masih dengan tumpukan kertas itu lagi, Maheswara?”

Pintu terbuka perlahan. Seorang wanita anggun berselendang sutra emas berdiri di ambang pintu. Dialah Ratu Kirana Anindita, istri Maheswara — wanita bangsawan dari keluarga ningrat Tirabwana yang dikenal tenang namun tegas.

Ratu Kirana (mendekat):“Tuan Adipati, ada dua jiwa di rumah ini yang ingin melihatmu lebih sering dari pada para jenderal atau laporan perang.”

Dari belakang rok sutranya, seorang gadis kecil berusia 4 tahun muncul sambil menyeret boneka kayu kecil berbentuk naga. Anak perempuan itu adalah Puteri Lintang Jayaswari, satu-satunya putri Maheswara.

Lintang (dengan suara polos): “Ayah... main naga sama aku, yuk…”

Adipati Maheswara menoleh, terdiam beberapa detik — seolah dibangunkan dari dunia lain. Ia meletakkan dokumen pelan-pelan, menghembuskan napas panjang, lalu bangkit.

Maheswara (mendekat, tersenyum lembut):“Maafkan Ayah… Ayah lupa dunia di luar meja ini lebih berharga.”

Ia berlutut, memeluk Lintang dan mencium keningnya. Gadis kecil itu terkekeh, lalu menyerahkan bonekanya. Kirana tersenyum, berdiri di samping mereka.

Kirana:“Aku tahu kau bukan orang yang mudah menyisihkan tugas. Tapi jangan sampai kau kehilangan yang berharga di dalam rumah ini, Maheswara. Guild bisa menunggu satu malam.”

Maheswara (menatap istrinya):“Kau selalu tahu cara menyentakku dari kebisuan, Kirana.”

Ia kemudian bangkit sambil menggendong Lintang di lengan kirinya, lalu menggandeng tangan istrinya dengan tangan kanan. Mereka berjalan ke ruang tengah, meninggalkan dokumen dan strategi perang — untuk sejenak.

Dari luar jendela besar, lampu-lampu lentera mulai menyala di seluruh distrik pusat. Kota mungkin tak tidur, tapi keluarga kecil di rumah itu akhirnya bisa menikmati malam tanpa bayang-bayang tugas.

Konflik Spiritual Mandalagiri Selatan

"Tiada kabut yang menggulung tanpa angin yang berbisik,Tiada retakan tanah tanpa sesuatu yang hendak muncul."— Catatan Tua Pustaka Tarapati, jilid keenam.

Seminggu sebelum libur dimulai, di kedalaman ruang pribadi Adipati Maheswara — ketika lentera belum padam dan peta dunia masih terbentang di meja batu, sebuah gulungan bersegel ungu gelap tiba di bawah tangan penjaga malam.

Itu adalah laporan resmi dari Divisi Bayang-bayang Geni, ditulis dengan tinta tak kasat mata yang hanya bisa dibaca dengan bara api remang milik ruang dalam Maheswara.

Isinya mengguncang sunyi malam itu:

**“Terdeteksi gejala spiritual tak wajar di distrik-distrik pesisir Mandalagiri Selatan:

Api pemakaman yang menyala selama tujuh hari tujuh malam.

Sumur-sumur desa mengering padahal langit diliputi hujan.

Tiga bayi lahir dengan tanda-tanda luka pusaran di dada kiri.

Gunung api kecil di Tapal Trita mengeluarkan asap gelap berbentuk bayangan manusia, setiap malam saat bulan tak tampak.

Penduduk desa Daranapati mulai berhalusinasi: melihat kereta kencana tak bertuan di langit.”*

Laporan itu ditandatangani oleh Ajanasa, salah satu pengintai utama Kalandra Wisanggeni. Ia menyebutkan bahwa tanda-tanda tersebut konsisten dengan jejak pergerakan "entitas spiritual terikat", sebuah kondisi yang terjadi saat suatu kekuatan gaib dipaksa bangkit tanpa keselarasan semesta.

Lebih jauh dalam laporan, disebutkan:

“Kami menduga kelompok Bayawira Selatan telah membentuk perkumpulan baru. Belum diketahui siapa yang memimpin. Namun simbol ular berkepala dua melingkar ditemukan dicorat-coret di reruntuhan bekas pos pengawas kerajaan di desa Graganta.”

Sampai laporan itu diterima, belum ada langkah tegas yang diambil. Bukan karena mengabaikan, tapi karena waktu laporan itu datang bertepatan dengan tradisi panjang Guild Bayu Geni: libur semester pertama yang selalu dilaksanakan satu bulan penuh di pertengahan tahun. Sebuah waktu hening yang dijaga turun-temurun, bahkan oleh pemimpin paling disiplin sekalipun.

Maheswara mengingat betul isi catatan terakhir di laporan Ajanasa:

"Kami memilih tak melakukan kontak langsung. Jejak langkah kami hampir ditemukan saat menjelajahi hutan Hargagiri.Rekomendasi: Lakukan investigasi terselubung setelah libur selesai.Jangan bangunkan naga sebelum tahu ke mana ekornya mengarah.”

Sejak saat itu, laporan tersebut disimpan dalam laci besi bertanda ‘PRIORITAS: KABUT SELATAN’, dan Maheswara — meskipun menikmati waktu bersama istri dan anaknya — tak bisa sepenuhnya melepaskan pikiran dari pergerakan sunyi di selatan.

Ia tahu, kabut spiritual tidak muncul tanpa alasan, dan jika benar Bayawira Selatan masih hidup — maka ini bukan sekadar sisa perlawanan.

Ini adalah munculnya ujung bayangan baru, yang mungkin…lebih berbahaya dari yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

Dua Minggu Setelah Libur Dimulai – Desa Arunaswara, Mandalagiri Selatan (Kampung halaman Kapten Lodra Wahana, Divisi Raka Lelana)

Senja belum sepenuhnya turun, namun langit Desa Arunaswara telah diliputi kabut pekat berwarna keunguan. Bau belerang dan asap pembakaran mulai menyeruak dari ujung timur desa. Teriakan warga terdengar bersahutan, memecah ketenangan khas pedesaan yang sejak pagi dihiasi bunyi gamelan dan suara burung rawa.

Desa itu diserang.

Dari balik kabut muncul dua sosok mengerikan, diiringi segerombolan bandit berjubah hitam dengan lambang burung bangkai bercakar tiga. Mereka adalah Bayawira Selatan, kelompok sesat yang kembali menggeliat setelah bertahun-tahun menghilang dari peta kekuatan Mandalagiri.

Mereka dipimpin oleh dua Wakil Kapten Bayawira Selatan:

Wakil Pertama: Jagara Kalagni

Seorang pria kekar paruh baya bertubuh penuh luka bakar lama. Wajahnya ditutupi topeng logam tua, dan ia membawa sebuah sabit besar melengkung dari logam hitam pekat yang berdenyut dengan aura gelap.

"Hanguskan... biar kenangan mereka tinggal jadi debu!"

Jagara mengayunkan sabitnya, menghasilkan gelombang sihir gelap yang menyambar tanah dan membuat ledakan hitam meletus dari dalam bumi.

Wakil Kedua: Rinjana Nirnawa

Seorang wanita muda berambut putih keperakan, mengenakan jubah hitam panjang bertabur simbol sihir kuno. Matanya bersinar ungu. Di tangannya, sebuah tongkat sihir dengan kristal berduri di ujungnya.

“Tenaga spiritual desa ini... manis. Akan jadi bahan bagus untuk ritual Penyerapan.”

Ia mengangkat tongkatnya, melontarkan jaring sihir hitam yang menyelimuti beberapa warga hingga tubuh mereka gemetar dan terjatuh tanpa suara.

Tujuan mereka sederhana: Merampok. Meneror. Dan mengambil harta-harta spiritual dan Artefak Desa di desa Arunaswara untuk kepentingan Kelompok Bayawira Selatan atas perintah sang Kapten mereka, sang Resi sesat: Wighna Laksa.

Tapi mereka tak tahu satu hal—Kapten Lodra Wahana sedang pulang kampung.

Lodra Wahana, Kapten Divisi Raka Lelana

Tinggi, berperawakan kurus namun tegap. Tatapannya tajam, rambutnya dikuncir ke belakang, dan di punggungnya tergantung tongkat besi sepanjang lengan dewasa. Di rumah kayu beratap rumbia bergaya klasik, ia baru saja selesai membersihkan artefak kuno peninggalan nenek moyangnya saat suara ledakan pertama terdengar.

Sekejap saja, naluri petarungnya kembali menyala.

“Sekar... Ananda... masuk ke ruang bawah tanah. Tutup pintunya dari dalam. Jangan keluar sampai aku kembali,” ujarnya tenang namun tegas.

Sekar Lintang menatapnya cemas, namun ia tahu — Lodra bukan pria biasa. Ia adalah pilar utama para penjelajah dan penjaga medan liar dari Guild Bayu Geni.

Lodra melangkah keluar. Kabut, api, dan jeritan menyambutnya. Saat tongkat besinya menancap tanah, auranya berdenyut—tanah bergetar, dan kabut sedikit tersibak.

“Kalian membuat kesalahan besar… datang ke desa ini saat aku ada di rumah.”

Suaranya dingin. Matanya menyala. Dan di balik tubuh ringkih itu, tersembunyi kecepatan dan teknik medan pertempuran yang hanya dimiliki oleh prajurit pengembara sejati.

Pertarungan Awal di Desa Arunaswara, Mandalagiri Selatan

(Pertemuan antara Kapten Lodra Wahana dan dua Wakil Kapten Bayawira Selatan)

Asap dan debu beterbangan di tengah alun-alun desa yang terbakar. Di tengah reruntuhan rumah panggung dan tiang-tiang penyangga yang hangus, tiga sosok berdiri saling berhadapan dalam jarak segitiga penuh ketegangan.

Lodra Wahana menancapkan tongkat besinya ke tanah. Napasnya tenang. Mata tajamnya mengamati setiap gerakan lawan seperti seekor kera liar di tengah hutan, siap melompat kapan saja.

Di sisi lain, Jagara Kalagni memutar sabit besarnya yang berdesing setiap kali memotong angin. Otot-otot lengan tuanya menegang dengan urat gelap yang tampak merambat ke bahunya. Di belakangnya, Rinjana Nirnawa mengangkat tongkat sihirnya, bola energi hitam sudah berputar di udara mengelilingi kristalnya.

Jagara Kalagni menggeram sambil menyeringai,“Hoh… Siapa sangka. Si Lodra ‘kaki-panjang’ dari Guild Bayu Geni ternyata sedang main di rumah!”

Rinjana Nirnawa, suaranya ringan seperti mengejek,“Menarik... Aku sudah bosan membakar dusun tak bernama. Tapi kali ini, kita dapat hadiah kejutan...”

Lodra Wahana memutar tongkat besinya sekali. Tubuhnya membungkuk, satu tangan menapak tanah, satu kaki terangkat ringan—posisi bertarung ala kera hutan.

“Kalian salah pilih kampung. Dan salah pilih hari…”

⚔️ Pertarungan Dimulai ⚔️

Jagara Kalagni menerjang lebih dulu. Sabit besar meluncur horizontal, menebas dari samping dengan kekuatan besar. Tanah bergetar setiap kali senjata itu menggesek batu.

Namun Lodra melompat ke samping seperti kera, tangan dan kakinya seolah berpindah-pindah titik tumpu tanpa arah yang bisa ditebak.

CLANG! Tongkat besi menangkis sisi sabit, tubuh Lodra berputar di udara, lalu mendarat di atas tiang pagar rumah yang patah.

Ia menyeringai. “Terlalu berat untuk gerakan lambat begitu, Pak Tua.”

Jagara menggeram dan mengayunkan sabitnya ke atas, memunculkan gelombang sihir gelap memotong tiang—namun Lodra sudah melompat ke atap rumah dan dari sana melemparkan serangan tongkat bertubi-tubi seperti pukulan bertubi-tubi ala kera sakti yang mengincar titik sendi Jagara.

Sementara itu…

Rinjana Nirnawa melangkah ke belakang dan mulai menyiapkan sihir.

“Kepung dia, Umbra Distra!”

Tiga lingkaran sihir hitam muncul di udara, dan dari sana muncul tombak bayangan yang melesat ke arah Lodra.

Namun Lodra mengecoh arah dengan membiarkan tubuhnya jatuh ke depan seolah kehilangan keseimbangan, lalu memutar tubuhnya di udara dan mendarat dengan satu tangan, sambil menggunakan kakinya untuk menendang tombak sihir itu ke arah Jagara!

Jagara: “Hah! Brengsek, kau lempar tombak padaku?!”

Rinjana: “Kalau tak bisa bedakan mana musuh mana teman, mungkin kau perlu ganti sisi, Jagara…”

Lodra: tertawa ringan, bergaya seperti kera mengejek “Wahai Bayawira, kalau kalian saling lempar beginian terus, aku tinggal duduk sambil nonton.”

Mereka bertiga kembali berhadapan. Debu perlahan mereda. Tanah retak, sisa-sisa sihir masih menyala redup. Namun ketegangan justru meningkat.

Rinjana, lebih serius sekarang: “Jadi ini... gaya bertarungmu? Seperti kera tak tahu aturan... Tapi cepat.”

Jagara: “Tapi dia bukan kera biasa. Ini… kera pemburu. Yang tahu kapan harus tertawa, kapan harus menerkam.”

Lodra: menurunkan bahunya, sikap tubuhnya berubah jadi semakin liar, matanya menyala “Kalian tahu… aku tumbuh di hutan liar. Aku berburu harimau hanya dengan tongkat. Dan kalian pikir aku takut pada sabit dan sihir setengah matang?”

Pertarungan belum usai. Lodra bersiap menyerang balik. Bayawira mulai menyadari bahwa mereka menghadapi bukan sekadar Kapten...Tapi seorang legenda hidup yang telah menjelajah dan bertahan di medan paling buas.

Tiupan angin membawa debu bercampur bara kecil dari rumah-rumah yang terbakar. Sementara di tengah reruntuhan itu, tubuh Kapten Lodra Wahana tampak perlahan diselimuti aura yang tak kasat mata bagi orang biasa—namun bagi mereka yang mengenal khodam, aura itu seperti gemuruh petir yang mendesis.

Dari tongkat besi yang ia genggam, terlihat kilau samar berwarna tembaga keemasan memancar ke sekeliling tubuhnya. Suatu bentuk energi purba yang membentuk siluet besar di belakangnya—sosok manusia kera berwajah bengis, berdiri di dua kaki, tangan panjang bergelantungan dengan bulu seperti kawat panas yang berdiri. Matanya menyala, dan dari mulutnya terdengar suara tawa garang… tawa Lodra sendiri.

Lodra Wahana mengayun bahunya pelan, kemudian berkata pada dua lawannya:“Kalian sudah buat cukup keributan. Tapi sekarang giliran… kera-nya turun tangan.”

Jagara Kalagni, bersiap dengan sabit besar—namun dalam sekejap, Lodra sudah menghilang dari pandangannya. Hanya satu suara yang terdengar:

BLETTAKK!!

Satu pukulan keras menghantam perut Jagara dari sisi kanan, tubuh kekar itu melengkung seperti busur, terangkat.

BRAAK!! Pukulan kedua menghantam dagunya dari bawah, membuat sabitnya terlepas dari tangan.

DUGG! Lutut Lodra menghantam tulang rusuknya.

TAAK!! TAAK!! Dua pukulan telapak kiri dan kanan menghantam sisi kepala Jagara berselang sekejap seperti tabuhan gendang.

Tubuh Jagara terpental keras ke belakang seperti boneka tumbukan, menghantam Rinjana Nirnawa yang tengah menyiapkan mantra berikutnya. Keduanya jatuh berguling, debu mengepul, dan suara dentuman membelah udara malam.

Lodra berdiri dengan satu tangan memegang tongkat, tangan lain digaruk ke kepalanya, lalu tertawa keras, nyaring, liar… seperti kera di atas dahan. Matanya kini tampak berbeda. Dalam sorotnya ada kelicikan khas binatang buas yang tahu bahwa ia adalah pemburu terbaik di hutan.

Lodra (dengan suara usil): “Heheh… ayo bangun… masak baru begitu udah tidur siang?”

Jagara dan Rinjana bangkit. Darah menetes di pelipis, tapi aura sihir mereka semakin padat. Sementara itu, dari sisi gang dan jalan desa, bandit-bandit Bayawira mulai menyerbu.

“Serbu dia! Bakar semua!!”

Lima, enam, lalu sepuluh bandit berpakaian hitam menyergap dari segala arah, membawa belati, pedang, dan tombak sihir kecil. Beberapa mengangkat tangan, melontarkan semburan sihir api dan peluru hitam ke arah Lodra.

Namun…

Lodra memutar tongkatnya, melenting ke udara seperti kera melompat dahan, lalu:

DUG DUG DUG DUG!!

Ia menjatuhkan pukulan dan tendangan beruntun dari atas ke arah bandit-bandit itu. Setiap serangannya tidak hanya memukul, tetapi menciptakan getaran aneh dari kekuatan khodamnya yang menghantam langsung ke syaraf dan pernapasan.

Bandit pertama terkapar, senjatanya terpental. Bandit kedua mental menabrak pohon dan tak sadarkan diri. Tiga bandit lain berlari, namun Lodra mengayunkan tongkat ke tanah: GUBRAK!Gelombang kecil seperti hempasan angin liar menerbangkan mereka ke belakang pagar bambu.

Dalam waktu kurang dari satu menit, semua bandit pelengkap terhempas. Hanya tinggal Jagara dan Rinjana yang kini berdiri kembali… dengan napas berat, tubuh memar, dan tatapan semakin serius.

Jagara: “Ini... Ini bukan pertarungan biasa… Khodam-mu… itu… makhluk liar…”

Rinjana: “Dia bukan hanya Kapten... dia monster berpakaian manusia.”

Lodra: menepuk dadanya, masih dengan gaya usil “Dari kecil aku gak pernah diajarin sopan. Tapi aku tahu satu hal: lindungi rumah, dan buat maling lari kelabakan!”

Khodam kera sakti di belakang Lodra tampak semakin jelas. Kaki dan tangannya terangkat sedikit dari tanah, telapak tangannya menari-nari di udara seperti menyambut ronde berikutnya.

Langit malam mendung… seperti menyimpan badai. Tapi badai yang sesungguhnya sedang berdiam di tubuh Lodra Wahana—dan dua Wakil Kapten Bayawira Selatan tahu… ini belum puncaknya.

Angin mendesis. Tanah bergetar. Suara mantra menggetarkan udara.

Jagara Kalagni memutar sabit besar hitamnya ke atas, menciptakan pusaran bayangan di langit. Darinya turun tombak-tombak kegelapan yang menghunus arah tanah—setiap tombak bagaikan anak panah neraka yang tertanam mantra pelemah tubuh.

Sementara itu, Rinjana Nirnawa—dengan rambut keperakannya yang melayang karena energi sihir—mengangkat tongkatnya tinggi. Dari ujungnya, muncul lingkaran mantera bersusun tiga yang menyala ungu kebiruan. Dia berbisik:

Mantra Pemecah Roh... Gabunganku dan dia... Serap seluruh celah tubuhnya...

Tiga lingkaran itu melepas sinar hitam berputar, mengarah ke tubuh Lodra, berusaha menembus lapisan pelindung khodam.

Jagara: “Kita akhiri dia sekarang!

Rinjana: “Bersiap... pecahkan pertahanannya, aku akan menyegel khodamnya!”

Namun, di tengah derasnya serangan, Lodra Wahana hanya berdiri santai. Ia memutar tongkat besinya seperti sebatang kayu dalam tarian atraksi. Wajahnya dipenuhi senyum miring usil, matanya bersinar jenaka namun tajam. Saat tombak-tombak kegelapan mendekat, ia melompat ke depan seperti seekor kera liar yang lepas dari rantai.

TANG! — tongkatnya menepis tombak pertama. TING! — ia membalik badan, sabetan sabit Jagara mengenai tongkatnya dan terpental. TRINGGG!! — semburan sihir Rinjana mengenai tanah, karena Lodra sudah berputar di belakang Jagara.

Gerakan Lodra begitu lincah, seperti menari di antara hujan panah. Ia berputar, berguling, melompat, menendang, dan sekali-sekali mengelak dengan gaya yang terkesan menggoda dan main-main.

Lodra (sambil tertawa): “Ayo dong! Ini serangan gabungan? Kok rasanya kayak latihan senam pagi! Hahaha!”

Jagara meraung, sabitnya menyala dengan aura kemarahan. Ia menyerbu kembali, membelah udara dengan gerakan sabit besar ke arah leher Lodra.

Namun—Lodra memutar tongkatnya ke bawah, bertumpu di ujung, dan membalik tubuhnya ke atas, menendang kepala Jagara dengan kedua kakinya seperti seekor kera akrobat.

BRAKK! — Jagara terpental ke belakang. SRAK!! — Lodra mendarat dengan satu tangan di tanah, lalu melompat ke arah Rinjana.

Rinjana melepaskan mantra gelombang mental, tapi Lodra memutarkan tongkatnya begitu cepat hingga tercipta pusaran energi yang memecah gelombang sihir itu ke samping.

Rinjana: “Bagaimana mungkin dia bisa… mengimbangi dua penyihir… hanya dengan satu tongkat bodoh itu!?”

Lodra (dengan gaya santai, sambil menirukan suara perempuan): “Ih… tongkat ini gak bodoh, sayang. Dia lebih setia dari pada cowok-cowokmu yang kabur duluan.”

Aura khodam Lodra kini tampak makin kuat. Siluet manusia kera di belakangnya bergerak seirama dengan tubuhnya, dan setiap gerakan Lodra kini seperti didorong oleh dua kekuatan: tubuhnya sendiri dan kekuatan khodam-nya yang meledak-ledak.

Ia menari. Ia bertarung. Ia mengolok.

Jagara dan Rinjana kini mulai panik— kekuatan mereka besar, namun gaya bertarung Lodra seperti liar tapi terkendali, penuh logika namun kacau di permukaan, membuat mereka tak bisa membaca gerakannya.

Lodra (serius, untuk pertama kalinya): “Kalian tahu... Aku bisa habisi kalian sekarang. Tapi jujur aja…”“Aku pengen main lebih lama.”

"Sama seperti kera yang belum puas goyang pohon."

Lodra menghentakkan tongkatnya ke tanah.

Seketika lingkaran aura berbentuk telapak tangan kera muncul dari tanah, menyentak ke atas dan menghantam Jagara dari bawah.

BLARRR!!

Jagara terangkat ke udara dan jatuh menghantam atap rumah warga yang sudah terbakar.

Rinjana mencoba kabur, namun aura khodam Lodra sudah melompat dan menampakkan diri sebagai siluet di belakangnya—melengkung seperti sedang tertawa dan bersiap menyerang.

Lodra: “Hooop! Eits! Mainnya belum selesai, Nona Rambut Perak!”

Pertempuran belum berakhir—tapi kini peran sudah berbalik. Bukan lagi Jagara dan Rinjana yang memburu korban. Tapi mereka yang sedang diburu… oleh seekor kera sakti dalam wujud manusia—dan kekuatan Guild Bayu Geni yang tak bisa diremehkan.

"Muka-Muka Lelah, Bayangan yang Datang"Pertarungan di Arunaswara mendekati titik genting…

Asap mengepul. Bara-bara api masih menyala di puing rumah warga.Langkah kaki Jagara terseok, pundaknya penuh luka lebam, wajahnya kotor oleh debu dan darah. Di belakangnya, Rinjana menahan tangannya yang bergetar hebat, aura sihirnya nyaris habis terkuras.

Jagara (tersengal):“Kita tak akan menang… Orang ini… bukan manusia biasa…”

Rinjana (gemetar):“Dia... bermain-main... dari awal. Gila... Dia gila.”

Namun saat mereka mulai berbalik untuk kabur, suara tawa kecil terdengar... menggelitik namun menakutkan.

Lodra (dengan nada kera nakal):“Heiii! Sudah mau pulang? Kok baru bentar mainnya...”

TONGKAT BESI ITU KEMBALI BERPUTAR.Tubuh Lodra melayang rendah, gerakannya seperti tarian kera dalam hutan yang sedang mengejar mangsanya. Aura khodam di belakangnya semakin liar—siluet manusia kera melompat-lompat dalam bayangan.

DOOM! DOOM! DOOM!Suara langkah Lodra makin dekat. Gerakannya seperti tak kenal lelah.

Para bandit sisa, melihat Jagara dan Rinjana hendak kabur, berusaha menghadang Lodra. Puluhan orang bersenjata menyerbu sekaligus.

ZRAKK!!Lodra memutar tongkatnya secara horizontal, menciptakan pusaran angin pendek—melambungkan tubuh-tubuh bandit itu ke udara seperti daun kering.

BRAAK! PRAAK! TUMP!!Satu persatu tubuh bandit menghantam tanah, tak sadarkan diri.

Lodra (sambil berjalan santai, menjentik lidah):“Ah, kacian... Baru nyenggol sedikit udah tepar. C'mon, Jagara, kita belum selesai, kan?”

Jagara dan Rinjana semakin panik.Mereka mencoba mengaktifkan mantra kabur dari jubah tempur masing-masing—lingkar teleportasi mulai terbentuk di bawah kaki mereka.

Namun, tepat saat mantra itu hendak aktif—

CRAAAK!

Lodra melompat dan menghantam tanah di depan mereka dengan tongkatnya, menghancurkan lingkar teleportasi dan menghentikan proses kabur mereka.

Lodra (tertawa usil):“Hehe, belum izin pamit kok udah ngilang…”

Tiba-tiba… udara jadi berat.Suhu turun drastis. Cahaya di sekeliling padam seketika.

ZUUUUUMMM!!

Ruang seakan membelah.

Dari udara, sebuah retakan sihir terbuka… dan dari sana, seorang pria tua berjubah biru tua melangkah keluar.Wajahnya tenang namun penuh tekanan. Matanya menyala lembut seperti bara dingin. Di belakangnya—mantra teleportasi bercahaya seperti lingkaran cakra kuno.

Rinjana (terkejut, penuh harap):“K-Kapten! Resi Wighna…!”

Resi Wighna Laksa, Kapten Bayawira Selatan.

Ia mengangkat tangan. Simbol rumit muncul di udara—seperti jaring yang terbuat dari cahaya ungu pucat. Simbol itu menyebar seperti jala ke segala arah.

Seketika aura khodam Lodra menghilang.Siluet manusia kera di belakangnya mengerang, lalu terurai seperti debu, diserap oleh jaring itu.

"ZRRRAAAKK!!"

Lodra terkejut—matanya melebar. Energinya runtuh seketika.

"BRUUUKK!!"

Tubuhnya terpental keras ke belakang, menabrak dua rumah yang sudah hangus dan roboh. Debu membumbung tinggi.

Hening. Sangat hening.Suara jangkrik pun mendadak lenyap.

Jagara dan Rinjana segera mendekat ke Resi Wighna, keduanya bersujud hampir roboh, napas tersengal.

Jagara (terbatuk):“Kami… gagal. Dia terlalu... aneh. Kekuatan fisiknya... dan khodam itu…”

Resi Wighna:“Sudah cukup. Ini bukan waktunya balas dendam pribadi. Misi kalian selesai.”

Sementara itu, di reruntuhan rumah—

Lodra bangkit perlahan.Darah menetes dari pelipisnya. Dahinya sobek, napasnya berat. Tangannya masih menggenggam tongkat, tapi kini tak ada aura khodam mengitarinya.

Lodra (berbisik, senyum tipis):“Heh... Jadi akhirnya keluar juga si rubah tua itu…”

Resi Wighna menatapnya. Dalam tatapan itu, tidak ada kemarahan, hanya keteguhan.

Resi Wighna (datar):“Kapten Lodra… permainanmu cukup. Jangan rusak batas perang yang belum diumumkan.”

Lodra (menatap balik, pelan):“Kalau kau nggak datang, aku bisa patahin sabit anak buahmu itu, tahu nggak...?”

Senyap. Mereka hanya saling menatap. Dua kekuatan besar… dua dunia… bersiap bertemu di medan yang lebih besar.

KILAS BALIK — 23 Tahun yang Lalu di Bukit Prabayan, Mandalagiri Selatan

Langit senja menyapu padang ilalang di sekitar situs kuno Bukit Prabayan. Gemerisik daun terdengar ketika seorang anak kecil berlari menuruni lereng bukit, tangannya menggenggam sebuah tongkat kayu panjang yang nyaris sebesar tubuhnya sendiri.

Tubuhnya kurus, pakaian compang-camping, namun matanya… menyala dengan rasa ingin tahu dan semangat liar.

Anak itu (teriak):“Hei! Aku nemu batu ukir naga! Di sebelah batu yang retak itu! Mungkin itu pintu kuil kuno!”

Di kejauhan, Resi Wighna Laksa sedang berdiri di bawah pohon beringin tua, mengamati situs kuno bersama murid-muridnya. Ia mengenakan jubah resi berwarna biru tua, dengan tongkat kristal di tangannya.

Ia mendongak dan melihat bocah itu mendekat… menyeruak tanpa malu ke tengah lingkaran muridnya.

Lodra kecil (sambil ngos-ngosan):“Namaku Lodra! Aku petualang! Kalian dari Sekte Prabayan, ya? Kalian bisa buka kuil kuno ini? Ajari aku sihir! Tapi jangan suruh aku duduk diem, ya!”

Para murid Resi Wighna tertawa. Salah satu dari mereka, seorang remaja sombong, berseru:

Murid: “Hahaha! Petualang? Dengan tongkat sapu? Sana balik main lumpur, bocah!”

Lodra mencibir, lalu berputar-putar memutar tongkatnya dan menghantam ujung kaki remaja itu. Anak itu terjatuh dan terkejut.

Lodra (nyengir): “Tongkat sapu? Ini ‘Pukulan Naga Liar’, tahu?!”

Wighna tertarik. Ia maju perlahan dan menatap Lodra lekat-lekat.

Wighna (tenang): “Siapa orang tuamu, nak?”

Lodra (menunduk, pelan): “...nggak ada. Udah nggak ada semua. Aku jalan sendiri. Aku nyari kuil tua, sejarah... dan... petualangan.”

Wighna memejamkan mata. Saat ia membuka kembali, pandangannya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Ia melihat bayangan samar yang mengelilingi Lodra—sebuah khodam liar, belum bangkit, namun aura primitifnya mengendap kuat.

Wighna (pada dirinya sendiri): “Khodam... bentuk primata... liar, tapi terikat. Belum bangkit. Anak ini bukan orang biasa.”

Malamnya, Wighna berdiskusi dengan para tetua padepokan dan memutuskan satu hal—anak itu boleh tinggal dan belajar.

✦ MINGGU-MINGGU BERIKUTNYA

Lodra tinggal di padepokan. Namun latihan sihir benar-benar tidak cocok dengannya. Ia gagal membuat bola api, mantranya kacau, dan sering membuat pecah kendi air atau membakar gulungan kitab mantra.

Namun... dalam hal latihan fisik dan pertarungan tongkat...

Dia tak tertandingi. Ia menciptakan gaya bertarung sendiri—menggabungkan lompatan acak, putaran tongkat, dan akrobat liar.

Para murid lain mencibirnya sebagai:

“Anak kera yang tak bisa baca mantra.”

Namun Wighna hanya tersenyum. Ia tahu… di dalam tubuh bocah itu tersembunyi sesuatu yang bahkan para murid terbaiknya tak miliki—kebebasan.

Wighna (kepada Lodra, suatu malam): “Kau memang tidak cocok dengan mantra, Lodra. Tapi... sihir bukan hanya tentang ucapan. Ia tentang kehendak. Dan kehendakmu, lebih keras dari besi.”

Lodra (menatap Resi dengan kagum): “Aku nggak ngerti banyak soal sihir, Resi... tapi aku tahu... saat aku bertarung, aku merasa... hidup.”

✦ AKHIR KILAS BALIK

Hari itu tiba, saat Lodra remaja memutuskan pergi. Ia mengemasi tongkatnya dan mencium tangan gurunya.

Lodra (serius, tak seperti biasanya): “Aku akan keliling Mandalagiri. Cari kuil tua, artefak, dan... mungkin khodamku bakal bangun di jalan itu.”

Wighna (menatapnya dengan lembut): “Jika kau menemukan kebenaran... jangan lupa jalan pulang.”

Dan sejak itu, mereka tak pernah bertemu lagi...Hingga 23 tahun kemudian...Di medan pertempuran, di bawah langit yang mulai runtuh oleh pertarungan, dua orang dari masa lalu kembali berhadapan.

Setelah Terhempas oleh Sihir Misterius — Lorong Rumah Warga Arunaswara

Asap dan debu beterbangan.Tubuh Lodra Wahana tertanam di reruntuhan dinding rumah warga yang hancur. Darah menetes dari pelipisnya. Aura khodamnya menghilang seketika, membuat tubuhnya terasa lemas, seperti dipaksa keluar dari alam liar tempat ia merasa paling hidup.

Langkah kaki terdengar mendekat… pelan tapi mantap.

Dari balik bayangan, muncul sosok berjubah biru gelap, bersinar tenang di tengah kekacauan.Di dadanya, jelas terlihat lambang Ular Berkepala Dua—lambang Bayawira.

Lodra (membeku, suara tercekat):“…tidak mungkin…”

(Ia mendongak perlahan, matanya melebar)“Resi… Wighna?”

Wighna Laksa berdiri tegap.Sorot matanya tidak berubah: tenang, dalam, dan tak tertebak.Namun tubuhnya memancarkan aura seorang pemimpin tempur. Bukan lagi seorang guru spiritual di bukit terpencil.

Lodra (berdiri tertatih, bibirnya bergetar antara marah dan bingung):“Kau… kenapa... kau di sini? Di pihak mereka?!”“Kau... Kapten Bayawira?! Sejak kapan kau… menjadi musuh Mandala Giri!?”

Wighna tidak menjawab segera.Hanya menatap Lodra… seolah memandangi murid lamanya yang kini telah menjadi makhluk liar berbalut petualangan dan kekuatan khodam.

Wighna (lirih):“Sudah lama, Lodra…Mandalagiri berubah... jauh dari yang kita kenal di Bukit Prabayan.”

Lodra menggertakkan giginya.Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar, bukan karena sakit……tapi karena kekecewaan.

Lodra:“Aku mencarimu… bertahun-tahun.Aku pikir kau mati... atau disembunyikan istana...Tapi kau... ternyata memilih melawan segalanya yang pernah kita lindungi?”

(Mata Lodra berkaca-kaca, suara serak penuh luka lama):“Kenapa tidak pernah kembali ke Prabayan?! Kau tinggalkan semua... bahkan aku!”

Wighna melangkah mendekat, perlahan.

Wighna:“Karena aku tahu…kalau aku kembali… aku tak akan bisa mengajarimu kebebasan.Dan karena dunia ini tidak cukup sederhana untuk memilih satu sisi saja.”

Angin malam berhembus.Debu dan asap mengepul di antara mereka berdua —dua jiwa dari masa lalu yang kini berdiri di kubu berlawanan, terikat sejarah yang belum selesai.

Lodra (menunduk, lalu tersenyum pahit):“Heh… ternyata benar,bahkan guru bisa berubah jadi teka-teki yang tak bisa kutemukan jawabannya.”

(Ia menatap tajam, kini suaranya datar):“Kau datang… menyelamatkan mereka. Bukan untukku.”

Wighna hanya diam.Namun dalam diamnya…Ada duka, ada beban, dan ada kenangan yang tidak bisa ia buang.

Wighna (dalam hati):"Maafkan aku, Lodra. Kau terlalu liar untuk kurantai… dan aku terlalu penakut untuk menantimu. Tapi hari ini, kita bertemu lagi… bukan sebagai guru dan murid."

Lodra Wahana masih berdiri terpaku.Darah di pelipisnya mulai mengering, namun sorot matanya kini dipenuhi amarah, kecewa, dan rasa kehilangan yang menumpuk selama puluhan tahun.

Resi Wighna Laksa berdiri diam, tapi akhirnya membuka suara.

Wighna (pelan, lirih tapi jelas):“Kau ingin tahu... kenapa aku berdiri di sini?Di pihak yang kau anggap pengkhianat?”

Ia menatap lurus ke arah Lodra.

“Karena aku... pernah menjadi alat dari kebusukan istana yang kau bela.”

Kilasan Ingatan — 5 Tahun Lalu, Kota Tirabwana

Wighna narasi dengan suara datar, mata menerawang jauh ke masa lalu:

“Saat itu aku adalah ahli sihir, tabib, dan penasihat spiritual di lingkungan istana Tirabwana.Aku melayani keluarga kerajaan dengan setia……sampai suatu hari, Pangeran Mahkota Aryasatya menginginkanku melakukan sesuatu yang keji.”

Gambaran wajah muda Pangeran Aryasatya muncul—dingin, penuh perhitungan.

“Ia membenci seorang saudagar bangsawan yang terlalu berani menentangnya dalam sidang istana.Maka dia menyasar anaknya… Ardika.Pangeran memerintahkan aku… untuk mengirim teluh padanya.”

Lodra (menyela pelan, ngeri):“Anak Itu...? Kau… benar-benar...”

Wighna (tegas):“Aku menolak. Berkali-kali.Tapi ancamannya lebih dalam dari sekadar kehilangan jabatan.”

flashback: Wighna dipaksa, diawasi, bahkan diancam oleh Sangbra Witanta, pasukan rahasia pangeran.

“Jika aku menolak, bukan hanya aku yang mati. Tapi semua muridku, termasuk para tabib lainnya, akan dihabisi secara diam-diam.”

Lodra diam. Mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar.

Wighna (lanjut):“Akhirnya aku melakukannya.Aku kirim teluh dari balik gerbang istana……dan melihat Ardika jatuh tak bernyawa di taman. Tubuhnya kejang, mata membiru…”

“Lalu, untuk menutupi jejak, mereka butuh kambing hitam.”

Lodra mengepalkan tinjunya. Ia sudah bisa menebak ke mana cerita ini mengarah.

Wighna:“Tentara bernama Nagari, atas perintah Sangbra Witanta, mengatur agar Perwira Muda Prayogi Mahadipa dijadikan pelaku.Keris miliknya diletakkan di samping jenazah Ardika. Semua tampak sempurna.”

“Dan Prayogi... tidak diberi waktu membela diri. Ia dihukum, diseret, dituduh pengkhianat, dan lenyap dari catatan istana, dia dipenjara.”

Kembali ke Wighna dan Lodra – Malam di Arunaswara

Lodra menunduk. Wajahnya muram. Ia ingat nama Prayogi. Salah satu tentara muda paling bersih, yang sempat ia kagumi saat muda, namun belakangan ini kecewa karena dia adalah Kapten Bayawira Timur.

Lodra:“Jadi... itu sebabnya kau keluar? Kabur? Gabung dengan Bayawira?”

Wighna:“Aku tak kabur. Aku berhenti percaya.Di balik keagungan Mandalagiri... ada busuk yang membunuh anak bangsawan yang terpandang, mengkambinghitamkan prajurit sendiri, dan membungkam siapa pun yang berpikir berbeda.”

“Bayawira adalah tempat terakhir di mana aku bisa menebus diriku sendiri.Di mana aku bisa melindungi… bukan hanya tunduk.”

Lodra menggertakkan gigi.Matanya penuh amarah… tapi bukan pada Wighna.Amarah itu kini menyasar mereka yang duduk di singgasana.

Lodra (pelan):“Dan mereka… masih hidup tenang di atas takhta.”

Wighna (mengangguk pelan):“Sementara kita… mengubur tubuh dan harga diri.”

Angin malam berdesir dingin, obor di kejauhan redup.Lodra masih diam, tapi tatapannya kini berubah—dari marah menjadi penuh luka dan kebimbangan.Wighna melanjutkan, suaranya lirih namun padat emosi.

Wighna:“Kau pasti masih ingat dengan… mendiang Jagat Arunika.”

Lodra perlahan menengadah.Nama itu mengguncang dadanya.Ia menyempitkan mata, tak menjawab, tapi Wighna tahu: Lodra mengingatnya.

“Dia adalah Kapten Mandala Utama di Guild Bayu Geni.Tangan kanan Adipati Maheswara…Juga… sahabat petualangmu. Bukan begitu, Lodra?”

Lodra menarik napas berat.

Lodra:“…Ya. Dia bukan hanya sahabat.Dia kakakku dalam jiwa petualangan.Pendekar yang menjunjung kebenaran lebih tinggi dari pangkat atau hidupnya.”

Kilasan Masa Lalu — 5 Tahun Silam

Wighna (narasi):“Saat itu, Bayu Geni baru berumur enam tahun.Jagat Arunika—dengan kecerdasannya—mendapat akses ke laporan-laporan rahasia.Dan dia… menemukan sesuatu yang mengejutkan.”

Adegan flashback: Jagat Arunika membaca dokumen dan memeriksa tubuh Ardika diam-diam, menggunakan teknik pembacaan jejak sihir.

“Dia menemukan sisa teluh—tidak berasal dari sembarang ilmu hitam. Tapi milik...ku.Tapi dia tahu aku bukan pelaku jahat.Dia tahu… aku dipaksa. Dan lebih dari itu… dia tahu Prayogi Mahadipa tidak bersalah.”

“Jagat ingin mengungkapkan semuanya kepada Adipati Maheswara. Tapi sebelum ia sempat berbicara, gerakannya sudah tertangkap oleh… Sangbra Witanta.”

Bayangan Sangbra Witanta muncul di benak Lodra—pasukan khusus pangeran aryasatya, sosok licik, dan penuh siasat gelap, Pemipin Faksi Pangeran Aryasatya.

“Pangeran Aryasatya memberikan ‘misi khusus’ kepada Jagat Arunika.Tugas yang terdengar mulia.Adipati Maheswara… sahabatnya… tak mencurigai apa pun dan menyetujuinya.”

Wighna menatap Lodra tajam.

“Tapi itu… perangkap.Di wilayah pegunungan sepi, dia disergap dan dilemparkan ke jurang.Jenazahnya tak ditemukan.”

Penutupan Kasus

“Pihak istana buru-buru menutup kasusnya.Kecelakaan, katanya.Tak ada yang boleh ribut. Tak ada yang boleh bertanya.Adipati Maheswara… hanya bisa menangis.Tak bisa berbuat apa pun.”

Lodra menggertakkan gigi. Ia mengingat malam duka itu.Ia menangisi Jagat Arunika... tanpa tahu cerita sebenarnya.

Namun Cerita Tak Berakhir di Jurang Itu…

Wighna melanjutkan, matanya mulai basah.

“Tapi Jagat belum mati.Aku yang menemukan tubuhnya.”

Lodra terkejut.

Lodra:“Apa…?!”

Wighna:“Ia jatuh, tapi tertahan di tebing. Luka parah, namun masih hidup.Ia dirawat… oleh kakaknya—Jagatmarma, di sebuah gua dekat tempat jatuhnya.”

 Wighna masuk gua remang, melihat Jagat Arunika terbaring dengan luka dalam, napas tersengal, tubuh penuh darah.Jagatmarma, sang kakak yang jarang bicara, menunduk di sisinya.

“Aku menceritakan segalanya pada Jagatmarma. Tentang teluh.Tentang Prayogi. Tentang pangeran Aryasatya. Tentang semua kebusukan itu.”

“Jagatmarma… diam. Tapi matanya menyala.Kemarahannya begitu besar, Lodra. Tapi wajahnya… tetap tersenyum.Senyuman yang dingin, palsu, menyembunyikan badai.”

Lodra perlahan mundur satu langkah.Pikirannya berkecamuk.

Lodra (berbisik):“Jadi selama ini…Semua yang aku anggap kehormatan…Dibangun di atas… pengkhianatan dan kemunafikan?”

Wighna (tegas):“Ya.Dan aku memilih pergi… sebelum kebusukan itu memakan jiwaku sepenuhnya.Aku dianggap pengkhianat.Tapi sesungguhnya... aku hanya menolak menjadi anjing istana.”

Penutup Sementara

Lodra berdiri dalam keheningan.Dua nama kini bergaung dalam benaknya: Jagat Arunika dan Prayogi Mahadipa.Dan dua perasaan kehilangan… dan kebencian.

Malam terus bergulir.Tapi sesuatu di dalam Lodra telah pecah… dan tak bisa disatukan kembali.

Markas Bayawira — Gua Mandalagraha

Di jantung pegunungan Mandalagraha, tersembunyi sebuah gua sunyi yang diubah menjadi pusat perintah kelompok rahasia Bayawira.Batu-batu besar berdiri seperti pilar. Obor biru menyala tenang di dinding gua.

Siluet seorang pria tinggi berdiri di depan cermin kabut—sebuah alat pengintai gaib.Ia mengenakan topeng hitam pekat yang menutupi seluruh wajahnya, menyisakan hanya sepasang mata yang bercahaya redup, tajam seperti pisau.

Dalam pantulan kabut: Percakapan antara Lodra Wahana dan Resi Wighna Laksa tampak jelas.Setiap kata, setiap tarikan napas, tak ada yang luput.

Pemimpin Tertinggi (dalam hati, dingin):“Wighna... Wighna… kau terlalu banyak bicara… Ya Ampun...”

Langkah kaki terdengar dari belakang. Seorang pria tua berbadan besar bersandar pada tombak ukiran naga, rambutnya terikat ke belakang.Dia tertawa keras, suara menggema di seantero gua.

Jagatmarma:“Hahaha! Aku sudah bilang, dia tidak bisa diam.Wighna itu seperti api kecil yang suka menyulut jerami di malam hari. Membakar diam-diam.”

Pengungkapan Identitas — Sang Pemimpin Melepas Topengnya

Pria bertopeng itu menatap pantulan untuk terakhir kalinya, lalu mengangkat tangan…

Srekk…

Topeng itu dilepas perlahan.Cahaya biru dari obor menyinari wajah di baliknya.Rambut gelap terurai ke pundak, bekas luka samar terlihat di pipi kiri.Sorot mata yang dulu bersinar karena idealisme… kini menyala oleh perhitungan dingin.

Jagat Arunika.Masih hidup. Masih tegak berdiri.Dialah Pemimpin Tertinggi Bayawira.

Jagat Arunika (lirih, dingin):“Sudah cukup bermain bayang-bayang.Kalau kebenaran harus muncul, biarlah muncul sebagai petir, bukan bisikan.”

“Tapi sayang… Resi Wighna terlalu terbawa angan.Dia lupa… kita bukan lagi orang-orang lama yang bisa bersandar pada ‘harapan’.”

Jagatmarma berjalan mendekat, matanya menyipit penuh canda.

Jagatmarma:“Kau terlalu serius, adikku.Wighna hanya menyiram bara yang sudah membara.Mungkin sudah waktunya kita buka pintunya… biar semua tahu aroma busuk itu dari mana.”

 Dialog Bersaudara — Beban dan Dosa Masa Lalu

Jagat Arunika duduk di singgasana batu. Ia memejamkan mata sebentar, lalu membuka dengan suara berat:

Jagat Arunika:“Katakan padaku, kakak…Kenapa aku?”

“Kenapa aku yang harus jadi pemimpin Bayawira?Kenapa bukan kau, yang lebih kuat? Lebih…? Ehh... tapi kau tidak pantas sih, sifat kau terlalu kekanak-kanakan.”

Jagatmarma tidak langsung menjawab. Ia menatap adiknya lama.Lalu ia tertawa… namun tawa yang menyimpan luka.

Jagatmarma (pelan):“Karena aku penyimpan luka, bukan pembakar jalan.Karena aku tahu cara membenci…Tapi kau tahu cara memimpin kebencian itu menjadi arah.”

“Kau selamat dari jurang kematian, Nika… bukan untuk sembunyi.Tapi untuk… menghancurkan istana yang membuatmu mati dalam catatan sejarah.”

Petir menyambar di luar gua.Gema ledakannya menggetarkan dinding batu.Jagat Arunika bangkit, memandangi lorong keluar markas.

Jagat Arunika (pada dirinya sendiri):“Lodra… sahabat lamaku…Akankah kau ikut bersamaku, atau akan kau biarkan sejarah mengulang kehancuran yang sama?”

Desa Arunaswara — Tengah Malam Pasca Serangan

Latar: Asap masih mengepul dari reruntuhan.Cahaya obor dan lentera menggantikan langit yang gelap pekat.Tenda-tenda didirikan tergesa. Warga yang terluka dirawat dengan peralatan seadanya.Jerit tangis, suara batuk, dan desah kesakitan bersahut-sahutan.

**Derap langkah terdengar dari arah selatan desa—pasukan bersenjata lengkap datang terburu-buru.Baju zirah mereka menandakan identitas: Patroli Mandalagiri Selatan.Mereka baru tiba. Terlambat.

Prajurit A (menyeru):“Segera bantu warga! Bawa yang luka ke tenda perawatan! Bagi regu jadi tiga jalur! Cepat!”

Lodra Wahana, wajahnya berlumur debu dan darah, sedang mengangkat balok kayu dari puing rumah yang rubuh.Begitu mendengar langkah pasukan, ia menoleh cepat. Matanya tajam. Ia langsung menghampiri sang pemimpin regu.

Dialog Tegas — Lodra vs Komandan Patroli

Lodra Wahana (geram):“KALIAN DI MANA SAJA?!”

“Ini Mandalagiri Selatan! Kalian punya tanggung jawab di daerah ini!Kami sudah bertarung sampai berdarah! Sampai anak-anak berteriak ketakutan!”

Komandan Patroli (menunduk):“Kami… kami mendapat kabar telat. Ada sabotase sinyal asap—”

Lodra (memotong):“Sinyal asap bisa disabotase, tapi telinga kalian tidak!Desa ini dibakar! Bukan diselimuti kabut!”

Beberapa prajurit menunduk. Suasana menegang.Namun Lodra menarik napas panjang. Ia menatap ke arah para warga yang mulai ditangani.

Lodra (lebih tenang, tapi tegas):“Sudahlah. Kalau kalian benar-benar ingin membantu…Lakukan sekarang. Jangan buat semuanya sia-sia.”

Rumah Lodra Wahana — Rahasia di Tengah Kegelapan

Lodra meninggalkan lapangan perawatan dan menyusuri jalan rusak yang menuju rumahnya di sisi timur desa.Ia mempercepat langkah saat mendengar lolongan anjing dan suara kayu berderak.

Rumah itu tampak hangus sebagian, namun struktur bagian dalam masih utuh.Ia masuk diam-diam, menyalakan lentera kecil, lalu menyibak karpet dan membuka pintu lantai kayu rahasia.

Tangga kayu tua menurun ke ruang bawah tanah—gelap, lembap, dan tersembunyi.Ia menuruni tangga perlahan, lalu menyalakan lentera kedua di bawah sana.

Suara Lodra (pelan, gemetar):“Sekar… Ananda… Ini aku…”

Dari sudut ruangan, terdengar gesekan. Seorang perempuan muda muncul dari balik tirai kain tebal.Wajahnya pucat, namun lega. Di belakangnya, seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun menggenggam pedang kayu.

Sekar (pelan):“Lodra… kau selamat…”

Lodra:“Dan kalian juga…”

Ia memeluk keduanya erat. Dalam pelukan itu, air mata Lodra jatuh, namun tak bersuara.Hanya napas yang memburu, menyembunyikan beban seorang pejuang yang memikul rahasia dan keluarga di tengah bahaya.

Dari celah kecil di dinding atas ruang bawah tanah, cahaya remang-remang bintang terlihat.Langit malam mendung perlahan mulai terbuka.

Namun Lodra tahu… badai belum usai.Dan mulai malam ini, tak hanya bayangan masa lalu yang mengintainya—Tapi juga bahaya baru yang bahkan bisa menghapus segalanya.

Beberapa Hari Setelah Serangan — Desa Arunaswara Pulih Perlahan

Mentari pagi bersinar hangat di atas langit Arunaswara.Desa mulai kembali bernyawa setelah luka yang dalam.Terdengar bunyi palu, seruan kerja, dan tawa kecil anak-anak.

Rumah-rumah yang rusak kini mulai dibangun kembali.Warga dan tentara saling bahu membahu:Mendirikan tiang, menambal atap, mengecat pagar, menyiapkan bahan makanan bersama.Ada kehidupan yang kembali berdenyut, meski trauma belum sepenuhnya sembuh.

Warga A (menyeru):“Angkat kayunya! Tiang ini harus berdiri sebelum sore!”

Tentara muda (tersenyum sambil mengangkat):“Aye aye! Untuk Arunaswara!”

Lereng Bukit di Timur Desa — Lodra Wahana Bertapa

Di bawah naungan pohon besar di lereng bukit kecil timur desa,Lodra Wahana duduk bersila. Matanya terpejam, napasnya lambat.Angin pagi berembus pelan menerpa rambut dan jubahnya.Namun di balik tenangnya tubuh itu—batin Lodra seperti samudra badai.

(Narasi batin Lodra):"Bayawira... semua benang merah ini mengarah pada satu, faksi:Pangeran Aryasatya."

"Awalnya hanya isu politik di istana... tapi sekarang terbukti.Pembunuhan Ardika bukan perbuatan Prayogi Mahadipa. Itu rekayasa.Bukti dibungkam. Jejak ditutup dengan teluh..."

Lodra mengepal tangannya pelan. Napasnya goyah sesaat.

"Dan yang lebih mengiris... guruku sendiri, Resi Wighna Laksa,dipaksa melakukan teluh untuk membunuh Ardika. Lalu karena tidak tahan dengan kebusukan istana dia kabur dan pergi dari istana dan dianggap penghianat dukun sesat dan gelap.Ia menghilang, lalu kini muncul sebagai Kapten Selatan Bayawira..."

"Prayogi Mahadipa, dipenjara, lalu menurut kabar dia melarikan diri dari penjara rahasia. dan Menjadi Kapten Timur Bayawira.Jagatmarma, kakak Jagat Arunika yang dendam dengan percobaan pembunuhan terhadap adiknya, kini menjadi Kapten Bayawira Barat.Dan Arunika sendiri... aku baru tahu dia masih hidup. Tapi di mana? Mungkin dia sedang bersembunyi, karena jika tau dia masih hidup Faksi Pangeran Aryasatya pasti akan memburunya dan membunuhnya sekali lagi untuk menutupi kebenaran."

Lodra membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong ke arah cakrawala.

"Semua ini terlalu dalam. Terlalu busuk.Istana tak lagi layak dipercaya sepenuhnya.Tapi bila aku buka semua ini… bisa jadi kekacauan yang tak terkendali."

"Aku harus simpan dulu kebenaran ini...Untuk saat yang tepat. Untuk orang yang tepat."

Ia menghela napas panjang. Burung-burung terbang melintas di atas langit.Siluet desa Arunaswara yang tengah membangun kembali tampak dari kejauhan.Tapi luka politik jauh lebih sulit diperbaiki dibanding rumah yang terbakar.

"Di tengah pagi yang damai itu, Lodra Wahana duduk dalam sunyi yang berat.Ia tidak tahu bahwa bayang-bayang Bayawira masih menatap dari kejauhan.Dan lebih dari itu—dia tahu yang melahirkan Bayawira adalah Tidakan Kotor dari Faksi Pangeran Aryasatya itu sendiri.setelah mendengar kabar tentang jagat arunika masih hidup… apakah akan segera muncul untuk membalas dendam.Jika muncul Mungkin Bukan sebagai sekutu. Tapi sebagai lawan. Karena Lodra mengerti Bagaimana Sakitnya Jagat Arunika saat ini."