Markas Guild Bayu Geni – Lantai Bawah Tanah, Divisi Bayang-bayang Geni – Sore Hari
Udara di ruang bawah tanah Divisi Bayang-bayang Geni seperti biasa terasa sunyi dan menekan. Cahaya biru redup dari lampu-lampu kristal di langit-langit membuat bayangan di dinding bergerak pelan, seperti ikut menguping setiap percakapan.
Kapten Kalandra Wisanggeni berdiri di depan meja bundar bertaplak hitam, dikelilingi peta Panundaan dan laporan tertulis dari para pengintainya. Sosoknya yang kurus tinggi dan agak sedikit berotot tampak semakin tajam saat sinar lampu menyentuh jubah hitamnya yang bergelombang. Matanya menyipit saat seorang anggota Divisi, seorang wanita pengintai berseragam gelap, melapor dengan nada cepat dan penuh ketegangan.
Percakapan dalam Ruang Divisi Bayang-bayang Geni
Pengintai:
“Lapor, Kapten. Rombongan Faksi Pangeran Aryasatya tiba di Desa Panundaan pagi tadi. Pasukan lengkap: prajurit berkuda, pemanah, pedang, penombak, hingga ahli sihir. Jumlah mereka sekitar lima ratus orang.”
Kapten Kalandra (suara rendah dan dingin):
“Hm... persis seperti yang kita perkirakan. Mereka datang membawa keributan, bukan kehati-hatian.”
Pengintai (melanjutkan, sedikit ragu):
“Kami mencoba bertahan di garis pantai dan semak bakau, tapi... pasukan mereka menemukan titik pengintaian kami. Dua dari kami disergap, dan... mereka mengusir kami secara kasar, Kapten. Tanpa peringatan atau negosiasi.”
Kapten Kalandra (menghela napas panjang, kemudian mendesis pelan):
“Seperti biasa… arogan. Aryasatya selalu mengira pasukannya adalah bayangan kerajaan. Padahal yang mereka miliki hanya suara gaduh dan baju besi mengkilap.”
Ia berdiri tegak, tangannya menyapu peta Panundaan dan menggulungnya perlahan. Wajahnya tetap tenang, tapi bibirnya menegang.
Kapten Kalandra:
“Tarik semua pengintai. Tak perlu kita buang tenaga mengawasi urusan yang tidak menghargai keberadaan kita.”
Pengintai (terkejut):
“Tapi, Kapten... Mutiara Samudrantaka—”
Kapten Kalandra (memotong, tegas):
“—Biarkan menjadi urusan mereka. Jika mereka ingin menangani Javarnesa dan Bayawira tanpa mata yang tajam, itu pilihan mereka. Kita tidak mengemis untuk didengar.”
Ia menatap api biru di lentera yang menyala tenang.
Kapten Kalandra (lirih, lebih kepada dirinya sendiri):
“Dalam perang bayangan, keangkuhan adalah kelemahan. Dan Aryasatya tengah membungkus dirinya dengan kelemahan itu.”
Kapten Kalandra (berbalik ke seluruh pengintai di ruangan):
“Mulai saat ini, Desa Panundaan bukan prioritas. Fokuskan mata kita ke barat laut. Ada gerakan senyap di batas wilayah Kinara yang lebih patut diawasi. Sampaikan ke seluruh tim—hilang dari Panundaan, dan jangan tinggalkan jejak.”
Angin senja menyusup ke celah-celah batu markas bawah tanah, membawa aroma garam laut dari jauh. Di Desa Panundaan, bayang-bayang akan menghilang…
Tapi bukan karena mereka kalah.
Melainkan karena mereka memilih untuk menunggu saat yang tepat.
Kapten Kalandra tahu—
Pangeran Aryasatya sedang berjalan tanpa mata, menuju laut yang menggulung rahasia dan kutukan.
Malam Hari – Pesisir Pantai Panundaan & Hutan Bakau yang Sunyi
Angin laut berhembus pelan, membawa suara ombak yang terus menerpa garis pantai. Di atas hamparan pasir luas yang menghadap Samudra Mandalagiri, tampak kerlap-kerlip cahaya dari tenda-tenda milik Faksi Pangeran Aryasatya yang kini telah berdiri megah. Api unggun besar berkobar, menghangatkan prajurit yang berjaga. Namun di balik kemewahan dan barisan formasi, kegelisahan tersembunyi dalam tenda utama.
Dalam Tenda Utama – Faksi Pangeran Aryasatya
Tenda berwarna merah marun keemasan berdiri kokoh seperti istana kecil. Di dalamnya, karpet permadani membentang, lentera kristal tergantung di langit-langit kain, dan sebuah meja kayu besar dipenuhi peta dan dokumen.
Pangeran Aryasatya, duduk tegak dengan wajah serius, mengenakan baju perang ringan berhias simbol kerajaan. Di sampingnya Pangeran Mahadarsa, lebih muda dan berperawakan ramping, tampak cemas, sedangkan Sangbra Witanta berdiri bersilang tangan dengan pandangan tenang.
Pangeran Mahadarsa:
“Kita sudah di sini seharian. Tapi tak satu pun tanda keberadaan musuh. Kau yakin mereka benar-benar akan datang ke Panundaan, Kakanda?”
Pangeran Aryasatya (datar):
“Mereka pasti akan datang. Mutiara Samudrantaka bukan sekadar pusaka. Itu legenda. Dan setiap legenda memanggil makhluk-makhluk tamak dari kegelapan.”
Sangbra Witanta (tenang namun tegas):
“Laporan terakhir dari pengintai lokal menyebut adanya jejak pergerakan di hutan bakau sebelah timur. Tapi… belum bisa dipastikan itu Bayawira. Mereka licin, dan seolah-olah tahu kapan harus muncul.”
Pangeran Aryasatya:
“Kalau begitu, buat mereka keluar. Perintahkan patroli bergiliran sepanjang malam. Aku ingin tahu siapa yang cukup gila menantang kekuatan penuh Faksi kita.”
Di Hutan Bakau – Markas Bayawira Barat
Tidak jauh dari keramaian kemilau tenda, hutan bakau menyimpan bisik-bisik taktis. Cahaya obor hanya sedikit digunakan, dan kegelapan menjadi sekutu Bayawira.
Di tengah tanah becek dan akar-akar yang menjulur seperti tangan hantu, Kapten Jagatmarma, sosok tinggi besar berambut hitam, cambang tebal, dan senyum santai, sedang berdiri di depan para banditnya. Di sisinya: Teksaka, pemuda berambut perak liar yang selalu tampak waspada, dan Ratri Andini, busur dan panah tersarung dipunggungnya.
Teksaka (berbisik pelan, serius):
“Pasukan kita sudah lengkap, Kapten. Total dua ratus lima puluh orang. Semuanya siap. Ada pendekar desa, mantan jawara, buronan, mantan pembunuh bayaran, dan mantan tentara kerajaan.”
Ratri Andini (setengah gumam):
“Tapi lawan kita pasukan kerajaan dengan senjata lengkap dan sihir. Apa kita tidak terlalu nekat?”
Kapten Jagatmarma (tertawa pelan):
“Ratri… Ratri… Kau tahu, banyak perang dimenangkan bukan karena pedang paling tajam, tapi karena otak yang tahu kapan harus kabur.”
Teksaka (kaget):
“Kapten? Tunggu… jadi—kita akan… lari?”
Jagatmarma (menepuk bahu Teksaka dengan senyum nakal):
“Lari? Bukan, bocah. Kita main petak umpet berdarah. Mereka punya lima ratus orang. Tapi hutan ini adalah rumah kita. Malam ini, kita mulai gerilya. Satu regu pancing mereka ke hutan bakau. regu kedua siapkan busur dan panah yang sudah diberi Racun bersembunyi dibalik bakau dan diatasnya. Lalu regu ketiga tutup semua akses mereka pada saat akan kembali lagi ke tenda mereka, dan bantai yang tersisa, Malam ke malam… kita habisi satu demi satu.”
Ratri (terpana, pelan):
“Kapten… ternyata kau bisa serius juga. Kupikir kau cuma jago ketawa dan main dadu di warung.”
Jagatmarma (mengangkat alis dengan gaya jenaka):
“Hidup butuh seimbang, Ratri. Satu kaki di warung, satu kaki di neraka.”
Malam mulai menggulung langit dengan awan gelap. Ombak menerpa tanpa henti, seolah memberi pertanda bahwa lautan pun sedang gelisah.
Satu pihak tidur dalam kemewahan dan percaya diri...
Sementara satu pihak bersiap dalam sunyi, dengan rencana di balik bayangan.
Tiga malam ke depan akan menjadi tarian darah, taktik, dan keberanian.
Dan malam ini—adalah awalnya.
Tengah Malam – Tepi Hutan Bakau, Perbatasan Pesisir Panundaan
Langit gelap sempurna, tanpa bintang. Hanya bulan sabit tipis menggantung, terhalang kabut laut. Angin malam lembap membawa aroma lumpur dan daun bakau yang membusuk.
Tenda-tenda Faksi Pangeran Aryasatya berdiri kokoh namun tenang—banyak prajurit telah tertidur, hanya sebagian regu penjaga malam yang berjaga dengan obor kecil dan raut wajah lelah.
Di sisi lain, di kedalaman hutan bakau yang lembab dan remang, Kapten Jagatmarma berdiri di atas sebuah batu besar, dikelilingi pasukannya. Api unggun kecil sengaja dipadamkan. Di sekelilingnya, wajah-wajah penuh harap dan keyakinan menyimak arahannya.
Kapten Jagatmarma (dengan suara dalam dan tenang):
“Dengar baik-baik, malam ini kita kirim salam pembuka. Tiga regu, hanya empat puluh lima orang. Sisanya—kalian kembali ke tengah hutan, siapkan segalanya. Senjata, jebakan, dan logistik. Kita akan bertempur habis-habisan pada malam ketiga, saat bulan purnama merah muncul, dan saat Tiram Raksasa Javarnesa muncul dari dasar laut aku yang akan mengurusnya. Di sanalah pertempuran besar akan pecah.”
Ia menatap wajah-wajah pasukannya satu per satu, penuh keyakinan.
Kapten Jagatmarma:
“Regu Pertama—Teksaka. Bawa lima belas orang. Kalian tugasnya: tarik perhatian. Pancing para penjaga malam itu masuk ke hutan. Buat seolah kalian adalah kelompok kecil yang tersesat. Beri mereka kejaran yang tidak akan mereka lupakan.”
Teksaka (senyum menyeringai):
“Dengan senang hati, Kapten. Aku sudah tahu jalur-jalur sempit yang bisa buat mereka kesulitan.”
Kapten Jagatmarma:
“Regu Kedua—Ratri Andini. Bawa pemanahmu ke atas dan ke semak pohon bakau. Panah beracun siap, bukan? Begitu regu Teksaka mulai menarik perhatian, kau dan orang-orangmu hujani mereka dari atas dan semak-semak. Tak perlu banyak. Satu panah satu nyawa.”
Ratri (senyum tipis, matanya tajam):
“Anak panah kami sudah direndam dalam racun akar Lenga Itam. Sekali luka, jantung mereka berhenti sebelum sempat teriak.”
Kapten Jagatmarma (mengangguk):
“Bagus. Regu Ketiga—ikut denganku. Kita cegat sisanya. Mereka yang lari kembali ke tenda harus kita bungkam. Seret mayatnya ke rawa, kubur dalam lumpur. Tak boleh ada jejak. Malam ini... kita potong kepala ular sebelum ekornya bergerak.”
Sorak pelan, hampir seperti desahan nafas dalam gelap, menyebar dari para pasukan Bayawira. Mereka bukan prajurit istana. Mereka adalah pendekar kampung, bandit buangan, pemburu upahan, dan ada juga mantan tentara kerajaan yang terbuang yang kini bersatu dalam satu semangat melawan yang kuat dengan kecerdikan dan kelicinan.
Wajah mereka bersinar dalam kegelapan. Ada semangat liar, seperti serigala yang kembali ke hutan. Taktik ini adalah wilayah mereka—dan mereka tahu betul, ini bukan hanya perang, ini pembalasan.
Tanpa suara, regu-regu segera bergerak ke posisi. Teksaka memimpin orang-orangnya menyusup ke batas kamp. Ratri dan pemanahnya memanjat pohon bakau tinggi dengan keheningan seekor ular laut. Jagatmarma dan regunya menyelinap ke jalur pulang tenda musuh—mereka akan menutup semua celah kabur.
Sementara itu, dari kejauhan, di balik gelombang, samar-samar...
kilauan merah mulai tampak di cakrawala.
Bulan purnama merah... semakin dekat.
Dan malam ini, darah akan tumpah tanpa suara.
Tengah Malam – Perbatasan Hutan Bakau, Panundaan
Angin laut bertiup pelan, hanya suara ombak kecil dan derik kayu dari tiang tenda yang terdengar di perkemahan megah Faksi Pangeran Aryasatya. Di kejauhan, bayangan-bayangan gelap melintas cepat. Teksaka, si pemuda berambut perak acak-acakan, berlari paling depan bersama lima belas orang anggota Bayawira Barat. Gerakan mereka cepat, tapi sengaja meninggalkan jejak kaki dan suara—umpan sempurna bagi para penjaga malam yang lengah.
Gerakan Umpan – Teksaka
Penjaga Malam 1:
“Oi! Ada penyusup! Cepat kejar!”
Penjaga Malam 2 (meremehkan):
“Hanya segelintir bandit. Tangkap hidup-hidup saja, untuk dijadikan tontonan!”
Tanpa strategi, sekitar lima puluh orang dari Faksi Pangeran Aryasatya meninggalkan posisi mereka dan berlari mengejar Teksaka dan regunya yang telah menyusup masuk ke hutan bakau. Sisa penjaga tetap di sekitar tenda, bersiaga namun tidak menyadari bahwa mereka telah ditinggalkan oleh gelombang pertama.
Perangkap Daun Gelap – Regu Ratri
Saat pasukan pengejar memasuki wilayah hutan yang semakin rapat, pepohonan bakau menggantung seperti perangkap, dan tanah mulai berlumpur. Mereka melambat.
Di atas pohon, Ratri Andini berdiri anggun seperti siluet bayangan malam, rambut hitamnya mengepul pelan tertiup angin rawa. Bersama lima belas pemanah terbaiknya, ia menanti momen yang tepat.
Ratri (pelan, namun tegas):
“Sekarang.”
Srak—srak—wussh!
Anak-anak panah beracun melesat dari kegelapan. Tak satu pun penjaga Faksi Aryasatya melihatnya datang. Dalam sekejap, jeritan panik dan tubuh yang rubuh memenuhi rawa.
Pasukan Aryasatya:
“Ada serangan dari atas! Kembali! Kembaa—arghh!”
Mereka yang masih mampu berdiri mulai panik, berusaha kembali ke arah tenda.
Penyergapan Terakhir – Jagatmarma
Namun di titik balik itu, Kapten Jagatmarma dan lima belas prajuritnya telah siap di balik semak dan akar bakau besar. Mereka muncul seperti hantu rawa, menebas dan menikam dalam senyap.
Jagatmarma (datar, saat menebas):
“Kau tidak akan kembali.”
Tidak ada ampun. Mereka yang mencoba lari langsung dibekuk, yang terjatuh diseret ke balik lumpur. Tanpa suara, tanpa sisa. Jeritan terakhir terkubur di antara akar-akar pohon dan kabut rawa.
Akhir Serangan – Jejak Dihapus
Setelah pertempuran singkat dan kejam itu usai, Kapten Jagatmarma berdiri di tengah mayat-mayat yang terserak. Beberapa anak buahnya sudah mengikat tubuh-tubuh itu dengan akar pohon, menyeretnya ke dalam rawa hitam.
Jagatmarma:
“Buang semua. Jangan tinggalkan satu pun jejak. Pastikan mereka tidak bisa ditemukan.”
Teksaka (terengah, senyum puas):
“Itu... sekitar lima puluh pasukan. Satu malam yang manis.”
Ratri (dingin dan anggun):
“Mereka bahkan tidak sempat mengucap salam terakhir.”
Kembali ke Pos Utama – Malam Semakin Gelap
Setelah pembersihan selesai, seluruh regu bergerak dalam senyap menuju pos utama mereka di tengah hutan bakau. Tidak satu pun suara mereka mengganggu malam. Yang tersisa hanyalah kabut, dan jejak lumpur yang perlahan ditelan rawa.
Di langit, bulan sabit tampak perlahan mulai dipenuhi cahaya merah samar. Tanda bahwa malam ketiga akan segera datang...
Dan perang besar di Pesisir Panundaan tinggal menunggu waktu.
Pagi Hari – Pesisir Panundaan, Markas Besar Faksi Pangeran Aryasatya
Mentari pagi menyembul dari balik cakrawala, menyinari tenda-tenda mewah yang berdiri kokoh di hamparan pasir putih. Tapi pagi itu tak terasa hangat—udara penuh ketegangan dan kemarahan yang mendidih. Di tengah lapangan, seluruh pasukan dikumpulkan. Deretan prajurit berdiri kaku, menunduk.
Di depan mereka, Pangeran Mahkota Aryasatya berdiri dengan sorot mata menyala. Pangeran Mahadarsa tampak menatap tajam penuh tekanan. Di sisi mereka, Sangbra Witanta, tangan kanan sang pangeran, menyilangkan tangan, rahangnya mengeras. Di antara mereka berdiri seorang pria berpakaian penjaga malam—Pemimpin Regu Malam yang bertanggung jawab atas keamanan semalam.
Adegan Interogasi dan Amarah
Pangeran Aryasatya (suara keras):
“Lima puluh pasukan... HILANG dalam satu malam. Bukan karena perang, bukan karena badai, tapi karena kalian LENGAH!”
Pemimpin Regu (gemetar, menunduk):
“Maafkan hamba, Paduka... mereka mengejar musuh yang tampak kecil jumlahnya. Kami tidak menyangka—”
Pangeran Mahadarsa (menyela dengan nada tajam):
“Tidak menyangka? Kau pikir musuh akan mengabari dulu jumlahnya sebelum menyerang?”
Sangbra Witanta (dingin, setengah berbisik):
“Tidak ada mayat. Tidak ada jejak. Mereka seperti ditelan bumi.”
Aryasatya (mendekat, menatap tajam):
“Kau telah mencoreng kehormatan pasukan kami sebelum perang. Ini bukan sekadar kelalaian—ini adalah PENGKHIANATAN pada amanat perang.”
Prajurit-prajurit lain menahan napas. Mereka tahu apa yang akan terjadi.
Aryasatya (menghunus pedangnya, suara tegas):
“Aku tidak butuh pemimpin pengecut di garis depan. Untuk menebus malu ini... hanya ada satu harga.”
Craaasshh!
Dalam satu tebasan cepat dan mengerikan, kepala pemimpin regu itu terpenggal dan jatuh ke pasir. Darah mengalir di antara kakinya, mewarnai pantai Panundaan yang putih.
Reaksi Pasukan dan Penegasan Kekuasaan
Pasukan terdiam. Hanya suara ombak yang terdengar. Beberapa prajurit gemetar, bukan karena takut pada musuh—tapi karena menyaksikan bahwa Pangeran Aryasatya tidak main-main. Ia pemimpin berdarah kerajaan, dan tidak akan mentoleransi kelemahan.
Aryasatya (menatap seluruh pasukan):
“Kita sedang berhadapan dengan musuh yang tahu medan, tahu cara membunuh diam-diam, dan tidak punya kehormatan seperti kita. Jika kalian lengah, maka kalian akan menyusul rekan-rekan kalian... ke rawa tanpa nama.”
Sangbra Witanta (bergerak maju, tenang tapi mengancam):
“Mulai hari ini, pengawasan malam akan diperketat. Tidak ada satu pun yang boleh bertindak tanpa perintah terkoordinasi. Dan...”
Ia menatap para kapten regu.
“Kita akan kirim tim penyisir. Aku ingin satu jejak saja... untuk mengendus bau pembantaian semalam.”
Prajurit-prajurit kembali ke tugasnya dalam diam. Ketegangan menggantung di udara. Dari kejauhan, langit perlahan mulai berwarna merah tembaga, tanda bahwa malam purnama merah semakin dekat—dan begitu pula pertempuran besar yang akan datang.
Faksi Pangeran Aryasatya telah kehilangan muka.
Dan dendamnya, akan dibayar dengan darah.
Hutan Hargagiri, Mandalagiri Selatan
Pagi Masih Dingin, Kabut Masih Tebal – Ketegangan Meningkat
Kabut pagi masih menggantung tipis di antara pepohonan tinggi Hargagiri. Burung-burung belum sempat berkicau ketika bunyi derap kuda memecah kesunyian hutan. Jasana dan Darsa memacu tunggangan mereka di jalan sempit dan terjal, mengejar Rinjana Nirnawa, Wakil Kapten Bayawira Selatan yang mencoba kabur dari penangkapan.
Saat Momen Pengejaran itu tanpa sadar Keris Parangjati yang diselipkan Jasana terjatuh ke semak-semak hutan Hargagiri, Jasana tidak menyadari akan hal itu.
Jasana (membisik pada kudanya):“Sedikit lagi... jangan biarkan dia lolos...”
Darsa (sambil berdiri di pelana, mata menyipit):“Aswangga, waktunya!”
Dari balik bayangan pohon, muncul seekor kucing hitam keunguan dengan mata hijau menyala—Khodam Aswangga, makhluk bayangan yang menjadi bagian jiwa Darsa. Dalam satu lompatan halus, ia menyergap kaki depan kuda Rinjana, menjerat dengan cakar gaib.
Bruaakk!!Kuda Rinjana tergelincir keras, tubuh Rinjana terlempar membentur batang pohon. Ia menjerit.
Rinjana (terengah):“Tidak... jangan...!”
Rinjana bangkit dengan tubuh gemetar. Tangannya memanggil pelindung sihir, tapi tameng cahaya yang lemah langsung hancur oleh tebasan Pedang Sahya milik Darsa.
Darsa (datar, dingin):“Orang sepertimu tak pantas hidup.”
Jasana (menarik pedang merahnya, Lungguh Darma, hanya untuk berjaga):“Darsa, ingat misinya! Dia harus ditangkap HIDUP-HIDUP!”
Darsa tak menjawab. Matanya membara. Aura Aswangga mulai menyelubungi tubuhnya—gelap, liar, seperti bayangan kucing raksasa menyatu dengan tubuhnya.
Rinjana terpental berkali-kali, berdarah, hingga akhirnya tersungkur, tak mampu berdiri. Dengan napas terputus-putus, ia memohon:
Rinjana:“Kuharap... kalian... membunuhku cepat…”
Darsa mengangkat pedang.
Jasana Menghalangi, Pertarungan Tak Terduga
Jasana (berteriak):“DARSA! HENTIKAN!”
Claaanggg!Pedang Sahya milik Darsa terhalang oleh Lungguh Darma. Mata mereka bertemu. Tapi Darsa tak lagi melihat Jasana. Yang ia lihat hanya ancaman.
Darsa (datar dan berbisik lirih):“Semua... adalah musuh... semua... harus lenyap...”
Jasana (berusaha sadar):“Kau bukan pembunuh! Ini bukan dirimu! Aswangga sedang menggerogoti jiwamu!”
Darsa meraung marah, lalu menyerang Jasana dengan serangan brutal, tanpa irama, tanpa teknik, hanya kekuatan liar. Jasana terpukul mundur. Pedangnya menahan serangan-serangan liar, tapi ia menahan diri, tak ingin menyakiti Darsa.
Jasana (dalam hati):"Ini bukan dia... Aku harus menyentuh hatinya... bukan hanya menangkis pedangnya."
Rinjana Menyaksikan
Dalam keadaan lemah, Rinjana Nirnawa menatap mereka. Ia terkejut. Seorang musuh sedang melindunginya. Seorang teman berbalik melawan temannya sendiri.
Rinjana (pelan, kepada diri sendiri):“Kenapa... dia melindungiku...? Aku... musuh mereka...”
Matanya perlahan berkaca-kaca. Dingin kebencian di hatinya mulai retak—oleh pertarungan yang justru menunjukkan nilai kemanusiaan.
Ketegangan Meningkat
Pertempuran antara dua sahabat pecah di tengah hutan.Bayangan khodam semakin menguat.Hanya suara nafas, benturan logam, dan bisikan hutan yang menyaksikan…
Mantra Rahasia Sang Resi
Di balik kerimbunan pohon, tersembunyi Kapten Bayawira Selatan – Resi Wighna Laksa, seorang pria tua berwajah teduh tapi menakutkan, mengenakan jubah biru tua dengan simbol huruf kuno berputar di udara di sekelilingnya.
Resi Wighna Laksa (berbisik, dengan bahasa gaib):
"Wiyasa Lingkar Gana... Citra Tala Andrawina..."
Tangannya membentuk mudra, udara bergetar, dan dari sela jemarinya muncul pusaran ungu berputar.
Mantra teleportasi kuno—Mantra Lenyap Loka, sihir terlarang yang dapat mengirim korban ke dalam Alam Jin, liar dan Secara Acak.
Momen Kritis – Rinjana Bertindak
Serangan Mantra itu melesat—dua arah, mengincar Darsa dan Jasana sekaligus.
Darsa merasakan gejolaknya, aura khodam Aswangga membuatnya lebih peka, dia Menghindari serangan Mantra tersebut.
Darsa (mendesis):
“Mantra dimensi... hindari.”
Jasana (masih bertarung, tak sadar):
“Apa?!”
Sementara itu, dari tanah, tubuh Rinjana Nirnawa yang nyaris pingsan bergerak. Dengan tubuh gemetar, ia melompat menubruk arah serangan, mencoba menahan pusaran tersebut yang akan mengenai Jasana.
Rinjana (dalam hati):
"Kenapa aku... melakukan ini? Kenapa... dia melindungiku...?"
Namun, usahanya justru memperparah keadaan—pusaran mengenai mereka berdua.
“BYARRR!!”
Ledakan cahaya ungu!
Jasana dan Rinjana menghilang dari dunia ini dalam sekejap mata.
Teleportasi liar sukses.
Resi Wighna Laksa Mengumpat
Resi Wighna Laksa (dengan marah):
“Dasar wanita bodoh! Kenapa kau lindungi musuh?! Itu bukan bagian dari rencanamu!”
Namun belum sempat dia menarik napas berikutnya—
Darsa Mengamuk: Transformasi Spiritual – Mode Kebangkitan Aswangga
Aura gelap mulai melingkupi Darsa.
Tubuhnya bergetar, dan mata Aswangga—berwarna ungu menyala—mengambil alih. Suara-suara dari alam khodam bergema di sekelilingnya.
Darsa (suara ganda, seperti manusia dan makhluk buas):
“Kau kirimkan dia... ke dunia para Jin... Kau... akan kubuat menyesal...”
Aura Khodam Aswangga meledak keluar.
Pakaiannya berubah jadi jubah siluman kucing kehitaman dengan aksen ungu menyala.
Cakar khodam tumbuh di tangan.
Tubuhnya menjadi lentur dan buas, bergerak seperti bayangan hidup.
Darsa kini menjadi: "Aswangga Dwimuka" – wujud manusia dan siluman yang menyatu.
Pertempuran Dimulai – Bayangan vs Resi
Darsa melesat seperti kilat! Serangan pertama langsung menggetarkan pohon-pohon di sekitar. Resi Wighna Laksa harus melompat mundur, membuka lima segel pelindung mantra sekaligus.
Gua Sunyi, Pegunungan Mandalgraha
Di tempat jauh di pegunungan Mandalgraha, sebuah gua sunyi yang hanya diterangi cahaya biru dari kristal-kristal alam.
Terduduk diam Kapten Bayawira Utama – Jagat Arunika, mata tertutup, tenggelam dalam meditasi.
Tiba-tiba, gulungan asap hitam muncul dari udara dan mengubah diri menjadi lambang mata Resi Wighna.
Suara Ghaib Resi Wighna:
“Laporan darurat. Darsa... telah bangkit sepenuhnya. Aku... membutuhkan bantuan... atau dia akan—”
Suara itu terputus oleh ledakan di Hargagiri.
Jagat Arunika membuka matanya perlahan. Mata berwarna putih bersih.
Jagat Arunika (pelan):
“Langit mulai bergerak... dan anak-anak Bayu Geni pun mulai menggeliat...”
ALAM JIN: Hutan Asranta, Wilayah Tak Bernama
Suasana sunyi, langit berwarna biru kehijauan, kabut lembut menyelimuti pepohonan aneh bercahaya samar. Burung-burung tak bersuara. Dunia ini terasa hidup tapi juga mati sekaligus.
Tersesat di Alam Jin
Jasana terhuyung bangun, tanah di sekelilingnya lembab dan hangat. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun berwarna ungu tua dan batang berkilau seperti kaca. Awan di atas tak bergerak. Dunia ini... bukan dunia manusia.
Jasana (bernapas berat):
“Di mana… aku?”
Lalu dia melihat ke tanah... Rinjana Nirnawa.
Gadis berambut perak memanjang, tubuhnya tergolek penuh luka, sebagian bajunya robek karena pertempuran. Ada goresan di bahu dan kaki, serta memar-memar biru di tubuhnya.
Jasana (pelan, mengerutkan dahi):
“…Rinjana?”
(Menggenggam dadanya sendiri—perasaan bersalah muncul.)
Dia terdiam.
Kenapa?
Kenapa dia melindungiku?
Momen Diam dan Kepedulian
Jasana perlahan membungkuk, menyentuh tubuh Rinjana.
Tubuh gadis itu masih hangat, meski lemah.
Ia menggendongnya dengan dua tangan, melewati semak-semak lembut yang bergumam lirih seperti bisikan jin. Langkah Jasana mantap tapi gelisah. Dalam pikirannya...
Jasana (dalam hati):
"Kenapa kau lakukan itu? Aku… musuhmu. Kau tahu siapa aku. Tapi kau tetap menerjang mantra itu... untukku. Apa artinya ini...?"
Gua Kecil di Dekat Tebing
Setelah menapaki jalan berbatu, Jasana melihat celah gua kecil di balik semak lebat—dindingnya ditumbuhi jamur bercahaya, tampak hangat dan teduh. Di kejauhan suara angin menggema, seruan-suara jin samar terdengar seperti nyanyian.
Jasana masuk ke dalam gua, membaringkan Rinjana dengan hati-hati di atas tanah lumut lembut. Ia menyalakan api kecil dari batang pohon kering aneh yang menyala ungu saat terbakar.
Dia melepas bagian luar bajunya, lalu merobek sedikit kain untuk membalut luka di bahu Rinjana. Tangan Jasana gemetar.
Jasana (pelan, menatap wajah Rinjana):
“Kau keras kepala... dan berbahaya... tapi kau juga... lebih manusia dari pada siapa pun di antara kita.”
Suara Hening dan Kesadaran Bahaya
Saat Jasana duduk di depan gua, mengawasi Rinjana yang masih tak sadarkan diri, matanya memandang langit di luar gua yang perlahan berubah warna menjadi merah darah.
Angin berhembus.
Suara-suara asing menggema di pepohonan.
Makhluk-makhluk di Alam Jin mulai menyadari... ada dua manusia di wilayah mereka.
DALAM GUA KECIL DI ALAM JIN
Suasana sunyi, cahaya ungu dari jamur menyinari dinding gua. Api kecil menyala pelan. Di luar, langit jin perlahan berdenyut merah dan ungu seperti napas makhluk tak kasatmata.
Rinjana Nirnawa perlahan membuka matanya.
Keningnya berkerut, bibirnya pecah-pecah, napasnya berat. Ia merasakan perih di bahu dan kakinya, lalu mendongak...
Matanya menangkap sosok Jasana, duduk tenang di mulut gua, memandang keluar.
Rinjana (terkejut, panik pelan):
“...Jasana?”
Jasana menoleh cepat.
Wajahnya lega, tapi tetap tenang. Namun saat ia memandang ke arah Rinjana...
Rinjana tersadar—pakaiannya robek-robek.
Bahunya terbuka, sebagian pahanya terlihat. Dia bergegas menutupi dada dan pahanya dengan lengan dan lutut, wajah memerah.
Rinjana (malu, geram pelan):
“Jangan... jangan lihat!”
Jasana (segera menoleh menjauh, angkat tangan):
“Aku tidak akan berbuat macam-macam. Tenang saja.”
(Suara Jasana datar, tapi terdengar tulus.)
Rinjana menatapnya sejenak. Lalu—tersenyum.
Senyum kecil, lelah, tapi tulus.
Rinjana (lembut):
“Terima kasih… kau membawaku ke sini, ya? Menyelamatkanku.”
Jasana menoleh perlahan, duduk sedikit lebih dekat ke dalam gua.
Matanya menyapu luka-luka Rinjana yang masih belum sepenuhnya sembuh.
Jasana:
“Aku hanya... tidak ingin kau mati. Itu saja.”
(Ia seperti menahan untuk tidak mengatakan hal lain.)
Rinjana (tersenyum lemah):
“Kalau begitu... aku berutang satu nyawa padamu, musuh.”
Mereka berdua saling tatap sejenak. Tak ada kata. Tapi dunia di luar gua terasa jauh sekali.
Percakapan Tentang Alam Jin
Jasana (melihat ke langit di luar gua, pelan):
“Tempat ini… bukan dunia kita, kan?
Apa ini... benar-benar Alam Jin?”
Rinjana mengangguk pelan, mencoba duduk meski tubuhnya masih terasa berat.
Rinjana:
“Ya... ini Alam Jin. Tapi bukan sembarang bagian dari Alam Jin. Ini bagian... yang liar. Tak bertuan.”
Jasana (menatapnya, bingung):
“Bagaimana kita bisa keluar dari sini? Berapa lama kita akan terjebak?”
Rinjana menunduk, matanya kosong sejenak.
Rinjana:
“Waktu di sini... tak seperti di dunia kita.”
(Nafasnya berat, lalu ia menjelaskan dengan perlahan)
“Waktu bisa mengalir lambat… bisa juga sangat cepat.
Kadang membeku, kadang seperti sungai yang meluap.
Mungkin kita akan berada di sini satu bulan… tapi di dunia nyata, hanya satu minggu berlalu.
Atau bisa juga… dunia nyata berhenti… dan kita hidup berbulan-bulan di sini.”
Jasana mengernyit.
Itu berarti... mereka tak punya kendali.
Jasana (gumam):
“Tidak tertebak, ya?”
Rinjana (tersenyum pahit):
“Tidak ada yang benar-benar bisa menaklukkan Alam Jin, Jasana. Kita hanya... tamu. Dan terkadang, tamu yang tidak diundang.”
Suasana Diam Sejenak
Angin aneh berhembus masuk ke gua. Api kecil bergoyang.
Rinjana menggigit bibirnya. Jasana menatap api itu dalam-dalam.
Jasana:
“Kau... benar-benar berniat menyelamatkanku dari mantra itu, ya?”
Rinjana (memalingkan wajah, pelan):
“Entahlah... mungkin karena aku tak ingin kau... menghilang.”
Mata mereka bertemu sesaat.
Tidak ada dendam. Tidak ada permusuhan. Hanya kebingungan... dan sebuah hubungan baru yang perlahan tumbuh di tanah jin yang asing.
PERTARUNGAN DI HUTAN HARGAGIRI
Langit senja berwarna merah gelap, seperti terbakar. Hutan Hargagiri berguncang tiap kali tanah diinjak oleh dua kekuatan yang tengah beradu. Akar-akar mencuat, dedaunan beterbangan, dan burung-burung ghaib melarikan diri dari pohon-pohon tinggi.
Darsa—dalam Mode Kebangkitan Spiritual Khodam Aswangga—mengamuk bagaikan siluman.
Tubuhnya membentuk figur setengah manusia setengah kucing, ramping namun penuh otot. Matanya menyala ungu terang, pakaiannya berubah menjadi jubah siluman kehitaman berkilau lembayung. Jejak langkahnya meninggalkan aura bayangan kucing gaib.
Suara Darsa terdistorsi, seperti dua suara bertumpuk:
“Kau yang berikutnya...!”
Jagat Arunika berdiri tenang.
Bekas luka panjang dari dahi kiri hingga pipi adalah luka penghianatan 5 tahun yang lalu.
Ia menggenggam pedang panjang bergaya klasik, berbilah besi tanah hitam kusam, namun tajam dan berat. Di tubuhnya, aura ular tanah merayap dari pundak hingga pergelangan tangan—melilit seolah menyatu dengan nadinya.
Darsa melesat.
Serangan brutal diluncurkan tanpa henti. Cakar gaib, tendangan berputar, dan tebasan dengan cakarnya yang tajam mengarah ke dada dan kepala Jagat Arunika.
Namun Jagat Arunika hanya menangkis dan menepis—menggunakan teknik pedang biasa yang elegan, minim gerakan.
Satu-dua langkah, dia terus menghindar atau menangkis dengan sudut sempurna. Aura khodam Ular Tanah Hitamnya mengalir tenang, meredam gempuran liar Darsa.
Jagat Arunika (bergumam pelan, tenang):
“Cepat… liar… tapi kosong.”
(Ia memutar pedangnya, menangkis serangan cakar Darsa.)
Jagat Arunika (tatap tajam):
“Tubuhmu belum menyatu sempurna dengan Aswangga itu. Dan lebih parahnya… jiwamu mulai dikendalikan olehnya.”
Darsa meraung.
Wajahnya mulai menegang, pupilnya berputar tidak fokus. Aura Aswangga di sekeliling tubuhnya mulai berdenyut tak stabil—menggila.
Aswangga (suara dalam kepala Darsa):
“Lepaskan, Darsa... biarkan aku yang ambil alih. Kau lemah! Kau ragu!”
Darsa (menahan, bicara dalam bisikan marah):
“Diam... aku bukan wadahmu… Aku pengendali…”
Tapi kakinya goyah. Serangannya mulai ngawur. Pukulan meleset. Cakar menghantam udara.
Jagat Arunika melompat ke belakang, satu tangan mengarahkan pedangnya ke tanah.
Aura hitam dari Khodam Ular Tanah mengalir ke dalam tanah. Getaran halus terjadi.
Jagat Arunika:
“Darsa… kalau kau terus memaksakan bentuk ini… Khodammu akan menelan jiwamu. Dan bukan hanya dirimu yang hilang, tetapi dia akan bebas.”
Sementara itu... dari balik pohon besar, Resi Wighna Laksa terduduk lemas.
Pakaiannya kotor, napasnya tersengal. Ia memandang pertarungan itu dengan tatapan campur aduk antara kagum dan cemas.
Resi Wighna Laksa (mendesis pelan):
“Jagat… kau datang tepat waktu… Kau menggunakan sihir teleportasiku dengan baik rupanya...”
Matanya mengarah ke Darsa yang tubuhnya mulai mengeluarkan kilau tak terkendali.
Kembali ke Jagat Arunika.
Ia kini berdiri kokoh, kaki sedikit merendah, memegang pedang dengan satu tangan.
Ular tanah hitam dari khodamnya muncul seutuhnya di balik punggungnya—mengepul seperti asap berbentuk ular yang menjalar pelan.
Jagat Arunika:
“Darsa… aku beri satu kesempatan. Kalahkan rasa haus dalam jiwamu… atau aku akan menjatuhkanmu dengan paksa.”
Darsa mengangkat wajahnya—mata ungunya bergetar… antara dirinya dan kekuatan yang mencoba menguasainya.
PAGI HARI DI ALAM JIN | PERJALANAN JASANA & RINJANA
Kabut tipis menyelimuti hutan lebat di Alam Jin. Cahaya pagi berwarna kebiruan memancar dari langit yang tidak sepenuhnya wajar. Burung-burung bermata tiga beterbangan pelan, dan suara-suara aneh bergema dari kejauhan—dalam bahasa yang bahkan tidak manusiawi.
Jasana berdiri di depan gua kecil di tepi tebing.
Tubuhnya sudah bersiap: mantel hijau tua khas Divisi Raka Lelana disampirkan, pedang merah Lungguh Darma tergantung di punggungnya. Tatapannya awas, namun wajahnya tetap tenang.
Di sampingnya, Rinjana Nirnawa, gadis berambut putih keperakan, berdiri anggun walau bekas luka masih terlihat di kakinya. Ia mengenakan mantel panjang pemberian Jasana—sedikit kebesaran, namun cukup menutupi pakaian robek-robeknya. Tongkat sihirnya yang dihiasi permata ungu berduri kini berdenyut pelan, merespons aura sihir yang meresap dari tanah Alam Jin.
Rinjana menatap Jasana dengan lirih.
“Terima kasih… untuk mantelnya,” ujarnya pelan, tak biasa membuka diri.
Jasana menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil.
“Kalau kau terus berjalan dengan pakaian seperti semalam, bukan cuma Jin yang akan mengejarmu… mungkin aku juga akan terus melirik, dan itu akan jadi masalah.”
Rinjana mendelik, lalu tersenyum malu.
"Kurang ajar," katanya setengah bercanda.
Namun dalam hatinya, ia merasa aneh—pria ini… memperlakukannya dengan rasa hormat yang tak biasa ia dapatkan. Tak ada tipu muslihat, tak ada ejekan. Hanya ketulusan kaku, khas pria yang jujur.
Mereka mulai bergerak.
Langkah mereka menyusuri jalur sempit di antara pohon-pohon akar terbalik, daun-daun seperti sayap kelelawar, dan bebatuan yang bernafas samar. Rinjana kadang melihat sosok-sosok bayangan melintas jauh di antara pepohonan—makhluk Jin yang belum menyadari kehadiran mereka.
Jasana (berbisik pelan):
“Kita tidak boleh menarik perhatian. Katamu Jin bisa memburu siapa pun yang dianggap pengganggu, kan?”
Rinjana mengangguk.
“Benar. Begitu keberadaan kita disadari… mereka bisa menyerang tanpa peringatan. Karena bagi mereka… kita bukan tamu, tapi parasit.”
Mereka bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain.
Kadang di balik pohon besar berlubang seperti gerbang raksasa. Kadang di dalam bunga karnivora raksasa yang tertidur. Mereka berjalan pelan, menapaki jalur-jalur kuno yang ditandai dengan simbol-simbol ghaib yang hanya bisa dibaca oleh Rinjana.
Jasana (menatap sekeliling):
“Tidak ada arah yang pasti. Tidak ada matahari untuk dijadikan patokan. Lalu bagaimana kita bisa tahu di mana letak portal keluar?”
Rinjana:
“Portal keluar... tidak tetap. Alam Jin seperti tubuh makhluk hidup. Jalurnya bergerak… Kadang portal muncul di danau, kadang di balik gua, kadang hanya muncul setelah kita memenuhi syarat tertentu.”
Jasana:
“Seperti teka-teki…”
Rinjana menatapnya:
“Seperti... nasib. Tapi jangan khawatir. Aku sudah pernah masuk ke Alam Jin sebelumnya. Tapi tidak pernah sedalam ini…”
Mereka berhenti sejenak di puncak bukit kecil.
Dari sana, mereka melihat sebuah menara kristal hitam di kejauhan, terapung di atas jurang kabut. Sekilas, kilatan cahaya seperti portal melingkar tampak terbuka—namun hanya sesaat.
Rinjana menunjuk:
“Kalau benar... itu bisa jadi salah satu portal keluar. Tapi kita harus cepat. Jika Jin Menara menyadari kita mendekat…”
Jasana mengangguk mantap.
“Kalau begitu, kita bergerak cepat. Tapi tetap diam.”
Saat mereka turun dari bukit, kabut mulai menebal. Dari arah berlawanan, sesosok bayangan tinggi bermata putih mengendus udara... mengarah ke jejak mereka. Jin Penjaga pertama telah mencium aroma dunia lain...
PETUALANGAN DI ALAM JIN | TEPISAN MENUJU MENARA KRISTAL HITAM
Langit Alam Jin mulai memucat. Awan-awan merah darah bergulung perlahan, dan bayangan menara hitam di kejauhan terlihat kian jelas. Menara itu menjulang tinggi, terapung di atas dasar jurang kabut pekat yang tak berdasar. Cahaya samar dari kristal di pucuknya berdenyut perlahan seperti nadi raksasa.
Jasana dan Rinjana tiba di bibir jurang, di seberang gerbang bawah Menara Kristal Hitam.
Namun sebelum mereka melangkah lebih jauh...
Rinjana (berbisik):
“Berhenti… Lihat itu.”
Jasana memperhatikan.
Di sekeliling gerbang bawah menara, tampak puluhan sosok Jin berjubah dan bertubuh aneh lalu lalang. Sebagian membawa lentera api biru, sebagian lainnya seakan berdiskusi dalam bahasa yang gaib—rahang mereka bergerak-gerak tak selaras, suara seperti bisikan ribuan mulut bercampur menjadi satu.
Jasana menegakkan punggung.
“Kalau kita mendekat sekarang… itu sama saja bunuh diri.”
Rinjana mengangguk setuju.
“Ayo… kita cari tempat berlindung dulu. Kita pantau dari jauh. Kalau beruntung, mungkin mereka akan menghilang saat malam lebih dalam.”
Mereka mundur perlahan.
Setelah menelusuri jalur setapak yang tersembunyi oleh semak-semak merah dan lumut bercahaya, mereka menemukan sebuah pohon raksasa—lebih besar dari menara mana pun di dunia manusia. Sebuah celah di batangnya cukup besar untuk mereka masuki. Udara di dalam hangat dan gelap, namun cukup aman.
Jasana menatap sekeliling.
“Tempat ini cukup aman. Bahkan Jin pun mungkin tak sadar kalau ada ruang di dalam batang ini.”
Rinjana menyentuh dinding kayu yang terasa lembut seperti kulit.
“Alam Jin memang... tidak selalu seperti apa yang terlihat. Tapi untuk malam ini, aku rasa kita bisa beristirahat.”
Mereka mulai bersiap.
Jasana mengeluarkan hasil buruan unggas aneh berleher dua dengan bulu seperti sisik—ditangkap saat mereka menyusuri hutan tadi. Rinjana mengarahkan tongkatnya, dan api ungu kecil menyala pelan, tanpa asap.
Jasana kagum.
“Ilmu sihirmu... luar biasa praktis.”
Rinjana tersenyum tipis.
“Sudah terbiasa. Sihir bukan cuma untuk bertarung. Tapi untuk hidup.”
Ia menyihir air dari udara dan menempatkannya dalam wadah batu berlubang, lalu menyalurkannya ke semacam mangkuk dari daun kaku.
“Minum. Ini aman.”
Mereka makan dalam diam sejenak.
Suara api yang berderak lembut mengisi keheningan. Burung bakar jin yang rasanya… aneh tapi bisa ditoleransi, menjadi santapan malam pertama mereka di tempat asing ini.
Jasana (mengunyah, lalu tertawa kecil):
“Sedikit gosong, tapi tetap lebih enak dari pada bekal dari asrama.”
Rinjana tertawa, suaranya lembut.
“Itu karena aku menyihir apinya, bukan bumbunya. Jadi rasa tetap asli… alias hambar.”
Mereka berdua tertawa pelan.
Untuk pertama kalinya sejak terdampar, atmosfer di antara mereka terasa ringan. Tatapan Jasana tertuju pada Rinjana—matanya yang memantulkan cahaya ungu api, rambut keperakannya yang berkilau samar, dan senyum yang tidak lagi penuh waspada.
Rinjana pun sempat membalas tatapannya.
Ada kehangatan, ada pengertian. Seolah semesta tak sengaja mempertemukan dua jiwa asing… dalam tempat yang mustahil.
Namun seperti sadar, Rinjana cepat mengalihkan pandang ke unggas bakar yang sudah setengah habis.
Rinjana (canggung):
“Eh… kayaknya terlalu gosong di bagian sayapnya…”
Jasana (masih menatapnya, lalu ikut menunduk sambil tersenyum):
“Iya. Tapi tetap saja... malam ini terasa lebih ringan.”
Mereka melanjutkan makan, duduk bersisian dalam keheningan yang tak lagi canggung. Sementara di luar sana, angin Alam Jin berhembus pelan, membawa aroma sihir dan bahaya yang masih menanti di kejauhan.
PAGI DI ALAM JIN | SEKITAR POHON RAKSASA DEKAT MENARA KRISTAL HITAM
Kabut tipis mengambang rendah di antara pepohonan aneh dan akar-akar besar yang menjalar seperti naga tidur. Cahaya pagi dari langit Alam Jin—yang tak punya matahari—muncul dari semburat kristal di langit, menciptakan warna biru kehijauan yang berpendar tenang.
Jasana sudah terbangun lebih dulu.
Ia berdiri di sebidang tanah datar tak jauh dari pohon raksasa yang mereka tinggali semalam. Pedang merah miliknya, Lungguh Darma, berkilau redup saat digerakkan dengan gerakan anggun namun penuh tenaga. Tubuh Jasana yang hanya mengenakan celana panjang terlihat basah oleh peluh, otot-otot punggung dan dadanya meregang mengikuti setiap gerakan tebas dan tusukannya.
Langkahnya ringan, tapi mantap. Perpaduan antara seni dan naluri bertarung yang terasah oleh waktu.
Dari dalam celah pohon, Rinjana terbangun.
Ia duduk sejenak, lalu menyadari tempat tidur Jasana yang sudah rapi. Tanpa banyak suara, ia melangkah keluar… dan pemandangan di depannya membuatnya terdiam sejenak.
Jasana sedang berlatih—tengah berputar sambil melompat, lalu mendarat perlahan.
Otot-otot punggungnya tampak jelas, dan dadanya yang bidang serta perut six-pack-nya memantulkan cahaya lembut kabut kristal. Jasana tak menyadari, namun Rinjana memandangnya cukup lama—tatapannya tidak hanya kagum, tapi juga… penasaran.
Sebagai penyihir, ia biasa melihat kekuatan dalam bentuk energi dan mantra. Tapi Jasana menunjukkan kekuatan yang lain—yang lahir dari ketekunan, dari peluh dan luka.
Namun Jasana tiba-tiba menghentikan gerakannya dan menoleh perlahan.
Tatapan mereka bertemu.
Rinjana (tersentak pelan, gugup):
“Ah… aku… aku hanya keluar melihat-lihat…”
Ia cepat membuang muka, pipinya merona.
Jasana hanya tersenyum ringan, lalu meletakkan pedangnya ke tanah.
Jasana:
“Di arah sana… ada aliran sungai kecil. Airnya jernih. Mungkin kamu butuh menyegarkan diri?”
Rinjana (mengangguk cepat, sambil menyembunyikan senyum malu):
“Sudah dua hari aku… iya… aku akan pergi sekarang.”
Ia berjalan cepat menuju arah yang ditunjuk.
Namun sebelum menghilang, ia sempat menoleh dan memperingatkan, setengah menggoda:
Rinjana:
“Jangan coba-coba mengintip.”
Jasana tertawa ringan, mengangkat tangan seperti bersumpah.
“Tenang saja. Aku bukan tipe yang seperti itu.”
Rinjana membalas dengan senyum percaya diri—senyum yang hanya muncul saat seseorang benar-benar mempercayai orang lain.
Sementara Rinjana berjalan menjauh, Jasana duduk di atas akar besar, menyeka peluh dari wajahnya.
Ia menarik napas panjang, menatap langit Alam Jin yang berdenyut samar.
Meski tempat ini asing dan berbahaya… entah kenapa, ada kedamaian yang muncul saat bersamanya.
SUNGAI KRISTAL ALAM JIN | PAGI HARI
Kabut tipis menyelimuti tepian sungai yang mengalir di antara bebatuan dan akar raksasa. Airnya jernih, berpendar lembut biru kehijauan seperti cermin cahaya bulan. Di tengah keheningan yang aneh dari Alam Jin, suara gemericik air menjadi alunan yang menenangkan sekaligus penuh misteri.
Rinjana sampai di sungai itu dengan langkah ringan dan penuh semangat.
Begitu melihat kejernihan airnya yang berkilauan, senyumnya langsung merekah, matanya bersinar seolah menemukan surga tersembunyi.
Rinjana (berbisik pada diri sendiri, bahagia):
“Akhirnya… air bersih.”
Tanpa ragu, ia meletakkan tongkat sihir dan perlengkapan kecilnya di atas batu besar, lalu melepaskan mantel Guild pemberian Jasana dan sisa pakaiannya yang sudah compang-camping. Luka dan memar di tubuhnya yang sebelumnya tampak parah kini mulai pulih—efek alami dari sihir penyembuhan dalam tidur, atau mungkin karena atmosfer spiritual dari Alam Jin sendiri.
Ia perlahan masuk ke dalam air.
Sungainya dangkal tapi segar, dengan dasar batuan halus berwarna keperakan. Begitu tubuhnya tersentuh air, ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, merasakan kesegaran itu menyerap ke seluruh tubuh dan pikirannya yang letih.
Sihir alami mengalir di air itu. Membelai tubuhnya, menenangkan pikirannya, namun tak menghapus kewaspadaannya.
Rinjana tetap menjaga kepekaan.
Meski tubuhnya rileks, indra magisnya tetap menyapu sekeliling, memastikan tidak ada kehadiran makhluk asing atau aura jin yang mendekat. Alam ini bisa menipu—dan seringkali sesuatu mengintai dari balik keindahan.
Sementara itu… kembali ke Pohon Besar…
Jasana duduk bersandar, menunggu dengan sabar.
Ia tengah menajamkan ujung Lungguh Darma, tapi sesekali matanya melirik ke arah hutan di mana Rinjana pergi.
Ia tak mengintip, bukan karena takut pada sihir Rinjana, tapi karena rasa hormatnya. Ia tahu Rinjana bukan sekadar wanita kuat—dia adalah seseorang yang telah mengalami luka dan kehormatan, layaknya dirinya sendiri.
Jasana (berbicara pelan sambil menatap langit):
“Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Tapi aku akan tetap berjaga…”
Ia menggantungkan pedangnya pada dahan pohon dan bersiap. Begitu Rinjana kembali, giliran dia yang akan membersihkan diri—meski air di Alam Jin bisa membawa rahasia yang tak terduga…
MENARA KRISTAL HITAM | PAGI MENJELANG SIANG | ALAM JIN
Kabut tipis mulai tersingkap seiring naiknya cahaya lembut dari langit asing Alam Jin. Di kejauhan, Menara Kristal Hitam menjulang tinggi, angkuh, dan misterius—berpijar samar dengan cahaya kelam yang menyerap cahaya sekitar, bukan memantulkannya.
Dari balik semak raksasa berselaput kabut, Jasana dan Rinjana mengamati kondisi sekitar gerbang.
Tidak seperti kemarin, pintu besar berlapis kristal itu kini tampak lebih sepi. Tak banyak jin penjaga yang berlalu-lalang, hanya satu dua bayangan besar melintas dalam diam. Kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan.
Jasana (dengan suara pelan, mata menatap tajam):
“Ini waktu yang tepat. Tidak ada banyak gerakan. Kita lakukan sekarang… cepat dan senyap.”
Rinjana mengangguk, kemudian menggenggam erat tongkat sihirnya.
Permata ungu berduri di ujung tongkatnya berdenyut lembut. Ia mengangkatnya sedikit, lalu mulai membisikkan mantra dalam bahasa kuno.
Ujung tongkat menyala…
Sebuah garis samar cahaya ungu merambat ke arah celah gerbang…
Terkunci. Tapi bukan untuk sihir yang cukup halus.
Rinjana (berbisik):
“Sistem penguncinya bukan sihir agresif… tapi berbasis aura… aku bisa selipkan gelombang ilusi untuk mengelabui penjagaannya…”
Beberapa detik…
Klik.
Suara kunci berputar sangat pelan—nyaris tak terdengar.
Jasana meraih gagang pintu, lalu menariknya perlahan…
Celah terbuka.
Udara dingin dari dalam menyapu wajah mereka.
Rinjana menyusup lebih dulu.
Langkahnya ringan, nyaris tak meninggalkan suara. Jasana menyusul segera, dan dengan sangat hati-hati, ia menutup kembali pintu tersebut dari dalam.
Mereka kini berada di dalam Menara Kristal Hitam.
Interiornya seperti saluran energi—dindingnya menyala redup, seperti urat kristal yang mengalirkan cahaya dari dasar menara ke puncak. Udara di dalam tebal dengan aura sihir kuno dan waktu yang terdistorsi.
Jasana (menyisir pandangannya ke atas):
“Portal itu… pasti ada di puncaknya. Kita harus cepat sebelum… ia menghilang.”
Rinjana (mengangguk, matanya penuh fokus):
“Aura ruang dan waktu di sini tidak stabil. Kalau terlalu lama, kita bisa terjebak di antara celah dimensi.”
Mereka mulai bergerak cepat, menyusuri lorong spiral menuju bagian atas menara—di mana portal penghubung antar dunia dikabarkan berdenyut hanya untuk waktu tertentu… sebelum tertutup oleh kehendak para jin penjaga dimensi.
HUTAN HARGAGIRI | TENGAH HARI | PERTARUNGAN USAI
Matahari tegak di atas kepala.
Hutan Hargagiri yang biasanya bersenandung dengan suara satwa kini senyap—seolah baru saja menyaksikan duel antara dua kekuatan besar yang mengguncang ranting dan tanahnya.
Di tengah tanah berdebu dan dedaunan berserakan, Darsa tergeletak tak sadarkan diri.
Tubuhnya berlumuran tanah, jubahnya robek di beberapa bagian, dan khodam miliknya sudah kembali ke bentuk diam—bersembunyi entah di mana dalam senjata yang ia kenakan.
Jagat Arunika berdiri dengan gagah, tubuh tegapnya menjulang di bawah bayangan pepohonan tinggi.
Bekas luka memanjang dari pelipis kiri hingga ke pipinya tampak kontras dengan wajah dingin dan penuh kontrol.
Tidak ada satu tetes keringat pun menetes dari wajahnya, tidak juga nafas yang memburu—seolah seluruh pertarungan panjang yang baru saja berakhir tak membuatnya letih.
Jagat Arunika (tenang namun tajam, menatap tubuh Darsa):
“Kau belum siap… Kekuatannya sudah terbangun, tapi jiwamu belum menyatu dengan kehendak khodammu.”
Ia melangkah mendekat, kemudian menunduk sejenak, seolah memberi penghormatan dalam bentuknya yang paling keras—dengan tidak menghabisi nyawa lawan.
Resi Wighna Laksa—tua berjubah biru tua dengan tongkat berhiaskan ukiran cakra, berdiri tak jauh dari sana.
Resi Wighna Laksa (lembut namun penuh makna):
“Pemuda itu punya cahaya, tapi juga bayang-bayang yang mengikutinya. Waktu akan menentukannya.”
Jagat Arunika mengangguk. Ia mengangkat tangan ke udara.
Cahaya merah gelap membungkus mereka berdua.
Udara di sekitar mendesing pelan seperti senar dipetik. Dalam sekejap, keduanya menghilang—berteleportasi kembali ke markas mereka di Gua Pegunungan Mandalagraha yang tersembunyi di balik kabut dan batu sunyi.
Beberapa saat kemudian…
Suara derap kaki kuda terdengar menghantam tanah basah.
Pratiwi Manggala dan Ratri Nindyanari tiba di lokasi—menaiki satu kuda bersama.
Pratiwi melompat turun terlebih dulu dan langsung berlari ke arah tubuh Darsa yang terkapar.
Pratiwi (panik dan gemetar):
“Darsa! Darsa, jawab aku!!”
Ia mengguncang tubuh Darsa dengan tangannya yang penuh debu, air mata mengalir deras di pipinya.
Ratri turun dengan sigap, segera mendekat dan menahan Pratiwi.
Ratri Nindyanari (dengan suara tenang, menahan bahu Pratiwi):
“Dia masih bernapas. Tenang, kita harus segera membawanya pergi dari sini sebelum ada yang lain datang.”
Pratiwi masih menangis, namun mengangguk.
Matanya menatap luka di tubuh Darsa yang dalam, namun tidak fatal—tapi jelas itu bukan pertarungan biasa.
Ada kekuatan luar biasa yang telah melawan Darsa… dan hampir membunuhnya.
Ratri mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tanah bekas pertempuran itu seperti diremukkan oleh kekuatan gaib—bekas serangan energi, pohon tumbang, dan tanah retak.
Ratri (dalam hati):
Ini bukan perbuatan prajurit biasa. Apakah ini… Kapten Bayawira Selatan? Atau seseorang yang lebih kuat dari itu?
Tak ada tanda-tanda Jasana.
Mungkin dia telah pergi lebih dulu mengejar Rinjana ke arah barat, menuju batas hutan.
Namun saat ini, prioritas mereka jelas mengamankan Darsa.
Ratri (berdiri tegak):
“Kita bawa dia ke pos terdekat. Kalau terlalu lama di sini, mungkin kita tidak akan punya kesempatan kedua.”
Pratiwi mengusap air matanya, lalu membantu Ratri mengangkat tubuh Darsa ke atas kuda.
Dengan cepat mereka berlalu, meninggalkan jejak samar di tanah Hargagiri yang telah menjadi saksi peringatan dari sosok kuat bernama… Jagat Arunika.
PUNCAK MENARA KRISTAL HITAM | ALAM JIN | SIANG DUNIA NYATA
Langit di dunia nyata masih menyala terang oleh matahari siang.
Namun di puncak Menara Kristal Hitam, segala waktu terasa membeku.
Langit berwarna kelam dengan bias hijau keungu-unguan, dan angin tak berarah berhembus dari dimensi yang tak terlihat.
Jasana dan Rinjana berdiri di hadapan sebuah portal bercahaya temaram—pusaran lembut yang menghubungkan mereka kembali ke dunia manusia.
Tubuh mereka penuh debu dan luka, napas mereka berat.
Mereka telah menaklukkan lantai demi lantai, menembus lorong gaib, menjinakkan jebakan, dan mengalahkan para penjaga bayangan.
Tapi kemenangan mereka belum selesai…
Tanpa peringatan—
Tombak perak meluncur cepat dari balik kabut samar, melesat ke arah Rinjana. Ia tak sempat melihatnya.
Namun Jasana melihatnya.
Dan Jasana memilih.
Dengan satu langkah panjang dan satu teriakan yang tak terdengar, Jasana melompat di depan Rinjana.
Tombak itu menembus perutnya—menembus tubuhnya.
Darah menyembur.
Udara seolah membeku bersama waktu.
Rinjana terdiam sejenak… lalu menjerit,
“JASANA!!”
Matanya membelalak. Tangannya gemetar. Ia memegangi tubuh Jasana yang perlahan jatuh berlutut.
Namun, Jasana belum jatuh seluruhnya.
Tangan kirinya menggenggam gagang tombak itu. Ia mencabutnya perlahan—dengan luka yang terbuka lebar dan darah mengalir deras.
Matanya membara.
Dengan kekuatan terakhir, ia mengayunkan pedang merah Lungguh Darma.
Sekali tebasan.
Jin penjaga itu lenyap menjadi asap hitam. Tidak ada suara, tidak ada jeritan. Hanya kehampaan yang ditinggalkan.
Namun kemenangan itu dibayar mahal.
Jasana jatuh—rebah dalam pelukan Rinjana. Tubuhnya lemas, wajahnya pucat, napasnya berat dan pendek.
Rinjana memeluknya erat, tangisnya pecah seketika.
“Jangan begini... Jangan tinggalkan aku, Jasana…”
Namun yang lebih mengejutkan—portal yang tadinya terbuka perlahan mulai bergetar... lalu menghilang.
Mereka terlambat.
Tidak ada jalan kembali.
Tidak ada lagi cahaya.
Hanya gelap dan dingin menelan puncak menara.
Beberapa saat kemudian...
Langkah kaki Rinjana menyeret.
Ia menggendong tubuh Jasana di punggungnya semampunya, meskipun kakinya sendiri lemah dan tubuhnya gemetar karena luka dan kelelahan.
Setiap langkah adalah siksaan, tapi ia tidak menyerah. Tidak untuk Jasana.
Latar belakang kabur oleh air mata dan kabut tipis.
Menara perlahan ditinggalkan.
Dan alam Jin kembali sunyi, seolah menyembunyikan kekejamannya dalam kedamaian yang palsu.
Rinjana (dalam hati, dengan tekad di sela isak tangis):
“Aku akan menyelamatkanmu, Jasana… kau sudah menyelamatkanku tiga kali. Sekarang… giliranku.”
Hutan gelap – Pohon Besar tempat mereka pernah beristirahat.
Rinjana menggelar jubah dan dedaunan, berusaha merawat luka Jasana dengan ramuan seadanya dan sihir penyembuh miliknya.
Namun ini bukan luka biasa.
Ini luka dari senjata Jin.
Waktu mereka terbatas.
Dan harapan... hanya tergantung pada kekuatan Rinjana dan ikatan mereka berdua.
ALAM JIN | HUTAN RAKSASA | CELAH POHON TEMPAT JASANA TERBARING
Angin berembus tenang, tapi hawa dingin dan aura magis di sekitar terasa berat.
Jasana masih terbaring tak sadarkan diri, tubuhnya pucat dan napasnya lemah. Luka dari tombak Jin masih menganga, dan sedikit demi sedikit aura hitam pekat menjalar dari pusat lukanya—kutukan perlahan meresap ke dalam.
Rinjana menatapnya—matanya sembab namun kini bersinar dengan tekad.
Ia menggenggam erat pergelangan tangan Jasana, lalu berdiri.
RINJANA (dalam hati):
"Aku tidak bisa hanya menunggu… Jika aku tidak bertindak sekarang… dia bisa—tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Ia menutup matanya, mengingat kembali salah satu pertarungan yang mereka hadapi di lantai ketiga Menara Kristal Hitam—seorang Jin penyamar yang menggunakan sihir untuk menyusup ke berbagai tempat.
Darah dari Jin itu sempat menempel pada kulitnya ketika mereka bertarung dekat, dan saat itu... Rinjana merasakan sesuatu menyatu dalam dirinya.
Ia fokus. Menggenggam kalung kecil warisan ibunya.
Aura tubuhnya mulai berubah. Perlahan, penampilannya pun berubah—tanduk kecil tumbuh samar, telinganya menajam, dan warna matanya berubah keunguan.
Aura manusianya lenyap. Yang tersisa… hanya aura Jin.
Rinjana—dengan penyamaran sebagai Jin perempuan muda—meninggalkan tempat persembunyian, berlari menyusuri hutan hingga mendekati perbatasan...
Desa Jin Tertua di wilayah itu: Palarendha.
Desa yang dijaga kabut tipis dan dikelilingi pohon-pohon bercahaya. Jin-Jin berbagai rupa lalu-lalang, tidak menyadari satu pun bahwa ada manusia di antara mereka.
Rinjana memasuki desa itu.
Matanya menyapu tempat-tempat aneh—warung sihir, penjual roh ilusi, hingga toko jimat.
Hingga akhirnya ia menemukan sebuah pondok kecil yang dipenuhi botol-botol ramuan aneh dan aroma menyengat menusuk.
TABIB JIN itu tua, berjenggot putih menyapu lantai, mengenakan kacamata kristal hijau. Matanya langsung menyipit saat Rinjana masuk.
TABIB JIN
(dengan suara serak namun tajam)
“Bukan wajah yang kukenal. Apa urusanmu di tempatku, wahai penyusup berpakaian petualang?”
RINJANA
(dengan suara serendah dan setenang mungkin)
“Seorang temanku… Jin petualang… dia tertusuk tombak terkutuk. Luka itu… perlahan merambat, menyebarkan kegelapan. Aku butuh ramuan untuk menyelamatkannya.”
Tabib Jin mendekat, mengendus, lalu tertawa pelan.
TABIB JIN
“Ah… luka dari tombak penjaga menara? Aku mengenalnya. Tidak bisa disembuhkan dengan sihir biasa. Butuh ini…”
(dia mengangkat botol kecil berwarna biru gelap, isinya bercahaya seperti kabut beku)
“Tiga tetesnya bisa menghentikan kutukannya. Tapi ramuan ini… mahal.”
RINJANA
(berlutut dengan tangan terkatup)
“Aku mohon… aku tidak punya cukup emas atau batu roh. Tapi aku akan bayar dengan cara apa pun—apapun asal dia selamat.”
Tabib mengamati dengan mata tajam, lalu menghela napas panjang.
TABIB JIN
“Baiklah. Tapi ada harga lain. Malam ini aku akan melakukan misi penting—aku butuh bantuan seseorang dengan tubuh ringan, cepat, dan tidak mudah terlihat.
Kau akan ikut denganku. Jika kau setuju, ramuan ini jadi milikmu.
Namun dengar baik-baik… jika kau mengingkari janjimu, kutukan ingkar janji akan menempel padamu. Tidak akan bisa kau lepas hingga tubuhmu rapuh seperti arang.”
RINJANA (tanpa ragu):
“Aku bersumpah atas namaku… aku akan membantu. Aku hanya mohon—biarkan aku menyembuhkannya dulu.”
Tabib menatap lama… kemudian mengangguk.
Ia memberikan botol itu, tangan Rinjana gemetar menerimanya.
Dan dengan tak membuang waktu, ia segera kembali menyusuri hutan, berlari seperti angin.
Rinjana mengangkat kepala Jasana perlahan, meneteskan tiga tetes ramuan ke luka dan bibirnya.
Reaksi langsung terasa—kutukan hitam yang menjalar mulai bergetar… mundur perlahan.
Namun wajah Jasana tetap pucat. Masih jauh dari sembuh. Tapi setidaknya... ia bisa bernapas lebih tenang.
Rinjana menatapnya dengan lembut, lalu mengepalkan tinjunya.
“Bertahanlah, Jasana... aku akan menyelesaikan perjanjian ini. Demi hidupmu.”
ALAM JIN | TENGAH MALAM | RUMAH BANGSAWAN DI DESA PALARENDA
Langit kelam tanpa bintang.
Kabut tipis menyelimuti tanah.
Jam malam telah lewat, dan hampir semua penghuni desa Jin tertidur pulas.
Tapi dua sosok berkeliaran dalam bayang-bayang:
Rinjana—dengan penyamaran Jin-nya—berjalan cepat dan senyap di depan.
Di belakangnya, Tabib Jin terengah-engah, jubahnya terseret dan napasnya tersengal.
TABIB JIN
(dengan suara tertahan, setengah berbisik)
“E-eii! Pelan sedikit, pelan! Aku bukan anak muda lagi! T-tunggu… aku bisa kena serangan jantung Roh ini!”
RINJANA
(berbalik sedikit, memberikan senyuman samar)
“Lain kali pilihlah bantuan yang benar-benar tahu caranya menyusup.”
Mereka kini berdiri di luar pagar rumah seorang bangsawan Jin—tinggi, elegan, namun dijaga ketat oleh sihir peringatan.
Tujuan mereka: liontin kuno yang tersimpan di ruang meditasi pribadi sang bangsawan. Liontin itu memancarkan aura artefak zaman dahulu.
Tabib Jin—yang ternyata seorang pencuri artefak tua—memberikan arahan cepat, tapi samar. Ia terlihat gugup.
TABIB JIN
“Di ruang tengah, lantai atas, ada altar kecil. Liontinnya menggantung di atas kristal. Jangan sentuh kristalnya. Kalau kau sentuh, itu…”
RINJANA (sambil menyusup ke dalam bayangan tembok):
“Alarm ketiga, ya? Terlambat, aku sudah hafal pola sihirnya.”
Dengan langkah ringan, Rinjana bergerak seperti bayangan kabut—melewati celah dinding sihir, menyelinap dari satu tiang ke tiang lain, nyaris tak meninggalkan suara.
Satu ayunan tubuh membawanya ke balkon atas.
Tabib Jin mengintip dari pagar bawah, melongo.
“Bagaimana dia bisa—”
Dalam waktu singkat, Rinjana sudah berada di dalam ruangan meditasi.
Cahaya lembut menerangi liontin berkilau merah pudar, tergantung di atas kristal biru tua.
Ia mendekat perlahan, merapal mantra penyerap aura sihir dari lawannya terdahulu. Aura tubuhnya ikut menyesuaikan, hingga sihir pengaman tak mengenalinya sebagai ancaman.
Dengan ujung jarinya, ia mengangkat liontin tanpa menyentuh kristal.
Saat itu… terdengar klik.
Alarm ketiga berbunyi.
Dentuman gaib menggema pelan, dan lingkaran cahaya mulai menyebar dari altar.
RINJANA
“Tabib tua itu lupa menyebut jebakan waktu…”
Dengan gerak refleks, ia melompat dari balkon, mendarat ringan di depan sang Tabib yang panik.
TABIB JIN
“APA?! Alarm ketiga?! T-tidak! Kita harus pergi sekarang!”
RINJANA
(sambil menarik lengan tabib itu dan berlari)
“Kalau kau masih ingin hidup cukup lama untuk menjual artefak ini, berlari sekarang!”
Keduanya meluncur keluar melewati lorong-lorong sihir yang baru saja mulai aktif.
Rinjana membuka jalan, menetralisir satu mantra pengurung dengan gesekan jari, lalu membawa Tabib ke lorong akar di bawah rumah.
PONDOK TABIB JIN | SEBELUM FAJAR
Keduanya kembali terengah-engah.
Rinjana menyerahkan liontin yang terbungkus kain. Tabib menerimanya dengan mata berbinar—lalu mendadak tertawa keras.
TABIB JIN
“Hahaha! Luar biasa! Sungguh luar biasa! Aku sudah mencuri selama ratusan tahun, dan belum pernah melihat Jin… eh, ‘Jin’… menyusup sebersih kau!”
Ia membuka laci kecil, mengeluarkan kantong kecil berisi beberapa koin perak bersimbol daun bayangan.
Lalu satu jimat kecil berbentuk bulan sabit yang bisa menyimpan satu mantra pelindung untuk digunakan sekali pakai.
TABIB JIN
“Ini. Untukmu. Cinderamata dari seorang penjahat tua. Dan koin untuk perjalanan kalian.
Temanmu… kalau ramuan bekerja seperti seharusnya, dia akan sadar dan pulih dalam tiga hari.”
RINJANA (menerima hadiah itu dengan tenang):
“Kalau dia bangun, akan kuingatkan… jangan terlalu percaya orang yang berpenampilan lemah dan batuk-batuk.”
Tabib tertawa, lalu membungkuk.
“Dan kau, jangan terlalu cepat membuat penjahat tua ini merasa tidak berguna.”
BERPINDAH KEMBALI KE CELAH POHON RAKSASA
Fajar mulai menyingsing.
Rinjana duduk di samping Jasana yang mulai bergerak pelan—nafasnya kini lebih teratur.
RINJANA (berbisik):
“Tiga hari, katanya… Tapi aku tahu kau pasti bangun lebih cepat dari itu.
Karena kita belum selesai… belum selesai bertarung bersama.”