Bab 20 - Kebangkitan Spiritual Khodam Darsa

Pagi Hari di Jalur Tanjakan Hutan Rawesita

Kabut pagi masih menggantung di sela-sela pepohonan hutan Rawesita. Roda-roda kafilah berderit pelan menapaki jalan tanah merah yang licin. Kuda-kuda tampak gelisah sejak fajar, dan burung-burung hutan tak bersuara.

Kirta berjalan di depan, mata awas menatap semak dan bayangan pohon. Bagas berada di sisi kiri, mendampingi kereta utama yang membawa artefak. Jasana berjalan di tengah barisan dengan tangan sudah menyentuh gagang kedua pedangnya.

Lalu, dari kejauhan...

BOOM!

Ledakan sihir membelah keheningan. Sebuah bola api menghantam pohon besar, menjatuhkan batangnya ke tengah jalan, memblokade rute kafilah.

Dari balik kabut, sosok-sosok berjubah hitam dengan lambang ular berkepala dua muncul dalam formasi menyebar. Mereka adalah Bayawira Selatan, puluhan jumlahnya, bersenjatakan sihir, senjata rahasia, dan racun.

Di atas sebuah batu besar, berdiri pemimpinnya:

🐍 Rinjana Nirnawa Muncul

Rambut putih keperakannya berkibar ditiup angin hutan. Mata ungu bercahaya terang menyoroti ke arah Jasana. Tongkat sihir berujung kristal berduri ia putar perlahan, menciptakan pusaran aura ungu di sekeliling tubuhnya.

Rinjana Nirnawa (tegas namun tenang):“Serahkan artefaknya. Kau tak akan bisa membawa mereka melewati batas Tanah Terkutuk.”

Jasana (melangkah ke depan dengan kedua pedang telah terhunus):“Kami tidak akan mundur. Kalau perlu... jalan akan kami buka sendiri.”

⚔️ Pertempuran Dimulai

Bayawira Selatan menerjang serentak.

Bagas menghadapi dua musuh bersenjata tombak dan sabit rantai. Ia berputar cepat, memukul tanah dengan tinjunya, menciptakan gelombang kejut tanah yang menjatuhkan lawan sekelilingnya.

Tangannya bersinar merah keemasan, tanda seperti aura Khodam namun Bagas belum menyadarinya, memperkuat kekuatan fisik dan refleksnya.

Kirta naik ke atas kereta, menyiapkan Panah Panarasa bertanda air. Ia menembakkan tiga anak panah sekaligus, menciptakan jebakan kabut ilusi di medan pertempuran, memecah fokus musuh.

✴️ Jasana dan Teknik Dua Pedang

Jasana menari di tengah pertempuran, teknik dua pedangnya kini lebih mengalir—pedang perak berfungsi menangkis dan menebas cepat, sementara Lungguh Darma, pedang merah dari batu langit, digunakan untuk teknik berat dan serangan penghancur.

“Cakra Lintang...”

“Pusaran Bayu...”

“Tebasan Ganda Serong...!”

Tubuh Jasana bergerak seperti angin badai, dan setiap gerakan membentuk jejak cahaya merah keperakan. Ia mampu menangkis tiga penyerang sekaligus sambil menyerang balik dari sudut tak terduga.

Namun…

🕯️ Kemunculan Khodam Ardhana

Saat Jasana mulai dikepung dari segala arah, keris sakti parangjati di pinggangnya bersinar terang. Suara lirih terdengar di telinganya—suara seorang tua bijak.

Ardhana (suara dalam benaknya):“Kau telah menjaga kesabaranmu. Kini izinkan aku menjaga tubuhmu.”

Seketika tubuh Jasana diliputi aura putih cemerlang. Di belakangnya, tampak siluet khodam pria tua berjanggut panjang, mengenakan jubah putih bertabur aksara kuno. Wajahnya tenang, matanya tajam, dan tangannya membentuk mudra pelindung.

Aura tersebut membentuk lapisan pelindung di sekeliling tubuh Jasana, memantulkan serangan sihir ringan dan memperkuat daya tahan tubuhnya terhadap racun dan kutukan.

🌀 Rinjana Menyadari Ancaman

Rinjana menyipitkan mata, lalu mengangkat tongkatnya tinggi.

Rinjana Nirnawa:“Menarik… kau telah membangkitkan khodam yang sudah bisa dikendalikan. Tapi mari kita lihat… seberapa jauh ia bisa melindungimu.”

Ia meluncurkan satu serangan pamungkas: Lidah Bayangan Kedua, sihir berbentuk cambuk ular hitam yang melingkar ganda, menyambar dengan kecepatan luar biasa.

Jasana bersiap.

Jasana (mengangkat dua pedangnya dan berteriak): “TAMENG BAYU – PECAH TIGA ARAH!!”

Siluet Ardhana bergerak cepat, menahan cambuk sihir tersebut dengan tangan khodam, memecah energi hitam itu sebelum mencapai tubuh Jasana. Ledakan aura terjadi, mengguncang tanah.

🔚 Mundurnya Bayawira

Pasukan Bayawira terpaksa mundur setelah lima belas menit pertempuran intens. Beberapa di antara mereka gugur atau luka parah. Rinjana masih berdiri tegak, tapi kini matanya sedikit menyipit, seperti menahan kekaguman.

Rinjana (dalam hati sembari kabur dibalik pepohonan):“Jasana Mandira… kau bukan sekadar penjaga artefak. Kau adalah ancaman takdir bagi pihakku.”

🌫️ Gerbang Perbatasan Tanah Selampa – Sore Menjelang Senja

Langit sudah mulai jingga. Cahaya matahari menembus reranting pohon, menciptakan bayangan panjang di atas jalan berbatu. Di hadapan rombongan, terbentang gerbang kayu besar bertuliskan aksara kuno “Wana Langit – Gerbang Timur Tanah Selampa”.

Namun yang membuat mereka terhenti adalah lapisan kabut tebal berwarna kelabu keperakan yang melingkupi seluruh gerbang dan hutan sekitarnya. Tidak bergerak. Tidak bergeming. Diam. Menyatu dengan udara.

Kirta turun dari kudanya, menunduk, lalu menyentuh tanah dengan tangan kosong. Matanya memicing, merasakan aura yang aneh.

Kirta:“Ini bukan kabut biasa. Ada mantra pelindung yang mengunci ruang. Sesuatu—atau seseorang—telah menutup kota ini dari dalam...”

Bagas menggebrak tanah dengan tumitnya.

Bagas:“Kita nyaris mati di jalan, lalu pintunya malah ditutup?! Siapa yang bertanggung jawab atas pengiriman ini, sebenarnya?”

Jasana diam. Ia berjalan perlahan mendekat ke batas kabut, lalu mencabut Lungguh Darma dan mengayunkannya pelan ke arah batas mistik.

Zzzt!

Begitu ujung pedang menyentuh kabut, lapisan energi bergetar, memantulkan gelombang cahaya biru seperti permukaan air saat dilempar batu. Jasana segera menarik kembali pedangnya.

Jasana (serius):“Ini segel perlindungan... tapi juga bisa menjadi jebakan. Rasanya seperti... pengasingan massal. Mereka menutup kota ini bukan untuk menahan musuh masuk—tapi agar sesuatu di dalam tidak keluar.”

✴️ Percakapan dengan Penjaga Gerbang yang Masih Tersisa

Tiba-tiba dari balik sebuah bangunan pos kecil yang tertutup semi runtuh, muncul seorang penjaga tua berseragam kulit lusuh dengan lengan terbalut kain berdarah. Ia limbung, lalu bersandar di dinding sambil menunjuk ke arah kabut.

Penjaga Gerbang (dengan suara parau): “Kami diserang... bukan oleh manusia... tapi oleh bayangan yang meniru wajah warga sendiri... Mereka datang saat senja... dan... menghilang bersama kabut ini muncul...”

Kirta (menyambar cepat): “Makhluk peniru? Seperti—roh pengganti? Itu ilmu kuno dari hutan terlarang....”

Jasana menatap langit yang semakin merah.

Jasana: “Kalau benar... kita tak bisa menunggu sampai kabut turun sendiri. Kita harus mencari celah, atau cari tahu siapa yang memanggilnya.”

🔍 Petunjuk: Tanda Segel di Batu Penjaga

Bagas menunjuk ke satu batu penyangga di pinggir gerbang. Di sana terukir simbol sihir berbentuk tiga lingkaran menyatu dengan mata di tengahnya, menyala redup keunguan.

Kirta: “Itu segel penjaga dari aliran tak dikenal apakah ulah Bayawira juga...”

Jasana (matanya menyipit):“Berarti ini bukan penyergapan biasa. Mereka ingin kita bawa artefak ini ke sini... dan terperangkap bersama mereka.”

🧭 Menyusun Langkah Berikutnya

Sementara para pengawal bayaran mulai mendirikan tenda sementara di dekat gerbang, Jasana, Bagas, dan Kirta duduk mengelilingi batu api kecil, membahas strategi.

Jasana: “Kita punya tiga malam sebelum kita kehabisan logistik. Jika dalam waktu itu kabut tidak surut, kita harus memilih: cari jalur alternatif, atau menerobos pakai kekuatan penuh.”

Bagas (menggertakkan gigi):“Aku pilih nerobos. Sekali hantam, sekali jalan.”

Kirta: “Aku lebih penasaran... siapa sebenarnya di balik semua ini. Dan... apakah artefak yang kita bawa... punya hubungan dengan kunci kabut itu sendiri?”

Jasana menatap keris sakti di pinggangnya. Cahaya halus memancar dari bilahnya. Seolah... benda itu bereaksi.

🌑 Menjelang Tengah Malam – Di Bawah Gerbang Tertutup Tanah Selampa

Angin malam menderu dingin. Kabut tebal masih menghalangi seluruh gerbang kota. Api unggun yang dinyalakan rombongan hanya berpendar redup, seakan enggan menyentuh batas mistik yang membentang di depan mereka.

Kirta, masih terjaga ketika yang lain mulai tertidur bergantian, berjalan perlahan menyusuri sisi bawah gerbang tua.

Instingnya menuntun langkahnya — rasa tak nyaman di tengkuknya, seperti disentuh oleh sesuatu yang tak kasatmata.

Ia meraba permukaan bebatuan di dasar gerbang. Matanya menyipit, jari-jarinya menyapu sesuatu yang terasa seperti ukiran halus, tak tampak di bawah cahaya biasa.

Kirta menyalakan panarasa, anak panah khusus yang ujungnya bisa menyala dengan api lembut berwarna biru muda.

Cahaya biru menyinari area itu... dan simbol pun mulai tampak.

Kirta (berbisik pelan):“Ini... bukan hanya segel. Ini simbol ‘Watu Lawang’... gerbang gaib. Tapi kenapa tersembunyi di bawah?”

Ukiran itu membentuk pola segi enam dengan mata di tengahnya, dikelilingi tulisan kecil aksara Selampa kuno. Di salah satu sisi, ada cekungan kecil berbentuk anak panah yang sangat mirip dengan kepala panarasa milik Kirta.

Ia menarik napas dalam.

Kirta (penuh kehati-hatian):“Semoga ini bukan perangkap.”

Ia menusukkan ujung panah biru itu ke dalam lubang... dan simbol itu mulai berdenyut cahaya.

Brrrrmmmmmm…

Tanah di bawah mereka bergetar pelan. Lalu... di balik akar besar yang menjorok ke arah sisi kiri gerbang, sebuah retakan vertikal mulai terbuka, menyingkap celah batu dengan lorong gelap di baliknya. Lorong itu menurun tajam, seakan menuju ke bawah kota.

Kirta bergegas membangunkan Jasana dan Bagas.

🔦 Rapat Kilat Sebelum Masuk Lorong

Bagas (mengamati celah): “Gua bawah tanah? Atau sarang jebakan?”

Kirta:“Simbol ‘Watu Lawang’ hanya digunakan oleh penjaga wilayah leluhur Selampa. Jalur ini... legal, tapi rahasia. Mungkin digunakan untuk evakuasi atau akses tersembunyi para bangsawan.”

Jasana (serius):“Kita tidak punya pilihan lain. Kalau kabut itu adalah segel hidup, hanya jalur seperti ini yang bisa membawa kita masuk tanpa mengusik mantra utama.”

Ia menoleh pada para pengawal bayaran yang kelelahan.

Jasana (tegas):“Yang luka tetap di sini dan perkuat perimeter. Aku, Bagas, dan Kirta akan masuk lebih dulu. Jika dalam dua jam tidak kembali, segera kirim kabar ke Guild.”

Para pengawal mengangguk. Bagas menyesuaikan sarung tangan besinya, Kirta menggantungkan busurnya di punggung, dan Jasana memastikan Lungguh Darma serta pedang peraknya terikat erat di pinggang, bersama keris sakti yang kini tampak lebih bersinar dari biasanya.

🌌 Menuruni Lorong Rahasia

Langkah mereka menuruni lorong batu yang gelap dan sempit, diterangi cahaya lembut dari panarasa dan nyala halus dari keris Jasana. Dinding lorong dihiasi simbol-simbol mistik Selampa kuno, menggambarkan penjaga kota, roh leluhur, dan kunci-kunci alam gaib.

Suara gemericik air terdengar di kejauhan... dan bau khas tanah tua memenuhi udara.

Tiba-tiba, Kirta berhenti dan mengangkat tangan.

Kirta:“Ada sesuatu... mendekat dari depan.”

Dari ujung lorong... samar-samar terdengar suara langkah... bukan satu, tapi banyak.

Bagas (mengepalkan tangan):“Siap bertarung?”

Jasana (datar):“Selalu.”

🕯️ Ruang Pertemuan Rahasia di Bawah Kota Selampa

Lorong berbatu berakhir pada sebuah pintu besar dari batu hitam berukir relief naga dan pohon hayat. Ketika Kirta menyentuhkan telapak tangan ke permukaan ukiran mata naga, batu itu bergetar perlahan dan bergeser... menyingkap ruang bundar yang luas.

Di dalamnya, ratusan lilin roh menyala melayang di udara, tak menyentuh langit-langit maupun lantai. Dindingnya penuh ukiran sejarah magis Tanah Selampa, dari zaman kerajaan kuno hingga simbol-simbol yang menggambarkan perjanjian antara para penjaga dan penguasa dunia bawah.

Tepat di tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri. Di atasnya, tergelar kotak logam hitam dengan kunci berlapis segel merah darah.

Jasana melangkah maju, matanya terpaku pada simbol segel di permukaan kotak itu.

Jasana (berbisik):“Segel ini... sama seperti yang kupelajari dari Kapten Mahadewa Rakunti. Segel ‘Rasa Murka’... artinya, sesuatu telah memicu kemarahan roh penjaga kota ini.”

Kirta mendekat, mengamati ukiran di sisi altar yang berbentuk seperti papan pesan dari batu kuarsa hijau tua.

Kirta:“Ada catatan tua di sini... tertulis dalam aksara campuran Selampa dan bahasa tinggi Mandalagiri.”

Ia membacakan pelan, suaranya bergema:

“Barang siapa yang mengusik keseimbangan antara darah penjaga dan darah perampas, maka kabut akan bangkit. Gerbang kota akan terkunci, hingga pengusik menerima hukum leluhur.”

“Jika kau menemukan ruang ini, kau tak datang sebagai musuh. Tapi berhati-hatilah… karena mata sang penjaga telah dibutakan oleh bayangan berpakaian terang.”

Bagas menatap keduanya.

Bagas:“'Bayangan berpakaian terang'? Kedengarannya seperti... penyusup dari dalam.”

Kirta mengangguk pelan, wajahnya tegang.

Kirta:“Kemungkinan besar... ada orang dalam pemerintahan Selampa yang memicu segel ini. Seseorang dari kalangan bangsawan yang memiliki otoritas membuka tempat ini... tapi disalah gunakan.”

Jasana menatap kotak logam itu, lalu berlutut dan menyentuhkan keris saktinya ke segel merah darah.

Zzzztt...Segel itu bereaksi. Dari dalam kotak, muncul suara gema... bisikan roh:

“Wahai penjaga keseimbangan... yang membawa warisan cahaya dan darah langit... dengarkanlah...”

“Artefak ini adalah ‘Padma Jalma’ – jantung pertama roh kota. Ia dijarah, dipindahkan secara paksa. Kabut bangkit bukan untuk menyerang, tapi untuk melindungi apa yang tersisa.”

Mendadak dari balik dinding... bayangan muncul — siluet roh penjaga kota menyerupai wanita tua berselendang kabut, matanya kosong namun bersinar tenang. Ia menunjuk ke arah timur.

Roh Penjaga:“Yang menjarah... belum pergi jauh. Ia masih menyimpan bayangan ular dua kepala... yang pernah kau hadapi di hutan kemarin.”

Ketiganya langsung saling pandang. Simbol itu... Bayawira.

Jasana (berdiri perlahan):“Jadi... mereka bukan sekadar pengejar. Mereka pencuri. Dan kota ini mengurung diri agar ‘Padma Jalma’ tak keluar lebih jauh.”

Kirta:“Itu artinya... Rinjana Nirnawa ada di balik ini semua.”

Bagas (mengeretakkan buku-buku jari):“Dan kita baru saja masuk ke pusat konflik roh dan politik.”

⚔️ Persiapan Mengejar dan Menghadapi Kebenaran

Sebelum pergi, Jasana menaruh kotak artefak itu kembali dengan hormat. Roh penjaga mengangguk perlahan dan memudarkan dirinya dalam cahaya biru.

Jalur baru terbuka di balik altar—tangga batu menuju inti kota perbatasan Selampa, memungkinkan mereka masuk tanpa membangunkan kabut lagi.

Jasana menarik napas dalam.

Jasana:“Kita bawa berita ini ke markas Guild. Tapi sebelum itu... kita temukan Rinjana dan pastikan dia tak sempat kabur dengan sisa artefak lainnya.”

Lorong Bayangan – Pengejaran Malam Menuju Rinjana

Malam telah menggulung kota perbatasan Tanah Selampa dalam senyap dan hawa lembap. Di balik permukaan kota yang tertidur, Jasana, Bagas, dan Kirta menyusuri jalur bayangan—sebuah koridor rahasia yang terbuka hanya setelah roh penjaga memberi izin. Jalur ini dulunya adalah lorong bawah tanah zaman kuno, digunakan untuk pertemuan rahasia para penjaga kota dengan kaum rohaniwan leluhur.

Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara di atas bebatuan tua yang lembab, diterangi samar oleh obor berwarna kebiruan yang menyala sendiri di sela-sela dinding.

Kirta (berbisik sambil membuka gulungan peta kuno yang ditemukan dari altar):“Jika aku tak salah membaca tanda ukiran ini… Rinjana menuju Gerbang Pasir Hitam di sisi timur kota. Di sanalah lorong ini berakhir... tempat persembunyian para eksil Bayawira Selatan.”

Bagas (mengepalkan tangan, bisikannya berat):“Kita akhiri semua ini sebelum dia sempat kabur.”

Jasana (suara rendah, mata tajam):“Ingat. Dia pengguna sihir berat dan tak sendiri. Kita incar dia, bukan membantai pengikutnya.”

Angin lembab mendesir dari lorong depan. Tiba-tiba, langit-langit runtuh sebagian — BOOM! — dan dari reruntuhan, tiga bayangan berkerudung muncul. Mereka mengenakan pakaian tempur Bayawira, bersenjatakan cakram berbilah dan tombak bayangan.

Tanpa perlu aba-aba, ketiganya menyerbu.

Jasana menghunus dua pedangnya — pedang perak umum dan Lungguh Darma, pedang merah darah buatannya sendiri. Dengan gerakan kilat, ia menangkis dua cakram, lalu memotong serangan ketiga dengan putaran Double Crescent—gerakan baru yang ia latih diam-diam.

Bagas menerjang lurus ke depan. Sarung tangan besinya memukul tombak yang mengarah ke Kirta, dan memelintir leher musuh dengan lemparan bahu.

Kirta, sambil mundur, menembakkan panah Panarasa—sebuah anak panah bercahaya biru yang menembus gelap. Panah itu mengenai musuh ketiga tepat di dada, membuat tubuhnya mengeras seperti batu sebelum runtuh.

Ketiga musuh tumbang. Nafas mereka berat, tapi tak berhenti.

Jasana mengangguk pada Kirta.

Jasana:“Kecepatan kita harus dua kali lipat sekarang. Mereka sedang menunda kita.”

Mereka melanjutkan. Lorong berubah menjadi spiral batu, dan hawa sihir semakin pekat. Dindingnya berlapis akar hitam yang berdenyut lembut—tanda bahwa tempat itu telah disentuh sihringga—sihir darah dari aliran terlarang di selatan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki di ujung lorong terdengar. Lalu, muncul siluet wanita… Rinjana Nirnawa.

Ia berdiri tenang di depan gerbang batu berbentuk ular berkepala dua yang menggantung di udara. Tongkatnya bersinar ungu, matanya menatap mereka dengan dingin.

Rinjana:“Kalian sampai juga... Tapi terlalu cepat untuk mati. Atau terlalu lambat untuk menyelamatkan Selampa.”

Ia mengangkat tongkatnya. Lingkaran sihir kuno menyala di bawah kakinya, memanggil kabut hitam dari atas. Kabut itu melilit dinding, berubah menjadi bayangan roh tempur.

Jasana memajukan satu langkah. Di belakangnya, siluet Khodam Ardhana—seorang pria tua berjubah putih—muncul, berdiri melindungi punggungnya.

Jasana (menatap mata Rinjana):“Kau sudah memicu perang. Tapi malam ini, kita rampas kembali cahaya dari bayang-bayangmu.”

Pertarungan di Gerbang Pasir Hitam

Kilatan ungu dan merah menyambar lorong bawah tanah ketika pertarungan pecah di hadapan Gerbang Pasir Hitam—sebuah lengkungan sihir berbentuk ular berkepala dua yang menggantung tanpa menyentuh tanah.

Rinjana Nirnawa, berdiri di tengah lingkaran mantra bercahaya ungu gelap, memanggil empat pelindung bayangan dari pusaran kabut yang muncul di sekelilingnya. Mereka mengenakan jubah hitam berlapis mantra pelindung, bergerak cepat, senyap, dan membawa senjata sihir—tombak kabut dan belati ilusi.

Jasana maju ke depan, dua pedang terhunus: pedang perak pelatihan dan Lungguh Darma, yang memancarkan semburat merah darah setiap kali terayun. Di belakangnya, siluet khodam Ardhana—sosok pria tua berjubah putih, berambut panjang dan berjanggut perak—muncul dengan aura tenang, berdiri sebagai pelindung rohani.

Rinjana (datar, suaranya berlapis gema sihir):“Kau pikir bisa menentang kehendak kegelapan, bocah bayu geni.?”

Jasana (mengerutkan alis):“Kegelapan yang memaksa tumbuh bukan kekuatan. Itu kelemahan yang disamarkan.”

🌪️ Pertarungan Dimulai

Bagas menerjang ke kiri, melawan dua pelindung bayangan dengan pukulan-pukulan brutal. Sarung tangan besinya menghancurkan mantra pelindung dengan kekuatan murni, memaksa satu lawan mundur sambil terluka di dada.

Kirta bergerak ke kanan, berlari di dinding lorong sambil menembakkan tiga anak panah bertubi-tubi. Panah Panarasa-nya melumpuhkan satu pelindung, menciptakan celah untuk menahan serangan sihir pelindung terakhir.

Di pusat pertempuran, Jasana dan Rinjana saling menyerang dalam tarian kematian. Tongkat kristal berduri milik Rinjana memancarkan semburan sihir petir ungu dan gelombang kejut, namun Jasana menangkisnya dengan gerakan sinkron dua pedangnya. Setiap tebasan memicu kilatan api dan pantulan cahaya merah dari Lungguh Darma.

Khodam Ardhana mulai menyatu ke tubuh Jasana, memunculkan lapisan pelindung energi putih pada tubuhnya. Jasana memasuki kondisi semi-transendensi, tubuh dan gerakannya seolah lebih ringan, lebih cepat, dan tekniknya lebih tajam.

Rinjana (berteriak, wajahnya pucat):“Kau... mengendalikan khodammu... sepenuhnya?”

Jasana (menghujamkan dua pedangnya ke bawah):“Bukan mengendalikan. Aku sedikit menyatu dengannya.”

🗡️ Penentu: Padma Jalma Terjatuh

Dalam satu putaran serangan, Jasana menggabungkan dua tebasan silang dengan pukulan lutut. Lungguh Darma menyambar tongkat Rinjana, Dia terlempar ke belakang, menghantam altar sihir.

Artefak Padma Jalma, yang digantung di leher Rinjana sejak awal, terlepas dan jatuh ke tanah, memancarkan cahaya keemasan yang menembus kegelapan. Jasana melompat dan menangkapnya tepat sebelum menyentuh batu tanah lorong.

Rinjana (terengah, tubuhnya gemetar, menatap Padma Jalma di tangan Jasana):“T-Tidak... Tanpa itu... Aku... gagal…”

Matanya merah membara karena murka dan rasa malu. Ia mengeluarkan gulungan teleportasi dari balik jubahnya—terikat dengan benang sihir berwarna hitam keemasan.

Rinjana (dalam hati):“Kapten Wighna Laksa mempercayakan ini padaku... sudah ada beberapa artefak yang kudapatkan aku tidak boleh sampai tertangkap.”

Sebelum Bagas sempat menerjang atau Kirta melepaskan panah, Rinjana membaca mantra cepat.

“Sastra Maladya… Sambhara Nirwana!”

Kabut ungu melingkar. Tubuh Rinjana membias, lalu menghilang seolah terhisap oleh bayangan sendiri, menyisakan debu sihir yang berpendar lembut.

Keheningan jatuh. Gerbang Pasir Hitam meredup.

Jasana berdiri di tengah lingkaran batu, memandangi Padma Jalma yang kini bersinar tenang di tangannya. Di sekelilingnya, khodam Ardhana menyusut kembali menjadi cahaya putih yang masuk ke dalam keris sakti di pinggangnya.

Kirta (dengan napas tersengal):“Dia lolos… tapi kita berhasil. Artefak kembali.”

Bagas (mengelap darah dari dagunya):“Kalau dia kabur ke selatan… kita belum selesai.”

Jasana (menatap ke arah sisa-sisa sihir di udara):“Bayangan belum padam. Tapi terang mulai tumbuh.”

🌄  Kunci Mistis Kota Terbuka

Kabut ungu yang menyelimuti gerbang kota perbatasan perlahan-lahan menguap, tertarik kembali ke pusat sihir yang kini telah netral. Di altar utama ruang suci bawah tanah, Artefak Padma Jalma—sebuah kristal berbentuk bunga teratai emas dengan inti berdenyut cahaya—telah kembali ke takhtanya. Lingkaran mantra pelindung di sekelilingnya menyala lembut, dan udara di ruang itu menjadi tenang kembali.

Simbol kuno di langit-langit—tiga lingkaran cahaya yang melambangkan perlindungan, warisan, dan kebangkitan—berpendar satu per satu, menandakan bahwa kekuatan penjaga kota telah pulih.

Kirta (menatap ukiran di dinding batu):“Segelnya telah hilang. Lintasan kota kini terbuka.”

Bagas (mengayuh pundaknya yang masih memar):“Bagus. Aku sudah muak tidur di tanah dan dikejar bayangan. Ayo keluar dari tempat ini.”

Jasana mengangguk, menatap Padma Jalma untuk terakhir kalinya. Cahaya dari kristal itu memantul lembut di matanya, seolah ada pesan diam yang tersampaikan—sebuah warisan dari masa lalu yang masih menyimpan banyak misteri.

Mereka bertiga bergegas keluar dari lorong rahasia, menyusuri kembali jalur tersembunyi menuju permukaan. Begitu menembus celah batu di balik air terjun kecil di luar tembok kota.

🐫 Di Luar Kota: Rombongan Kafilah

Di depan gerbang kota, rombongan kafilah masih menunggu. Sebagian besar pengawal bayaran sedang beristirahat, namun tetap waspada. Wajah mereka tampak lega ketika melihat Jasana, Bagas, dan Kirta muncul dari sebuah celah.

Pemimpin Kafilah (seorang pria paruh baya bersorban merah gelap):“Langit dipuji! Gerbang kota kini terbuka…! Kau benar-benar menepati janjimu, pendekar muda.”

Jasana (tersenyum tipis, mengangguk):“Sekarang saatnya kita selesaikan sisa perjalanan. Bangsawan Selampa masih menanti artefak legal ini.”

Bagas (naik ke atas salah satu kereta):“Ayo bergerak sebelum mata-mata sisa Bayawira bangun dari lubang persembunyian mereka.”

Kirta (memeriksa arah angin sambil memegang kompas khidmat):“Angin berpihak pada kita.”

Rombongan pun mulai bergerak, menyusuri jalan utama Tanah Selampa yang kini kembali terbuka. Sepanjang jalan, para penduduk kota masih terlelap dalam keheningan malam.

Gerbang kota yang sempat dikunci kabut kini terbuka lebar, diterangi sinar rembulan dan wangi dupa. Di puncaknya, bendera Tanah Selampa dan lambang perdagangan sah berkibar—keamanan telah kembali.

🌟 Narasi:

Dengan Padma Jalma kembali ke tempatnya, maka jalur masuk perdagangan ke tanah selampa terbuka kembali, Namun jauh disana Bayawira Selatan terus bergerak, kabut yang lebih gelap mulai menyelimuti Wilayah Mandalagiri Selatan...

🌘 Serah Terima Artefak di Kediaman Bangsawan Tanah Selampa

Udara dini hari terasa dingin dan tenang, hanya sesekali terdengar suara serangga malam dari kebun luas di sekeliling rumah besar berarsitektur klasik milik seorang bangsawan Tanah Selampa. Pilar-pilar batu kokoh menjulang menopang atap lebar berhiaskan ukiran awan dan dedaunan, serta lentera minyak yang menyala temaram di sudut-sudut lorong.

Di balai tamu dalam rumah utama, suasana resmi namun tetap hangat. Sebuah meja panjang dari kayu trembesi dipenuhi dokumen, peti bersegel, dan lilin kecil yang menyala. Beberapa penjaga pribadi tuan rumah berdiri menjaga di sisi ruangan, bersenjata lengkap namun bersikap netral.

🧓 Ketua Kilafah (orang kepercayaan Tuan Ramakerti) berbicara dengan tenang:

“Dengan selesainya proses ini, kami nyatakan bahwa pengiriman artefak legal dari Tirabwana telah diterima dengan baik, tanpa cacat maupun kehilangan.”

Dari balik tirai, muncul seorang pria tua berpakaian bangsawan Selampa: Tuan Kertanegara Mahardika, bangsawan pemilik rumah. Ia mengangguk pelan, lalu membuka kotak artefak. Cahaya samar dari dalam kotak memancar, memantulkan bayangan magis di langit-langit ruangan. Ia menyentuh bagian atas artefak dengan sarung tangan sutra—sebuah ritual pengesahan tradisional.

Tuan Mahardika (suara lembut dan penuh wibawa):“Artefak ini... sah. Tidak terkontaminasi sihir gelap, dan sesuai dengan catatan katalog perdagangan antarbangsawan.”

Kemudian, ia menandatangani surat penerimaan resmi, dengan cap lilin bersimbol bunga Selampa yang mekar. Dokumen tersebut diserahkan ke ketua kilafah, yang segera menyerahkannya juga kepada Jasana.

Ketua Kilafah (menyerahkan salinan kepada Jasana):“Ini salinan laporan bertandatangan. Misi kalian kami anggap selesai dengan sempurna. Tuan Ramakerti pasti akan puas menerima laporan ini.”

Bagas (berbisik ke Kirta):“Syukurlah, artinya kita bisa tidur di kasur beneran malam ini.”

Kirta (tersenyum tipis):“Dan tidak diburu siluman kabut atau tongkat sihir meledak.”

💰 Uang hasil penjualan diserahkan

Sebuah peti kecil bersegel diserahkan dari perwakilan keluarga Mahardika ke pihak kilafah—berisi koin emas, cinderamata perhiasan, dan koin kuno sebagai hasil penjualan sah. Ketua kilafah menerima dan mencatat dalam lembar penerimaan pribadi.

Setelah seluruh proses selesai, seorang pelayan bangsawan membungkuk sopan dan memberi isyarat:

“Para tamu dipersilakan beristirahat di sayap timur rumah utama. Tempat telah dipersiapkan, lengkap dengan makanan hangat dan air mandi dari mata air Selampa.”

Jasana, Bagas, dan Kirta menunduk hormat dan mengikuti sang pelayan. Mereka melewati lorong panjang menuju paviliun kayu berukir yang menghadap taman bunga malam, di mana aroma sedap dari dapur dan suara air kolam menciptakan ketenangan setelah hari yang panjang.

Saat mereka akhirnya merebahkan tubuh di ranjang empuk, bintang-bintang masih bersinar di langit Tanah Selampa—menjadi saksi bisu berakhirnya misi pertama mereka sebagai bagian dari Guild Bayu Geni.

Catatan Narasi:

Di balik tembok Markas Bayawira Selatan, Rinjana Nirnawa melapor dengan luka yang masih belum sembuh… dan sang Kapten, Resi Wighna Laksa, mulai menyusun langkah balasan.

🌄 Pagi di Jalan Raya Utara, Jalur Perdagangan Tanah Selampa – Tirabwana 3 Hari Kemudian.

Langit mulai cerah dengan warna jingga keemasan saat rombongan kilafah kembali menyusuri jalan raya utama menuju Tirabwana. Jalur ini dikenal sebagai Jalur Perdagangan Dataran Sagara, terbentang panjang membelah hutan rimba ringan, lembah berbunga, dan sungai kecil yang mengalir tenang di sisi kanan jalur.

Kereta utama yang membawa hasil penjualan artefak legal dan dokumen misi telah dikawal rapat oleh para pengawal bayaran. Di antara rombongan, terlihat tiga sosok muda berkuda, menunggangi kuda mereka dengan sikap tenang tapi waspada: Jasana, Bagas, dan Kirta.

Jasana tampak lebih tegap dari sebelumnya. Di sisi kiri pinggangnya tergantung pedang perak latihan, dan di sisi kanan, pedang merah Lungguh Darma yang kini mulai ia kuasai sepenuhnya. Di balik pakaiannya tersimpan keris sakti pemberian Mahadewa Rakunti, yang sudah menyatu kuat dengan khodam Ardhana.Siluet khodam berjubah putih itu sesekali tampak samar kala angin meniupkan debu dan sinar matahari menembus daun.

Bagas tampak duduk santai di atas pelana kuda cokelatnya. Sarung tangan besi miliknya kini telah diperbaiki, dan kulit tangannya yang sempat tergores tampak sudah sembuh. Ia mengunyah sepotong daging kering sambil mengawasi sekitar.“Kapan kita dapat misi seperti ini lagi, ya?” gumamnya ringan.

Kirta menunduk memandangi busur Panarasa yang diselempangkan di punggungnya. Mata tajamnya menyapu pepohonan. Ia terlihat tenang tapi penuh kewaspadaan. "Aku rasa... setelah ini, perhatian Bayawira Selatan terhadap kita takkan selesai begitu saja."

Dari kejauhan, bayangan Kota Tirabwana mulai tampak samar. Bendera-bendera kilafah dan lambang dagang Ramakerti berkibar di atas gerbang luar.

🏙 Sambutan Awal di Tirabwana

Setibanya di depan gerbang selatan kota, penjaga membuka palang setelah mengenali lambang resmi rombongan. Kota yang ramai mulai terasa, dengan suara pedagang, kereta dagang, dan tawa anak-anak di jalan. Penduduk Tirabwana, meski sibuk, menoleh dan memberi hormat singkat kepada rombongan sebagai bentuk penghargaan.

Ketua Kilafah yang duduk di dalam kereta tersenyum pada ketiga pemuda yang mengawal mereka dari depan. Ia melongok dan berkata:

“Jasana, Bagas, Kirta… atas nama Tuan Ramakerti dan para saudagar Tirabwana, kami berterima kasih. Kalian bukan sekadar pengawal, tapi pelindung jalur perdagangan ini. Laporan misi kalian sudah sampai ke Guild Bayu Geni.”

Jasana mengangguk tenang, sementara Kirta membalas dengan senyum singkat. Bagas justru menyeringai dan berkata pelan, “Yah, kalau nggak ada tambahan bonus, minimal kasih kami makan enak dulu, Pak.”

Semua yang mendengar tertawa.

Setelah misi penuh bahaya dan pertempuran yang menegangkan, tiga pemuda Guild Bayu Geni ini kembali ke kota asal mereka dengan kepala tegak—membawa pengalaman, kekuatan baru, dan ikatan persaudaraan yang makin kokoh.

lalu melalui surat resmi yang dikirim oleh bangsawan tanah selampa tuan kartanegara mahardika melalui surat yang diantar oleh kurir surat berkuda.

🏛️ Ruang Administrasi Guild Bayu Geni – Sore Hari

Ruang administrasi Guild Bayu Geni sore itu tampak sibuk namun tertib. Lantainya berlapis kayu jati mengilap, dindingnya dipenuhi rak-rak penuh laporan misi, peta tugas, serta jadwal ekspedisi. Cahaya matahari senja menerobos dari jendela tinggi, memantul di meja-meja ukir di mana para petugas mencatat setiap keberhasilan maupun kegagalan anggota guild.

Jasana, Bagas, dan Kirta berdiri berjejer di hadapan meja resepsi kayu besar di tengah ruangan. Di baliknya, seorang staff administrasi senior berkacamata bundar dengan rambut tersisir rapi tengah membaca lembar laporan yang baru saja diterima.

“Misi Pengawalan Kafilah Artefak,

rute: Tirabwana – Tanah Selampa.

Status: Selesai dengan hasil penuh.

Nama penerima: Tuan Kartanegara Mahardika.

Konfirmasi penerimaan melalui surat tertanggal dua hari lalu,

dikirim oleh kurir resmi Bangsawan,”

ucapnya sambil menyusun lembar kertas ke dalam map kulit berlogo resmi Guild Bayu Geni.

Ia lalu menatap ketiganya dan mengangguk.

“Atas nama administrasi Guild Bayu Geni, kami menyampaikan selamat. Misi kalian telah dicatat sebagai keberhasilan penuh. Atas kontribusi dan kerja sama yang luar biasa, kalian berhak menerima upah resmi: dua belas keping emas per orang.”

Seorang petugas lain datang membawa kotak kecil dari kayu cendana yang masing-masing berisi 12 keping emas yang berkilau. Peti-peti itu diletakkan di atas meja dengan hati-hati, lalu diserahkan satu per satu.

Kemudian, staff administrasi utama membuka laci khusus dan mengeluarkan tiga kotak kecil berbalut kain merah tua, menatap mereka dengan ekspresi sedikit lebih hangat.

“Selain itu, kalian juga menerima bonus cinderamata pribadi dari Tuan Ramakerti, bangsawan Tirabwana. Ia menitipkan ini sebagai penghargaan pribadi karena telah menyelesaikan misi tanpa korban dan dengan kehormatan tinggi.”

Mereka membuka kotak masing-masing.

Jasana menerima sebuah liontin perak berbentuk tetesan air, dengan ukiran huruf kuno dan batu biru lembut di tengahnya. Di baliknya terukir: "Untuk penjaga jalur yang tak gentar."

Bagas mendapat gelang kulit bertatahkan logam emas dengan simbol pedang silang, melambangkan keberanian dan kekuatan.

Kirta menerima cincin perunggu halus bertatahkan giok hijau lumut, yang melambangkan kehati-hatian dan ketajaman naluri.

Bagas terkekeh saat menatap gelangnya. “Kalau cinderamata ini bisa ngasih bonus kekuatan, aku siap kerja tiap minggu.”

Kirta tersenyum kecil. “Lebih penting ini jadi bukti kalau kita dilihat dan dihargai.”

Jasana, dengan ekspresi tenang dan penuh syukur, menunduk hormat pada staff administrasi. "Terima kasih atas pencatatannya. Kami akan terus siap menjalankan tugas berikutnya."

Petugas mengangguk dan menjawab:

“Laporan ini akan diteruskan ke kapten Lodra Wahana sebagai Penanggung Jawab. Kalian bisa beristirahat atau melapor langsung ke Divisi masing-masing. Nama kalian sudah mulai bergaung di antara para pengamat divisi.”

Dengan langkah perlahan namun ringan, ketiganya melangkah keluar dari ruang administrasi, membawa hasil jerih payah, penghargaan, dan satu lagi batu pijakan menuju perjalanan yang lebih besar.

Desa Pesisir Terpencil, Mandalagiri Selatan – Senja Memerah Darah

Angin asin dari laut menerpa reruntuhan desa kecil di pesisir Mandalagiri Selatan. Matahari yang terbenam menumpahkan cahaya merah muram ke tanah berlumur darah. Aroma logam dan asap masih pekat di udara.

Di tengah jalan utama desa yang luluh lantak, Darsa berdiri sendiri di atas tumpukan mayat, tubuhnya diselimuti aura hitam keunguan yang beriak tenang tapi mengancam. Khodam Aswangga, berbentuk kucing raksasa hitam keunguan bermata amethyst menyala, berdiri tenang di belakangnya, tubuhnya melengkung menutupi Darsa seperti bayangan pelindung.

Pedang pendek Sahya masih meneteskan darah segar. Tubuh Darsa penuh luka ringan, tapi matanya tajam, dingin, dan tidak gentar sedikit pun.

Di ujung jalan, dari reruntuhan rumah panggung yang terbakar setengah, muncul sesosok pria besar dan mengerikan. Tubuhnya kekar tapi penuh luka bakar tua yang menghitam dan menebal seperti kerak lava. Topeng logam tua menutupi separuh wajahnya, sementara tangannya menggenggam sebuah sabit besar melengkung, bilahnya seperti tulang hitam berdenyut.

Dialah Jagara Kalagni, Wakil Kapten Pertama Bayawira Selatan. Di belakangnya, hanya tersisa beberapa jejak api dan sisa anak buahnya yang sudah bergelimpangan.

Ia berjalan perlahan mendekat, suara langkahnya berat seperti dentang besi.

"Jadi... kau anak setengah jadi dari Guild Bayu Geni itu?" ucapnya, suaranya berat dan bergaung dari balik topeng.

Darsa hanya menatapnya dingin, angin malam menerbangkan rambutnya yang berlumur debu. Tanpa menjawab, ia menurunkan pedangnya ke samping, siap bertarung lagi meski tubuhnya belum pulih sepenuhnya.

Jagara Kalagni berhenti sekitar lima langkah dari tumpukan mayat, lalu dengan geram mencabut topengnya.

Wajah di baliknya tampak mengerikan—kulit melepuh, satu mata buta keputihan, rahang kirinya dipenuhi bekas luka terbakar yang sudah menyatu dengan daging.

Ekspresinya marah... dan serius.

"Empat puluh lebih anak buahku kau habisi sendiri. Mereka memang bukan yang terbaik... tapi tetap saudaraku. Anak bodoh, apa kau kira kau bisa keluar dari sini hidup-hidup?"

Darsa menatap lurus, lalu mengangkat sedikit dagunya. Ia menjawab dengan tenang:

"Aku datang bukan untuk keluar hidup-hidup. Aku datang untuk menutup pintu neraka ini. Dan kau, Jagara Kalagni... adalah pintu terakhirnya."

Aura Aswangga di belakangnya beriak semakin pekat, bulunya berdiri seperti duri, mata amethystnya bersinar menyalak.

Jagara meraung marah, lalu mengangkat sabit raksasanya ke udara. Aura gelap yang menyertainya membentuk pusaran debu dan kilat hitam. Suara nyaring seperti jeritan terdistorsi menggema dari bilah sabit.

"Kau mau bermain dengan neraka?! Baik! Aku akan memperlihatkan padamu... kenapa mereka memanggilku: ‘Pendeta Luka Abadi’!”

Darsa melompat turun dari tumpukan mayat. Tanpa rasa takut, ia melangkah maju. Tubuhnya bergerak ringan dan sunyi, tapi tiap langkahnya seolah menggetarkan tanah. Aswangga mengaum lirih, dan menyatu ke dalam bayangan Darsa, menyelimuti tubuhnya dengan energi gelap yang terkontrol rapi.

Pertarungan besar akan dimulai.

Satu pemuda pengendali khodam melawan seorang veteran perang dengan sihir darah dan luka.

Pertarungan Awal – Darsa vs Jagara Kalagni

Angin pesisir menggila. Langit muram, gelap keunguan, seolah ikut menyaksikan duel antara dua kekuatan yang bertolak belakang, satu anak muda dengan pengendalian khodam, satu lagi veteran perang dengan luka dan dendam sebagai sumber sihir hitamnya.

Jagara Kalagni mengayunkan sabit besarnya ke depan, meninggalkan bekas sayatan hitam di udara, seperti robekan di dunia nyata. Energi sihir hitam meletup dari bilahnya tiap kali menyentuh tanah, menciptakan retakan seperti akar neraka.

Darsa melompat ke samping, menghindar dengan lincah. Tubuhnya bergerak cepat seperti bayangan, berputar dan menyelinap, kemudian membalas dengan tusukan pedang pendek Sahya ke arah rusuk Jagara.

Namun Jagara membaca gerakan itu—ia menghantam tanah dengan sabitnya dan menciptakan gelombang energi hitam yang memaksa Darsa mundur.

Jagara (geram): “Kau lincah... seperti anak kucing liar. Tapi masih terlalu muda untuk menghadapi kobaran neraka, bocah!”

Aswangga muncul dari bayangan Darsa, melompat dengan taring menyala ungu, menerkam sisi Jagara.

Sabit Jagara berputar cepat—menebas satu kaki Aswangga, namun tubuh khodam itu menyatu kembali seolah terdiri dari asap padat. Aswangga meraung, mengayunkan cakarnya dan membuat Jagara terpental beberapa langkah.

Darsa menyusul serangan itu, muncul dari belakang dalam posisi membungkuk rendah, gerakannya seperti ninja, ia menebas lutut Jagara—hampir berhasil, namun sabit Jagara berputar melindungi tubuhnya seperti perisai hidup.

Seketika Jagara membentak, menghentakkan sabit ke tanah, menciptakan ledakan bayangan hitam yang memukul mundur Darsa dan Aswangga.

Darsa (napas berat): “Tenagamu besar... Tapi seranganmu keras karena tak ada yang menjagamu dari dalam.”

Jagara (menahan luka di bahu): “Aku tak butuh jagaan! Luka ini sudah cukup jadi sahabatku! Sihir ini… lahir dari neraka yang kau belum mengerti!”

Darsa menggeser kuda-kuda, tangan kirinya membentuk segel jari cepat. Aura Aswangga menyatu ke dalam tubuhnya sepenuhnya, menciptakan lapisan bayangan yang melapisi tubuh Darsa seperti zirah asap.

“Mode Penunggal Bayangan…” bisik Darsa.

Ia menghilang seketika. Dalam sepersekian detik, empat bayangan palsu muncul di sekitar Jagara dari arah berbeda.

Jagara meraung dan memutar sabit secara acak ke segala arah, menciptakan tebasan berbentuk lingkaran. Dua bayangan lenyap. Tapi dari arah belakang—

Darsa asli muncul! Menebas dengan Sahya, serangan horizontal ke punggung Jagara.

—Terdengar dentang keras!

Jagara menahan dengan sabit, namun kehilangan keseimbangan. Darsa memutar tubuh, berputar ke sisi kiri Jagara, lalu menusuk ke arah perut.

Sabetan sabit Jagara menyambar sebagai balasan… dan darah terciprat. Keduanya mundur.

Darsa memegang pundaknya yang terluka. Jagara berdiri goyah, dada kirinya terluka dalam, darah hitam kental merembes dari balik luka.

Mereka terdiam sejenak.

Jagara (bernapas kasar): “Kau... melukaiku. Itu... langka.”

Darsa (datar, menatap tajam): “Kau bukan abadi, Jagara. Kau cuma manusia yang menolak mati… tapi aku datang untuk mengingatkanmu bahwa waktumu sudah lewat.”

Pertarungan awal usai, keduanya mengalami luka dan mundur untuk sejenak. Tapi ini bukan akhir… ini hanyalah awal dari duel panjang dua kekuatan gelap yang berbeda sumber satu dari kedalaman batin, satu dari luka dunia.

Pertengahan Pertarungan – Kebangkitan Spiritual Khodam Darsa.

Angin pesisir mendesir tajam, mengangkat debu, darah, dan bayangan yang beterbangan di tengah medan yang mulai berwarna kelam. Tubuh-tubuh bandit tergeletak tak bernyawa mengelilingi dua sosok yang masih berdiri saling menghadap.

Sabit Jagara Kalagni kembali mengayun dalam lengkungan mematikan—berdenyut aura sihir hitam pekat. Tanah terbelah, udara bergetar.

Darsa melompat ke samping, memutar tubuhnya untuk menghindar. Ia merendah seperti bayangan, pedang pendek Sahya menangkis ujung sabit yang nyaris menyambar lehernya.

Aswangga berputar di sisi lain, dengan cakar dan geraman keunguan, menerkam dari sisi berlawanan. Pertempuran itu menjadi seperti tarian bayangan dan kilatan sabit.

Dentang demi dentang logam terdengar. Serangan Jagara keras dan penuh tekanan, tetapi Darsa gesit. Ia seperti tak menyentuh tanah, meluncur di antara celah sabit, membalas dengan tusukan presisi.

Tapi...

Satu kesalahan. Satu kelengahan.

Saat Darsa mendarat dari lompatan mundur, Jagara berpura-pura terpukul, lalu tiba-tiba mengayunkan sabit secara horizontal ke arah dada Darsa—cepat dan rendah.

"GHHHKKK!!"

Sabit itu menebas dada Darsa. Darah menyembur. Tubuh Darsa terpental beberapa meter ke belakang dan menghantam tanah dengan keras. Ia terbatuk, tangan gemetar memegangi luka di dadanya yang menganga, darah menetes deras membasahi kainnya.

Jagara mendekat pelan. Nafasnya berat namun teratur. Matanya menyala marah di balik luka-lukanya.

Jagara: “Selesai sudah. Aku akui kau hebat. Tapi tetap saja, bocah... kau terlalu muda untuk neraka ini.”

Namun... Darsa tertawa pelan. Tertawa dalam derita.

Darsa (pelan, penuh amarah): “Aswangga... sudah cukup bermain-main.”

Darsa (berteriak, berdiri gemetar): “SATU JIWA!

Angin di sekelilingnya berputar. Aura hitam keunguan meledak dari tubuh Darsa. Tanah bergetar. Udara seakan ditekan oleh kekuatan yang membuncah dari dalam.

Aswangga meraung keras dari balik tubuh Darsa, tubuhnya membesar dan menyatu ke dalam dada Darsa, menyelimuti tubuh pemuda itu dengan energi yang menyala ungu tua.

Cahaya gelap itu meredup...

Dan kini Darsa berdiri kembali—namun bukan Darsa yang tadi.

Tubuhnya dilapisi lapisan bayangan berbentuk jubah siluman, telinga kucing runcing menjulang di kepala, matanya bersinar terang keunguan, cakar hitam menyelimuti jemarinya, dan ekor bayangan berayun perlahan di belakangnya. Perawakannya seperti manusia siluman kucing malam yang lahir dari kehampaan dan kemarahan.

Jagara (melangkah mundur satu langkah, terkejut): “... Kebangkitan Spiritual...! Mustahil...!”

Jagara: “Kau... masih sangat muda. Ini bukan kekuatan yang seharusnya bisa kau kendalikan!”

Darsa menunduk sedikit, napasnya stabil, lalu menatap Jagara—tatapan seekor predator sejati.

Darsa (datar, suara bergaung pelan): “Aku tidak pernah minta dilahirkan dengan kutukan ini... Tapi aku memilih menguasainya... dan sekarang, waktumu habis, Jagara.”

Pertarungan akan memasuki babak akhir, saat Darsa dalam wujud Kebangkitan Spiritual bersatu penuh dengan khodamnya Aswangga. Kecepatan, kekuatan, dan insting bertarungnya meningkat drastis. Jagara akan menghadapi sisi tergelap dan paling buas dari Darsa…

Akhir Pertarungan – Darsa Menjatuhkan Jagara

Langit pesisir Mandalagiri selatan diselimuti awan kelabu. Bau darah, garam, dan tanah basah menyatu dalam udara. Di tengah medan pertempuran yang sunyi dan penuh mayat, dua sosok masih berdiri—satu membara dengan kekuatan kegelapan, satu lagi berubah menjadi siluman bayangan yang tak tertandingi.

Jagara Kalagni, tubuhnya sudah dipenuhi luka. Nafasnya terengah, tetapi ia tetap menggenggam sabit hitam besar yang kini berdenyut dengan sihir hitam pekat. Aura gelap melingkar di sekitar bilahnya, membentuk pusaran sihir yang mulai menggila.

Jagara (meneriakkan mantra): “RAKTA… GILING KARSA!!”

Ledakan energi hitam meledak dari sabitnya saat ia mengayun dengan segenap sisa tenaganya, membelah udara dan tanah dalam satu tebasan beringas yang mengarah ke dada Darsa.

Tapi Darsa kini adalah bayangan hidup.

Dengan kecepatan tak terduga, Darsa melesat ke depan, tubuhnya membelok di udara seperti angin hitam. Sabit Jagara meleset hanya sejengkal dari bahunya.

Darsa: “Lambat.”

Sahya, pedang pendek Darsa, menebas pergelangan tangan Jagara—darah menyembur, sabit terlempar.

Jagara berteriak keras.

Darsa tak memberi jeda. Ia melompat tinggi, lalu menghujamkan tendangan keras ke dada Jagara, membuat tubuh besar itu terpental dan terhempas ke tumpukan mayat anak buahnya sendiri.

Jagara mengerang, tubuhnya gemetar, berusaha bangkit dengan tangan tersisa. Tapi... Darsa sudah ada di hadapannya lagi—sunyi, dingin, dan mematikan.

Darsa:“Tahu kenapa aku bisa mengendalikan khodam ini sekarang?”

“Karena saat kau sibuk membakar desa orang lain demi kekuasaan busukmu, aku...”

“…sudah bertahan hidup dari neraka yang lebih mengerikan.”

Ia melangkah perlahan, aura Aswangga menyelimuti tubuhnya seperti jubah iblis.

Darsa (suara rendah, menggema):

“Usia tiga belas. Khodamku bangkit. Tapi waktu itu aku hanya bocah ketakutan yang kehilangan kendali. Aku Hampir Membakar Rumah. Ibuku... hampir mati karena aku.”

(Darsa menatap lurus, tanpa emosi)“Mungkin... aku jadi rekor termuda di Mandalagiri yang membangkitkan khodam.”

“Tapi tidak ada yang merayakannya. Yang tersisa cuma rasa bersalah... dan dendam.”

Jagara merangkak, darah mengucur dari mulut dan luka-lukanya. Tapi ia menggertakkan gigi, mencoba berdiri.

Jagara (teriak terakhir):“KAU... TIDAK AKAN—”

Swoosh.

Darsa menghilang sekejap mata, lalu muncul di belakang Jagara dalam satu gerakan mengendap cepat seperti bayangan malam. Tangannya sudah dalam posisi menghunus ke depan.

Darsa: “Diamlah.”

Cahaya berkelebat.

Sahya menebas leher Jagara.Sekali. Cepat. Brutal.

Darah memancar tinggi ke udara, membentuk lengkungan gelap yang sejenak membeku di langit kelabu.

Tubuh Jagara jatuh perlahan. Kepalanya terhempas ke sisi lain tanah. Tak ada teriakan. Tak ada lagi suara.

Hanya sisa angin pesisir yang kembali berembus.

Darsa berdiri tenang, napasnya perlahan kembali stabil. Aura Aswangga mulai meredup, tubuh siluman yang menyelimutinya lenyap pelan-pelan seperti kabut malam.

Ia memandang ke arah lautan di kejauhan. Dingin. Tak terguncang. Namun di balik matanya... ada luka lama yang belum sembuh.

Darsa (gumam, datar):“Satu lagi... satu kutukan... diselesaikan.”

Empat Hari Setelah Pertarungan — Tirabwana Bergejolak

Empat hari berlalu sejak suara terakhir dari desa pesisir itu lenyap ditelan ombak. Namun, gaungnya baru saja mulai mengguncang ibu kota Tirabwana.

Di seluruh kota—dari lorong pasar hingga balairung para bangsawan—nama satu pemuda menggema.

Judul surat kabar utama pagi itu, dicetak tebal di halaman depan:

"BANDIT BAYAWIRA SELATAN DITUMPAS — JAGARA KALAGNI TEWAS DI TANGAN ANGGOTA JUNIOR GUILD BAYU GENI!" “Darsa Nagawikrama – Ksatria Bayangan yang Memburu dalam Sunyi”

🎙️ Para Bangsawan dan Ksatria Membicarakan:

Di dalam aula Balai Ksatria Tirabwana, tempat para bangsawan muda dan veteran tentara berkumpul, diskusi meletup dengan semangat.

Ksatria Tua berjanggut putih:“Jagara Kalagni itu bukan orang sembarangan… dia veteran perang Timur. Terlatih, brutal, dan punya sihir hitam yang kuat.”

“Dan anak itu… Darsa? Seorang JUNIOR dari Divisi Bayang-bayang Geni? Sendirian?”

Putra Bangsawan muda:“Kabarnya dia tak hanya membunuh Jagara… tapi membantai seluruh Bayawira Selatan yang dikomandoi oleh Jagara dalam satu malam!”

Ksatria Wanita berpakaian perak:“Kebangkitan Spiritual khodam di usia muda…? Itu jarang sekali. Bahkan aku belum bisa memanggil khodamku sempurna.”

Bisik-bisik memuji, menyanjung, dan membandingkan mulai bergema dari ruang makan istana hingga arena latihan militer.

Nama Darsa Nagawikrama menjadi bahan pembicaraan yang tak bisa diabaikan.

🏛️ Keluarga Nagawikrama Tersentak:

Di distrik para bangsawan ksatria, di sebuah rumah besar bergaya Mandalagiri kuno, duduk sepasang suami-istri.

Jagatwira Nagawikrama, mantan perwira, ayah dari Darsa. Dan Ny. Sekar Arum, wanita bangsawan berdarah biru yang selalu menjaga kehormatan keluarga.

Pagi itu, mereka membaca surat kabar dengan alis terangkat dan bibir menegang. Tak percaya.

Jagatwira (pelan, membaca headline):“Darsa… Nagawikrama? Ini… bukan salah cetak?”

Sekar Arum (gengsi menatap suaminya):“Mungkin ada orang lain bernama sama...”

Tapi mereka tahu. Tak ada nama lain seperti itu.Itu adalah anak yang selama ini mereka remehkan. Anak yang dianggap "tak cocok jadi ksatria". Yang mereka pikir hanya bisa hidup di bayang-bayang kakak-kakaknya yang lebih menonjol.

Jagatwira (tertawa kecil, getir):“Heh… bocah itu… ternyata bukan cuma bayangan.”

Sekar Arum (terdiam, lalu menghela napas):“…aku bahkan tidak ingat terakhir kali aku menatap matanya.”

Dalam tawa mereka, ada rasa bersalah yang menyelinap pelan. Hati yang dulu dingin kini sedikit merasakan retakan.

👥 Tetangga Menyanjung:

Di jalanan distrik yang sama, para tetangga berdiri berkelompok, membaca berita sambil berkomentar ramai.

“Itu anak Nagawikrama, ya?”

“Dulu pendiam, jarang terlihat. Eh sekarang? Pembantai Bayawira Selatan!”

“Keluarga itu... pasti bangga besar sekarang!”

Rumah keluarga Nagawikrama menjadi pusat perhatian. Beberapa tetangga bahkan datang mengirimkan buah dan karangan bunga ucapan selamat.

📖 Di Guild Bayu Geni…

Kabar itu juga sampai di markas Guild Bayu Geni. Di ruang bawah tanah Divisi Bayang-bayang Geni, Kapten Kalandra Wisanggeni menatap laporan hasil misi dengan senyum samar.

Kalandra (berbisik sendiri):“Burung bayangan... akhirnya mengepakkan sayapnya.”

Scene ini bisa menjadi titik balik penting untuk perkembangan emosional dan sosial Darsa, serta membuka jalur konflik baru: perhatian dari keluarga, ancaman dari sisa Bayawira, atau bahkan politik dalam Guild sendiri yang terguncang karena junior melampaui batasan.

Markas Guild Bayu Geni – Kembalinya Bayangan yang Menyala

Hari itu, matahari baru saja condong ke barat saat pintu gerbang Guild Bayu Geni terbuka perlahan.

Langkah-langkah ringan namun mantap terdengar di pelataran batu. Debu perjalanan masih menempel di mantel gelap yang kusut, bercak darah kering belum seluruhnya menghilang dari sisi lengan dan dada. Namun tubuh itu tegak. Tatapan mata itu tenang. Ia kembali hidup.

Darsa Nagawikrama, anggota junior Divisi Bayang-bayang Geni, baru saja menuntaskan misi tingkat A—seorang diri.

🕯️ Di Ruang Bayang-bayang Geni – Sambutan Tak Terduga

Lorong batu yang menuju ruang bawah tanah Divisi Bayang-bayang Geni terasa lebih terang dari biasanya. Beberapa obor telah dinyalakan penuh. Suasana terasa... berbeda.

Saat Darsa melangkah masuk, pintu batu terbuka perlahan. Ia menghela napas panjang.

Namun sebelum sempat berbicara—sorakan kecil terdengar dari pojok ruangan:

"Heeeh, lihat siapa yang kembali dari alam kematian."

Beberapa anggota senior Divisi Bayang-bayang Geni berdiri dan menghampirinya. Wajah-wajah keras dan biasanya dingin kini memperlihatkan senyum samar—sesuatu yang langka di antara para pengintai dan pemburu bayangan.

Anggota senior berjubah ungu gelap:“Kau membunuh Jagara Kalagni? Seorang veteran perang? Sendirian? Gila…”

Yang lain menepuk pundaknya dengan tawa:“Divisi ini biasanya bergerak diam. Tapi dengan aksimu, kita disorot terang!”

Pradipa Karna (yang saat itu sedang berkunjung dari Raka Lelana, melintas sambil berkomentar):“Hati-hati, Darsa. Sinar terlalu terang bisa membakar bayangan.”

Darsa hanya membalas dengan senyum tipis, khas dirinya.

🌸 Kemunculan Pratiwi

Langkah cepat bergema dari sisi lorong. Seorang gadis berambut ikal sebahu dengan mata tajam namun hangat berjalan cepat menghampirinya.

Pratiwi Manggala—rekan satu angkatan Darsa dari Bayang-bayang Geni—berhenti tepat di hadapannya. Matanya berkaca-kaca, namun bukan karena sedih.

Pratiwi (dengan suara tinggi, campuran lega dan marah):“Darsa! Kau GILA! Kau ambil misi tingkat A sendirian! Tanpa laporan, tanpa rekan, tanpa rencana! Apa kau pikir kau abadi!?”

Darsa mengangkat alis, masih dengan senyum kecil di bibirnya.

Darsa:“Kalau aku bilang aku hanya… ingin mencoba, kau akan makin marah?”

Pratiwi:“Aku mau lempar racun ke wajahmu sekarang.”

Tanpa aba-aba, Pratiwi melangkah maju dan memeluk Darsa erat. Di balik kerasnya karakter sebagai ahli penyamaran dan pelolosan diri, dadanya berdegup kencang. Ia tak bisa menyembunyikan perasaan yang selama ini hanya ia simpan dalam bentuk sarkas dan sindiran.

Darsa terdiam sejenak. Tangannya perlahan membalas pelukan itu.

Beberapa anggota lain yang menyaksikan hanya mengangguk, tidak mengganggu. Di dunia para bayangan, emosi adalah hal mewah. Dan saat itu, mereka tahu—Darsa dan Pratiwi berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar rekan satu divisi.

Pratiwi (masih memeluk, berbisik pelan):“Jangan lakukan itu lagi. Kalau kau mati, aku tak akan tahu harus marah ke siapa…”

Darsa menutup matanya sejenak.

Darsa:“…Aku di sini, Tiwi. Masih hidup.”

🕯️ Penutup Scene

Kapten Kalandra Wisanggeni mengamati dari sudut ruang, tak berkata sepatah kata pun. Ia hanya menyesap minumannya, lalu menatap nyala api biru dari lentera gantung di atas.

Kalandra (dalam hati):“Bayangan itu… mulai tumbuh taringnya. Dan cinta… mungkin adalah cahaya yang paling berbahaya.”

Ruang Inti Divisi Bayang-bayang Geni – Laporan Sang Bayangan

Lorong berliku kembali dilalui Darsa, kini mengenakan seragam hitam resmi Divisi Bayang-bayang Geni yang bersih, tanpa noda darah. Sorot matanya tetap tajam, tetapi langkahnya kini terasa lebih tenang.

Ia mengetuk dinding batu sekali.

"Masuk."Suara berat Kapten Kalandra Wisanggeni terdengar dari balik pintu tebal.

Ruangan utama itu seperti biasa, remang dan sunyi. Cahaya batu ungu menyala redup di langit-langit. Meja bundar di tengah ruangan dipenuhi gulungan informasi, peta rahasia, dan lambang-lambang tua.

Kapten Kalandra berdiri menghadap peta besar wilayah selatan yang terpampang di dinding batu. Begitu Darsa masuk dan memberi hormat, sang kapten langsung berbicara tanpa menoleh.

Kalandra:“Desa pesisir terpencil. Sudah tenang?”

Darsa:“Sudah. Kelompok Bayawira Selatan yang dipimpin Jagara Kalagni telah… musnah. Tak satu pun tersisa.”

Kapten Kalandra mengangguk pelan.Ia memutar tubuh, matanya tajam menusuk.

Kalandra:“Berarti tinggal satu ekor ular lagi yang berkeliaran di Selatan. Rinjana Nirnawa.

Kalandra menurunkan sebuah gulungan dari rak, membukanya, menampilkan lukisan wajah Rinjana. Wanita muda berambut putih keperakan, dengan jubah hitam bertabur simbol sihir kuno, matanya bersinar ungu, dan tongkat kristal berduri yang ia genggam erat.

Kalandra:“Kau belum pernah bertemu dia, tapi dia pernah bentrok dengan Jasana, Kirta, dan Bagas. Di Tanah Selampa, saat mereka mengawal jalur dagang keluarga Ramakerti.”

“Misi itu berhasil. Tak ada korban. Semua artefak dagang sampai utuh. Tapi sebagian bandit Bayawira kabur… termasuk Rinjana. Jasana nyaris menangkapnya. Sayangnya, wanita itu cukup cerdas. Gunakan sihir teleportasi sebelum dijerat.”

Darsa memperhatikan dengan serius.Kalandra mendekat, menunjukkan titik-titik merah kecil di peta wilayah selatan.

Kalandra:“Laporan terakhir kami… Rinjana menyebarkan sisa anak buahnya. Beberapa menyamar jadi petani, nelayan, bahkan biksu palsu. Tapi semua mengarah pada hal yang sama—ritual sihir kuno. Dia bukan petarung seperti Jagara. Tapi jauh lebih berbahaya.”

💰 Imbalan & Peringatan

Kapten Kalandra mengambil kotak hitam dari bawah meja bundar, lalu menyerahkannya pada Darsa.

Kalandra:“Ini. Imbalanmu. Selesai tepat waktu, bersih, tak meninggalkan jejak. Misi tingkat A diselesaikan solo. Nyaris gila, tapi brilian.”

Darsa menerimanya, membuka sedikit. Di dalamnya: sejumlah keping emas, dokumen kenaikan peringkat internal, serta kristal kecil sebagai pengakuan resmi tingkat A.

Namun, tatapan Kalandra menjadi gelap seketika.

Kalandra (dingin):“Tapi Darsa… kau lakukan ini tanpa izin resmi. Tanpa laporan. Tanpa tim. Jika kau mati, Guild akan berpura-pura tidak tahu. Aku akan dianggap lalai. Dan aku tidak suka dijadikan kambing hitam.”

Darsa:“…Saya minta maaf, Kapten. Saat melihat nama Jagara muncul di laporan intel, saya… terlalu terbakar oleh dorongan pribadi. Saya salah.”

Kapten Kalandra menatapnya dalam diam beberapa detik, lalu mengangguk perlahan.

Kalandra:“Setidaknya kau tahu itu.”

🗡️ Persiapan Misi Selanjutnya

Kalandra kembali menghadap peta, menunjuk titik-titik kecil di selatan.

Kalandra:“Minggu depan, kami akan mulai operasi bersih-bersih. Target: seluruh jejak sisa Bayawira Selatan, termasuk kemungkinan markas rahasia Rinjana.”

Ia menoleh ke Darsa lagi.

Kalandra:“Kau akan ikut. Tapi kali ini, dengan tim. Empat orang. Kau yang pilih. Lintas divisi. Bebas. Tapi ingat: kerja tim bukan kelemahan. Itu senjata tak terlihat.”

Darsa mengangguk.

Darsa:“Saya akan pilih orang-orang terbaik.”

Kalandra:“Bagus. Sekarang—istirahat. Kau bau seperti hutan mati dan darah basi.”

Darsa tersenyum kecil dan memberi hormat.Saat ia keluar dari ruangan, napasnya terasa lebih ringan.

Namun pikirannya mulai bergerak cepat.

“Tim… empat orang. Dan musuh kita… wanita sihir bermata ungu.”

Ia tahu—pertempuran sesungguhnya baru akan dimulai.