Markas Utama Bayawira – Gua Mandalagraha
Kabut dingin menyelimuti mulut gua besar di tengah Pegunungan Mandalagraha. Di dalamnya, suara gemericik air dan angin menderu samar, menggetarkan dinding batu tua yang dipenuhi simbol-simbol kuno.
Ruang utama gua diterangi cahaya biru dari kristal purba yang menggantung di langit-langit. Di tengah ruangan berdiri Jagat Arunika, pemimpin utama Bayawira, kini tanpa topeng.
Wajahnya muda, namun keras. Sorot matanya seperti pisau. Luka panjang yang belum sepenuhnya sembuh membelah dari pelipis kirinya hingga ke pipi. Bekas jatuh dari jurang saat misi pengkhianatan lima tahun lalu—luka itu jadi tanda kebangkitan barunya.
Di sebelah kanannya, duduk seorang pria tinggi besar mengenakan baju khas kepala desa dan caping bambu yang menyembunyikan sebagian wajahnya. Ia makan kacang sembari duduk seenaknya.
Jagatmarama, Kapten Barat Bayawira, kakak kandung dari Jagat Arunika. Di sebelahnya duduk dua sosok muda:
Teksaka, pemuda bersenjatakan dua belati, berambut perak acak-acakan, dengan gaya seperti pendekar kampung biasa.
Ratri Andini, gadis anggun berambut hitam panjang yang tampak seperti penari, tapi menyimpan keris kecil di balik selendangnya.
Sementara di sisi kiri Jagat Arunika, duduk Resi Wighna Laksa, Kapten Selatan Bayawira, dengan jubah biru gelap dan kalung dari akar-akaran.
Di sebelahnya, duduk Rinjana Nirnawa, wakil kaptennya yang masih tersisa.
Rambut putih keperakannya tampak mencolok di antara yang lain. Jubah hitamnya bertabur simbol sihir kuno, dan mata ungunya bersinar samar saat menatap api unggun kecil di tengah ruangan. Di tangannya tergenggam tongkat sihir dengan kristal berduri yang berdenyut pelan.
🔮 Percakapan Rahasia Bayawira
Jagat Arunika (suara rendah, menggelegar di gua):“Kapten Utara… belum ada kabar. Sudah tiga minggu sejak ia masuk ke Alam Jin. Tapi aku yakin dia belum mati. Dia akan kembali membawa permata Manikara Darpa. Jika dia berhasil maka 3 kekuatan Purba ada di tangan kita.”
Semua diam sejenak. Angin berdesir dari lorong belakang gua.
Jagatmarama (dengan mulut penuh kacang):“Atau... mungkin dia jadi lauk para lelembut di sana, hehe.”
Ratri hanya melirik, sementara Teksaka tersenyum sinis.
Jagat Arunika tidak menanggapi lelucon kakaknya. Ia menggenggam gagang pedang-nya lebih erat.
Jagat Arunika:“Tapi ada hal yang lebih mendesak. Jagara Kalagni—gugur.”
Tatapan semua langsung tertuju pada Rinjana, yang menunduk pelan.
Jagat Arunika (lanjut):“Bukan karena pasukan. Tapi karena satu orang.”
Ia berjalan mendekati peta besar di dinding gua. Ditunjukkannya titik pesisir selatan dengan ujung jarinya.
“Seorang anak dari Guild Bayu Geni. Namanya Darsa Nagawikrama. Usianya belum dua puluh. Tapi... dia membantai seperempat pasukan Selatan dalam satu malam.”
Suara sunyi menyergap ruangan. Bahkan suara angin pun mendadak lenyap.
Jagatmarama (garuk kepala):“Hah? Junior bocah begitu?”
Jagat Arunika:“Bukan sembarang bocah. Dia memiliki khodam... yang sudah mengalami kebangkitan Spiritual.”
“Kekuatan itu—tidak biasa. Ia bukan hanya kuat. Ia seperti... bayangan di malam tak berbulan. Menghantam cepat, tanpa jejak, seperti roh dendam.”
Rinjana menggenggam tongkatnya erat, tak menyela, namun sorot matanya sejenak gelap.
Jagat Arunika (menatap tajam ke Rinjana):“Rinjana, Resi Wighna... kau berdua harus waspada. Bocah itu mungkin mengincar kalian selanjutnya. Jika dia muncul, beri tahu aku. Aku yang akan... mengajarinya sopan santun.”
Ia berbalik, kembali ke tengah lingkaran api.
Jagat Arunika:“Bayawira tidak akan tumbang oleh satu cahaya kecil. Tapi kita bukan batu yang tak belajar. Kita menyesuaikan... kita beradaptasi... dan saat waktunya tepat—kita balik memburu.”
Kabut kembali menyusup dari celah-celah gua.Para anggota Bayawira tak lagi bersuara, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Rinjana menatap nyala api. Di bola matanya, bayangan wajah Darsa muncul sekejap. Ia belum pernah melihat wajah itu, tapi ia bisa merasakan aura sosok yang membunuh mentornya.
"Darsa Nagawikrama... Kita akan bertemu. Dan aku akan memastikan pertemuan itu... tidak sepihak."
Di tengah senja yang menggantung muram di atas langit Panundaan, Jagat Arunika menutup rapat kitab hitamnya. Aura merah temaram yang mengalir dari jemari tangannya seketika lenyap. Ia melangkah pelan ke sisi jendela markas rahasianya, menatap ke arah angin barat yang membawa bisikan samudra. Dengan suara datar namun berisi, ia mengabarkan pada sang kakak lewat sarana batin:
“Waktunya telah tiba. Tanda-tanda kemunculan kekuatan purba telah muncul di pesisir barat Panundaan. Mutiara 'Samudrantaka' akan bangkit—terpendam dalam tiram gaib Raksasa Javarnesa, di lautan terdalam yang dijaga oleh siluman laut.”
Jagatmarma, sang kakak dan pemimpin pasukan Bayawira Barat, menerima kabar itu dengan senyum tipis penuh gairah. Suaranya menggema kuat dalam ruang komunikasi ghaib.
“Akhirnya... giliran kakakmu. Sudah lama aku menanti panggilan dari makhluk laut. Hanya butuh satu ledakan saja untuk membuka rahasia mereka.”
Jagat Arunika sempat mengernyit, namun hanya membalas dengan nasihat lembut:
“Jangan anggap remeh siluman pesisir. Mereka tidak berperang dengan senjata, tapi dengan ilusi dan kelicinan, dan jangan lupakan juga seperti biasa mereka pasti menghadang langkah kita.”
Namun, seperti biasa, Jagatmarma hanya tertawa meremehkan, suaranya seperti petir musim kemarau:
“Jangan khawatir, Arunika. Aku tidak akan pulang hanya dengan kulit terbakar asin. Aku akan bawa Samudrantaka...”
Arunika hanya membalas dengan senyuman tenang. Tanpa kata tambahan, keduanya pun menghilang dari sarana batin, kembali ke markas mereka masing-masing.
Jagatmarma melesat ke barat, menuju desa pelosok Gariwisesa, tempat ia membangun markas Bayawira Barat. Ia ditemani oleh dua Wakilnya Teksaka, pemuda bersenjatakan dua belati, berambut perak acak-acakan, dengan gaya seperti pendekar kampung biasa serta Ratri Andini, gadis anggun berambut hitam panjang yang tampak seperti penari, tapi menyimpan keris kecil di balik selendangnya.
Sementara itu, Resi Wighna Laksa, sang sesepuh ilmu gelap, melanjutkan perjalanannya ke hutan keramat Hargagiri, tempat sunyi yang dijadikan markas Bayawira Selatan. Ia hanya ditemani satu wakil yang tersisa Rinjana Nirnawa, penjaga mantra dan pemanggil roh gaib dan ahli sihir sekaligus murid dari Resi Wighna Laksa.
Tiga kekuatan bayangan kini menyebar ke segala penjuru. Namun dari arah barat, gelombang tinggi perlahan membawa sesuatu yang lebih tua dari waktu. Dan mutiara Samudrantaka, yang hanya muncul saat cahaya merah bulan menyentuh permukaan lautan hitam, kini tengah menanti pemilik barunya—entah pahlawan, entah perampas.
Ruangan Pribadi Adipati Maheswara, Guild Bayu Geni – Tengah Malam
Cahaya temaram dari lentera kuningan menyala lembut di sudut ruangan batu yang dihiasi lukisan-lukisan tua dan peta-peta Mandalagiri. Di tengah ruangan berdiri Sangkar Wisesa, artefak ghaib berbentuk kubus hitam keemasan yang melayang pelan di udara, dikelilingi oleh cahaya ungu samar dan ukiran mantra purba yang terus berputar seperti hidup.
Sudah beberapa bulan sejak Adipati Maheswara mengaktifkan Sangkar itu kembali—sumber penglihatan ghaib yang menghubungkan kesadaran dengan arus-aliran peristiwa yang belum tampak oleh mata biasa. Malam ini, bisikan tak dikenal kembali muncul, namun jelas berasal dari satu sumber: Bayawira Barat.
“Mereka bergerak. Lautan akan diguncang. Samudrantaka… telah mencuat kembali dari dasar yang terlupakan, menunggu sang pewaris.”
Maheswara memejamkan mata, menyimak dalam keheningan. Tampil dalam kilasan bayangan adalah seekor tiram raksasa bermahkota karang—Javarnesa, makhluk penunggu mutiara kuno.
Namun tidak ada nama. Tidak ada sosok. Hanya tanda aura kelam dan pola gerak yang jelas—milik Bayawira Barat.
Maheswara membuka matanya, wajahnya teduh namun tajam. Ia segera mengambil lembaran naskah kayu dari rak di belakang meja, mencelupkan pena bulu hitam ke tinta perak, lalu mulai menulis dengan cepat dan mantap:
"Prioritas Merah: Ancaman Eksternal – Lokasi: Pesisir Barat Panundaan
Subjek: Potensi perebutan artefak purba– Mutiara Samudrantaka.
Langkah: Segera lakukan rapat dengan Kapten Divisi.
Bahas kemungkinan pembentukan misi khusus lintas divisi.
Catatan: Kemungkinan besar intervensi kerajaan dibutuhkan.
Siapkan jalur komunikasi ke Istana Tirabwana.”
Ia menutup catatannya dengan segel api biru, menaruhnya dalam laci berkunci khusus, lalu menatap Sangkar Wisesa sekali lagi.
“Jika Bayawira Barat sampai mendapatkan Samudrantaka dan Bukan sang Pewaris yang mendapatkannya, Lautan Mandalagiri akan bergejolak.”
Dengan langkah mantap, Adipati Maheswara berdiri, menyelimuti dirinya dengan mantel panjang berwarna kelam berhias benang emas. Ia tahu, esok pagi bukan hanya rapat biasa. Ini akan menjadi awal dari pertarungan melawan bayangan yang bergerak dari balik perairan dalam. Dan ia harus memimpin sebelum segalanya terlambat.
Ruang Sidang Dalam Guild Bayu Geni – Pagi Hari
Langit Tirabwana mendung sejak pagi, seolah mencerminkan atmosfer berat yang bergelayut di balik tembok batu Guild Bayu Geni. Di jantung guild, terdapat ruang sidang tertutup—sebuah aula berbentuk melingkar dengan meja bundar besar dari batu obsidian yang dihiasi simbol kelima divisi. Di tengah meja, nyala api biru dari mangkuk perunggu kecil menyala, menjadi pusat perhatian para pemimpin Guild.
Adipati Maheswara berdiri tegap, mengenakan jubah resmi berwarna biru tua dan emas. Tatapannya menyapu satu per satu hadirin yang telah tiba, lalu memberi isyarat tenang.
Satu per satu Kapten Divisi menaruh senjata mereka di atas meja—tanda penghormatan dan kesiapan berdiskusi tanpa ego militer:
Kapten Raksadana, dari Panggrahita Aji, pria tua tegap berambut perak, menaruh pedang panjang Jatiwisesa, bilah bertatahkan tembaga tua, di hadapannya. Suaranya dalam, suci, dan terukur.
Kapten Mahadewa Rakunti, dari Rasa Prawira, meletakkan tongkat sihir bercabang dua bertatahkan kristal ungu. Wajahnya tertutup sebagian kerudung kain ritual, matanya penuh rahasia.
Kapten Kalandra Wisanggeni, dari Bayang-bayang Geni, menaruh sarung katana pendek bercahaya samar, menatap hening seolah sudah tahu arah pertemuan ini.
Kapten Doyantra Puspaloka, dari Mandala Dhana, dengan suara berat meletakkan gada emas sebesar betis orang dewasa di atas meja sambil duduk menghela napas pelan.
Kursi Kapten Divisi Raka Lelana kosong, namun Pradipa Karna, anggota senior pengganti, telah duduk di sana. Ia menaruh pedang bermata dua—Dwijanaga, di hadapannya dengan hormat. Tubuhnya tenang, bahunya tegap.
Adipati Maheswara mengangkat tangannya. Api biru di tengah meja membesar sesaat, lalu mengecil kembali.
“Para Kapten dan perwakilan yang saya hormati. Kita berkumpul hari ini bukan untuk laporan bulanan, tapi untuk menghadapi situasi yang bisa mengancam stabilitas Lautan Mandalagiri.”
Ia mengayunkan lengan pelan. Dari balik meja, naik pancaran cahaya dari mantra ingatan—memunculkan citra lautan luas, tiram raksasa Javarnesa, dan kilasan aura bayangan dari kelompok yang tidak dikenal.
“Sangkar Wisesa menunjukkan: Bayawira Barat sedang bergerak. Tujuan mereka adalah Mutiara Samudrantaka. Sebuah kekuatan purba yang... tidak boleh jatuh ke tangan siapapun yang bukan pewaris.”
Kapten Mahadewa Rakunti bersuara lirih, “Jika benar Samudrantaka bangkit… maka peristiwa ini seharusnya didiskusikan dengan Dewan Raja.”
Kapten Raksadana mengangguk lambat, suaranya berat, “Atau bisa jadi... Dewan Raja sendiri sedang menimbang reaksi kita. Maka kita harus mendahului langkah.”
Pradipa Karna menyelipkan kata, “Jika diperkenankan, Divisi Raka Lelana memiliki kemampuan laut dan ekspedisi. Kami siap melakukan penyusupan awal dan pelacakan lokasi tiram.”
Kapten Kalandra menatap tajam ke arah Pradipa. “Penyusupan tidak bisa dilakukan sembarangan. Jika Bayawira mencium keberadaan kita, mereka bisa mempercepat gerakan dan menyembunyikan jejaknya selamanya.”
Kapten Doyantra hanya mendengus, lalu menyeringai. “Katakan saja, kita butuh misi lintas divisi dengan otorisasi khusus. Kita semua tahu, misi seperti ini setara misi nasional.”
Adipati Maheswara mengangguk. “Benar. Maka, saya akan menemui Raja Mandalagiri untuk memohon izin misi berskala nasional. Tapi sebelum itu, saya ingin rancangan awal tim elit untuk misi ini. Rapat ini akan dilanjutkan sore nanti dengan daftar kandidat dari tiap divisi.”
Ia menutup pertemuan dengan satu kalimat tajam:
“Jika Samudrantaka jatuh ketangan yang bukan seorang pewaris, Lautan Mandalagiri akan kehilangan keseimbangan. Tapi jika kita berhasil... maka kita tak hanya menyelamatkan sejarah, tapi mengikat masa depan.”
Para kapten bangkit satu per satu, membawa kembali senjata mereka. Suasana berat, namun tekad sudah terbentuk. Perang melawan bayangan di lautan barat... telah dimulai.
Istana Tirabwana – Ruang Rapat Khusus Kerajaan
Langkah Adipati Maheswara menggema di koridor marmer istana, diapit oleh prajurit pengawal hingga mencapai ruang rapat istimewa di balik pintu ukiran singa dan naga. Cahaya mentari menyelinap lewat kaca patri, membentuk bayangan simbol kerajaan di lantai. Di dalam, meja panjang dari kayu meranti tua telah dikelilingi para tokoh penting negeri.
Sri Maharaja Darmawijaya duduk di singgasana tengah. Wajahnya teduh namun menyimpan beban masa. Di sisi kirinya, Pangeran Mahkota Aryasatya duduk dengan sikap dingin dan penuh wibawa, didampingi oleh adiknya, Pangeran Mahadarsa, yang lebih bersahabat namun tetap waspada. Di belakang mereka berdiri tegak seorang prajurit elitis bertubuh gagah berarmor hitam mengilat—Sangbra Witanta, komandan pasukan pribadi keluarga pangeran.
Tampak pula Mahamentri Palindrasuta, tua namun tajam pikirannya, Panglima Agung Jayasatya, dan beberapa bangsawan elite dengan jubah kebesaran, duduk berjajar memperhatikan.
Adipati Maheswara menunduk hormat, lalu menyampaikan laporan yang disusun secara lugas dan penuh kehati-hatian.
“Yang Mulia, berdasarkan pesan ghaib dari Sangkar Wisesa, Bayawira Barat tengah memburu Mutiara Samudrantaka di Tiram Javarnesa. Ini bukan ancaman biasa. Jika mereka berhasil, kekuatan setingkat kutukan purba bisa terlepas, Lautan Mandalagiri akan Bergejolak.”
Seketika suasana hening. Pangeran Mahkota mengangkat alis, hendak bicara, namun Sangbra Witanta membisikkan sesuatu ke telinganya.
Pangeran Aryasatya mengangguk pelan, lalu menyampaikan:
“Jika ancamannya sebesar itu, maka biarkan saja faksi kami yang menangani. Kami memiliki tentara kerajaan pilihan, lulusan terbaik Akademi Militer Tirabwana. Misi sebesar ini tidak cocok ditangani oleh... guild berisi pendekar-pendekar kampung, bukan begitu?”
Beberapa bangsawan terkekeh pelan. Maheswara tetap tenang, namun tangannya mengepal di balik jubah.
Sangbra Witanta menambahkan, nada suaranya dingin:
“Jangan lupa Batu Napas Langit di Kalapanunggal—empat bulan lalu. Bayawira berhasil mencurinya, dan siapa yang bertugas saat itu? Guild Bayu Geni.”
Telinga Maheswara memerah. Ia berdiri sedikit lebih tegak dan menjawab:
“Guild kami bukan barisan bayaran sembarangan. Mereka mungkin tidak lahir dari istana, tapi mereka membawa keberanian, kekuatan, dan semangat yang tak bisa dibeli oleh darah bangsawan. Kami belajar dari Kalapanunggal, dan kami siap menebusnya.”
Pangeran Mahadarsa, mencoba bersikap lebih diplomatis, menyela dengan nada halus:
“Sudahlah, Maheswara. Tidak perlu kita pertentangkan. Faksi kami memiliki sumber daya lebih lengkap dan logistik yang siap. Biar kami yang menjalankannya.”
Maheswara hendak membalas, namun Mahamentri Palindrasuta mengangkat tangan.
“Demi ketertiban dan kelancaran, izinkan misi ini diberikan pada faksi Pangeran Mahkota. Jika nanti diperlukan bala tambahan, kita bisa pertimbangkan keterlibatan Guild Bayu Geni sebagai pelengkap lapangan.”
Sri Maharaja hanya mengangguk pelan, dan kalimat yang keluar dari mulutnya seperti putusan batu:
“Begitu diputuskan. Faksi Pangeran Mahkota akan memimpin misi Samudrantaka.”
Para hadirin mengangguk. Hanya Maheswara yang diam membeku.
Ia menunduk dalam, memberikan salam pamit secara resmi, lalu berbalik keluar ruangan dengan langkah terkontrol. Namun di balik sikap tenangnya, jantungnya berdegup marah. Sekilas ia menoleh ke arah Pangeran Aryasatya—kakaknya, darah yang sama namun arah yang berbeda.
“Kau boleh menutup jalan ini, Kakanda. Tapi jalan lainnya akan kubuka sendiri…” bisik batinnya.
Markas Guild Bayu Geni – Ruang Rapat Utama
Langit senja memantulkan cahaya oranye ke jendela kaca patri ruang pertemuan. Suasana di dalam ruangan terasa tegang namun penuh determinasi. Di meja bundar besar berkepala ukiran lambang naga dan api, para kapten telah berkumpul kembali—masih dengan pakaian tempur masing-masing, namun kini tanpa semangat pagi yang sama.
Adipati Maheswara berdiri di ujung meja, tangan di belakang punggung, suaranya tenang tapi tegas.
“Hari ini kita telah menyampaikan laporan ke istana. Namun, keputusan telah diambil. Misi perebutan Mutiara Samudrantaka akan ditangani langsung oleh faksi Pangeran Aryasatya.”
Hening sejenak. Lalu suara berat penuh getaran terdengar dari Kapten Raksadana:
“Hmph. Tentara istana terlalu percaya pada barisan formal dan gelar akademi. Mereka lupa, kami para prajurit sejati dibentuk dari pertempuran, bukan dari pidato.”
Kapten Mahadewa Rakunti mengangguk perlahan, jubahnya bergoyang saat ia bersandar pada tongkat sihirnya:
“Mereka lupa siapa yang menahan gerak Bayawira selama dua tahun terakhir. Kita. Tapi begitulah sifat istana… penuh kebanggaan semu.”
Kalandra Wisanggeni, Kapten Bayang-bayang Geni, hanya tertawa kecil dingin:
“Kalau mereka gagal, mereka akan menyalahkan kita karena tidak membantu. Tapi kalau berhasil, semua pujian hanya untuk mereka.”
Kapten Doyantra Puspaloka mengepalkan tangan di atas meja, suara beratnya menggema:
“Mereka sebut kita pendekar kampung? Ayo kita lihat siapa yang lebih cepat memburu Bayawira!”
Pradipa Karna, perwakilan Divisi Raka Lelana, menatap Maheswara dengan mata penuh semangat:
“Apa langkah kita, Adipati?”
Maheswara menarik napas dalam, lalu menatap mereka satu per satu. Suaranya mantap, tak ada lagi kekecewaan yang kentara—hanya tekad yang terkonsolidasi:
“Kita tidak akan mencampuri misi nasional itu. Tapi kita akan bergerak ke arah yang tak mereka lihat. Fokus kita sekarang: Mandalagiri Selatan. Target kita: Rinjana Nirnawa.”
Ia menaruh sebuah gulungan peta dan sketsa wajah wanita muda berambut perak dan bermata ungu ke atas meja. Gambarnya jelas: tongkat sihir dengan permata ungu berduri di ujungnya.
“Dia adalah Wakil Kapten Bayawira Selatan. Kuat, namun masih muda. Tujuan kita bukan membunuhnya. Kita tangkap hidup-hidup. Kita gali informasi—siapa Kapten mereka, berapa kekuatan mereka, dan di mana mereka bersembunyi.”
Raksadana mengangguk mantap.
Mahadewa Rakunti menyipitkan mata, mulai menganalisis kemungkinan sihir pelindungnya.
Kalandra menyunggingkan senyum tipis—misi pengintaian adalah makanan sehari-harinya.
Doyantra mengetuk gada emasnya pelan ke lantai.
Pradipa Karna sudah menandai jalur ekspedisi di peta.
“Kalau begitu,” ujar Maheswara menutup rapat, “Kita tidak akan sekadar menunggu. Kita berburu. Dan kita akan buktikan—kekuatan Guild Bayu Geni tidak bisa diremehkan.”
Para kapten berdiri, satu per satu, dengan semangat yang menyala kembali.
Malam pun turun, namun di balik jendela Guild Bayu Geni, tak ada istirahat. Hanya persiapan—untuk perburuan yang akan mengubah jalannya perang rahasia.
Pagi Hari – Ruang Strategi Divisi Bayang-bayang Geni
Cahaya redup dari obor biru menyinari meja bundar di pusat ruangan. Di atasnya terbentang peta wilayah Mandalagiri Selatan, lengkap dengan penanda-penanda kecil berwarna merah dan hitam. Suasana hening saat Adipati Maheswara memasuki ruangan, didampingi Kapten Kalandra Wisanggeni, jubahnya berkibar ringan, mata tajamnya menatap setiap sudut ruangan.
“Misi ini tak akan seperti misi biasa,” ujar Maheswara membuka pertemuan. “Bayawira Selatan bukan kelompok sembarangan. Dan target kita, Rinjana Nirnawa, adalah pion penting di balik kekuatan mereka.”
Ia melirik pada Kalandra dan mengangguk.
Kalandra Wisanggeni mengambil alih. Suaranya dalam dan tegas.
“Atas persetujuan Adipati, aku ditugasi memimpin koordinasi misi ini. Tapi untuk eksekusi di lapangan, aku memilih satu orang: Darsa Nagawikrama.”
Semua mata langsung memandang Darsa, yang duduk diam, namun sorot matanya menandakan kesiapan. Kalandra melanjutkan:
“Darsa akan menjadi Pemimpin Tim Penangkap. Anggota: total empat orang, termasuk dirinya. Darsa, silakan umumkan siapa yang kau pilih.”
Darsa berdiri pelan, dengan suara tenang namun penuh percaya diri.
“Untuk misi ini, aku butuh tim cepat, fleksibel, dan bisa bergerak dalam diam. Pilihanku adalah:
1. Jasana Mandira – petarung garis depan, pengendali medan dalam jarak dekat, dan sudah teruji dalam latihan ekspedisi.
2. Pratiwi Manggala – ahli penyamaran dan infiltrasi, kemampuan menyaru dan meloloskan diri akan krusial saat mendekati target.
3. Ratri Nindyanari – anggota senior dari Rasa Prawira, pengendali sihir dan pendengar roh. Kemampuannya penting untuk mengantisipasi sihir Rinjana Nirnawa dan membaca aura yang tersembunyi.”
Kapten Mahadewa Rakunti, yang juga hadir sebagai pengamat, mengangguk pelan ketika nama Ratri disebut. Gadis muda berusia 23 tahun itu duduk tenang dengan tongkat kecil kristal putih di pangkuannya, pancaran aura spiritualnya terasa menyejukkan ruangan.
Kalandra memberikan lembaran dokumen kecil kepada Darsa dan menunjuk ke peta.
“Wilayah operasi: Desa Hujanabu, Sebelah Barat Daya Mandalagiri Selatan. Menurut Laporan terakhir dari Tentara Patroli Mandalagiri Selatan, Kami menduga Rinjana bergerak dan bersembunyi di tempat itu, menyamar sebagai tabib keliling.”
Tugas utama: Mengidentifikasi dan menangkap hidup-hidup Rinjana Nirnawa.
Aturan siaga: Jika target melawan dan mengancam nyawa tim, izin membunuh diperbolehkan.
Tugas tambahan: Gali informasi tentang Kapten Bayawira Selatan dan peta kekuatan mereka.
Perintah utama: Tidak meninggalkan jejak. Tidak menarik perhatian pihak luar. Semua komunikasi hanya lewat jalur roh yang dikendalikan Ratri.
Maheswara memberi isyarat terakhir sebelum menutup briefing.
“Aku tahu misi ini berisiko tinggi. Tapi jika berhasil, kalian akan mengubah arah permainan.”
Kalandra menepuk bahu Darsa perlahan.
“Kau tahu pepatah kami di Bayang-bayang Geni… Bawa pulang kebenaran, tapi jangan bawa pulang jejak.”
Ratri, Pratiwi, Jasana dan Darsa saling bertatapan—diam-diam menyadari bahwa ini lebih dari sekadar misi. Ini adalah pertempuran reputasi, kehormatan, dan kepercayaan.
Pagi Menjelang Siang – Halaman Depan Guild Bayu Geni
Matahari mulai meninggi di langit Tirabwana, mengirimkan cahaya hangat ke halaman depan Guild Bayu Geni. Suasana sibuk namun teratur mengiringi persiapan tim kecil yang akan menjalankan misi berat.
Di tengah keramaian, Darsa Nagawikrama berdiri di hadapan anggota timnya—Jasana Mandira, Pratiwi Manggala, dan Ratri Nindyanari. Di samping mereka, beberapa prajurit Guild tengah memeriksa kereta kuda yang sudah siap, lengkap dengan perlengkapan dan persediaan logistik.
Darsa memimpin briefing dengan suara tegas namun penuh perhatian.
“Perjalanan menuju Desa Hujanabu akan memakan waktu sekitar dua hari satu malam lewat jalur tercepat: Hutan Gantarawati. Rute ini penuh risiko, tapi kita harus cepat dan diam-diam.”
Ia menunjuk peta kecil yang terlipat di tangannya.
“Rencananya, kita akan bermalam satu malam di dalam hutan Gantarawati, menggunakan tenda dan perlengkapan ringan. Jagalah keamanan dan jangan sampai ketahuan.”
Ratri dan Pratiwi saling pandang, kemudian keduanya buru-buru pamit.
“Kami akan ke asrama perempuan untuk menyiapkan kebutuhan pribadi,” kata Pratiwi. Ratri mengangguk setuju, lalu keduanya segera berlalu menuju bangunan asrama tak jauh dari situ.
Setelah mereka pergi, Darsa memanggil Jasana secara pribadi ke sisi tembok batu guild yang teduh. Suasana berubah lebih santai.
“Jasana, aku harus bilang... beberapa bulan terakhir aku sering menghindarimu. Aku cemburu dengan prestasimu, dengan caramu cepat berkembang. Tapi sekarang aku merasa lebih percaya diri dengan kemampuan sendiri,” kata Darsa dengan jujur, sedikit tersenyum.
Jasana menatapnya dengan tenang dan dewasa.
“Aku senang kalau kamu melihatku sebagai rival, Darsa. Itu tandanya kita sama-sama ingin terus maju. Aku tak masalah dengan itu.”
Mereka berdua saling tersenyum, lalu berjabat tangan erat.
“Kalau begitu, kita siap bertarung bersama,” ujar Jasana.
Darsa mengangguk. Keduanya kembali bergabung dengan tim yang kini telah lengkap.
Siang Hari – Di Depan Pintu Keluar Guild
Semua sudah siap. Kereta kuda mulai bergerak perlahan keluar gerbang Guild Bayu Geni, diikuti oleh empat sosok yang siap menghadapi tantangan baru di hutan Gantarawati.
Suara roda kereta menggema di jalan batu, mengiringi langkah awal mereka dalam misi penuh risiko.
Perjalanan Menuju Hutan Gantarawati – Melewati Desa Rawasinga
Kereta kuda melaju pelan di jalan setapak, debu halus mengepul saat roda berputar. Di sisi jalan, hamparan sawah hijau membentang, dan aroma tanah basah menyatu dengan hembusan angin lembut.
Jasana memandang ke arah desa kecil yang mereka lewati. Di sanalah, di Desa Rawasinga, ia teringat sosok yang sangat dihormatinya, Kepala Desa Pak Bramasuta, tetua bijak yang sering memberinya nasihat dan cerita tentang tanah kelahirannya.
Namun, Jasana menekan rindu itu dalam-dalam. Misi menuntut fokus penuh. Mereka terus maju, memasuki area lebat Hutan Gantarawati yang mulai menaungi jalan setapak dengan rerimbunan pepohonan besar.
Malam Pertama di Hutan Gantarawati
Setibanya di sebuah lapangan kecil di tengah hutan, tim segera mendirikan tenda dan menyiapkan api unggun yang mulai berkobar, memancarkan kehangatan dan cahaya ke sekeliling yang gelap.
Empat orang duduk melingkar mengitari api unggun, wajah mereka bercahaya temaram. Obrolan pun mengalir, membelah kesunyian hutan.
Darsa dan Pratiwi tampak semakin akrab. Tawa mereka saling bersahutan, percakapan ringan berubah menjadi obrolan yang lebih dalam, penuh candaan dan kesan manis yang mulai berkembang.
Jasana dan Ratri Nindyanari duduk di sisi lain, tersenyum melihat tingkah dua remaja 17 tahun itu. Mereka sendiri menunjukkan kedewasaan dan ketenangan, dengan sikap kakak yang lebih matang. Jasana yang berusia 21 dan Ratri 23 tahun saling bertukar pandang penuh pengertian.
“Kalian ini seperti anak muda yang baru jatuh cinta,” ujar Jasana ringan, disambut senyum kecil Ratri.
Ratri menambahkan,
“Memang, masa muda itu penuh warna. Tapi jangan sampai fokus kita hilang.”
Darsa dan Pratiwi saling berpandangan penuh arti, lalu kembali melanjutkan obrolan mereka, suara mereka mengalun lembut di antara suara hutan malam.
Suasana malam itu menguatkan tekad keempat petualang itu, menyatukan mereka dalam misi yang berbahaya namun penuh harapan.
Api unggun berkobar pelan, percikan kecil beterbangan menyatu dengan suara hutan malam yang sunyi. Empat sosok duduk melingkar, wajah mereka diterpa bayang-bayang lentera merah dari bara api.
Darsa dan Pratiwi duduk berdekatan, namun keduanya tampak tenggelam dalam percakapan yang berbeda dari siang hari—lebih serius, lebih penuh arti. Sesekali mata mereka bertemu, menyiratkan lebih dari sekadar rekan misi.
Pratiwi menarik napas panjang, suara lirihnya nyaris tertelan desiran angin malam,
“Kadang aku takut, Darsa… takut kalau kita tak cukup kuat menghadapi apa yang menunggu nanti.”
Darsa menatapnya dalam-dalam, tangan kecil Pratiwi menggenggam erat, seolah mencari kekuatan dalam keheningan itu.
“Aku juga. Tapi kita tak boleh mundur sekarang. Kita punya satu sama lain. Itu sudah cukup untuk membuat kita kuat,” jawab Darsa, dengan suara yang tegas tapi penuh kelembutan.
Di sisi lain, Jasana memandang jauh ke arah gelap hutan, wajahnya serius namun tenang. Ratri duduk berdampingan, diam namun matanya menyimpan berjuta tanya.
Akhirnya Jasana memecah keheningan, suaranya rendah namun penuh makna,
“Dalam misi ini, kita bukan hanya bertarung melawan musuh di depan mata… tapi juga melawan ketakutan dan keraguan dalam diri kita sendiri.”
Ratri mengangguk, lalu menambahkan, “Dan jiwa kita harus tetap kuat, jangan sampai goyah.”
Mereka bertukar pandang, sebuah ikatan tersirat terbentuk — bukan hanya sebagai rekan, tapi seperti saudara yang siap menghadapi bahaya bersama.
Di kejauhan, suara ranting patah membuat seluruh anggota tim tersentak sejenak, seolah malam hutan itu ingin mengingatkan mereka bahwa bahaya selalu mengintai.
Darsa menarik napas dalam-dalam, memecah ketegangan dengan senyum tipis,
“Kita harus siap, dan kita akan melangkah bersama. Apapun yang terjadi.”
Api unggun menyala lebih hangat, mengusir dingin malam, tapi dalam hati setiap orang, bara harapan dan keberanian mulai membara lebih kuat daripada api yang mereka lihat.
Setelah obrolan hangat di sekitar api unggun mereda, suasana perlahan berubah menjadi lebih hening dan tegang. Angin malam berdesir lirih membawa aroma basah dedaunan, sementara bayang-bayang gelap pepohonan seolah menari-nari tak beraturan di kelopak mata mereka.
Tiba-tiba, suara-suara samar mulai terdengar—detak ranting patah, bisikan gaib yang bergetar di udara, dan suara hewan malam yang tidak biasa. Pratiwi dan Ratri saling bertukar pandang waspada, sementara Darsa mengerutkan dahi, tangannya meraba gagang pedang di pinggang.
Namun, Jasana justru tersenyum tipis, wajahnya tenang dan matanya berbinar sedikit penuh kepercayaan diri.
“Kalian masih ingat, kan?” ucap Jasana pelan, “Aku sudah sering berkeliling hutan ini saat liburan semester Guild. Gangguan seperti ini biasa saja, tak perlu terlalu dikhawatirkan.”
Ratri menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Tapi malam ini terasa berbeda. Ada getaran aneh yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.”
Darsa mengangguk setuju. “Iya, ada sesuatu yang mengintai di balik kegelapan. Kita harus tetap waspada sampai pagi.”
Pratiwi menggigit bibirnya, namun berusaha menampilkan senyum. “Kalau Jasana bilang aman, aku percaya. Tapi aku takkan melepas perhatian.”
Jasana berdiri dan melangkah ke pinggir api unggun, menatap jauh ke kegelapan hutan. Suaranya rendah tapi pasti,
“Hutan ini punya banyak rahasia. Namun aku sudah belajar bagaimana caranya membaca tanda-tandanya. Kalau ada sesuatu yang mendekat, aku pasti tahu.”
Seketika, ketegangan sedikit mencair. Namun bayang-bayang malam yang panjang tetap mengintai mereka, mengingatkan bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan.
Malam semakin larut, satu per satu mereka merunduk ke dalam tenda masing-masing. Jasana, Darsa, Ratri Nindyanari, dan Pratiwi terpisah dalam dua tenda berdekatan. Jasana dan Darsa berbagi tenda, suara napas mereka perlahan mengisi keheningan malam. Sementara di tenda sebelah, Ratri dan Pratiwi membungkus diri dalam selimut tipis, mata mereka mulai terpejam.
Fajar mulai menyibak kelambu malam, semburat jingga muncul di ufuk timur. Suara burung hutan dan desir angin membawa pesan pagi yang baru.
Mereka segera bersiap, mengemas barang bawaan dengan cekatan, lalu berkumpul di depan tenda. Kuda-kuda sudah siap, kereta kuda terpasang rapi, menunggu para pengembara melanjutkan perjalanan.
Jasana menatap ke arah selatan, lalu berkata, “Kita akan melewati Desa Kalabumi, kampung halamanku. Tapi hanya lewat, tidak berhenti.”
Darsa menimpali, “Ya, kita harus segera ke Hujanabu. Jangan buang waktu di tempat yang bisa menghambat.”
Ratri mengangguk sambil memegang tongkat sihirnya, “Kalabumi pasti sudah berubah sejak terakhir aku ke sana. Tapi memang bukan waktu yang tepat untuk berhenti.”
Pratiwi tersenyum tipis, “Setidaknya aku penasaran ingin melihat tempat yang membuat Jasana jadi seperti sekarang.”
Jasana tersenyum ringan, “Nanti aku ceritakan kalau kita sudah sampai di tempat yang aman.”
Darsa menyemangati, “Baiklah, kita jalan. Jangan sampai terlambat.”
Mereka pun menaiki kereta kuda, mengarahkan kendaraan melewati jalan setapak menuju desa Kalabumi, menyusuri perjalanan yang penuh harapan dan tantangan ke depan.
Senja mulai memudar. Langit berubah warna menjadi jingga kemerahan saat kereta kuda yang membawa tim kecil itu akhirnya berhenti di balik semak-semak di dekat hutan kecil yang mengelilingi Desa Hujanabu. Dari kejauhan, gerbang desa terlihat jelas, dijaga dua petugas desa yang tampak santai, seakan tidak menyadari siapa yang sedang mendekat dengan diam-diam.
Darsa turun lebih dulu dari kereta, disusul Jasana, Ratri, dan Pratiwi.
Darsa:
“Kita berhenti di sini. Jangan bawa kereta ke dalam desa. Terlalu mencolok.”
Jasana:
“Benar. Tempat ini cukup rimbun. Aku rasa aman untuk menyembunyikan kereta sampai malam.”
Mereka memarkirkan kereta kuda di balik barisan semak tinggi, lalu menutupinya sebagian dengan ranting dan daun. Kuda-kuda ditenangkan, dan diberi minum dari kantong air kulit.
Darsa:
“Oke, dengar baik-baik. Karena ini senja terakhir sebelum kita masuk ke inti misi, kita harus ekstra hati-hati.”
Ia menatap tajam ke arah Pratiwi.
Darsa:
“Tiwi, kau yang paling cocok untuk menyusup ke bar bawah penginapan. Gaya bicaramu, cara jalanmu… sudah seperti pengembara sejati.”
Pratiwi (tersenyum nakal):
“Pujian atau perintah itu, Komandan?”
Darsa (mendecak pelan):
“Fokus. Ini bukan misi main-main. Dengarkan obrolan para tamu. Carilah nama: Rinjana Nirnawa. Apa saja—rumor, desas-desus, bahkan jika hanya sekilas. Kalau dia benar ada di desa ini, pasti ada jejaknya di antara lidah-lidah orang mabuk.”
Ratri Nindyanari menimpali dengan tenang:
“Aku akan bersamamu. Di ruang bar, aku akan duduk beberapa bangku darimu. Jika kau mendengar sesuatu penting, pura-pura batuk tiga kali. Aku akan gunakan mantra pendengar rohku untuk memastikan kebenarannya.”
Jasana:
“Dan setelah itu kau kirim pesan ghaib ke kami, begitu?”
Ratri:
“Ya. Aku bisa kirim pesan langsung ke pikiran Darsa. Tapi hanya untuk satu orang sekaligus, dan butuh fokus. Jadi pastikan posisi kalian tidak jauh dari sini.”
Darsa mengangguk:
“Aku dan Jasana akan tetap di balik hutan kecil ini, tidak jauh dari kereta. Kalau sinyal datang dan info valid, kami susul diam-diam ke penginapan atau kemanapun target menuju.”
Pratiwi (melirik pakaian kasar yang dia pakai):
“Aku siap. Penampilan pengelana terlantar ini cukup meyakinkan?”
Ratri (tersenyum ringan):
“Dengan sedikit debu di pipi dan rambutmu, kau seperti baru berjalan dari negeri jauh.”
Darsa:
“Kau dan Ratri menginap saja di sana malam ini. Terlalu berisiko bolak-balik di malam hari. Kami jaga kereta di sini.”
Jasana:
“Aku akan siapkan alarm perimeter dengan benang roh, kalau ada yang mendekat kami tahu.”
Darsa (menepuk bahu Jasana):
“Bagus. Tiwi, Ratri, jangan kontak kami kecuali sangat penting. Dan jangan buka identitas. Kalian bukan pendekar. Kalian cuma pengelana malam yang mencari atap dan segelas minuman.”
Pratiwi (sambil mengancingkan jubahnya):
“Pengelana malam bisa jadi tahu lebih banyak dari pada matahari yang angkuh.”
Ratri (setengah bercanda):
“Selama matahari tidak cemburu, kita aman.”
Mereka semua tertawa kecil, lalu sunyi lagi. Suara jangkrik malam mulai terdengar dari sela-sela hutan.
Darsa:
“Pergilah. Dan hati-hati. Ingat… Rinjana bukan target biasa.”
Ratri dan Pratiwi berjalan ke arah desa dengan langkah santai, menyatu dengan bayangan senja yang menelan jalan setapak menuju gerbang Hujanabu.
Sementara itu, Darsa dan Jasana kembali bersembunyi di balik pohon besar dekat kereta. Menanti. Berjaga.
Jasana (pelan):
“Semoga kita tidak hanya mendengar nama Rinjana malam ini… tapi juga jejak keberadaannya.”
Darsa:
“Atau siapa yang sedang dia tunggu.”
Mereka pun terdiam, menatap langit yang perlahan berubah menjadi malam. Misi pengintaian dimulai.
Di dalam penginapan “Dahan Beringin”, suasana begitu riuh.
Cahaya obor dan lentera kuning remang menggantung di langit-langit kayu. Asap tembakau dan aroma arak bercampur tawa keras, obrolan para penjudi, dan nyanyian wanita penghibur yang sesekali naik ke atas meja. Di pojok-pojok bar, orang-orang berkumpul dalam kelompok kecil, berbicara sembari sesekali melirik ke arah pintu, seolah selalu menunggu seseorang.
Pratiwi, menyamar sebagai pengelana perempuan yang lusuh, duduk di kursi pojok dekat jendela dengan bayangan malam menutupi sebagian wajahnya. Rambutnya ia kucir longgar, pakaian agak kotor dan compang, seperti habis menempuh perjalanan jauh. Ia memesan arak ringan dan menyerahkan beberapa keping uang logam—cukup untuk meyakinkan pelayan bahwa dia bukan orang sembarangan, tapi bukan pula bangsawan.
Pratiwi (dalam hati):
Tempat ini lebih padat dari yang kuduga… Harus bisa dengar lebih banyak dari yang tampak.
Ia mengangkat gelasnya pelan, berpura-pura menyesap perlahan, namun telinganya awas. Suara-suara mengalir ke kepalanya:
“...katanya penjaga gerbang timur sempat melihat perempuan aneh minggu lalu, pakai jubah merah gelap…”
“Ah, itu cuma peramal jalanan… bukan Rinjana…”
“...tapi kenapa dia bisa bikin dua ekor anjing penjaga kabur ke hutan?”
“Kau tahu cerita itu dari mana?”
Pratiwi mengerutkan dahi. Ia menandai arah suara itu—dua pria di sudut barat, dekat tiang penyangga.
Sementara itu, Ratri Nindyanari duduk di bangku yang tidak jauh dari meja Pratiwi. Ia mengenakan jubah sederhana warna abu dan syal kusam, dengan topi runcing kecil menutupi sebagian rambutnya. Mata Ratri menatap tenang ke depan, seolah tidak peduli pada keramaian, tetapi jemari kirinya terus menggenggam liontin kecil berbentuk bunga wijaya kusuma—fokus utama untuk pendengar roh.
Ratri (dalam hati):
Tiwi, kirim sinyal jika kau tangkap kata kunci… Aku siap mengikat suara-suara itu menjadi jejak.
Tiba-tiba, Pratiwi batuk tiga kali—sengaja, dengan nada terputus-putus. Ratri paham.
Segera ia menutup matanya setengah dan berbisik pelan dengan mantra dalam bahasa kuno:
“Swara kasat, tembusi batas… roh malam, bisikkan kabar… donga nira lawan…”
Aura biru lembut memancar samar dari liontinnya, hanya bisa dilihat oleh mereka yang peka. Suara-suara di bar menjadi seperti bisikan yang terpisah dari keramaian, mengarah langsung ke dalam telinga batin Ratri.
Suara dari meja pria-pria tadi:
“...kalau benar dia Rinjana Nirnawa, kenapa dia diam di rumah bekas Tabib Tua dekat pohon Kembar?”
“Karena dia gak mau diusik. Mereka bilang dia bisa lihat roh dan panggil hujan sendiri…”
“Kau dengar dari siapa?”
“Dari anak-anak yang suka intip… satu bahkan katanya kerasukan waktu lihat dia meditasi…”
Mata Ratri membuka perlahan. Wajahnya masih tenang, tapi pikirannya sudah bergerak cepat.
Dengan konsentrasi, ia memanggil nama dalam batinnya:
“Darsa…”
Di kejauhan, di hutan kecil luar desa, Darsa yang duduk bersila di dekat kereta, mendadak terdiam. Ia merasa sebuah getaran lembut mengetuk pikirannya. Suara Ratri terdengar langsung ke dalam pikirannya, lirih tapi jelas:
“Rumah bekas Tabib Tua. Dekat pohon kembar. Dia tinggal di sana. Pria-pria bar bilang namanya disebut. Kuat kemungkinan target kita.”
Darsa segera menatap Jasana yang sedang membersihkan senjata kecilnya.
Darsa:
“Kita dapat jejaknya.”
Jasana (tegas):
“Di mana?”
Darsa:
“Rumah tua dekat pohon kembar. Bekas tempat tabib katanya. Kita tidak bergerak malam ini. Kita tunggu Tiwi dan Ratri pagi esok. Tapi malam ini kita tahu… Rinjana Nirnawa memang ada di Hujanabu.”
Misi penyusupan malam itu perlahan mengarah pada ujung kebenaran. Dan bayangan Rinjana Nirnawa semakin dekat dari yang mereka duga.
Fajar menyingsing perlahan di atas Desa Hujanabu. Cahaya keemasan mulai menembus kabut tipis yang menggantung di antara rumah-rumah beratap rumbia. Embun masih basah di dedaunan dan rerumputan, burung-burung kecil mulai berkicau. Di sudut pinggiran hutan kecil, Jasana dan Darsa sedang bersiap.
Darsa, mengenakan kain selempang petani cokelat kusam dan caping bambu, menatap ke arah desa dari balik semak tinggi. Di sampingnya, Jasana mengenakan pakaian abu tua seperti pekerja pasar dengan keranjang kosong di punggungnya. Wajahnya sedikit dihitamkan debu agar tidak terlalu mudah dikenali.
Darsa:
“Pohon kembar itu…” (menunjuk ke kejauhan) “...kelihatan dari sini, kan? Di belakang rumah berdinding bambu itu.”
Jasana (mengangguk):
“Ya. Dan tidak ada rumah lain yang terlalu dekat dengannya. Sangat cocok untuk seseorang yang ingin bersembunyi. Tapi juga terlalu mencolok untuk orang biasa.”
Darsa (berdiri sedikit lebih tinggi):
“Kita tunggu sampai aktivitas warga makin ramai. Kita bergerak seperti orang pasar lewat jalur belakang. Penjaga pos belum datang, jadi kita bisa keluar masuk tanpa banyak tanya.”
Jasana (tersenyum miring):
“Lucu ya. Dulu waktu kecil aku sering main ke desa-desa seperti ini. Tapi sekarang, masuk desa bukan lagi untuk bermain...”
Darsa (melirik):
“Dan kalau ketahuan, bisa jadi buronan.”
Jasana:
“Kau belum sempat cerita. Semalam, kau benar-benar bisa terima kalau aku jadi ‘rival’mu?”
Darsa (menarik napas):
“Aku pernah ingin menyaingimu karena ingin menang. Sekarang aku ingin menyaingimu... karena aku ingin bisa selevel.”
Jasana (tersenyum tulus):
“Dan kau sudah di sana, Kawan.”
Darsa (bercanda):
“Kalau Aku menang tipis dari kau dalam hal Teknik Pedang dan Berlatih, kau tetap menang di soal menginjak jebakan dan bertahan dari makhluk aneh.”
Jasana (tertawa kecil):
“Itu bukan kemampuan. Itu nasib apes.”
Di sisi lain, di penginapan Dahan Beringin, cahaya pagi masuk lewat jendela kecil. Pratiwi sudah menggulung kain penyamarannya dan mengenakan pakaian sederhana warna coklat muda. Rambutnya dikepang dua, tampak seperti gadis pedagang keliling. Ratri Nindyanari, seperti biasa tampil bersih dan rapi, mengenakan jubah kusam abu tua dan membawa tas anyaman kecil.
Pratiwi (berkaca di mangkuk air):
“Menurutmu Darsa sudah jalan?”
Ratri (mengancing tasnya):
“Sudah pasti. Dia selalu dua langkah di depan kalau urusan taktik.”
Pratiwi (tersenyum lirih):
“Kemarin malam… kita banyak bicara. Aku pikir dia akan terus dingin padaku.”
Ratri (menoleh):
“Dia hanya terlalu sering menyimpan semuanya sendiri. Tapi denganmu… kelihatannya dia belajar berbagi.”
Pratiwi (tersipu, lalu cepat mengalihkan):
“Kau sudah siap? Kita harus susul mereka. Pasti mereka menunggu di rute barat yang dekat sawah.”
Ratri (mengangguk):
“Siapkan telingamu hari ini. Mungkin kita belum masuk rumah target, tapi kita harus jadi bayangan mereka.”
Tak lama, di jalur belakang desa...
Jasana dan Darsa mulai menyusup masuk di antara rumah-rumah kecil. Beberapa warga mulai membuka lapak atau menyapu halaman. Mereka berjalan seperti dua pria pengangkut barang dari desa sebelah, saling bicara santai agar tidak mencurigakan.
Jasana (pelan):
“Lihat, ada anak kecil bermain di dekat pohon kembar. Sepertinya rumah itu belum ada tanda kehidupan pagi ini.”
Darsa:
“Itu bisa berarti dua hal—ia belum bangun, atau ia tahu kita datang.”
Jasana (berhenti sejenak):
“Kita tunggu di dekat warung kayu kecil itu. Dari sana, kita bisa lihat rumahnya tanpa mencolok.”
Mereka pun duduk di dekat warung kayu sederhana yang baru buka, memesan wedang jahe dan ketan. Tak lama kemudian, Pratiwi dan Ratri muncul dari arah belakang, berbaur seperti ibu dan anak muda yang ingin belanja.
Ratri:
“Kami sudah lihat rumahnya dari utara. Tidak ada hewan peliharaan, tapi... aura di sekeliling rumah itu tidak biasa.”
Darsa:
“Bagus. Hari ini kita tidak masuk. Kita awasi sampai sore. Kita lihat siapa yang datang ke rumah itu.”
Pratiwi:
“Dan kalau tidak ada?”
Jasana:
“Maka malam nanti… kita putuskan apakah akan masuk. Atau kita undang dia keluar.”
Mereka semua saling pandang, menyadari bahwa misi mereka baru dimulai—dan bahwa bayangan Rinjana Nirnawa kini semakin dekat dari sebelumnya.
Panas matahari mulai mengusir embun dari dedaunan dan atap-atap rumah Desa Hujanabu.
Suasana mulai hidup—suara ayam, riuh tukang sayur, dan teriakan anak-anak menyatu dalam keramaian pagi.
Dari tempat mereka mengamati, di sebuah warung kecil dekat jalan kecil ke arah Pohon Kembar, Jasana, Darsa, Pratiwi, dan Ratri Nindyanari sedang berpura-pura menikmati sarapan sambil mengawasi rumah tua di ujung jalur.
Tiba-tiba, perhatian mereka terpusat.
Darsa (merendahkan suara, tajam):
“Dua orang lelaki… dari arah timur. Lihat, mereka mendekati rumah itu.”
Pratiwi (menunduk sambil mengamati lewat pantulan mangkuk logam):
“Penampilan mereka… tampak seperti bandit. Wajah keras, cara jalan santai tapi waspada.”
Ratri:
“Mereka mengetuk pintu… dan…”
Jasana (mendadak tegang, suaranya nyaris berbisik):
“Itu dia…”
Darsa:
“Siapa?”
Jasana (matanya tidak lepas dari sosok yang membuka pintu):
“Gadis muda itu… rambut keperakan. Wajahnya… aku tidak mungkin lupa. Rinjana Nirnawa. Aku pernah bertarung dengannya di Tanah Selampa.”
Pratiwi (terkejut):
“Kau pernah melawannya langsung?!”
Jasana:
“Dia hampir sudah kalah saat itu. Tapi dia menghilang dalam sekejap. Seperti ditelan kabut. Teknik teleportasi.”
Darsa (mengangguk perlahan):
“Benar. Menurut laporan, Rinjana juga sedang diburu oleh tentara patroli Mandalagiri Selatan. Dia meresahkan. Beberapa minggu ini, ada serangkaian penjarahan di desa-desa wilayah selatan Mandalagiri. Orang-orang menggambarkan pemimpin kelompok bandit itu: perempuan muda, rambut putih keperakan. Itu pasti dia.”
Ratri (menyipitkan mata):
“Jadi selama ini dia bersembunyi dari dua pihak: Guild dan kerajaan.”
Jasana:
“Dan tetap lolos. Licin seperti belut. Tapi ini pertama kalinya aku melihat dia menerima tamu. Bisa jadi itu anak buahnya.”
Pratiwi:
“Kau yakin itu dua orang Bandit Bayawira?”
Darsa:
“Bentuk tubuh dan gaya berpakaian mereka cocok dengan deskripsi Bayawira: mantan tentara pelarian, hidup dari penjarahan dan jual beli informasi. Biasanya mereka menyuplai logistik dan kabar ke orang-orang seperti Rinjana.”
Jasana (tegang):
“Kalau mereka bawa kabar… bisa jadi Rinjana akan pindah lagi hari ini.”
Darsa (berpikir cepat):
“Kita tidak punya banyak waktu. Kita butuh taktik untuk menangkapnya tanpa memberi celah untuk kabur.”
Ratri:
“Kau bilang dia bisa teleportasi. Tapi butuh waktu kan? Dia tidak bisa langsung ‘hilang’ tanpa gerakan.”
Jasana:
“Benar. Dari pengalamanku, dia membuka kertas gulungan simbol sihir, lalu semacam cahaya ungu menyelubungi tubuhnya sebelum hilang. Butuh dua… atau tiga detik.”
Darsa (menatap tajam ke arah rumah):
“Berarti kita harus buat dia tidak bisa menggunakan gulungan kertas sihir itu. Sekali dia membuka gulungan itu… selesai sudah.”
Pratiwi (menimpali):
“Atau kita buat dia panik dan kehilangan fokus. Mungkin... ilusi bisa bantu?”
Ratri (berpikir):
“Atau pengalihan. Jika aku bisa mengirimkan mantra bingung dari jauh, dia akan kehilangan keseimbangan pikiran sesaat.”
Darsa:
“Kita butuh satu tim masuk… dan satu tim untuk pengalihan.”
Jasana:
“Kau ingin melakukannya sekarang?”
Darsa:
“Belum. Kita pantau dulu. Kalau dia keluar, kita ikuti. Jika dia tetap di rumah sampai malam… kita buat rencana untuk penyergapan saat dia merasa paling aman.”
Jasana (dalam hati bergolak):
“Rinjana Nirnawa… Kali ini kau tidak akan lolos lagi.”
Empat pasang mata itu terus mengamati rumah di balik pohon kembar,
sambil jantung mereka berdegup kencang, tahu bahwa keputusan dalam satu detik bisa menentukan tangkap... atau kehilangan jejak untuk selamanya.
Wilayah Mandalagiri Barat, Desa Pesisir Panundaan – Pagi Hari, Langit Cerah, Ombak Memukul Bibir Pantai dengan Pelan
Rombongan besar pasukan kerajaan telah tiba di Desa Panundaan Seluruh Warga Desa diungsikan. Derap kaki kuda, suara denting senjata, dan aba-aba prajurit mengisi udara desa yang biasanya tenang. Di antara deretan prajurit berkuda, penombak, pedang, pemanah, hingga para ahli sihir dalam kereta khusus, tampak kereta mewah berhias lambang bunga matahari dan bulan sabit, simbol Faksi Pangeran Aryasatya.
Di atas kereta itu duduk tiga sosok penting:
Pangeran Aryasatya, Pangeran Mahadarsa, dan Sangbra Witanta—panglima setia dan orang kepercayaan keluarga mereka.
Di Atas Kereta Kuda Faksi Pangeran
Pangeran Aryasatya (tegas, sedikit menyeringai):
“Panundaan… tenang dan indah, untuk sekarang. Tapi tiga hari lagi, akan jadi medan perang. Mereka kira bisa sembunyi di balik kegelapan?”
Pangeran Mahadarsa (lebih muda, namun pendiam dan tajam):
“Bayawira Barat bukan kelompok rendahan. Mereka punya kecepatan, penyamaran, dan taktik seperti bayangan. Tapi mereka tidak punya apa yang kita bawa—sedikit kekuatan penuh kerajaan.”
Sangbra Witanta (berdiri, menunjuk peta kecil di tangannya):
“Pasukan kita:
100 prajurit berkuda
150 pemanah
120 prajurit pedang
100 penombak
Dan 30 pengguna sihir terlatih dari Akademi Candra Jati.
Total: 500 prajurit. Kita akan buat Bayawira menyesal menyentuh wilayah ini.”
Pangeran Aryasatya (mendengus):
“Dan jika ada pengintai dari Guild Bayu Geni—usir saja. Aku tak butuh Maheswara ikut campur. Faksi kita akan harum di hadapan rakyat dan bangsawan. Citra adalah segalanya, Mahadarsa.”
Pangeran Mahadarsa (datar):
“Selama itu membawa kita lebih dekat ke Citra Baik kita, aku tidak keberatan.”
Di Balik Hutan Bakau – Markas Sementara Bayawira Barat
Di antara akar-akar bakau dan semak lebat, tiga sosok diam mengawasi dari kejauhan. Mereka adalah:
Kapten Jagatmarma – tinggi, berotot, wajah jenaka dengan cambang rapi.
Teksaka – pemuda 23 tahun dengan belati kembar dan rambut putih acak-acakan.
Ratri Andini – perempuan muda, anggun, berpakaian penari tempur dengan keris elegan di pinggang serta Busur yang ia gantungkan.
Teksaka (terpana, nada cemas):
“Waduh, Kapten... mereka bawa bala tentara segini banyak? Lengkap pula dengan sihir?! Ini bukan main-main…”
Ratri (menggeleng pelan):
“Tak masuk akal… Untuk menghadapi kita saja mereka turunkan seperempat kekuatan pasukan kerajaan. Mereka pikir kita mau perang terbuka?”
Jagatmarma (terbahak pelan, menyender di pohon bakau):
“Hahaha! Lihat tuh, pangeran-pangeran muda itu, keluar dari kereta emas, pakai jubah-jubah wangi. Belum sempat keringat mereka netes, udah main perintah.”
Teksaka:
“Kita harus undur dulu, kan Kapten?”
Jagatmarma (senyum miring):
“Undur? Heh, justru ini seru! Sudah lama aku tidak adu otot dan otak sama tentara kerajaan. Kita bukan gerombolan sembarangan, Teksa.”
Ratri:
“Kita tetap butuh rencana. Javarnesa bangkit dalam tiga hari. Kalau mereka menemukan lokasinya sebelum kita...”
Jagatmarma (mencabut ranting dan menggigitnya):
“Kita tetap jalankan rencana. Mereka punya jumlah. Tapi kita punya kepala. Dan licin itu warisan kita. Bayawira bukan untuk dilawan di siang bolong, tapi malam hari… saat laut dan bayangan berpihak pada kita.”
Teksaka (setengah kagum, setengah bingung):
“Kepala kita yang mana dulu nih? Kepala perang… atau kepala pusing?”
Jagatmarma (tertawa terbahak):
“Hahaha! Dua-duanya penting, Teksa! Tapi yang pasti… kalau mereka pikir bisa bawa kemenangan dengan kereta kuda dan jubah kebesaran, mereka belum pernah ditelanjangi oleh badai malam Panundaan!”
Tiga hari lagi…
Bulan Purnama Merah akan naik ke langit.
Dan di balik debur ombak, Tiram Raksasa Ghaib Javarnesa perlahan menggeliat.
Dua kekuatan bersiap: satu dengan panji kebesaran, satu lagi dengan bayang-bayang dan keheningan laut.
Pertempuran di Panundaan... tinggal menunggu waktu.