Bab 25 - Pangeran Mahkota Maheswara

HARI KEDUA PERJALANAN MENUJU HARGAGIRI

Fajar mulai mengintip di balik celah-celah dedaunan tinggi Hutan Gantarawati. Cahaya keemasan menari di atas kabut tipis yang menggantung di udara. Tiga sosok sudah bersiap di atas kuda, melanjutkan perjalanan setelah malam yang tenang namun berat akan pikiran.

“Ayo. Hari ini kita ke Kalabumi,” ujar Kirta sambil menarik tali kekang kudanya.

Mereka menyusuri sisa pinggiran hutan, jalan tanah yang mulai menanjak dan menurun, hingga akhirnya tiba di sebuah pertigaan. Di sisi kiri jalan tampak sebuah papan kayu tua bertuliskan:

Ke Selatan – Desa Kalabumi

Ke Timur – Wilayah Mandalagiri Timur

Tanpa ragu, mereka memilih jalur ke selatan. Jalan mulai menurun, lebih terbuka, dikelilingi ladang besi dan arang, pertanda mereka hampir tiba.

Desa Kalabumi menyambut mereka tepat saat matahari mencapai puncaknya. Suasana desa dipenuhi suara denting logam, asap tungku, dan aroma bara panas—kampung para pandai besi. Ini adalah kampung halaman Jasana.

Nandika menatap sekeliling, lalu berkata, “Dia pernah bilang… rumahnya itu bengkel. Cari nama 'Karmawijaya’.”

Tak lama, mereka melihat sebuah papan kayu besar di depan sebuah bangunan dari batu dan kayu berat, dindingnya menghitam oleh asap dan jelaga.

BENGKEL KARMAWIJAYA – Tempa Baja Warisan Leluhur

Suara denting keras terdengar dari dalam. Seorang pria kekar dengan tubuh penuh keringat dan wajah keras tengah memukul lempengan baja membara. Karmawijaya, ayah Jasana.

Saat melihat ketiganya turun dari kuda dan mengenakan lambang kecil Guild Bayu Geni di sabuk mereka, wajah Karmawijaya langsung mengeras.

“Kalian dari Guild Bayu Geni?” suaranya berat dan penuh tekanan. “Sudah cukup kiriman surat-surat palsu dan janji kosong dari atas sana! Kalian pikir kalian bisa datang ke rumah ini dan—”

“Tunggu, Pak Karma—” Bagas maju setengah langkah. “Kami datang bukan atas nama misi resmi. Kami… melanggar peraturan Guild demi mencari Jasana.”

“Apa?”

Kirta menambahkan cepat, “Kami tahu ini berisiko. Kalau ketahuan, kami bisa dikeluarkan dari Guild. Tapi… kami tidak bisa diam melihat sahabat kami hilang begitu saja.”

Karmawijaya terdiam. Tangannya yang menggenggam palu perlahan melemah. Wajah kerasnya retak. Tatapannya menunduk.

“…Maafkan aku. Aku hanya… aku kehilangan anak lelaki satu-satunya…” bisiknya lirih.

Saat itulah, muncul seorang wanita dari dalam rumah. Rambutnya tersanggul rapi, wajahnya lembut namun terlihat jelas bekas lelah dari banyak malam tanpa tidur. Wirasih, ibu Jasana.

Begitu melihat ketiganya, ia menutup mulutnya sejenak, menahan haru. “Kalian… kalian sahabatnya, ya?”

Mereka mengangguk. Wirasih tersenyum kecil. “Kalau begitu, jangan berdiri di luar. Masuklah dulu. Kalian pasti lelah. Mari makan siang bersama.”

DI DALAM RUMAH JASANA

Meja kayu panjang tersaji dengan sederhana: nasi hangat, sambal, sayur rebus, dan ayam panggang. Di tengah-tengah kehangatan itu, mereka mulai menjelaskan segalanya.

Bagas berbicara pelan namun mantap. “Kami percaya... petunjuk tentang Jasana ada di Hutan Hargagiri. Tepatnya… pada Keris Parangjati.”

“Keris itu... tempat bersemayam Khodam-nya Jasana, ‘Ardhana’. Kami menduga, keris itu terjatuh di sana saat misi pengejaran buronan bernama Rinjana Nirnawa.”

Nandika menambahkan, “Kalau Khodam Ardhana tertinggal di dunia nyata, maka itulah sebabnya Jasana belum kembali dari Alam Jin. Tapi kalau keris itu ditemukan... Khodam-nya bisa membantu kami menyelamatkan Jasana.”

Bagas kemudian membuka gulungan kain dari dalam tasnya, memperlihatkan pedang kayu usang.

“Ini pedang kayunya. Jejak spiritualnya masih ada, walau tipis… Tapi itu tanda bahwa dia belum tiada. Kalau sudah mati, khodamnya akan ikut lenyap.”

Karmawijaya menatap pedang itu lama sekali. Jemarinya yang kasar menyentuh kayu tersebut dengan hati-hati. Sementara Wirasih menutup matanya, menahan haru.

“…Jasana masih hidup,” gumam Karmawijaya akhirnya. “Kalian… kalian sahabat sejatinya. Terima kasih…”

Wirasih tersenyum lembut. “Kalau begitu, bawa bekal makan malam dari sini. Aku akan siapkan yang terbaik. Demi anakku.”

Sambil mereka makan, senja perlahan menyusup ke balik jendela rumah sederhana itu. Dan jauh di dalam hati mereka, tekad untuk menemukan Jasana semakin membara.

GUILD BAYU GENI, MARKAS PUSAT

Pagi Hari – Ruang Divisi Raka Lelana

Di dalam ruang utama Divisi Raka Lelana, cahaya mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca patri, memantulkan bayangan naga bersayap yang terukir megah di dinding batu. Di balik meja kayu panjang yang penuh dengan peta dan catatan ekspedisi, Kapten Pradipa Karna berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Matanya menatap tajam ke arah pintu yang tetap sunyi.

Sudah dua hari berlalu sejak Kirta dan Nandika terakhir kali terlihat di ruang latihan maupun rapat kecil divisi. Tak ada catatan resmi mereka mengambil misi lintas divisi. Dan tak satu pun anak buahnya mengabari keberadaan mereka.

“Ini tidak seperti mereka,” gumam Pradipa perlahan. “Dua petualang muda yang biasanya paling tertib… menghilang begitu saja.”

Ia melangkah mendekati dinding belakang tempat peta besar wilayah Mandalagiri terpasang. Jarinya menyentuh titik desa Kalabumi dan Hujanabu, sambil bergumam lirih, “Jasana…” Nama itu mengambang di benaknya.

Di Tempat Lain – Divisi Panggrahita Aji, Sisi Timur Guild

Di ruang meditasi dan latihan rohani Divisi Panggrahita Aji, suasana lebih tenang dan suram. Cahaya lilin menyala di setiap sudut. Di balik ruang pribadinya, Kapten Raksadana tengah duduk dengan kaki bersila, namun tatapannya mengarah ke jendela kecil di dinding.

Ia mengingat jelas kejadian dua malam lalu. Bagas, Kirta, dan Nandika keluar diam-diam melewati gerbang belakang. Bayangan mereka samar dalam gelap, tapi ia kenali gerak langkah dan cara mereka menyelinap.

“Mereka pasti mencari Jasana,” desah Raksadana lirih, “Anak-anak keras kepala…”

Kapten Raksadana sebenarnya sudah memaklumi. Ia tahu bahwa persahabatan mereka bukan ikatan biasa. Dan ia tahu pula, peraturan ketat baru yang diberlakukan oleh Adipati Maheswara tidak cocok dengan semangat petualangan Guild Bayu Geni yang dahulu ia kenal.

“Jam malam bagi seluruh penghuni asrama.”

“Larangan keluar kota kecuali untuk misi resmi.”

“Minimal tiga misi per bulan untuk menghindari skorsing.”

“Kasus Jasana dinyatakan ditutup oleh pemimpin. Fokus ke semester dua dan jangan larut dalam kesedihan.”

Semua itu… terlalu sempit bagi jiwa-jiwa muda yang lahir untuk menjelajah dan melawan takdir.

“Adipati… kau bukan seperti ini dulunya,” bisik Raksadana pelan. Ia sudah pernah menasihati Maheswara secara langsung. Tapi kini, sang pemimpin guild itu bersikeras.

Ada perubahan dalam diri Maheswara—entah tekanan dari pihak istana, ancaman dari luar, atau bayang-bayang politik yang membuatnya lebih dingin dan kaku dari sebelumnya.

“Jika hukum tidak lagi memahami nurani, kadang orang-orang yang benar dianggap pelanggar,” gumam Raksadana.

Ia menarik napas panjang, lalu berdiri. Dalam hatinya, ia tidak akan melaporkan Bagas dan yang lain. Ia memilih untuk mempercayai mereka. Bahwa apa yang mereka lakukan, walau melanggar aturan, adalah demi hal yang lebih besar.

Scene menutup dengan Pradipa Karna keluar dari ruangannya, menyapa penjaga lorong.

“Jika kau melihat Kirta atau Nandika... atau Bagas, beri tahu aku segera.”

Penjaga itu mengangguk. Pradipa menatap langit di luar jendela, seakan tahu bahwa badai baru akan datang… dan kebenaran di balik hilangnya Jasana belumlah berakhir.

RUANG UTAMA ADIPATI MAHESWARA, GUILD BAYU GENI (SENJA HARI)

Langit senja mulai memerah di luar jendela kaca tinggi berbentuk lengkung di ruangan tertinggi Guild Bayu Geni. Dinding ruangan dihiasi lambang kerajaan dan lukisan medan perang. Meja panjang dari kayu hitam mengisi tengah ruangan, dikelilingi kursi bersandaran tinggi. Di ujung ruangan, berdiri seorang pria dengan jubah biru tua bersulam emas, punggungnya menghadap pintu, tangan di belakang punggung—Adipati Maheswara.

Ketukan pintu terdengar tiga kali.

"Masuk," suara Maheswara berat dan tegas.

Kapten Pradipa Karna melangkah masuk. Ia memberi hormat dengan mengepalkan tangan di dada, lalu melangkah maju dua langkah.

"Yang Mulia Adipati," ujarnya, suaranya tenang namun dalam, "Sudah dua hari berlalu sejak terakhir kali aku melihat Nandika Sutasmi dan Kirta Wangsaputra, anggota langsung dari divisi Raka Lelana. Tidak ada laporan dari administrasi bahwa mereka mengambil misi lintas divisi, maupun cuti resmi. Aku juga sudah periksa ke bagian logistik dan pelatih lapangan. Tidak ada jejak."

Maheswara berbalik perlahan, menatap Pradipa. Tak ada senyum, hanya sorot mata yang dingin—bukan sorot yang biasa Pradipa kenal dulu saat sang Adipati baru memimpin dengan wibawa penuh ketenangan.

"Dan penjaga malam?" tanya Maheswara.

"Mereka tidak melihat tanda-tanda pelarian. Tapi jika mereka keluar... artinya mereka telah melakukannya secara sangat cerdik. Itu membuat saya bertanya-tanya… siapa yang mengajari mereka cara seperti itu," ujar Pradipa, nada suaranya sedikit menyindir.

Maheswara melangkah mendekati meja, duduk dengan perlahan.

"Kirta dan Nandika," ucapnya berat, "Keduanya bukan anak bodoh. Tapi kedisiplinan perlu ditanamkan. Aturan bukan dibuat untuk dilanggar seenaknya."

Ia menatap Pradipa tajam.

"Kirim orang-orangmu. Telusuri seluruh sudut kota. Datangi seluruh penyewaan kuda di Tirabwana dan sudut-sudut kota. Interogasi pemilik, cari tahu siapa yang menyewa kuda dalam dua hari terakhir. Aku ingin laporan lengkap besok pagi. Jika mereka berada di luar kota, aku ingin tahu arah mereka."

Pradipa mengangguk dalam-dalam. "Baik tuan, Saya akan kerahkan anggota raka lelana."

Maheswara memandang jauh ke luar jendela, ke arah istana di kejauhan.

"Setelah kejatuhan faksi Pangeran Aryasatya dalam Perang Panundaan… sang Raja memutuskan bahwa hanya satu faksi yang boleh hidup berdampingan dengan mahkota. Guild Bayu Geni. Dan aku, ditugaskan untuk membersihkannya dari potensi pemberontakan."

Nada suaranya berubah tajam.

"Tidak ada lagi toleransi untuk kenakalan, pembangkangan, atau misi pribadi tanpa ijin. Mereka harus taat dalam aturan."

Ia berdiri.

"Karena pada akhirnya, orang-orang seperti mereka… yang bukan lahir dari darah ksatria… hanya akan dihargai jika mereka tunduk pada tatanan."

Pradipa menyeringai kecil, sorot matanya mengeras. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyukai arah baru ini. Ia memang tidak menyukai semangat bebas dan sikap keras kepala seperti Kirta dan Nandika. Baginya, disiplin dan taat adalah bentuk kemuliaan tertinggi.

"Perintah akan dijalankan, Yang Mulia," katanya sambil menunduk hormat.

Maheswara memandang lurus ke arahnya, lalu membalikkan badan kembali menghadap jendela.

"Satu per satu yang membangkang akan dihukum, ini demi kemajuan guild bayu geni. Bahkan jika itu berarti… aku harus menghancurkan ikatan lama demi membangun kejayaan baru."

ISTANA TIRABWANA, 2 BULAN SETELAH KEKALAHAN DI PANUNDAAN

Senja menyelimuti atap-atap emas Istana Tirabwana. Cahaya matahari terakhir menyentuh menara-menara marmer, membuatnya tampak seperti menyala dalam bara bisu. Namun di dalam, suasana istana tak seterang bias cahaya itu. Sunyi. Tegang. Seolah seluruh jantung Mandalagiri sedang menahan napas panjang.

Di Balairung Utama, Sri Maharaja Darmawijaya, penguasa Mandalagiri yang agung dan disegani, duduk di singgasananya. Raut wajahnya keras dan dingin, seperti batu karang yang dihantam badai. Sejak Faksi Pangeran Aryasatya dikalahkan oleh Kelompok Bayawira Barat dalam Perang Panundaan, amarahnya tidak pernah padam.

Ia memukulkan tongkat kerajaan ke lantai marmer, “Aku telah mempercayakan 500 pasukan elit padanya. Aku berikan panji mahkota, lambang kebesaran darahku, dan dia… gagal, padahal hanya melawan sekelompok orang buangan, bagaiman jika yang dia lawan adalah kerajaan lain.”

Sejumlah penasihat dan bangsawan yang hadir hanya menunduk dalam diam. Tak ada yang berani membuka suara.

“Anak kandungku sendiri mempermalukan tahta ini di hadapan rakyat Mandalagiri. Dia lebih memilih strategi naif dan masuk tipuan musuh, hingga pasukan kita lari kehilangan arah, di pesisir Panundaan. Apa yang harus kukatakan kepada leluhurku di alam baka?”

Sebulan yang lalu, berita lebih memilukan datang. Dalam sunyi malam, Pangeran Aryasatya, bersama istri dan anak semata wayangnya, menghilang dari istana. Tidak ada surat perpisahan. Tidak ada jejak.

Menurut penjaga gerbang timur, mereka pergi dengan menyamar, naik kereta biasa. Sri Maharaja memerintahkan pencarian diam-diam, namun hingga hari ini—tak satu pun berhasil menemukan keberadaan mereka.

Di sisi lain istana, dalam ruangan pribadi yang beraroma melati dan dupa hutan, Permaisuri Shandrakirana terduduk lemas di depan cermin besar. Matanya bengkak. Pelayan-pelayan setia berdiri dalam diam, tak tahu harus berbuat apa. Tiap malam, sang Permaisuri mengulang nama putranya sambil berdoa. Kadang-kadang ia masih percaya, suatu hari Aryasatya akan kembali, berdiri di hadapannya dengan senyum penuh cahaya seperti dahulu.

Namun istana tidak menunggu kesedihan.

Tiga pekan lalu, Sri Maharaja mencoba menunjuk **putra keduanya—Pangeran Mahadarsa—**untuk menggantikan posisi Mahkota. Tapi Mahadarsa menolak dengan senyum santai dan suara enteng.

“Ayah, aku tak dilahirkan untuk memegang pedang atau mahkota. Aku lebih suka menimbang harga barang antik dan menulis surat dagang. Biarkan Maheswara saja yang memimpin. Dia lebih militeris. Lebih… disiplin.”

Sri Maharaja tidak senang, namun ia tahu Mahadarsa tak bisa dipaksa.

Sekarang Mahadarsa lebih sering terlihat di Distrik Pusat Tirabwana, tinggal di rumah mewah miliknya bersama keluarga. Ia menjalankan pusat perdagangan artefak, toko senjata elit, dan bahkan memiliki kawasan hiburan elit yang menjadi tempat pertemuan para bangsawan dan pedagang asing. Dengan senyum mudah dan kata-kata halus, Mahadarsa merajut kekuasaan dalam bentuk lain—kekuasaan ekonomi dan sosial.

Kembali di istana, dalam ruang pertemuan rahasia, Sri Maharaja bertatap muka dengan dua penasihat tertua dan Kapten Pengawal Istana.

“Jika Mahadarsa tidak mau dan Aryasatya telah lari,” kata Raja pelan namun tegas, “maka Maheswara-lah harapan terakhirku. Dia memang bukan anak dari Permaisuri, tapi darahku mengalir dalam dirinya. Dia tangguh, setia, dan berani membuat aturan. Ia telah memimpin Guild Bayu Geni dengan tangan besi. Itu yang kubutuhkan… seorang penjaga warisan.”

Raja berdiri dari singgasananya. Ia melangkah ke balkon tinggi yang menghadap kota Tirabwana, pandangannya jauh dan sunyi.

“Mahkota harus tetap tegak. Jika bukan dengan cinta, maka dengan ketakutan.”

RUANGAN PRIBADI ADIPATI MAHESWARA, GUILD BAYU GENI – MALAM HARI

Malam itu langit di atas Tirabwana kelabu. Di dalam ruang pribadi Adipati Maheswara, yang berada di lantai atas markas Guild Bayu Geni, nyala api dari perapian memantulkan bayangan panjang di dinding kayu gelap. Tirai jendela tertutup rapat, dan suara-suara dari luar telah lenyap—disaring oleh penjagaan ekstra yang dipasang sejak dua hari terakhir.

Di hadapan Maheswara berdiri dua utusan kerajaan berpakaian formal dengan lambang Kerajaan Mandalagiri (Naga Tirta). Seorang di antaranya, pria tua berwajah tirus dan tajam, membuka percakapan dengan suara rendah namun tegas.

“Sri Maharaja telah membuat keputusan penting. Dengan mundurnya Aryasatya dan penolakan Mahadarsa… Sang Raja akan menilai kemampuanmu, Adipati Maheswara, untuk mengemban jabatan Pangeran Mahkota.”

Ruangan hening. Suara kayu terbakar di perapian seperti merayap di sela-sela diam itu.

Raut wajah Maheswara yang biasanya ceria dan bersahabat, kini perlahan berubah. Tatapannya mengeras. Punggungnya tegak. Dan di sudut matanya—cahaya ambisi menyala seperti bara disulut angin.

“Akhirnya,” gumamnya lirih, lalu lebih lantang, “akhirnya aku diberi ruang untuk membuktikan bahwa garis darah bukan satu-satunya yang layak memegang mahkota.”

Ia berdiri dan melangkah menuju jendela, menatap ke arah kota yang berselimut malam.

“Guild Bayu Geni akan menjadi tombak kebanggaan kerajaan. Di bawah aturanku, para petarungnya akan menjadi simbol kedisiplinan dan ketertiban. Mereka yang berhasil, akan dihargai—bahkan jika mereka bukan dari kaum bangsawan.”

Ia berbalik, wajahnya keras dan dingin.

“Tapi yang melanggar… yang menganggap dirinya bisa bebas dari aturan...” suaranya merendah penuh tekanan, “…mereka adalah benih-benih pembangkangan. Dan satu benih bisa meracuni seluruh ladang.”

Salah satu utusan, yang sejak tadi menatap Maheswara dengan penuh pertimbangan, akhirnya angkat bicara.

“Kami diminta membawa jawabanmu malam ini. Apakah kau siap menerima penilaian akhir sebagai calon resmi pewaris tahta?”

Maheswara mendekat. Dengan suara mantap, ia menjawab:

“Sampaikan pada Ayahanda Maharaja—aku tidak hanya siap. Aku telah menyiapkan medan tempurnya. Guild ini akan menjadi alatku. Tirabwana akan mengenal disiplin dari tangan Maheswara. Dan pada akhirnya, mereka akan berlutut bukan karena silsilah, tapi karena kekuasaan yang lahir dari tatanan.”

Kedua utusan saling pandang, lalu memberi hormat dalam diam, sebelum melangkah mundur dan meninggalkan ruangan.

Begitu pintu tertutup kembali, Maheswara berjalan ke meja ukiran naga emas, membuka laci rahasia dan mengeluarkan sebuah dokumen berstempel resmi: “Peraturan Kode Etik Baru Anggota Guild Bayu Geni.”

Di bawahnya tertera perintah singkat:

“Pengawasan ketat terhadap semua anggota.

Interogasi bagi yang menghilang tanpa izin.

Hukum tegas untuk setiap bentuk pembangkangan.”

Ia mengambil pena, lalu menambahkan satu baris baru:

“Mulai besok, semua anggota wajib melaporkan setiap pertemuan, latihan, atau misi—bahkan jika itu tidak resmi. Tidak ada ruang untuk bayangan yang tak terpantau.”

Di luar jendela, petir menyambar dari kejauhan. Dan di dalam hatinya, Maheswara tahu:

Langkah menuju takhta bukan lagi tentang darah. Tapi tentang kendali.

SENJA DI DESA SAPTADARMA, HARI KETIGA PERJALANAN

Langit telah menguning keemasan saat Bagas, Nandika, dan Kirta menuntun kuda mereka memasuki desa kecil yang tenang kawasan Hutan Hargagiri. Desa Saptadharma, begitu nama tempat itu tertera di gapura kayu berukir daun-daun herbal dan simbol-simbol sihir kuno.

Aroma wangi dedaunan kering dan rempah hangat segera menyambut mereka. Sepanjang jalan utama desa, tampak warung-warung ramuan, kedai tabib, dan kios kristal sihir. Beberapa penyihir tua duduk bersila di depan rumahnya, mengasah batu mantra atau menyusun rajah di atas daun lontar.

“Aroma desa ini seperti dapur pengobatan,” celetuk Kirta sambil mengendus, “tapi… menyenangkan.”

Nandika tersenyum kecil. “Tempat ini terkenal. Para pendekar dan penyihir biasa singgah untuk mencari ramuan langka dari Hargagiri.”

Mereka berhenti di sebuah penginapan bertingkat dua yang tampak antik namun terawat, dengan papan nama bergantung dari cabang kayu berbentuk sabit:

“Penginapan Akar Langit.”

Begitu masuk, mereka disambut nuansa unik: langit-langit dihiasi tali azimat berkilau, lampu gantung berbentuk tabung kristal sihir, dan dinding penuh rak botol ramuan serta ukiran mantra pelindung. Ada aroma cendana dan akar-akaran yang menenangkan.

Mereka duduk di meja dekat jendela, lalu memesan sup jamur Hargagiri, nasi beras wangi dan rempah cakar naga, serta teh madu akar langit—minuman favorit para tabib.

Obrolan santai mengalir.

Bagas menyandarkan punggungnya, menatap keluar jendela. “Akhirnya bisa istirahat… dua hari ini jalan terus.”

“Besok kita masuk wilayah Hargagiri,” ujar Nandika pelan, “kalau perhitunganku benar, tempat itu yang menyembunyikan sumber anomali sihir. Tapi sekaligus… banyak misterinya.”

Kirta menimpali sambil mengaduk tehnya. “Semoga kita tidak menarik perhatian yang salah. Sejak kita ‘menghilang’, Guild pasti sudah sadar.”

Nandika mengangguk, tapi tak bicara. Ada kecemasan dalam matanya, namun juga tekad yang dalam. Misi mereka lebih dari sekadar pelarian—mereka mencari kebenaran yang disembunyikan.

Setelah makan, mereka menuju meja pemilik penginapan—seorang perempuan tua berjubah biru gelap dengan kalung batu hitam yang berpendar lemah.

“Dua kamar dan penitipan tiga ekor kuda,” kata Kirta sambil menyerahkan koin tembaga.

“Kamar atas, paling timur dan paling selatan,” jawab si pemilik tanpa banyak bicara, matanya tajam seakan tahu lebih banyak dari yang ia ucapkan.

Seperti biasa, Nandika mengambil kamar sendiri, sementara Bagas dan Kirta berbagi kamar di seberangnya.

Malam turun perlahan. Di luar, desa mulai sunyi, hanya suara jangkrik dan desir angin membawa wangi tumbuhan kering. Di dalam penginapan, lampu-lampu kristal menyala lembut.

Mereka pun bersiap istirahat, memulihkan tenaga. Besok, perjalanan ke Hutan Hargagiri dimulai—dan mereka tahu, segala hal akan berubah.

PENGINAPAN AKAR LANGIT, MENJELANG FAJAR

Udara malam di Desa Saptadharma terasa sejuk namun berat. Di dalam kamar yang temaram, Bagas tidur pulas di kasur jerami hangat. Di sudut ruangan, buntelan kain lusuh berisi pedang kayu milik Jasana—Ardhana—tergeletak diam.

Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda.

Bagas mengerang pelan dalam tidurnya. Lalu...

Suasana berubah. Ia berada dalam mimpi.

Bayangan hitam dan merah berbaur, kabut tebal menyelimuti. Di hadapannya, pedang kayu Ardhana melayang perlahan, memendar cahaya samar dari ukiran pada tubuhnya yang mulai retak. Namun… ada kehidupan.

Suara dalam pikirannya berbicara, berat dan bergema namun terasa akrab:

“Bagas… dengarkan aku.”

Bagas terdiam, tak mampu berkata.

“Aku… Ardhana. Aku belum sepenuhnya hilang. Masih ada sisa spiritual dari sang pemilikku—Jasana. Aku menyimpan pecahan kenangan dan tekadnya… dan kini aku harus menyampaikan padamu…”

Cahaya berubah menjadi kilatan gambaran:

Reruntuhan Bangunan seperti Rumah Bangsawan yang besar di belakangnya tersembunyi Kamar tua, dinding batu berlumut, bendera usang tergantung di langit-langit, dan sebuah ruangan gelap dengan tirai kain merah. Di dalamnya, tampak sebuah kotak kayu hitam berukir halus yang menyimpan sesuatu yang terbungkus kain merah.

“Temukan Keris Parangjati… di sana… di bekas Reruntuhan Rumah Besar Bangsawan Dalam kotak tertutup kain merah itu… Parangjati menunggu.”

Bagas ingin bertanya, ingin tahu lebih, tapi tubuhnya seperti membeku. Lalu suara itu meredup, lirih dan nyaris sendu:

“Jika kau mendapatkannya… aku akan membimbing kalian… menemukan jalan menuju Jasana. Dia belum lenyap… hanya tersesat… di Alam Jin.”

Petir berkelebat dalam mimpi itu. Cahaya merah meledak… dan—

Bagas terbangun dengan terengah-engah.

Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Nafasnya memburu. Ruangan masih gelap, hanya cahaya fajar mulai mengintip dari celah jendela.

Ia menoleh ke samping. Buntelan Ardhana tetap di tempatnya, diam… namun entah mengapa, ia tahu—itu bukan mimpi biasa.

Kirta masih terlelap. Suara dengkurnya tenang. Tapi Bagas tak bisa memejamkan mata lagi. Ia duduk bersandar di dinding, menatap senyap ke arah pedang kayu itu.

“Jasana… kau masih hidup…” bisiknya.

Ia mengepalkan tangan, mata menajam. Besok… tujuan mereka bukan hanya Hargagiri, tapi mencari Parangjati. Dan mungkin… pintu menuju Jasana.

ISTANA TIRABWANA, PAGI HARI – 2 HARI MENJELANG UPACARA PENOBATAN

Langit pagi di atas Istana Tirabwana berwarna keemasan, namun suasana dalam tembok istana jauh lebih sibuk dari pada biasanya. Bunyi lonceng suci berdentang tiga kali, menandai awal dari persiapan upacara penobatan Pangeran Mahkota yang akan diadakan dua hari lagi—sebuah momen sakral yang hanya terjadi satu kali dalam satu generasi.

Di halaman dalam, para abdi istana, pendeta suci, dan para ksatria istana tengah menata perlengkapan ritual: Mahkota Garudamukha, jubah kebesaran berwarna merah darah dan emas, serta air suci yang dibawa langsung dari Telaga Abhiyasa.

Di ruangan tengah istana, para ahli ritual dan juru mantra sibuk melantunkan nyanyian pemanggil restu leluhur, mempersiapkan altar pemujaan arwah para Raja terdahulu, yang akan menjadi saksi gaib dalam penobatan nanti.

Sementara itu, di Balairung Timur, tempat yang kini dijadikan kediaman sementara Adipati Maheswara, suasana lebih hening… namun jauh lebih tegang.

Adipati Maheswara, kini berbalut jubah hijau tua bertabur lambang api, berdiri di hadapan cermin tinggi berbingkai naga emas. Di wajahnya terukir senyuman tipis—ambisius, dingin, dan sangat berbeda dari dirinya yang dulu dikenal sebagai sosok ceria dan bersahaja.

Ia sedang dipakaikan selempang pusaka oleh para pelayan kehormatan, simbol bahwa ia telah resmi ditunjuk sebagai calon Pangeran Mahkota. Para pejabat tinggi istana berdiri berbaris, menunduk hormat.

“Hari ini kau terlihat seperti Raja sejati, Paduka,” ucap salah satu juru istana.

Maheswara menoleh, menatap tajam.

“Dan seorang Raja sejati tak akan membiarkan negerinya rapuh karena kelembutan,” ujarnya dingin.

“Siapa pun yang tidak tunduk pada tatanan, tidak layak hidup dalam kerajaan ini.”

Ia melangkah ke balkon, memandang ke arah lapangan utama Istana tempat upacara agung akan digelar dua hari lagi. Matanya menajam, seolah melihat masa depan yang sudah ia genggam.

Dalam hati, Maheswara tahu, Guild Bayu Geni bukan lagi sekadar guild petualang. Itu akan menjadi kendaraan kekuasaan. Pilar pengaruh. Alat untuk menundukkan siapa pun yang menentang.

Ia menggenggam tangannya erat.

“Ini bukan sekadar penobatan… ini permulaan dari babak baru di Mandalagiri. Dan aku akan memastikan, tak ada seorang pun yang menghalangi jalanku.”

Di tempat lain dalam istana, para bangsawan mulai berbisik. Tak semua dari mereka setuju Maheswara menjadi Pangeran Mahkota—namun tak seorang pun berani mengucapkan ketidaksetujuan secara terang-terangan.

Raja Sri Maharaja Darmawijaya, yang kini lebih banyak diam, hanya mengamati dari balik ruangannya, menatap potret Pangeran Aryasatya dan terdiam dalam duka dan penyesalan.

RUANG PRIBADI RAJA, ISTANA TIRABWANA – PAGI HARI

Langit di luar jendela telah mulai bersinar lembut, tapi Sri Maharaja Darmawijaya tetap berdiri diam di depan sebuah lukisan besar bergaya klasik yang tergantung di dinding ruang pribadinya. Lukisan itu menggambarkan Pangeran Aryasatya muda, mengenakan pakaian akademi militer lengkap, dengan sorot mata tajam namun senyum hangat yang menggantung di sudut bibirnya.

Sang Raja memandangi lukisan itu lama sekali, seakan ingin berbicara dengannya—namun tak ada kata yang keluar. Hanya suara napasnya yang dalam dan berat.

FLASHBACK – 20 TAHUN LALU

Di halaman Akademi Militer Tirabwana, Aryasatya muda diam-diam menyelinap keluar dari barisan latihan. Ia menggenggam sebuah buku catatan besar, dan mengenakan jubah biasa untuk menyamar. Tujuannya: Desa Saptadarma, desa terpencil di selatan Mandalagiri, yang dikenal sebagai lumbung herbal dan pengetahuan ramuan-ramuan kuno dari Hutan Hargagiri.

Aryasatya muda menghabiskan waktu berhari-hari di sana—bertemu para tabib, mendokumentasikan tumbuhan langka, mencatat efek, aroma, dan reaksi terhadap sihir maupun racun.

Ia bukan bolos karena malas. Ia bolos karena jatuh cinta pada dunia penelitian dan riset herbal. Dunia yang damai, jauh dari pedang dan hiruk-pikuk istana.

Namun semuanya berakhir ketika sang Raja mengetahui hal itu.

“Kau akan menjadi Raja, bukan tukang jamu desa!” seru Sri Maharaja Darmawijaya dengan nada tinggi.

Buku-buku catatan Aryasatya—hasil kerja keras dan ketekunannya selama bertahun-tahun—dirampas dan dibakar di halaman istana.

Hari itu, mata Aryasatya tak menitikkan air mata, tapi luka itu tak pernah sembuh.

KEMBALI KE MASA KINI

Sang Raja perlahan mendekati meja kayu hitam tua di sampingnya. Di atasnya tergelar gulungan surat tua… potongan terakhir dari catatan riset Aryasatya yang pernah berhasil diselamatkan pelayan lama istana secara diam-diam.

Tangannya gemetar saat menyentuhnya. Matanya sembab, namun wajahnya tetap berusaha terlihat tegas.

“Maafkan ayahmu, Aryasatya…” bisiknya lirih.

“Kukira dengan mendidikmu seperti itu, aku sedang mempersiapkanmu jadi Raja. Tapi mungkin… aku justru menghancurkan bagian terbaik darimu.”

Ia menutup mata sejenak, menahan gelombang sesal yang menyesakkan dadanya.

Tak lama setelah kaburnya Pangeran Aryasatya, dia segera meminta untuk Pangeran Mahadarsa menggantikan Aryasatya menjadi Pangeran Mahkot namun Pangeran Mahadarsa juga menolak penobatan. Dan Menyarankan untuk memilih Maheswara yang lebih Militeristik dan memiliki bakat seperti yang dia tunjukan di Guild Bayu Geni:

“Saya bukan pemimpin kerajaan. Dunia saya adalah dunia perdagangan, bukan tahta.”

Pangeran Mahadarsa kini memimpin jaringan bisnis besar di tiga kota penting:

Tirabwana (pusat logistik, distrik hiburan elite, Perdagangan Senjata dan penghubung),

Tanah Selampa (hasil bumi, Perdagangan Artefak Kuno dan kerajinan), dan

Pelabuhan Adiyaksa di barat daya (jalur ekspor dan niaga laut),

serta beberapa desa-desa kecil yang menjadi mitra dalam bisnisnya. Ia dikenal cerdas dan disegani dalam dunia niaga, namun enggan terlibat dalam urusan politik istana.

Tak ada pilihan lain. Sang Raja menghela napas dalam-dalam.

“Maheswara…”

Ia membayangkan wajah Adipati Maheswara, anak dari Selir Utamanya, wanita yang telah meninggal 11 tahun lalu, dan pernah sangat ia sayangi.

Maheswara adalah sosok kuat, penuh karisma, dan sangat ambisius. Tapi di balik matanya kini ada sesuatu yang berbeda… kekosongan yang membungkus ambisi dengan bahaya.

Sri Maharaja Darmawijaya tahu penobatan ini akan membawa konsekuensi besar. Tapi bagaimanapun, tak ada waktu lagi untuk mencari sosok ideal.

Yang tersisa hanyalah mereka yang bersedia mengangkat beban tahta—dan Maheswara telah mengangkatnya dengan kedua tangannya… dan matanya yang menyala tajam seperti bara yang siap melahap.

“Semoga para leluhur memaafkan pilihanku… dan melindungi Mandalagiri dari bayangan yang mulai menyusup dari balik singgasana.”

AULA BANGSAWAN ISTANA TIRABWANA – SIANG HARI

Langit Tirabwana tampak cerah, tapi suasana di dalam aula megah yang dihuni para bangsawan kerajaan terasa suram dan berat. Di balik gelas-gelas anggur dan wangi dupa mahal, terdengar bisik-bisik halus yang dipenuhi keresahan politik.

“Jadi benar… Maheswara yang akan naik tahta?”

“Darah selir… bukan garis utama kerajaan.”

“Tapi siapa lagi? Aryasatya menghilang dan mengundurkan diri, Mahadarsa menolak…”

Nama Maheswara terucap berkali-kali—kadang dengan nada ragu, kadang dengan sinis. Meski tak ada yang berani mengucapkan penolakan secara terbuka, wajah-wajah tua nan bijak dari para bangsawan senior terlihat tidak sepenuhnya setuju. Mereka tahu darah Maheswara sah… tapi posisinya rapuh.

Di sisi lain, fakta pahit tak bisa disembunyikan:

Dua bulan lalu, dalam Perang Pesisir Panundaan, Pangeran Aryasatya, sang Pangeran Mahkota, memimpin 500 pasukan pilihan dari Pasukan Elite Faksinya:

Ksatria Berkuda, Penombak ,Pemanah, Prajurit Pedang Pendekar-pendekar elit, bahkan Prajurit Penyihir 

Namun semua itu tak cukup menghadapi hanya 250 Kelompok Bayawira Barat mereka menggunakan taktik licik gerilya menghabisi sedikit demi sedikit pasukan aryasatya pada saat 2 malam sebelum akhirnya perang terbuka di pesisir panundaan dibawah Bulan Purnama Merah —terbentuk dari:

Pendekar desa, Jawara kampung, Mantan narapidana, Tentara pembelot, Bandit dan perampok yang terorganisir.

Dan yang paling tragis kematian Sangbra Witanta, komandan pasukan khusus, penasehat pribadi Aryasatya, sahabat dan tangan kanan paling setia. Ia gugur dan tubuhnya tidak bisa ditemukan tenggelam ke dasar laut.

Kekalahan itu menghancurkan Aryasatya.

Ia merasa gagal menjaga kehormatan, gagal mempertahankan harga diri kerajaan. Satu bulan kemudian, ia menghilang bersama istri dan anaknya yang baru berusia lima tahun. Kabur secara diam-diam, meninggalkan segalanya: gelar, jabatan, dan takdir.

Pangeran Mahadarsa, adiknya, juga menolak.

Dengan pilihan yang semakin sempit, Maheswara menjadi satu-satunya darah kerajaan yang tersisa.

Meskipun ia anak dari selir utama yang telah wafat sebelas tahun lalu, darah Sri Maharaja tetap mengalir dalam dirinya.

Lebih dari itu—Maheswara adalah pribadi luar biasa.

Seorang pemimpin yang kharismatik, Lulusan terbaik Akademi Militer, Seorang pendekar dengan penguasaan teknik tinggi,

Dan yang paling langka, pemilik dua Khodam sekaligus dan bisa ia kendalikan dengan sempurna.

1. Sambara Geni, seekor Rajawali Api Mistik—makhluk legendaris yang bangkit dari tekad dan ambisi untuk melindungi tanah kelahirannya.

2. Roh Gelap—khodam yang muncul dari rasa kehilangan mendalam setelah kematian ibunya, sebuah entitas bayangan yang menyatu dalam senjatanya, dan hanya tunduk pada kendali batin yang kuat.

Kekuatan ini amat langka, bahkan di kalangan ksatria agung sekalipun.

Sebagai Pemimpin Guild Bayu Geni, Maheswara membangun reputasi luar biasa:

Guild Bayu Geni berdiri 11 tahun lalu,

Didirikan oleh Maheswara untuk menampung pendekar-pendekar berbakat dari seluruh penjuru Mandalagiri,

Meskipun baru, guild ini telah:

Menumpas Bayawira yang menjadi ancaman kestabilan keamanan kerajaan, Menjaga jalur perdagangan dari Bandit, Dan sering membantu rakyat yang tidak terjangkau menggunakan Guild Bayu Geni.

“Mereka bukan hanya guild petualang,” bisik seorang bangsawan muda.

“Mereka mungkin akan jadi benteng terakhir kerajaan di masa depan.”

Di tengah ketegangan dan ketidakpastian, para bangsawan tak punya pilihan.

“Maheswara mungkin bukan pilihan yang kita harapkan,” ucap salah satu anggota Majelis Tertinggi,

“Tapi mungkin dia adalah yang dibutuhkan oleh Mandalagiri saat ini…”

PUNCAK ISTANA – KAMAR MAHESWARA

Maheswara berdiri menatap langit senja dari balik balkon. Angin Tirabwana berhembus lembut, namun matanya tidak tenang. Di pundaknya, Sambara Geni mengepak ringan, sementara bayangan hitam dari roh khodam kedua sesekali melintas di belakang tubuhnya.

Ia tahu:

Esok, ia akan dinobatkan.

Esok, sejarah Mandalagiri akan berubah.

Dan ia bersumpah… tidak akan mengulang kesalahan kakaknya.

Desa Saptadarma – Pagi Hari yang Tenang

Embun belum sepenuhnya sirna saat Bagas, Kirta, dan Nandika duduk di sebuah bangku kayu panjang di depan rumah penginapan desa. Sambil memandangi siluet pegunungan Hargagiri yang menjulang di kejauhan, Bagas memecah keheningan.

"Aku bermimpi aneh semalam..." ucapnya pelan. Matanya menatap kosong ke arah pedang kayu Jasana yang disandarkan ke dinding, Ardhana.

Nandika menoleh cepat. "Mimpi tentang apa?"

Bagas menghela napas. "Ardhana... entah bagaimana, dari sisa spiritual samar di dalam pedang itu... ia bicara padaku. Ia menunjukkan gambaran samar. Katanya, keris Jasana, Parangjati, ada di sebuah ruangan dalam hutan Hargagiri. Terbungkus kain merah... disimpan di dalam kotak."

Kirta menyipitkan mata. "Ruangan? Di dalam hutan? Apa kau tahu tempatnya?"

Bagas menggeleng. "Hanya puing-puing. Seperti bekas tempat tinggal seorang bangsawan. Tapi yang pasti... Ardhana meminta kita menolong Jasana. Katanya, ia bisa membimbing kita—tapi hanya jika kita menemukan keris itu lebih dulu."

Mereka bertiga berdiri, kini berada tepat di depan sebuah rumah besar di desa itu—rumah mewah yang tampak kontras dengan bangunan-bangunan lain.

Saat itulah seorang pria tua warga desa menghampiri mereka.

"Sedang memperhatikan rumah itu, anak muda?" sapanya ramah.

Bagas mengangguk. "Rumah siapa, Pak? Tampak seperti milik bangsawan..."

"Itu milik Tuan Septya," jawab warga itu. "Bangsawan dari Tirabwana. Baru sebulan lalu pindah ke sini bersama istrinya dan seorang anak laki-laki, kira-kira lima tahunan. Ia peneliti tanaman-tanaman langka—penangkal racun, penguat imun, bahkan ramuan penangkal sihir. Orangnya lembut, sangat bersahaja."

Nandika bertanya hati-hati, "Apakah mungkin... ia mau membantu kami? Kami hanya sekelompok petualang kecil yang ingin menjelajah Hargagiri."

Warga desa itu tersenyum. "Coba saja. Ia sangat terbuka. Hargagiri itu hutan tua... penuh energi sihir dan teka-teki gaib. Tanpa pengetahuan, kalian bisa tersesat selamanya."

Ia menunduk sejenak, lalu menambahkan dengan nada lebih berat, "Dulu, sekitar 16 tahun lalu... ada keluarga bangsawan penyihir yang berasal dari luar kerajaan Mandalagiri tinggal di tengah hutan Hargagiri. Suami istri paruh baya... dan anak gadis mereka yang cantik, 24 tahun usianya. Tapi... sudah punya seorang anak perempuan kecil, lima tahun, gadis imut dan periang."

Kirta bertanya pelan, "Apa yang terjadi dengan mereka?"

Warga itu menatap ke arah hutan, seperti melihat bayangan masa lalu. "Keluarga itu dihormati... ramah, dan sang cucu—gadis kecil ceria—sering bermain di desa ini. Ia sudah bisa ilmu sihir sederhana, lucu sekali kalau tertawa. Tapi suatu malam... rumah mereka terbakar. Hangus rata dengan tanah. Ketiganya—orang tua dan anak gadisnya—ditemukan meninggal beserta para Pelayan yang kerja di Rumah itu. Tapi... cucu kecil itu... jasadnya tak pernah ditemukan."

Diam sejenak menyelimuti.

"Ada yang bilang tubuhnya jadi abu," lanjutnya lirih. "Ada juga yang percaya... ia diselamatkan oleh sihir kuno, entah ke mana. Kini... reruntuhan rumah itu tak bisa dilihat oleh mata biasa. Terlindungi semacam energi sihir misterius. Hutan menyembunyikannya."

Bagas menatap ke arah Ardhana. "Mungkin... itu tempat yang dimaksud dalam mimpiku."

Nandika menggenggam tombaknya. "Kalau begitu... kita harus menemui Tuan Septya."

Kirta mengangguk. "Dan setelah itu, kita masuk ke Hargagiri. Apapun yang menunggu di sana..."

Desa Saptadarma – Rumah Tuan Septya

Rumah besar itu berdiri anggun dengan sentuhan arsitektur klasik khas bangsawan Tirabwana—pilar tinggi berukir, atap melengkung bersusun, dan taman kecil yang terawat rapi di halaman depan. Daun-daun bunga berwarna keunguan bergoyang pelan tertiup angin lembut pagi hari.

Bagas melangkah paling depan, diikuti Kirta dan Nandika. Ia mengetuk pintu gerbang besi dengan sopan.

Beberapa detik kemudian, seorang pria berpakaian sederhana namun rapi muncul dari sisi rumah—penjaga keamanan rumah itu. Wajahnya ramah dan penuh wibawa.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sapanya sambil menatap mereka satu per satu.

Bagas sedikit menunduk memberi hormat. "Kami bertiga adalah petualang dari Guild Bayu Geni. Kami ingin bertemu dengan Tuan Septya... untuk meminta izin dan mungkin sedikit pengetahuan tentang Hutan Hargagiri. Kami mohon maaf jika ini mengganggu."

Penjaga itu tersenyum hangat, lalu membungkukkan badan sedikit. "Tuan Septya selalu membuka pintunya untuk siapa pun yang datang dengan itikad baik. Ia sering menerima tamu—dari warga desa yang mencari obat, hingga para penjelajah muda yang ingin belajar tentang hutan. Silakan masuk, saya akan mengantar kalian ke ruang tamu."

Ketiganya saling pandang sejenak, lalu mengikuti sang penjaga melewati jalan batu menuju beranda rumah. Di sepanjang sisi rumah, tampak tanaman obat dan herba ditanam dengan sistematis. Beberapa bahkan memancarkan cahaya samar—jelas bukan tanaman biasa.

Ruang tamu yang mereka masuki sangat tenang dan nyaman. Dindingnya dihiasi lukisan tumbuhan langka dan peta-peta kuno. Rak-rak kayu jati berisi buku-buku tebal tentang botani, sihir, dan sejarah pengobatan tradisional. Aroma rempah lembut menyelimuti udara.

"Silakan duduk," ujar penjaga itu sopan. "Saya akan memberitahukan kedatangan kalian. Beberapa pelayan mungkin sudah menduganya dari percakapan warga di desa tadi pagi. Tuan Septya akan segera diberitahu."

Mereka bertiga duduk di sofa empuk yang menghadap ke jendela besar mengarah ke taman belakang. Dari dalam rumah terdengar langkah kaki cepat dan bisikan-bisikan halus—para pelayan tampaknya sudah memahami maksud kunjungan mereka.

Tak lama, seorang pelayan perempuan dengan pakaian biru muda datang menghampiri sambil membungkuk.

"Selamat datang di kediaman Tuan Septya. Mohon tunggu sebentar, beliau akan segera menemui kalian. Beliau sedang menyelesaikan peracikan ramuan di ruang belakang."

Bagas mengangguk hormat. "Terima kasih. Kami sangat menghargai kesempatannya."

Pelayan itu tersenyum lalu mundur dengan langkah anggun. Suasana kembali hening. Kirta memerhatikan rak-rak buku, sementara Nandika menyentuh sebuah kendi tembaga di atas meja yang berisi air dingin dan daun mint.

"Tempat ini… terasa seperti rumah seorang penyembuh, tapi juga seperti rumah penyihir," gumam Kirta.

Bagas menimpali pelan, "Dan seorang pendekar. Penjaga tadi menyebutkan, Tuan Septya bukan hanya ahli sihir, tapi juga mahir berpedang."

Mereka bertiga menatap ke arah pintu kayu besar yang perlahan mulai terbuka…

Ruang Tamu Kediaman Tuan Septya – Desa Saptadarma

Pintu kayu besar perlahan terbuka… dan sesosok pria keluar dari balik bayangan ruang dalam.

Tubuhnya tinggi tegap, berselendang kain tipis berwarna tanah, berpakaian sederhana namun tetap berwibawa. Rambutnya hitam pekat terikat rapi ke belakang, mata tajam namun teduh. Langkahnya tenang, penuh kendali, dan… sangat familiar.

Bagas sontak berdiri. Kirta mendadak membeku, sementara Nandika mengerutkan dahi dalam keterkejutan yang tak dapat disembunyikan.

“Ini… tidak mungkin…” bisik Kirta lirih.

Sosok itu tersenyum hangat saat melihat mereka, tapi sebelum sempat menyapa, ketiganya serentak berlutut, meletakkan tangan kanan di dada—salam penghormatan resmi ala istana Mandalagiri.

“T-Tuan… Tuan Septya… bukan… Anda… Anda adalah…” ujar Bagas dengan suara bergetar, nyaris tak percaya.

“Pangeran Aryasatya…” gumam Nandika, matanya terbelalak.

Bayangan masa lalu langsung terlintas di benak mereka saat acara kenegaraan di halaman utama Istana Tirabwana—Sri Maharaja Darmawijaya duduk di singgasana, diapit oleh Permaisuri Shandrakirana dan Mahamentri Palindrasuta. Di sisi kanan berdiri Panglima Agung Jayasatya, dan dua pangeran muda Mahadarsa, serta sang Pangeran Mahkota Aryasatya, pewaris tahta kerajaan, sosok terpandang yang dikenal penuh disiplin dan tak pernah luput dari protokol istana.

Namun kini, sosok itu berdiri di hadapan mereka dengan pakaian biasa, tanpa mahkota, tanpa pengawal, dan tanpa simbol kerajaan. Tak ada aura kemewahan. Hanya kehangatan yang tulus.

Tuan Septya—atau lebih tepatnya, mantan Pangeran Mahkota Aryasatya—mengangkat tangan perlahan.

“Cukup. Tak perlu memberi salam seperti itu,” ucapnya lembut. “Di sini, aku bukan lagi seorang pangeran. Bukan mahkota, bukan pewaris takhta. Aku hanyalah Septya—seorang Bangsawan Biasa, peneliti, seorang ayah, dan suami.”

Ketiganya masih ragu-ragu untuk bangkit, tapi pria itu tersenyum sabar.

“Aku sudah menanggalkan segalanya. Kekuasaan, protokol, dan kehidupan istana… telah kutinggalkan satu bulan lalu. Hanya segelintir orang yang tahu. Aku tidak menginginkan hiruk pikuk atau kekuasaan, Aku sudah sadar sejak kekalahan dalam perang di pesisir Panundaan, Aku bukan calon Pewaris yang kuat. Aku ingin hidup untuk keluarga dan ilmu. Hutan Hargagiri dan tanaman-tanaman langka itu lebih berarti bagiku sekarang.”

Ketiganya perlahan berdiri, masih tercengang. Bagas menatap wajah sang pangeran—yang sekarang memperkenalkan diri sebagai Tuan Septya—dengan campuran kagum dan bingung.

“Maafkan kami, Tuan… Septya,” ujar Nandika pelan.

“Tidak perlu minta maaf,” balas Septya dengan lembut. “Kalian bertiga datang membawa niat baik. Itu cukup.”

Ia menoleh ke arah pelayan yang berdiri tak jauh dari ambang pintu. “Siapkan teh daun giriprana dan roti akar manis. Bawa juga cemilan madu kelapa. Para tamu kita pasti telah menempuh perjalanan panjang.”

Pelayan itu mengangguk dan segera melangkah cepat ke dapur.

Setelah semua tenang, Septya duduk di salah satu kursi panjang yang menghadap langsung ke arah mereka.

“Jadi… kalian ingin menelusuri Hutan Hargagiri?” tanyanya perlahan, nada suaranya berubah sedikit lebih serius.

Kirta menatapnya penuh harap. “Kami sedang mencari sesuatu yang penting bagi teman kami… sebuah keris yang konon berada di dalam hutan, tersimpan di puing-puing bekas tempat tinggal bangsawan. Kami tahu tempat itu tidak biasa, dan kami butuh panduan… dan mungkin perlindungan dari sihir di dalamnya.”

Septya mengangguk pelan. “Hargagiri bukan sekadar hutan. Ia adalah jantung lama dari dunia rahasia yang tak semua orang bisa pahami. Ada batas antara realitas dan kekuatan lama di sana… Tapi kalian datang pada waktu yang tepat.”

Ia memandang ketiganya tajam namun tidak mengintimidasi.

“Ceritakan padaku semua yang kalian ketahui. Aku akan membantu sebisa mungkin.”

Ruang Tamu Kediaman Tuan Septya – Desa Saptadarma

Setelah hidangan teh daun giriprana dan roti akar manis disajikan oleh pelayan, suasana menjadi lebih tenang. Ketiganya menyesap teh perlahan, namun ada sesuatu yang lebih hangat dari minuman itu—kesempatan yang tak mereka duga duduk bersama seorang tokoh besar yang kini hidup dalam kesederhanaan.

Bagas meletakkan cangkirnya, menarik napas dalam, lalu memulai.

“Tuan Septya… kami datang karena sesuatu yang penting. Bukan hanya demi misi… tapi demi sahabat kami, Jasana Mandira.”

Nama itu disebut dengan tekanan yang jelas. Tuan Septya menatap Bagas, lalu sesekali melirik Kirta dan Nandika yang duduk di sisi kanan dan kiri.

“Dua bulan lalu, Jasana pergi dalam misi pengejaran. Ia mengejar seseorang… seorang perempuan bernama Rinjana Nirnawa. Seorang pengguna sihir, dengan rambut putih keperakan dan mata ungu terang seperti batu kecubung.”

Tuan Septya mengangguk perlahan, seolah telah mendengar nama itu sebelumnya.

“Dia menggunakan senjata tongkat sihir. Ahli dalam sihir bayangan dan ilusi. Tapi yang lebih penting—dia adalah wakil dari Bayawira Selatan, kelompok yang belakangan ini membuat onar di Mandalagiri Selatan.”

“Bayawira…” gumam Septya. Matanya mulai menyipit, fokus.

“Sebenarnya, kami bertiga tak ikut dalam misi itu,” lanjut Bagas. “Penjelasan ini kami dapat dari Darsa, pemimpin misi, teman kami. Menurutnya… sesuatu terjadi di dalam Hutan Hargagiri. Jasana terkena serangan sihir misterius yang membuatnya… terlempar ke alam jin.”

Septya perlahan menegakkan tubuhnya.

“Yang mengejutkan,” ucap Kirta dengan nada heran, “adalah bahwa Rinjana—yang seharusnya menjadi target utama—justru melindungi Jasana. Mereka berdua… terlempar bersama. Entah ke mana.”

“Ada nama… orang yang disebut-sebut dalam insiden ini,” tambah Nandika, kini dengan nada tegang. “Orang yang konon memanggil dan melepaskan sihir itu. Resi Wighna Laksa.”

Seketika, perubahan tampak pada wajah Tuan Septya. Senyap menyelimuti ruangan. Matanya menajam, pandangannya menembus jauh ke masa lalu.

“Resi Wighna Laksa…” ulangnya lirih. “Sudah lama aku tak mendengar nama itu.”

Ia berdiri perlahan, berjalan ke jendela, memandangi cahaya lembut sore yang menembus dedaunan.

“Dulu… ia adalah penasihat spiritual istana. Tabib kerajaan. Aku mengenalnya sejak aku masih remaja—saat masih menimba ilmu di Akademi Militer Tirabwana.”

Suaranya mulai berat, seperti menahan beban kenangan.

“Di sela latihan militer dan pelajaran protokol, aku sering curi-curi waktu untuk belajar darinya. Ia mengajariku dasar-dasar sihir. Tapi lebih dari itu, aku jatuh cinta pada dunia herbal—penangkal sihir, ramuan, akar dan daun yang menyimpan kekuatan tersembunyi. Semuanya diajarkan dengan sabar.”

Ia menoleh perlahan ke arah mereka, nada suaranya mulai getir.

“Namun… saat aku dinobatkan menjadi Pangeran Mahkota, segalanya berubah. Aku mulai mengikuti protokol dan aturan istana yang kaku. Aku menjauh darinya. Bahkan… aku menjadi lambang kekuasaan yang dulu aku benci.”

Tuan Septya menarik napas panjang. “Dan pada akhirnya, dia pergi. Dicap sebagai resi sesat. Dibuang oleh kerajaan. Tapi… aku tahu… dia pergi bukan karena kemarahannya. Tapi karena… aku telah berubah.”

Hening.

“Jadi benar, dia kembali…” gumam Septya pelan, “dengan membawa kekuatan dan tujuan baru. Hutan Hargagiri… itu bukan tempat sembarangan.”

Ia menuju ke meja rendah di sudut ruangan, mengambil sebuah gulungan kecil, dan mulai menulis di atas secarik kertas khusus yang berwarna kecoklatan.

“Sesuai cerita kalian, tempat yang kalian cari… kemungkinan besar adalah reruntuhan kediaman bangsawan Luar Negeri di jantung Hargagiri. Tapi tempat itu tidak bisa dimasuki begitu saja.”

Ia melipat kertas itu dengan hati-hati, lalu menyerahkannya kepada Bagas.

“Ini… adalah tatacara masuknya. Kalian harus mengikuti langkah-langkah ini dengan urutan tepat. Reruntuhan itu disembunyikan oleh lapisan sihir pengelabuan—bukan hanya tidak terlihat oleh mata, tetapi juga bisa membuat kalian tersesat berputar-putar tanpa arah.”

Bagas menerimanya dengan kedua tangan, penuh rasa hormat.

Septya menatap mereka bertiga satu per satu.

“Kalian harus bersiap menghadapi ilusi, rintangan roh gaib, dan… kemungkinan bertemu dengan Bandit Penyihir yang belakangan ini sering terlihat di hutan. Jangan abaikan isyarat kecil. Dan ingat, Resi Wighna Laksa bukan orang biasa. Dia bukan hanya penyihir… dia juga mantan guru. Dan terkadang, guru yang dikhianati adalah lawan yang paling mematikan, aku sarankan kalian bergerak besok, untuk hari ini cari bahan-bahan untuk menghadapi rintangan Hutan Hargagiri.”

Sejenak tak ada yang berkata-kata. Angin sore menyapu dedaunan di luar jendela. Di luar, dunia tetap tenang, namun jauh di dalam Hargagiri, sesuatu telah menanti.

Keesokan Harinya – Tepi Hutan Hargagiri

Kabut menggantung rendah di antara pepohonan raksasa. Cahaya matahari pagi hanya menembus tipis, seperti berusaha menyelinap di balik bayangan rimbun daun dan akar tua yang menjulur seperti urat nadi bumi.

Di pinggir hutan, di antara semak ilalang yang menguning, tiga sosok berdiri diam. Kirta memasang tali pada busurnya, matanya menelusuri garis horizon kabut. Nandika menyesuaikan ikat pinggang kulit tempat tombaknya terikat, dan Bagas memeriksa sarung tangan besi pemberian gurunya—menepuknya ringan, seolah menyalakan semangat dalam dadanya.

Mereka telah tiba di gerbang tak terlihat—tempat yang ditunjukkan Tuan Septya dalam secarik kertas rahasia.

Bagas membuka lipatan kertas itu. Tulisan tangan halus dengan tinta biru tua masih utuh, tak luntur meski melewati embun pagi.

“Langkahkan kaki kanan ke tanah berakar tiga. Letakkan daun gandaru ke dalam tanah dan sebut:‘Sandhanganing kasunyatan, bukakna lawang kang kasamaran.’Diamlah tiga napas. Dengarkan. Bila suara serangga lenyap, itu tanda kau diterima. Bila masih riuh… tinggalkan tempat itu. Kau belum diizinkan masuk.”

Kirta menatap sekeliling. “Tanah berakar tiga… itu, di dekat pohon yang bentuknya melengkung seperti punggung naga.”

Mereka mendekat. Di bawah pohon itu, tampak akar-akar membentuk pola menyerupai trisula: satu mengarah ke kiri, satu ke kanan, satu lurus ke depan. Tanda yang tepat.

Nandika mengeluarkan daun gandaru yang mereka pungut di kebun belakang Tuan Septya—daun kecil berbentuk elips dengan aroma menyengat bila diremas.

Bagas berlutut, menaruh daun itu ke dalam cekungan akar, lalu mengucapkan dengan pelan namun mantap:

Sandhanganing kasunyatan, bukakna lawang kang kasamaran.

Mereka menahan napas. Satu tarikan… dua… tiga…

Sunyi.

Tak ada suara jangkrik. Tak ada dengung lebah. Bahkan desir angin pun seperti berhenti.

Kirta melangkah perlahan. Kabut di depannya menggulung mundur… seperti kain putih yang ditarik pelan-pelan dari jendela dunia gaib.

Di balik kabut itu… Hutan Hargagiri yang sejati muncul.

Pohon-pohon raksasa menjulang hitam ke langit. Ranting-rantingnya membentuk lengkungan seperti gerbang kuil purba. Tanahnya tak lagi coklat biasa, melainkan dipenuhi lumut biru dan ungu yang menyala lembut dalam bayangan. Suara-suara aneh menggema dari kejauhan—terkadang tangis, terkadang tawa kecil, tapi tak pernah jelas dari mana asalnya.

“Tempat ini… seperti dunia lain,” bisik Nandika.

“Ini bukan lagi hutan biasa,” jawab Kirta. “Ini lapisan batas… dunia antara dunia. Alam jin yang samar dan menyesatkan.”

Bagas menggenggam tali ikat pinggangnya, mencengkram kuat. “Jasana… tunggu kami.”

Beberapa Saat Kemudian – Perjalanan Awal

Mereka berjalan mengikuti petunjuk kabur dalam peta ingatan dan naluri. Langkah harus ringan, pikiran harus jernih. Beberapa kali mereka melewati bayangan yang bergerak sendiri, atau ilusi pohon yang seolah menghilang bila dilihat terlalu lama.

Kirta mengikatkan seutas benang merah pada setiap cabang yang mereka lewati, agar tidak terjebak dalam lingkaran. Nandika sesekali mencium wangi bunga yang mengingatkannya pada rumah masa kecilnya—wangi yang menurut Tuan Septya bisa jadi jebakan roh penghuni hutan.

Tiba-tiba, suara jeritan kecil terdengar di depan. Mereka menghentikan langkah.

Dari balik pepohonan, muncul seorang gadis kecil berpakaian lusuh, menangis.

“Tolong aku… aku tersesat…”

Bagas maju, namun Kirta langsung menahan lengannya.

“Jangan. Perhatikan baik-baik.”

Gadis itu menangis, namun kakinya tak menyentuh tanah. Bayangannya tak ada. Air matanya jatuh, tapi tak membasahi dedaunan.

“Ilusi. Roh penggoda,” ucap Nandika pelan.

Kirta mengangkat busurnya, menarik anak panah, dan membidik tepat ke samping tubuh gadis itu.

Tuut!

Begitu anak panah menembus udara, sosok gadis itu menghilang—menjadi kabut hitam yang melengkung dan melayang ke langit, sambil berdesis marah. Di tempatnya berdiri, muncul batu kecil berbentuk mata.

Nandika mengambilnya. “Ini… simbol penjaga. Kita sudah memasuki lingkar pertama perlindungan reruntuhan.”

Kirta menatap lebih jauh ke depan. “Jika kita sudah sampai sejauh ini, maka… tak lama lagi kita akan menemukan tempat itu. Rumah bangsawan yang tersembunyi.”

Bagas mengepalkan tangan. “Dan jika benar… maka kita akan menemukannya..”

Mereka melanjutkan langkah. Bayangan makin gelap. Tapi hati mereka menyala. Petualangan menuju jantung Hargagiri pun baru saja dimulai.

Hutan Hargagiri – Reruntuhan Rumah Bangsawan Penyihir

Langit di atas Hargagiri mulai berwarna tembaga. Kabut tebal beringsut, dan di tengah celah pohon purba, muncullah pemandangan ganjil—seperti dari masa lalu yang terabaikan.

Sebuah reruntuhan batu dengan fondasi lebar dan pagar besi berkarat. Pilar-pilar rubuh, sebagian tertutup sulur tanaman liar. Dinding bata hangus masih menyisakan bekas api kuno. Aroma terbakar yang tak kunjung pudar seolah membekas selamanya.

Kirta menghentikan langkah. “Ini dia… reruntuhan rumah bangsawan asing yang disebut Tuan Septya.”

Nandika berjalan mendekati dinding setengah runtuh yang dulunya mungkin ruang utama. “Rumah ini… seperti pernah hidup dan mati dalam dentuman besar.”

Bagas membungkuk, mengangkat sisa pigura berdebu dari balik tumpukan bata. Di balik lapisan kaca retak dan goresan arang, terlihat lukisan usang yang masih samar.

Tiga sosok terpajang anggun:

Seorang pria paruh baya berdarah asing, berjanggut rapi dengan mantel biru tua—bernama Baron Willem van der Lindt

Seorang wanita elegan dengan gaun panjang hijau zamrud, bertuliskan Madam Elsbeth van der Lindt

Seorang gadis muda jelita berambut putih keperakan dan mata lembut, dengan nama di bawahnya: Cornelia van der Lindt

Tapi di bawah mereka… seorang anak kecil duduk di atas pangkuan sang ibu. Wajahnya lugu dan cerah, dengan rambut putih keperakan dan mata ungu memancar seperti kristal cahaya dalam bayang-bayang.

Kirta terdiam. “Mata itu… rambut itu…”

Nandika bergumam, “Tak salah lagi. Wajah anak ini… mirip dengan Rinjana Nirnawa.”

Bagas mendekat, menunjuk pada nama di bawah potret:

Catharina van der Lindt Usia: 5 tahun

“Jadi anak ini—Catharina—adalah anak dari Cornelia van der Lindt. Tapi… jasadnya tak pernah ditemukan setelah kecelakaan sihir 16 tahun lalu,” ucap Bagas lirih.

Kirta memandang reruntuhan di sekeliling. “Jika Rinjana adalah Catharina… bagaimana mungkin dia selamat? Siapa yang membesarkannya?”

Sebelum jawaban ditemukan, Bagas memberi isyarat tangan. “Aku temukan bekas bangunan kecil di belakang reruntuhan ini… mungkin tempat penyimpanan pusaka.”

Mereka bertiga bergerak ke belakang reruntuhan. Di sana, tersembunyi oleh semak-semak tebal, berdiri bangunan batu setinggi dada—seperti makam tua atau tempat persembunyian. Bagas membuka celah pintu batu dengan susah payah, dan di dalamnya, terdapat sebuah kotak terukir, terlindungi oleh mantra pelindung samar yang telah melemah.

Ia membukanya perlahan.

Di dalamnya—terbungkus kain merah darah—terbaring sebuah keris yang sudah familiar ya itu adalah keris parangjati milik Jasana.

Kirta menyipitkan mata. “Itu… keris milik Jasana Parangjati.”

Namun sebelum mereka sempat mengangkatnya—

Tanah bergetar.

Langit meredup.

Kabut bergulung mundur… tapi kali ini bukan karena kehadiran alam gaib—melainkan karena langkah kaki manusia.

Dari segala penjuru reruntuhan, muncullah puluhan sosok bersenjata, mengenakan pakaian gelap dan mantel kulit bersimbol ular berkepala dua yang melingkar di dada. Beberapa memegang tombak hitam, sebagian lagi pedang pendek, dan sisanya senjata aneh (Wizard Wands) yang berasal dari negeri seberang.

Kirta segera mundur, memasang panah.

Nandika mengangkat tombaknya.

Bagas mengepalkan tangan, siaga.

Tapi dari sisi timur reruntuhan, muncul sosok tua berjubah biru tua berlapis kain abu gelap. Sorot matanya tajam, langkahnya pelan namun pasti. Janggutnya lurus, wajahnya pucat seperti kertas, dan di dadanya lambang bayawira tersemat.

Ia adalah Resi Wighna Laksa, salah satu Kapten Bayawira.

Suaranya dingin, nyaris tanpa emosi:

“Jadi, kalianlah anak-anak Guild Bayu Geni yang mengendus sampai ke tempat ini…”

Ia melambaikan tangan. Anak buahnya mengepung lebih ketat.

“Katakan. Ada urusan apa kalian di reruntuhan ini? Apa yang kalian cari… atau siapa yang kalian curigai?”

Bagas menjawab dengan nada tegas, meski tangannya masih menggenggam kotak. “Kami hanya mencari kebenaran. Dan apa yang kami temukan di sini bukan urusan Bayawira.”

Resi Wighna menyipitkan mata. “Sayangnya, kau salah.”

Ia menepuk tongkatnya ke tanah.

“Tempat ini… sejak Dua tahun terakhir… adalah markas Bayawira Selatan. Reruntuhan ini kami jadikan pusat logistik dan pelatihan. Dan kau, anak muda, baru saja menginjak wilayah terlarang tanpa izin.”

Kirta menoleh pada Nandika. “Ini jebakan… atau kebetulan yang buruk.”

Nandika mengangguk, pelan. “Tapi sekarang kita tahu sesuatu yang lebih penting. Kalau tempat ini milik Bayawira, maka…”

Bagas melanjutkan, “…mereka pasti tahu siapa Catharina sebenarnya. Dan di mana Jasana.

Resi Wighna mendekat.

“Bicara… sebelum kami yang membuatmu bicara.”

Kirta menarik nafas. Ia mengangkat busurnya pelan—lalu memandang ke kiri dan kanan.

“Maaf. Kami tak bisa menjawab. Karena kami belum tahu… siapa sebenarnya musuh di sini. Dan siapa… yang hanya boneka.”

Ketegangan menggelegak. Puluhan Bayawira bersiaga.

Tiga anggota Bayu Geni saling pandang.

Mereka akan bertarung… atau akan ditangkap.

ISTANA TIRABWANA, PAGI HARI

Suasana sakral, langit biru jernih menaungi lapangan utama kerajaan. Genderang kerajaan berdentum pelan, suara kidung suci menggema, dan asap dupa dari altar persembahan menari di udara Bendera Berlambang Naga Tirta Berkibar (Lambang Kerajaan Mandalagiri).

Hari ini, seluruh mata rakyat Tirabwana dan para tamu kehormatan dari berbagai penjuru kerajaan Mandalagiri tertuju pada Istana Tirabwana, pusat pemerintahan agung tempat diadakannya Upacara Penobatan Pangeran Mahkota.

RITUAL PENOBATAN KERAJAAN

Di tengah alun-alun suci istana, altar dan singgasana kerajaan berdiri megah. Para pendeta dan pemuka adat memimpin serangkaian ritual sakral:

Penyemprotan Air Suci dari Telaga Abhiyasa dilakukan oleh Pendeta Tertinggi.

Pemujaan Leluhur di hadapan patung batu besar para raja terdahulu.

Pengalungan Kalung Kemenangan dari benang sutra dan batu meteorit kepada Maheswara.

Dan akhirnya, Pemakaian Mahkota Garudamukha, yang hanya diberikan kepada pewaris sah tahta Mandalagiri.

Barisan Kehormatan Guild Bayu Geni Tampak anggota Guild Bayu Geni berbaris rapi dalam pakaian resmi, berdampingan dengan para ksatria, bangsawan, dan perwira kerajaan.

Dari total 66 anggota, hadir 62 orang:

Terlihat hadir: Darsa, Pratiwi, Surya Bakti, Brahma Anggacandra, Larasmi Dwiputra, dan Rakha Udiyana dan Wigra—anggota junior yang menjadi tulang punggung masa depan guild.

Tidak hadir: Nandika, Bagas, dan Kirta—yang diketahui sedang berada secara ilegal mengejar misi pribadi.

Jasana Mandira sendiri telah menghilang selama dua bulan sejak kejadian di misi Memburu Rinjana Nirnawa, terkena sihir misterius dari Kapten Bayawira Selatan yang membuatnya terlempar ke alam jin.

Barisan Para Kapten Guild Bayu Geni hadir mengenakan jubah kebesaran masing-masing divisi:

Kapten Raksadana (Divisi Panggrahita Aji) berdiri tegap membawa tongkat kayu pusaka.

Kapten Pradipa Karna (Divisi Raka Lelana), membawa Dwijanaga tergantung di pinggangnya.

Kapten Mahadewa Rakunti (Divisi Rasa Prawira), berwibawa dengan jubah hitam bersulam bintang.

Kapten Kalandra Wisanggeni (Divisi Bayang-bayang Geni), memantau semua dengan mata tajam nan penuh misteri.

Kapten Doyantra Puspaloka (Divisi Mandala Dhana), tersenyum bijak dengan gulungan emas di genggamannya.

Pemimpin Guild Bayu Geni, Maheswara, hari ini berdiri di panggung utama.

Di hadapan Sri Maharaja Darmawijaya, Permaisuri Shandrakirana, Mahamentri Palindrasuta, Panglima Agung Jayasatya, serta para tetua istana, Maheswara dinobatkan menjadi Pangeran Mahkota Kerajaan Mandalagiri.

Genderang kemenangan berdentum keras. Sorak rakyat membahana. Asap dupa naik ke langit. Lonceng suci berdenting tujuh kali.

"Hari ini, Maheswara bukan hanya Pemimpin Guild Bayu Geni. Ia adalah Pangeran Mahkota Mandalagiri, titisan pemimpin masa depan. Seorang pemimpin rakyat dan pelindung tanah leluhur," ucap Sri Maharaja lantang.

Makna Penobatan Ini: Penobatan ini bukan hanya pengangkatan status, tetapi juga legitimasi kekuasaan, dan penegasan bahwa Guild Bayu Geni kini memiliki hubungan langsung dengan tahta kerajaan, memperkuat posisi mereka sebagai kekuatan strategis kerajaan dalam urusan supranatural, ekspedisi, dan pertahanan nirmala.

 Sebagian anggota Guild, terutama Surya dan Brahma, tak bisa menyembunyikan kegelisahan mereka. Dalam hati mereka bertanya—di mana Nandika, Kirta, Bagas dan terutama Jasana yang terlempar ke Alam Jin saat detik bersejarah ini?