ALAM JIN | CELAH POHON RAKSASA | DUA HARI KEMUDIAN
Suasana hutan Jin pagi itu sunyi. Kabut halus menari di antara akar-akar raksasa, dan embun menggantung di daun-daun lebar.
Di bawah naungan pohon purba yang berongga besar, Jasana terbaring di atas anyaman daun dan lumut kering. Nafasnya kini tenang. Dahinya yang sempat demam sudah tak sepanas sebelumnya.
Rinjana, duduk di sisi kanannya.
Ia belum tidur sejak kemarin malam. Rambut Jin-nya yang kini berwarna ungu gelap dikepang ke samping. Kulitnya masih bercahaya samar seperti para Jin. Ia masih menggunakan teknik penyamaran Aura dan Wujud Jin untuk berjaga-jaga.
Namun kini, matanya berkaca-kaca. Jemarinya menggenggam tangan Jasana yang masih lemas. Tapi lalu…
Mata Jasana perlahan terbuka.
JASANA
(menatap kosong ke atas, lalu ke samping)
“…Rin…jana?”
Rinjana tersentak. Senyumnya merekah, air matanya menggenang.
“Jasana…! Kau sadar! Kau bangun!”
Namun saat Jasana menatap wajahnya penuh, ia tiba-tiba mengernyit—lalu tampak bingung… kemudian panik.
JASANA
(berteriak setengah parau)
“DEWAH! Siapa kau?! Mana Rinjana?! Kenapa aku dijaga… sama Jin… CANTIK?!”
Rinjana terdiam sejenak. Air matanya masih menggantung, tapi ekspresinya mendadak blank.
RINJANA
“…Astaga. Aku lupa bentukku…”
Dalam panik yang konyol, ia buru-buru menyentuh dada dan merapal mantranya.
Aura Jin yang semula memancar perlahan menghilang, diserap kembali ke dalam tubuhnya.
Kilatan cahaya lembut menyelimuti dirinya—dan dalam sekejap, Rinjana kembali ke wujud aslinya:
Rambut putih keperakan tergerai lembut.
Mata ungu berkilau dengan bentuk wajah mungil dan ekspresi malu maksimal.
RINJANA
“…Jadi, begitulah. Aku masih Rinjana. Jangan teriak.”
JASANA
(memandang lekat-lekat, lalu perlahan… tertawa pelan.)
“Ahahahaha! Aku… aku kira aku bangun di surga Jin dan malaikatnya terlalu cantik!”
RINJANA
(meringis sambil memukul bahu Jasana pelan)
“Bisa-bisanya kau bilang malaikat Jin… dasar kepala batu!”
JASANA
(sambil terbatuk dan tertawa kecil)
“Aku baru sadar dari kutukan, dan hal pertama yang kulihat adalah kau… menyamar jadi Jin.
Ini penyambutan yang aneh… tapi paling lucu.”
Keduanya terdiam sebentar. Hening… namun kali ini, tenang.
Rinjana menatap wajah Jasana. Air matanya jatuh juga akhirnya—bukan karena cemas, tapi lega.
RINJANA
(dengan suara pelan)
“Aku kira… aku akan kehil—”
JASANA (memotong dengan senyum pelan):
“Tenang. Aku belum selesai menyelamatkan dunia bersamamu.”
Mereka tertawa kecil bersama.
Scene yang seharusnya dramatis berubah jadi konyol, namun justru membuat kedekatan mereka terasa nyata dan jujur.
RINJANA (menarik nafas dalam-dalam):
“Kalau kau bisa tertawa… berarti waktunya kita cari jalan keluar dari hutan Jin ini.”
JASANA
(berusaha bangun, masih lemah)
“Setidaknya bawa aku makanan dulu. Dan… mungkin pelukanku juga butuh isi ulang tenaga.”
RINJANA (dengan pipi memerah, tapi tak menolak):
“…Dasar bodoh. Tapi baiklah.”
HARI KEENAM DI ALAM JIN | CELAH POHON RAKSASA
Langit Alam Jin masih berselimut kabut perak dan gemerlap cahaya samar yang mengalir dari pucuk-pucuk pohon raksasa. Udara segar dan lembab, namun hangat. Burung-burung aneh dengan sayap cahaya sesekali melintas di kejauhan.
Di dalam celah pohon raksasa tempat mereka berlindung, Jasana kini duduk bersandar dengan tubuh lebih tegap. Luka parah di perutnya—yang sebelumnya menembus hingga ke punggung—kini sudah tertutup sepenuhnya. Hanya tersisa bekas luka gelap yang memanjang seperti guratan petir kecil di kulitnya.
RINJANA
(mengulurkan bungkusan daun besar)
“Nih. Makanan dari desa Jin kemarin. Jangan habiskan cepat-cepat, perutmu belum Sembuh.”
JASANA
(senyum lebar, langsung membuka bungkusan)
“Kalau aku mati kemarin, aku pasti nyesel gak makan ini.”
Isi bungkusan itu sederhana namun menggoda: nasi wangi dari padi ungu, potongan daging akar berbumbu hangat, serta sup kental beraroma rempah langit. Jasana langsung menyantapnya dengan lahap.
RINJANA
(tersenyum sambil menonton, lalu duduk di seberangnya)
“Kau makan seperti orang belum makan dua hari.”
JASANA
(mulut penuh)
“Itu karena aku memang belum makan dua hari.”
Keduanya tertawa kecil. Namun suasana kemudian berubah sedikit hening saat Rinjana menatap luka di perut Jasana yang kini sembuh sepenuhnya.
RINJANA
“Lukanya… benar-benar hilang. Tapi… kamu sadar gak?”
JASANA
(mengelap mulut, lalu memegang bekas luka)
“Sembuh total. Padahal kutukan Jin itu biasanya meninggalkan sakit berhari-hari.”
RINJANA
“Tubuhmu mungkin menyerap sesuatu. Dari pertarungan kita di Menara Kristal Hitam.”
Jasana tampak berpikir. Ia memandang jauh ke langit yang samar.
JASANA
“Menara itu… keras. Tapi terasa seperti ujian.
Lantai demi lantai, kita melawan ilusi, Jin bayangan, teka-teki, kutukan...
Kau sempat bilang tempat itu adalah alat ujian bagi para petarung Jin, kan?”
RINJANA
(mengangguk pelan)
“Bahkan Jin sekalipun jarang bisa sampai ke puncak. Tapi kita berhasil. Hampir seharian penuh.”
JASANA
“Dan selama itu, kita bertarung saling membelakangi. Saling percaya.
Aku merasa… tubuhku berubah. Tapi aku belum tahu apa yang berubah.”
RINJANA
(memandang Jasana lekat-lekat)
“Auramu juga berbeda. Lebih dalam. Lebih… seimbang.
Seolah kau mulai menyentuh ‘lapisan bawah’ dari diri manusia dan Jin.”
Jasana menyentuh dadanya sendiri. Merenung.
JASANA
“Waktu aku tidur koma… aku bermimpi. Tentang bayangan berwujudku sendiri. Tapi matanya seperti milikmu.”
RINJANA
(terkejut, namun menyembunyikannya)
“Itu… mungkin bukan mimpi biasa.”
JASANA
“Tapi apapun itu, aku merasa lebih kuat sekarang. Bukan hanya tubuhku, tapi jiwaku.
Dan kalau tubuh ini punya sisa kekuatan dari menara itu… akan kupakai untuk melindungi-mu.”
RINJANA
(sambil tersenyum lembut, menunduk sedikit)
“Jangan bicara seperti kau jadi tokoh puisi. Kau baru pulih dan baru makan dua kali.”
JASANA
“Yah, mungkin aku harus makan lima kali biar jadi pujangga sakti.”
RINJANA
(tertawa, lalu berdiri sambil mengambil sisa bekal)
“Kita masih butuh dua hari lagi untuk keluar dari hutan ini dan kembali ke dunia manusia.”
JASANA
(sambil berdiri perlahan, wajahnya kini segar)
“Kalau begitu, ayo mulai. Sebelum aku minta sarapan ronde dua.”
Mereka meninggalkan celah pohon, dan matahari perak Alam Jin mulai naik perlahan.
Tanpa mereka sadari, aura samar di sekitar tubuh Jasana bergetar pelan… seperti hendak membentuk sesuatu. Sebuah kekuatan yang belum ia sadari sepenuhnya.
AWAL PERJALANAN KELUAR DARI ALAM JIN | HARI KEENAM
Kabut ungu tipis masih menyelimuti hutan berbatu di wilayah pinggiran Alam Jin. Suasana sunyi, hanya suara desir angin dan dengungan samar dari pepohonan bercahaya. Di sebuah dataran kecil di bawah akar pohon raksasa, Rinjana berdiri di depan Jasana, menggenggam sebuah wizard wand ramping berwarna hitam perak dengan permata ungu berduri di ujungnya yang bersinar redup.
RINJANA
(sambil memutar tongkat sihir, suara lembut namun penuh tenaga)
“Kalau kita mau keluar dari sini tanpa dikejar, kau harus berubah.
Para Jin bisa mencium aura manusia.”
JASANA
(angkat alis, ragu)
“Dan kau yakin bisa mengubahku jadi... Jin?”
RINJANA
“Bukan mengubah jiwamu. Tapi menyelimuti tubuh dan auramu agar tampak seperti Jin.
Teknik ini disebut Bayang-Wujud Jin, teknik yang hanya bisa digunakan oleh penyihir yang pernah menaklukkan menara kristal.”
Rinjana mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Cahaya ungu pekat melonjak dari ujung tongkat membentuk spiral di udara. Ia merapal mantra dalam bahasa Jin kuno. Angin mulai berputar pelan.
RINJANA
“Bayangga Wunara, Tirta Darshana Jin– KANDARA!”
Seketika, cahaya menyelimuti tubuh Jasana. Aura tubuhnya berdenyut keras, berubah warna, dan...
WUUUUSH!
Kini Jasana berdiri dengan wujud baru: tubuh kekar dan tinggi, kulit berwarna hijau zamrud, Kuping Meruncing dan mengenakan baju rompi kulit Jin, tetapi... wajahnya—imut dan polos, dengan pipi sedikit bulat, mata besar bersinar dan alis melengkung lucu.
RINJANA
(terdiam sejenak... lalu meledak tertawa keras)
“BAHAHAHAHAHA! Astaga—kamu... kamu seperti bayi Jin yang tumbuh di tubuh raksasa!!”
JASANA
(wajah pasrah, nada datar)
“Bisakah kau bikin aku tampan dan agak... maskulin? Setidaknya tidak terlihat seperti bocah imut raksasa.”
RINJANA
(tahan tawa, menepuk dada sendiri)
“Aku... aku cuma bisa mengatur tipe aura. Wujudnya? Acak.
Kau beruntung tak jadi Jin keong atau kambing bertanduk tiga.”
JASANA
(menghela napas)
“Yah... setidaknya tak ada yang akan mengira aku manusia.”
**RINJANA kemudian menyentuhkan tongkat ke dadanya sendiri dan mengucap mantra yang lebih singkat. Dalam sekejap, tubuhnya pun berubah—rambut putihnya jadi merah menyala, kulitnya keperakan, mata berwarna biru langit terang, dan kini bertelinga panjang dengan tanda-tanda aura sihir mengalir di sekitar tubuhnya. Ia tampak seperti Jin kelas tinggi—penyihir perak dari utara.
RINJANA
“Bagaimana? Kita cocok jadi pasangan Jin yang nyentrik?”
JASANA
“Pasangan gulat dan guru tari, mungkin.”
Keduanya tertawa. Lalu mereka mengepak ransel kecil berisi perbekalan, peta kasar dari warga Jin sebelumnya, dan beranjak ke arah barat.
RINJANA
“Desa portal di barat letaknya di balik Pegunungan Kaca.
Kalau kita jalan cepat, mungkin bisa sampai dalam tiga hari.”
JASANA
“Dan kalau kita ketahuan sebagai manusia?”
RINJANA
“Ditangkap. Dipenjara. Diadili. Dihukum.
Mungkin mati. Atau dibuang ke Dimensi Kosong.”
JASANA
(sambil jalan, wajah serius tapi konyol dalam wujud Jin)
“Baiklah. Tak ada tekanan sama sekali.”
LAUTAN PANUNDAAN & PESISIR DALAM BENTROKAN BESAR | BULAN PURNAMA MERAH
Langit malam terbakar merah. Purnama yang menggantung di atas cakrawala seolah menyaksikan dosa-dosa manusia dan kemarahan alam. Di pesisir Desa Panundaan, ombak bergulung keras seperti ikut meraung dalam perang besar yang pecah. Bau darah, besi, dan garam bercampur menjadi satu. Bayang-bayang perang berkibar di atas pasir dan laut.
1. PESISIR – PERTEMPURAN DARAT
Pasukan Faksi Pangeran Aryasatya berbaris rapi. Seragam perang Mandalagiri mereka berkilau oleh cahaya purnama merah, derap kaki kuda dan tabuhan genderang perang membelah malam. 400 prajurit: pemanah di baris belakang, prajurit tombak dan pedang di baris depan, penyihir Mandalagiri dengan jubah merah tua menjaga tengah barisan.
Di sisi lain, Kelompok Bayawira Barat hanya berjumlah 250 orang. Tak ada seragam. Hanya kain-kain lapuk, baju zirah bekas, dan senjata tak seragam. Tapi mata mereka menyala—mereka bukan hanya petarung, tapi manusia yang pernah dijatuhkan oleh dunia, kini bangkit untuk membalas.
TEKSAKA
(berdiri paling depan, rambut putih perak acak-acakan, tubuh kurus berotot, membawa dua belati besar)
“Yang kuat, lindungi yang lemah! Yang lemah, jadilah gila!
Hari ini kita bukan bandit. Kita adalah badai di antara keadilan yang palsu!”
RATRI ANDINI
(sorot mata tajam, bersenjatakan busur perak, rambut dikuncir tinggi)
“Panundaan akan mencatat malam ini. Kita tunjukkan bahwa darah rakyat juga bisa mengguncang singgasana!”
Pertempuran meledak.
Pasukan Aryasatya menggempur cepat. Tapi Teksaka menerjang seperti banteng. Setiap tebasan Belati besarnya memotong dua sekaligus. Ratri Andini memanah dari atas batu karang—setiap anak panahnya menembus helm dan dada, seolah dituntun oleh dewa perang.
Walau kalah jumlah, Bayawira Barat bertarung seperti orang yang tidak punya hari esok.
2. LAUTAN PANUNDAAN – PERTARUNGAN DALAM WUJUD SILUMAN
Di dalam kedalaman laut biru tua, di balik gelombang yang mengamuk, dua sosok beradu cahaya dan kekuatan. Jagatmarma, pemimpin Bayawira Barat, telah berubah—kulitnya bersisik putih perak, matanya memancarkan cahaya putih dari teknik perubahan Siluman Laut. Di tangannya, pedang panjang berlapis aura Khodam bernama:
"Rasasita Jnana" – wujud resi tua berwarna putih bersih membawa jam pasir, aura waktu yang melambatkan gerak lawan.
Sementara lawannya, Sangbra Witanta, jenderal utama Aryasatya, telah berubah pula—kulit kebiruan dan rambut menjuntai seperti rumput laut. Di tangannya, Trisula Air dengan aura biru pekat. Dari belakangnya muncul Khodam:
"Nagasrana" – Ular Air Raksasa yang mengelilingi tubuhnya seperti pusaran, matanya bersinar biru lembut tapi mematikan.
SANGBRA WITANTA
(suara menggema dalam air, penuh kepercayaan diri)
“Kau pikir bisa curi Mutiara Samudrantaka, Jagatmarma?
Kau salah memilih arena. Wilayah Laut adalah Milik Khodam-ku.”
JAGATMARMA
(senyum dingin, pedangnya memancar kilatan putih)
“Anak laut, mungkin. Tapi aku...
...adalah mimpi buruk yang berenang melintasi waktu.”
Benturan pedang dan trisula meledak. Aura Khodam saling bertabrakan, menciptakan getaran di dalam air yang membuat ikan-ikan melarikan diri. Gerakan mereka melampaui kecepatan manusia biasa, setiap serangan seolah memperlambat atau mempercepat aliran waktu dan arus air.
Di kejauhan, bayangan besar mulai muncul.
TIRAM GHAIB JAVARNESA
Bentuknya menjulang seperti gunung di bawah laut. Tempurungnya seperti batu giok raksasa. Di dalam tubuh makhluk itu, bersinar samar cahaya dari Mutiara Samudrantaka, harta karun kuno yang mampu membangkitkan badai atau menghancurkan wilayah lautan dalam sekejap.
JAGATMARMA
(mata membara, pedangnya berdenyut)
“Javarnesa telah bangkit. Malam ini bukan milik raja. Tapi milik para pecundang yang menolak tunduk.”
Kamera bergeser—di daratan, perang masih memuncak. Di bawah laut, dua sosok dengan teknik perubahan wujud siluman laut bertarung memperebutkan masa depan samudra. Bulan purnama merah menjadi saksi, bahwa dunia sedang berubah—dan siapa pun bisa menjadi pemilik legenda.
LAUT DALAM PANUNDAAN | PERTARUNGAN WUJUD SILUMAN LAUT – JAGATMARMA VS SANGBRA WITANTA
Di kedalaman biru gelap, dua sosok bersinar saling beradu. Aura putih terang dari Jagatmarma dan biru pekat dari Sangbra Witanta menyilaukan dasar laut. Ombak bawah laut menderu, arus terbelah. Siluman-siluman penjaga Javarnesa—ikan berkepala manusia, belut bersayap, ubur-ubur bermata banyak—terlempar, tak sanggup menahan getaran kekuatan dua raksasa ini.
SANGBRA WITANTA
(berteriak dari balik pusaran air yang dipenuhi aura biru, sambil memutar trisulanya)
“Kau ingin hancurkan keseimbangan lautan demi sebuah mutiara, Jagatmarma, Kau bukan sang Pewaris, Pangeran Mahkota Aryasatya Lebih Pantas untuk Mutiara Samudrantaka!
Kau bahkan mengorbankan jiwa-jiwa manusia gagal untuk membangun pasukanmu!”
JAGATMARMA
(melayang tenang, pedang Rasasita Jnana di tangannya mengalirkan aura waktu yang mengubah arus sekitar menjadi lambat dan berat)
“Mereka bukan korban. Mereka pilihan. Dunia menolak mereka—aku beri mereka kehormatan.”
(suaranya tenang, namun menggelegar seperti gema gua laut)
“Kau pikir kau pelindung lautan? Kau hanya anjing kerajaan... duduk, dan menggonggong saat diminta.”
SANGBRA WITANTA
(mendorong trisulanya ke depan, membentuk semburan air berputar yang melesat seperti tombak naga)
“Aku pelindung keseimbangan! Laut tidak memilih pihak, tapi akan menelan siapa pun yang merusaknya!”
JAGATMARMA
(mengayunkan pedang perlahan, waktu di sekitar serangan Witanta melambat drastis, pusaran air terhenti sesaat—lalu meledak ke arah berlawanan)
“Keseimbangan? Keseimbangan tidak pernah ada!
Yang kuat memegang takhta, yang lemah dikubur dalam gelombang. Aku memilih menjadi badai.”
SANGBRA WITANTA
(berputar di dalam gelombang, mengalir bersama air dan menyerang dari berbagai arah, tubuhnya memunculkan sirip biru bersinar)
“Kau sombong karena bisa menyayat arus, tapi laut bukan milikmu!”
JAGATMARMA
(matanya menyala putih, Rasasita Jnana bergetar—jam pasir di tangannya mulai membalik sendiri, arus di sekitar berhenti sejenak, waktu nyaris membeku)
“Bukan. Tapi malam ini... aku akan mencuri denyutnya.”
Ledakan energi terjadi – pertemuan antara aura Waktu dan aura Air. Siluman-siluman penjaga Javarnesa terlempar menjauh, bahkan sebagian menghilang di balik awan pasir laut yang naik akibat pertarungan. Di kejauhan, cangkang Tiram Javarnesa mulai terbuka sedikit demi sedikit… cahaya dari dalamnya mengundang takdir yang belum ditulis.
SANGBRA WITANTA
(dalam gumaman keras, darah menetes dari sudut bibirnya)
“Kalau kau berhasil mengambil Mutiara itu, lautan akan bergolak, Karena kau bukan sang Pewaris. Kau akan jadi musuh seluruh Mandalagiri, Javarnesa Memilih Orang terpilih yang akan memanen Mutiara itu, dan Pangeran Mahkota Aryasatya adalah Pewaris takhta Kerajaan Mandalagiri yang pasti adalah Orang terpilih—”
JAGATMARMA
(tersenyum dingin, tubuhnya mulai dikelilingi siluet bayangan raksasa Rasasita Jnana—Resi Putih berpijar cahaya pekat)
“Biarlah Mandalagiri membenciku… asal mereka mengingat namaku.”
GELOMBANG MEMBENTUR CANGKANG JAVARNESA | DUA KEKUATAN SALING MENGHANTAM DALAM KEABADIAN YANG TAK STABIL
PESISIR PANUNDAAN | PERTEMPURAN BERDARAH DI BAWAH BULAN MERAH
Bulan purnama merah menggantung di langit, memantulkan cahaya merah darah ke permukaan laut dan tanah yang telah basah oleh darah prajurit dan bandit. Api membakar beberapa rumah nelayan, sementara teriakan pertempuran menggema di seluruh desa Panundaan. Di tengah medan yang porak-poranda, dua titik pertempuran utama mencuat bagai api di dalam badai.
PERTEMPURAN Teksaka vs Pangeran Aryasatya
Teksaka, tubuh kurus namum berotot, berambut putih keperakan acak-acakan, dua belati besarnya berputar seperti sayap iblis. Setiap ayunan menebas dua hingga tiga prajurit sekaligus. Darah mengalir di dadanya, tapi matanya menyala dengan semangat hidup yang mengerikan.
PANGERAN ARYASATYA
(dengan jubah perang Mandalagiri yang berkilau perak, pedangnya menyala dengan aura biru muda, setiap tebasannya presisi dan anggun seperti tarian raja perang)
“Pasukanmu hanya gerombolan buangan. Kau pikir bisa menahan takdir negeri ini, Bocah?”
TEKSAKA
(menahan serangan, lalu memutar dan menghantam keras ke tanah, menciptakan ledakan debu dan pasir)
“Takdir? Hah! Takdir dikalahkan oleh keberanian.
Aku tak lahir untuk tunduk. Aku lahir untuk menghantam takhta yang congkak!”
Mereka saling menerjang. Belati besar Teksaka menabrak pedang Aryasatya, menciptakan dentuman keras dan gelombang kejut yang melemparkan prajurit-prajurit di sekitar mereka. Suara gemuruh menyerupai auman harimau yang disambut deru badai.
PERTEMPURAN Ratri Andini vs Pangeran Mahadarsa
Di sisi lain medan, di atas bukit kecil dekat pantai, dua pemanah beradu dalam duel senyap yang mematikan. Ratri Andini dengan busur melengkung dari kayu hitam, panahnya tipis dan panjang, cepat dan mematikan. Sedangkan Pangeran Mahadarsa, berpakaian perang ringan berwarna perunggu, tenang dan dingin, setiap anak panahnya berlapis mantra pengarah angin.
RATRI ANDINI
(sambil berlari kecil, menembakkan panah cepat ke arah Mahadarsa, lalu bersembunyi di balik reruntuhan perahu)
“Kau pikir statusmu membuatmu pemanah sejati, Mahadarsa?
Aku membidik untuk bertahan hidup. Kau hanya berlatih di halaman istana.”
PANGERAN MAHADARSA
(menangkis panah dengan mantra angin, lalu membalas tembakan dengan panah bersinar merah, membelah udara)
“Dan kau membunuh demi bandit!
Aku membidik demi negeri yang tak ingin jatuh ke tangan bajingan sepertimu!”
Panah saling bersilangan di udara seperti bintang jatuh, dan dua bayangan bergerak cepat di antara reruntuhan dan kobaran api. Mereka sama-sama kehabisan nafas, namun tak satupun mundur.
NARASI LATAR | DI ATAS LANGIT
Dari ketinggian, perang tampak seperti tarian neraka: merah, hitam, dan perak berbaur dalam keputusasaan dan semangat. Di tengah kekacauan, darah, api, dan takdir saling berjalin. Sementara di bawah laut dua penguasa bertarung memperebutkan Mutiara Samudrantaka, di atas tanah, dua generasi pejuang saling membuktikan harga idealisme mereka.
DASAR LAUT DEKAT JAVARNESA | PERTARUNGAN SILUMAN LAUT
Arus laut yang bergolak mendadak membeku. Gelembung-gelembung air membeku di tempat, ikan-ikan berhenti berenang, bahkan riak cahaya dari permukaan terdiam seolah waktu sendiri kehilangan denyutnya.
JAGATMARMA
(melayang tenang di dalam air, sorot matanya tajam seperti tombak batu karang, sambil menggenggam pedang putihnya yang menyala dengan aura resi tua membawa jam pasir)
“Rasasita Jnana… waktunya.”
Jam pasir dalam genggaman Khodamnya berputar terbalik dan menyala menyilaukan. Dalam ruang hening tanpa waktu itu, Jagatmarma melesat seperti bayangan petir. Satu sabetan pedangnya menyayat dada Sangbra Witanta, tepat di jalur jantung siluman.
Dalam sekejap, ia kembali ke posisi semula.
WAKTU BERJALAN KEMBALI.
Gelombang meneruskan geraknya. Gelembung meledak. Suara dentuman kembali terdengar. Dan tubuh Sangbra Witanta terpental keras ke dasar lautan, menghantam batu karang hingga tanah laut berguncang dan hewan-hewan laut berhamburan. Darah biru mengalir deras dari luka di dadanya.
SANGBRA WITANTA
(mendesis keras, wajahnya pucat namun penuh amarah. Napasnya berat, dadanya terbuka, luka menganga dengan denyut aura hitam yang mengacaukan arus sekitar)
“Apa yang kau lakukan…? Itu… bukan kekuatan manusia…”
JAGATMARMA
(tersenyum, pelan-pelan melangkah di dalam air, seolah laut adalah tanah miliknya)
“Ini kekuatan mereka yang sudah mati berkali-kali tapi menolak menyerah.
Waktu pun tunduk… jika kau tahu caranya menatapnya.”
Sangbra Witanta mengatupkan giginya, matanya menyala biru kehijauan. Tiba-tiba dari belakang tubuhnya, Khodamnya kembali bangkit: Seekor Ular Air Raksasa, dengan mata bercahaya dan taring-taring berbisa aura, menggeliat marah dan bersinar membelah lautan.
SANGBRA WITANTA
(berteriak, darah bercampur air laut menyebar dari mulutnya)
“Kau pikir hanya waktu yang bisa tunduk!? Aku adalah lautan!
Sekarang, kita lihat… siapa yang mampu bertahan dalam kubur yang tak berujung ini!”
Gelombang raksasa terbentuk dari dasar laut. Ular Khodam menggulung Jagatmarma, suhu air berubah drastis, dan medan pertarungan kembali membara. Di kejauhan, cangkang tiram raksasa Javarnesa mulai terbuka perlahan… memperlihatkan sinar Mutiara Samudrantaka yang mulai memancar dengan aura kekuatan purba.
DASAR LAUT | DEKAT MUTIARA SAMUDRANTAKA | PERTENGAHAN PERTARUNGAN
Lautan berguncang. Suara gemuruh teredam oleh tekanan air, namun kekuatan yang bangkit menggema ke segala penjuru. Cangkang tiram raksasa Javarnesa telah terbuka sepenuhnya. Di tengahnya, terlihat Mutiara Samudrantaka—kecil, hanya seukuran bola sepak, namun memancarkan cahaya putih menyilaukan yang menembus bahkan kegelapan palung laut terdalam.
Sinar mutiara itu berdenyut seperti jantung, membuat seisi laut terasa bergetar mengikuti iramanya.
SANGBRA WITANTA
(berdiri di antara arus deras, tubuhnya mulai berubah, matanya memejam dalam keheningan sakral)
“Wahai Nagasrana… bangkitlah, dan bersatulah denganku.”
Aura biru dari Khodam Ular Raksasa mengalir masuk ke tubuh Sangbra Witanta. Tubuhnya menyatu, berubah—kulitnya berubah sisik, wajahnya menjadi wajah ular yang menyeramkan namun agung, matanya berpendar, dan pakaian perangnya berganti menjadi jubah siluman ular biru terang yang bergelombang mengikuti arus laut. Energinya meledak ke segala arah, menyingkirkan semua makhluk laut di dekatnya.
SANGBRA WITANTA
(dengan suara dua lapis, seolah ada suara Khodam bersatu dalam suaranya)
“Jagatmarma! Kau telah melukai kehormatanku. Kini lautan akan menjadi saksi kejatuhanmu!”
Ia mengangkat trisula birunya. Dalam sekejap, air dari segala penjuru terkumpul dan melesat membentuk ribuan bilah air yang menyerbu Jagatmarma dari segala arah.
Jagatmarma yang masih dalam proses cooldown dari penggunaan teknik Rasasita Jnana, hanya bisa mengangkat pedangnya sebagai perlindungan terbatas.*
DUSHHHHHH!
Serangan itu menghantamnya bertubi-tubi, menghancurkan lapisan pelindung auranya, membuat tubuhnya terpental keras menghantam bebatuan dasar laut. Darah mengalir dari mulut dan dadanya, membentuk gumpalan merah gelap di dalam air.
JAGATMARMA
(terengah, mencengkram dada, tubuhnya bergetar namun matanya belum kehilangan nyala api perlawanan)
“Ughh… heh… tak kusangka... kau benar-benar menyatu dengan nagamu... Sangbra…”
Ia menatap ke atas, ke arah Mutiara yang kini menggantung bagaikan bulan kecil di langit samudra.
JAGATMARMA (lanjut)
“…tapi aku belum selesai…”
Dari balik luka-lukanya, aura putih Rasasita Jnana mulai berkumpul kembali. Tangan Jagatmarma menancap pedangnya ke dasar lautan, menciptakan pusaran medan yang mengisap arus di sekitarnya.
Benturan kekuatan mulai terasa, seolah Samudra itu sendiri mulai kehilangan keseimbangan akibat bentrokan dua kekuatan Khodam purba yang bangkit secara penuh.
DASAR LAUT DEKAT MUTIARA SAMUDRANTAKA | MODE KEBANGKITAN JAGATMARMA
Batu-batu dasar laut runtuh dan air bergetar saat Sangbra Witanta mengapung dalam bentuk Siluman Ular penuh, napasnya berat, namun matanya belum redup. Ia menatap Jagatmarma yang baru saja bangkit kembali, darah masih mengalir dari luka-lukanya. Namun, yang ia lihat berikutnya membuat dunia sekitarnya terasa bergeser.
Jagatmarma berdiri perlahan. Aura putih Rasasita Jnana mulai menyelimuti tubuhnya sepenuhnya—murni, tenang, dan ilahi. Khodam itu tak lagi tampak sebagai sosok di belakangnya, melainkan telah menyatu dengan jiwa dan raga Jagatmarma. Pakaian compangnya menghilang, digantikan oleh jubah putih panjang berkilau seperti kain langit, wajahnya bersinar tampan dan agung—bagaikan Resi dari khayangan yang turun ke palung terdalam samudra. Pedangnya berubah wujud… menjadi Jam Pasir Perak, dengan pasir bercahaya yang mengalir naik dan turun sekaligus.
SANGBRA WITANTA(dengan nada terkejut)"Apa… ini? Aura waktu… sejati?"
JAGATMARMA(suara lembut, dalam, nyaris tak terdengar namun menggema ke seluruh penjuru laut)“Sangbra Witanta… waktu adalah sahabatku… dan musuhmu.”
Ia mengangkat senjatanya—Jam Pasir itu berhenti seketika.*
…DUNIA MEMBEKU.Segala gerakan berhenti. Arus laut membatu. Gelembung udara diam di tempat. Bahkan cahaya mutiara berhenti berdenyut.
Hanya Jagatmarma yang bergerak. Ia berjalan ringan di tengah waktu yang membeku, mendekati Sangbra yang kini tak bergerak, wajahnya masih menegang dari serangan sebelumnya.
Dengan gerakan presisi, Jagatmarma menebas trisula Sangbra, lalu memutar di belakangnya, menebas titik-titik vital tubuh Sangbra, sebelum melesat mundur dan mengembalikan waktu ke posisi semula.
…WAKTU BERJALAN KEMBALI.
SANGBRA WITANTA(terpelanting ke belakang, tubuhnya tercabik di beberapa titik, darahnya menyebar seperti tinta di air)"Aghh—apa ini?! Bagaimana kau—?!"
Belum sempat berpikir, ia kembali melemparkan serangan arus pusaran air dari segala arah.
JAGATMARMA(menggerakkan tangannya perlahan… dan dunia melambat)“…Lambat.”
Serangan-serangan itu melambat bagai tarian dalam gelembung. Ia berjalan di antara mereka dengan mudah, menghindar, menatap wajah Sangbra dengan tenang, lalu kembali menyerang—kali ini mempercepat waktu untuk dirinya sendiri.
Bayangan Jagatmarma menjadi tak terhitung. Ia bergerak begitu cepat, tak terlihat, dan tiba-tiba—DUSHH! DUSHH! DUSHH!—serangan bertubi-tubi menghantam tubuh Sangbra dari berbagai arah.
SANGBRA WITANTA(terdesak, tubuhnya terguncang hebat, pertahanan Khodamnya mulai runtuh)“Hahh… hahh… waktu... tidak seharusnya bisa dipermainkan seperti ini…”
JAGATMARMA(membalas dengan lirih dan menatap dalam)“Aku tidak mempermainkannya. Aku hidup di dalamnya. Aku mendengar detaknya, setiap hari. Rasasita Jnana... bukan sekadar Khodam. Ia adalah guru… dan cermin dari hatiku yang telah menunggu... saatnya.”
Getaran muncul dari Jam Pasir di tangannya. Pasir mulai mengalir mundur, dan aura putih mengembang.
JAGATMARMA(berbisik, mengucap mantra sakral)“bali menyang nul.”
Segalanya kembali. Luka-luka di tubuh Jagatmarma menghilang. Gerakan Sangbra sebelum transformasi dimulai terulang. Sangbra, yang kini kembali ke titik awal sebelum menyatu dengan Nagasrana, menatap ke sekelilingnya dengan kebingungan mutlak.
SANGBRA WITANTA(terperanjat)“…Tidak… ini… KAU MEMUTAR ULANG SEMESTA INI?!”
Jagatmarma tersenyum samar. Di belakang mereka, Mutiara Samudrantaka masih berdenyut—namun kini, ia hanya satu langkah lagi darinya.
LAUT TERDALAM DI SEKITAR MUTIARA SAMUDRANTAKA | KLIMAKS PERTARUNGAN
Air laut terasa membeku dalam keheningan. Mutiara Samudrantaka berdenyut terang, memancarkan cahaya putih membelah kegelapan dasar samudra. Jagatmarma berdiri tegak dalam wujud kebangkitan spiritual Khodamnya, Rasasita Jnana. Aura ilahinya menyinari sekeliling, rambutnya berkibar lembut, wajahnya bercahaya seperti seorang dewa penjaga waktu.
Sementara itu, tubuh Sangbra Witanta nyaris tak bisa berdiri. Luka menganga di sekujur tubuhnya. Pakaian robek, aura Khodam Nagasrana-nya telah memudar. Darah mengalir bersama gelembung-gelembung terakhir dari napasnya.
SANGBRA WITANTA
(terbatuk, tersengal)
“H-hentikan… Jagatmarma… a-aku sudah kalah…”
Namun Jagatmarma tidak langsung menyerang lagi. Ia mengangkat Jam Pasir-nya… dan menghentikan waktu. Laut menjadi sunyi. Waktu berhenti. Ia berjalan perlahan mendekati Sangbra, menatapnya dalam-dalam.
JAGATMARMA
(suara dalam dan tenang, penuh luka lama)
“Kau tahu… saat waktu berhenti seperti ini… aku bisa mendengar segalanya. Bahkan tangis hati yang dikubur dalam diam.”
Ia berdiri di hadapan Sangbra yang tergeletak, dan waktu berjalan kembali. Tatapan Jagatmarma menggelap.
JAGATMARMA
“…Kau tahu siapa aku. Tapi kau tak pernah tahu mengapa aku datang.”
SANGBRA WITANTA
(tercengang)
“…Apa…?”
JAGATMARMA
(perlahan, suaranya menjadi lebih tegas, mata bersinar tajam)
“Jagat Arunika. Kapten Mandala Utama. Tangan kanan Adipati Maheswara. dan… satu-satunya keluargaku. Adik kandungku.”
Sangbra membelalak. Tubuhnya bergetar lemah.
SANGBRA WITANTA
“…A-adikmu…?!”
JAGATMARMA
“Lima tahun lalu… kau membuat siasat yang menjijikkan.”
Jagatmarma menunduk, suaranya lirih, namun tiap kata menusuk seperti pedang waktu.
JAGATMARMA
“Jagat Arunika… sudah mengetahui siapa pembunuh sebenarnya Ardika, anak bangsawan itu. Ia tahu itu perintah langsung dari… Pangeran Aryasatya. Tapi apa yang kalian lakukan?”
(Nada suaranya meninggi, mata memerah.)
“Kalian jebak dia…! Dengan misi tipuan yang kalian bungkus atas nama Sri Maharaja Darmawijaya! Kau sendiri yang menyusun jalan matinya!”
SANGBRA WITANTA
(lemah, wajahnya mulai pucat)
“Tidak… t-tidak… aku… aku hanya menjalankan perintah… aku—”
JAGATMARMA
“Dia dijatuhkan dari tebing. Diterkam dan dilempar ke jurang seperti hewan buruan. Dan kalian bilang itu kecelakaan.”
(Tangannya menggenggam Jam Pasir erat.)
“Adipati Maheswara hanya bisa menangis… dan kerajaan langsung menutup kasusnya seperti debu dibuang ke laut.”
SANGBRA WITANTA
(air mata menetes, tubuhnya gemetar hebat)
“Jadi… kau menyaksikan semua itu… selama ini…”
JAGATMARMA
“Aku menyaksikan keheningan… dan ketidakadilan. Aku menyaksikan Adikku...”
Sunyi.
Sangbra menunduk. Trisulanya terlepas, hanyut perlahan ke dasar. Cahaya dalam matanya padam, diganti dengan penyesalan tak terbendung.
SANGBRA WITANTA
(menangis, lirih)
“Aku... aku tidak pantas hidup. Aku... mengkhianati sumpahku sebagai pengawal kerajaan. Aku mengkhianati hati nuraniku... Jagatmarma... aku... aku... maafkan aku…”
(Tangisnya pecah di antara air laut. Mata penuh dosa menatap Jagatmarma untuk terakhir kali.)
SANGBRA WITANTA
“Maafkan aku…”
Jagatmarma menatapnya, tak menjawab. Ia hanya mengangkat Jam Pasir... dan pasir waktu berhenti mengalir. Cahaya putih menyelimuti Sangbra Witanta, perlahan tubuhnya mulai larut dalam arus air, tenggelam dalam sunyi, bersama dosa-dosa dan masa lalunya.
NARASI
Dan di dasar samudra, tempat rahasia disimpan dan darah dibersihkan oleh waktu… Sangbra Witanta mati, bukan sebagai pahlawan… bukan sebagai musuh… tapi sebagai manusia yang akhirnya sadar bahwa waktu tidak pernah lupa.
Dan Jagatmarma… tetap berdiri. Sendiri. Di depan Mutiara Samudrantaka.
DASAR LAUTAN MUTIARA SAMUDRANTAKA | SETELAH KEMATIAN SANGBRA WITANTA
Keheningan menyelimuti samudra yang kelam. Tubuh Sangbra Witanta telah hilang ditelan gelap. Waktu kembali mengalir normal, namun tidak ada badai, tidak ada amarah lautan. Jagatmarma masih berdiri dalam wujud kebangkitan Khodam Rasasita Jnana. Wajahnya bercahaya, rambutnya mengalun ringan di dalam air yang kini tenang seperti kaca surgawi.
Di hadapannya, perlahan muncullah sosok besar—raksasa laut kuno yang begitu agung: Tiram Ghaib Raksasa Javarnesa. Cangkangnya menjulang bagai gerbang kuil dewa purba, dipenuhi ukiran waktu dan sejarah yang berlapis ribuan tahun.
Tiram itu membuka matanya—sepasang cahaya ungu tua yang mengandung umur dunia. Suaranya menggema perlahan, dalam dan penuh makna, seperti suara bumi sendiri berbicara.
TIRAM GHAIB JAVARNESA
(dalam bahasa kuno yang menggema di batin)
“Sudah takdirnya… setiap lima ratus tahun… Mutiara Samudrantaka akan tumbuh… dan akan dipanen oleh yang terpilih…”
(ia menatap Jagatmarma dalam-dalam, penuh pengetahuan dan ketenangan)
“Dan kini… kaulah orang itu. Jagatmarma… Pewaris Waktu… Pengemban Dendam yang terlahir jadi Takdir.”
Jagatmarma mengatupkan kedua tangan di dada, memberi hormat khidmat, tidak berkata apa-apa. Cahayanya berkilau lembut, dan Jam Pasir di tangannya bergemerlap.
TIRAM GHAIB JAVARNESA
“Lautan tidak akan bergolak… karena takdir Mutiara ini… berada di tangan yang tepat.”
(ia menutup matanya, tenang)
“Ambillah. Dan ketahuilah… Mutiara itu akan tumbuh kembali dalam tubuhku. Dan akan kembali dipanen… oleh orang terpilih lain… sang pewaris, lima ratus tahun dari sekarang… dan terus begitu… sampai dunia ini berhenti berputar.”
Jagatmarma melangkah perlahan. Cahaya dari tubuhnya membuat air di sekitarnya membentuk pusaran lembut, seperti upacara alam menyambut sesuatu yang agung. Ia mengangkat tangan—dan Mutiara Samudrantaka yang bercahaya biru kehijauan itu melayang dari dasar mulut Tiram, naik perlahan ke telapak tangannya.
Begitu Mutiara itu menyentuh tangannya, ia bersinar terang. Sebuah pusaran waktu dan takdir tampak berputar di sekitarnya. Lalu semua menjadi tenang.
Jagatmarma mengatupkan mata sejenak. Ia menggenggam mutiara itu dengan penuh hormat, lalu membungkuk dalam, memberikan penghormatan terakhir kepada Javarnesa.
Maka lengkaplah misinya. Dendam yang telah dibalas, dan Mutiara Samudrantaka telah kembali ke tangan yang layak. Tapi waktu... belum selesai berjalan. Dan apa yang akan tumbuh dari mutiara itu... bisa jadi bukan hanya harapan, tapi juga awal dari badai baru.
PERMUKAAN | DESA PESISIR PANUNDAAN | AKHIR PERTEMPURAN
Langit di atas Panundaan kelam, bukan oleh badai, tetapi oleh asap dan debu sisa perang. Ombak memukul pelan bibir pantai, seolah ikut menarik napas panjang setelah denting pedang dan raungan perang mereda.
Mayat-mayat berserakan, darah menyatu dengan pasir dan air asin. Di antara reruntuhan perkemahan, panji-panji faksi Pangeran Aryasatya jatuh berserakan, tercabik angin dan noda kekalahan.
Perang yang telah berlangsung di Malam Purnama Merah akhirnya pecah juga di puncaknya. Tapi bukan kemenangan megah oleh kekuatan besar yang menjadi penentu… melainkan keberanian dari mereka yang tersingkir, yang dianggap kecil…
Pasukan Faksi Pangeran Aryasatya—yang dulunya terlatih dan kuat—justru tercerai-berai. Banyak yang lari tunggang-langgang ke segala penjuru, meninggalkan senjata dan rekan mereka. Kekacauan meledak, suara perintah tak lagi dihiraukan mereka seperti kehilangan Arah.
Di sisi lain, Kelompok Bayawira Barat—kumpulan pendekar kampung, bandit tobat, jawara tua, pencuri, buronan, dan mantan prajurit yang membelot—justru berdiri, meski tubuh mereka penuh luka. Mata mereka menyala. Mereka tak punya nama besar, tapi mereka tak takut mati. Mereka bertempur dengan hati… dan mereka menang.
Di antara reruntuhan pertempuran… dua sosok tergeletak penuh luka:
– Teksaka, sang komandan pasukan jarak dekat Bayawira Barat, tubuhnya penuh goresan dan luka dalam akibat duel sengit dengan Pangeran Aryasatya. Darah menetes dari mulutnya, namun matanya masih terbuka, menatap langit dengan nafas berat.
– Ratri Andini, komandan pasukan panah Bayawira, tergeletak tak jauh darinya. Sebuah panah masih tertancap di bahunya, dan satu lagi di sisi perutnya. Namun nafasnya masih ada—pelan, tapi hidup.
Beberapa anggota Bayawira Barat segera berlari menghampiri mereka.
JAWARA TUA BAYAWIRA
(berteriak sambil membawa kain perban dan air)
“Cepat! Obati mereka dulu! Jangan biarkan dua orang ini tumbang sia-sia! Kita menang bukan karena kita kuat… tapi karena mereka berdiri paling depan!”
Beberapa orang mulai membalut luka Teksaka dan Ratri dengan penuh panik dan air mata. Yang lainnya menancapkan kembali panji Bayawira di tanah penuh darah itu. Lambang yang selalu dianggap hina, kini berkibar di atas kemenangan.
Sementara itu, jauh di sisi utara pertempuran—
Pasukan Faksi Pangeran Aryasatya yang masih bisa berdiri, membawa tubuh Pangeran Aryasatya yang terluka parah dan pingsan, serta Pangeran Mahadarsa yang tak sadarkan diri. Di bawah lindungan panah dan siasat kabur, mereka melarikan diri ke arah hutan dan perbukitan. Tak ada perintah. Tak ada kehormatan. Hanya rasa takut dan harapan untuk tetap hidup.
Kekuasaan besar bisa hancur bukan oleh kekuatan yang lebih besar…
Tapi oleh tekad yang tak bisa ditundukkan… dan kebenaran yang tak bisa disembunyikan…
Dan di tengah puing-puing pertempuran…
Bayawira Barat berdiri. Dalam luka. Dalam darah. Dalam kemenangan.
PERMUKAAN | DESA PESISIR PANUNDAAN | MENJELANG FAJAR
Langit mulai berubah warna—gelap ke jingga muda. Udara pesisir membawa semilir angin asin, seolah ikut menyambut datangnya sesuatu yang luar biasa. Ombak yang semalam bergolak kini tenang, seakan seluruh samudera sedang menahan napas…
Dan tiba-tiba, dari arah cakrawala laut—seberkas cahaya kebiruan melayang naik dari dasar samudera, menyibak kabut pagi.
Itulah Jagatmarma.
Ia melayang perlahan di udara, seolah ditopang oleh selendang tak kasat mata. Tubuhnya memancarkan cahaya suci—penuh wibawa dan aura mistis. Mata menyala tenang, rambutnya tergerai basah keperakan. Ia masih dalam mode Kebangkitan Spiritual Khodam Rasasita Jnana, wujud yang mendekati dewa dari langit tertinggi.
Di tangan kanannya, ia menggenggam Mutiara Samudrantaka, bersinar lembut, seperti menampung lautan di dalamnya. Di tangan kirinya, ia membawa Jam Pasir Kuno, simbol waktu dan takdir.
Dan dari dasar samudera, sang penjaga waktu pun muncul...
Bukan sebagai dewa, bukan pula sebagai arwah laut…
Tapi sebagai manusia yang telah menembus batas dirinya…
Semua mata mendongak. Para anggota Bayawira Barat terdiam. Bandit-bandit kasar yang biasanya keras mulut pun tercekat. Para pendekar kampung mengusap mata mereka, seolah tak percaya. Ratri Andini, duduk bersandar pada tombak, berbalut perban dan luka, terdiam mematung. Teksaka yang baru bangun, mengangkat tubuhnya dengan susah payah untuk melihat…
TEKSAKA
(tercengang)
“Dewa kah itu...? Atau roh penjaga lautan...?”
Jagatmarma mendarat perlahan di tengah mereka, menyentuh pasir, cahaya spiritual perlahan meredup. Ia berdiri diam, tenang, lalu…
JAGATMARMA
(senyum lebar dengan nada konyol)
“Tenang, kawan-kawan. Ini aku… Jagatmarma. Bukan arwah gentayangan, bukan lelembut laut. Cuma manusia setengah ganteng yang sempat nyemplung terlalu dalam!”
Suara tertawa pecah seketika.
Ratri Andini menatapnya lama… lalu mengerutkan kening sambil tersenyum.
RATRI ANDINI
(mengangkat alis, setengah menggoda)
“Kalau boleh usul… bisa gak kamu tetap dalam wujud dewa itu? Hm? Terlalu rupawan buat balik ke wajah aslimu yang... yah, standar-standar saja.”
Jagatmarma tertawa terbahak, tangannya mengangkat tanda menyerah.
JAGATMARMA
“Wah, kalau begini nanti aku harus bikin salon spiritual! Tapi maaf, mode tampan tadi cuma edisi terbatas!”
Gelak tawa meledak di seluruh perkemahan Bayawira Barat.
Beberapa bandit bahkan menjatuhkan senjata mereka sambil tertawa-tawa, yang lain mengguncang bahu Teksaka sambil berseru kegirangan. Di tengah kelelahan dan luka, tawa mereka terdengar seperti pelipur lara yang menyembuhkan segalanya.
Di fajar kemenangan itu, tak ada hierarki, tak ada bangsawan, tak ada gelar.
Yang tersisa hanyalah tawa manusia-manusia yang bertahan…
Yang pernah dibuang, kini berdiri sebagai penentu sejarah…
Jagatmarma mengangkat Mutiara Samudrantaka tinggi-tinggi. Sinarnya menyinari wajah-wajah luka yang tersenyum. Di sekitarnya, orang-orang bersorak, memeluk, menangis. Sebuah babak baru telah dimulai.
SEMUA (BERSORAK)
“HIDUP BAYAWIRA BARAT! HIDUP MUTIARA SAMUDRANTAKA!”
Langit pagi menyambut kemenangan yang tak pernah diprediksi dunia…
ISTANA TIRABWANA | BALAIRUNG UTAMA | PAGI HARI PASCA KEKALAHAN
Langit Tirabwana muram. Bukan karena mendung, melainkan karena kabar kekalahan telah menyapu seluruh penjuru istana. Balairung utama hening, penuh tekanan tak kasat mata. Di atas singgasana emas berhias lambang Garudeya, Sri Maharaja Darmawijaya duduk tertunduk. Mahkota kebesarannya terasa berat, bukan karena emasnya… tetapi karena beban harga diri seorang Raja.
Tangannya gemetar pelan di atas lengan singgasana. Suara hatinya bergejolak, tapi wajahnya tetap ditahan agar tak terlihat rapuh.
Kekalahan tak pernah asing bagi seorang raja…
Namun kalah dari kumpulan orang buangan? Itu noda bagi sejarah Tirabwana…
Di samping kanan, Mahamentri Palindrasuta, pria tua berwajah tajam dan suara dingin, maju satu langkah, bersuara tegas dan lantang.
PALINDRASUTA
“Paduka Maharaja… izinkan kami menyusun kekuatan. Bayawira Barat tak bisa dibiarkan besar kepala. Hari ini mereka mengalahkan Pangeran… besok mereka bisa menantang tahta!”
Dari sisi berlawanan, Panglima Agung Jayasatya, tubuh besar berzirah penuh, mengepalkan tangan sambil membungkuk hormat.
PANGLIMA AGUNG JAYASATYA
“Dengan restu Paduka, hamba akan turun sendiri ke pesisir Panundaan. Darah sudah tumpah, kehormatan Tirabwana harus dibayar dengan darah!”
Namun, sebelum Raja bicara, terdengar langkah lembut dari belakang tirai. Permaisuri Shandrakirana, anggun dalam kebaya putih keperakan, mendekati sang Raja. Tatapannya lembut, namun penuh kekuatan seorang ibu bangsa.
PERMAISURI SHANDRAKIRANA
(suara menenangkan)
“Duh Paduka, dunia tengah melihat Tirabwana. Jangan izinkan emosi mengaburkan kejernihan mahkota…”
Sri Maharaja Darmawijaya perlahan mengangkat kepala. Matanya sayu, namun tak kehilangan sinarnya sebagai pemimpin.
SRI MAHARAJA DARMAWIJAYA
(dalam dan bijak)
“Tak elok rasanya bagi kita… kembali mengirim perang atas sekumpulan pendekar kampung, mantan bandit, dan buronan. Dunia akan mengira kerajaan ini takut pada bayang-bayang rakyatnya sendiri…”
(hening sesaat, ia menatap para menterinya)
“Biarkan… Pangeran Aryasatya merenungkan keangkuhannya. Biarkan luka ini menjadi guru yang paling setia.”
(ia berdiri pelan, menahan beban moralnya)
“Namun… jangan lepas pengawasan. Pantau pergerakan mereka. Jangan biarkan bayangan tumbuh menjadi badai.”
Palindrasuta dan Jayasatya tertunduk, menahan desakan untuk melawan logika sang raja. Permaisuri tersenyum samar, mendampingi suaminya turun dari singgasana.
Di balik kekalahan yang memalukan, sang raja memilih diam…
Bukan karena takut, tapi karena tahu…
Kadang kemenangan bukan soal mengayunkan pedang, tapi kapan menahan tangan…
Di luar istana, para mata-mata Tirabwana mulai bergerak. Dan di kejauhan, sejarah perlahan membentuk jalur barunya…
DESA PANUNDAAN | PESISIR PAGI HARI | USAI PERANG
Langit mulai bersih, kabut tipis memudar oleh sinar mentari fajar. Udara masih menyimpan aroma garam laut, namun tidak lagi bercampur darah. Di antara reruntuhan dan puing-puing rumah, terlihat aktivitas yang tidak biasa dari para petarung bukan berlatih, bukan merencanakan perang, tapi... memperbaiki dan membangun.
Di tepi bukit kecil, puluhan gundukan tanah baru berdiri rapi. Tak ada tanda siapa kawan, siapa lawan. Hanya batu-batu nisan sederhana, ditancap kayu atau dahan, dengan nama yang ditulis seadanya. Semua yang gugur, dimakamkan dengan hormat yang sama.
Di tanah ini, darah yang tumpah tak memilih warna.
Dan Bayawira Barat, para mantan bandit dan buronan, hari ini menjadi penggali kubur…
dan juga pembangun harapan.
Di pusat desa, Jagatmarma dengan pakaian sederhana, wajah masih sedikit pucat, terlihat membantu mendirikan kembali tiang rumah warga yang rubuh. Teksaka, tubuhnya masih diperban, mengangkut batu bata ke seorang kakek yang sedang membenahi dapur.
WARGA TUA (Kakek Panundaan)
(tersedu, menahan haru)
“Tak kusangka… kalian, yang katanya pemberontak… malah jadi penyelamat desa kami…”
JAGATMARMA
(sambil tersenyum jenaka, menahan beban tiang kayu besar)
“Pemberontak juga manusia, Pak Tua… cuma nasib kami aja yang nggak pernah lulus seleksi kerajaan!”
Semua tertawa ringan, termasuk para warga yang mulai kembali berdatangan ke desa. Anak-anak melihat sosok Ratri Andini duduk di depan rumah, masih lelah, tetapi tersenyum saat para gadis kecil menawarkannya bunga liar.
RATRI ANDINI
(menerima bunga dan bercanda lemah)
“Duh… kalau aku tahu perang bisa bikin aku dikirimi bunga, mungkin aku udah jadi pemanah dari kecil!”
Anak-anak tertawa, suasana hangat mulai tumbuh. Kelompok Bayawira Barat lainnya—para mantan pencuri, jawara, dan tentara pembelot—semuanya bekerja: menyusun batu, menggali saluran air, atau membersihkan sisa abu perang.
Tak ada pidato kemenangan. Tak ada sorak sorai parade.
Kemenangan Bayawira Barat ditandai oleh debu yang ditepiskan, dan rumah yang berdiri kembali.
Desa Panundaan yang sempat hancur, kini kembali bernyawa.
Dan para orang buangan, perlahan berubah menjadi pahlawan.
Jagatmarma duduk di ujung dermaga bersama Teksaka dan Ratri, memandang laut yang kini tenang.
TEKSAKA
(serius, suaranya dalam)
“Aku rasa… kita sedang membangun lebih dari desa…”
JAGATMARMA
(tersenyum sambil memainkan Jam Pasir di tangannya)
“Kita sedang membangun cerita, kawan. Dan kali ini… kita yang menulisnya.”
ALAM JIN | DESA AETHERAYA | SENJA DI BULAN KE-2
Langit berwarna jingga tembaga, awan-awan tipis di Alam Jin tidak pernah menyimpan hujan, hanya bias cahaya yang membuat waktu terasa lambat dan lembut. Desa kecil di mana Jasana dan Rinjana kini menetap sementara adalah desa damai bernama Aetheraya, terletak di lembah bunga cahaya yang mekar saat senja.
Dua bulan berlalu dalam ketenangan yang terasa asing bagi manusia,
Namun justru menjadi ruang perenungan yang mendalam bagi dua jiwa yang tersesat dalam waktu dan alam.
Di dunia jin yang penuh kedamaian ini, cinta tidak datang dengan ledakan…
tapi tumbuh pelan-pelan seperti cahaya senja yang merambat di daun dan dahan.
Jasana duduk di bawah pohon tinggi bercahaya, di sebelahnya Rinjana sedang tertidur sejenak dengan kepala bersandar di bahunya. Wujud mereka bukan lagi manusia sepenuhnya—mata mereka lebih bening, kulit sedikit berpendar lembut, dan aura mereka menyatu dengan alam sekitar.
Buku peta portal buatan mereka tergeletak di atas rumput. Puluhan titik telah mereka tandai, tetapi belum ada yang benar-benar berhasil mereka lewati.
JASANA (dalam hati, melihat Rinjana tertidur)
“Dunia ini terlalu tenang… sampai aku lupa rasanya terburu-buru.
Tapi jika bersama dia… bahkan dunia yang lupa waktu pun bisa jadi rumah.”
Rinjana perlahan membuka mata, mengerjap malas lalu tersenyum.
RINJANA
“Maaf… ketiduran lagi ya?”
(menyandarkan tubuhnya sambil memandang langit ungu)
“Waktu di sini terlalu halus, seperti mimpi yang tak ingin bangun.”
JASANA
(tersenyum kecil)
“Kalau mimpi ini bersamamu, aku juga tak ingin bangun.”
Rinjana tertawa kecil, lalu mengambil buku catatan mereka. Ia membalik halaman dan menunjuk satu titik baru.
RINJANA
“Aku dengar dari penduduk desa, ada portal tua yang hanya muncul saat bunga ‘Aluna’ mekar penuh.
Besok malam bunga itu akan mekar... mungkin kita bisa mencobanya lagi.”
JASANA
“Keberapa kalinya ini?”
(menyeringai lelah)
“Dua puluh… tiga?”
RINJANA
(tertawa, menjentik kening Jasana)
“Dua puluh empat, yang kemarin gagal karena kamu keasyikan makan buah jin.”
JASANA
(memegang dahinya, berpura-pura kesakitan)
“Itu buah terlalu enak untuk ditolak…”
Mereka tertawa bersama. Dan dalam kebersamaan yang penuh canda, tak terasa tangan mereka saling menggenggam erat. Bukan karena nafsu, bukan karena pelarian… tapi karena kenyamanan yang tumbuh perlahan.
Di tengah pencarian akan jalan pulang,
Terkadang, seseorang justru menemukan ‘rumah’ dalam diri orang lain.
Mereka belum tahu kapan akan berhasil keluar dari Alam Jin…
Tapi mereka tahu, sejauh apapun perjalanan, mereka tidak akan sendirian.
ASRAMA GUILD BAYU GENI | KAMAR JASANA, BAGAS, DAN KIRTA | MALAM HARI
Suasana kamar yang biasanya hangat dan penuh tawa kini berubah hening. Lampu minyak yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya temaram kekuningan. Di sudut ruangan, Bagas duduk termenung di atas tempat tidurnya, masih mengenakan seragam latihan yang kusut. Di ranjang seberang, Kirta bersandar pada dinding sambil memeluk busur kosongnya. Tak ada senyum di wajah mereka. Tak ada candaan.
Tempat tidur Jasana rapi, tidak tersentuh selama dua minggu. Di atas bantalnya, diletakkan pedang kayu Ardhana milik Jasana, seolah menunggu pemiliknya kembali.
Sudah dua minggu berlalu.
Tak ada kabar, tak ada jejak.
Seolah bumi menelan Jasana tanpa suara.
Guild Bayu Geni telah mengerahkan semua jalur pencarian,
Namun tak ada yang berhasil menyentuh bahkan bayangannya.
Karena Jasana… terlempar ke tempat yang terlalu jauh dari dunia ini.
Bagas menarik napas panjang, lalu bersuara pelan.
BAGAS
“Biasanya dia yang paling cerewet soal latihan, soal sarapan, soal perban yang kusut pun bisa dia ceramahi…”
KIRTA
(mengangguk pelan)
“Sekarang malah sunyi sekali ya…”
Bagas menghela napas berat, menggenggam salah satu gelang kulit yang biasa dipakai Jasana saat latihan.
BAGAS
“Aku… ngerasa bersalah, Kirta. Waktu terakhir itu, aku cuma bilang ‘jangan lupa bawa cemilan.’ Kupikir dia bakal balik seperti biasa.”
KIRTA
(menatap ke luar jendela)
“Dan waktu itu aku terlalu sibuk nyusun peta… dia pergi tanpa pamit sebenarnya.”
BAGAS
“Kita harus cari terus, kan?”
KIRTA
(menoleh pelan)
“Sudah. Kita harus. Tapi... mungkin sekarang waktunya juga percaya.”
BAGAS
“Percaya?”
KIRTA
“Ya. Bahwa dia masih hidup. Jasana bukan orang sembarangan. Mungkin dia... sedang ada di tempat yang tak bisa kita jangkau. Tapi aku yakin, kalau dia masih bisa bernapas... dia pasti cari jalan pulang.”
Bagas tersenyum tipis, lalu merebahkan diri sambil menatap langit-langit.
BAGAS
“Dia keras kepala, itu pasti. Tapi kalau sampai dia kembali, akan aku suruh dia cuci semua pakaian latihan selama sebulan sebagai hukuman.”
KIRTA
(tersenyum samar)
“Dan kamu pasti langsung menangis kalau dia beneran muncul besok.”
Bagas tidak membalas. Tapi matanya mulai berkaca. Ia menggenggam erat gelang Jasana.
Di antara keheningan malam dan rasa kehilangan yang dalam,
Harapan adalah satu-satunya nyala yang masih mereka genggam.
Karena seorang sahabat… adalah bagian dari diri sendiri.
Dan kehilangan Jasana… adalah kehilangan bagian dari mereka.
ALAM JIN | DESA AETHERAYA | MALAM HARI DI PADANG BUNGA ALUNA
Langit ungu pucat terbentang di atas padang luas yang dipenuhi bunga-bunga bercahaya. Kelopak Aluna bersinar redup, lalu satu per satu mengecil dan lenyap, pertanda portal telah berpindah. Di tepi padang, tampak dua sosok berdiri sambil terengah-engah—Jasana dan Rinjana.
RINJANA
(tersenyum pahit sambil melihat bunga terakhir tertutup)
“Lagi-lagi... terlambat.”
JASANA
(tertawa kecil)
“Sudah ke berapa kalinya ya ini? Dua puluh tiga? Atau dua puluh lima?”
RINJANA
(mendorong pelan bahunya)
“Dua Puluh Empat, si bodoh.”
Jasana tertawa keras. Mereka sama-sama tahu, keputusasaan takkan membantu. Yang bisa mereka lakukan hanyalah terus mencoba… dan menikmati perjalanan.
Mereka saling menggenggam tangan, saling memandang dengan hangat, lalu berjalan kembali menuju desa Aetheraya.
DESA AETHERAYA | PAGI HARI | GUILD “SANGGAR LUMIRYA”
Di tengah desa jin yang damai dan angin semilir, berdiri sebuah bangunan berbentuk seperti bunga teratai raksasa yang mekar—Sanggar Lumirya, guild damai tempat para jin muda dan “tamu asing” seperti Jasana dan Rinjana berkumpul. Di sinilah mereka sekarang bernaung.
Pekerjaan mereka di guild ini sangat berbeda dari dunia manusia—tidak ada pertumpahan darah, tak ada perang. Tugas-tugas yang mereka lakukan pun menyenangkan:
Mencari tanaman obat di lereng gunung yang bermandikan cahaya bulan.
Menangkap hewan langka seperti kelinci kabut atau burung perak.
Menelusuri gua untuk mengambil artefak kuno yang tidak dikutuk, tapi diberkati.
Di sore hari, Jasana dan Rinjana sedang duduk santai di paviliun guild, menyeruput teh herbal sambil mencatat laporan tugas.
JASANA
(dengan senyum menggoda)
“Ingat waktu kamu pertama kali lihat aku? Di dunia nyata. Menyerang ku untuk mencuri Artefak yang aku lindungi.”
RINJANA
(tertawa geli)
“Kamu pikir aku akan lupa? Kamu waktu itu seperti pendekar kampung yang terlalu percaya diri.”
JASANA
(menoleh lembut)
“Tapi lihat sekarang... kita malah jadi tim terbaik.”
RINJANA
(menunduk sambil tersenyum tipis)
“Dan... aku tak keberatan kalau selamanya seperti ini. Damai. Tanpa perang.”
Jasana tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Rinjana dan menatap langit yang perlahan beranjak senja.
Di dunia yang tak mengenal dendam dan peperangan,
Mereka menemukan versi lain dari hidup—
Yang lembut, damai, dan menyembuhkan.
Tapi jauh di lubuk hati,
Mereka tahu...
Tak selamanya bisa tinggal di surga yang meminjamkan waktu.
Dunia nyata memanggil.
Dan takdir mereka belum selesai.
DESA AETHERAYA | PAGI HARI | RUMAH JASANA & RINJANA
Mentari Alam Jin menyapa dengan cahaya keemasan lembut yang jatuh seperti kelopak bunga. Di rumah kecil mereka yang berdinding kayu sederhana, kehidupan sederhana dan damai mengalir seperti musik alam.
Jasana dan Rinjana baru saja pulang dari misi pagi. Mereka menenteng keranjang berisi akar glenora, kulit hewan auramala, dan pecahan kristal mantra dari gua utara. Jasana membuka pintu rumah sambil menggoda:
JASANA
(tersenyum lebar)
“Kalau bukan karena kamu, aku pasti kejebak kabut ilusi lagi di gua tadi.”
RINJANA
(tertawa kecil sambil meletakkan keranjang)
“Dan kalau bukan karena kamu, kita nggak bakal nemu pecahan kristal itu. Kita tim yang hebat, kan?”
DAPUR RUMAH | SIANG HARI
Rinjana berdiri di dapur yang menghadap taman terapung, sedang memasak sup akar embun dan nasi sinar pagi, makanan khas desa Aetheraya. Jasana duduk di meja, mencatat laporan misi di gulungan mantra.
Kadang-kadang, Jasana mencuri pandang ke arah Rinjana sambil tersenyum kecil. Lalu, ia berdiri pelan dan memeluk Rinjana dari belakang.
JASANA
(berbisik manja)
“Kalau kehidupan seperti ini mimpi, aku harap aku nggak bangun.”
RINJANA
(tersipu tapi tetap mengaduk sup)
“Kalau mimpi ini isinya kita berdua, aku juga nggak mau bangun…”
SORE HARI | TAMAN DEPAN RUMAH
Mereka duduk di bangku kayu akar hidup, dikelilingi tanaman bercahaya yang menyanyi lembut. Angin lembut menyentuh wajah mereka. Di hadapan mereka: kaca pencari portal yang mereka dapatkan dari Misi sebelumnya, masih tidak menunjukkan tanda.
JASANA
(menatap kosong ke cermin itu)
“Sudah seminggu sejak terakhir kali ada tanda…”
RINJANA
(menyandarkan kepala ke bahu Jasana)
“Mungkin belum waktunya. Tapi aku percaya… saat dunia memanggil kita kembali, kita pasti akan tahu.”
JASANA
“Dan saat itu datang… kita akan hadapi bersama, ya?”
RINJANA
(tersenyum sambil menggenggam tangan Jasana)
“Selalu.”
Hari-hari berlalu seperti nyanyian langit.
Cinta mereka tumbuh bukan dari kemewahan,
Tapi dari misi-misi kecil yang dijalani bersama.
Dari tawa yang dibagi setiap malam,
Dan dari doa diam-diam di depan kaca portal…
Menunggu saatnya takdir memanggil pulang.