Rumah Tuan Septya — Ruang Perawatan
Langit Tirabwana berselimut awan putih lembut. Udara pagi yang sejuk mengalir lembut melalui jendela-jendela tinggi berbingkai kayu cendana. Di dalam sebuah ruangan luas bergaya klasik bangsawan, aroma ramuan herbal bercampur dengan minyak cendana mengisi udara. Tirai-tirai tipis bergoyang pelan, dan denting mangkuk logam beradu perlahan dengan sendok kayu saat para pelayan sibuk menyiapkan ramuan obat.
Di atas ranjang berukir halus, Tuan Septya alias Pangeran Aryasatya, terbaring lemah. Tubuhnya dibalut perban sihir berwarna krem pucat yang berkilau samar di bawah cahaya lentera. Di dadanya, luka menganga bekas sihir bakar dari Resi Wighna Laksa masih belum sepenuhnya pulih — tapi para pelayan dengan cekatan membersihkan luka dan mengganti balutan dengan ramuan dari getah akar biru dan daun mawar langit.
Di sisi ranjang, duduk setia seorang perempuan anggun berkebaya hijau zamrud, wajahnya tenang namun penuh kekhawatiran. Dialah Raden Ayu Sitelaksmi, istri Tuan Septya, bangsawan cerdas yang dikenal sebagai pemilik usaha ramuan terbesar di wilayah timur Tirabwana. Tangannya menggenggam tangan suaminya dengan hangat.
Di luar jendela, terlihat hamparan halaman rumah yang luas seperti apotik hidup, ditumbuhi berbagai tanaman langka: akar langit, bunga seruni merah, daun kupu ilusi, dan pohon serabut sihir. Di sisi barat rumah, terdapat bangunan kecil seperti laboratorium pribadi — tempat Septya biasa meneliti tumbuhan dan artefak sihir.
Ketukan pelan di pintu.
Pelayan:“Raden Ayu, Tuan... Tiga tamu muda ingin bertemu. Mereka para penyelamat...”
Raden Ayu Sitelaksmi (lembut, tersenyum):“Biarkan mereka masuk.”
Pintu terbuka perlahan. Tampak Bagas, Nandika, dan Kirta berdiri dengan raut penuh hormat. Tubuh mereka masih dibalut perban — Bagas dengan bahu kirinya digendong kain, Nandika dengan tangan diperban dan beberapa goresan di pipinya, Kirta dengan kaki pincang ringan — namun mereka tampak segar dan bisa berdiri sendiri.
Raden Ayu:“Silakan masuk... Tuan sedang sadar. Ia sudah menanti kalian.”
Mereka melangkah masuk. Mata Tuan Septya menoleh perlahan, sorotnya lembut meski tubuhnya tampak begitu lelah.
Tuan Septya (suara berat, namun hangat):“Kalian datang... Terima kasih.
Terutama kau, Bagas. yang sudah memberikan ramuan pertolongan pertama.”
Bagas menunduk, sedikit canggung.
Bagas:“Maaf, saya...? Tapi... saya tidak tahu bagaimana Tuan bisa yakin saya yang—”
Tuan Septya (tersenyum kecil):“Ketika warga desa menemukan kita malam itu... kau masih menggenggam botol ramuan itu. Meski tak sadar. Dan ramuannya pun sudah separuh habis. Mereka tahu, kau yang meminumkannya padaku.”
Nandika dan Kirta saling pandang, tampak baru mendengar kisah itu.
Raden Ayu Sitelaksmi (lembut):“Jika tidak ada pertolonganmu, mungkin Tuan... tidak akan selamat.”Ia tersenyum pada Bagas, matanya berembun.“Terima kasih... dari lubuk hatiku.”
Bagas (pelan, tersenyum canggung):“Saya... hanya melakukan yang bisa saya lakukan.”
Hening sejenak. Udara terasa hangat.
Kirta (bercanda ringan):“Kalau begitu kau layak naik jabatan, Bagas. Jadi ahli ramuan darurat.”
Nandika (tersenyum kecil):“Atau setidaknya, tukang obat paling tangguh yang bisa bertarung sambil bawa ramuan.”
Mereka semua tertawa kecil, ringan, namun terasa dalam. Tuan Septya memejamkan mata sebentar, lalu membuka lagi, penuh keyakinan.
Tuan Septya:“Pertarungan di Hargagiri itu... bukan akhir. Aku rasa ini baru awal. Banyak hal yang mulai bergerak. Dan kalian akan menjadi bagian penting dari arus itu.”
Bagas:“Kami hanya petualang Biasa, Tuan…”
Tuan Septya:“Petualang, ya. Tapi dunia... kadang bergantung pada para petualang yang tepat di saat yang tepat.”
Suasana terasa lebih ringan. Dari luar jendela, terdengar suara burung-burung hutan dan suara alat-alat pengolah ramuan bekerja di kejauhan. Hari mulai menghangat. Tapi jauh di dalam rumah itu, terasa ada sesuatu yang baru tumbuh: kepercayaan, rasa syukur, dan permulaan dari rahasia yang lebih besar.
Tuan Septya perlahan mengangkat tangan kirinya, memberi isyarat pada seorang pelayan. Sang pelayan lalu menyerahkan selembar gulungan surat berstempel merah emas dengan segel kerajaan Mandalagiri, dan sebingkai lukisan potret bangsawan laki-laki bertampang tegas dengan sorot mata tajam dan sikap tegak — Maheswara, kini mengenakan pakaian resmi pewaris takhta.
Tuan Septya (suara berat namun tenang): “Ini... kabar terbaru dari istana. Surat pengangkatan resmi dari Ayahanda, Sri Maharaja Darmawijaya.”
Ia menggulirkan surat itu perlahan, memperlihatkan tulisan tangan halus bersulir emas di atas kertas kulit mahal:
“Pengangkatan Maheswara sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mandalagiri.”
Tuan Septya:“Adikku... Maheswara... kini menggantikan posisiku sebagai Pangeran Mahkota. Dan dengan itu, ia telah menyerahkan sementara kepemimpinan Guild Bayu Geni... kepada Kapten Raksadana.”
Ia memberikan surat kabar itu pada Bagas, Nandika, dan Kirta yang membaca dengan mata terbelalak. Wajah Maheswara dalam potret lukisan itu tegas, namun terlihat berbeda dengan yang biasa hangat dan tenang mungkin beban dari jabatan yang baru.
Nandika (penasaran, agak heran):“Maafkan jika saya lancang... tapi bukankah Pangeran Mahadarsa—adik Anda dari Permaisuri—yang lebih pantas? Bukankah ia anak sah garis utama?”
Tuan Septya (tersenyum pahit):“Kau benar, Nandika. Dari segi darah dan protokol istana... Mahadarsa adalah pewaris yang sah. Tapi... aku dan adikku, serta Maheswara... sejak kecil kami tidak pernah merasa cocok dengan politik istana yang kaku.”
Ia menyandarkan tubuhnya pelan, napasnya dalam sejenak seakan menahan beban masa lalu.
Tuan Septya:“Ayahanda dan Ibunda Permaisuri Shandrakirana menghendaki kami mengabdi sebagai pewaris. Tapi... dunia kami bukan di sana. Aku lebih suka kehidupan yang nyata — ilmu, tanaman, dan bisnis. Dan Maheswara... sejak lama hatinya ada di medan perang, Petualangan dan kemudian, di dalam Guild. dan menjadi Pemimpin Guild yang di segani.”
Kirta:“Jadi Tuan Adipati Maheswara juga tidak ingin jadi pangeran?”
Tuan Septya (mengangguk pelan):“Ia menghindar selama bertahun-tahun. Tapi kini... sepertinya takdir menuntutnya kembali ke takhta. Dan ia tahu, Guild Bayu Geni butuh pemimpin yang tak hanya kuat, tapi juga... punya jiwa membimbing.”
Bagas (membatin):“Kapten Raksadana...”
Tuan Septya:“Ya. Seorang mantan Panglima Perang Kerajaan. Ia tidak hanya bijak, tapi juga tahu bagaimana memperlakukan para prajurit dan pemuda sepertimu.”
Ia mengambil sebuah amplop tebal bersegel pribadinya dan memberikannya kepada Bagas.
Tuan Septya:“Ini... surat dariku untuk Raksadana. Sebuah pengakuan resmi bahwa kalian bertiga—Bagas, Nandika, dan Kirta—telah berjasa besar dalam menahan dan menyelamatkanku dari tangan Bayawira Selatan, Resi Wighna Laksa. Pertarungan itu... telah menyelamatkan banyak nyawa termasuk 3 pengawal-ku. Dan kalian akan disambut... bukan sebagai pelanggar perintah, tapi sebagai pahlawan.”
Kirta (lega):“Jadi... kami tidak akan dikeluarkan dari Guild?”
Tuan Septya (tersenyum):“Tidak. Justru sebaliknya. Kalian akan diterima kembali dengan kepala tegak.”
Suasana hening sesaat. Tuan Septya menatap mereka dengan sorot mata penuh keyakinan.
Tuan Septya:“Dunia kita terus bergerak, anak-anak muda. Kadang takdir membawa kita ke medan perang, kadang ke pasar dagang. Tapi selama kalian berani... dan setia pada nurani, jalan kalian akan selalu berarti.”
Suara burung-burung di halaman.
Raden Ayu Sitelaksmi menuangkan teh herbal ke dalam cawan untuk mereka bertiga, sambil tersenyum tenang. Udara di ruangan itu menjadi hangat. Tidak hanya karena sinar matahari pagi, tapi juga karena harapan dan rasa lega.
DUA HARI KEMUDIAN — HALAMAN DEPAN RUMAH TUAN SEPTYA, DESA PINGGIR HARGAGIRI
Pagi menjelang siang. Udara sejuk berembun sudah mulai menghangat, dedaunan tampak bergoyang lembut disapa angin. Aroma kayu manis dan minyak daun sirih tercium samar dari ramuan yang baru saja direbus di dapur belakang.
Setelah Lima hari penuh masa perawatan & pemulihan serta kehangatan tinggal di rumah bangsawan yang rendah hati, Bagas, Nandika, dan Kirta akhirnya bersiap untuk kembali ke Kota Tirabwana, menuju markas Guild Bayu Geni. Mereka telah memutuskan bahwa tak ada alasan lagi untuk menunda — terutama setelah mendapatkan surat resmi berstempel dan bertandatangan langsung oleh Pangeran Aryasatya, yang menjelaskan dengan rinci peran mereka dalam misi pribadai yang berujung pada pertarungan dan penyelamatan serta pembelaan terhadapnya.
Di halaman depan rumah, sebuah kereta kuda pribadi berlapis ukiran kayu jati dan berlambang keluarga Aryasatya telah dipersiapkan. Dua pelayan setia, berpakaian seragam biru tua dan ikat kepala emas, memegang tali kekang sambil menyiapkan jalur keberangkatan.
Pelayan 1 (menunduk):“Kereta telah siap, Tuan.”
Tuan Septya (tersenyum hangat sambil berjalan pelan dengan bantuan tongkat ringan):“Terima kasih. Tolong jaga mereka selama perjalanan. Jangan biarkan mereka lapar... atau bosan.”
Ia melirik pada ketiga tamunya yang sudah berdiri siap di sisi kereta, masing-masing membawa kantong perbekalan dan rasa haru.
Tuan Septya (kepada Bagas, Nandika, Kirta):“Aku tahu... perjalanan ini bukan sekadar kembali ke Guild. Ini juga perjalanan menuju pertanggungjawaban. Tapi kalian telah melangkah dengan hati, bukan sekadar keberanian. Dan itu... akan dimengerti oleh Raksadana.”
Ia menyerahkan sebuah kain sutra merah yang terikat dengan segel lilin emas, berisi surat resmi tersebut.
Nandika (menunduk hormat):“Kami akan menyampaikannya, Tuan.”
Tuan Septya (tersenyum):“Dan satu lagi…”
Ia memberikan sekantung besar koin emas yang beratnya terdengar dari dentingan halus di dalam kantong kulit rusa.
Tuan Septya:“Anggap ini... untuk membeli bekal di jalan dan mengganti kuda kalian yang hilang. Jangan menolak. Menolak rezeki itu... melukai hati yang memberi.”
Bagas (tertawa kecil sambil menerima dengan tangan dua): “Tapi, Ini Banyak sekali tuan.... Kalau begitu... kami akan terima, Tuan.”
Kirta (menyimpan kantong kecil ramuan herbal di pinggang):“Dan ini... ramuan untuk pemulihan otot dan tenaga. Aku akan menyimpannya baik-baik.”
Raden Ayu Sitelaksmi datang bersama anak mereka yang masih kecil, Aditya Yudhanagara, mengenakan baju tenun kecil warna biru langit. Anak itu berlari-lari kecil menghampiri Nandika lalu memberikan bunga liar yang dirangkai menjadi mahkota kecil.
Aditya (dengan suara polos):“Kakak jangan lupa main lagi ke sini.”
Nandika (tersenyum lembut, menunduk mengambil bunga):“Aku janji... akan datang lagi.”
Ketiganya lalu menaiki kereta perlahan. Pelayan mengangkat tali kekang, kuda-kuda mulai bergerak perlahan dari halaman depan rumah bangsawan Aryasatya. Roda kayu menggesek tanah berpasir lembut.
Tuan Septya, Raden Ayu Sitelaksmi, dan Aditya berdiri di samping tangga batu halaman rumah. Ketiganya melambaikan tangan perlahan, penuh kehangatan.
Tuan Septya (berseru):“Hati-hati di jalan! Sampaikan salamku... pada Bayu Geni!”
Kereta kuda mulai menjauh, melewati gerbang bambu dan pohon-pohon kenari tua. Perjalanan pun dimulai, menuju kota besar Tirabwana — tempat jawaban dan masa depan mereka menanti.
Suara roda kereta menyusuri jalan tanah, diiringi kicauan burung dan deru lembut angin.
Narasi Latar (opsional):Tiga jiwa muda kembali ke pusat dunia para petualang. Mereka membawa luka, kisah, dan kehormatan. Tapi lebih dari itu... mereka membawa harapan bahwa keputusan mereka tak akan sia-sia.
BULAN KE-10, ALAM JIN – RUANG PRIBADI RAGATMA, GUILD SANGGAR LUMIRYA, DESA AETHERAYA
Suasana senyap dan sakral menyelimuti ruangan bundar bertembok batu lunak berpendar ungu lembut. Lantainya dilapisi karpet anyaman hitam keperakan, dan di tengah ruangan terdapat meja rendah dari akar pohon langit.
Di atas singgasananya yang rendah, Ragatma, ketua Guild Sanggar Lumirya, duduk dengan tenang. Ia adalah pria jin paruh baya berusia 130 tahun, berpenampilan agung namun bersahaja. Rambutnya putih keperakan panjang tergerai rapi, jubah putih berhias lambang bunga teratai hitam melingkupi tubuhnya yang ramping namun kokoh. Sorot matanya bercahaya ungu terang, penuh kebijaksanaan dan ketajaman. Telinganya panjang dan runcing, ciri khas kaum Jin Aetheraya dari garis keturunan Tertua.
Di hadapannya, duduk bersila dengan sopan, Jasana dalam wujud jinya — tinggi, berotot dengan kulit hijau zamrud berkilau, mata hijau bercahaya lembut, serta wajah yang meski berwibawa tetap menyiratkan ketulusan. Rambut hitam panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan mantel putih dengan simbol teratai hitam di dada kiri—pertanda resmi sebagai anggota Sanggar Lumirya.
Ragatma mengangkat sebelah tangannya, dan dengan gerakan halus, ia mengeluarkan selembar gulungan perak dari udara kosong. Gulungan itu mendarat lembut di hadapan Jasana, terbuka dengan sendirinya, menampilkan lambang kerajaan Kalathraya—sebuah matahari ungu di atas takhta bermahkota api.
Ragatma (dengan suara lembut dan dalam):"Ini adalah undangan resmi untuk Kompetisi Pedang dan Sihir yang akan digelar satu bulan lagi di Ibu Kota Kerajaan Kalathraya. Disponsori langsung oleh Yang Mulia Raja Jin Kalathraya, Maharaja Svalambara Yudhapraya."
Ia memandang langsung ke mata Jasana.
Ragatma:"Hadiah utamanya tak hanya berupa emas. Pemenangnya akan diberi Piala berupa Artefak yang bisa mengakses Portal Tertambat di Kuil Kalathraya — jalur sakral yang bisa menembus batas dunia secara tetap dan stabil."
Ia menyandarkan punggung ke singgasananya.
Ragatma (tersenyum tipis):"Kau membutuhkannya, bukan? Untuk kembali ke dunia asalmu... suatu saat nanti."
Jasana menunduk pelan, suaranya mantap dan rendah.
Jasana:"Benar, tuan Ragatma. Aku... belum tahu kapan waktunya, tapi aku ingin punya pilihan."
Ragatma (menyerahkan formulir):"Kalau begitu, daftarkanlah namamu. Atas nama Guild Sanggar Lumirya."
Dengan rasa bangga, Jasana mengambil pena dari tulang cerah karang api, dan mengisi formulir tersebut. Lambang teratai hitam dicetak di bawah namanya.
SENJA DI DESA AETHERAYA
Langit berwarna violet lembut. Cahaya matahari jin perlahan menghilang di balik pegunungan kristal. Angin berembus membawa aroma bunga pahingga yang mekar malam hari. Jasana berjalan cepat menyusuri jalan setapak dari batu hangat menuju rumah kayu sederhana yang ia tinggali bersama istrinya.
RUMAH KAYU JASANA & RINJANA – DALAM RUANG MAKAN SEDERHANA
*Di dalam rumah yang hangat dan penuh tanaman gantung bercahaya lembut, Rinjana, istrinya, sedang mengaduk masakan di atas tungku batu merah. Ia tampak anggun dalam wujud jin: rambut merah menyala diikat ke atas, kulit putih keperakan bersinar lembut, telinga runcing, dan mata biru setenang telaga malam. Perutnya sudah mulai menonjol sedikit — dua bulan kehamilan.
Jasana (sambil membuka mantel):"Aku pulang..."
*Rinjana menoleh, tersenyum lembut. Ia mengambil cawan tanah liat dan menuangkan minuman hangat herbal warna biru muda.
Rinjana:"Minumlah dulu. Ramuan untuk stamina. Kau terlihat... penuh pikiran."
Jasana duduk dan menerima cawan itu, meminum perlahan. Wajahnya mencair dalam senyum lega.
Jasana:"Aku baru bertemu Ragatma. Beliau memberiku kabar tentang Kompetisi Pedang dan Sihir di ibu kota Kalathraya. Aku diizinkan ikut... mewakili Sanggar Lumirya."
Rinjana terdiam sejenak, lalu matanya membesar penuh semangat.
Rinjana:"Itu luar biasa! Hadiahnya... apakah yang kau butuhkan untuk portal itu?"
Jasana:"Ya. Piala berupa Artefak untuk Akses tetap ke Kuil Kalathraya. Kalau aku menang... setidaknya satu jalur menuju dunia manusia akan terbuka untuk kita. Untuk anak kita kelak..."
Rinjana meletakkan tangannya di atas tangan Jasana yang memegang cawan. Ia menatap mata suaminya dalam-dalam.
Rinjana:"Kau pasti bisa. Aku percaya padamu. Kami... percaya padamu."
Ia mencium kening Jasana lalu kembali ke dapur, kali ini dengan langkah ringan dan ekspresi bahagia.*
Jasana (dalam hati, menatap api tungku):"Demi kalian... aku akan menang. Dengan nama Sanggar Lumirya, dan kehormatan yang kubawa..."
BULAN KE-10 DI ALAM JIN
Langit sore Alam Jin terlihat berwarna biru violet yang bercampur keemasan, saat angin sejuk dari perbukitan Aetheraya bertiup perlahan. Di halaman belakang Guild Sanggar Lumirya, suara dentingan logam dan pusaran energi sihir bergema berulang. Jasana — dalam wujud jin-nya yang tinggi dan berotot, berkulit hijau zamrud, bermata hijau bersinar, dengan rambut hitam panjang yang diikat — sedang melatih kombinasi tebasan pedang dan sihir.
Ia mengayunkan pedang merah menyala miliknya: Lungguh Darma, pedang buatan tangan sendiri saat liburan semester pertamanya di Guild Bayu Geni, dipahat dan ditempa di bengkel ayahnya Karmawijaya di desa Kalabumi, Alam Manusia. Dari setiap tebasannya, muncul semburan sihir yang berbentuk semburan api pendek berwarna hijau, gelombang angin potong, dan kadang pusaran cahaya statis — hasil latihan sihir ringan dan sedang yang ia pelajari dari istrinya, Rinjana.
Meski tak ada khodam Ardhana — yang terikat pada keris Parangjati pemberian Kapten Mahadewa Rakunti — karena tidak terbawa ke Alam Jin, Jasana tetap berlatih keras. Ia bertumpu sepenuhnya pada keahlian berpedangnya yang murni, ditambah dengan kemampuan sihir praktis yang kini sudah ia kuasai cukup baik.
Dari minggu pertama hingga ketiga, ia berlatih dari pagi hingga senja. Kadang Rinjana datang membawa makanan dan menonton di kejauhan dengan senyum bangga, kadang Ragatma memerhatikannya dari balkon atas dengan tatapan menilai — lalu manggut-manggut setuju dalam hati.
MINGGU KEEMPAT — PAGI PEMBERANGKATAN KE KOTA KALATHRAYA
Di halaman depan Guild Sanggar Lumirya, kereta kuda jin berwarna perak hitam dengan roda berpola sihir bercahaya ungu telah menanti. Dua kusir kuda jin berkulit merah tua dengan mata hitam berdiri tegak di sampingnya, siap menjemput para peserta kompetisi dari jalur Aetheraya – Kalathraya.
Jasana — kini telah siap berangkat — mengenakan mantel resmi putih bertanda teratai hitam di dada, simbol kebanggaan Sanggar Lumirya. Di sabuknya tergantung Lungguh Darma, dan di pundaknya tergantung kantong kecil berisi peralatan sihir dasar dan bekal pribadi.
Beberapa anggota guild muda berkumpul memberi semangat.
Ragatma: (berteriak lantang sambil mengepalkan tangan)
"Berikan yang terbaik untuk guild kita, Jasana! Buktikan bahwa Guild kita tak kalah dari siapapun di Kota Kalathraya!"
Anggota muda 1: "Kak Jasana, menangkan satu-satunya pertandingan untuk kami!"
Anggota muda 2: (melambai kikuk) "Semoga kuda jin-nya tidak nakal ya, haha…"
Jasana membalas semua lambaian itu dengan senyum hangat dan anggukan.
Tiba-tiba, Rinjana — dengan rambut merahnya yang tergerai indah, mengenakan gaun jin sederhana warna biru keperakan — datang menghampiri suaminya. Ia memeluk Jasana erat, penuh cinta, dan membisikkan doa di telinganya.
Rinjana: "Hati-hati di jalan, dan menangkan kompetisinya… untuk kita, untuk si kecil yang sedang tumbuh di sini."(tangannya menyentuh lembut perutnya yang mulai membuncit.)
Ia mencium kening Jasana dengan lembut. Beberapa anggota muda guild langsung membuang muka dengan wajah memerah, sebagian tersipu, sebagian pura-pura sibuk membersihkan sepatu.
Jasana: (menatap mata biru istrinya dalam-dalam)
"Aku akan kembali membawa kemenangan. Untukmu. Untuk rumah kecil kita."
Dengan langkah mantap, Jasana menaiki kereta, duduk di dalamnya. Kusir kuda jin mengayunkan cambuk ringan bertenaga sihir, dan kereta perlahan mulai bergerak menyusuri jalanan ilusi Aetheraya menuju ibu kota Kerajaan Kalathraya — pusat kekuasaan para jin dan tempat tinggal Maharaja Svalambara Yudhapraya, sang raja jin agung yang menjadi sponsor utama kompetisi Pedang dan Sihir ini.
Langit Alam Jin sore itu terlihat seolah menyambut perjalanan baru sang pendekar — yang kini melangkah dengan tekad dan cinta yang membara.
KEDATANGAN DI IBU KOTA KALATHRAYA, 3 HARI KEMUDIAN
Setelah tiga hari perjalanan panjang melewati jalur-jalur sihir Aetheraya, padang ilusi, Desa-desa disepanjang Jalur, dan lembah kabut berlapis aether, akhirnya kereta kuda jin yang ditumpangi Jasana dan tiga peserta lain mulai menuruni tanjakan terakhir. Dari balik tirai sihir pelindung, terlihat gerbang besar Kota Kalathraya berdiri megah — ibukota Kerajaan Jin Kalathraya, dikelilingi tembok kristal raksasa yang bersinar keunguan dengan menara-menara penjaga di setiap penjuru.
Gerbang utama terbuka perlahan, disambut parade penjaga berkuda jin berzirah hitam keperakan, membawa tombak bercahaya. Di kejauhan tampak bangunan tinggi seperti istana dengan atap melengkung, jendela-jendela berbentuk mata terbuka, dan pilar-pilar berukir mantera kuno — menciptakan aura kerajaan yang sama megahnya seperti Kota Tirabwana di dunia manusia, namun dengan estetika khas bangsa jin: anggun, berlapis dimensi, dan bercahaya dalam bisu.
Di dalam kereta kuda, duduk tiga orang peserta lain bersama Jasana. Meskipun mereka telah menempuh perjalanan bersama, baru kini mereka mulai membuka percakapan lebih dalam menjelang tujuan.
PERKENALAN PARA PESERTA
1. RAVISARA, gadis jin muda berkulit ungu pucat, mengenakan pakaian prajurit ringan berlapis jaring sihir, dengan sabit pendek tergantung di punggungnya.
Ravisara: (menoleh pada Jasana)"Namaku Ravisara, aku mewakili Desa Ulametha, desa kecil di bawah kaki Gunung Meru Jalantara. Kami tak punya guild besar... jadi aku datang sendiri, atas nama rakyatku."
2. TAMURA VAYANDRA, pemuda jin tampan dengan rambut keperakan disisir ke belakang, pakaian bergaya bangsawan dengan mantel panjang berbordir lambang naga bersayap.
Tamura: (senyum sopan)"Tamura Vayandra. Dari Keluarga Ksatria Vayandra, salah satu cabang bangsawan lama Kalathraya. Aku ikut demi menjaga tradisi leluhur… dan untuk mengukur kekuatan generasi baru."
3. LAKRIN, lelaki kekar dengan bekas luka di pelipis dan sabuk bertanda Guild Batu Bauran, sebuah guild kecil di pinggiran barat Kalathraya.
Lakrin: (sambil membetulkan sabuknya)"Lakrin. Dari guild Batu Bauran. Kami bukan siapa-siapa, tapi tiap generasi selalu mengirim satu. Tahun ini giliran aku."
Mereka bertiga kemudian menatap Jasana, yang duduk tenang dengan tubuh jin-nya yang menjulang tinggi dan berotot, kulitnya berwarna hijau zamrud bersinar, rambut hitam panjang terikat rapi ke belakang, mata hijau menyala, dan telinga runcing yang khas.
Jasana: (mengangguk hormat)"Namaku Jasana Mandira. Dari Guild kecil bernama Sanggar Lumirya, utusan Aetheraya. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Kalathraya... tapi aku takkan datang tanpa niat."
Ketiganya terlihat sedikit terkejut mendengar nama Guild Kecil Sanggar Lumirya, namun tak banyak yang berani menyela, menyadari aura kuat yang memancar dari Jasana.
MENUJU ARENA UTAMA – GARTHAKA
Kereta akhirnya memasuki pusat kota, melalui jalanan batu bersinar, disambut pelayan-pelayan kerajaan yang mengatur lalu lintas sihir. Di tengah kota berdiri bangunan bundar raksasa — sebuah stadion kolosal seperti stadion sepak bola, namun lebih menyerupai amfiteater bertingkat dari batu aether, dengan pilar-pilar naga dan atap terbuka yang memantulkan langit magis Kalathraya.
Bangunan itu dikenal sebagai: GARTHAKA — “Lapangan Kekuatan dan Kehormatan.”Tempat utama kompetisi Pedang dan Sihir Kalathraya akan diadakan.
Di pelataran depan, puluhan kereta kuda jin dari berbagai penjuru Alam Jin Kalathraya tiba hampir bersamaan. Tiap kontestan mengenakan pakaian khas dari daerah atau guild masing-masing. Ada yang membawa bendera keluarga, ada yang dikelilingi pelayan, dan ada juga yang datang sendirian, penuh percaya diri.
Jasana dan tiga rekan seperjalanannya turun dari kereta. Langkah Jasana menggetarkan lantai batu aether, sinar matahari sore menyentuh pundaknya, memperlihatkan kekuatan otot dan ketenangan wajahnya.
Ravisara: (berbisik kagum)"Tempat ini… terasa seperti pusat dunia."
Tamura: (tersenyum kecil)"Karena memang begitulah Kalathraya melihat dirinya."
Seorang petugas berpakaian kerajaan muncul membawa daftar nama peserta dan memberi arahan:
"Selamat datang, para kontestan! Kalian akan diarahkan ke Paviliun Persiapan. Di sana, kalian akan menerima perbekalan, syarat, dan waktu pengumuman undian lawan. Kompetisi akan dimulai tiga hari lagi, dan selama itu, kalian diberi waktu untuk mengenal arena, menyesuaikan energi sihir, dan… mempersiapkan mental."
Jasana menatap bangunan Garthaka — menyimpan aura tantangan dan keagungan. Ia mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
"Tiga hari lagi," pikirnya."Tiga hari menuju pembuktian."
PAVILIUN PARA PESERTA & MALAM DI KOTA KALATHRAYA
Setelah menerima arahan dari petugas istana, para kontestan diarahkan menuju Paviliun Peserta — kompleks eksklusif yang terletak tepat di sisi luar Garthaka, arena utama kompetisi. Paviliun ini terdiri dari beberapa bangunan dua tingkat bergaya arsitektur Kalathraya: kubah rendah, dinding batu aether berkilau, dan taman-taman dengan pohon kristal yang menghasilkan cahaya lembut.
TANDA KHUSUS PARA PESERTA
Sebelum masuk, setiap peserta diharuskan menunjukkan tanda sihir — sebuah simbol bercahaya berbentuk lingkaran dan dua bilah pedang silang yang muncul di punggung tangan kanan, hasil dari ritual pendaftaran yang dilakukan secara otomatis begitu nama mereka terverifikasi oleh sistem sihir kerajaan.
Simbol itu bukan sekadar penanda. Ia adalah semacam "kunci sihir" yang mengizinkan mereka:
Mengakses Paviliun Peserta.
Masuk ke bagian dalam arena Garthaka Laksana untuk latihan dan pertandingan.
Berinteraksi dengan sistem pengambilan logistik dan perbekalan kerajaan.
Serta perlindungan dari sihir penyerang tingkat tinggi selama masa kompetisi.
Jasana, dalam wujud jin-nya yang gagah, menatap punggung tangannya. Simbol itu berkilau hijau zamrud, seperti merefleksikan warna tubuhnya. Ia lalu melangkah masuk ke paviliun, melewati lapisan sihir tak kasat mata yang memindai simbol tersebut — cahaya lembut mengalir sesaat, lalu pintu terbuka.
SUASANA DI PAVILIUN
Di dalam paviliun, suasananya cukup tenang dan tertib. Para peserta dipisahkan ke dalam kamar-kamar pribadi, namun area tengah paviliun berupa ruang santai besar dengan meja-meja, sofa lebar dari kulit sihir, dan dinding berisi jendela besar yang menampilkan panorama buatan Kalathraya — langit malam bintang tiga, hujan cahaya lembut, dan siluet naga terbang dari kejauhan.
Beberapa peserta terlihat berlatih sihir ringan, sebagian berdiskusi, dan beberapa memilih duduk diam, bermeditasi atau membaca catatan strategi.
Jasana meletakkan tas bawaannya — berisi pedang merah Lungguh Darma dan beberapa kelengkapan dari desa Aetheraya — di kamarnya yang sederhana namun bersih. Ia membuka jendela kamar, membiarkan angin malam Kalathraya yang hangat dan harum aether masuk perlahan.
"Tiga malam. Lalu semuanya dimulai." pikirnya.
MALAM DI KOTA KALATHRAYA
Malam itu, Jasana memutuskan untuk keluar dari paviliun. Pakaian latihannya ia ganti dengan jubah longgar berwarna gelap, menyembunyikan sebagian besar tubuhnya kecuali telinga runcing dan rambut panjang hitam yang tetap terikat di belakang. Simbol kontestan di tangan kanannya kini disamarkan oleh kain pembungkus tangan.
Ia menelusuri jalan-jalan Kota Kalathraya, yang di malam hari hidup dalam warna dan suara. Jalanan dipenuhi lentera sihir melayang, para pedagang jin menawarkan buah kristal, rempah terbang, dan permainan ilusi. Musisi jalanan memainkan alat tiup dari logam cahaya, menciptakan suara seperti bisikan bintang.
Tak lama, Jasana memasuki sebuah bar terkenal di distrik tengah:"Luphana Arakara", tempat minum dan bersantai para prajurit, kontestan, dan pengelana.
Interiornya dihiasi kayu tua dari pohon langit dan batu hitam, cahaya lilin biru berkelap-kelip di meja. Aroma rempah dan alkohol jin memenuhi udara.
Jasana duduk di salah satu sudut dekat jendela, lalu memanggil pelayan:
Jasana:"Satu piring akar panggang Garadra, dan minuman yang bisa membakar tenggorokan tapi tak mematikan."
Pelayan tersenyum mengangguk, seolah sudah terbiasa dengan permintaan aneh para kontestan.
Saat menunggu pesanan, Jasana menatap keluar jendela bar, memandangi keramaian malam Kalathraya yang gemerlap namun penuh misteri. Di kejauhan, ia melihat beberapa kontestan lain berkeliaran, mungkin dengan niat yang sama — menenangkan diri sebelum pertarungan besar.
"Aku tak punya khodam di dunia ini… tapi aku punya pedang, sihir, dan tekad yang takkan kalah.""Ardhana... tunggulah di dunia manusia. Di pertarungan ini, aku mengandalkan kemampuanku sendiri.""Dan itu cukup."
Tak lama, makanan dan minuman datang — piring akar merah panggang berlapis saus hitam manis pedas, dan segelas cairan biru gelap yang mengepul perlahan. Jasana mengambil tegukan. Panas, seperti disiram lava, tapi menyegarkan. Ia mengangguk kecil.
Malam itu, Jasana menikmati kedamaian sebelum badai.
PUTARAN PERTAMA DIMULAI
Tiga hari berlalu sejak kedatangan para peserta. Kini, pagi yang dinanti telah tiba — langit Kalathraya bersih dan bersinar biru keunguan, dan udara dipenuhi resonansi sihir yang menggema dari puncak-puncak menara kerajaan.
Garthaka Laksana, arena utama, telah bersolek megah. Sebuah lapangan kolosal dengan medan dinamis — batu, pasir, tiang logam, bahkan area air dan dinding sihir transparan — siap menantang siapa pun yang bertarung di dalamnya.
128 PESERTA DARI PENJURU KERAJAAN
Peserta berjumlah 128 jin dari berbagai wilayah kekuasaan Kalathraya. Ada yang datang dari desa pegunungan berkabut, padang pasir merah, danau langit, hingga kerajaan-kerajaan kecil dalam naungan Kalathraya. Sebagian mewakili nama desa, lainnya datang membawa nama keluarga kesatria, dan sisanya seperti Jasana — mengusung nama guild kecil atau individu yang mendaftar secara mandiri. Simbol sihir tanda peserta tetap terpatri di tangan kanan mereka.
PENGUMUMAN LAGA: PUTARAN PERTAMA
Pagi itu di lobi utama Paviliun Peserta, papan sihir raksasa menyala dengan barisan nama yang terus muncul, diiringi sorakan dan bisikan peserta lain.
📜 Putaran Pertama - Hari Pertama Pertandingan Ke-3:
🔥 Jasana (Guild Sanggar Lumirya – Aetheraya)🆚🗡️ Tamarha Griwaranta (Wakil dari Desa Gunung Kidraya)
Waktu: Pertengahan Siang | Arena Lapis II
Melihat namanya terpampang, beberapa peserta di sekitar Jasana langsung menoleh.
“Itu... yang dari Aetheraya itu ya?”“Guild Sanggar Lumirya itu Guild Kecilkan.”“Tamarha itu pengguna sihir badai dan pedang berantai, bisa jadi duel berat…”
Jasana tetap diam, berdiri tegap. Wujudnya yang besar, berotot dengan kulit hijau zamrud, rambut panjang diikat, dan mata hijau tajam membuat beberapa peserta mundur secara naluriah. Ia hanya melangkah menjauhi kerumunan, menenangkan diri di ruang meditasi.
SAMBUTAN KERAJAAN – ARENA UTAMA
Sebelum pertandingan pertama dimulai, seluruh peserta dikumpulkan di tribun kehormatan arena. Di tengah sorak-sorai ribuan penonton dan gaung genderang logam, Maharaja Svalambara Yudhapraya, raja jin Kalathraya, berdiri di atas panggung kristal yang melayang di udara.
Ia menjulurkan tangannya yang berselimut jubah emas dan berbicara, suaranya menggema dengan kekuatan sihir yang langsung menyentuh hati para peserta:
Maharaja Svalambara:“Wahai para kesatria dari seluruh penjuru Kalathraya…Hari ini adalah hari ujian kekuatan, kehormatan, dan tekad kalian.Hanya yang layak akan terus melaju, dan hanya yang terpilih akan membuka gerbang dunia lain.Portal kuil Kalathraya menunggu, hanya satu pemenang yang akan membukanya!”
Sorak-sorai membahana. Suara gong besar terdengar. Putaran pertama resmi dimulai.
HADIAH YANG DIPEREBUTKAN
Para peserta telah mengetahui sejak awal, bahwa pemenang utama akan mendapatkan:
Satu peti penuh koin emas Kalathraya — jumlah yang bisa membangun Rumah Mewah Luas seperti Bangsawan.
Mendapatkan Piala berupa Artefak "Kunci Dimensi Kalathraya" bisa Akses ke Portal Suci Kuil Kalathraya, yang dapat menembus alam-alam lain:
Alam Jin Tingkat lain
Alam Monster Buas
Alam Roh Purba
Dan… Alam Manusia
Jasana, diam-diam mengincar hadiah kedua. Itu satu-satunya cara baginya untuk kembali ke dunia manusia, ke Kerajaan Mandalagiri — tanpa diketahui sebagai penyusup. Tapi untuk sampai ke sana, ia harus menang, dan tidak boleh ada satu pun yang tahu ia bukan jin sejati.
PERTANDINGAN JASANA DIMULAI
Siang tiba. Jasana berdiri di lorong bawah tanah menuju Arena Lapis II, tempat pertarungan ketiga akan berlangsung. Di hadapannya, pintu gerbang besi besar mulai terbuka perlahan, mengeluarkan cahaya terang dari dalam arena.
Suara pengumuman menggemuruh dari dinding:
“Pertandingan ke-3! Putaran Pertama!Jasana dari Guild Sanggar Lumirya melawan Tamarha Griwaranta, Wakil Desa Gunung Kidraya!”
Tamarha, lawannya, telah masuk lebih dulu — seorang jin tinggi, mengenakan zirah ringan dan membawa pedang rantai bercahaya merah yang melingkar di tubuhnya. Matanya tajam dan tubuhnya mengalirkan aura badai.
Jasana menarik napas panjang. Pedangnya, Lungguh Darma, telah terikat di punggungnya.
“Bertahanlah dalam wujud jin… kendalikan dirimu. Bertarunglah, menanglah… demi pintu pulangmu.”
Langkahnya mantap memasuki arena.
ARENA LAPIS II, PERTARUNGAN JASANA VS TAMARHA
Langkah Jasana bergema pelan di lantai batu arena, sinar sihir dari dinding-dinding arena berpendar hijau lembut saat aura miliknya mulai menyatu dengan medan pertarungan. Di sisi lain, Tamarha Griwaranta telah siap dengan pedang rantai sihir badai yang melingkar seperti ular merah menyala di lengan dan tubuhnya.
AWAL DUEL – SALAM PEJUANG
Sebelum gong dimulai, kedua kontestan saling mendekat ke tengah arena.
Tamarha menunduk dengan hormat.
“Semoga langkah kita hari ini disaksikan leluhur dengan bangga.”
Jasana, dengan suara berat dan tenang, menjawab:
“Dan semoga kita tak meninggalkan kebencian dalam setiap tebasan.”
Keduanya mundur beberapa langkah. Gong perunggu berdentum dari atas menara arena.
Pertarungan dimulai.
TEKNIK PEDANG & SIHIR – GAYA JASANA
Tamarha langsung membuka serangan, melemparkan pedang rantainya seperti ular menyambar. Sihir badai mengiringi setiap hentakan pedangnya, menciptakan hembusan angin tajam dan pusaran kecil yang berputar cepat ke arah Jasana.
Namun…
Jasana tidak menghindar. Ia menapak mantap, dan dalam sekejap…
SRET!
Pedangnya, Lungguh Darma, terhunus dalam satu gerak. Kilatan hijau mengalir dari bilahnya, membentuk gelombang aura sihir dari hasil perpaduan teknik dan energi dalam tubuhnya.
“Tebasan Pertama — Tatarupa Satriya.”
Satu tebasan melingkar dari bawah, dan badai yang diarahkan Tamarha langsung pecah seperti kabut tertiup angin kering. Penonton terdiam sejenak.
KOMBINASI GAYA PEDANG MANDALAGIRI & SIHIR
Jasana mengandalkan teknik-teknik satu pedang yang ia pelajari dari Kapten Raksadana — jurus klasik dari Kerajaan Mandalagiri, kini diberi sentuhan aura sihir hijau dari dalam tubuhnya.
“Jurus kedua: Wana Cipta!”
Ia mengayunkan pedangnya membentuk busur horizontal, dan semburan aura hijau memanjang seperti dahan pohon yang mencambuk badai Tamarha, menahan serangan udara yang hendak mengangkatnya ke atas.
Tamarha berusaha membalas. Ia melompat tinggi, melilitkan pedang rantainya dan membentuk formasi badai mini di sekitar tubuhnya.
“Ardhayasa Bayu Geni!!”
Sihir badai menyelubungi tubuhnya dalam spiral merah angin panas — tetapi Jasana tetap tenang.
“Jurus ketiga… Mantra Sekar Langit.”
Ia memusatkan aura hijau ke bilah pedangnya, lalu menebas ke atas membentuk alur membelah langit. Tebasan itu tidak hanya menyerang secara fisik — ia mengiris energi sihir badai Tamarha dari dalam.
Pukulan itu mengenai langsung — Tamarha tersentak, pedang rantainya terlepas, pusaran sihirnya pecah. Tubuhnya terbanting ke lantai, terguncang keras. Ia mencoba bangkit… tapi gagal.
Tamarha pingsan.
KEMENANGAN JASANA – ARENA TERDIAM, LALU GEMURUH
Suara gong bergema dari penjuru arena, diikuti pengumuman dari dinding sihir:
“Pertandingan selesai! Pemenang: JASANA dari Sanggar Lumirya – Aetheraya!”
Penonton yang semula diam karena terpukau, kini bersorak.
“Teknik itu… dari mana asalnya?”“Itu bukan teknik jin! Itu seperti… gaya… atau campuran roh?”“Tapi auranya jin, tidak mungkin dia bukan jin, kan…?”
Jasana menunduk sejenak memberi hormat pada lawannya, lalu memasukkan kembali pedangnya ke sarung.
Di balik kerumunan penonton, beberapa mata tajam memperhatikan Jasana dengan serius. Para pengamat dari berbagai pihak — pengintai kerajaan, guild besar, bahkan pendeta kuil Kalathraya — mulai mencatat namanya sebagai peserta yang tak bisa diremehkan.
MALAM MENJELANG PUTARAN KEDUA, MINGGU KE-2
Langit malam di Kalathraya memancarkan cahaya redup ungu keperakan dari tiga bulan kecil yang menggantung di langit. Paviliun para peserta kembali dipenuhi desas-desus dan tawa gugup. Beberapa jin terlihat duduk melingkar membicarakan pertandingan sebelumnya, sementara sebagian lain menatap diam ke dinding sihir di lobi utama paviliun—tempat di mana jadwal resmi pertandingan Putaran Kedua akhirnya muncul, berpendar terang dalam huruf-huruf sihir yang melayang.
DAFTAR NAMA PESERTA PUTARAN KEDUA – HARI PERTAMA
JASANA – Guild Sanggar Lumirya, Aetheraya VS LURMI SENDAWI – Guild Embun Merah, Desantara Wana
Total peserta yang tersisa: 64 kontestan
Format: Gugur
Durasi pertandingan: 4 hari penuh, 8 pertandingan per hari
Lokasi arena: Arena Lapis Kedua – Pelataran Rimba Dalam (arena dengan unsur alami dan medan tak rata)
PERSIAPAN MALAM SEBELUM PERTANDINGAN
Jasana duduk di beranda paviliunnya, menatap api unggun kecil di depan, tangan kanan menggenggam segelas air herbal yang disiapkan pelayan paviliun.
Dalam hatinya, dia tahu ini akan jauh berbeda dari pertarungan sebelumnya. Lurmi bukan sekadar pengguna cambuk—dia adalah penyihir tipe medan, dan pertarungan akan berlangsung di arena yang mendukung kekuatannya.
“Jaring akar... sulur penjerat... dia akan mengurung ruang gerakku. Tapi aku punya satu hal yang tidak bisa dia tiru…”
Jasana lalu berdiri, menghunus pedang Lungguh Darma pelan. Aura hijau memancar dari bilahnya, lebih stabil dari sebelumnya.
“Teknik Kapten Raksadana... aku belum menunjukkan semua.”
Ia pun berlatih diam-diam, mengulang form-form lama, teringat masa latihannya di bawah bimbingan sang mantan panglima perang, terutama satu teknik tingkat lanjut:
“Tebasan ketiga belas – Samarajati... hanya boleh digunakan bila benar-benar terdesak.”
MALAM BERLALU – PAGI PERTANDINGAN
Arena Rimba Dalam telah disiapkan, dan para peserta serta penonton mulai memenuhi tribun sihir. Gong akan berbunyi tak lama lagi.
Para peserta tersisa mulai menyadari: ini bukan sekadar turnamen kekuatan. Ini adalah ujian keberanian, kelincahan, dan kecerdikan. Dan Jasana... membawa rahasia besar: dia satu-satunya manusia di antara para jin.
ARENA RIMBA DALAM, PAGI PUTARAN KEDUA
Langit Kalathraya pagi ini berkabut kehijauan, sementara arena Rimba Dalam menguarkan aroma tanah basah dan dedaunan tua. Tribun-tribun batu penuh dengan para penonton jin, bangsawan, dan pemilik guild dari berbagai daerah. Suara genderang besar bergema dari sudut timur, pertanda pertandingan akan dimulai.
Arena ini bukanlah tanah datar biasa—melainkan sebidang hutan kecil dengan pohon-pohon purba, akar menjulur, dan kabut lembut yang menari-nari di antara semak belukar. Medan penuh perangkap alami.
Di sisi kiri, Jasana berdiri tenang, tubuh tingginya diselimuti aura hijau samar, rambut hitam panjangnya terikat rapi. Mata hijaunya tajam menyapu arena, pedang sihir Lungguh Darma tergenggam erat di tangan kanan. Ia tahu ini bukan pertarungan kekuatan semata.
Di sisi kanan, Lurmi Sendawi melangkah ringan di atas akar-akar besar yang menjulang dari tanah, seolah alam tunduk pada langkahnya. Cambuk sihir Akar Semesta melilit di pinggangnya, ujungnya berkedip-kedip dengan energi sihir alam. Matanya menyala, penuh percaya diri.
WAKIL WASIT ARENA (seorang jin tua berjubah biru):
“Jasana dari Sanggar Lumirya – Aetheraya... Lurmi dari Guild Embun Merah – Desantara Wana...! Dengan restu Mahajara dan pelindung Kalathraya... MULAIKAN!”
GONG BESAR BERGEMA.
PERTARUNGAN DIMULAI
ZRAAAK!
Dalam satu gerakan cepat, cambuk Lurmi meledak ke depan, menjulur memanjang seperti ular yang menari, menyambar ke arah Jasana. Seketika tanah di bawah Jasana bergerak—akar muncul dari tanah, mencoba membelit kakinya.
Jasana melompat ke belakang, mengayunkan pedangnya dengan satu teknik berputar, “Larik Hijau”—gelombang sihir berbentuk busur dilepaskan ke depan, menebas sulur yang melesat.
Namun Lurmi tersenyum.
“Kau pikir aku hanya mengendalikannya dari permukaan?”
BRAAAK!
Dari balik pohon raksasa, akar berujung tajam menghujam ke arah Jasana dari belakang. Ia memutar tubuh, menahan serangan dengan punggung pedang, namun terdorong mundur hingga punggungnya menyentuh pohon lumut.
Lurmi menyerang cepat, cambuknya membelah menjadi tiga helai, masing-masing melesat dari arah berbeda. Udara dipenuhi desiran tajam sihir tanaman.
Jasana menutup matanya sejenak.
“Medan ini miliknya. Tapi... aku pernah berlatih di medan lebih berat.”
Matanya terbuka—hijau zamrudnya berkilat. Ia melompat, berputar di udara, mengarahkan pedangnya ke tanah.
“Teknik Kelima – Seru Daya!”
BOOM!
Energi hijau meledak dari ujung pedang dan mengalir ke akar-akar tanah. Akar-akar itu bergetar, tertolak oleh energi bertolak sihir Jasana yang menyebar memutus jalur kendali sihir Lurmi.
Lurmi terkejut.
“Kau... mengacaukan medan sihirku?”
Jasana berlari di antara akar-akar yang kini tidak stabil, menebas satu per satu dengan gerakan presisi. Ia semakin mendekat—kini cambuk Lurmi mulai sulit mengatur jarak.
Pertarungan berlangsung sengit selama lebih dari 10 menit. Jasana nyaris terperangkap dua kali, namun tetap lolos.
Sulur-sulur menyerangnya dari bawah, atas, dan samping, tetapi setiap langkahnya adalah hasil dari pelatihan bertahun-tahun di Kalabumi, ditambah bimbingan keras dari Kapten Raksadana.
Hingga akhirnya...
PENENTUAN
Lurmi melompat tinggi, cambuknya terangkat ke langit—energi sihir mengalir, membentuk pohon raksasa berduri yang akan menghujam ke tanah.
“Akar Semesta Terakhir!”
Jasana menancapkan pedangnya ke tanah, menarik napas panjang. Aura hijaunya menyala seperti kobaran api.
“Teknik Ketigabelas – Samarajati!”
Dalam sekejap, tubuhnya melesat ke depan, satu tebasan mendatar dilepaskan dari bilah sihir Lungguh Darma—tebasan itu tak terlihat, namun getaran anginnya menyapu arena seperti angin musim gugur yang menghantam pohon tua.
BRUUAAK!!
Gelombang itu memotong sulur udara, menghantam pohon sihir raksasa Lurmi sebelum ia sempat menghempaskannya. Lurmi kehilangan kendali, tubuhnya terpental, cambuknya terlepas.
DUK!
Lurmi terjatuh, tak sadarkan diri.
HASIL
WAKIL WASIT ARENA (menyatakan):
“Lurmi Sendawi... tidak dapat melanjutkan. Pemenang: Jasana – Sanggar Lumirya, Aetheraya!”
Sorak sorai terdengar dari tribun, beberapa dari peserta lain menatap dengan kagum dan heran. Teknik Jasana berbeda—efisien, bersih, seperti ilmu perang yang tidak lazim di kalangan jin.
PASCA-PERTARUNGAN
Jasana berjalan perlahan keluar arena, napasnya berat namun stabil. Tangan kirinya sedikit gemetar, menunjukkan beban sihir dari teknik terakhirnya.
Di luar arena, beberapa peserta mulai memperhatikannya bukan sekadar sebagai lawan, tapi sebagai sosok yang tak biasa.
Namun dalam hati, Jasana hanya menggumam:
“Satu langkah lebih dekat... menuju kuil portal itu.”
PAVILIUN UTAMA, KALATHRAYA – SENJA USAI PUTARAN KEDUA
Matahari tenggelam perlahan di balik hutan jingga Kalathraya, menyinari kubah kaca besar paviliun dengan warna tembaga yang hangat. Di ruang tengah, para peserta kompetisi yang tersisa—hanya 32 orang kini—berkumpul sejenak untuk menerima pengumuman dari panitia.
“Tiga hari istirahat telah diberikan. Gunakan dengan bijak,” ujar suara seorang jin perempuan bersayap kelabu, mengenakan jubah ungu panjang.
Beberapa peserta langsung menuju fasilitas pelatihan, beberapa lainnya menghilang ke jalan-jalan kota, menyatu dengan keramaian pasar malam Kalathraya yang bersinar dengan lentera menggantung. Tapi Jasana, setelah mengangguk singkat pada beberapa peserta yang menyapanya, melangkah tenang ke ruang pribadinya.
RUANG PRIBADI JASANA, MALAM HARI
Sebuah ruangan sederhana dengan dinding kayu lembut dan lampu lentera melayang. Di sudut ruangan terdapat meja kayu tempat Jasana duduk sambil membuka gulungan kosong. Ia menghela napas, menggenggam pena bulu yang disediakan.
Jasana (gumam lirih):
“Sudah dua minggu... dan dia pasti menunggu kabar.”
Ia mulai menulis dengan hati-hati, tulisannya rapi dan tegas:
Surat Jasana untuk Rinjana:
Rinjana tercinta,
Hari ini aku lolos dari putaran kedua. Kini hanya tersisa 32 peserta. Pertarungan makin berat, tapi aku masih berdiri di sini. Aku bersyukur atas setiap detik latihan kita bersama dulu, dan bimbingan dari mereka yang aku hormati.
Kalathraya indah dan megah, tapi tidak ada satu pun sudut yang bisa menggantikan senyummu, atau wangi rambutmu tiap pagi. Aku rindu kamu. Aku rindu rumah kita.
Jagalah kondisi kehamilanmu, sayang. Mohon doakan aku dari sana. Doa darimu lebih kuat dari mantra manapun yang bisa kupelajari di sini.
Jika Sang Penjaga Langit berkenan, aku akan pulang dengan kehormatan, dan cerita yang akan membuat anak kita bangga suatu hari nanti.
Untukmu, selalu
Jasana
Jasana melipat suratnya, lalu berdiri dan membuka jendela kecil. Ia meniup peluit kecil dari batu jingga, dan seekor burung jin bermata keemasan muncul dari kabut malam, hinggap di bingkai jendela.
“Bawalah ini ke Aetheraya. Cepat dan selamat.”
Burung itu berkicau, mencengkeram surat dengan lembut, lalu melayang menembus langit malam Kalathraya—membawa rindunya pulang.
DESA AETHERAYA, SIANG HARI KEMUDIAN
Cahaya terang menyinari desa Aetheraya. Angin sejuk bertiup pelan di dataran tinggi. Di sebuah kursi bambu depan rumah kayu sederhana, Rinjana duduk dengan tenang. Rambut merahnya dibiarkan tergerai, mata birunya menatap langit, perutnya yang membulat dilindungi selendang sutra lembut. Ia tengah bersantai, memintal benang halus.
KRAAKK!
Seekor burung jin tiba-tiba turun dari langit, mendarat di pagar rumah. Rinjana menoleh—senyumnya mekar saat ia melihat gulungan surat di kakinya.
“Dari dia...” bisiknya.
Ia mengambil surat itu, membuka perlahan, dan mulai membaca. Setiap kata dari Jasana membuat matanya berkaca-kaca, namun senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Di akhir surat, ia menutup matanya sejenak, berdoa dalam hati.
“Semoga Tuhan menuntun langkahmu, suamiku...”
Lalu, dengan semangat lembut tapi mantap, ia mengambil pena dan mulai menulis balasan:
Surat Rinjana untuk Jasana:
Untuk suamiku yang tercinta,
Terima kasih atas kabar indahmu. Aku sangat bangga padamu. Setiap malam aku menyalakan dupa kecil dan memanjatkan doa, semoga langkahmu ringan, hatimu kuat, dan pedangmu setajam niatmu.
Kami di sini baik-baik saja. Si kecil di dalam sini menendang setiap kali aku menyebut namamu, jadi mungkin ia ikut mendoakan juga.
Aku rindu pelukanmu, tapi aku tahu, langkah ini adalah bagian dari takdirmu. Dan aku akan menunggumu, dengan sabar seperti selalu.
Oh, dan satu lagi...
Jangan macam-macam di sana! Jangan sampai tergoda dengan jin cantik bersayap atau bermata emas. Nanti pulang aku cubit kupingmu!
Salam dan doa dari rumah kita,
Rinjana
Dengan senyum lebar, Rinjana menyerahkan surat itu ke burung jin yang masih menunggu di pagar.
“Terbanglah cepat, bawa rinduku padanya.”
Burung itu melesat kembali ke langit, mengepakkan sayapnya ke arah Kalathraya yang jauh di sana—membawa cinta sederhana dari sebuah rumah kayu yang selalu jadi tempat pulang.
HARI KEDUA MASA JEDA, KOTA KALATHRAYA, PAGI HARI
Langit cerah Kalathraya memancarkan semburat biru pucat ke jalanan berbatu putih. Bangunan bergaya melayang dengan pilar mengambang tampak ramai oleh para peserta dan warga lokal jin yang menikmati jeda kompetisi. Musik dawai lembut terdengar dari sebuah lapak teh yang beraroma bunga api.
Jasana, mengenakan jubah ringan berwarna abu gelap dan mantel tanpa lambang guild, melangkah tenang di antara keramaian. Di punggungnya, tergantung sebuah pedang panjang berwarna merah pekat, bersarung beludru gelap—Lungguh Darma. Tak ada jejak pedang kayu di sisinya.
Matanya awas, tapi tenang. Ia sudah berbaur cukup baik sejauh ini, menutup semua hal tentang asal-usulnya dari dunia manusia.
KEDAI AURA SANGJANA (kedai teh dan ramuan ringan)
Jasana duduk di sudut ruangan terbuka dengan pemandangan taman yang melayang di atas danau cahaya. Ia sedang menyeruput teh pekat aroma cendana saat dua peserta lain ikut mendekat, membawa cangkir masing-masing.
Yuga Mahindra – pria jin dengan rambut keperakan dan sorot mata seperti perak cair, perwakilan Guild Rawa Sembadra, pengguna tombak bayangan.
Thariel Luhita – jin perempuan bersayap kristal lembut, kulit berkilau seperti kerang mutiara, perwakilan Guild Purnadriya Akasa, penyihir penjaga perisai.
Yuga: “Kau Jasana, ya? Aku melihat pertandinganmu kemarin. Langkahmu agak terlalu ‘bumi’... tapi tebasanmu punya kekuatan misterius.”
Jasana hanya tersenyum tipis. Matanya tetap tenang, tidak tersinggung.
Jasana: “Aku dibesarkan di perbatasan hutan-hutan jin. Banyak belajar dari pertempuran liar dengan makhluk alam... bukan dari akademi atau perguruan mana pun.”
Thariel: “Hutan jin? Kamu salah satu pengembara dari Wilayah Tersembunyi, ya? Wilayah-wilayah liar itu... katanya hanya bisa dilalui makhluk yang bersahabat dengan kekacauan.”
Jasana: (mengangkat alis sedikit) “Bersahabat? Mungkin. Atau mungkin hanya terlalu keras kepala untuk mati.”
Ketiganya tertawa pelan. Thariel memperhatikan pedang merah di punggung Jasana.
Thariel: “Pedangmu... menarik. Warnanya bukan dari logam biasa.”
Jasana: “Namanya Lungguh Darma. Ia bukan hanya logam—ia pilihan. Ia tak bisa dimiliki, hanya bisa disetujui untuk dipanggul.”
Yuga: (menyipitkan mata) “Bicara seperti penyair tua.”
Jasana: (tersenyum) “Lebih baik begitu daripada bicara seperti penjudi mabuk.”
Suasana jadi hangat. Mereka bercanda ringan, tapi tetap saling menjaga jarak. Persaingan belum selesai.
KEMUDIAN, TAMAN ILUSI KALATHRAYA
Sore hari, Jasana berjalan sendirian di taman ilusi, tempat rumputnya berbisik dan bayangan tak selalu sesuai cahaya. Ia duduk di batu lebar yang menghadap danau terapung, membuka sedikit sarung pedang Lungguh Darma.
Bisikan halus terdengar dari dalam pedang:
“Kau menyembunyikan dirimu lagi, Jasana.”
Jasana (dalam hati): “Aku harus. Dunia ini tak akan menerima kebenaran mentah. Satu kesalahan... dan aku akan jadi buruan, bukan peserta.”
Pedang itu bergetar ringan, seperti memahami. Ia menghunus setengah bilahnya, merah darah yang lembut menyerap cahaya senja.
Jasana: “Tapi aku tidak malu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk memperlihatkan semuanya... termasuk pada mereka yang menghakimi tanpa tahu apa-apa.”
Pedang disarungkan kembali. Angin berembus pelan.
KEMBALI KE PAVILIUN, MALAM HARI
Saat Jasana berjalan kembali ke paviliun, ia sempat berpapasan dengan beberapa peserta kuat yang diam-diam memperhatikannya. Wajah-wajah itu tak berbicara, tapi mata mereka menyimpan rasa penasaran, bahkan sedikit kecurigaan.
“Siapa dia sebenarnya?”
“Dari guild kecil... tapi cara bertarungnya bukan main.”
Namun Jasana tetap tenang. Ia masuk ke ruang pribadinya, menutup pintu, dan duduk bersila dalam diam. Meditasi heningnya seakan mengundang bayangan halus dari masa lalu. Tapi ia tetap kuat.
Hanya satu tekadnya: Bertahan. Lolos. Pulang.
MALAM TERAKHIR SEBELUM MINGGU KE-3, DI LOBI PAVILIUN KOMPETISI KALATHRAYA
Cahaya obor dan lentera melayang rendah di udara, menciptakan bayang-bayang panjang dari para peserta yang berkumpul di lobi paviliun utama. Dinding kristal tempat papan pengumuman ditempatkan kini dipenuhi sorotan mata tajam dan bisik-bisik penasaran. Aroma kayu bakar dan dupa ilusi membalut udara malam dengan nuansa mendebarkan.
Jasana berdiri di antara kerumunan, mengenakan mantel gelap yang menjuntai hingga lutut. Matanya menyapu papan pengumuman yang kini telah terisi penuh: Undian Pertandingan Putaran Ketiga.
Papan Pengumuman Kristal:
PUTARAN KE-3 – SISTEM GUGUR
Hari Pertama: 8 Pertandingan
Hari Kedua: 8 Pertandingan
Hari Kedua - Pertandingan ke-3:
Jasana Mandira – Guild Sanggar Lumirya Aetheraya
vs
Rudraka Santhika – Pendekar Pedang Bayangan dari Desa Jin “Palingga Nirwana”
Rudraka Santhika, seorang jin bertubuh tinggi dan tegap, berambut kelam panjang terikat ke belakang, mengenakan zirah ringan berwarna hitam-perak, berdiri tak jauh dari papan. Pedang panjang dengan ukiran berbentuk arus angin menggantung di punggungnya.
Begitu matanya bertemu dengan milik Jasana, senyum miring merekah di wajah Rudraka.
Rudraka: “Akhirnya... aku tak perlu bertarung dengan boneka lemah lagi. Semoga kau bukan hanya tampak misterius.”
Jasana: (dengan nada datar) “Semoga kau bisa bicara sebanyak itu setelah pertandingan nanti.”
Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada permusuhan, tapi ada ketegangan yang dalam—seolah dua arwah lama yang tahu mereka memang ditakdirkan bertemu di medan uji.
KEMBALI KE KORIDOR PAVILIUN, MALAM BERLALU
Setelah pengumuman, para peserta perlahan membubarkan diri. Jasana berjalan menyusuri koridor batu bercahaya menuju kamarnya. Beberapa peserta lain saling berdiskusi, merancang strategi, atau bahkan menyusun taruhan kecil-kecilan.
Namun Jasana tetap diam. Ia tidak butuh banyak strategi—ia hanya butuh membaca satu hal: niat lawan.
MALAM, DI BALKON PAVILIUN
Jasana berdiri di balkon kamarnya, memandang langit alam jin yang dipenuhi bintang kristal. Dari tempatnya berdiri, ia bisa mendengar suara gemuruh latar para petarung lain: tawa, nyanyian, dan ketegangan.
Tangannya menyentuh sarung pedang merah—Lungguh Darma—yang bersandar di dinding sampingnya.
Jasana (dalam hati): “Rudraka. Pendekar pedang... jika kau lawanku sekarang, berarti mereka ingin mengujiku sebagai sesama penebas. Baiklah. Aku akan menjawabnya dengan keheningan.”
KEESOKAN PAGI, PERTANDINGAN HARI PERTAMA
Arena utama kembali menyala dengan formasi pelindung dan energi penjaga. Jasana duduk di bangku penonton bersama beberapa peserta lain yang dijadwalkan bertanding hari kedua. Matanya tajam memperhatikan tiap gerak, tiap teknik, tiap energi yang terpancar dari para peserta di hari pertama.
Beberapa nama menonjol, dan ia mencatatnya dalam-dalam.
Jasana (dalam hati): “Siapapun yang akan masuk 16 besar nanti... mereka bukan lagi lawan biasa. Tapi bukan berarti mereka lebih dari bayangan rasa takut.”
PENUTUP – SENJA DI ARENA
Sorot senja menyelimuti arena pertandingan yang kini mulai sepi. Jasana berdiri sendiri di sisi tribun, angin lembut menerpa jubahnya.
Besok adalah panggilan.
Untuk menebas bukan demi menang... tapi demi pulang.