RUANGAN PRIBADI ADIPATI MAHESWARA | GUILD BAYU GENI | MALAM HARI
Langit Mandalagiri ditutup awan gelap dan petir jauh terdengar di kejauhan. Di dalam ruang pribadinya yang remang dan dipenuhi peta dunia kuno, manuskrip suci, serta simbol kerajaan tua, Adipati Maheswara duduk sendiri. Api dari lentera batu menyala tenang, melemparkan bayangan panjang ke dinding batu.
Di hadapannya, terbuka sebuah surat bertinta tangan, berstempel pribadi milik Kapten Lodra Wahana.
ADIPATI MAHESWARA
(membaca dalam hati, lirih)
“Dengan segala hormat dan pengabdian yang telah saya berikan kepada Guild Bayu Geni… saya mengajukan pengunduran diri dari jabatan Kapten Divisi Raka Lelana dan dari Guild Bayu Geni. Segala keputusan ini sepenuhnya adalah hasil pertimbangan pribadi…”
Tangannya menggenggam surat itu erat. Sorot matanya kosong, namun batinnya bergemuruh. Ia lalu berdiri, melangkah ke jendela batu tinggi dan menatap langit mendung.
ADIPATI MAHESWARA
(gumam dalam hati)
“Lodra… kau bukan orang yang akan mundur karena satu kehilangan. Jasana memang penting, tapi aku merasa… ini lebih dalam dari sekadar kehilangan anggota.”
FLASHBACK SINGKAT | INGATAN ADIPATI
Lodra Wahana duduk berdua dengannya beberapa pekan lalu, wajahnya penuh tekanan, namun mulutnya tertutup rapat.
LODRA WAHANA
(dengan suara berat)
“Bukan semua luka bisa sembuh dengan kemenangan… dan tidak semua dendam bisa diredam oleh rasa hormat.”
Kembali ke masa kini.
RUANGAN | LENTERA MEREDUP
Adipati Maheswara kembali duduk, menatap potret lama di dinding — lukisan tim pendiri awal Guild Bayu Geni. Di sana ada wajah muda Lodra, tersenyum di samping dirinya. Ia memejamkan mata.
ADIPATI MAHESWARA
(berbisik pelan)
“Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan, Lodra? Dan… apakah ini pertanda badai yang lebih besar sedang mendekat?”
Dengan hilangnya Jasana dan mundurnya Lodra Wahana,
Dua pilar kekuatan Divisi Raka Lelana runtuh bersamaan.
Namun di balik diamnya Lodra,
Adipati Maheswara tahu—
Ini bukan sekadar pengunduran diri…
Tapi awal dari rahasia yang lebih dalam dan kelam.
Hujan mulai turun pelan di luar benteng Guild. Petir menyambar perlahan, menyinari ruangan pribadi Adipati Maheswara sesekali. Ia berdiri diam di depan deretan lukisan para pendiri Guild Bayu Geni, keenam sahabat seperjuangannya, yang masing-masing kini memimpin Divisi Utama Guild.
Mata Adipati Maheswara menyapu satu per satu wajah yang terlukis dalam warna klasik:
Kapten Raksadana, tegap, dengan senyum penuh wibawa dan ketenangan.
Kapten Mahadewa Rakunti, berjubah putih dan wajah dalam kontemplasi.
Kapten Kalandra Wisanggeni, sorot tajam dan rahang keras, menatap seperti menyimpan rahasia.
Kapten Doyantra Puspaloka, dengan mata penuh hitungan dan senyuman bijak dagang.
Kapten Lodra Wahana, berpose dengan tongkatnya dan peta, simbol arah dan petualangan.
Dan terakhir… Kapten Jagat Arunika.
Langkah Maheswara terhenti. Nafasnya sedikit bergetar.
Lukisan Kapten Jagat Arunika, pria berambut panjang dan mata tajam penuh idealisme, tampak berbeda. Warna lukisannya mulai pudar, namun aura kepemimpinan dan ketulusan terpancar kuat. Di bawah lukisan, terukir kalimat penghormatan:
“Jagat Arunika – Kapten Divisi Mandala Utama, Gugur dalam Misi Perdamaian, Tahun ke-536 Samantara.”
ADIPATI MAHESWARA
(berbisik)
“Jagat…”
Ia memejamkan mata, dan sebuah ingatan kelam kembali menelusup:
5 TAHUN LALU | PERBATASAN BARAT MANDALAGIRI
Kabut tebal menggantung di lembah curam. Di ujung tebing, terlihat pasukan kecil istana dan suara panik. Adipati Maheswara muda dia bergegas bersama pasukan kecil anggota guild bayu geni menuju Ujung tebing setelah mendengar berita Jagat Arunika mengalami Kecelakaan saat menjalankan Misi tergelincir jatuh ke jurang.
PRAJURIT
“Yang Mulia! Kapten Jagat—tergelincir di sekitar sini! Dia jatuh ke jurang itu... terlalu dalam…”
MAHESWARA MUDA
(berteriak panik)
“Turunkan tali! Siapkan pasukan evakuasi! Cepat!!”
PRAJURIT LAIN
(pelan, takut)
“Pihak Istana… memerintahkan kita untuk mundur. Katanya ini kecelakaan tak bisa dicegah. Jurangnya terlalu dalam ini berbahaya, Kasus-nya harus segera di tutup.”
MAHESWARA
(membeku, mata membelalak)
“Apa maksudmu? Ini sahabatku! KITA harus—”
PRAJURIT
“Perintah langsung dari Sri Maharaja…”
KEMBALI KE MASA KINI | RUANGAN ADIPATI
Adipati Maheswara membuka matanya perlahan, rahangnya mengeras. Ia menatap lukisan mendiang sahabatnya dalam-dalam.
ADIPATI MAHESWARA
(dalam hati)
“Lodra mundur… Jagat gugur… dan ayahku... menutup semuanya seolah-olah itu tak penting.”
Suaranya pelan, getir.
ADIPATI MAHESWARA
“Aku mulai mencium bau busuk dari balik singgasana. Mungkin Lodra tahu sesuatu… sesuatu yang belum sempat dia katakan.”
Ia duduk kembali ke kursinya, lalu menarik sehelai kertas kosong dan mulai menulis sesuatu… mungkin surat, mungkin perintah, mungkin permulaan pengungkapan kebenaran.
Di tengah bayang-bayang kehilangan,
Adipati Maheswara mulai merangkai ulang benang sejarah.
Tentang sahabat yang gugur,
Tentang Raja yang menyimpan rahasia,
Dan tentang masa depan Guild Bayu Geni yang terancam dari dalam.
MARKAS UTAMA BAYAWIRA | GUA MANDALAGRAHA YANG SUNYI & BERKABUT
Suasana dalam gua besar itu seakan bernapas sendiri. Dindingnya berkilauan samar karena kristal alami, dan pusatnya menyala oleh api biru dari obor-obor roh. Terdengar desiran angin, namun hening mendominasi. Di tengah ruangan berbentuk setengah lingkaran itu berdiri para sosok penting: para Kapten Bayawira dan—yang paling mengejutkan—seorang pria dengan bekas luka dalam di wajahnya, tak lagi mengenakan topeng…
JAGAT ARUNIKA
(berdiri tegap, dengan suara tenang dan penuh makna)
“Terima kasih kalian semua… telah berkumpul hari ini. Sudah lama sekali... aku tak lagi menyebut nama asliku dengan bangga.”
Ia menatap satu per satu para kapten yang hadir. Tatapan berhenti pada pria baru, yang berdiri dengan jubah Raka Lelana terlipat di tangannya.
JAGAT ARUNIKA
(mengangguk pelan)
“Dan kau, Lodra... akhirnya sampai juga. Dunia tidak sehitam putih yang kita pikir. Tapi luka… adalah guru terbaik.”
Lodra Wahana memandang Jagat Arunika dalam-dalam. Luka panjang di wajah pemimpin Bayawira itu bukan sekadar bukti luka pengkhianatan, tapi juga kebenaran hidup. Perlahan, Lodra menjatuhkan jubah Raka Lelana ke lantai batu…
LODRA WAHANA
(tegas, tapi suara sedikit gemetar)
“Sahabatku hilang. Kebenaran dikhianati. Aku tidak bisa lagi menutup mata.”
(ia kenakan jubah baru, dengan lambang ular berkepala dua di dada)
“Mulai hari ini, aku adalah Bayawira.”
Tepuk tangan pelan terdengar dari sisi kiri. Sosok Resi Tua berjubah biru tua berdiri, mengangguk bangga Resi Wighna Laksa, berkumpul kembali dengan Mantan Muridnya dan sekarang menjadi Partnernya, Wakil Kapten Bayawira Selatan "Lodra Wahana".
JAGATMARMA
(tersenyum lebar)
“Kukira kau tahu... bahwa aku ini saudara dari Arunika.”
(menoleh ke Jagat Arunika dengan mata menyipit main-main)
“Kau tidak pernah cerita, adikku. Masih senang main rahasia ya.”
Jagat Arunika tertawa pelan, dan ruangan yang tadinya penuh ketegangan kini mencair dengan tawa yang ringan.
LODRA WAHANA
(terkejut, lalu tertawa lirih)
“Anda... kakaknya? Dunia ini memang tak ada habisnya kejutan.”
Tiba-tiba, dari lorong gelap yang menghubungkan lorong timur gua, terdengar langkah berat menggema. Sosok besar dengan kulit kebiruan memasuki ruang pertemuan. Bersamanya dua wakil: pria berambut hitam acak-acakan dan wanita berjubah kulit.
JAGAT ARUNIKA
(menoleh sambil tersenyum kecil)
“Akhirnya, sang raksasa utara datang juga.”
KANDHARA MANGKARA
(menunduk ringan, suaranya dalam dan menggema)
“Maaf terlambat. Dunia Jin… tidak tahu arti waktu, Aku sudah berada disana selama 2 Tahun Lebih.”
Ia mengangkat tangan dan memperlihatkan permata merah tua berkilau pekat yang seakan hidup:
KANDHARA
“Permata Manikara Darpa. Telah kita miliki.”
LODRA
(mata melebar)
“Itu… benda purba keempat?”
JAGAT ARUNIKA:
“Betul. Kini kita punya Empat Kekuatan Purba:
1. Batu Ekstraksi Roh Purba Suralaya,
2. Batu Napas Langit,
3. Mutiara Samudrantaka,
4. Dan… Permata Manikara Darpa.”
Kandhara Mangkara duduk perlahan, dan dengan nada lebih serius.
KANDHARA
“Aku juga membawa kabar... Ras Raksasa rupanya memang berasal dari Alam Jin. Mereka mengenaliku… sebagai titisan dari darah pertama. Dan mereka kini tunduk. Kita punya bala tentara… yang tak dikenal oleh dunia manusia.”
Ruangan terdiam sebentar, lalu terdengar tepuk tangan dari Jagatmarma.
JAGATMARMA
(jenaka)
“Jadi kita punya pemimpin Jin, raksasa, Resi Gelap, mantan Kapten Legendaris, dan dua saudara yang hobi menyimpan rahasia. Misi-misi kita akan jadi semakin gila.”
Semua tertawa. Termasuk Lodra, yang kini perlahan mulai merasa menjadi bagian dari mereka.
Jagat Arunika melangkah ke tengah lingkaran, menatap mereka semua. Suaranya tenang namun dalam:
JAGAT ARUNIKA
“Empat kekuatan sudah kita pegang. Waktu untuk bergerak berikutnya… Mungkin sedikit lebih lama bisa 1 tahun atau 2 tahun, belum bisa di prediksi, belum ada tanda-tanda kemunculan 3 Kekuatan Purba yang tersisa di kitab hitam. Gunakan waktu ini untuk memperkuat, membangun kembali pasukan, dan menyiapkan jiwa. Karena ketika kita melangkah lagi... dunia akan berguncang.”
Para kapten mengangguk serentak. Di dinding belakang ruangan, lambang Bayawira—ular berkepala dua yang melingkar—berkilau samar dalam cahaya kristal.
DESA AETHERAYA | PAGI HARI | TOKO PERHIASAN ALAM JIN
Toko itu terbuat dari kristal bening dan akar-akar hidup yang membentuk jendela melengkung. Di dalamnya, permata-permata bercahaya melayang perlahan di udara, memperlihatkan aura lembut khas Alam Jin. Seorang penjaga toko berjubah cahaya menyerahkan sebuah kotak kecil berbentuk bunga mekar kepada Jasana.
PENJAGA TOKO(tersenyum hangat)“Cincin dari Inti Embun Langit. Dibentuk oleh niat murni. Kini, sudah jadi milikmu, wahai pemuda yang bernyala lembut.”
Jasana menerima kotak itu dengan mata berbinar. Tubuh dan auranya masih memancarkan bentuk Jin-nya—tubuh besar berotot, wajah imut dan mata lucu, telinga runcing dan saat ini ia mengenakan jubah bercahaya samar. Ia memeluk kotak itu ke dadanya dan tertawa kecil.
JASANA(penuh semangat)“Terima kasih! Aku harus cepat pulang… Dia pasti sedang membaca buku di samping jendela.”
RUMAH MEREKA | SIANG HARI
Rinjana duduk di depan jendela rumah mereka yang dikelilingi taman melayang. Rambut Merahnya diikat sederhana, mata biru berkilau, wajahnya tenang seperti biasanya. Jasana masuk dengan napas sedikit terengah, lalu berhenti tepat di hadapannya.
JASANA(dengan tangan sedikit gemetar membuka kotak cincin)“Rinjana Nirnawa…Di dunia manusia, aku hidup dalam perang. Di dunia jin, aku hidup dalam damai. Tapi bersamamu, aku hidup sepenuhnya. Maukah kau menjadi istriku… bukan hanya di dunia ini, tapi juga di dunia mana pun yang akan kita tapaki nanti?”
Rinjana terdiam. Matanya bergetar, lalu senyum itu merekah. Ia menutup kotak cincin itu dengan lembut, lalu memeluk Jasana erat.
RINJANA NIRNAWA(dalam bisikan)“Aku mau, Jasana... Hatiku sudah lama milikmu.”
BEBERAPA HARI KEMUDIAN | RUMAH JASANA & RINJANA | RESEPSI PERNIKAHAN
Taman mengambang yang mengelilingi rumah mereka disulap menjadi tempat resepsi. Tanaman bercahaya, bunga-bunga yang menari di udara, dan langit yang berubah warna sesuai suasana hati para tamu. Musik lembut dari alat-alat angin khas jin mengalun mengiringi prosesi.
Warga desa Aetheraya dan para anggota Guild Sanggar Lumirya hadir, mengenakan pakaian dari kelopak cahaya. Di depan altar yang dibuat dari batu langit dan benang pelangi, berdiri Pandita Jin, sosok tinggi berjubah embun.
PANDITA JIN(dengan suara bergema lembut)“Dua jiwa, Satu Dunia…Kini bersatu atas nama kasih yang mengakar di semua alam.”
Jasana dan Rinjana saling menatap, saling menggenggam tangan. Cincin embun disematkan ke jari masing-masing, memancarkan cahaya lembut yang menyatu di udara.
PANDITA JIN“Dengan ini, Alam Jin menerima ikatan kalian.Semoga cinta kalian Abadi.”
Tepuk tangan bergemuruh. Kilau cahaya bunga mekar dari langit turun perlahan seperti hujan pernikahan. Jasana dan Rinjana tersenyum bahagia, saling bersandar satu sama lain.
NARASI
Di alam yang tidak mengenal waktu dan dendam, Dua jiwa menemukan rumahnya. Dan cinta, yang tumbuh perlahan dari perjuangan, Kini mekar sempurna…Menjadi cahaya yang akan memandu mereka saat dunia mulai memanggil kembali.
DESA AETHERAYA, ALAM JIN | HALAMAN GUILD SANGGAR LUMIRYA – PAGI HARI
Kabut lembut menyelimuti pepohonan biru keunguan, dan dedaunan kristal memantulkan cahaya mentari ungu pucat yang bersinar dari langit Aetheraya. Di tengah halaman luas berbatu hijau zamrud, terdengar suara teriakan penuh semangat dan denting pedang yang saling beradu ringan.
JASANA, kini dalam wujud tubuh Jin—berotot kekar dengan kulit hijau zamrud, bertelinga runcing, namun tetap berwajah imut dan bersahabat—berdiri tegap di depan sepuluh anggota muda Guild Sanggar Lumirya. Ia memegang pedang merah dengan cahaya lembut yang menyala di bilahnya Pedang Merah Lungguh Darma.
Jasana melangkah ke depan, mengayunkan pedang dalam gerakan setengah lingkaran ke bawah, lalu langsung memutar ke belakang dan menebas ke arah kanan dengan teknik luwes namun kuat.
JASANA
(suaranya dalam, tapi tetap ceria)
“Langkah pertama, tarik napasmu. Bukan dengan dada… tapi dari perut. Biarkan aliran aura Jin-mu mengisi otot lengan kanan, lalu—cengkeram gagangnya seolah itu adalah bagian dari tubuhmu sendiri!”
Salah satu murid, Tikkara, seekor Jin muda bersisik biru dengan dua tanduk mungil, mengangkat tangannya sambil mengayun pedang pendeknya dengan canggung.
TIKKARA
“Seperti ini, Kak Jasana?”
(tergelincir sedikit ke belakang)
“Eh! Aku hampir jatuh…”
JASANA
(tertawa lebar, membantu menopang Tikkara dengan satu tangan)
“Hampir benar! Tapi ingat, tenaga bukan cuma soal kekuatan—melainkan kehendak. Kau boleh kecil… tapi kalau hatimu tajam, pedangmu pun akan bicara.”
Beberapa murid lain bersorak. Ada yang meniru gerakannya dengan semangat, ada pula yang masih belajar menyeimbangkan postur tubuh mereka.
DALAM RUMAH GUILD
Dari balik jendela bundar yang dihiasi tanaman merambat bercahaya, seorang Jin dewasa memperhatikan sesi latihan itu sambil mengangkat cangkir berisi minuman akar berasap. Ia mengenakan jubah putih bersulamkan simbol bunga teratai hitam.
Dialah Ketua Guild Sanggar Lumirya, RAGATMA DIWANGARA, sosok bijak dan bersuara halus, berusia sekitar 130 tahun usia Jin (setara 45 tahun usia manusia). Rambut putih panjangnya diikat ke belakang, dan matanya bersinar ungu muda.
RAGATMA
(berbisik sendiri sambil tersenyum kecil)
“Anak itu… meski bukan dari dunia ini, hatinya damai. Aku bisa merasakannya dari setiap gerak pedangnya.”
TRANSISI KE DESKRIPSI DUNIA ALAM JIN
Guild Sanggar Lumirya bukanlah guild besar dan megah seperti Bayu Geni di dunia nyata. Namun, di Aetheraya, tempat yang damai dan nyaris tanpa konflik, guild ini adalah lambang kerja sama dan kehidupan harmonis.
Misi-misi mereka bukan soal perang atau penyergapan, melainkan tugas ringan seperti:
Mengamati kelahiran hewan langka,
Menemukan tanaman herbal penyembuh,
Memetakan arus energi alami di hutan aura.
Satu-satunya ancaman hanya datang dari makhluk liar seperti Bintang Buas, atau sesekali Monster Kabut—itu pun tak terlalu mematikan.
Alam Jin bukanlah dunia gelap dan menyeramkan seperti yang diceritakan manusia. Justru, para Jin dikenal ramah, sopan, dan cinta keseimbangan. Namun... satu hal yang membuat mereka serentak bersatu:
Mereka membenci manusia.
Menurut mereka, manusia adalah makhluk perusak. Rakus. Tak tahu batas. Bila ada manusia yang memasuki dunia ini tanpa izin, para penjaga alam akan langsung memburunya tanpa ampun.
Karena itulah, Jasana dan Rinjana—yang tinggal di desa ini—harus terus menyamar. Mereka menggunakan Teknik Perubahan Aura milik Rinjana, agar seluruh tubuh, suara, dan pancaran energi mereka sepenuhnya menyerupai Jin. Bahkan aroma spiritual mereka pun berubah.
KEMBALI KE LATIHAN
Tikkara dan teman-temannya kini mencoba teknik Jasana bersama. Mereka bersorak ketika berhasil menirukan gerakan ‘Lengkung Satu Langkah’ milik Jasana.
MURID LAIN
“Kak Jasana! Ajari kami teknik dua pedang dong besok!”
JASANA
(tertawa)
“Pelan-pelan… kalian belum bisa menahan satu pedang penuh! Kalau dua pedang, aku bisa kehilangan telingaku!”
Suara tawa membahana di lapangan latihan. Di balik jendela, Ragatma hanya mengangguk kecil. Dalam hati, ia tahu bahwa waktu damai ini… mungkin hanya sementara.
RUANG PRIBADI RAGATMA DIWANGARA | GUILD SANGGAR LUMIRYA – SENJA HARI
Ruangan ini hangat dan tenang. Dinding-dinding batu giok dihiasi ukiran akar bercahaya. Rak-rak penuh kitab dan gulungan tua tersusun rapi. Sebuah lentera bergantung di langit-langit, menyala dengan api biru lembut.
Jasana duduk bersila di atas permadani ungu di depan Ragatma Diwangara, Ketua Guild Sanggar Lumirya. Jasana masih dalam wujud Jin-nya, tapi kini tampak lebih tenang, bahunya rileks, pedangnya tersarung di punggung.
RAGATMA
(menyeruput minuman akar, lalu menatap Jasana dengan mata teduh)
“Enam bulan… Kau dan Rinjana telah menjadi bagian dari desa ini, Jasana.”
JASANA
(tersenyum pelan)
“Kami tak menyangka bisa diterima sebaik ini… semua terasa damai di sini.”
Ragatma meletakkan cangkir, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
RAGATMA
“Aku tahu siapa kalian sebenarnya.”
Jasana terdiam. Senyumnya hilang seketika. Mata hijaunya membelalak.
JASANA
“…Maksud Tuan?”
RAGATMA
“Kau dan Rinjana… bukan Jin. Kalian… manusia.”
Hening. Hanya suara kayu yang retak di tungku perapian terdengar.
JASANA
(tegang, perlahan bangkit duduk tegak)
“T-tapi… bagaimana? Kami sudah menutupi aura kami dengan teknik perubahan Rinjana…”
RAGATMA
(tersenyum tipis, tenang)
“Aku sudah hidup lebih dari satu abad, Jasana. Aura kalian bisa tertutup dari mata biasa, tapi hati… hati tua ini masih bisa membedakannya. Namun tenang, aku tak pernah memberi tahu pasukan penjaga, atau warga lainnya. Mereka tidak tahu, dan akan tetap begitu.”
Jasana menunduk dalam, matanya berkaca-kaca, tapi juga bingung dan terharu.
JASANA
“Kenapa Tuan melindungi kami…? Kami bahkan—kami tak sengaja datang ke sini…”
RAGATMA
“Karena kalian berbeda. Tidak seperti cerita manusia rakus yang sering kami dengar… kalian membantu warga tanpa pamrih. Kau melatih anak-anak kami dengan sabar. Rinjana merawat tanaman-tanaman langka di hutan punggung. Kalian tidak merusak… kalian menyatu.”
Jasana menahan napas. Lalu mengangkat kepalanya perlahan.
JASANA
“…Sebenarnya kami tidak berniat datang ke sini. Semuanya terjadi karena sihir Resi Gelap… namanya Wighna Laksa. Ia menyerangku di tengah misi di dunia kami. Tapi Rinjana… dia…”
(suara Jasana mulai gemetar)
“…dia menangkis serangan itu dengan tubuhnya. Lalu tiba-tiba, kami berdua tersedot ke dalam pusaran sihir dan—sampai di sini. Alam Jin. Tanpa arah. Tanpa jalan pulang…”
RAGATMA
(mengangguk dalam-dalam, wajahnya serius)
“Sihir gelap sekuat itu jarang bisa menerobos dimensi. Jika itu benar, maka keberadaan kalian di sini pun bisa mengganggu keseimbangan antar alam.”
JASANA
“Kami sudah mencoba mencari Portal Acak di lembah kabut dan rawa api. Tapi tak satu pun yang bisa kami lalui. Rasanya seperti selalu… tertolak, dan selalu menghilang ketika kami sudah hampir mencapainya.”
Ragatma diam sejenak. Ia berdiri dan berjalan menuju rak kayu hitam, lalu mengambil sebuah gulungan kecil berwarna perak. Ia kembali duduk dan menyerahkannya ke Jasana.
RAGATMA
“Ada satu portal tetap. Di Ibukota Kerajaan Kalathraya, dekat Kuil Kalathraya. Portal itu stabil… dan bisa menembus batas antar alam. Tapi…”
(suaranya merendah)
“…biaya penggunaannya sangat mahal. Tidak hanya uang, tapi juga energi. Namun, jika kalian bisa mengumpulkan cukup… kalian bisa pulang.”
Jasana menggenggam gulungan itu dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya mengatup menahan emosi, lalu tersenyum lega.
JASANA
“…Terima kasih. Terima kasih, Tuan Ragatma. Ini pertama kalinya… aku merasa ada harapan.”
RAGATMA
(menepuk bahu Jasana dengan lembut)
“Kalian masih muda. Dunia kalian pasti menantikan kalian kembali. Tapi selama kalian di sini… bekerjalah. Kumpulkan sedikit demi sedikit. Tapi hati-hati… tidak semua Jin sebaik kami seperti di Aetheraya.”
Jasana menunduk dalam-dalam.
JASANA
“Demi istri saya… Rinjana… saya akan terus berusaha.”
Lentera di langit-langit bergoyang pelan, mengayun cahaya biru lembut ke wajah mereka. Di luar, malam Aetheraya terus bergulir, seolah diam-diam menyaksikan satu harapan baru yang mulai tumbuh…
RUMAH KAYU DI TEPI DESA AETHERAYA | SENJA MERAH MUDA MENYINARI LANGIT
Jasana berjalan cepat melewati jalanan desa yang dihiasi lentera gantung dari bunga cahaya. Langkahnya ringan, meski dadanya sesak oleh perasaan campur aduk. Ia membuka pintu rumah kayu kecil di pinggir hutan, tempat ia dan Rinjana tinggal selama enam bulan terakhir, Jasana dan Rinjana sudah hidup di Alam Jin selama 8 Bulan, selama 2 Bulan dia berkeliling tempat mencari Portal-portal Acak dan pada akhirnya dia sampai di Desa yang Damai dan tenang Desa Aetheraya.
Dengan Pengalaman Jasana sebagai anggota Guild Bayu Geni serta teknik berpedang dan Rinjana yang memiliki kemampuan sihir, mereka berdua bekerja di sebuah Guild Kecil di Desa itu, Guild sanggar Lumirya, Ketua Guild Ragatma Meminjamkan Jasana dan Rinjana Rumah Kayu sederhana yang tidak terpakai sebagai tempat tinggal mereka karena mereka berdua Jin Pendatang dan tidak memiliki tempat tinggal.
JASANA
(dengan napas tergesa, memanggil dari pintu)
"Rinjana! Aku punya kabar…"
Rinjana muncul dari dapur mungil dengan pakaian santai khas Jin perempuan: kain lembut warna biru laut, rambut merah menyala dikepang ke samping. Kupingnya panjang melengkung ke belakang, dan kulit keperakannya memantulkan cahaya senja, membuatnya terlihat seperti Jin Kelas tinggi.
RINJANA
(tersenyum lembut, matanya berbinar)
"Kau pulang cepat hari ini. Ada apa?"
Jasana menghampiri, lalu menggenggam kedua tangannya, matanya menatap dalam.
JASANA
"Ada… portal tetap. Di Ibukota Kalathraya. Portal menuju dunia manusia. Portal yang bisa membawa kita pulang, Rin."
Rinjana membeku sesaat. Matanya membelalak. Tapi kemudian bibirnya terbuka perlahan… dan senyum haru mengembang.
RINJANA
"Benarkah…? Akhirnya… setelah semua ini…"
JASANA
"Iya… Kita masih harus bekerja dan mengumpulkan cukup biaya untuk bisa menggunakannya. Tapi ini nyata. Ini… harapan."
Rinjana menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis bahagia. Tapi kemudian ia mendekat, menatap Jasana dengan senyum lembut yang berbeda. Ada sesuatu yang hangat dan misterius di balik sinarnya.
RINJANA
(berbisik lembut ke telinga Jasana)
"Aku juga punya kabar untukmu… Aku… sedang mengandung."
Jasana membeku. Matanya berkedip, seperti belum mengerti sepenuhnya. Lalu perlahan, air mata menggenang di matanya.
JASANA
(suara gemetar, hampir tak terdengar)
"Kau… hamil…? Kau mengandung… anak kita?"
Rinjana mengangguk kecil. Matanya pun berkaca-kaca.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Jasana langsung memeluk Rinjana erat. Tangannya gemetar saat merangkul perut istrinya dengan lembut, seolah takut menyentuh terlalu kuat. Air matanya mengalir membasahi bahu Rinjana.
JASANA
(berbisik di pelukan)
"Aku akan pulang… aku akan membawamu pulang. Kita bertiga… akan kembali ke rumah kita. Demi kau… dan anak kita."
Langit Aetheraya mulai berubah gelap, ditaburi bintang jingga yang berkelip pelan. Di dalam rumah kecil itu, cinta tumbuh dalam diam, di tengah dunia asing yang perlahan mulai terasa seperti rumah, meski mereka tahu—suatu saat nanti—mereka harus pergi...
MALAM HARI, DI BALCONY RUMAH JASANA DAN RINJANA | ANGIN LEMBUT BEREMBUS DARI HUTAN
Rinjana duduk sendirian di kursi kayu panjang. Rambut merahnya diikat setengah, bergelombang lembut diterpa angin malam Aetheraya yang sejuk. Cahaya dari kunang-kunang kristal mengambang di udara, menyinari wajahnya yang cantik namun diliputi kecemasan yang dalam. Perutnya masih datar, tapi ia tahu—dalam dirinya—ada kehidupan kecil yang terus tumbuh.
Ia menatap langit malam yang penuh bintang ungu dan biru muda. Matanya sayu. Jemarinya menggenggam liontin kayu kecil berbentuk tunas yang diberikan Jasana padanya sebagai jimat perlindungan.
RINJANA (dalam hati)
"Pulang… Apakah aku pantas pulang?"
"Kerajaan Mandalagiri… mereka tidak akan lupa wajahku. Aku adalah Rinjana Nirnawa, bekas wakil kapten Bayawira Selatan. Mantan ketua bandit. Perampok, penjarah, dan Penyihir Gelap..."
Tangannya meremas liontin itu pelan. Matanya menunduk.
RINJANA (dalam hati)
"Dan Jasana… dia anggota Bayu Geni. Salah satu yang paling dihormati. Jika mereka tahu bahwa dia adalah suamiku… bahwa dia menyembunyikanku… mereka akan menyebutnya pengkhianat."
"Apa aku pantas bersamanya? Apa anak ini pantas melihat dunia manusia, atau hanya akan tumbuh dalam pelarian dan rasa takut?"
Sesaat, ia menatap perutnya dengan lembut. Bibirnya bergetar, antara haru dan takut.
RINJANA (berbisik lembut, hampir seperti doa)
"Anakku… kau tidak meminta dilahirkan dari dua orang seperti kami. Tapi… kau akan hidup. Dan kau akan bebas."
Ia memejamkan mata sejenak, menahan air mata. Lalu menatap hutan yang sunyi di bawah sana. Sekilas, terdengar suara tawa dari para Jin kecil yang bermain di kejauhan.
RINJANA (dalam hati)
"Aetheraya… tempat ini indah. Damai. Di sinilah aku merasa… seperti ibu. Seperti istri. Seperti manusia yang pantas dimaafkan."
"Tapi kedamaian ini rapuh. Kapan saja, bisa runtuh… Jika para Jin tahu siapa kami sebenarnya, mereka tidak akan segan membunuhku, atau Jasana… atau bahkan anak ini."
Ia menarik napas dalam. Menatap ke arah pintu rumah, tempat Jasana tengah tertidur lelap, masih kelelahan usai latihan hari ini.
RINJANA (dalam hati, perlahan tegas)
"Maka… aku akan diam. Aku tidak akan membuat Jasana khawatir. Dia sudah berkorban terlalu banyak untukku."
"Jika saatnya tiba… dan kami harus kembali… aku akan hadapi semuanya. Demi dia… dan demi anak ini."
Rinjana bangkit perlahan, menutup jubahnya, lalu berjalan masuk ke rumah. Di belakangnya, langit Aetheraya tetap bersinar tenang, seolah mengusap hati yang luka namun berani. Namun di kejauhan, bayangan samar seperti kabut hitam muncul di batas utara desa…
PAGI HARI, GUILD BAYU GENI – RUANG BRIEFING DIVISI RAKA LELANA
Ruangan Divisi Raka Lelana masih dihiasi dengan peta dunia besar dan pedang-pedang yang menggantung di dinding batu. Namun suasananya berbeda—sedikit lebih sepi, hening, dan murung. Di tengah ruangan berdiri Kapten Pradipa Karna, mengenakan mantel hijau tua dengan lambang naga di dada kiri. Rambutnya sedikit lebih panjang dari dulu, sorot matanya tajam namun teduh.
Ia berdiri di hadapan meja bundar, dikelilingi oleh para anggota Divisi Raka Lelana. Di antara mereka tampak Nandika Sutasmi, berdiri diam dengan tatapan kosong ke lantai, serta Kirta Wangsaputra, bersandar di dinding dengan tangan menyilang dan wajah muram.
PRADIPA KARNA
(tegas namun khidmat)
“...Hari ini kita akan memberangkatkan dua regu untuk misi pengamatan hutan Murkawana dan satu regu ke perbatasan Danau Tujuh Mata. Seperti biasa, jaga formasi, jangan meremehkan tanda-tanda kecil."
Ia memandang semua yang hadir, lalu melanjutkan lebih lembut.
PRADIPA KARNA
“Sebelum berangkat, mari kita panjatkan doa bersama. Untuk rekan-rekan yang masih di luar sana... dan untuk Jasana Mandira, saudara kita yang telah... menghilang.”
Suasana menjadi senyap. Para anggota menunduk. Pradipa menutup mata. Nandika mengepalkan tangan di balik jubahnya. Kirta memalingkan wajah, matanya berkaca.
PRADIPA KARNA
(dalam doa)
“Semoga langkah-langkah kita selalu dalam lindungan penjaga langit. Dan semoga yang hilang… menemukan jalan pulang.”
Semua menunduk sejenak dalam hening yang panjang. Lalu, satu demi satu anggota keluar untuk menyiapkan misi. Hanya Nandika dan Kirta yang tertinggal lebih lama, saling diam, tanpa kata.
DESA KALABUMI – BENGKEL PANDAI BESI KARMAWIJAYA
Asap hitam naik dari cerobong bengkel. Di dalam, Karmawijaya, ayah Jasana, sedang menempa sebilah golok. Pukulan-pukulannya kasar dan cepat, mencerminkan amarah yang ditahannya. Di depan bengkel berdiri seorang Anggota Senior Raka Lelana, seorang wanita berusia empat puluhan, mengenakan mantel resmi Guild.
SENIOR RAKA LELANA
(hati-hati)
“Tuan Karmawijaya... kami telah melakukan pencarian intensif selama dua bulan lebih, bahkan hingga ke wilayah-wilayah gaib. Tapi... tidak ada tanda, tidak ada jejak. Atas keputusan bersama, pencarian dinyatakan—”
KARMAWIJAYA
(meledak marah, menjatuhkan palu tempa)
“—Dihentikan?! Kalian menghentikan pencarian anakku?! Apa maksud kalian? Kalian anggap dia... MATI?!”
Ia melangkah maju, mendekati si utusan dengan mata merah padam.
KARMAWIJAYA
“Jasana belum mati! Kau dengar itu?! Dia belum mati! Dia itu anakku! Dia lebih tangguh! Kau pikir dia mudah mati hanya karena kalian tak menemukannya?!”
Dari belakang, muncul Wirasih, ibunda Jasana. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah air mata. Ia memeluk lengan suaminya dari belakang, berusaha menenangkannya.
WIRASIH
(lembut tapi pilu)
“Cukup, Mas... cukup. Kita belum kehilangan dia... belum.”
Karmawijaya terdiam. Dadanya naik turun cepat. Matanya menatap ke arah jendela bengkel, tempat dulu Jasana kecil sering duduk dan menonton ayahnya bekerja. Di sana... hanya bayangan kosong kini.
GUILD BAYU GENI, MALAM HARI
Di ruang tidur Bagas, Kirta dan Jasana, tempat tidur Jasana masih tetap rapih, tak disentuh sejak kepergiannya. Di atas meja kecil, sebuah pedang kayu bernama Ardhana masih bersandar dengan tenang.
Kirta duduk di ranjangnya sendiri, menatap pedang itu dalam diam. Nandika lewat di depan pintu, berhenti sejenak, lalu menunduk dan berlalu pergi. Keduanya tahu... meski waktu berjalan, luka karena kehilangan Jasana tak akan mudah sembuh.
MALAM HARI, MARKAS RAHASIA BAYAWIRA SELATAN – HUTAN HARGAGIRI
Di tengah kabut pekat hutan Hargagiri, berdiri sebuah bangunan batu tua tersembunyi di belakang reruntuhan Bangunan Megah seperti Rumah Bangsawan. Tempat ini salah satu basis Bayawira Selatan. Di dalam ruangan kecil yang remang dan dipenuhi aroma dupa, serta terlihat berbagai macam senjata, duduk seorang pria paruh baya, berjubah Biru tua. Dialah Resi Wighna Laksa, Kapten Bayawira Selatan.
Ia duduk bersila di atas tikar pandan, di depannya menyala lima lilin kecil yang melingkari sebuah keris berukir halus dengan semburat aura putih keperakan. Pandangannya tajam, waspada, dan dalam. Tangannya menggenggam gagang keris itu dengan khidmat, keris yang ia temukan beberapa hari lalu di tepian Hutan Hargagiri.
RESI WIGHNA LAKSA
(bergumam lirih, kepada dirinya sendiri)
“Aku tahu ini bukan keris biasa... Ada yang tersembunyi di dalamnya...”
Ia menutup mata, menarik napas dalam, lalu menyalurkan energi spiritualnya melalui sentuhan pada gagang keris. Seketika, udara di ruangan menjadi dingin. Lilin-lilin bergetar. Dari dalam keris itu... muncul sosok putih bercahaya, seorang pria tua berjanggut putih panjang, berjubah putih bersih, dengan wajah damai namun penuh wibawa. Sosok ini adalah Ardhana Khodam Milik Jasana, keris itu sepertinya adalah keris Parangjati milik Jasana, Namun Resi Wighna Laksa belum menyadari keris itu milik-nya.
Namun sosok itu hanya memunculkan bayangan samar, tak sepenuhnya memperlihatkan dirinya. Ia menunduk sedikit kepada Resi, tapi tidak berkata sepatah kata pun.
RESI WIGHNA LAKSA
(mencoba bicara dengan energi batinnya)
“Siapa tuanmu... wahai Khodam yang ada pada keris ini?”
Ardhana tidak menjawab. Malah ia memutar tubuhnya perlahan dan kembali masuk ke dalam keris. Lilin-lilin padam satu per satu. Keheningan menyelimuti ruangan.
Resi membuka mata. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
RESI WIGHNA LAKSA
(berbisik pelan)
“Dia menolak bicara… Menyembunyikan jati diri pemiliknya...”
Ia mengambil secarik kain merah, membungkus keris itu hati-hati dan meletakkannya dalam peti kayu kecil berlapis kulit binatang. Matanya menyipit curiga.
RESI WIGHNA LAKSA
“...Tapi aura ini... aku pernah merasakannya. Seperti milik anak muda itu... yang dulu mengejar Rinjana... Apakah Jasana..., dan Aku masih bingung kenapa Rinjana berusaha melindungi-nya sehingga ia ikut terlempar ke Alam Jin, Dia sudah aku anggap Anakku sendiri.”
Ia berdiri, berjalan pelan ke arah jendela kecil yang menghadap ke kegelapan hutan Hargagiri. Dalam diam, ia teringat kejadian dua bulan lalu—
Suara ringkik kuda, teriakan, denting senjata. Hutan bergemuruh. Rinjana melesat di atas kudanya wajahnya terlihat Panik dan Ketakutan, rambut Putih Keperakan berkibar. Di belakangnya, dua penunggang lain mengejar cepat Jasana dan Darsa. Jasana tidak sadar karena fokus mengejar Rinjana lalu ada satu momen yang membuat keris itu terjatuh ke semak-semak dan tak tersadari...
Resi Wighna kembali menutup matanya. Ia belum tahu siapa pemilik keris itu, yang ia pikirkan baru spekulasi, Namun jika benar miliknya maka di Dunia Jin ia masih hidup, dan memperbesar peluang juga Rinjana Masih hidup, tapi ia yakin—keris itu membawa takdir yang belum selesai. Dan kini ia berada di tangan seorang yang mungkin akan mengubah arah cerita.
Tidak banyak yang tahu... bahwa Parangjati, keris pusaka milik Jasana Mandira, bukan sekadar senjata keris pemberian biasa atau alat bertarung. Ia adalah kunci, untuk membantu jasana keluar dari Alam Jin.
Di dalam Parangjati, bersemayam Ardhana, khodam tua bijak berwujud pria tua dan berjanggut putih panjang dan jubah bercahaya. Ia bukan roh biasa, melainkan entitas penjaga yang dibentuk dari rasa sabar dan ketekunan panjang Jasana selama lima tahun latihan seorang diri di Kalabumi. Ardhana tidak hanya melayani, tapi menilai. Ia memiliki kehendaknya sendiri, mampu membedakan mana tangan yang tulus dan mana yang bermaksud mencuri takdir orang lain.
Ketika Jasana terlempar ke Alam Jin—dalam misi yang seharusnya menangkap seorang buronan, namun justru menjeratnya dalam cinta dan misteri—keris Parangjati tercecer, terjatuh di tengah kejaran. Tapi Ardhana tidak ikut masuk ke dalam Alam Jin. Ia tertinggal, karena itu dia tidak bisa memberikan petunjuk kepada Jasana untuk keluar dari Alam Jin, ia menunggu orang yang bisa dipercaya untuk memberi petunjuk itu.
Dan satu lagi letak rahasia besarnya:
Selama Ardhana masih hidup... Maka Jasana juga masih hidup.
Ardhana adalah cahaya samar yang tetap terhubung dengan jiwa Jasana, meski jasadnya terkunci dalam batas realitas yang berbeda. Namun, Ardhana tidak akan berbicara kepada sembarang orang. Hanya mereka yang pernah dipercaya Jasana, yang hatinya bersih dari niat buruk, yang akan diberi isyarat. Isyarat untuk menyelamatkan sang pemilik yang hilang.
Parangjati bukan untuk dimiliki—tapi untuk ditemukan oleh mereka yang membawa harapan.
Kini keris itu berada di tangan Resi Wighna Laksa, seorang pemimpin dari pihak yang dulu menjadi musuh Jasana. Dan Ardhana... memilih diam.
Tapi waktu akan berjalan. Dan pada saat yang tepat, ketika hati yang benar menyentuh gagangnya, maka Ardhana akan berbisik.
“Tuan kami belum mati. Ia menunggumu... Di balik kabut dunia yang tak kasat mata.”
Itulah janji seorang khodam.
Itulah petunjuk menuju jalan pulang.
Dan itulah awal dari penyelamatan sang pewaris cahaya, Jasana Mandira.
BUKU PENGETAHUAN KHODAM – DI PERPUSTAKAAN GUILD BAYU GENI]
Judul Bab: “Tingkatan dan Wujud Khodam: Dari Tanah Hingga Langit”
"Dalam pemahaman lama para ahli Khodam, diketahui bahwa keberadaan Khodam tidak hanya beragam dalam bentuk dan sifatnya, namun juga diklasifikasikan dalam lima tingkatan utama yang mencerminkan kekuatan spiritual, kedalaman ikatan batin, dan tingkat kesadaran mereka. Tiap tingkatan tidak selalu lebih baik dari yang lain, namun memiliki fungsi dan karakteristik tersendiri."
1. Lapisan Ardha-Bhumi (Khodam Alamiah)
Khodam pada tingkatan ini berbentuk makhluk alam biasa—seperti seekor banteng penjaga, burung hantu pelindung malam, atau bahkan tumbuhan sakral seperti pohon yang hanya mekar saat bulan mati.
Khodam ini sering terlahir dari tekad, persahabatan dan rasa cinta atau kerinduan pada manusia ataupun alam dan biasanya menyatu dengan benda-benda sederhana seperti pedang, tombak, tongkat kayu, batu akik, atau gelang akar dan lain-lain.
2. Lapisan Satwa-Mistara (Khodam Hewan Semi-Mistik)
Khodam pada tingkat ini memiliki wujud makhluk gaib yang menyerupai hewan, namun membawa elemen supranatural—misalnya seekor rajawali bersayap api, kelalawar pembaca pikiran, atau harimau perak yang berjalan dalam bayangan.
Biasanya terbentuk dari emosi mendalam yang menyala-nyala: semangat membara, dendam panjang, atau sumpah leluhur.
Mereka setia, namun cenderung liar dan harus dikenali jiwanya terlebih dahulu agar tidak memberontak.
3. Lapisan Roh-Pawaka (Khodam Roh Sosok Sadar)
Pada lapisan ini, Khodam telah mengambil wujud manusia atau roh manusiawi. Mereka bukan lagi makhluk buas, melainkan sosok yang bijak, seperti seorang tua berjanggut, prajurit tanpa wajah, atau seorang perempuan berselendang kabut.
Mereka adalah refleksi jiwa terdalam dari pemiliknya—biasanya terbentuk dari penderitaan, kesabaran, kegigihan, pertobatan, dan perjalanan spiritual panjang.
Khodam ini mampu bicara, memberi nasihat, bahkan menuntun pilihan sang pemilik.
4. Lapisan Lelangit-Rasa (Khodam Roh Kegelapan dan Cahaya Besar)
Khodam jenis ini tidak memiliki bentuk tetap—kadang berupa kabut, kadang berupa bayangan besar, kadang berupa cahaya menyilaukan.
Mereka lahir dari tabrakan emosi ekstrem: kesedihan mendalam yang tak pernah reda, cinta yang menolak mati, atau kesadaran tinggi akan tugas hidup.
Satu hal yang pasti: keberadaan mereka selalu memengaruhi realitas sekitar. Jika mereka menangis, dunia ikut berduka; jika mereka marah, langit pun retak.
5. Lapisan Dewa-Dwaya (Khodam Ilahi atau Semi-Divine)
Ini adalah puncak tertinggi: Khodam yang menyerupai entitas dewa, penjaga waktu, pengatur takdir, atau penggenggam rahasia alam.
Jarang sekali muncul, dan hanya terikat pada jiwa yang telah mengorbankan segalanya demi tujuan mulia.
Mereka membawa artefak langka—jam pasir yang mengatur waktu, kitab yang bisa menghapus nama dari takdir, atau pedang yang hanya bisa ditebaskan sekali seumur hidup.
Pemilik Khodam ini sering dianggap bukan lagi manusia biasa, tapi perantara langit dan bumi.
"Maka, sebelum engkau mendambakan Khodam yang besar dan tinggi, pahamilah dulu isi jiwamu. Karena Khodam tak datang karena kau memilihnya. Ia datang karena kau layak dicerminkan olehnya."
— Kitab Rasa dan Wujud, jilid ketiga, rak Timur perpustakaan Guild Bayu Geni
PERPUSTAKAAN GUILD BAYU GENI
Suasana senyap, hanya suara lembut gesekan kertas dan embusan angin dari jendela kayu yang setengah terbuka. Di pojok ruangan yang sunyi, Nandika duduk di bawah lampu minyak yang menggantung rendah, wajahnya serius dan tatapannya tajam memandangi buku tebal berjudul “Rasa dan Wujud – jilid ketiga”.
Matanya terpaku pada satu bagian:
"…Khodam ini mampu bicara, memberi nasihat, bahkan menuntun pilihan sang pemilik."
Alis Nandika perlahan mengernyit. Sosok Ardhana melintas sejenak dalam pikirannya—pria tua berjubah putih bersinar, dengan suara berat yang pernah ia diceritakan Jasana saat itu, saat Jasana saat sedang melatih kendali batin. Sosok itu bukanlah makhluk biasa. Ia bijak… bahkan lebih dari sekadar pelindung.
“Kalau Ardhana masih ada… kenapa tidak menuntun Jasana keluar dari Alam Jin?” gumamnya lirih, suara hampir tak terdengar.
Ia membalik halaman buku itu cepat, mencari—memburu—jawaban. Lalu terpaku pada satu paragraf kecil yang nyaris luput:
"Khodam jenis Roh-Pawaka, jika tuannya dipisahkan dari medianya (benda pengikat), tak akan mampu mengiringi tuannya menembus batas alam. Ia akan tetap berada di dunia, menjaga bentuknya didalam pengikatnya, dan menunggu pemiliknya kembali, atau… memilih manusia yang dianggap layak untuk membangkitkan kembali perjalanannya."
Deg.
Tangan Nandika mengepal. Satu hipotesis menggetarkan jiwanya:
“Parangjati…” bisiknya.
“Keris itu… mungkin… tidak ikut bersama Jasana.”
Bayangan samar menari di pikirannya menurut informasi terakhir dari Darsa—hutan lebat Hargagiri, misi pengejaran, jeritan kuda, dan pertempuran di balik kabut hutan, tapi ia ingat benar Jasana tak pernah berpisah dari kerisnya pada saat menjalankan misi… kecuali…
"Kalau benar keris itu terjatuh…"
Matanya menatap jauh keluar jendela. Suara dedaunan yang bergoyang seperti bisikan alam membenarkan dugaannya. Nandika menggigit bibir, lalu menutup buku itu dengan perlahan namun mantap.
“Kalau Khodamnya masih hidup… Jasana pasti juga masih hidup,” katanya tegas dalam hati.
“Aku harus menemukan Parangjati… sebelum semuanya terlambat.”
RUANGAN DIVISI RAKA LELANA, MARKAS GUILD BAYU GENI
Langkah cepat Nandika bergema di koridor batu menuju ruang utama Divisi Raka Lelana. Pintu kayu besar itu terbuka perlahan, mengungkap suasana ruang briefing yang kini tenang, diterangi cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela tinggi. Di salah satu sisi ruangan, duduklah Kirta Wangsaputra, sedang membersihkan busur panjangnya dengan kain lembut, panah-panahnya tersusun rapi di sisi meja.
"Nandika?" Kirta menoleh dengan mata sedikit terkejut melihat rekannya yang tiba-tiba muncul dengan napas agak terengah.
"Ada apa?"
"Aku tahu di mana petunjuk Jasana," kata Nandika tanpa basa-basi.
Kirta langsung meletakkan busurnya, perhatian penuh kini tertuju padanya.
"Parangjati. Keris milik Jasana. Aku yakin itu tertinggal di dunia ini saat dia terjebak di Alam Jin, itulah sebabnya mengapa Jasana sangat lama kembali ke dunia ini, Jika dia bersama Khodamnya, mungkin Ardhana akan menuntunya untuk menemukan Jalan Pulang ke Dunia ini, dan Jasana tidak akan selama itu terjebak di Alam Jin."
Mata Kirta membelalak, tubuhnya langsung menegak.
"Dan kalau keris itu tertinggal…"
"…Maka Khodamnya, Ardhana, juga tertinggal," lanjut Nandika mantap.
"Dan Khodam itu—jika masih hidup—mungkin bisa menunjukkan jalan untuk membawa Jasana kembali."
Kirta berdiri dari kursinya, tak berkata apa-apa untuk beberapa detik, namun wajah muramnya yang selama dua bulan terakhir tak pernah berubah, kini bersinar penuh harapan. Ia berjalan cepat ke rak buku di belakang, menarik gulungan peta besar dan membentangkannya di atas meja kayu jati.
"Ini peta Mandalagiri," katanya sambil menelusuri dengan jarinya.
"Saat misi terakhir Jasana, adalah pengejaran Rinjana, lokasi pertarungan terakhir terjadi di sekitar sini—" ia menunjuk titik gelap yang penuh lekukan dan garis hijau tebal, "—Hargagiri."
Nandika menatapnya dengan serius. "Apakah Kau Yakin Keris itu terjatuh disana?"
Kirta mengangguk. "Aku tidak bisa menebak. Hargagiri adalah wilayah paling selatan, hutan terpencil dan… bukan tempat biasa, dan yang lebih jelas adalah tempat Jasana dan Rinjana terlempar ke Dunia Jin Akibat Mantra yang arahkan ke Jasana, menurut penuturan Darsa yang saat itu memimpin Misi."
Ia lalu mengambil satu buku usang dari rak lain, membuka lembaran berdebu itu dan menemukan halaman bertuliskan:
“Hargagiri: Rimba Sunyi yang dijaga kabut dan bayangan. Dikatakan bahwa batas antara alam manusia dan alam lain menipis di sana. Barang siapa membawa roh atau kekuatan gaib ke dalamnya, maka batas itu bisa runtuh.”
Nandika dan Kirta saling berpandangan.
"Hutan itu bukan hanya tempat terakhir Jasana terlihat," bisik Kirta.
"Itu bisa jadi gerbang ke tempat di mana ia sekarang."
Nandika menutup buku itu dengan satu tapak kuat.
"Kita harus berangkat. kita bersiap Malam ini."
Kirta tersenyum kecil, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama.
"Untuk Jasana," katanya mantap.
"Dan untuk Parangjati."
RUANG DIVISI PANGGRAHITA AJI, MARKAS GUILD BAYU GENI]
Deru pukulan bergema di dalam ruang latihan Divisi Panggrahita Aji. Bagas Prayoga, tubuhnya dipenuhi keringat, berdiri di depan samsak karung pasir yang telah robek di beberapa bagian. Ia menghantamnya berkali-kali dengan telapak tangan kosong, tanpa mengenakan sarung tangan besi khas miliknya. Setiap pukulan memancarkan kekuatan mentah dan kemarahan yang tertahan—campuran emosi kehilangan dan rindu.
Suara langkah mendekat membuatnya menghentikan pukulan. Ia menoleh.
"Nandika? Kirta?" tanyanya dengan napas berat, tapi senyum hangat menyambut kedua sahabatnya.
"Kau sibuk?" tanya Kirta, menyandarkan diri di tiang kayu.
"Kalau untuk kalian, tidak pernah," jawab Bagas sambil mengambil handuk di bangku kayu dan menyeka wajahnya."Ada apa?"
"Ayo ikut keluar sebentar. Ada hal penting yang harus kita bicarakan," kata Nandika.
Ketiganya lalu menyusuri lorong batu panjang yang sepi, hanya ditemani suara angin tipis dan langkah kaki mereka. Saat mencapai lorong yang tenang, di bawah bayang-bayang lampu gantung tembaga, Nandika menoleh pada Bagas.
"Aku yakin… Jasana masih hidup," ucapnya.
Bagas mematung. Matanya membelalak."Apa kau bilang?"
"Khodam miliknya, Ardhana, adalah jenis Khodam Lapisan Roh-Pawaka," lanjut Nandika dengan nada tenang."Itu berarti Khodam itu hidup, sadar, dan mampu memberi petunjuk. Tapi mengapa sampai sekarang Jasana tidak kembali, Aku berspekulasi bahwa dia tidak ikut bersama Jasana."
Kirta menambahkan, "Kami yakin, media pengikat Khodamnya—Keris Parangjati—tertahan di dunia ini. Mungkin tertinggal di Hutan Hargagiri saat Jasana terlempar ke Alam Jin."
Bagas mengangguk pelan, matanya menunduk, seolah memutar kembali kenangan terakhir saat menyapa Jasana yang akan menjalankan misi bersama Darsa, Pratiwi, dan Kak Ratri Nindyanari.
"Dalam misi itu…" gumam Bagas, "…Jasana membawa dua senjata: pedang merah Lungguh Darma dan Parangjati. Aku ingat betul. Dan kau benar, Nandika. Ardhana bukan Khodam biasa. Dia sering berbicara… bahkan di tengah medan pertarungan, suaranya bisa menenangkan Jasana saat hampir kehilangan arah."
Ia terdiam sesaat, lalu menatap keduanya.
"Kalau Ardhana tidak bisa membantu Jasana kembali… mungkin benar. Parangjati tertinggal. Tanpa media itu, hubungan mereka terputus."
Nandika mengangguk. "Dan kalau kita bisa menemukannya… mungkin Ardhana bisa menunjukkan jalan."
Senyum perlahan terukir di wajah Bagas. Ia mengepalkan tangan, kini dengan semangat membara.
"Kau bisa mengandalkanku. Aku ikut."
Kirta tersenyum puas. "Bagus. Kita akan bersiap malam ini. Hutan Hargagiri… tempat segalanya dimulai."
MALAM HARI, ASRAMA GUILD BAYU GENI
Suasana sunyi menyelimuti markas Guild Bayu Geni. Lampu-lampu minyak telah diredupkan, hanya menyisakan semburat cahaya temaram di sepanjang lorong batu. Di dalam kamar asrama kecil yang dahulu ditempati Jasana bersama Kirta dan Bagas, suara ransel dibuka dan tali-tali dikencangkan terdengar pelan namun teratur.
Kirta merapikan anak-anak panah dan menyembunyikannya ke dalam kompartemen busur khusus. Di sisi lain, Bagas menggulung pakaian cadangan dan menyelipkan botol-botol air serta obat luka ke dalam kantung ransel. Nandika berdiri di dekat pintu, berjaga.
Mereka bekerja cepat, hati-hati agar tak menimbulkan suara berlebih. Semua dilakukan diam-diam—tanpa sepengetahuan Kapten, tanpa pemberitahuan resmi ke divisi.
Tiba-tiba Kirta menghentikan gerakannya. Matanya menatap ke arah sebuah benda yang bersandar di Meja Kecil dekat tempat tidur Jasana.
Sebuah pedang kayu patah… tampak usang, dengan serat-serat retak di sepanjang bilahnya.
Bagas pun ikut menoleh.
"Itu…"
Kirta berjalan mendekat dan mengangkat pedang kayu itu dengan perlahan. Ujungnya telah patah, dan permukaannya gelap terbakar seperti habis disambar petir halus. Namun pada gagangnya… masih tampak lilitan kain hitam yang dulu pernah digunakan Jasana untuk meditasi.
Nandika mendekat. "Pedang itu… Khodam Ardhana pertama kali terikat padanya, bukan?"
Bagas mengangguk pelan. "Iya. Dulu Jasana mengikat Khodamnya di pedang ini. pedang ini media pertama yang digunakan khodam sebagai pengikat, saat di Kalabumi, Pedang ini menemaninya lima tahun dan memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan Khodam Miliknya. Dia memberinya nama 'Ardhana'… yang berarti 'yang bersabar'."
Kirta menambahkan, "Sampai akhirnya Kapten Mahadewa Rakunti menasihatinya… bahwa Khodam sekuat Ardhana tak bisa terus-terusan terikat pada media lemah seperti ini. Lambat laun… pedang ini bisa terbakar oleh energi Khodam itu sendiri."
Nandika menyentuh gagang pedang dengan lembut, seolah bisa merasakan sisa napas spiritual yang terkubur di dalamnya.
"Walaupun Khodam itu sudah dipindahkan ke Keris Parangjati… mungkin sebagian jejak Ardhana masih tertinggal di sini."
Bagas menghela napas dalam, lalu dengan mantap memasukkan pedang kayu itu ke dalam ranselnya.
"Kalau benar jejak spiritual itu masih ada… mungkin bisa menuntun kita ke lokasi Keris yang tertinggal."
Kirta menambahkan, "Kita harus bertindak cepat. Tanpa izin, kita takkan bisa gunakan jalur utama Guild. Tapi aku tahu jalur keluar di sisi barat markas. Lorong lama yang jarang dipakai—terhubung ke sungai kecil."
Nandika tersenyum tipis. "Baik. Malam ini… kita pergi sebagai sahabat, bukan prajurit Guild. Demi Jasana."
Ketiganya saling berpandangan. Tak ada sumpah, tak ada janji muluk. Hanya ikatan yang tak kasat mata—persahabatan, dan keyakinan bahwa mereka belum kehilangan Jasana.
PENYUSUPAN MALAM HARI, GUILD BAYU GENI
Langit di atas Tirabwana malam itu kelam. Bulan hanya sepotong sabit tipis yang mengintip di antara awan, memberi penerangan seadanya. Di dalam kompleks Guild Bayu Geni, seluruh kegiatan resmi telah berhenti sejak lonceng malam dibunyikan. Hanya penjaga malam dan obor-obor kecil yang tetap berjaga di titik-titik penting.
Namun di balik sunyi itu, tiga sosok bergerak dalam diam—Nandika, Kirta, dan Bagas—membalut diri dengan jubah gelap dan perlengkapan ringan. Ransel mereka padat dengan perbekalan, dan masing-masing telah menyembunyikan senjata utama di balik pakaian mereka.
Mereka menyusuri lorong-lorong sunyi, berkelok menghindari ruang utama dan titik pantau para penjaga. Langkah kaki mereka terlatih, pelan namun pasti. Kirta memimpin, karena dialah yang mengetahui jalur alternatif: sebuah lorong tua di sisi barat markas yang dulunya digunakan saat masa-masa perang dahulu.
Di tengah perjalanan, mereka sempat berhenti di balik tiang batu besar. Dua penjaga dari Divisi Panggrahita Aji melintas membawa obor. Mereka menunggu, menahan napas, lalu kembali bergerak setelah suara langkah menjauh.
Begitu sampai di lorong barat, Kirta menyingkap sebuah lempeng batu yang tampak seperti dinding mati. Di baliknya, lorong sempit berdebu tampak menganga. Arah lorong itu menuju saluran bawah tanah tua yang terhubung ke sungai kecil di luar tembok Guild.
“Lewat sini. Tapi setelah ini, tak ada jalan kembali,” ucap Kirta pelan namun tegas.
Bagas melirik ke arah markas yang mereka tinggalkan. “Tak masalah. Mereka telah memutuskan untuk menutup mata. Sekarang giliran kita membuka jalan.”
Nandika mengangguk. “Kita bukan menentang perintah. Kita hanya menolak untuk diam ketika sahabat kita hilang.”
Mereka menyusuri lorong itu, gelap, sempit, dan penuh aroma tanah lembap. Setelah berjalan sekitar dua ratus langkah, lorong itu terbuka ke mulut goa kecil di luar tembok. Suara aliran sungai terdengar, dan udara malam segar menerpa wajah mereka.
Tanpa menunggu, mereka mulai menyusuri pinggiran hutan luar kota, bergerak ke arah selatan Kota.
GUILD BAYU GENI, RUANG RAPAT TERTUTUP
Di tempat lain, Adipati Maheswara duduk dengan tangan mengatup di ruang rapat utama. Di hadapannya terpampang daftar misi-misi resmi yang kini diperintahkan untuk difokuskan oleh seluruh Divisi. Di atasnya tercetak perintahnya sendiri:
“Kasus Jasana Mandira dinyatakan ditutup. Fokuskan kekuatan untuk menjaga kestabilan wilayah Mandalagiri.”
Wajahnya tegas, namun sorot matanya menyiratkan kekecewaan. Di sisi ruang, Kapten Divisi duduk dengan sikap formal. Pradipa Karna, kapten baru Divisi Raka Lelana, hanya diam. Ia menerima amanat baru, namun tak menyembunyikan bahwa sebagian besar anggota yang loyal kepada pendahulunya, Lodra Wahana, telah pergi.
Empat orang pengunduran diri resmi.
Satu hilang dalam misi.
Suara-suara tidak puas mulai terdengar.
Namun lebih dari itu, yang menyakitkan bagi sebagian anggota—terutama Nandika, Kirta, dan Bagas—adalah sikap Kerajaan Mandalagiri. Tak satu pun petinggi istana turun tangan dalam pencarian Jasana. Tak satu pun surat resmi ditujukan untuk menyelidiki lebih lanjut. Seolah seorang prajurit Guild tak lebih dari bayangan di medan tugas, Padahal saat itu Jasana sedang menjalankan misi untuk menangkap Wakil Kapten Bayawira Selatan yang belakangan hari itu selalu membuat kekacauan di Wilayah Mandalagiri Selatan.
“Kami berjuang untuk melindungi mereka,” kata Kirta malam sebelumnya, “tapi saat kami butuh, kami ditinggalkan.”
MALAM PENYUSUPAN DAN PENYEWAAN KUDA
Malam telah dalam ketika Nandika, Kirta, dan Bagas meninggalkan kawasan Guild Bayu Geni lewat lorong bawah tanah yang hanya dikenal segelintir anggota senior. Nafas mereka sedikit tersengal oleh udara lembap lorong, tapi langkah mereka tetap cepat dan senyap. Begitu keluar di balik semak di luar tembok barat kota, mereka langsung menutupi wajah dengan kerudung kain gelap.
“Kita harus melewati jalur barat kota. Ada satu tempat penyewaan kuda milik orang tua teman lamaku. Kalau beruntung, dia tidak akan banyak tanya,” kata Nandika pelan, matanya awas.
Kirta menimpali, “Dan kita harus pastikan tidak membuat penjaga kota curiga. Aturan baru dari Adipati Maheswara benar-benar ketat. Aku dengar, bahkan orang yang hanya terlambat kembali dari luar kota sudah kena skorsing.”
Bagas mengangguk. “Kita bukan orang sembarangan. Jangan beri mereka alasan untuk menahan kita.”
KOTA TIRABWANA, MALAM HARI
Mereka menyusuri jalanan samping kota, menghindari pusat kota yang masih dijaga ketat walaupun malam. Suara pasar malam kecil masih terdengar samar, namun mereka tetap berada di jalur gelap, melewati gang sempit dan kebun warga.
Penyewaan kuda itu terletak di bagian barat Tirabwana, dekat dengan perkebunan kecil. Bangunan tua dengan lampu minyak tergantung di depan pintunya, papan kayu bertuliskan “Langgang Jaya – Kuda Sewaan dan Perjalanan Jauh.”
“Tunggu di sini,” kata Nandika. Ia melangkah masuk, menyisakan Kirta dan Bagas di balik bayang-bayang dinding batu.
Di dalam, seorang pria tua berjanggut putih tengah mengisi mangkuk pakan untuk kudanya. Ketika melihat Nandika, ia memicingkan mata.
“Nandika? Lama tidak kelihatan. Sudah jadi petualang hebat rupanya. Malam Larut begini datang, ada apa?”
Nandika menunduk sopan. “Pak Somah, saya butuh tiga ekor kuda. untuk Besok pagi-pagi sekali.”
“Besok pagi? Ke mana kau pergi?” tanyanya curiga.
Nandika tersenyum kecil. “Hanya perjalanan latihan ke arah selatan, atas perintah Divisi. Tidak terlalu jauh. Kami ingin berangkat subuh.”
Ia menyodorkan beberapa koin emas, cukup untuk menyewa tiga kuda selama lima hari.
Pak Somah menatapnya beberapa saat, lalu mengangguk perlahan. “Baiklah. Tapi kau tahu aturan sekarang cukup ketat untuk anggota guild yang akan keluar dari Kota. Kalau terjadi apa-apa, aku tak bisa bantu.”
“Saya mengerti, Pak. Terima kasih banyak.”
SUBUH HARI BERIKUTNYA
Saat langit hanya sebatas cahaya keperakan di ufuk timur, mereka bertiga sudah berada di belakang kandang kuda. Kuda-kuda kuat berwarna hitam dan coklat telah disiapkan. Makanan dan kantung air diikat rapi di pelana. Semua dilakukan tanpa suara.
Kirta memeriksa perlengkapan: peta, senjata ringan, ramuan darurat, dan tentunya pedang kayu usang Jasana—yang kini dibalut kain hitam dan disimpan aman oleh Bagas.
Begitu langit mulai memucat, mereka berangkat menyusuri jalan kecil menuju luar Tirabwana, melewati pagar selatan yang tidak dijaga ketat. Kuda mereka melaju pelan di awal, baru setelah melewati batas mereka mempercepat langkah.
Perjalanan panjang dimulai. Tujuan: Hutan Hargagiri. Estimasi: 4 hari 3 malam.
Mereka sepakat hanya akan beristirahat saat senja tiba, membangun kemah sederhana, dan melanjutkan esok paginya. Waktu adalah kunci, namun kehati-hatian adalah segalanya.
Satu kesalahan…
Satu mata yang mengintip di balik kabut…
Satu informasi bocor saja…
Mereka bisa dicap pembangkang, atau lebih parah: diusir dari Guild.
Namun tekad mereka bulat:
Mencari Keris Parangjati.
Menyelamatkan sahabat mereka.
Menjawab bisikan khodam yang belum selesai.
HARI PERTAMA PERJALANAN MENUJU HUTAN HARGAGIRI
Langit pagi begitu bersih saat mereka melintasi jalanan selatan Tirabwana. Kabut tipis masih menyelimuti sawah dan kebun penduduk, tapi kuda-kuda mereka melaju mantap, derapnya menggema lembut di antara jalur berbatu dan tanah padat.
ladang dan area rerumputan serta rumah-rumah kecil, mereka lewati tanpa berhenti. Mereka menundukkan wajah, menghindari percakapan, dan tetap pada rencana: hanya berhenti saat senja. Mereka melewati Desa Rawasinga di tengah hari, menyusuri jalan utama yang dikelilingi ladang luas dan perbukitan kecil. Di kejauhan, tampak Balai Desa Rawasinga, dan bahkan sekelebat sosok Pak Bramasuta berdiri di serambi, namun mereka tidak berani menyapa—takut identitas mereka terungkap.
“Kalau kita berhenti di sini, pasti ketahuan. Rawasinga terlalu dekat dengan Guild,” bisik Kirta.
“Benar. Kita lanjut. Kuda-kuda ini masih kuat... setidaknya sampai senja,” sahut Bagas, walau terlihat keringat membasahi lehernya.
Nandika hanya mengangguk, tatapannya lurus ke depan. Dalam benaknya, hanya ada satu tujuan: Hutan Hargagiri. Di sana mungkin terjawab apa yang sebenarnya terjadi pada Jasana. Di sana mungkin ada harapan.
SENJA DI HUTAN GANTARAWATI
Ketika mentari mulai tenggelam di balik puncak pohon-pohon tinggi, dan angin mulai membawa aroma lembab dari dedaunan tua, mereka tiba di tepian Hutan Gantarawati. Deru nafas kuda semakin berat. Bulu lehernya basah oleh keringat, dan langkahnya mulai goyah.
“Sudah cukup. Kita berhenti di sini malam ini,” kata Nandika, turun dari kudanya.
Bagas dan Kirta mengangguk. Mereka menuntun kuda ke bawah pohon besar dan mulai menyiapkan dua tenda sederhana dari terpal dan tiang lipat. Satu khusus untuk Nandika, satunya lagi untuk Kirta dan Bagas. Tempat mereka berada adalah cekungan tanah yang cukup teduh, terlindung dari angin malam, namun tidak terlalu jauh dari jalur utama menuju Hargagiri.
Begitu tenda berdiri, mereka menyalakan api unggun kecil di tengah. Bagas mengeluarkan perbekalan: roti lapis rempah, dendeng daging asin, dan air dalam kantung kulit. Ini adalah makanan sungguhan pertama sejak mereka berangkat pagi tadi.
“Akhirnya bisa duduk.” Kirta menghempaskan tubuh di tanah, menggigit roti rempah.
“Kalau kita terus seperti ini, mungkin bisa sampai Hargagiri sebelum malam keempat,” kata Bagas sambil mengunyah, “tapi kuda kita bisa tumbang kalau dipaksa.”
Nandika memandang ke arah hutan yang gelap perlahan. Suara serangga malam mulai terdengar.
“Besok kita akan masuki wilayah liar. Hargagiri tidak seperti hutan biasa... Kau ingat kata-kata Pradipa Karna? 'Tempat di mana daun bisa bicara dan jejak bisa hilang sebelum meninggalkan tanah.’”
Bagas menarik napas dalam. Ia mengeluarkan pedang kayu usang milik Jasana, menatapnya dalam cahaya api unggun. “Kalau benar ada jejak Ardhana di sini... semoga pedang ini bisa bantu kita menemukan Keris Parangjati.”
Kirta mendekat, duduk di sebelahnya. “Aku percaya. Kalau Jasana bisa membentuk ikatan sekuat itu pada pedang kayu... pasti masih ada sesuatu yang tertinggal.”
Mereka bertiga terdiam sesaat, memandangi api yang menari dalam sunyi. Cahaya oranye berpendar di wajah mereka yang lelah tapi teguh. Malam ini mereka bermalam dalam keheningan Hutan Gantarawati, dan besok—perjalanan akan memasuki wilayah tak bertuan yang penuh misteri.
Dan di kejauhan, di balik pepohonan gelap...
...angin malam membawa bisikan halus.
Entah dari dedaunan…
Atau sesuatu yang sedang menunggu mereka di dalam Hargagiri.