Bab 26 - Cerita dibalik Reruntuhan Rumah Bangsawan Asing

RUMAH MEWAH DI DESA SAPTADARMA

Pagi menjelang siang. Matahari memancar redup di balik awan tipis, dan semilir angin membawa aroma rumput liar dari arah Hutan Hargagiri.

Di sebuah rumah mewah bergaya arsitektur klasik Mandalagiri—beratap pelana ganda dan berdinding batu pualam biru keabuan—tinggal Tuan Septya, yang sesungguhnya adalah Pangeran Aryasatya, putra pertama Sri Maharaja Darmawijaya yang memilih menanggalkan gelarnya satu bulan lalu dan hidup menjadi bangsawan biasa.

Ia berdiri di beranda atas rumah, mengenakan jubah sederhana berwarna tanah dengan sabuk kulit tua. Tatapannya kosong, namun berisi—menyapu arah Hutan Hargagiri yang membentang luas di kejauhan.

Tuan Septya gelisah.

"Mereka sudah terlalu jauh..." gumamnya lirih.

kemarin pagi, tiga anggota muda Guild Bayu Geni—Bagas Prayoga, Nandika Sutasmi, dan Kirta Wangsaputra—datang menemuinya. Mereka meminta petunjuk untuk menembus mantra penyembunyi yang menutupi reruntuhan rumah bangsawan asing di tengah hutan.

Lalu Pagi tadi terlihat Ketiganya pergi dengan penuh semangat, namun dalam hati Aryasatya muncul firasat buruk—karena wilayah tersebut adalah Basis Bayawira Selatan, dipimpin oleh Resi Wighna Laksa, yang dikenal dengan julukan Resi Gelap—seorang penguasa ilmu hitam dan mantan pemimpin sekte pemberontak spiritual Laksa.

Dari dalam rumah, muncul seorang wanita anggun mengenakan kebaya perak dan kain bermotif awan-awan putih. Wajahnya lembut, namun matanya menyimpan wibawa.

Namanya Raden Ayu Sitalaksmi, bangsawan tinggi dari keluarga Wredhatirta di Tirabwana—istri Aryasatya.

Ia melangkah mendekati suaminya, lalu menggenggam tangannya.

Sitalaksmi: “Firasatmu tak pernah salah, Kakanda. Jika engkau merasa mereka dalam bahaya… maka pergilah. Anak-anak itu butuh seorang pelindung. Engkau telah melihat tekad mereka.”

Aryasatya memejamkan mata sejenak.

Aryasatya: “Mereka masih terlalu muda untuk melawan kekuatan seperti Wighna Laksa... Tapi mungkin itulah jalan mereka menjadi dewasa. Aku hanya tak ingin kehilangan satu pun dari mereka.”

Sitalaksmi mengangguk dan menyentuh dada suaminya perlahan.

Sitalaksmi: “Pergilah dengan restu dan doaku, Pangeranku. Tapi jangan bertarung karena amarah, bertarunglah karena cinta.”

Di halaman bawah, seorang anak kecil laki-laki sedang bermain dengan kuda-kudaan kayu dan menggambar seekor naga di atas pasir.

Namanya: Aditya Yudhanagara, putra Aryasatya dan Sitalaksmi, baru berusia 5 tahun.

Ia melambai saat melihat ayahnya turun dari beranda.

Aditya: “Ayah, kalau bertemu naga... jangan lupa tanya namanya!”

Aryasatya tersenyum tipis, membalas lambaian anaknya.

Tak lama kemudian, tiga sosok berjubah hitam dan bersenjata lengkap menghampiri dari sisi rumah.

Mereka adalah bekas pengawal inti faksi Aryasatya, kini hidup dalam bayang-bayang:

Ranggalawe — pendekar tombak berilmu pernapasan besi, bertubuh kekar dan bersuara berat.

Jayangrana — pengguna dua keris halus dan ahli penginderaan aura ghaib.

Swandaru — pemanah sunyi yang tak pernah bicara, matanya selalu tertutup kain merah.

Ketiganya langsung memberi salam.

Ranggalawe: “Kami siap mengikuti Tuan Septya. Apa pun yang menanti di Hargagiri.”

Aryasatya mengangguk.

Aryasatya: “Kalau takdir mereka telah mempertemukan dengan kegelapan… maka biarlah aku menjadi cahaya yang menuntun mereka kembali.”

Mereka bertolak menuju Hutan Hargagiri, melalui jalur tersembunyi yang hanya dikenal oleh bangsawan Mandalagiri. Di balik dedaunan yang rimbun dan kabut tipis, sesuatu tengah menanti—entah sejarah yang terkubur, atau mimpi buruk yang belum selesai.

ADEGAN DI RERUNTUHAN RUMAH BARON WILLIAM VAN DER LINDT

Lokasi: Jantung Hutan Hargagiri – Wilayah bekas rumah bangsawan asing, kini menjadi markas Bayawira Selatan

Di tengah reruntuhan megah yang kini diselimuti dedaunan liar dan lumut tua, pertarungan antara tiga anggota muda Guild Bayu Geni — Bagas, Nandika, dan Kirta — melawan puluhan Bandit Sihir Bayawira Selatan berlangsung sengit. Asap tipis mengepul dari tanah akibat benturan kekuatan magis dan energi senjata. Di antara reruntuhan pilar marmer dan jendela pecah berbingkai emas, kilatan cahaya dan teriakan perang bersahut-sahutan.

Bagas berputar menghindari tusukan tombak lawan dan melayangkan pukulan keras ke arah dada bandit bertopeng.

Sarung tangan besinya bersinar merah menyala, seperti bara api yang baru tersulut. Ia belum menyadari bahwa itulah gejala bangkitnya khodam dalam dirinya.

Nandika di sisi lain berputar elegan, mengayunkan tombaknya dalam gerakan melingkar. Ujung tombak berpendar biru terang, menciptakan semburat cahaya di tengah bayangan reruntuhan. Cahaya itu menyalur bagai nafas hidup dari dalam dirinya — tanda bahwa khodam telah menyentuh batas kesadaran jiwanya.

Kirta bertahan dengan panah di tangan, menembakkan anak panah ke titik-titik vital, memperlambat gerak musuh. Napasnya teratur, pandangannya tajam. Ia belum memunculkan khodam, namun ketenangannya membuatnya menjadi titik tumpu formasi mereka.

Di atas reruntuhan balkon lantai dua, Resi Wighna Laksa dalam jubah biru tua hanya mengamati, seolah sedang menilai seberapa jauh mereka bisa melangkah.

Matanya menyipit, melihat aura samar di balik senjata Bagas dan Nandika.

Resi Wighna Laksa (gumam):“Dua roh baru telah menyentuh ambang. Pengikat mereka sudah terbentuk… Tapi belum sepenuhnya bangkit. Bagas, si pemukul dengan tangan api… Nandika, si tombak cahaya. Tak kusangka akan muncul dari generasi ini...”

SUARA DERAP KAKI

Tiba-tiba, dari sisi utara reruntuhan, suara langkah berat terdengar. Tiga sosok muncul — penuh wibawa dan kekuatan — mengiringi seorang pria berpakaian sederhana namun anggun: Tuan Septya. Dulu dikenal sebagai Pangeran Mahkota Aryasatya, kini menanggalkan semua gelar kebangsawanannya.

Di belakangnya:

Ranggalawe, tubuhnya kekar, dada bidang terbuka, memegang tombak panjang dari logam hitam. Wajahnya keras seperti pahatan batu.

Jayangrana, pria berambut kelabu, dua keris tipis di pinggang, sorot matanya tajam dan penuh kewaspadaan.

Swandaru, mengenakan penutup mata merah, panah tersandang di punggung, tidak mengucap sepatah kata pun.

Pertarungan terus berlangsung. Ketiganya belum ikut campur. Namun begitu Tuan Septya melangkah, Resi Wighna turun dari balkon dan berdiri di hadapannya. Mata mereka bertemu. Ketegangan menyelimuti udara di antara mereka berdua. Sorot mata mereka memendam sejarah masa lalu.

Resi Wighna Laksa (suara berat):“...Aryasatya. Tak kusangka, kau sendiri yang datang ke tempat ini.”

Tuan Septya (tenang):“Bukan lagi Aryasatya. Aku bukan pangeran mahkota, Resi. Aku hanya Septya… pria yang kehilangan harga diri dan masa depan karena kesombongan sendiri.”

Resi Wighna (mendekat, menunduk):“Lima tahun lalu… kau adalah anak yang kubanggakan. Di akademi, kau murid yang cerdas, rendah hati, penggagas ramuan, dan memiliki ketertarikan akan sihir murni. Tapi… tahta mengubahmu.”

Septya:“Aku tahu. Dan aku akan membayar… atas dosa-dosa masa lalu... dengan jalanku.”

Resi Wighna (mata menatap tajam):“Kau menyuruhku membunuh Ardika. Putra bangsawan yang hanya menentang rencanamu soal pemusatan kuasa di militer kerajaan. Kau membuatku jadi algojo... dan mengkambinghitamkan Prayogi Mahadipa. Pahlawan sejati yang kemudian gugur…”

Septya menunduk. Nada suaranya lirih.

Septya:“Aku salah. Aku sangat tahu itu sekarang. Aku datang bukan untuk kekuasaan. Aku hanya ingin membantu… menebus yang bisa aku tebus.”

Resi Wighna (suara mulai lembut, tapi tajam):“Apa yang membuatmu kembali ke medan api, setelah kau memilih jadi pembuat ramuan dan hidup damai di Saptadarma?”

Septya (mata menatap lurus):“Aku tahu siapa yang membawa anak-anak ini kemari. Aku tahu tentang Jasana… dan keris pengikat khodamnya. Aku tahu mereka diburu oleh sesuatu yang lebih gelap dari sekadar Bayawira... Dan aku tahu, waktunya sudah dekat. Yang bisa kuberikan hanya kekuatan... dan kebenaran.”

Hening sejenak. Angin mengangkat debu reruntuhan.

Resi Wighna:“Kau sudah berubah, Septya. Tapi ingat, dosa yang lama tak menghilang hanya dengan niat baik. Tapi… jika niatmu tulus… mari kita lihat apakah kau masih bisa menebusnya.”

TERIAKAN PERANG KEMBALI MENGGEMA.

Jayangrana melompat turun, menebas dua Bayawira dalam satu gerakan halus. Ranggalawe menghantam tanah dengan tombaknya, membuat gelombang kejut yang menjatuhkan lawan. Swandaru menembakkan anak panah ke arah puncak atap, menjatuhkan penembak rahasia.

Tuan Septya menarik belatinya yang hanya hiasan. Ia tak bertempur, hanya berdiri sambil mengamati Bagas dan Nandika dari kejauhan. Tatapannya lembut.

Tuan Septya (gumam):“Jasana... sebentar lagi aku akan mengembalikan yang seharusnya menjadi bagianmu.”

KAMERA NARASI BERPINDAH ke buntelan di punggung Bagas — terlihat sekilas bilah keris berselimut kain merah dan sebuah pedang kayu. Cahaya samar berkilau dari dalamnya, seolah roh bijak di dalam keris sedang terbangun…

Di bawah langit kelam yang tertutup kabut gaib Hargagiri, reruntuhan rumah bangsawan tua Baron William van der Lindt menjadi saksi bisu pertarungan besar yang perlahan mulai memuncak. Angin menyapu puing-puing dan daun gugur, membawa aroma magis yang menusuk, seolah hutan itu sendiri menahan napas menanti hasil akhir dari pertarungan ini.

Di tengah reruntuhan utama, dua sosok berdiri saling berhadapan: Resi Wighna Laksa, sang Kapten Bayawira Selatan, mantan tabib istana dan guru spiritual yang kini berubah menjadi penguasa sihir hitam, dan Tuan Septya, sang mantan pangeran mahkota Aryasatya yang telah membuang gelar dan masa lalunya, kini berdiri sebagai pendekar dan alkemis dengan pedang di tangan dan kehormatan di dada.

Duel Sihir dan Pedang

Resi Wighna mengangkat tongkat sihirnya — sebuah tongkat panjang berwarna hitam keabu-abuan dengan tengkorak kecil bertaring di puncaknya, yang matanya menyala merah redup. Ia menggumamkan mantra dalam bahasa kuno yang membuat udara di sekitarnya bergetar.

Rantekala Ning Saptawi… Wahya Angkasa Rahwa!

Kilatan ungu menyembur dari ujung tongkat, membentuk panah-panah sihir kecil yang meluncur ke arah Tuan Septya dalam kecepatan tinggi.

Namun, Aryasatya — Tuan Septya — berdiri tenang. Ia mencabut pedang legendarisnya, “Wijayakrama”, sebilah pedang bermata dua dengan bilah perak kebiruan dan ukiran aksara Mandalagiri di sepanjang sisinya.

Dengan satu gerakan anggun, dia menebas serangan-serangan sihir itu seperti menebas daun yang jatuh.

Sihir itu meledak menjadi percikan cahaya yang membentuk bunga api kecil di udara.

“Kau makin kehilangan kejernihanmu, guru...” ujar Tuan Septya pelan, namun tajam.“Dan kau… masih bermain api dengan rasa bersalahmu yang lama,” jawab Resi Wighna dengan tatapan menyala.

Resi Wighna menyapu tongkatnya membentuk gelombang tekanan udara sihir yang mendorong Tuan Septya mundur, tapi sang pendekar menjejak tanah dengan teknik tapak peredam tanah, menyalurkan energinya melalui telapak kaki dan menahan guncangan.

Lalu ia berbalik dan meluncur cepat, menebas ke arah dada Resi Wighna — si Resi menangkis dengan medan sihir pelindung tipis berbentuk jaring cahaya hijau tua.

Sementara Itu: Pertempuran di Sekitar

Tak jauh dari mereka, Bagas Prayoga bertarung berdampingan dengan Ranggalawe, tubuh kekar dan tombaknya menyapu bandit sihir yang melompat dari reruntuhan. Serangan Ranggalawe tampak berat dan lambat, namun saat mengenai tubuh musuh, menghancurkan tulang dan armor mereka seketika, hasil dari teknik pernapasan besi yang memadatkan tenaga dalam ke ujung tombaknya.

"Bahu kirimu, Bagas!" seru Ranggalawe cepat, dan Bagas menangkis pedang gelap dari sisi kirinya menggunakan sarung tangan besi miliknya, lalu membalas dengan pukulan berlapis aura merah menyala.

Di sisi lain, Nandika melompat di atas puing, melemparkan tombaknya ke arah seorang bandit yang mencoba melempar sihir kegelapan. Jayangrana, sang pendekar dua keris dengan mata tajam, mengayun dua bilah keris tipisnya dan menebas aura sihir di udara sebelum sampai ke Nandika.

"Energi mereka berasal dari bayang-bayang di balik kabut," bisik Jayangrana pada Nandika. "Kau harus serang sebelum mereka menyatu dengan kabut."

Kirta, sang pemanah cerdas, berdiri di belakang, menarik napas dalam, lalu melepaskan anak panah yang memecah kabut tebal — membidik titik-titik aura musuh yang terlihat samar lewat indra sihir milik Jayangrana.

Di ketinggian reruntuhan, berdiri Swandaru, dengan mata masih tertutup kain merah. Ia menyiapkan tiga panah sekaligus. Tanpa suara, ia melepaskan semuanya dalam satu tembakan. Ketiganya melesat melingkar dan mengenai tiga bandit sihir yang mencoba mengelilingi pertempuran utama, seolah ia melihat lebih jelas dalam kegelapan dibanding yang bermata terbuka.

Kembali ke Pertarungan Utama

Tuan Septya melompat mundur, menarik energi dari dalam tubuhnya, tangannya bersinar biru. Ia menancapkan pedangnya ke tanah dan mengangkat satu tangan, menciptakan lingkar sihir bercahaya di belakangnya.

“Satria Mandalagiri… mohonkan izinmu…”

Lingkar sihir itu meluncurkan cahaya petir horizontal yang menyambar tongkat Resi Wighna, memaksanya melompat ke samping. Resi Wighna membalas dengan mantra pembengkok jiwa, mengirimkan serangan sihir berupa bayangan raksasa berbentuk tengkorak ke arah Tuan Septya.

Kedua serangan bentrok di udara, menciptakan dentuman hebat, menyebarkan gelombang magis ke seluruh reruntuhan, menghentikan sejenak semua yang bertarung.

Kabut mulai berubah warna, dari putih menjadi keunguan pekat. Langit di atas hutan Hargagiri bergetar. Dua sosok yang dulunya guru dan murid, kini berdiri setara sebagai rival takdir, dan mereka belum mengeluarkan khodam mereka masing-masing.

Pertarungan baru saja dimulai.Dan nasib mereka semua akan ditentukan di jantung hutan, di atas reruntuhan sebuah masa lalu yang mereka coba lupakan.

Pertarungan Utama: Resi Wighna Laksa vs Tuan Septya

Langkah Resi Wighna Laksa berderak ringan di atas puing. Setiap hentakan tongkat sihirnya ke tanah membuat tanah bergetar samar. Tengkorak di ujung tongkat itu kini memancarkan mata merah membara, berputar seperti menyerap sesuatu dari udara di sekelilingnya.

Tusuk Jantung Bayang-Bayang... Candrakirana Wesi Neng Geni!

Ia mengayunkan tongkat ke depan, dan dari udara muncul tiga tombak sihir hitam legam — bercahaya merah gelap di tepinya — melesat cepat, mengiris kabut dan udara, menargetkan dada, bahu, dan perut Tuan Septya.

Tuan Septya menyilangkan pedangnya ke depan. Ia mengayunkan Wijayakrama dengan teknik pemotong sihir, "Tebas Runtuh Petir", dan menciptakan celah angin sihir yang menyapu dua tombak pertama — meledakkannya dalam semburan energi ungu kehijauan.

Tombak ketiga berhasil lolos dan hampir mengenai pinggangnya, namun ia memutar tubuhnya ke samping dan menghantamkan tumitnya ke tanah, memantulkan diri ke belakang.

“Kekuatanmu… telah dicampur oleh dendam yang busuk, Resi,” seru Septya.“Dan kau... masih memikul beban tahta yang kau tolak. Tapi beban tetap meninggalkan jejak,” jawab Wighna dingin.

Dengan satu gerakan cepat, Resi Wighna memutar tongkatnya di udara dan melemparkannya ke atas. Tengkorak itu melayang, mata bersinar merah terang, lalu meledakkan cahaya yang membentuk hujan tombak sihir dari langit. Seperti panah api dari neraka, sihir-sihir itu menebas tanah, reruntuhan, bahkan membuka celah di dinding bangunan tua.

Tuan Septya mengangkat pedangnya ke atas dan menggambar lingkar pelindung sihir berbentuk segilima emas. Ia memutar pedangnya cepat, dan dari tiap tebasan meluncur gelombang tebasan angin bercahaya biru, menghantam dan menetralkan tombak-tombak tersebut satu per satu.

Pertarungan mereka kini bukan lagi kontak fisik, melainkan adu kekuatan sihir dan teknik pertarungan jarak jauh.

Setiap tebasan Wijayakrama meluncurkan sabetan sihir melingkar, menciptakan busur cahaya yang mampu membelah sihir hitam Resi Wighna. Sebaliknya, setiap gerakan tongkat Resi Wighna menghadirkan kepingan kegelapan tajam dan serangan manipulatif, memaksa Septya bertarung dengan kepala dingin dan pengamatan tajam.

Di Ujung Pertarungan Lain: Bagas, Nandika, Kirta, dan Para Pengawal

Tak jauh dari mereka, Bagas dengan nafas berat tetap maju menerjang. Sarung tangan besinya berasap setelah menghantam kepala salah satu bandit sihir yang tersungkur di tanah. Tubuhnya luka, tapi matanya masih membara semangat.

“Satu lagi! Kirta, belakangmu!” serunya.

Kirta berbalik cepat dan melepaskan panah berujung sihir, memaku satu bandit ke dinding runtuhan. Tepat saat dua dari mereka mencoba melarikan diri ke balik kabut, Nandika melompat dari reruntuhan atas dan melempar dua tombak ringan secara simultan — keduanya menancap sempurna ke dada dan punggung bandit.

Tiga pengawal Tuan Septya — Ranggalawe, Jayangrana, dan Swandaru — bekerja dengan tenang namun mematikan.

Ranggalawe menebas dua musuh dengan satu ayunan beratnya.

Jayangrana menusuk dengan keris kembar dari kegelapan, membuat sihir musuh lenyap sebelum terbentuk.

Swandaru, masih dengan mata tertutup, menembakkan panahnya ke arah suara napas, tak pernah meleset.

Kini hanya tiga bandit sihir tersisa. Mereka tersudut di antara dinding retak dan reruntuhan altar tua.

Salah satu dari mereka panik, berusaha membuka gerbang kabur dari sihir teleportasi. Namun Kirta menembak tepat ke jantung ritual mantra yang dilafalkan, dan sihir itu buyar dalam letupan.

Pertempuran di sisi ini telah dimenangkan. Bagas dan yang lain kini berdiri bersama, saling melindungi dan menyiapkan diri menghadapi kemungkinan gelombang serangan berikutnya.

Kabut mulai menipis, namun suasana tak menjadi lebih tenang. Justru… udara terasa lebih berat, seperti ditindih oleh kehadiran sesuatu yang tak seharusnya muncul.

Ketika regu terakhir bandit sihir berhasil dilumpuhkan oleh Bagas, Nandika, Kirta, dan ketiga pengawal Tuan Septya, ketegangan mereka mulai mereda. Nafas tersengal. Luka-luka ringan, tubuh mereka basah oleh peluh dan darah musuh. Tapi kemenangan itu tak sempat mereka rayakan.

Lingkaran sihir tiba-tiba menyala di tanah yang gelap di depan mereka — warna hijau berkilat emas, berpola spiral bertumpuk seperti sisik ular. Tanah di bawahnya bergetar, membentuk retakan kecil yang mengelilingi titik tersebut.

“Awas... sihir pemanggilan lagi?” seru Kirta sambil mengangkat busurnya, mata waspada.

Dari dalam lingkaran sihir itu, muncul sosok berjubah panjang. Suara langkahnya berat namun mantap. Kabut terbuka, dan wajahnya tampak dengan jelas.

Bagas terdiam.Nandika memucat.Kirta memicingkan mata, tidak percaya.

“...Kapten Lodra Wahana?” bisik Nandika.

Sosok itu mengenakan jubah hijau tua panjang — model yang hampir identik dengan jubah resmi Divisi Raka Lelana, tapi lambang yang tersemat di dada kirinya telah berubah. Logo naga mengepak yang dulu ada di sana telah diganti dengan lambang baru: seekor ular berkepala dua melingkar, menggigit ekornya sendiri. Lambang resmi Bayawira.

Dia bukan lagi Kapten Raka Lelana.Kini dia adalah Wakil Kapten Bayawira Selatan.Tangan kanan Resi Wighna Laksa.

“Apa maksudmu, Kapten…?!” teriak Bagas, nadanya hampir menuntut.“Kenapa kau bersama mereka!?” sambung Kirta, matanya tak berkedip.

Lodra Wahana tidak menjawab.

Wajahnya datar, dan tubuhnya diam seperti patung. Namun aura dari tubuhnya… tak bisa disangkal. Aura spiritual milik seorang pemanggil khodam tingkat tinggi. Dulu, dia adalah mentor. Sekarang, dia adalah ancaman.

Tiga pengawal Tuan Septya — Ranggalawe, Jayangrana, dan Swandaru — tak menunggu penjelasan. Mereka serempak melesat ke depan, menyerbu dengan formasi rapat, seperti harimau menyergap mangsa.

“Jangan dekatkan diri ke Bagas dan yang lain!” seru Jayangrana.

Tapi...

Dengan gerakan cepat, Lodra Wahana mengangkat tangan kirinya. Aura tanah bergetar. Sinar hijau membakar udara.

Tubuhnya mulai berubah...

Mode Kebangkitan Khodam: Siluman Kera Sakti

Dalam sekejap, Lodra Wahana telah memanggil khodamnyaRaja Kera Sakti.

Rambut emas terang menjuntai liar di punggungnya.

Mata membara merah.

Kulitnya menebal dan bersisik halus seperti batu keras.

Di punggungnya tergantung tongkat besi hitam keemasan, yang kini ia tarik dan ayunkan ke depan.

Tiga pengawal Tuan Septya disapu hanya dalam satu ayunan.Udara pecah. Batu-batu reruntuhan terpental.Tubuh ketiganya terhempas ke pilar-pilar batu di sekitar, pingsan dalam sekejap, tanpa bisa membalas.

Bagas, Nandika, dan Kirta berdiri terpaku.

Sosok yang dulu memimpin mereka, yang pernah mereka hormati dan ikuti, kini berdiri sebagai raksasa siluman... musuh yang nyata.

“Mengapa, Kapten…? Kau… bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun kepada kami.”suara Nandika gemetar, bercampur marah dan terluka.

“Kami mencarimu. Setelah kau pergi… tanpa pesan, tanpa alasan. Kami percaya padamu...”ucap Kirta, matanya berkaca-kaca.

Lodra Wahana hanya menatap mereka dengan mata tajam siluman, matanya bersinar kemerahan seperti bara dalam gua. Ia tak menjawab.Hanya berdiri, tongkat besi siap digunakan kembali. Diamnya… lebih menyakitkan daripada ejekan.

“Kalau begitu… biarlah tongkat itu bicara untukmu!” seru Bagas, sambil menggenggam erat sarung tangan besinya.

Tiga lawan satu... Pertarungan murid melawan mantan kapten

Ketiganya mengambil formasi.

Bagas di garis depan, tubuhnya tegak dan bersiap menghadapi kekuatan brutal.

Nandika di sisi kanan, menarik tombak sihir panjangnya, mata tajam penuh kehormatan yang dikhianati.

Kirta di belakang, menyiapkan anak panah sihir yang khusus untuk melawan makhluk spiritual.

Ini bukan hanya pertarungan fisik. Ini ujian batin.

Mereka bertiga akan menghadapi Lodra Wahana, sang mantan Kapten, yang kini telah memilih jalannya sendiri.

Dan dalam kabut Hargagiri, angin mulai berputar lebih cepat.

Di balik kabut Hargagiri… ada dendam yang belum padam

Saat Bagas, Nandika, dan Kirta bersiap menghadapi Lodra Wahana yang kini berwujud raksasa siluman kera, sosok tersebut tidak bergerak menyerang mereka terlebih dahulu. Ia hanya berdiri menatap ke kejauhan — arah timur laut, sekitar 300 meter dari tempat mereka.

Di sana, di balik kabut dan reruntuhan batu, dua kekuatan besar sedang bertempur:

Tuan Septya — sosok misterius yang dikenal publik sebagai bangsawan terpencil,

dan

Resi Wighna Laksa — pendeta hitam dari kelompok Bayawira, guru spiritual para pemberontak.

Mereka saling melepaskan sihir-serangan jarak jauhpancaran energi biru dan merah darah melesat dari ujung jari, menciptakan dentuman seperti petir yang menabrak langit dan memecahkan tanah. Pohon-pohon runtuh. Kabut tersibak oleh badai yang mereka ciptakan.

Namun… tak satupun dari mereka sadar bahwa Lodra Wahana telah hadir.

Ia tidak melihat ke arah tiga muridnya yang dulu setia.Tatapannya hanya tertuju pada satu orang:Tuan Septya.

“Akhirnya… aku menatap wajahmu lagi, Aryasatya,” bisiknya dalam hati, lirih namun membakar seperti bara.

Saat itulah… suara dalam pikirannya menggema. Bukan suaranya sendiri… melainkan suara Resi Wighna Laksa, sang guru, sang penyelamat.

"Ingatlah, Lodra… kenapa kita berdiri di sisi ini sekarang. Lima tahun lalu, saat darah Sahabatmu sendiri dikhinati oleh pangeran itu.”

— Flashback Lima Tahun Lalu —

Langit senja di atas perbatasan Mandalagiri.Divisi Mandala Utama Guild Bayu Geni tengah menjalankan misi khusus atas nama perdamaian — permintaan langsung dari Sri Maharaja Darmawijaya.

Jagat Arunika, sang kapten bijak dan pemberani, memimpin misi itu. Ia percaya ini adalah panggilan diplomasi, namun yang menantinya bukanlah perundingan…

Melainkan pengkhianatan.

Di tengah perjalanan menuju kerajaan seberang, rombongan Jagat Arunika dihentikan.Pasukan yang seharusnya melindunginya kini berbalik menyerang. Panah-panah ditembakkan ke arahnya. Lalu… sebuah dorongan.Tubuhnya terhempas — jatuh ke dalam jurang dalam yang dingin dan sunyi.

Salah satu dari mereka, sebelum mendorongnya, berkata dengan jelas:

“Atas nama Aryasatya, pangeran mahkota Mandalagiri… kau tidak pantas hidup.”

Namun takdir belum menutup kisah Arunika.

Dari kegelapan dasar jurang, sebuah lingkaran teleportasi terbuka.Resi Wighna Laksa, yang waktu itu telah membelot dari istana karena melihat kebobrokan moral pangeran Aryasatya, masuk ke dalam jurang.Ia menyelamatkan Jagat Arunika, yang sekarat namun masih hidup. Mereka bersembunyi, dan merawat luka-lukanya di dalam sebuah gua sunyi.

Di situlah lahir Bayawira.

Dari pengkhianatan, dari dendam, dari keinginan untuk membongkar kebusukan darah biru yang tersembunyi rapi di balik senyum politik.

Dan sekarang…

Jagat Arunika telah bangkit.Dia kini Pemimpin Utama Bayawira.Dia hidup. Dan Aryasatya tidak pernah tahu itu.

Kembali ke Hargagiri…

Lodra Wahana mengangkat tongkat besinya perlahan, tak menatap siapa pun selain sosok yang masih bertarung di kejauhan.

“Hari ini… aku akan mengantarkan pesan pada si pengkhianat. Bahwa yang kau lemparkan ke jurang, telah bangkit. Dan hari pembalasan… sudah dekat.”

Namun langkahnya dicegat.

Bagas melangkah maju.Nandika menghalangi dengan tombaknya.Kirta sudah menarik anak panah khusus.

“Kami tak tahu masa lalumu, Kapten… tapi jalan yang kau pilih sekarang adalah jalan musuh.”“Jika kau ingin melewati kami untuk membunuh Tuan Septya, maka kau harus melewati pedang kami lebih dulu.”

Lodra Wahana menatap mereka bertiga.

Diam. Tegang. Hening.

Dan akhirnya… suara beratnya terdengar dari balik tubuh siluman keranya:

“Kalian masih muda. Masih naif.”“Jika kalian tahu siapa sebenarnya yang kalian lindungi… mungkin kalian akan melepaskan senjata kalian sendiri.”

Namun ketiganya tak bergerak.

Mereka memilih setia… meski tak tahu seluruh kebenaran.

HARGAGIRI BERGUNCANG

Kabut yang semula menggantung pelan di lereng Hargagiri kini buyar oleh benturan energi.Tanah retak, batu beterbangan, dan pohon-pohon tua merunduk oleh tekanan aura yang saling berbenturan.

Lodra Wahana, mantan kapten Divisi Raka Lelana, kini berdiri dalam bentuk siluman kera raksasa berzirah hitam. Matanya menyala merah, dan tongkat besi bersegel gaib di tangannya menggetarkan tanah setiap kali disentakkan.

Namun di hadapannya—berdiri tiga murid dari generasi baru:

Bagas Prayoga dengan sarung tangan besi yang kini memanas membara.

Nandika Sutasmi dengan tombak berlapis aura angin tajam.

Kirta Wangsaputra, memanah dengan anak panah sakral bertanda angin roh leluhur.

Ketiganya berdiri tanpa gentar.

⚔️ Pertarungan Dimulai ⚔️

Lodra menyerbu lebih dulu, lompatannya membuat tanah terangkat. Dengan kekuatan luar biasa, tongkat besi raksasanya dihantamkan ke tanah seperti palu petir. Suara dentuman menggema jauh, membangunkan burung-burung malam dari pohon.

Bagas melompat ke depan dan menahan hantaman itu dengan kedua tangan—tanah di bawahnya runtuh, namun dia bertahan.

Sebuah aura merah membungkus tinjunya, lalu dia membalas dengan pukulan hulu-hati, menghantam tubuh Lodra dan membuatnya mundur setengah langkah.

Kirta memanah dari kejauhan—anak panah pertamanya diarahkan ke mata Lodra, namun siluman itu menangkapnya dengan dua jari.

“Terlalu mudah ditebak,” geramnya, lalu dilemparkan kembali panah itu ke arah Kirta.

Namun Nandika melompat dan memotong anak panah itu di udara dengan putaran tombaknya yang anggun. Ia mendarat di pundak Lodra, menancapkan tombaknya ke bahu musuhnya dan melompat mundur, meledakkan segel angin yang tertanam di ujung senjata.

Ledakan itu membuat Lodra mengaum keras, sebagian zirahnya retak.

“Kalian bukan bocah sembarangan…” desis Lodra, wajah silumannya menyeringai.

⚡️ Sementara Itu, Di Kejauhan… ⚡️

Tuan Septya dan Resi Wighna Laksa masih berdiri berhadapan — tongkat bertengkorak dan pedang panjang saling bersilang dengan sihir jarak jauh.Namun keduanya tiba-tiba berhenti.

Aura pertarungan antara ketiga murid muda itu dan Lodra Wahana menarik perhatian mereka.

Resi Wighna Laksa tersenyum dingin.

“Dia datang,” bisiknya. “Salah satu api tua dari masa lalu…”

Matanya bersinar merah, seolah mendapat jaminan kemenangan.

Namun Tuan Septya menyipitkan mata, bingung.

“Siapa itu…?” gumamnya.

Dia mencoba mengingat wajah siluman itu dalam bentuk manusianya—dulu saat ia masih di istana sebagai Pangeran Aryasatya, ia memang pernah mendengar nama Lodra Wahana. Tapi hanya sekilas.

“Seorang kapten dari guild pendekar kampung itu…? Apa pentingnya dia?” pikirnya.

Dulu, Aryasatya meremehkan semua yang berasal dari Guild Bayu Geni. Ia menyebut mereka "penjaga desa yang kebetulan bisa berpedang." Bagi dirinya, hanya bangsawan dan akademi kerajaan yang pantas disebut penjaga dunia.

Namun sekarang, di hadapannya… salah satu dari mereka menerjang dengan kekuatan seperti dewa siluman, dan bertarung setara dengan tiga pendekar muda pilihan.

🔥 Pertarungan Memuncak 🔥

Lodra kini mengguncangkan tanah dengan sihir paku bumi dari tongkatnya, menciptakan puluhan pilar batu yang melonjak dari tanah mengejar Kirta dan Nandika.

Kirta menari di antara pilar itu, meluncurkan panah kedua dengan segel angin spiral—memecahkan dua pilar dan menembus pundak Lodra. Darah siluman memercik, hitam dan panas.

Nandika menyelinap dari sisi kanan dan menusukkan tombaknya ke sisi rusuk Lodra—serangan ketiga yang terkoordinasi.

Bagas, dengan teriakan keras, melompat tinggi dan menghantam kepala Lodra dengan Tinju Tiga Bayangannya, sebuah jurus yang melepaskan tiga gelombang pukulan dalam satu tebasan tangan.

BOOM!!

Lodra terhuyung. Zirahnya retak lebih lebar.Namun dari dalam tubuh siluman itu, kilatan hitam mulai muncul.

“Sudah cukup,” geram Lodra, aura dendam dari masa lalu meledak dari tubuhnya.“Kalian tak tahu siapa musuh sesungguhnya…”

⚠️ Pertanda dari Masa Lalu ⚠️

Dari kejauhan, mata Tuan Septya menyipit.Untuk pertama kalinya, ia merasa gelisah.

“Kenapa aku merasa… orang ini memburuku?”“Apa yang sebenarnya terjadi lima tahun lalu?”

Di sisi lain, Resi Wighna Laksa hanya tersenyum.Karena ia tahu:Hari ini bukan sekadar pertempuran di Hargagiri.Ini adalah awal terbukanya rahasia pengkhianatan terbesar kerajaan.

BABAK LANJUTAN: CAHAYA MERAK DI MEDAN DUKA

Ledakan demi ledakan kecil masih menggema, namun kini perhatian tertuju pada pusaran pertarungan di tengah kabut Hargagiri.

Lodra Wahana—yang semula dalam wujud siluman kera raksasa—tiba-tiba mengecilkan tubuhnya menjadi sosok manusia biasa.Namun sosok itu masih sama: tubuh berotot, zirah hitam runcing di bahu dan dada, dan mata merah menyala, penuh kewaspadaan dan perhitungan.

“Tubuh besar memperlambat langkahku…” gumamnya dingin.“Kalian terlalu kompak. Sudah waktunya aku bergerak seperti dulu…”

⚔️ SERANGAN BALIK LODRA WAHANA ⚔️

Dalam sekejap, Lodra Wahana menghilang dari pandangan mata biasa—dan tiba-tiba tongkat besinya menghantam Bagas dari samping.

BAGAS terpental keras, tubuhnya menghantam pohon raksasa dan membuat batangnya patah. Ia jatuh terduduk, darah menetes dari bibirnya, tapi matanya masih menyala dengan amarah.

Belum sempat Kirta menarik busur, Lodra meluncur seperti kilat dan menghantam perut Kirta dengan gagang tongkat.Kirta tersedak, mundur, dan jatuh tersungkur sambil menahan rasa sakit.

“Dua tumbang,” bisik Lodra, napasnya teratur, gerakannya seperti siluman kera sakti dari legenda.

Ia meluncur ke arah Nandika dengan derap kaki empat seperti seekor primata, lompat ke udara dan menghantam dengan putaran tongkat tajam.

💠 KEBANGKITAN KHODAM: SANG MERAK BIRU 💠

Namun kali ini, NANDIKA tidak bergeming.Dengan tombak di tangan dan tubuh dalam posisi siap, ia menangkis serangan Lodra dengan tepat waktu, suara besi menghentak udara.

Saat itu terjadi, aura biru kehijauan meledak dari tubuh Nandika.

Di belakangnya, muncul bayangan besar seekor merak biru dengan ekor yang menjuntai seperti tirai cahaya.Mata merak itu menyala lembut, dan bulu-bulunya memancarkan aura angin dan ketepatan.

“Apa ini…?” bisik Nandika. “Tapi… rasanya hangat… dan kuat…”

Tongkat besi Lodra menyambar dari kiri—Nandika membalik tombaknya ke belakang dan memukul balik.Tongkat menyentuh ujung tombak, tapi pantulan aura biru membuat Lodra mundur satu langkah.

Lodra menyeringai.

“Akhirnya… kau bangkit.”

⚡️ PERTARUNGAN CEPAT: TONGKAT VS TOMBAK ⚡️

Lodra Wahana menyerang lagi, cepat, dari segala arah.Tongkatnya memutar seperti roda badai—menyabet, menusuk, membanting.

Namun Nandika kini bisa mengimbangi.Setiap gerak tongkat dibalas dengan putaran tombak. Setiap tusukan dilawan dengan dorongan aura angin.

Tubuh Nandika kini lebih ringan, melayang seolah menari, dan setiap langkahnya seperti dilindungi ekor merak.

—Serang kanan atas!—Tangkis!—Serang dari belakang!—Putar badan dan tusuk!

Duel mereka menjadi tari kematian.Tongkat besi dan tombak panjang menari di antara kilatan cahaya biru dan percikan api.

Lodra menyeringai puas.

“Itu dia… Kau sudah pantas jadi anak buahku.”

“Aku tak butuh jadi anak buahmu!” balas Nandika, matanya membara.“Aku datang untuk menuntut keadilan. Untuk semua yang kau sembunyikan!”

🔥 AKHIR BABAK: MERAK MENGGEPAK SAYAP 🔥

Dalam satu titik, aura khodam Nandika meledak.Sayap cahaya sang merak mengepak sekali—dan angin kuat mendorong Lodra ke belakang.

Saat itu, Kirta sudah berdiri kembali di kejauhan, membidik.Bagas, meski terluka, sudah mengepalkan tangan, siap untuk menutup serangan.

“KITA SEKARANG!” teriak Nandika.

Tombaknya menusuk ke depan.Anak panah Kirta melesat.Bagas melompat dengan pukulan terakhir.

Kaboom!

Ledakan cahaya memenuhi medan. Kabut tersapu bersih.

Dan di tengah puing, berdiri satu sosok… terhuyung.

🌫️ Dari Kejauhan… 🌫️

Tuan Septya dan Resi Wighna Laksa menyaksikan semuanya.

Resi tersenyum lega.

“Lodra masih berdiri… bagus…”

Namun Tuan Septya… kini benar-benar bungkam.Sosok Nandika berdiri di medan seperti dewi perang berbalut cahaya merak.Dan tiga anak muda itu, dengan tekad dan kekuatan sejati, mampu membuat seorang Kapten Divisi legendaris terhuyung.

“Mereka bukan pendekar kampung lagi…” bisik Septya.“Guild Bayu Geni… telah berubah.”

BABAK LANJUTAN: BAYANGAN DI BALIK SETIA

Kabut mulai menipis.Tanah terbelah, dedaunan beterbangan, dan medan pertarungan basah oleh darah dan keringat.

Lodra Wahana berdiri, napasnya berat, tongkat besinya sedikit menurun.Ia mengedarkan pandangannya pada tiga sosok di hadapannya—Bagas, Kirta, dan Nandika, masing-masing dalam luka, tapi mata mereka tak goyah sedikit pun.

“Hmph…” Lodra membuka suara, suaranya berat seperti batu yang digeser.“Kalian bertiga… mengingatkanku pada masa muda. Pada… tekad yang dulu pernah menyala dalam diriku.”

Ia mengangkat tongkatnya perlahan dan menancapkannya ke tanah. Pertarungan terhenti sesaat.

“Aku tak bisa menyangkal kekuatan kalian… Bukan hanya karena teknik, tapi karena keyakinan. Dan itulah kekuatan paling langka di dunia ini.”

Nandika menatap tajam, tombaknya masih siap.

“Kami tidak peduli dengan siapa kau dulu, Lodra Wahana.”

Kirta menambahkan, suaranya dingin:

“Atau siapa Resi Wighna Laksa itu. Bahkan… siapa Tuan Septya, si mantan pangeran mahkota Aryasatya.”

Bagas, dengan suara keras:

“Yang kami tahu, Bayawira adalah kelompok jahat! Mereka merampok, menjarah, menyebar ketakutan di desa-desa Mandalagiri.Mereka adalah duri di tenggorokan rakyat.”

“Dan jika kau memilih untuk berdiri bersama mereka… maka kau adalah musuh kami.”

Lodra mengernyit. Matanya sedikit menyipit.

🌌 KEYAKINAN YANG MEMBEDAKAN 🌌

Nandika melangkah maju. Aura merak biru di belakangnya masih berpendar lembut.

“Kami tidak perlu alasanmu. Kami tahu setiap orang bisa berubah. Lihat Tuan Septya... dia mungkin berdarah biru, tapi ia memilih jalan yang benar akhirnya.”

Kirta:

“Semua manusia bisa melakukan kesalahan. Tapi juga punya kesempatan untuk membayar lunas kesalahan itu.”

Bagas menggenggam sarung tangan besinya yang penuh debu:

“Tapi perubahan itu bukan datang dari penyesalan semu. Ia datang saat kau sadar bahwa kau telah melukai orang yang tak bersalah.”

Nandika menatap lurus ke arah Lodra.

“Kami tidak akan menyerah hanya karena kau adalah Kapten Divisi dulu. Bagi kami, kau sekarang adalah penjaga ketidakadilan, dan satu-satunya cara untuk menyadarkanmu… adalah dengan mengalahkanmu.”

⚖️ JAWABAN LODRA WAHANA ⚖️

Angin menggugurkan daun-daun dari pohon-pohon di sekitar.

Lodra diam sejenak.

Ia menatap langit, lalu menatap mereka bertiga dengan sorot yang tak terbaca—antara sedih, marah, dan ragu.Namun satu hal pasti: keyakinannya belum runtuh.

“Jika kalian mencoba mengganggu keadilan yang kupercaya… maka aku tidak akan tinggal diam.”“Tidak peduli seberapa kuat niat kalian, jika kalian menghalangi jalanku... maka lawanlah aku.”“Tunjukkan kebenaran kalian. Jika aku harus kalah untuk melihatnya—maka kalahkan aku.

Ia menarik kembali tongkatnya dari tanah.Wajahnya kini serius, bukan karena kebencian—tapi karena tekad yang sama kuatnya.

🛡️ TIGA VS SATU: PERJUANGAN KEBENARAN 🛡️

Bagas menggertakkan gigi, menurunkan tubuhnya dalam posisi bertarung.Kirta menarik dua anak panah sekaligus dari tabungnya.Nandika memutar tombaknya dan membiarkan aura khodamnya mengalir sepenuhnya.

Tiga anak muda—bukan hanya dengan kekuatan, tapi dengan nurani—berdiri menghadapi Kapten yang dulu menjadi teladan Guild Bayu Geni.

Dan saat tiga pasang kaki mulai maju...Langit di atas Hargagiri kembali bergemuruh.

"Kenangan Api di Hargagiri"

Scene berpindah ke Alam Jin, di Desa Jin Aetheraya. Malam senyap menyelimuti rumah kayu kecil tempat Jasana dan Rinjana tinggal. Angin lembut menyentuh dedaunan berkilau di bawah sinar bulan ungu samar. Di dalam kamar, Jasana dan Rinjana terlelap di atas kasur jerami hangat yang dibalut kain lembut berwarna biru tua.

Sudah sembilan bulan mereka hidup di Alam Jin. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Rinjana menggeliat kecil dalam tidur, lalu matanya mengerut. Ia mulai bermimpi...

(Dalam Mimpi - 16 tahun lalu, dunia nyata)

Di tengah jantung Hutan Hargagiri Mandalagiri Selatan, berdiri sebuah rumah mewah bergaya Luar klasik. Dinding batu putih gading, jendela tinggi berbingkai kayu coklat tua, dan taman bunga eksotik mengelilinginya. Suara burung khas hutan dan aliran air sungai kecil menambah kesan damai.

Di dalam rumah itu, seorang gadis kecil usia lima tahun berambut putih keperakan dan bermata ungu bermain ceria di ruang baca besar. Namanya Catharina Van der Lindt, atau yang kini dikenal sebagai Rinjana Nirnawa. Ia tertawa sambil melayang-layang ringan di udara berkat sihir levitasi ringan yang diajarkan ibunya.

Cornelia Van der Lindt, ibunya, seorang wanita muda cantik dengan mata biru dan rambut putih keperakan panjang, duduk sambil mengamati Catharina bermain. Ia tampak tenang, namun matanya menyimpan kekhawatiran yang dalam.

Cornelia: "Catharina, jangan terbang terlalu tinggi. Ayo, bantu Ibu menyiapkan ramuan malam ini."

Catharina (mendarat riang): "Tapi Ibu bilang aku makin pintar! Aku bisa bikin sihir cahaya juga!"

Cornelia (tersenyum hangat): "Kau memang luar biasa, anakku."

Dari belakang rumah, terdengar suara tawa seorang pria tua.

Baron Willem Van der Lindt: "Haha! Kau akan jadi penyihir hebat seperti Nenekmu!"

Seorang pria paruh baya berambut pirang dan berkacamata datang membawa seikat herba dari hutan.

Madam Elsbeth Van der Lindt muncul dengan pakaian longgar elegan berwarna ungu muda, rambut putih keperakan disanggul rapi.

Elsbeth: "Kita punya tamu dari desa Saptadarma sore ini. Anak-anak ingin belajar sihir dari kita, Willem."

Baron Willem: "Luar biasa! Aku akan perkenalkan mereka pada Wizard Wands. Mereka harus tahu bahwa sihir juga bisa digunakan untuk menyembuhkan dan melindungi."

Scene berpindah ke halaman belakang rumah.

Beberapa anak dari desa Saptadarma duduk melingkar di atas rerumputan. Baron Willem menunjukkan tongkat sihir yang ramping berukir simbol angin dan cahaya.

Baron Willem: "Ini namanya Windlight Wand. Dengan ini, kalian bisa menyalakan api kecil tanpa membakar hutan. Lihat baik-baik."

Ia melambaikan tongkat, menciptakan nyala api kecil seperti lentera. Anak-anak bersorak kagum. Catharina ikut berdiri di tengah mereka, menunjukkan sihir cahayanya.

Catharina: "Aku juga bisa! Aku juga punya Wand milikku!"

Anak desa: "Wah! Hebat sekali, Catharina!"

Semua tampak bahagia.

(Namun malam itu berubah...)

Langit mendung menyelimuti rumah mewah di tengah hutan. Tiba-tiba terdengar suara ledakan. Api menyala. Teriakan menggema. Rumah Van der Lindt terbakar hebat. Sosok-sosok gelap menyusup dari kegelapan hutan—menjarah, membakar, dan membunuh.

Catharina kecil digendong ibunya, matanya basah.

Cornelia (panik): "Pegang Ibu erat-erat, Catharina! Jangan lepaskan!"

Di balik kobaran api, terlihat Baron Willem dan Madam Elsbeth mencoba melawan dengan sihir, namun kalah jumlah. Mereka tersungkur, tak bernyawa, begitupun Para Pelayan Rumah-nya yang berjumlah puluhan sudah bergeletakan tersebar di segala punjuru.

Cornelia menjerit tertahan melihat kedua orang tuanya tumbang.

Cornelia (gemetar, memeluk putrinya kuat): "Maafkan Ibu... tapi kau harus selamat..."

Dengan air mata, Cornelia mengangkat tongkat sihirnya dan menggambar simbol teleportasi di udara.

Cornelia (menangis, berbisik di telinga anaknya): "Hiduplah... suatu saat, akan ada yang menjagamu... percaya pada dunia ini... meski kejam, masih ada cinta..."

Sihir teleportasi meledak—membawa Catharina menghilang di udara.

Cornelia jatuh, tersenyum tipis untuk terakhir kalinya.

(Pagi hari di Desa Saptadarma)

Rumah itu tinggal puing. Warga menemukan jasad Baron Willem, Madam Elsbeth, dan Cornelia, serta puluhan pelayannya yang biasa bekerja di rumah tersebut. namun tidak ditemukan tanda-tanda keberadaan Catharina.

Kepala Desa: "Mungkin... dia terbakar bersama rumah ini."

Warga desa menangis. Hari itu, dunia kehilangan tiga penyihir besar—dan satu anak kecil hilang dalam sejarah Desa Saptadarma.

(Kembali ke Alam Jin, malam hari)

Rinjana terbangun dengan wajah pucat, tubuhnya gemetar dan basah oleh keringat dingin. Matanya sembab. Ia duduk dengan napas tak beraturan.

Jasana (terbangun, panik): "Rinjana? Sayang, kau kenapa?!"

Rinjana tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap kosong ke dinding kayu rumah mereka. Air matanya menetes.

Jasana segera mengambilkan air dan duduk di samping istrinya, memeluk bahunya lembut.

Jasana: "Kau tidak sendiri... aku di sini, selalu."

Rinjana menggenggam tangan suaminya. Masih terguncang, namun perlahan mulai tenang. Di luar, bulan di Alam Jin terus bersinar lembut, menyaksikan luka lama yang masih terbuka.

Angin lembut berembus di sela dinding kayu rumah mungil itu. Cahaya remang dari kristal eterik menyinari ruang tidur yang hangat dan penuh kedamaian. Jasana dan Rinjana duduk di atas kasur berlapis kain lembut berbulu Jin, setelah tangisan dan kepanikan yang mengguncang Rinjana beberapa saat lalu.

Rinjana menggenggam cangkir air hangat yang baru saja diambilkan Jasana. Tangan putih keperakannya masih sedikit gemetar, rambut merahnya menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Mata birunya sembab, menatap kosong ke depan. Ia diam beberapa saat sebelum perlahan membuka suara, dengan suara serak dan lirih.

Rinjana (lirih):

“Sudah sembilan bulan kita di sini... tapi aku selalu menyimpan semuanya sendiri… karena aku takut, kalau aku menceritakannya... kau akan melihatku dengan cara yang berbeda…”

Jasana (lembut, duduk di sebelahnya):

“Rinjana… tak ada hal di dunia ini yang bisa membuatku melihatmu dengan cara yang berbeda… aku suamimu.”

Rinjana (menatap mata Jasana):

“Kalau begitu... dengarkan aku malam ini. Hanya malam ini… aku ingin kau tahu… siapa aku sebenarnya…”

Ia menarik napas panjang, lalu mulai bercerita. Suaranya seperti nyanyian yang lirih dan terluka.

Rinjana:

“Namaku dulu adalah Catharina Van der Lindt. Aku lahir di tengah hutan Hargagiri, di sebuah rumah besar bergaya asing, rumah kami. Keluargaku bukan dari Mandalagiri. Kami datang dari negeri jauh—Kerajaan Windmills. Keluarga kami adalah bangsawan penyihir. Senjata kami bukan pedang atau tombak, tapi Wizard Wands, tongkat sihir warisan negeri kami.”

Jasana:

“Van der Lindt…” (berbisik)

Rinjana (mengangguk perlahan):

“Ibuku, Cornelia… dia wanita terkuat yang pernah kukenal. Cantik, lembut, tapi juga menyimpan kesedihan yang tak pernah ia ceritakan. Aku tak pernah tahu siapa ayahku. Hanya ada satu kalimat dari ibu yang terus terngiang…”

(Suara Rinjana lirih menirukan ibunya)

‘Ayahmu mengabdi untuk kerajaan ini… dan mungkin suatu hari dia akan pulang.’

Rinjana (melanjutkan):

“Kakekku, Baron Willem, mengajari anak-anak desa tentang sihir. Nenekku, Elsbeth, membuat ramuan untuk menyembuhkan luka dan penyakit. Kami... disayang oleh warga desa Saptadarma. Aku kecil... selalu ceria, bermain di hutan, tertawa, berlari, dan belajar sihir dasar dari Kakek.”

Ia menunduk, air mata jatuh perlahan di punggung tangannya.

Rinjana:

“Tapi malam itu… malam yang membakar segalanya…”

Jasana (pelan):

“Rinjana…”

Rinjana:

“Mereka datang. Sosok-sosok berkerudung, menyerbu rumah kami. Api membakar segalanya. Aku dipeluk Ibu, kami berlari. Aku melihat Kakek dan Nenek… tergeletak… diam semua pelayan tergeletak. Ibu melawan… hingga akhirnya… ia menjatuhkanku... dan dengan sisa kekuatannya... dia...”

(Ia terisak, menutup wajahnya dengan tangan.)

Rinjana (gemetar):

“…dia tersenyum… dan mengirimku pergi dengan sihir teleportasi acak. Itu terakhir kalinya aku melihatnya…”

Jasana menatap Rinjana. Matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan istrinya dengan lembut, lalu menariknya ke dalam pelukan hangat.

Jasana (pelan, penuh emosi):

“Rinjana… Kau tak perlu memendamnya sendiri lagi. Aku di sini. Aku akan menjadi pelindungmu… pasanganmu… dan ayah dari anak kita.”

(Ia mengelus rambut merahnya, mencium keningnya dengan lembut.)

Jasana:

“Mulai sekarang… kau tidak akan sendiri lagi. Tak akan ada lagi malam yang penuh ketakutan. Aku akan melindungi kalian… sampai napas terakhirku.”

Rinjana membalas pelukan itu. Untuk pertama kalinya, beban masa lalunya terangkat perlahan. Mereka duduk dalam diam, dalam pelukan, dikelilingi kehangatan cinta di antara keabadian malam Alam Jin.

Di luar, angin membawa harum bunga-bunga eterik. Cahaya bintang jatuh melintas di langit biru pekat Aetheraya.

Jantung Hutan Hargagiri — Reruntuhan Rumah Bangsawan Bergaya Eropa, Senja Menjelang Malam

Batu-batu putih besar, pilar patah, jendela kaca patri yang telah pecah berlumut — semua yang tersisa dari kediaman megah keluarga Van der Lindt kini menjadi medan tempur. Kabut tipis merayap di antara puing-puing dan lumut liar, seolah menyimpan bisik masa lalu yang belum terungkap.

Tubuh Nandika tergeletak tak sadarkan diri, tombaknya jatuh beberapa langkah dari tempatnya jatuh. Kirta bersandar di dinding rubuh, bibirnya berdarah, matanya tertutup. Sementara Bagas berdiri terhuyung, tubuhnya penuh luka, nafasnya berat. Tapi tekad di matanya menyala seperti bara.

Di depannya, Lodra Wahana, wakil kapten Bayawira Selatan, terduduk dengan lutut bergetar, tongkat besi di tangannya menggurat tanah. Napasnya tercekat, tubuhnya bergetar karena lelah. Siluet khodamnya, Kera Sakti, yang biasanya menari dengan lincah dan penuh kekuatan, telah memudar — habis, seperti nyala lampu terakhir sebelum padam.

Lodra Wahana (terengah-engah):

“B-Bagas… kau… kau benar-benar... kuat... aku tak menyangka... pemuda seperti kalian… mampu mendorongku sejauh ini…”

Bagas hanya menatapnya, tak menjawab. Saat itu, suara dalam hatinya menggema — suara yang membara dari dalam dirinya sendiri. Tiba-tiba, sarung tangan besi di kedua tangannya mulai menyala, merah membara, seperti logam yang baru ditempa.

WUSHH!!

Suara api meledak, dan dari belakang tubuh Bagas, siluet seekor Banteng Api muncul, megah, kokoh, dan menyeringai dengan mata menyala merah.

Lodra (terbelalak):

“...K-Khodam?! Di saat terakhir begini...?!”

Tanpa kata-kata, Bagas menghentakkan kakinya dan melesat seperti terjangan seekor banteng. Tubuhnya menubruk dengan hantaman dahsyat, pukulannya membawa kobaran api dari sarung tangan besi yang menyatu dengan kekuatan Khodamnya.

DOOORR!!!

Lodra terpental keras, menghantam batu pilar yang runtuh, lalu jatuh terguling sambil mengerang kesakitan, tubuhnya terguncang hebat.

Sementara di sisi lain reruntuhan, Resi Wighna Laksa terduduk, tubuhnya berlumur debu dan luka bakar sihir. Tuan Septya — alias Pangeran Aryasatya — terbaring tak sadarkan diri dengan dada berdarah, jubahnya robek dan bernoda.

Resi Wighna menatap Bagas dari kejauhan. Wajahnya dingin, namun matanya menyimpan rasa hormat dan kehati-hatian.

Resi Wighna (gumam lirih):

“Anak-anak ini… benar-benar diluar perhitungan… tapi aku tak bisa membiarkan Lodra mati di sini…”

Dengan tubuh goyah, Resi Wighna menyeret dirinya ke arah Lodra, lalu menyentuh pundaknya dan menggambar simbol teleportasi dengan darahnya sendiri.

SZZZTT!!!

Sinar biru menyelimuti mereka berdua, dan dalam sekejap… mereka menghilang dari tempat itu.

Keheningan turun. Bagas berdiri seorang diri, napas tersengal, sarung tangan besinya kini kembali gelap. Siluet Khodamnya telah menghilang.

Ia berjalan tertatih menuju tubuh Tuan Septya. Di sebelahnya tergeletak tiga pengawal setia yang juga dalam kondisi pingsan, namun masih bernyawa. Dengan susah payah, Bagas membuka kantong ransel di pelana kuda Tuan Septya yang berdiri terpaku di balik reruntuhan.

Ia menemukan botol kecil berisi ramuan herbal berwarna hijau pekat. Ia mengguyurkan perlahan ke mulut Tuan Septya. Lalu kembali ke Nandika dan Kirta serta ketiga pengawal setia tuan septya, mengecek denyut nadi, memastikan mereka hidup. Ia memapah Kirta ke sisi yang teduh dan menutup dada Nandika dengan jubahnya sendiri.

Bagas (berbisik, hampir tak terdengar):

“Bertahanlah… kalian semua… kita belum selesai...”

Setelah semuanya ia pastikan selamat, tubuh Bagas goyah. Ia tersenyum samar, lalu jatuh tersungkur ke tanah dan tak sadarkan diri, Botol kecil berisi ramuan masih tergengam ditangannya.

Kamera naik perlahan ke langit malam. Di bawahnya, reruntuhan kediaman Baron Willem Van der Lindt tampak sunyi kembali. Tempat yang 16 tahun lalu menyimpan jerit tangis seorang anak bernama Catharina, kini kembali diliputi oleh luka baru.

Mereka semua belum tahu…

Bahwa tempat ini…

Adalah awal dari segala luka yang belum selesai.

Dan seorang perempuan bernama Rinjana,

Pernah meninggalkan jiwanya di antara reruntuhan batu ini.

Tiga Hari Kemudian — Desa Saptadarma, Rumah Mewah Gaya Mandalagiri

Cahaya matahari pagi menerobos perlahan melalui tirai tipis berwarna krem. Kicauan burung-burung khas pegunungan terdengar samar dari kejauhan. Di dalam sebuah kamar yang luas, berlangit-langit tinggi dengan ukiran kayu khas Tirabwana, aroma obat herbal bercampur wewangian bunga sedap malam memenuhi udara.

Di ranjang empuk yang diselimuti kain putih bersih, Bagas terbaring. Matanya perlahan terbuka, kelopak yang berat itu menggeliat seperti membuka pintu dari mimpi panjang. Nafasnya tertata. Kepalanya terasa berat, tapi hangat. Suara lembut terdengar dari sebelah.

Nandika (lembut, lirih):

“Bagas...?”

Bagas menoleh perlahan. Pandangannya masih kabur, tapi ia mengenali sosok di samping ranjangnya. Nandika, duduk dengan tangan kanan diperban, luka kecil di pipi, namun matanya berbinar lega. Di sudut ruangan, Kirta duduk bersandar di kursi, juga penuh perban, tangannya digendong kain, namun senyumnya merekah lemah.

Bagas (suara serak):

“Kita... hidup?”

Kirta (tertawa kecil):

“Kalau tidak hidup, kita nggak akan dengar lelucon burukku lagi.”

Nandika (tersenyum menahan haru):

“Kau koma tiga hari, Bagas....”

Bagas perlahan mencoba duduk. Nandika segera menopangnya.

Bagas:

“Yang lain... bagaimana dengan Tuan Septya?”

Kirta:

“Masih belum pulih sempurna, tapi ia sadar semalam. Luka dalamnya cukup parah. Tapi pengawalnya — mereka semua selamat.”

Saat itu, pintu kamar terbuka pelan. Seorang pelayan perempuan berpakaian rapi dengan selendang emas khas Tirabwana membawa nampan berisi mangkuk ramuan hangat dan beberapa botol kecil. Ia menunduk dengan sopan.

Pelayan:

“Tuan Bagas... saya membawakan obat dan ramuan dari tabib desa. Harap diminum saat masih hangat. Tuan Septya menitipkan agar kalian diberi perhatian penuh.”

Nandika mengambil mangkuk ramuan dan meniup pelan, lalu menyodorkannya ke Bagas.

Nandika (lembut):

“Minum ini dulu. Kau butuh kekuatan untuk mendengar semua yang belum sempat kami ceritakan.”

Bagas menerima mangkuk itu. Cairannya pahit, tapi hangat di dada. Ia menyesap perlahan.

Lalu hening sejenak. Mata ketiganya saling bertemu. Tak ada kata-kata, tapi ada pemahaman mendalam di antara mereka — mereka telah melewati batas hidup dan mati bersama. Dan sesuatu di dalam diri mereka telah berubah.

Kirta (memandang keluar jendela):

“Kau tahu, reruntuhan itu... bukan sekadar tempat pertempuran. Ada sesuatu... terasa ganjil. Seperti... tempat itu punya jiwa.”

Bagas (pelan):

“Kau bukan satu-satunya yang merasakannya.”

Di luar kamar, angin pegunungan membawa aroma kayu pinus dan tanah basah. Rumah mewah khas bangsawan itu tampak tenang, namun sesuatu sedang tumbuh — ikatan, harapan, dan mungkin… awal dari rahasia yang lebih dalam.