Minggu Terakhir Liburan — Pegunungan Lurangga, Wilayah Utara Mandalagiri
Pegunungan Lurangga, wilayah tinggi berselimut salju abadi,terletak di utara tanah Mandalagiri, tempat asal Darsa Nagawikrama.Udara menusuk tulang, angin menggigit kulit, namun Darsa terus berlatih.
Darsa terlihat bertelanjang dada, tubuhnya berkeringat dan membeku,menebas, menusuk, dan menangkis bayangan musuh imajinasi antara tiupan salju dan bebatuan tajam.
Pedang pendek di tangannya menyala samar dengan aura ungu kelam.Seekor kucing hitam keunguan mengintai di atas batu, matanya bersinar…Itulah Aswangga, khodam Darsa yang bersemayam dalam pedang bernama Sahya.
Aswangga (dalam suara batin lembut dan licik):“Tubuhmu bisa patah. Tapi tekadmu... kukagumi, Darsa.Bahkan aku pun enggan berdebat denganmu di udara sedingin ini.”
Darsa (menggeram pelan):“Diam dan awasi. Kalau kau memang akan jadi bagian dari langkahku,Kau harus tahu… aku tak berhenti hanya karena musim berubah.”
Ia menancapkan pedangnya ke tanah es, lalu memejamkan mata.Aura dari tubuhnya menyatu dengan bayangan Aswangga.Mereka mulai latihan pengendalian khodam: satu tarikan napas, satu gerakan jiwa.Bayangan kucing itu menyatu dengan tubuh Darsa, menciptakan siluet pergerakan cepat dan tajam—ilusi pembantaian dalam keheningan salju.
🧓 Scene: Kemunculan Guru Tua — Tuan Sawung Wilapa
Seorang pria tua berjubah bulu gagak mendaki dengan perlahan.Wajahnya keras, matanya tajam, dan tatapannya membawa wibawa kuno.Ia adalah Sawung Wilapa, guru keluarga bangsawan Darsa yang dulunya melatih para keturunan Nagawikrama.
Ia berdiri menonton latihan itu dalam diam, hingga Darsa menyadari kehadirannya.Darsa menunduk dalam, memberi hormat.
Darsa:“Guru Wilapa… Anda datang.”
Sawung Wilapa (tersenyum tipis):“Kau tidak berubah, Darsa. Masih keras kepala. Masih dingin.Tapi kau telah menjinakkan sesuatu yang tak bisa dijinakkan... hatimu sendiri.”
(ia berjalan perlahan mendekat)“Kau tahu, kebanyakan keturunan bangsawan ksatria memilih jadi tentara,komandan garnisun, kepala patroli, atau pengintai kerajaan.Tapi kau… memilih jalan pendekar bebas. Guild.”(senyumnya sinis namun bangga)“Kau dihina. Dicemooh. Tapi tak sekali pun kau menoleh ke belakang.”
Darsa (tegas):“Aku tak ingin jadi alat. Aku ingin jadi mata pisau.Dan kuasai arah ayunan tanganku sendiri.”
“Guild bukan kumpulan pendekar kampung…Kami akan jadi taring yang tak bisa dikekang.”
Sawung Wilapa (tertawa pendek):“Jika begitu, buat mereka gentar, Nak.Karena dunia tidak pernah mencatat mereka yang berjalan di jalur lurus…Tapi mereka yang menciptakan jalurnya sendiri.”
🌘 Scene: Malam Hari — Tenda Latihan Darsa di Lurangga
Darsa duduk memandang api unggun. Pedangnya tergeletak di dekat kaki.Aswangga melingkar dalam wujud kucing di pangkuannya.Ia menatap langit gelap penuh bintang, udara dingin merasuk ke tulang.
(Narasi batin Darsa):"Minggu terakhir. Lusa aku akan kembali ke Tirabwana.Ke Guild. Ke rekan-rekanku… dan mungkin, ke musuh-musuh yang menyamar sebagai saudara."
"Guild Bayu Geni bukan tempat bermain.Ini jalan menuju badai... dan aku akan berjalan lebih dulu menembusnya."
Darsa Kecil dan Luka Keluarga Nagawikrama
Nama lengkap Darsa: Darsa Nagawikrama
Nama Ayah: Jagatwira Nagawikrama→ Mantan perwira pasukan kerajaan dan Kepala Patroli Mandalagiri Utara.→ Tegas, disiplin, menjunjung tinggi kehormatan ksatria, namun dingin terhadap anak bungsunya.
Nama Ibu: Ny. Sekar Arum → Bangsawan berdarah saudagar dari Tirabwana. Elegan dan berhati keras, menjunjung prestise keluarga.
🏰 Distrik Ksatria, Kota Tirabwana
Darsa lahir dan tumbuh di Distrik Ksatria, kawasan elite tempat para bangsawan prajurit tinggal. Dari luar, keluarga Nagawikrama terlihat sempurna Empat anak lelaki, darah ksatria sejati, dan silsilah panjang penuh prestasi militer.
Namun di dalam rumah, Darsa kecil adalah bayangan yang nyaris tak diakui.
👦 Urutan Kakak Darsa:
Ragindra Nagawikrama→ Kakak sulung, jenius, dingin kepada orang tua, penuh kasih pada Darsa.→ Perwira muda yang disegani bahkan sejak di akademi militer.→ Sosok teladan bagi Darsa, namun tak pernah akur dengan Ayah dan Ibu.
Aswana Nagawikrama→ Kakak kedua, kasar, arogan, sering mengejek Darsa karena dianggap lamban.→ Menjadi Komandan Peleton di perbatasan mandalagiri.
Jayatma Nagawikrama→ Kakak ketiga, sering bersama Aswana membully Darsa.→ Menjadi Kepala Patroli Mandalagiri Utara.
💔 Momen Luka: Darsa Kecil & Kakak Pertamanya
Usia 8 tahun, Darsa sudah menguasai teknik dasar pedang,tapi ia dianggap “terlalu lembek, terlalu lambat, terlalu banyak menangis.”
Jagatwira (Ayah):"Kau tak bisa terus bersembunyi di balik bayangan Ragindra. Ksatria dilahirkan, bukan dilatih dengan air mata."
Hanya Ragindra yang memperlakukannya dengan kasih sayang.Ia yang mengajari Darsa rahasia gerakan, teknik napas dalam bertarung,dan yang sering menenangkannya saat Darsa menangis di taman belakang rumah.
Ragindra:"Jangan dengarkan mereka. Kau bukan lemah… Kau hanya belum tumbuh cukup tajam.Pedang pun harus ditempa dalam bara, bukan hanya dipamerkan di dinding."
⚔️ Tragedi: Kematian Kakak Sulung
Di usia 13 tahun, berita duka datang dari Perbatasan Utara.Ragindra gugur dalam pertempuran melawan pasukan kerajaan seberang.Tubuhnya tidak pernah dibawa pulang, hanya pedangnya yang dikembalikan.
Darsa menangis berhari-hari. Tapi yang ia temui hanyalah sikap dingin.
Ibunya:"Itu harga dari darah ksatria."
Kakak Kedua & Ketiga:"Dia mati seperti seharusnya. Tidak perlu ditangisi berlebihan."
Darsa menjerit dalam diam. Tubuhnya kecil, tapi jiwanya retak. Di tengah malam, saat hujan jatuh di halaman, Darsa menatap pohon tua di belakang rumah. Ia menggenggam gagang pedang kayunya dan berteriak tanpa suara.
Lalu...
👁️ Aswangga Bangkit
Dari balik bayangan, seekor kucing hitam keunguan muncul dalam kabut. Matanya bersinar ganda—sedih dan marah. Itu adalah Aswangga, khodam yang lahir dari kesedihan terdalam dan kemarahan yang membeku.
Tubuh Darsa terselimuti aura gelap tak terkendali, dan dengan satu gerakan tangan kecilnya—pohon besar di belakang rumah hancur terbelah dua, seperti disayat oleh kekuatan tak terlihat.
Darsa pingsan. Rumah keluarga Nagawikrama gempar. Ayah dan Ibunya menganggapnya berbahaya, tapi Guru Sawung Wilapa-lah yang memahami apa yang sedang terjadi.
🔥 Narasi Batin
“Aku tak pernah ingin jadi ksatria kerajaan seperti mereka. Aku ingin menjadi kuat… untuk diriku sendiri, untuk kakakku yang pergi. Untuk membuktikan… bahwa aku bukan bayangan siapa pun lagi.”
“Aswangga, kau terlahir dari luka itu. Maka jangan biarkan luka itu sia-sia.”
Alasan Darsa Berlatih di Lurangga
Musim liburan semester pertama Guild Bayu Geni, sebagian besar anggota guild bayu geni memanfaatkannya untuk pulang kampung, beristirahat, atau melakukan perjalanan santai.
Namun Darsa memilih jalan yang berbeda—dia kembali ke tanah leluhurnya dibanding berkumpul dengan keluarga-nya di kota tirabwana yang nyaman dan pergi ke Pegunungan Lurangga, sebuah wilayah sunyi yang menjadi tempat ibadah dan pelatihan pribadi keluarganya dari garis Nagawikrama.
Ia naik lebih tinggi—ke pelataran batu tempat Ragindra dahulu biasa berlatih sendiri.
🎭 Kekecewaan yang Tersembunyi
Dalam pengumuman resmi Guild Bayu Geni, nama Jasana Mandira disebut sebagai Junior Terbaik Semester Pertama.
“Atas keberanian, ketekunan, dan integritas dalam misi lintas divisi, misi khusus divisi, misi tingkat nasional dan misi-misi lainnya, serta nilai tertinggi dalam ujian praktik strategi dan pertarungan…”
Ruangan aula guild riuh oleh tepuk tangan. Tapi Darsa diam. Matanya menyipit. Rahangnya menegang.
“Anak pandai besi dari Kalabumi. Tanpa guru. Tanpa silsilah. Tanpa darah bangsawan. Tapi mengalahkanku?”
Darsa tumbuh dalam rumah penuh tuntutan, di mana keunggulan bukan sekadar pencapaian—melainkan kewajiban. Kini, dirinya yang berasal dari keluarga ksatria ternama harus mengakui kekalahan dari seseorang yang bahkan tidak pernah tahu bagaimana seharusnya sebuah pedang ditempa oleh para leluhur?
Itu menyesakkan.
🤝 Awal Kedekatan yang Retak
Dulu, Darsa dan Jasana bergaul layaknya kawan seperjuangan. Berlatih bersama, saling bertukar tips membaca gerakan, bahkan makan satu meja dan bercanda seperti saudara seperantauan.
Namun semua berubah dalam beberapa bulan terakhir. Sejak Jasana menyelesaikan beberapa misi lintas divisi dengan hasil gemilang, dan menjadi sosok yang disegani bahkan oleh para Anggota Senior dan Beberapa Kapten Divisi, Darsa mulai menjaga jarak.
“Dia baik. Tapi terlalu terang. Terlalu banyak orang menatapnya. Aku tidak ingin menjadi bayangan lagi.”
Dia mulai menolak misi bersama, memilih misi solo atau hanya bersama Larasmi dan Pratiwi atau bersama anggota senior lainnya. Dalam hatinya, tumbuh rasa cemburu yang mengganggu Jasana tidak pernah merasa perlu membuktikan apa-apa, tapi justru diakui oleh semua orang.
⛰️ Pelarian ke Pegunungan Lurangga
Pegunungan Lurangga bukan tempat sembarangan. Di sinilah para leluhur Nagawikrama dahulu bertapa dan melatih ilmu senyap dalam kabut. Tak ada lentera kota. Hanya udara dingin, batu karang tajam, dan suara gemuruh burung langka yang mengisi langit, hanya ada sebuah desa kecil yang terletak di kaki pegunungan lurangga.
Darsa berlatih sendirian. Setiap malam, ia mengulang gerakan yang diajarkan Ragindra. Ia mengasah teknik-teknik pedang cepat, menguji Aswangga di antara jurang dan badai malam,dan mencoba mengendalikan amukan khodam itu saat ia ingat nama Jasana di dalam pikirannya.
🔥 Narasi Batin (Selama di Lurangga)
"Aku bukan anak lemah yang mereka hina dulu. Aku sudah jauh dari Darsa kecil yang suka menangis itu."
"Tapi mengapa... aku masih merasa kalah darinya? Dari dia, anak dari bengkel besi yang bahkan tak Punya silsilah darah ksatria?"
"Aku akan kembali. Tapi tidak sebagai bayangan siapa pun. Aku akan jadi sinar yang tak bisa ditutupi siapa pun, bahkan olehnya."
Desa Kalabumi, Bengkel Karmawijaya
Sore di Kalabumi diselimuti kabut ringan dan udara hangat tanah basah. Dari kejauhan, dentang logam terdengar menggema dari balik dinding tanah liat dan batu hitam bengkel tua keluarga Karmawijaya.
Di dalamnya, Jasana Mandira berdiri di depan tungku menyala. Tubuhnya berkeringat, wajahnya serius. Kedua tangannya yang berotot tapi penuh bekas luka kini tengah memukul bilah logam berwarna merah darah—logam langit yang baru ia temukan.
🔥 Narasi Aksi dan Emosi
Asap mengepul, api menjilat udara. Logam itu bukan besi biasa—ia berdenyut ringan saat dipukul, seolah hidup. Jasana menekuk pinggang, memaku tatapan ke bilah itu, dan menggenggam palu berat buatan ayahnya sendiri.
DENTANG! Suara palu menghantam logam. DENTANG! Lalu ia berhenti sebentar, menatap tekstur logam yang sedikit membentuk guratan merah menyala.
“Logam ini… tidak hanya keras. Tapi seperti menyimpan sesuatu…”
🌌 Flashback Singkat: Penemuan Logam Langit
Seminggu sebelumnya, Jasana sedang menelusuri Hutan Gantarawati, hutan tua yang banyak ditumbuhi pohon lebat dan bunga aneh berwarna ungu tua. Ia hanya ingin menenangkan pikiran, menyatu dengan alam. Tapi di bawah tebing kecil, ia melihat seberkas cahaya merah keunguan yang memantul dari tanah basah.
Ia menggali, dan menemukan pecahan batu langit—logam aneh yang tak bisa ditembus pisau, tapi ringan dan bersuhu dingin meski di bawah sinar matahari.
Ia membungkusnya dengan kain kulit rusa, dan membawanya pulang.
🛠️ Kembali ke Bengkel – Impian Membentuk Senjata Sendiri
Sambil melanjutkan tempaan, Jasana berbicara pelan pada dirinya sendiri:
“Aku telah menerima banyak… Pedang baja dari Pak Bramasuta… pedang perak dari Kapten Raksadana… bahkan keris sakti dari Mahadewa Rakunti…”
Ia meletakkan palunya sebentar, menatap bilah logam yang mulai membentuk. Lalu berkata pelan:
“Tapi yang ini… akan menjadi milikku. Dari tanganku sendiri. Untuk jalan yang kuambil sendiri.”
👨🏭 Karmawijaya: Sang Ayah yang Mengawasi dalam Diam
Dari sudut ruangan, Karmawijaya, ayah Jasana, duduk sambil mengasah ujung kapak besi.
Ia tidak bicara banyak. Tapi matanya mencuri pandang dari balik asap dan bara.
“Anakku ini keras kepala, tapi api dalam dirinya tidak akan pernah padam. Ia menempa bukan hanya pedang… tapi dirinya sendiri.”
⚒️ Detail Teknis Bengkel
Dinding bengkel hitam karena arang dan jelaga.
Palu dan alat-alat tempaan tergantung di dinding kayu.
Di pojok ada tong air berisi minyak pendingin, tempat Jasana akan mencelupkan logam merah nanti.
Ada tiga senjata tergantung di dinding sebagai simbol perjalanan Jasana
Pedang baja dari Rawasinga.
Pedang perak dari Raksadana.
Keris sakti sebagai media khodamnya media Ardhana.
Jasana kembali mengangkat palunya, dan bersiap memukul sekali lagi. Tetesan keringat jatuh ke bilah logam langit yang membara, dan menguap seketika.
“Aku tak ingin terus memakai warisan orang lain.”
“Jika aku disebut terbaik… maka biarlah ini jadi bukti bahwa aku membentuk jalanku sendiri.”
DENTANG! Palu kembali menghantam. Logam langit itu kini mulai menyuarakan bunyi gaung rendah—seperti menjawab tekad tuannya.
Beberapa Hari Kemudian – Bengkel Pandai Besi Kalabumi
Matahari senja menyinari jendela bengkel.Cahaya jingga keemasan menari di permukaan logam merah tua yang kini telah ditempa sempurna menjadi sebilah pedang lurus nan elegan.
Pedang itu panjangnya tak lebih dari pedang baja biasa, namun memiliki urat-urat merah gelap di sepanjang bilahnya, seperti aliran darah beku yang diam.Pantulan cahaya membuatnya tampak membara dalam diam.
Di atas meja kayu yang penuh goresan dan debu besi, Jasana Mandira berdiri terdiam memandangi hasil kerja tangannya.Tangan kanannya memegang gagang pedang, tangan kirinya mengusap perlahan sisi bilah.
Ia menghela napas, dan berucap pelan:
“Namamu…”
“…Lungguh Darma.”
“Yang lahir dari tekad dan keyakinanku sendiri.”
🔥 Makna Nama: Lungguh Darma
“Lungguh” berarti duduk, menetap, bertumpu.
“Darma” berarti jalan kebenaran, pengabdian, tekad sejati.
Bersama, berarti: "Pedang yang bertumpu pada pengabdian jalan hidup."
Bukan hanya senjata—Lungguh Darma adalah simbol bahwa Jasana tidak lagi berdiri di bawah bayang-bayang siapa pun.
👤 Karmawijaya Menyaksikan Diam-diam
Dari balik tumpukan kayu bakar di sudut bengkel, Karmawijaya, ayahnya, hanya menyandarkan tubuh pada tiang.Tak ada senyum lebar. Hanya sepasang mata yang teduh dan berat, penuh pengakuan.
Ia berbicara pelan, nyaris seperti gumaman
“Jadi kau sudah benar-benar menjadi lelaki… bukan hanya pandai bertarung… tapi mencipta.”
Jasana menoleh kaget. Ia tidak menyangka ayahnya melihat.
“Ayah…”
“Aku hanya mencoba… seperti yang pernah Ayah ajarkan dulu.”
Karmawijaya mendekat, menatap Lungguh Darma, lalu meraba permukaan bilahnya dengan jari kasar penuh luka bakar masa lalu.
“Urat logamnya mengalir seperti darah. Lekukannya halus. Beratnya pas. Tangannya tahu apa yang ia mau saat menempanya.”
Ia menatap putranya, lalu menepuk pundaknya dengan kekuatan khas lelaki tua yang keras, namun hangat.
“Kau bukan hanya pendekar. Kau kini sudah jadi Pandai Besi sejati.”
“Dan lebih dari itu… kau adalah putraku, Jasana Mandira.”
Angin sore masuk lewat celah atap.Jasana mengangkat Lungguh Darma ke langit, dan cahaya matahari senja membias di bilah merahnya—membentuk kilau seperti api yang membara.
Ia tak berkata apa-apa. Tapi dalam dadanya, ada tekad yang semakin kuat ia akan terus menapaki jalannya, bukan sebagai bayangan siapa pun, tapi sebagai dirinya sendiri.
Pagi Terakhir di Kalabumi — Depan Bengkel Karmawijaya
Embun pagi masih menggantung di dedaunan kala Jasana Mandira berdiri di depan rumah-bengkel tempat ia dibesarkan. Angin gunung menyapa lembut, membawa aroma arang dan logam yang selama ini begitu akrab baginya.
Di hadapannya, sebuah koper besar telah terikat rapi di belakang kereta kuda pengangkut barang milik kerajaan, yang akan berangkat ke Kota Tirabwana dalam hitungan menit. Di dalam koper itu tersimpan:
Pedang baja pemberian Pak Bramasuta.
Pedang perak biasa, hadiah dari Kapten Raksadana.
Keris sakti pemberian Kapten Mahadewa Rakunti, media pengikat khodamnya.
Dan yang paling berharga secara sentimental Pedang kayu patah—saksi bisu perjuangannya selama lima tahun berlatih sendirian di Kalabumi.
Namun, yang tersarung di pinggangnya hari ini berbeda. Bilah merah tua berurat hitam, tenang namun membara—Lungguh Darma, pedang ciptaannya sendiri, adalah satu-satunya senjata yang ia pilih untuk disandang hari ini.
👪 Perpisahan dengan Orang Tua
Wirasih, ibunya, menyelipkan beberapa bekal ke dalam ransel kecil Jasana. Ubi kering, nasi bumbu, dan beberapa potong daging asap buatan rumah.
“Jangan lupa makan yang teratur, le…”
“Dan kalau kau pusing, minum rebusan akar sirih itu, Ibu titipkan di kantong samping…”
Jasana tertawa pelan, memeluk ibunya erat.
“Terima kasih, Ibu… aku akan baik-baik saja.”
“Doakan aku bisa jaga nama baik Kalabumi.”
Karmawijaya, yang berdiri di samping, tak banyak berkata. Hanya satu kalimat sederhana
“Jangan jadikan kekuatanmu alasan untuk sombong.”
“Tapi jadikan ketekunanmu alasan untuk terus maju.”
Jasana mengangguk hormat, menyembah tangan ayahnya.
“Segala ajaran Ayah akan selalu kubawa… di medan mana pun aku berdiri.”
🐎 Perjalanan Menuju Tirabwana
Sang kusir, lelaki tua berwajah lebar dan penuh noda jelaga, memberi isyarat bahwa waktunya berangkat. Di belakang kereta penuh peti senjata pesanan untuk markas militer kerajaan, hasil tempa para pandai besi Kalabumi.
“Ayo naik, Nak Jasana! Jalan ke Tirabwana butuh dua hari. Kita singgah semalam di Lembah Rara.”
Jasana naik ke kursi samping sang kusir. Sekali lagi ia menoleh ke arah rumahnya—bengkel penuh sejarah, suara palu yang pernah menemaninya malam-malam penuh peluh dan harap.
Wirasih melambaikan tangan, Karmawijaya mengangguk dalam.
Kuda pun meringkik, kereta bergerak, dan debu tipis menyapu jalanan batu Kalabumi.
Dalam perjalanannya, Jasana memandangi Lungguh Darma yang tersarung di sisi pinggangnya. Ia merasakan ketenangan… dan sekaligus panggilan untuk tantangan baru.
“Aku kembali bukan sebagai anak pandai besi yang belajar dari bayangan…”
“Aku kembali sebagai diriku sendiri… sebagai pendekar Guild Bayu Geni…”
“Dan pedang ini… akan menulis jalanku selanjutnya.”
Senja di Gerbang Utama Guild Bayu Geni – Kota Tirabwana
Langit Tirabwana menyala jingga keemasan saat kereta kuda pengangkut logistik kerajaan perlahan berhenti di depan gerbang utama markas Guild Bayu Geni.
Jasana Mandira melompat turun, mendarat ringan di atas tanah berbatu, lalu menurunkan kopernya yang besar dari bagian belakang kereta.
“Terima kasih banyak, Pak Kusir… untuk tumpangannya.”
“Semoga barang-barangnya sampai dengan lancar di gudang istana.”
Sang kusir—dengan wajah ramah yang kini tampak lelah oleh dua hari perjalanan panjang—tersenyum sambil mengangguk.
“Hati-hati di markas sana, Nak. Salam buat orang-orang Guild Bayu Geni yang lain.”
Jasana tersenyum dan membalas dengan hormat, lalu mengayunkan langkah menuju bangunan utama guild.
🏰 Pemandangan Depan Markas Guild Bayu Geni
Suasana di depan markas Guild Bayu Geni tampak ramai. Hiruk-pikuk anggota yang baru kembali dari liburan satu bulan terdengar riuh.
Ada yang turun dari kereta kuda pribadi dengan pakaian mewah dan perlengkapan rapi.
Beberapa penunggang kuda gagah membawa barang mereka sendiri.
Yang lain berjalan kaki dari dalam kota, bercanda sambil membawa tas dan ransel lusuh.
Dan seperti Jasana, ada yang menebeng kereta logistik dan tampak sederhana namun mantap melangkah.
Terlihat pula staff guild yang sibuk.
Petugas administrasi mencatat daftar kedatangan.
Tim logistik mengangkut peti barang, senjata, dan bahan pelatihan ke gudang belakang.
Beberapa anggota senior tampak memantau suasana dengan mata tajam, mencatat siapa yang datang.
Namun Jasana belum melihat satu pun wajah yang dikenalnya dekat.
Bagas, si petarung tangguh dan setia.
Nandika, pelempar tombak dari Selampa yang ceria dan blak-blakan.
Kirta, si pemanah cerdas dari Pawana.
Bahkan Darsa, rival diam-diam yang belum pernah berbicara padanya sejak sebelum liburan, belum tampak batang hidungnya.
“Mungkin mereka datang lebih awal dan sedang di kota... atau masih dalam perjalanan” pikir Jasana.
🛏️ Menuju Asrama Guild
Tanpa banyak bicara, Jasana mengangkat kopernya, satu tangan memegang ransel, dan mulai berjalan menuju gedung asrama anggota junior.
Langit kian gelap. Lampu lentera mulai dinyalakan di sepanjang jalan guild. Bangunan asrama tampak hangat dengan cahaya oranye menyala dari balik jendela.
Saat melewati lorong, beberapa anggota guild menoleh ke arahnya. Tak sedikit yang mengenalinya.
“Itu Jasana dari Raka Lelana, ya?”
“Anggota Junior terbaik Semester lalu.”
“Kudengar dia selalu sukse dengan misi-nya.”
Jasana hanya tersenyum kecil, tak menggubris hal itu. Ia menunduk dan terus berjalan.
🗝️ Kamar Asrama
Setibanya di kamar, ia membuka pintu dan mendapati ruangan itu masih kosong. Kamar itu dulunya ia tempati bersama Bagas dan Kirta. Kini, tempat tidur mereka masih rapi.
Jasana menjatuhkan koper besar ke lantai kayu, meletakkan ransel di atas tempat tidur, dan perlahan duduk di tepi ranjang. Ia membuka sarung pedangnya, meletakkan Lungguh Darma di atas pangkuannya.
Senyum tenang muncul di wajahnya.
“Kembali lagi, ya…”
“Semoga liburan mereka menyenangkan. Dan semester ini, aku harus lebih kuat…”
Lalu ia rebahkan tubuhnya sebentar, memejamkan mata, mendengarkan suara angin sore yang masuk dari jendela.
🌙 Malam Hari – Asrama Laki-laki Guild Bayu Geni
Langit Tirabwana telah sepenuhnya gelap. Lampu-lampu lentera di halaman asrama memancarkan cahaya hangat, memantulkan bayangan tenang ke dinding-dinding batu dan kayu bangunan Guild Bayu Geni.
Di lorong bangunan asrama, dua sosok baru saja tiba. Bagas Prayoga, bertubuh besar dengan ransel di punggung dan sarung tangan logam tergantung di pinggangnya, berjalan santai sambil membawa satu kantong kain berisi makanan kering. Di sebelahnya, Kirta Wangsaputra, dengan wajah tenang khas anak dataran tinggi, memegang kotak panjang berisi busur dan panah yang ia rawat sendiri.
Langkah kaki mereka terhenti di depan sebuah pintu kamar.
“Yakin ini kamar kita yang dulu?” tanya Kirta.
“Kalau Jasana belum pindah, pasti ini.” Bagas tersenyum lebar.
Cekrek! Bagas membuka pintu dengan pelan. Begitu pintu terbuka, aroma kayu tua bercampur logam langsung menyapa. Lampu minyak kecil di sudut kamar menyala temaram.
Di dalam, Jasana tertidur di atas ranjang, masih mengenakan pakaian perjalanannya. Pedang merah—Lungguh Darma—tersarung rapi di samping tempat tidur. Kopernya terbuka, sebagian isi sudah tertata rapi. Wajahnya damai, seolah baru saja melewati hari yang panjang.
Bagas langsung menyeringai. Ia memberi isyarat pada Kirta.
“Waktunya membangunkan si pahlawan Kalabumi…” bisiknya geli.
Kirta hanya tertawa kecil dan mengangguk pelan.
😈 Aksi Jahil Dimulai
Bagas mendekat perlahan, lalu berlutut di samping ranjang.
“Eh, Kirta… lihat ini…” bisiknya, sambil memungut bantal cadangan dari kursi di pojok.
“Satu… dua…”
PLAAKK!
Bantal mendarat lembut tapi tepat di wajah Jasana.
“Ugh—ap—!?” Jasana langsung tersentak bangun.
Kirta, dari arah belakang, meniupkan bulu ayam kecil ke wajah Jasana, membuatnya mengibas-ngibaskan tangan panik sambil belum sepenuhnya sadar.
Bagas meledak tertawa.
“Bangun, Komandan! Tirabwana butuh penyelamatan!”
“Atau kau ingin kami angkat-angkat pakai tandu dan taruh di halaman depan sebagai pahlawan tidur?” sahut Kirta dingin tapi penuh ejekan halus.
Jasana membuka mata, mengucek pelipis, lalu perlahan tersenyum lebar, menyadari siapa yang datang.
“Bagas... Kirta… dasar bajingan…”
Ia bangkit, duduk sambil menyambar bantal yang tadi dipakai menyerang.
“Sini kalian berdua! Rasakan balasannya!”
Adu bantal spontan pun terjadi, dengan tawa yang memecah kesunyian malam markas guild. Tiga sahabat itu tertawa, melempar bantal dan ejekan, seperti anak-anak yang kembali ke rumah setelah lama berpisah.
🤝 Beberapa Saat Kemudian
Setelah kelelahan tertawa dan beradu bantal, ketiganya akhirnya duduk bersandar di tempat tidur masing-masing. Jasana mengambil Lungguh Darma dari samping tempat tidur, lalu menunjukkannya.
“Kalian tahu? Ini pedang pertama yang kubuat sendiri.”
Bagas dan Kirta mendekat.
“Wah… warnanya… merah darah?” tanya Bagas, kagum.
“Logam langit,” jawab Jasana pelan.
“Kutemukan di Hutan Gantarawati. Seperti memanggilku.”
Kirta menatapnya dalam.
“Kau bukan cuma pendekar sekarang. Tapi juga pandai besi.”
Jasana hanya tersenyum. Tapi dalam hatinya, ada rasa syukur. Di tengah segala ketegangan, kesepian, dan persaingan—mereka bertiga tetap saudara.
Pagi Hari – Halaman Utama Guild Bayu Geni
Mentari pagi menembus kabut tipis Tirabwana, menciptakan cahaya keemasan yang jatuh tepat di halaman utama markas Guild Bayu Geni. Sebuah lapangan batu luas terbuka, dihiasi lambang naga mengepak di tengahnya, menjadi tempat berkumpul seluruh anggota.
Suara lonceng besar berdentang tiga kali.
Tanda dimulainya upacara pembukaan semester kedua.
⚔️ Barisan Kehormatan Pemimpin dan Para Kapten
Di panggung tinggi berukir batu, berdiri dengan wibawa
Adipati Maheswara, Pemimpin Guild Bayu Geni. Pria berambut hitam, berdada tegap dalam jubah biru tua bertabur benang emas. Mata tajamnya menatap seluruh halaman.
Di sisi kanan dan kirinya, para Kapten Divisi berdiri dalam keheningan penuh kharisma.
Kapten Raksadana – Divisi Panggrahita Aji Seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam dan tenang. Tubuh kekar dengan pedang panjang Jatiwisesa bersarung di punggungnya. Dulu, ia adalah panglima perang yang ditakuti.
Kapten Lodra Wahana – Divisi Raka Lelana Bertubuh tinggi dan kurus namun penuh wibawa. Tongkat besi panjang bertatahkan ukiran naga ia genggam erat. Sorot matanya tajam, seolah menembus medan petualangan yang belum terlihat.
Kapten Kalandra Wisanggeni – Divisi Bayang-bayang Geni Diam dan waspada, dengan pedang samurai pendek di pinggangnya. Matanya seperti tak pernah berkedip, memindai wajah tiap anggota dengan intuisi seorang mata-mata sejati.
Kapten Mahadewa Rakunti – Divisi Rasa Prawira Berjubah putih keperakan dengan tongkat sihir berujung kristal ungu di tangan. Sorot matanya damai namun dalam, seolah menyimpan ilmu dari zaman para leluhur.
Kapten Doyantra Puspaloka – Divisi Mandala Dhana Sosok tambun tinggi dengan pakaian bangsawan berlapis emas dan permata. Di belakangnya tergantung gada emas besar, simbol kekuatan sekaligus kemakmuran.
Di belakang para kapten, berjajar staf administrasi dan logistik, mengenakan seragam kelabu biru. Beberapa membawa dokumen, lainnya berdiri tegak mendampingi jalannya acara.
🧭 Barisan 71 Anggota Guild
Di halaman, sebanyak 71 anggota Guild Bayu Geni berdiri berbaris rapi menurut divisi masing-masing. Setiap baris mengenakan mantel khas divisinya:
Hijau pekat dengan lambang naga mengepak Divisi Raka Lelana
Merah bata polos dengan simbol tombak dan api Panggrahita Aji
Ungu tua dan hitam bercahaya samar Rasa Prawira
Kelabu gelap tak mencolok Bayang-bayang Geni
Kuning gading dengan garis emas Mandala Dhana
Jasana, berdiri tegap di barisan Divisi Raka Lelana, mengenakan mantel hijau gelapnya. Di pinggangnya tergantung pedang merah Lungguh Darma, tampak mencolok di antara senjata lainnya. Di baris yang sama, Nandika dan Kirta berdiri teguh.
Bagas berdiri gagah di barisan Panggrahita Aji, Darsa tampak di ujung barisan Bayang-bayang Geni, mengenakan seragam kelabu gelap dan wajah penuh konsentrasi.
🗣️ Pidato Adipati Maheswara
Adipati Maheswara maju satu langkah. Suaranya dalam dan tenang, namun menggema ke seluruh halaman.
“Wahai para penerus api keberanian... Semester baru telah tiba. Namun semangat kita bukan baru – ia adalah bara yang terus menyala, bahkan dalam tidur.”
“Kalian telah bertumbuh. Dari anggota yang terpilih, menjadi pejuang yang diuji. Kini saatnya kalian menjadi pemimpin. Di medan, di pikiran, dan di hati.”
Ia menatap satu per satu kapten di sisinya, lalu kembali menatap anggota di bawah.
“Dunia luar tak diam. Harta-harta kuno bangkit dari peraduan. Rahasia-rahasia lama menunggu digali. Dan takdir tak menunggu mereka yang ragu.”
“Guild Bayu Geni bukan rumah bagi yang lemah. Tapi bagi mereka yang mencari cahaya di balik kabut... dan kembali dengan nyala.”
Ia mengangkat tangannya. Suara terompet pendek terdengar. Semua anggota serempak memberi hormat.
“Kalian tak sendiri. Kalian saudara. Dan mulai hari ini... semester kedua dimulai.”
Sorak semangat menggema.
Anggota saling menepuk bahu. Beberapa menyambut dengan senyum, lainnya dengan tatapan tekad.
Jasana menatap langit. Angin pagi menyentuh wajahnya. Di dadanya, terasa sebuah getaran petualangan mereka baru akan dimulai kembali… dan lebih dari sebelumnya, dunia menunggu kehadiran mereka.
Setelah Upacara – Jalan Menuju Kantor Administrasi Guild
Langit mulai menghangat, dan halaman utama Guild perlahan kembali ke kesibukan biasa. Para anggota bubar dari lapangan, sebagian menuju asrama, sebagian lagi berbincang atau langsung bersiap mengambil misi baru.
Jasana berjalan santai di antara keramaian, diapit oleh Kirta yang menggendong busur di punggung dan Bagas yang mengenakan sarung tangan besinya sambil menguap lebar.
Bagas: “Upacara tiap semester makin panjang aja, ya. Tapi pidato Adipati Maheswara tadi... bikin darah mendidih juga.”
Kirta: (tersenyum ringan) “Kau bilang itu setiap kali dengar pidato, Gas.”
Jasana: “Setidaknya sekarang kita bisa ambil misi bareng lagi. Mau cari yang ke pegunungan? Atau ke reruntuhan?”
Saat mereka bertiga melewati taman kecil di samping koridor guild, terdengar suara menyapa.
Nandika: “Hei! Kalian juga langsung semangat cari misi ya?”
Nandika dan Pratiwi muncul dari arah berlawanan. Nandika mengenakan mantel hijaunya, Pratiwi terlihat ceria seperti biasa, menyampirkan tas kecilnya di pinggang.
Pratiwi: “Kami juga mau jalan, nih. Tapi diajak bareng sama senior dari Rasa Prawira. Katanya, ada... misi yang butuh pendengaran yang dalam.”
Pratiwi terkekeh kecil sambil melirik ke arah seorang wanita yang berjalan perlahan di belakang mereka Ratri Nindyanari.
🧙♀️ Ratri Nindyanari – Pendengar Arwah
Wanita itu berambut panjang berwarna perak seperti cahaya bulan, mengenakan jubah ungu pucat berlapis simbol-simbol gaib kuno. Di pinggangnya tergantung lonceng kecil yang tak berbunyi. Wajahnya tenang dan tak banyak bicara, namun mata keunguan tajamnya seolah menembus lapisan kenyataan.
Kirta: (berbisik) “Itu... Ratri Nindyanari, ya? Penyihir yang bisa bicara dengan roh?”
Bagas: “Katanya dia bisa dengar suara orang mati. Bahkan tahu isi hati kita dari gerak napas.”
Nandika: (mengangkat alis, menggoda) “Hati-hati, Gas. Jangan sampai rahasia kecilmu terbongkar.”
Ratri mendekat perlahan, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengulurkan gulungan surat kepada Jasana.
Jasana membukanya.
📜 Isi Surat Misi:
Misi Umum Lintas Divisi
Tujuan: Desa Cemara Luluh, tepi danau Umbara
Kategori: Investigasi aura gaib
Deskripsi: Beberapa penduduk mengaku mendengar suara-suara aneh di malam hari dan munculnya kabut yang tak bisa ditembus cahaya. Dicurigai berkaitan dengan sisa peninggalan Kampung Lama di dasar danau.
Tim disarankan terdiri dari: minimal 1 pengguna sihir, 1 petarung, 1 pengintai atau maksimal 3 orang.
Status: Tersedia (belum diambil)
Tingkat Kesulitan: B
Hadiah: masing-masing mendapat 8 keping emas + potensi penemuan artefak
Ditandatangani oleh: Kapten Mahadewa Rakunti
Pratiwi: “Keliatan seru kan? Kayaknya ada yang misterius-misteriusnya gitu…”
Jasana: (semangat) “Kalau kalian ke sana, kami juga nggak mau kalah. Yuk ke kantor administrasi!”
🏛️ Depan Kantor Administrasi Guild
Saat mereka hendak naik ke tangga kantor administrasi, langkah Jasana terhenti. Di kejauhan ia melihat Darsa berjalan sendirian dari arah aula belakang. Mantelnya kelabu gelap, wajahnya tampak lesu namun... lebih dingin dari biasanya.
Jasana: “Darsa! Ayo ikut ambil misi bareng kami.”
Darsa berhenti, menoleh pelan. Sorot matanya tenang, tapi seolah jauh, seperti ada kabut di balik pandangannya.
Darsa: (datar) “Aku tidak ikut. Mau istirahat dulu.”
Kirta: (heran) “Kau tidak biasanya menolak misi…”
Darsa tidak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi.
Jasana hanya menatap punggungnya sebentar.
Bagas: “Dia berubah ya?”
Jasana: (menarik napas) “Mungkin cuma lelah. Atau... pikirannya sedang banyak. Dia pasti punya alasannya.”
Jasana lalu melangkah naik ke kantor administrasi, bersama Kirta dan Bagas, Misi umum sedang menunggu—dan dunia luar belum kehabisan misterinya.
Kantor Administrasi Guild Bayu Geni – Pemilihan Misi Umum
Ruang administrasi guild cukup ramai pagi itu. Deretan papan kayu besar tergantung di dinding, penuh dengan gulungan-gulungan surat misi yang dikategorikan berdasarkan divisi dan jenis tugas: Misi Khusus Divisi, Misi Umum, Misi Perbatasan, dan Misi Penelitian.
Di antara para anggota yang sedang membaca dan memilih, tampak Jasana, Kirta, dan Bagas berdiri memandangi satu surat misi yang dipegang Bagas dengan sorot mata penuh ketertarikan.
Bagas: (tersenyum) “Yang ini. Kayaknya cocok buat kita. Liat deh…”
Bagas membentangkan surat misi itu di atas meja dekat tiang batu.
📜 Surat Misi Umum (Lintas Divisi)
Judul Misi: Pengamanan Jalur Perdagangan (Artefak): Tirabwana - Selampa
Kategori: Misi Umum Lintas Divisi (Perlindungan dan Eliminasi Ancaman)
Permintaan oleh: Saudagar Bangsawan Tuan Ramakerti
Deskripsi: Dalam dua bulan terakhir, jalur perdagangan legal antara kota Tirabwana dan wilayah Tanah Selampa sering terganggu oleh.
Serangan bandit dari kelompok Bayawira Selatan
Kemunculan makhluk buas tak dikenal di Hutan Krawala dan Lembah Muda
Para pedagang takut melewati rute tersebut. Permintaan ditujukan kepada Guild Bayu Geni untuk mengirim tim kecil maksimal 3 orang untuk:
Menelusuri titik rawan serangan
Menetralisir ancaman bandit dan monster
Mengamankan pengiriman satu kafilah artefak legal yang akan diberangkatkan 3 hari lagi
Kombinasi yang Disarankan:
Anggota dari Divisi Raka Lelana (navigasi dan strategi lintas medan)
Anggota dari Divisi Panggrahita Aji (petarung pengawal utama)
Tingkat Kesulitan: B+
Imbalan: masing-masing orang mendapat 12 keping emas, akses prioritas artefak resmi (kelas C), dan surat rekomendasi pribadi dari Tuan Ramakerti.
Disetujui oleh: Kapten Divisi Raka Lelana (Diperlukan Tanda Tangan)
Kirta: “Lumayan berat, tapi... ini misi yang bisa kita tangani. Aku bisa petakan rute-rute alternatif lewat pinggir hutan.”
Jasana: “Dan kalau benar ada monster, mungkin kita bisa cari tahu jenisnya. Mungkin bukan sekadar binatang buas biasa…”
Bagas: “Yang penting, kita bisa turun langsung ke medan. Aku udah gatal mau mukul sesuatu yang bukan boneka latihan.”
Jasana: “Kalau begitu, kita minta tanda tangan Kapten Lodra sekarang.”
🐉 Scene: Ruang Divisi Raka Lelana – Pertemuan dengan Kapten Lodra Wahana
Langkah mereka bertiga menyusuri lorong guild yang mengarah ke ruang Divisi Raka Lelana, salah satu ruangan paling luas dan bergaya di Guild Bayu Geni. Relief naga terukir di dinding batu, dan peta besar dunia terbentang di salah satu sisi ruangan.
Kapten Lodra Wahana duduk di kursi utama di depan peta besar. Sosoknya tinggi, kurus, namun gagah seperti biasanya. Namun hari ini ada yang berbeda. Matanya tak secerah dulu, wajahnya lebih sunyi dari biasanya. Ia memegang tongkat besi andalannya, namun tampak mengamati ujungnya, seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh.
Bagas: “Kapten, kami datang untuk meminta persetujuan misi umum ini.”
Jasana menyerahkan surat misi. Lodra Wahana membaca pelan. Saat matanya menelusuri nama "Bayawira Selatan", sorot matanya berubah—sekejap tajam, kemudian kembali datar. Ia menutup surat itu perlahan.
Kapten Lodra: (tenang namun dalam) “Kalian yakin ingin ambil misi ini? Jalur itu... tak hanya berbahaya. Tapi juga penuh tipu muslihat manusia dan monster.”
Jasana: “Kami yakin, Kapten.”
Kapten Lodra: (menatap mereka satu per satu) “Kalian bertiga... adalah harapan dari generasi baru. Aku tak ingin melihat semangat kalian padam oleh kebrutalan dunia yang sebenarnya.”
Ia diam sejenak, lalu mengambil pena berbahan bulu merak. Ia menandatangani surat misi dengan tulisan tangan yang kokoh dan tegas.
Kapten Lodra: “Bawa nama Divisi Raka Lelana dengan bangga. Dan waspadalah... Bayawira bukan sekadar kelompok bandit.”
Mereka memberi hormat. Namun sebelum pergi, Jasana sempat menatap Kapten Lodra dengan curiga. Bukan karena ragu, tapi karena ia merasakan ada beban berat yang disembunyikan pria itu di balik sikapnya yang biasanya santai.
🕯️ Monolog Batin Kapten Lodra Wahana (Setelah Mereka Pergi)
Saat pintu tertutup dan ruangan kembali sepi, Lodra berdiri di hadapan peta. Tangannya menyentuh titik kecil bertuliskan Arunaswara.
Kapten Lodra: (dalam hati) “Jagat Arunika… kau masih hidup. Aku seharusnya senang. Tapi jika benar... jika benar kau kini berdiri di sisi Bayawira…Maka... siapa lagi yang bisa kupercaya? Dan Maheswara... apakah aku harus memberitahumu?…Tidak sekarang.”
Ia menghela napas dalam. Dunia di luar sudah berubah. Tapi perang dalam dirinya belum selesai.
🧳 Perjalanan dan Persiapan Menuju Tempat Usaha Tuan Ramakerti
Setelah menerima persetujuan dari Kapten Lodra Wahana, Jasana, Bagas, dan Kirta bergerak cepat. Hari itu juga, mereka mengemas perlengkapan pribadi dan senjata mereka masing-masing. Dengan membawa surat misi bertanda tangan kapten dan segel Guild Bayu Geni, mereka bertolak ke bagian barat kota Tirabwana, menuju tempat usaha saudagar bangsawan Tuan Ramakerti.
🏛️ Distrik Niaga Bangsawan – Tirabwana Barat.
Tempat yang dituju terletak di bagian kota tua Tirabwana, kawasan niaga eksklusif yang dikelilingi bangunan bertembok batu dengan atap melengkung berhias ukiran perunggu. Lambang keluarga Ramakerti—seekor burung jalak bermahkota dengan sayap terentang—terpampang di gerbang besi besar.
Seorang kepala pengawal yang mengenakan rompi kulit bersulam benang emas menyambut mereka saat memperlihatkan surat resmi Guild.
Kepala Pengawal: “Selamat datang, para anggota Bayu Geni. Kami telah menanti kehadiran kalian. Mohon ikuti saya.”
Mereka dibawa ke sebuah rumah penginapan kecil khusus tamu, yang masih berada dalam kompleks usaha milik keluarga Ramakerti. Tempat itu nyaman, dengan halaman kecil, air mancur batu, dan dua lantai berisi beberapa kamar.
🛏️ Hari Pertama – Malam Persiapan
Di malam pertama, setelah makan malam sederhana yang disediakan pelayan kompleks (nasi gurih, daging rendang rimba, dan sup umbi madu), mereka berkumpul di serambi luar sambil membicarakan misi.
Kirta: (membuka peta mini)“Aku dengar dari petugas lokal, kafilah akan lewat jalur tengah Hutan Krawala. Itu jalur tercepat, tapi juga paling rawan. Dua minggu lalu ada laporan kuda pengangkut hilang di sana.”
Bagas: (mengasah sarung tangan besinya)“Apa pun yang keluar dari hutan, bisa kita hajar. Aku lebih khawatir kalau musuhnya manusia. Bandit bisa nyamar jadi pengawal.”
Jasana: (menatap langit)“Tugas kita bukan hanya jaga artefak, tapi juga membaca pola mereka. Kalau kita bisa tahu siapa dalangnya, mungkin kita bisa cegah gangguan ke depannya.”
Kirta: (serius)“Aku akan mulai observasi malam ini. Siapa tahu ada pengintai. Besok kita wawancarai karyawan gudang.”
📦 Hari Kedua – Observasi dan Penyelidikan Awal
Hari kedua digunakan untuk mengamati aktivitas logistik. Mereka mengunjungi Gudang Utama Artefak, bangunan besar berukir lambang naga dan petir, tempat ratusan peti disusun rapi. Masing-masing peti diberi segel lilin berwarna hijau tua, simbol legalitas kerajaan.
Seorang kepala mandor berbadan besar, berjanggut abu-abu, menyapa mereka:
Mandor Gudang: “Hati-hati di gudang selatan. Dua malam lalu, anjing penjaga kami tewas. Tak ada tanda manusia, tapi darah tercecer seperti dicakar sesuatu yang besar…”
Kirta mengamati bekas cakar di dinding kayu belakang gudang. Tiga goresan memanjang seperti kuku raksasa.
Kirta: (berbisik)“Ini bukan cakaran bandit... Ini monster. Dan bukan yang biasa.”
Jasana: “Ada kemungkinan mereka bekerja sama. Makhluk buas yang dikendalikan oleh manusia.”
🛏️ Malam Kedua – Percakapan di Kamar
Di kamar penginapan mereka, malam mulai larut. Bagas duduk di tepi ranjang sambil membersihkan bekas darah lama di sarung tangan besinya, Kirta sibuk mencatat di buku kecil, dan Jasana termenung di dekat jendela.
Jasana: (pelan)“Kupikir, sejak bergabung dengan guild, hidup akan lebih sederhana. Tapi... sepertinya kita justru mendekat ke pusat pusaran yang lebih besar.”
Bagas: “Kita lahir di dunia yang penuh luka, San. Kita cuma punya dua pilihan: jadi luka baru... atau jadi pelindung dari luka itu.”
Kirta: “Dan misi ini... mungkin hanya pintu kecil. Tapi bisa mengarah ke sesuatu yang jauh lebih besar.”
Mereka saling bertukar pandang dalam keheningan malam.
🔔 Hari Ketiga – Persiapan Kafilah
Hari ketiga adalah hari keberangkatan kafilah. Puluhan kuda dan kereta bersusun barang mulai berjejer di pelataran. Pasukan pengawal bayaran berkumpul, namun banyak yang tampak gugup. Sorot mata mereka mencurigai tiap bayangan.
Jasana, Bagas, dan Kirta berdiri di depan barisan, mengenakan mantel resmi guild mereka.
Kafilah akan berangkat saat matahari tepat di atas kepala. Tapi mereka tahu—perjalanan ini tidak sekadar melindungi artefak, tapi akan mengungkap jejak konflik yang jauh lebih dalam, konflik yang mungkin terhubung ke Bayawira Selatan, monster liar, dan permainan para bangsawan.
🌲 Perjalanan Kafilah – Hari Keberangkatan
Langit siang berawan tipis saat kafilah saudagar Ramakerti akhirnya berangkat dari pelataran barat kota Tirabwana. Belasan kereta besar sarat peti artefak berjalan lambat menyusuri jalan bebatuan menuju Tanah Selampa, dikawal oleh pengawal bayaran dan tiga anggota muda Guild Bayu Geni: Jasana, Bagas, dan Kirta.
Di atas kudanya, Jasana mengenakan mantel pendek Divisi Raka Lelana yang mengepak di bahu kiri. Di samping kiri pinggangnya tergantung pedang perak standar pemberian Kapten Raksadana, dan di sisi kanan tergantung Lungguh Darma, pedang merah darah hasil tempaannya sendiri dari batu langit yang jatuh, dia temukan di Hutan Gantarawati.
Di balik ikat pinggang, tersembunyi keris sakti parangjati berselubung kulit hitam, hadiah dari Mahadewa Rakunti, tempat bersemayamnya khodam yang ia kuasai. Ada aura panas samar yang berdenyut dari tubuh Jasana—seolah senjatanya sendiri bersiap menyambut pertempuran.
Bagas, di sebelahnya, memeriksa kembali sarung tangan besi Tapak Maruta miliknya, memutarnya perlahan agar engsel-engselnya tak macet.
Kirta, duduk ringan di pelana, matanya tajam menatap depan, dan busur Panarasa—busur warisan keluarga—digantungkan melintang di punggung, siap dicabut kapan saja.
🐾 Menjelang Senja – Tanda-tanda Gangguan
Saat matahari mulai turun, rombongan mulai memasuki kawasan perbukitan kecil, mendekati hutan Krawala, salah satu jalur tersembunyi yang dikenal sebagai titik rawan gangguan.
Kirta berhenti sejenak, memicingkan mata ke atas pohon dan rerumputan yang bergerak.
Kirta: (merunduk di atas kudanya) “Daun-daun itu bergerak... tapi anginnya tidak datang dari arah sana.”
Bagas langsung mengencangkan sarung tangan, sementara Jasana memegang gagang Lungguh Darma.
Jasana: “Berhenti. Periksa formasi. Sampaikan ke pengawal untuk siap hadapi sergapan.”
Namun peringatan itu terlambat.
💥 Serangan Pertama – Bandit dan Monster
Dari balik semak dan dahan pepohonan, anak panah bercampur racun melesat, menumbangkan dua pengawal kuda terdepan. Teriakan terdengar saat bandit bersenjata ringan menyerbu dari kiri, dan dari kanan, suara menggelegar mengguncang tanah.
Kirta: “Dua kelompok! Bandit di kiri... dan makhluk besar dari kanan!”
Dari semak belukar, muncul seekor makhluk berkulit hitam berurat ungu, sejenis monster hasil mutasi sihir—Rakasah Jagur, makhluk buas berkepala mirip rusa bertaring dan tanduk bercabang api.
Bagas: (melompat turun)“Makhluk itu urusanku!”
Dengan teriakan keras, Bagas menghadangnya. Tinju pertamanya menghantam dada Jagur, membuat tubuh besar itu terpental beberapa langkah ke belakang. Namun makhluk itu berdiri lagi dengan raungan.
Jasana mencabut dua pedangnya sekaligus. Untuk pertama kalinya, ia mencoba gaya teknik barunya—Jurus Dwikarma: satu tangan menebas ringan, satu lagi menangkis atau menghantam.
Jasana: (dalam hati)"Kiri untuk bertahan... kanan untuk membakar jalan..."
Pedang peraknya menebas cepat menghalau anak panah musuh, sementara Lungguh Darma mengeluarkan kilatan merah saat menghantam bandit yang mendekat. Luka terbakar muncul di tubuh lawan—efek dari batu langit dalam bilahnya.
Kirta:“Lindungi kereta keempat dan kelima! Itu artefak kelas tinggi!”
Dari punggung kudanya, Kirta melepas panah demi panah. Panarasa bergetar ringan setiap kali dilepas, seolah merespon energi niat pemanahnya. Panah-panah itu menembus helm, menancap dengan presisi ke titik lemah para bandit.
🔥 Puncak Pertempuran – Khodam Ardhana membantu
Saat bandit kedua puluh jatuh dan Rakasah Jagur menerjang ke arah Jasana, sesuatu dalam dirinya bergetar. Keris di pinggangnya bersinar putih, dan hawa panas mengelilinginya. Dalam satu gerakan, ia melompat dan menyilangkan dua pedangnya membentuk X di udara, menebas tanduk Jagur yang menyala.
Ledakan panas meledak seketika. Jasana mendarat, napasnya teratur namun mata bersinar keemasan— aura khodam-nya menyelimuti tubuhnya di tengah pertempuran.
Makhluk itu terjungkal, lalu kabur menembus hutan dengan auman melengking.
Bandit-bandit yang tersisa mundur, sebagian lari ke hutan.
Bagas: (menghela napas)“Satu ronde selesai... tapi ini baru pembukaannya.”
Kirta:“Mereka terlalu percaya diri... Seperti tahu rute kita sejak awal.”
Jasana: “Apa mungkin ada pengintai di dalam kafilah.”
Semua saling bertukar pandang. Malam telah jatuh, tapi pertempuran ini jelas bukan yang terakhir.
🌒 Malam Pertama Perkemahan – Sebuah Penemuan
Saat malam tiba dan api unggun dinyalakan di tengah kafilah, salah satu pengawal menemukan lambang kecil terjatuh dari tubuh bandit yang tertangkap. Lambang itu—sebuah ukiran bergambar ular berkepala dua melingkar—sama dengan simbol kelompok Bayawira.
Jasana menatap simbol itu dalam-dalam.
Jasana: “Bayawira... mereka semakin berani.”
Dan mereka bertiga tahu, misi ini bukan lagi sekadar pengamanan artefak, melainkan awal dari keterlibatan langsung dengan musuh besar Guild Bayu Geni.
Malam Pertama – Perkemahan Sementara di Pinggir Hutan Krawala
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan darah yang masih tertinggal di rerumputan. Kafilah berhenti lebih awal hari itu—kereta ditarik membentuk setengah lingkaran pelindung, dan api unggun dinyalakan di tengah-tengah tenda darurat.
Beberapa pengawal bayaran tampak duduk bersandar di batang pohon atau di dekat api, mengerang pelan saat luka-luka mereka dibersihkan dengan air dan ramuan herbal. Suara gemeretak kayu terbakar menjadi latar yang tenang namun muram. Beberapa bahkan telah membungkus kakinya dengan kain sobekan karena terinjak ranjau racun ringan.
Bagas membantu mengangkat satu pengawal yang terluka parah, membaringkannya di dekat tenda. Kirta memeriksa kembali jalur yang dilalui, mencatat posisi dan arah angin di petanya.
Di tengah api unggun, Jasana duduk bersila, memandangi nyala api dengan pandangan fokus. Di sekelilingnya duduk Kirta, Bagas, dan tiga pengawal yang masih cukup sehat untuk berjaga.
🧭 Pembahasan Strategi – Dipimpin Jasana
Jasana mengeluarkan selembar kain kulit bertinta dari tasnya—peta rute pengiriman—dan membentangkannya di atas lempeng batu datar.
Jasana: (suara tenang, tapi mantap)“Serangan tadi bukan kebetulan. Mereka tahu posisi paling rawan, dan menunggu tepat saat kita lengah.”
Kirta: (mengangguk)“Jalur ini sering digunakan saudagar besar. Tapi hanya beberapa yang tahu persis rute hari ini...”
Bagas: (menggepal tangannya)“Apa mungkin ada pengintai. Entah di antara pengawal... atau ada penyusup di kafilah itu sendiri.”
Seorang pengawal tua yang duduk paling ujung, mengenakan ikat kepala merah, bersuara lirih.
Pengawal: “Kami biasa digaji untuk menjaga, tapi tidak untuk menghadapi rakasah. Ini di luar batas. Tapi... kami tetap ikut jika kalian pimpin.”
Jasana menatapnya. Wajahnya muda, namun cahaya api membentuk bayangan tanggung jawab di matanya.
Jasana: “Terima kasih. Kita bertahan di sini malam ini. Kirta akan membuat perimeter jebakan sederhana di arah barat dan selatan. Bagas memimpin pengamanan kereta yang memuat artefak kelas tinggi.”
Ia menoleh pada para pengawal.
Jasana (lanjut): “Siapa pun yang merasa kuat, bantu penjagaan bergiliran. Jangan ada yang berjaga sendirian. Jika melihat atau mendengar suara aneh, jangan bertindak sendiri. Laporkan ke Kirta atau Bagas.”
Kirta berdiri, menggambar pola kecil di tanah: tanda penjagaan yang akan dibuat di sekeliling area.
Kirta: “Aku akan pasang pengikat ilusi ringan. Kalau makhluk besar mendekat, tanah akan bergetar lebih dulu.”
Bagas duduk di batu, mengambil satu kerikil dan memainkannya di antara jemarinya.
Bagas: “Kita harus anggap ini bukan terakhir. Siapa pun yang menyerang kita... mereka ingin kita takut.”
🔥 Malam Semakin Dalam dan Sunyi
Malam semakin larut. Jasana duduk sendirian sejenak, tak jauh dari api unggun yang mulai redup. Di pangkuannya, pedang Lungguh Darma diletakkan dengan tenang. Cahaya merah samar masih tersisa dari bilahnya—residu energi dari pertempuran tadi.
Ia menyentuh gagang keris pemberian Mahadewa Rakunti, dan dalam benaknya terdengar gema suara dalam—bisikan halus khodam yang telah menyatu dengannya.
Ardhana (dalam hati):"Langkahmu benar... tapi bayang-bayang belum selesai. Jangan percaya semua cahaya yang tampak.”
Jasana membuka matanya perlahan. Ia tahu—malam ini mungkin tenang, tapi hari-hari ke depan akan penuh ancaman tersembunyi.
Balai Hitam Bayawira – Perkemahan Rahasia di Lembah Raksadaru
Langit malam di atas Lembah Raksadaru tertutup awan pekat. Tidak ada bulan, tidak ada bintang. Kabut tipis melayang-layang di antara pohon-pohon bengkok dan bebatuan besar yang berserak seperti tulang-tulang raksasa purba. Di tengah lembah itu berdiri sebuah balai pertemuan dari kayu hitam dan atap logam tua, dijaga oleh patung ular berkepala dua dari batu pualam.
Di dalam balai, remang cahaya ungu dari obor berisi api sihir menerangi ruangan melingkar yang dipenuhi simbol sihir kuno di dinding. Aura kekuatan gelap menggantung tebal.
⚜️ Tokoh: Rinjana Nirnawa – Wakil Kapten Kedua Bayawira Selatan
Ia duduk di kursi kayu berukir kepala naga, tubuhnya dibalut jubah hitam panjang bertabur simbol sihir kuno. Rambutnya putih keperakan seperti abu bulan, tergerai anggun sampai ke pinggang. Di dada kirinya terpampang jelas lambang Bayawira Selatan: ular berkepala dua yang melingkar.
Di tangannya tergenggam tongkat sihir panjang dari kayu berurat kelam, dengan kristal berduri berwarna ungu tua menyala lembut di ujungnya. Cahaya itu berdenyut seirama dengan detak jantungnya.
Matanya menyala ungu saat menatap bayang-bayang yang berkumpul di hadapannya.
🐍 Dialog Strategi dan Penyerangan Kedua
Rinjana Nirnawa (suara tenang, dingin, tapi memancarkan kekuasaan)“Kelompok kafilah Tirabwana yang membawa artefak tingkat tinggi akan mencapai Tanah Selampa dalam dua malam.”
Ia berdiri perlahan, ujung jubahnya menyentuh lantai batu yang diukir dengan lingkaran mantra.
“Mereka tidak tahu... artefak yang mereka jaga itu… salah satunya adalah Peti Kresnadi, peti pengikat memori roh dari masa Aruna Kuno. Salah satu dari tujuh kunci penghubung lintasan roh.”
Salah satu prajurit berpakaian tempur ringan, bertopeng setengah tengkorak, maju dan menunduk.
Prajurit Bayawira:“Kami kehilangan tiga orang pada penyergapan siang tadi. Tiga lainnya terluka oleh pasukan Guild…”
Rinjana: (matanya menyipit)“Guild Bayu Geni mengirim anak-anak muda... Tapi jangan remehkan mereka. Salah satunya membawa khodam hidup.”
Ia mengangkat tongkatnya sedikit. Kristal berduri di ujung tongkatnya berkedip.
Rinjana:“Kita akan biarkan mereka merasa aman malam ini. Tapi esok malam... kita akan mainkan teknik Bayang Dwiwarsa. Kirimkan unit ular roh ke perimeter. Jika mereka lengah, biarkan racun tidur meresap ke darah para penjaga.”
“Dan...”
Ia menghentikan langkahnya di depan meja batu yang di atasnya terdapat lukisan darah dari simbol kafilah.
Rinjana:“Jika Jasana membawa keris pengikat... pastikan aku yang menghadapinya.”
🌘 Monolog dalam Bayangan
Setelah para prajurit meninggalkan ruangan untuk menyiapkan strategi, Rinjana berdiri sendirian di depan altar kecil tempat sesajen terbakar perlahan. Di atasnya ada gulungan tua beraksara yang nyaris punah—salinan sebagian dari Mantra Arunika.
Rinjana (berbisik):
(ia mengepalkan tangan) “Jika ini jalur menuju bangkitnya maka Guild itu harus runtuh lebih dulu, mereka terlalu mengganggu.”
🐍 Awal Gelombang Kedua
Di luar balai, terlihat puluhan bayangan bergerak lincah di antara kabut. Ular-ular roh berkilauan ungu mulai merayap dari tempat pemanggilan. Di langit, suara lengking lembut terdengar—tanda bahwa dunia roh sedang terusik.
Di kejauhan, api unggun kecil kafilah masih terlihat dari balik lereng bukit. Mereka belum tahu...
Serangan berikutnya akan datang tanpa suara.
Malam Kedua – Perkemahan Kafilah di Lembah Tiratanu
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma tanah lembab dan dedaunan kering dari barisan hutan di sisi utara. Perkemahan kafilah yang terdiri dari empat gerobak besar dan belasan penjaga kini berhenti di Lembah Tiratanu, titik peristirahatan terakhir sebelum jalur tanjakan menuju Tanah Selampa.
Api unggun utama menyala di tengah perkemahan, mengusir sebagian kabut malam. Di sekitarnya, beberapa pengawal masih duduk, sebagian sudah tertidur bersandar pada balok kayu atau kantong goni. Suasana relatif tenang.
Namun di balik ketenangan ini, musuh telah mulai bergerak…
🔹 Fokus: Jasana, Bagas, dan Kirta
Ketiganya duduk melingkar mengawasi situasi. Jasana menajamkan telinga, tangannya sesekali meraba gagang Lungguh Darma di pinggang kanan dan pedang perak latihan di kiri. Keris kecil pemberian Mahadewa Rakunti terselip tenang di balik sabuknya, terasa sedikit bergetar... tanda khodam di dalamnya tidak nyaman.
Jasana (berbisik sambil memicingkan mata):“Angin malam ini terlalu… hening.”
Kirta (mengamati sekitar dengan tatapan tajam):“Burung malam tak berbunyi. Serangga pun sepi. Ini bukan diam yang wajar.”
Bagas, yang sedang duduk bersandar sambil mengasah sarung tangan besinya, tiba-tiba menyela.
Bagas:“Tadi aku lihat asap kecil keluar dari kendi air yang dibawa dua pengawal. Warnanya agak ungu samar. Aku kira itu rempah penghangat...”
Jasana langsung berdiri.
Jasana:“Itu bukan rempah. Itu asap sihir. Racun tidur.”
🧪 Efek Racun Mulai Terjadi
Beberapa pengawal mulai limbung, matanya berat. Salah satu dari mereka tiba-tiba jatuh ke samping, mulutnya bergumam tak jelas, dan wajahnya pucat. Yang lain memegang kepala, mengeluh pening.
Pengawal (lemah):“Kenapa... semua... berputar...?”
Kirta melesat, menutup kendi air dengan kain basah dan menggulingkannya.
Kirta:“Jangan minum air! Tutup semua sumber terbuka! Api ini bisa menyebarkan racunnya lewat udara!”
Jasana mengeluarkan kerisnya dan menusukkan ke tanah. Khodamnya, Ardhana, langsung merasuk ke aura sekitarnya, menebar pagar angin halus sebagai perisai tipis untuk area sekitar api unggun.
🐍 Serangan Sunyi Dimulai
Dari balik semak, ular-ular roh mulai merayap keluar—makhluk sihir berwarna ungu transparan dengan mata bercahaya. Mereka meluncur cepat, menyusup ke dalam kereta dan menuju penjaga yang tertidur. Salah satu di antara mereka membuka rahang dan mengeluarkan lidah asap racun.
Bagas (berteriak):“JASANA! Kirta! Dari kanan!”
Bagas menghantam salah satu ular roh dengan tinju bersarung besi, tubuhnya berpendar, menandakan aura kekuatan dalam sudah ia bangkitkan. Ular itu meledak menjadi semburat cahaya ungu.
Kirta menembakkan panah Panarasa—panah yang ditiupkan mantra untuk membelah aura halus. Satu… dua… tiga ular lain runtuh.
Kirta:“Mereka tidak punya bentuk fisik utuh. Bidik pusat energinya, titik merah di antara mata!”
Jasana melompat ke depan, kedua pedangnya menyilang dalam tarian cepat. Ini pertama kalinya ia mencoba Teknik Dua Pedang: Cakra Lintang. Gerakannya melingkar memotong tiga bayangan roh sekaligus.
🔮 Rasa Keberadaan Rinjana Nirnawa
Saat Jasana menghunus pedangnya, keris di pinggangnya bergetar kuat. Seberkas suara seperti bisikan masuk ke pikirannya…
Suara misterius:“Kau pemuda terpilih... tapi takdirmu tak seperti yang kau kira...”
Jasana gemetar, namun tetap siaga. Ia tahu, pengendali sihir ini sedang mengawasinya dari jauh. Sosok musuh yang belum terlihat, tapi terasa begitu kuat dan mengakar di udara.
✴️ Perkemahan Bertahan
Setelah lima belas menit pertempuran sunyi, Jasana dan tim berhasil menetralisasi sebagian besar roh ular. Beberapa pengawal pulih dengan bantuan ramuan penawar dari tas Kirta. Namun satu fakta jadi jelas:
Mereka sedang dibidik langsung. Ini bukan serangan acak. Ini pengintaian dan uji kemampuan.