Bab 28 - Persiapan Turnamen Bayu Geni

"KERAJAAN MANDALAGIRI, IBUKOTA TIRABWANA — TIGA BULAN SETELAH MENGHILANGNYA JASANA

Langit di atas Tirabwana masih biru megah, namun awan kelabu bergantung seperti firasat yang belum terjawab. Di kejauhan, menara Istana Kerajaan berkilau diterpa matahari senja, namun keindahan itu tak mampu menutupi ketegangan yang mulai terasa di seantero negeri.

MARKAS GUILD BAYU GENI— Halaman Dalam, senyap namun penuh bayang-bayang kekhawatiran.

Tiga bulan telah berlalu sejak Jasana menghilang ke Alam Jin, terlontar oleh serangan Sihir Resi Wighna Laksa, Kapten Bayawira Selatan yang kini dikenal sebagai Resi Gelap. Belum satu pun tanda ia kembali.

Lalu, tiga minggu silam, misi kecil pencarian keris berubah menjadi medan pertempuran di jantung hutan Hargagiri. Di reruntuhan rumah tua bangsawan luar Negeri dari Kerajaan Windmills— Baron Willem van der Lindt, Bagas, Nandika, dan Kirta tak hanya menemukan keris Jasana... mereka juga menemukan pengkhianatan.

LOPRAK!!!(Kilasan suara pertempuran terdengar samar saat kamera mengarah ke markas, seolah kenangan itu belum pudar.)

RUANG RAPAT DIVISI MANDALA UTAMA— GUILD BAYU GENI

Para Kapten Divisi duduk melingkar. Di tengah mereka, Raksadana kini memimpin pertemuan sebagai pemangku tongkat kepemimpinan sementara, setelah Maheswara diangkat menjadi Pangeran Mahkota, menggantikan Pangeran Aryasatya.

Raksadana (suara berat, tegas namun suram)“Apa yang terjadi di Hargagiri Menurut Surat Resmi yang dikirimkan dan bertanda Resmi dari Pangeran Aryasatya, yang dibawa Bagas, Nandika dan Kirta bukan sekadar bentrok. Itu pernyataan perang. Bayawira Selatan telah rusak... dan Lodra Wahana...”

Semua terdiam. Nama itu dulu pernah menjadi lambang kehormatan para petualang. Kini, menjadi simbol luka.

KAMAR BAWAH GUILD — RUANG KHUSUS PENJAGA KHODAM DI RUANG DIVISI RASA PRAWIRA

Bagas menatap keris berukir yang dulu milik Jasana, kini tersimpan di atas pelat batu berlapis aura perlindungan. Dari bilahnya, muncul kilasan cahaya — Ardhana, khodam Jasana, mengambil wujud siluet samar pria tua Berjanggut Putih, dan Rambut Putih dengan mata bercahaya Putih lembut. Dan pakaian serba putih.

Ardhana (suara dalam, mendalam, namun lembut)“Dia belum mati. Jiwa Jasana masih bernyawa..”

Nandika (gigi mengatup, tangan mengepal)“Kau bilang ada kuil di barat daya... Pulau nelayan dekat kota pelabuhan Adiyaksa. Di sana ada portal?”

Ardhana“Benar. Tapi kunci untuk membuka gerbang itu... disimpan di ruang rahasia Istana Tirabwana. Hanya darah kerajaan yang bisa menyentuhnya tanpa terbakar.”

Hening. Tatapan Kirta tertuju ke arah utara — arah Istana.

Kirta“Itu artinya... hanya Pangeran Maheswara yang bisa membukanya.”

ISTANA TIRABWANA, RUANG TAHTA

Pangeran Maheswara, dalam balutan jubah merah dan emas, duduk dalam kesunyian. Pandangannya kosong, namun di tangannya tergenggam Surat Resmi bertandatangan Pangeran Aryasatya — laporan rahasia tentang Hargagiri, Bayawira Selatan...

Suara langkah mendekat. Penasehat Istana muncul, membisikkan sesuatu.

Penasehat “Saat ini Pengintai belum menemukan pergerakan apapun dari Bayawira Selatan, dan juga Bayawira Barat sepertinya mereka sedang menunggu sesuatu.”

KEMBALI KE GUILD — MALAM HARI

Di balkon asrama, Bagas, Kirta, dan Nandika duduk bersebelahan. Angin malam mengibaskan jubah mereka. Di tengah keputusasaan, masih ada nyala api yang tak padam.

Bagas (mata menatap bintang)“Tiga bulan... Tapi aku masih bisa dengar suaranya di kepalaku. Jasana... dia belum menyerah.”

Nandika“Kalau dia masih berjuang... Maka kita pun akan menunggu. Dan bersiap.”

Kirta (tegas)“Kalau Pangeran Maheswara tak bisa bergerak... Maka kita harus mencari jalan lain. Bahkan jika itu berarti menyusup ke istana.”

Ardhana (Dengan Bijak): "Terlalu Berbahaya, Apakah Jasana akan senang demi Dirinya membuat Sahabatnya Melakukan Tindakan tidak Bermoral, Kalian harus Percaya padanya Aku yakin Jasana akan kembali."

Siluet Ardhana muncul samar di belakang mereka, seolah menenangkan mereka.

Mereka Bertiga (Kompak): "Baiklah Ardhana, Kami akan Mempercayai-nya"

ARENA UTAMA KOMPETISI PEDANG DAN SIHIR KALATHRAYA, PAGI HARI — PUTARAN KETIGA, PERTANDINGAN KETIGA

Langit di atas arena mendung temaram, namun tidak hujan. Cahaya dari kristal-kristal penjaga menggantung di udara, mengambang perlahan seperti mata-mata alam yang tengah menyaksikan.

Arena kali ini berbentuk lingkaran batu hitam dengan batas magis melingkar—energi transparan bergetar ringan. Di luar, ratusan jin menonton dari tribun melayang, sorak sorai terdengar lamat namun tajam, menembus dada.

Dua sosok berdiri saling berhadapan, masing-masing seperti dua kutub medan yang hendak saling tarik.

JASANA MANDIRA, tubuhnya tinggi berotot dengan warna kulit hijau zamrud. Rambut hitamnya diikat ke belakang. Mata hijaunya menyala lembut, penuh ketenangan namun membara di dalamnya.

Ia mengenakan mantel putih berlambang bunga teratai hitam di dada kiri: lambang Guild Sanggar Lumirya. Di punggungnya tergantung pedang merah pekat, Lungguh Darma, yang kini ia cabut dengan satu gerakan mantap.

RUDRAKA SANTHIKA, sosok tinggi dengan zirah hitam-perak, rambut panjang dikuncir ke belakang. Wajahnya tajam, seperti ukiran batu keras. Di tangannya, pedang panjang beralur ganda, bernama Bayu Murka, mengeluarkan dengung ringan saat disentuh angin—terbuat dari logam angin yang bisa memotong arah aliran udara.

WASIT JIN TUA DI TENGAH ARENA(angkat tangan ke udara)“Pertandingan Putaran Ketiga: Dimulai!”

[DENTING GONG]

Keduanya langsung melesat maju, secepat dua kilat yang bertabrakan. Denting logam menyambar udara—Bayu Murka dan Lungguh Darma beradu dalam kilatan cahaya.

Gerakan Rudraka cepat, menusuk dari sudut-sudut sempit. Ia menggabungkan teknik pedangnya dengan gaya penghindaran melayang, tubuhnya seperti menari di atas pusaran udara.

Jasana merespons dengan tenang, tiap tebasan diayun dengan kontrol dan presisi tinggi. Ia tak mengejar kecepatan, tapi aliran gerak.

JURUS KEDUAWANA CIPTA

Jasana melompat ke belakang, lalu menghujamkan Lungguh Darma ke tanah. Aura hijau lembut menyebar, membentuk jejak bayangan dedaunan yang mengendap di lantai arena.

Tiba-tiba—pohon ilusi kecil tumbuh dari celah batu, batang dan cabangnya membelit menuju arah Rudraka!

Namun Rudraka memutar pedangnya dan memotong udara—Bayu Murka mengoyak batang pohon ilusi seperti asap. Ia menerobos maju, menebas Jasana dari samping.

CLANG!Jasana menangkis. Keduanya melayang di udara, bertukar lima, tujuh, sepuluh serangan dalam waktu hanya beberapa detik. Gerakan cepat, nyaris tak terbaca.

JURUS KETIGAMANTRA SEKAR LANGIT

Jasana meloncat ke atas, lalu menurunkan Lungguh Darma dari atas kepala seperti menari. Dari ujung pedangnya, muncullah serpihan cahaya menyerupai kelopak bunga berwarna biru pucat.

Serpihan itu melayang, lalu meledak menjadi hembusan angin tajam dari segala arah—mantra angin yang terfokus!

Rudraka terdorong ke belakang, harus menyilang pedangnya untuk menahan tekanan. Namun dengan teriakan pendek, ia menghentak tanah dan membentuk pusaran mini di sekelilingnya—menciptakan dinding angin bertolak belakang yang memecah serangan Jasana.

FASE AWAL: BERIMBANG

Keduanya mendarat kembali di tanah. Nafas mereka teratur, mata sama-sama menajam. Tak ada luka berat, tapi goresan halus sudah mulai muncul di mantel dan zirah.

Sorak dari tribun membuncah.

Rudraka: (dengan senyum dingin)“Teknikmu... elegan. Tapi belum cukup untuk menjatuhkan bayangan sejatiku.”

Jasana: (mata menyipit)“Kau belum melihat bagaimana bunga mekar di tengah badai.”

KAMERA MENYAPU LANGIT

Awan kristal di atas bergemuruh pelan. Angin berputar dari arah utara.

SESUATU AKAN BERUBAH.

Pertarungan ini... baru saja dimulai.

Hujan tipis mulai turun dari langit kelabu, meneteskan embun halus ke batu hitam arena. Uap tipis mengepul dari tubuh dua pendekar pedang yang masih berdiri, saling berhadapan, napas mereka mulai berat.

Rudraka, dengan kecepatan luar biasa, mulai menekan Jasana dari berbagai arah. Tebasan Bayu Murka datang bertubi-tubi, membelah udara dan menciptakan torehan-torehan angin yang tajam di sekitar arena.

WHUUMM!! — Jasana terpental ke samping, mantel putihnya sobek, jejak darah tipis mengalir di pelipisnya.

WUSSH! — Serangan berikutnya datang seperti badai mini, dan Jasana kembali terdorong, hampir menyentuh batas arena.

Kakinya menyeret tanah, namun ia tetap berdiri, dada naik-turun, mata masih tenang.

JASANA(batin)"Tenaga... tekniknya keras dan cepat. Tapi tak ada pedang tanpa celah."(sambil menggenggam Lungguh Darma)"Sudah waktunya."

TEKNIK KE-5: SERU DAYA

Jasana menarik napas dalam. Ujung Lungguh Darma menyala hijau terang, auranya seperti daun-daun yang bergerak ditiup angin gunung. Kedua kakinya menghentak tanah, dan seketika angin deras menyelimuti tubuhnya.

“SERU DAYA!”

Seketika bilah merah Lungguh Darma berubah menjadi bayangan hijau memanjang yang menggetarkan udara. Dengan satu gerakan, Jasana menebas ke arah Rudraka.

ZZZAAARRRGGHH!!Gelombang angin tebasan menyapu Rudraka—mendorongnya ke belakang, tubuhnya terangkat dan menghantam lantai arena.

Namun Rudraka, dengan darah di bibirnya, tertawa kecil. Ia bangkit, sedikit pincang, tapi matanya masih menyala.

Rudraka (tersenyum lebar)“Hah... akhirnya kau serius.”

FASE KLIMAKS — TEBASAN AKHIR DUA PEDANG

Keduanya berdiri kembali.

Langit di atas bergetar pelan—seolah para roh angin turut menahan napas.

Jasana(mengangkat pedangnya tinggi, aura hijau berdenyut kuat)“...Satu jurus terakhir. Pedang ke-13: Samara Jati.”

Bilah Lungguh Darma menyala hebat. Aura hijau seolah menciptakan lapisan cahaya transparan di sekeliling Jasana, menyatu antara tubuh dan pedangnya—tidak ada lagi batas antara petarung dan senjata.

Rudraka (mengangkat Bayu Murka tinggi)“Baiklah. Aku akan menyambutmu dengan segalaku!”

Pedangnya memanjang sejenak, membentuk alur berputar seperti spiral angin badai.

MOMEN SLOW MOTION — DUA SERANGAN SALING MENERJANG

Langkah serentak.

Terjangan bersamaan.

Tebasan hijau dari Samara Jati bertabrakan dengan spiral perak dari Bayu Murka.

Getaran besar terjadi. Cahaya menyilaukan menggetarkan tribun dan melambungkan debu, hujan terpental dari arena seperti badai kecil.

BOOOMMMM!!!

Tubuh Rudraka terpental ke belakang—terlempar melewati batas arena, menghantam pelindung sihir, lalu jatuh perlahan ke luar lingkaran.

KEHENINGAN.

Lalu... suara wasit terdengar.

Wasit Jin Tua(dengan suara lantang)“Pemenang: JASANA DARI SANGGAR LUMIRYA!!”

SORAK-SORAK PENONTON MELEDAK.

Tribun bergemuruh. Beberapa bahkan berdiri dan memberikan hormat, bukan hanya karena kemenangan, tetapi karena kemurnian pertarungan dua pendekar pedang sejati.

Jasana berjalan mendekat.

Rudraka, yang terduduk di tanah, mendongak. Ia tersenyum samar.

Jasana (menjulurkan tangan)“Kau membuatku belajar satu hal: rasa hormat tak selalu datang dari menang, tapi dari cara kita bertarung.”

Rudraka menepuk tangan Jasana, menerima uluran itu dan bangkit.

Rudraka (terengah tapi penuh hormat)“Dan kau membuatku bangga kalah.”

Dengan keduanya berdiri berdampingan di pinggir arena, para penonton masih bersorak. Cahaya sore menembus awan, menyinari mereka seperti dua bayangan legenda yang telah melampaui batas antara pertarungan dan persaudaraan.

KOTA KALATHRAYA, ALAM JIN—MALAM HARI SETELAH PUTARAN KETIGA BERAKHIR

Angin malam meniup lembut di antara menara kristal dan taman beraroma rempah astral Kota Kalathraya. Lentera-lentera cahaya roh perlahan menyala satu per satu di sepanjang koridor Paviliun Peserta.

Jasana, masih dengan pakaian latihannya, berjalan perlahan kembali ke ruang pribadinya. Matanya tampak letih, tapi dalam keheningan itu ada sorot antusias.

Tiga pertarungan telah dilalui, dan ia masih berdiri. Hatinya teringat Bagas, Nandika, Kirta… dan Guild Bayu Geni serta harapan untuk kembali. Tapi malam ini, hanya ketenangan yang ia peluk.

Jasana (monolog, lirih sambil menutup pintu kamarnya)“Satu langkah lagi menuju enam belas besar. Semakin dekat...”

PAGI HARI — LOBI PAVILIUN UTAMA — PAPAN PENGUMUMAN DIBUKA

Lonceng kristal berdentang ringan — penanda pengumuman resmi. Para peserta mulai berdatangan dari segala penjuru paviliun. Ada yang berjubah api, ada yang berselimut kabut. Tapi yang paling menarik, adalah 16 sosok yang kini berdiri dengan sorot mata penuh harap di depan Papan Kristal Pengumuman Pertandingan 16 Besar.

Kamera menyorot deretan nama yang bersinar di permukaan kristal:

JASANA MANDIRA vs ZARQA DARYAL

Zarqa Daryal, pemuda jin dengan rambut keperakan berponi tajam dan mata biru kelistrikan, mengenakan mantel merah lusuh dengan lambang bunga krisan putih bersilang tombak di dada kirinya. Ia berdiri beberapa langkah dari Jasana, lalu melangkah mendekat dengan senyum hangat dan mata berbinar.

Zarqa“Hei, kau pasti Jasana Mandira. Aku Zarqa, dari Guild Krisan Petir di desa Vindra. Kukira kita satu-satunya dari guild kecil yang berhasil sejauh ini.”

Jasana (menoleh, tersenyum ramah)“Senang bertemu denganmu, Zarqa. Rasanya menyenangkan bisa bertemu sesama pejuang dari pinggiran.”

Zarqa“Aku suka caramu bertarung kemarin. Bersih, tak membunuh, tapi menghancurkan tekad lawan. Itu langka di sini...”

Zarqa menepuk gagang tombak perak bercahaya biru yang tersampir di punggungnya. Petir kecil menari di ujungnya.

Zarqa (menatap penuh semangat)“Aku ingin kita bertarung sebagai kesatria. Tanpa tipu daya. Saling dorong batas. Sesama perwakilan dari guild kecil… dan mungkin, sebagai cermin semangat yang sama.”

Jasana (senyum makin lebar, mata tajam penuh rasa hormat)“Tawaran yang adil. Aku pun ingin seperti itu. Mari kita buat pertarungan ke-8 ini… dikenang.”

Keduanya saling mengangguk ringan. Tidak dengan kebencian atau persaingan angkuh. Tapi dengan saling hormat yang tumbuh dari jalan berat yang sama — dari desa kecil, dari guild kecil, menuju panggung besar para legenda.

CAMERA ZOOM OUT

Papan pengumuman mulai dikerumuni para peserta lain yang membaca jadwal masing-masing. Tapi dua pemuda itu berdiri agak terpisah, sama-sama menatap langit pagi Kalathraya.

Zarqa (dalam hati, melihat langit biru asing)“Bukan tentang menang atau kalah… tapi tentang apa yang kami tinggalkan setelah ini.”

HARI PERTANDINGAN 16 BESAR, ARENA UTAMA GARTHAKA KOTA KALATHRAYA, ALAM JIN — SENJA MENJELANG MALAM

Langit Kalathraya menyala jingga kemerahan. Bayangan bangunan kristal membentang panjang di tanah. Lentera roh satu per satu menyala mengambang di udara, menyambut malam yang datang.Di atas tanah bundar raksasa Arena Utama Garthaka, gemuruh suara penonton menggema laksana gelombang ombak di lautan api.

Penonton dari berbagai kalangan bangsawan jin, dari yang berbalut jubah sederhana hingga yang memakai mahkota sihir berlapis permata, bersorak dan bertaruh. Bagi mereka, ini lebih dari sekadar pertandingan — ini hiburan darah dan sihir, seni bela diri dan kehormatan.

Di tengah arena, dua sosok berdiri saling berhadapan. Lampu roh perlahan mengerucut menyoroti keduanya.

Sisi Timur Arena:

JASANA MANDIRA

Wujud jinnya kini lengkap — tinggi dan berotot, rambut hitam panjang terikat ke belakang, mata hijau menyala, telinga runcing, kulit berkilau hijau zamrud seperti batu permata hidup.Ia mengenakan Jubah putih sederhana dengan lambang teratai hitam di punggung — lambang Guild kecil Sanggar Lumirya.Di tangan kanannya, ia genggam erat pedang berwarna merah darah, yang ia beri nama Lungguh Darma. Aura sihir hijau samar mengalir lembut dari permukaan bilahnya.

Sisi Barat Arena:

ZARQA DARYAL

Jin muda penuh semangat. Rambut keperakan terurai liar, matanya menyala biru kilat. Ia mengenakan mantel merah gelap, lambang bunga krisan putih tersulam di dada kiri — perwakilan Guild Krisan Petir dari desa Vindra.Ia membawa tombak panjang berujung ganda, mengalirkan listrik yang menderu halus dari ujung ke ujung. Cahaya biru berdenyut dalam tiap geraknya.

PENGUMUMAN SUARA MAGIS DI LANGIT ARENA

“Pertandingan ke-8: Jasana Mandira dari Sanggar Lumirya melawan Zarqa Daryal dari Krisan Petir! Saat ini pertandingan dimulai!”

FASE PERTAMA DIMULAI

Zarqa langsung mengambil posisi. Ujung tombaknya bergetar, lalu melepaskan semburan listrik horizontal seperti cambuk bercahaya!

Zarqa“Awas ya, aku serius kali ini!”

Jasana dengan cepat memutar tubuh, menghindar dengan lompatan rendah, lalu menangkis serpihan kilat dengan ayunan Lungguh Darma — tebasan hijau dari sihir pedangnya membelah energi petir ke samping. Ledakan kecil terjadi di udara.

Zarqa menyerbu ke depan dengan kecepatan kilat. Tombaknya menyambar dalam ayunan setengah lingkaran. Jasana memutar pedangnya secara defensif, menahan sambaran keras yang membuat tanah arena sedikit bergetar.

Jasana (lirih dalam hati)“Kuat, cepat, dan energinya tajam. Tapi aku harus dekat... harus melewati badai ini.”

Setelah tiga kali benturan senjata jarak dekat, Jasana meloncat ke belakang sejauh dua langkah, lalu mengaktifkan teknik ke-5: Seru Daya — tubuhnya memancarkan aura hijau menyala. Angin berputar pelan mengitari dirinya, rambutnya bergetar seperti api.

Zarqa tidak menunggu — ia menancapkan tombak ke tanah, dan dari ujungnya keluar gelombang listrik merambat membentuk jaring spiral ke arah Jasana. Satu langkah salah bisa membuatnya terperangkap dan lumpuh sesaat.

Jasana melesat ke samping, menapak dinding arena sebentar untuk mendapatkan sudut serang. Ia turun dari atas, mengayunkan Lungguh Darma yang kini bersinar lebih kuat, dan — BRANG!

Tebasan hijau dan hantaman tombak biru saling bentur di udara!Suara sihir pecah menggema. Penonton terdiam sejenak…

lalu BERGEMURUH RIUH!

Narator (suara latar)"Pertarungan ini bukan hanya antara dua senjata atau dua sihir. Ini adalah pertarungan antara dua semangat. Dua anak desa. Dua orang yang tak gentar berdiri di tengah badai para bangsawan."

Fase pertama selesai dalam keseimbangan mutlak. Keduanya sama-sama mundur, napas teratur, mata masih menyala tajam.

Zarqa (tersenyum lebar, napas terengah)“Kau tangguh, Jasana! Aku tak sabar untuk fase selanjutnya!”

Jasana (membalas senyum)“Aku juga. Ayo kita buktikan kalau nama-nama kecil juga bisa berdiri di tengah gemuruh para raksasa.”

MARKAS GUILD BAYU GENI, ALAM DUNIA MANUSIA LOKASI: GEDUNG UTAMA, DIVISI RASA PRAWIRA

Senja baru saja turun di atas atap-atap Guild Bayu Geni. Angin membawa harum dupa dan dedaunan basah dari hutan sekitar. Darsa Nagawikrama melangkah dengan mantap melewati lorong batu menuju bagian dalam gedung utama guild — tempat dimana Divisi Rasa Prawira berada.

SUASANA RUANG DIVISI RASA PRAWIRA

Lorong menuju ruang divisi ini dipenuhi simbol mistik yang menyala samar di dinding — mantra-mantra pelindung dan jampi-jampi kuno. Lilin-lilin berapi biru menyala tanpa suara, dan sesekali suara lonceng halus terdengar, seolah berasal dari dimensi lain. Di sepanjang sisi, terdapat lukisan roh-roh agung dan patung batu para pemanggil legendaris dari masa lampau.Aroma bunga kering dan dupa lembut menggantung di udara. Aura tempat ini membuat bulu kuduk berdiri — tenang tapi dalam, seperti samudera malam yang menyimpan badai.

Beberapa anggota Divisi Rasa Prawira, berpakaian jubah biru tua dengan simbol cahaya dan bayangan di dada, menyapa Darsa sambil mengangguk sopan:

Anggota 1:“Nagawikrama, sudah lama tidak kami lihat di lorong ini.”

Anggota 2:“Semoga latihanmu membawa kemajuan, Darsa.”

Darsa hanya membalas dengan anggukan hormat. Matanya fokus, langkahnya tidak goyah. Ia tiba di sebuah pintu kayu gelap dengan ukiran pola mata ketiga dan kelelawar — simbol pribadi Kapten Mahadewa Rakunti.

Ia mengetuk.

Tok. Tok. Tok.

RUANG PRIBADI KAPTEN MAHADEWA RAKUNTI

Pintu terbuka sendiri, didorong sihir lembut. Di dalam, ruangannya seperti perpustakaan magis dan tempat meditasi. Rak-rak berisi kitab-kitab tua, bola kristal, tongkat sihir, dan jimat roh tertata rapi. Cahaya dari bola cahaya melayang memberikan suasana temaram berwarna ungu kebiruan.

Kapten Mahadewa Rakunti duduk di kursi rendah dari kayu hitam, mengenakan jubah panjang abu-hitam dengan motif angin malam. Di tangannya terletak tongkat Besar hitam kehijauan dengan berujung tengkorak kelelawar di puncaknya. Di sekelilingnya, bayangan kelalawar sesekali tampak terbang melingkar dan menghilang — khodamnya, Bayungkara.

Kapten Mahadewa menoleh dengan tenang, senyumnya tipis namun tajam seperti purnama.

Mahadewa Rakunti:“Darsa Nagawikrama. Angin malam membawamu ke sini... Apa yang ingin kau latih kali ini? Atau mungkin... kau ingin menaklukkan sang teman liarmu itu?”

Darsa menghela napas, lalu melangkah maju.

Darsa:“Kapten Mahadewa… aku ingin menguasai bentuk kebangkitan spiritual Aswangga. Ia sudah terlalu kuat… kadang aku kehilangan kendali. Ia bergerak sendiri, bahkan mencoba menyatu seutuhnya dan mengambil alih tubuhku.”

Mahadewa (menajamkan mata):“Bentuk siluman… kekuatan khodam yang menyatu dengan tubuh dan roh. Itu bukan permainan anak-anak. Banyak pemanggil yang hilang kendali... dan menjadi korban kekuatan mereka sendiri.”

Darsa menatap lurus, mantap.

Darsa:“Itulah kenapa aku datang padamu.”

Mahadewa:(tersenyum tipis)“Baiklah, kalau begitu… kita akan pergi ke Ruang Salinan Roh, tempat latihan tertutup di dalam ruang divisi ini. Dindingnya menahan getaran khodam, dan cermin sihir di dalamnya akan memperlihatkan sejauh mana dirimu dan khodammu berbeda… atau menyatu.”

TRANSISI — RUANG SALINAN ROH

Ruang ini terletak di balik dinding tersembunyi, hanya dapat diakses oleh pemanggil tingkat tinggi. Saat mereka masuk, terlihat ruangan melingkar luas dengan cermin-cermin besar mengelilingi dindingnya. Cahaya remang dipantulkan dari lantai marmer hitam, dan simbol pemanggilan bercahaya di tengah ruangan.

Mahadewa (berdiri di tepi simbol):“Berdirilah di pusatnya, Darsa. Biarkan Aswangga bangkit. Tapi ingat — di ruangan ini, dirimu dan khodammu akan dipisah dan dipantulkan, seolah kalian dua entitas yang berbeda. Kau harus menatapnya, menghadapinya, dan menaklukkannya… bukan sebagai musuh, tapi sebagai bagian dirimu yang paling dalam.”

Darsa mengangguk, lalu berdiri di tengah lingkaran sihir.Aura ungu mulai menyelimuti tubuhnya. Mata ungu kucing perlahan menyala, kuku menajam, dan bayangan Aswangga — kucing hitam keunguan — membesar, menyelimuti tubuhnya, membentuk sosok siluman kucing dengan sorot mata liar dan gerakan buas…

Tubuh Darsa menggigil, napasnya berat.

Darsa (dalam gumam lirih):“Aswangga… kita tidak akan berperang… kita akan berjalan bersama…”

Namun sosok siluman itu meraung, matanya memancarkan amarah... dan dari cermin, Darsa melihat dirinya sendiri diseret oleh refleksi liar dari Aswangga.

Mahadewa (menancapkan tongkatnya ke tanah, aura kelelawar melingkar):“Tahan dia, Darsa. Jika tidak… kau akan benar-benar menjadi miliknya.”

ARENA UTAMA GARTHAKA - AWAL PERTARUNGAN SUDAH BERLANGSUNG SENGIT

Sihir-sihir dasar telah saling berbenturan. Serangan-serangan kecepatan tinggi dan sabetan pedang bercampur petir telah menandai panggung dengan luka-luka dan retakan.

Zarqa menarik nafas panjang, lalu meneriakkan serangan puncaknya:

Zarqa:“PETIR PENJATUH LANGIT!!!”

Petir raksasa menyambar dari langit, berkumpul menjadi tombak cahaya listrik yang ia lemparkan ke arah Jasana.

Namun, Jasana — yang kini berdiri tegak di ujung arena dengan mata membara hijau — mengangkat tangan kirinya, dan mulai merapal mantra:

Jasana (tenang namun dalam):“Guritna Darma…”

Aura hijau meledak dari tubuhnya, menciptakan pusaran angin yang bergulung. Lalu dari tanah dan udara, muncul aksara-aksara bercahaya hijau yang menari di sekelilingnya, membentuk sebuah guratan mantra panjang seperti wayang yang bergerak.

GURITNA DARMA — Sihir Ciptaan Jasana

Sebuah serangan berbentuk guratan tulisan magis yang membentuk tombak-tombak cahaya hijau, menyatu dengan ayunan pedangnya. Saat ia mengayun Lungguh Darma, aksara-aksara itu menyatu dan melesat seperti hujan sabda spiritual.

DUA KEKUATAN RAKSASA ITU BERTABRAKAN DI TENGAH ARENA

BOOOOOMMMMM—!!!

Cahaya hijau dan kilat biru saling menelan. Ledakan energi menyebar, membuat seluruh arena berguncang hebat. Penonton berseru kaget dan terpana, sebagian bahkan terpaksa menahan diri dengan sihir pelindung.

Saat debu mengendap, Jasana terlihat berdiri dengan napas berat — pakaiannya koyak sebagian, rambutnya berkibar oleh sisa badai energi. Zarqa, berdiri terpincang, masih mengerahkan tenaga terakhir.

Zarqa (tersenyum lelah):“Kau memang hebat… Tapi aku belum selesai!”

Namun Jasana sudah mengambil sikap. Ia menarik nafas dalam, lalu menurunkan tubuhnya dalam posisi bertarung khas Sanggar Lumirya.

Mata pedangnya bersinar merah. Angin menjadi diam. Udara menjadi sunyi.

Jasana:“Tebasan ke-13... Samara Jati.”

Dalam sekejap mata, Jasana menghilang dari tempatnya.

SAMARA JATI — Tebasan Ke-13

Gerakan setajam niat murni, setenang jiwa yang telah melepas semua beban. Ia muncul di belakang Zarqa, pedangnya telah selesai ditebaskan.

Tiba-tiba, hembusan angin halus berubah menjadi badai keras yang menghantam tubuh Zarqa, membuatnya terpental keluar dari arena dan menghantam batas sihir pelindung.

DENTUM!!!

KEHENINGAN MENYELIMUTI ARENA

Wasit mengangkat tangan, aura emas berkibar:

WASIT ARENA:“Pemenang! JASANA DARI GUILD SANGGAR LUMIRYA! Ia lolos ke BABAK 8 BESAR!”

Sorak-sorai meledak dari tribun, sebagian kagum, sebagian tercengang.

Jasana berjalan perlahan mendekati Zarqa, yang sedang terduduk di tepi arena. Ia ulurkan tangan kanannya.

Jasana (tenang dan tulus):“Pertarungan hebat, Zarqa. Kau membuatku harus serius.”

Zarqa (tersenyum sambil menerima tangan Jasana):“Haha… Kapan-kapan ajarkan aku sihir aksara itu, ya.”

Jasana:“Kapan saja kau siap menjadi murid yang sabar.”

GUILD SANGGAR LUMIRYA, DESA AETHERAYA MALAM HARI USAI PERTANDINGAN BABAK 16 BESAR

Puluhan anggota guild berkumpul dalam ruangan bundar besar yang dipenuhi aroma dupa bunga dan teh herbal. Di tengah ruangan, tergantung sebuah cermin sihir berbentuk bulat raksasa, yang memantulkan kejadian langsung dari arena turnamen di alam jin.

Saat tebasan Samara Jati berhasil menghempaskan Zarqa dan kemenangan diumumkan, seluruh ruangan langsung meledak dalam sorak-sorai yang membahana.

Anggota Guild (serempak):“JASANAAA!!! HAYAAAH!!!”

Beberapa melonjak-lonjak kegirangan, lainnya bersiul, menabuh kendi-kendi kosong, bahkan ada yang memercikkan air bunga ke langit-langit ruangan. Sebuah pesta kecil spontan pun dimulai.

Seorang pria tua bertubuh tinggi dan tegap meski usianya lebih dari 130 tahun. Rambutnya putih bersih, dikuncir rapi ke belakang. Ia mengenakan mantel putih bersulam lambang teratai hitam di dada — simbol luhur dari Sanggar Lumirya. Di balik tatapan matanya yang keriput, ada sinar bangga dan teduh.

Ia berdiri tegak di sisi cermin sihir, dengan tangan bertumpu pada tongkat kayu hitam berukir mantera.

Ragatma (tenang, tapi bersuara lantang):“Jasana... muridku. Kau tidak hanya bertarung. Kau mengajarkan jiwa. Inilah kebanggaan yang tak bisa dibeli dengan piala.”

Seluruh ruangan hening sejenak mendengar ucapannya, sebelum kembali bersorak lebih keras.

Di tengah keramaian, berdiri seorang perempuan jin berwujud memesona. Rambut merah panjang diikat, mata biru bersinar, telinga runcing, dan kulit putih keperakan yang berkilau lembut oleh cahaya lentera. Ia mengenakan pakaian santai berwarna biru langit, namun tetap memancarkan aura kekuatan.

Ia tertawa lepas, air matanya menetes sedikit — antara haru dan bangga. Ia berdiri paling depan, tepat di bawah cermin sihir.

Rinjana (tersenyum lebar):“Itu... itu tebasan ke-13-nya. Dia berhasil! Dia benar-benar berhasil…”

Seorang anggota guild menepuk punggungnya sambil tertawa.

Anggota Guild:“Kau pasti bangga sekali, Kakak Rinjana!”

Rinjana (mengangguk, sambil menghapus air mata):“Bukan hanya bangga... aku tahu ia menahan rasa rindu. Ia bertarung bukan untuk menang sendiri... tapi untuk nama kita semua.”

Musik petik dimainkan oleh beberapa anggota yang pandai memainkan alat musik kuno. Teh herbal diseduh, makanan ringan seperti kue akar rempah dan kacang jin digelar di meja panjang. Di luar jendela, bunga-bunga teratai perlahan bermekaran di malam hari — seperti ikut bersuka cita.

Beberapa anggota menyanyikan nyanyian pendek untuk Jasana:

Nyanyian:“Teratai hitam, gugur di medan.Jasana berdiri, tak gentar badai.Satu tebasan, untuk seribu nama.Sanggar Lumirya, harum semesta...”

HARI TERAKHIR SEBELUM PERTARUNGAN 8 BESAR – MATAHARI SETENGAH

Langit Kalathraya membiaskan cahaya keemasan, menandai siang setengah tiba. Kabut tipis dari lembah-lembah ajaib di sekeliling kota menyapu lembut jalanan, dan paviliun para petarung bersinar tenang dalam bayangan kubah langit.

Di salah satu paviliun itu, Jasana baru saja menyelesaikan meditasi. Napasnya tenang, tubuhnya duduk bersila di atas hamparan matras daun silinra yang hanya tumbuh di Alam Jin Tingkat-2. Tubuhnya yang sempat terluka dua hari lalu kini sudah pulih sempurna.

KEKUATAN REGENERASI — WARISAN MENARA KRISTAL

Sudah 11 bulan sejak insiden itu. Jasana tidak lagi heran akan kecepatan pemulihannya.

Sejak penaklukan Menara Kristal Hitam bersama Rinjana, ia telah menyadari adanya perubahan drastis dalam tubuhnya.

Tapi hanya Rinjana yang tahu berapa parah lukanya saat itutombak jin yang ditembakkan oleh sistem pertahanan di puncak menara, nyaris menewaskan Jasana.

Portal yang seharusnya membawa mereka pulang... menghilang sesaat sebelum mereka sempat melewatinya. Selama 3 hari Jasana tak sadarkan diri, tubuhnya berada di ambang kematian, namun Rinjana tetap merawatnya, dan memberikan Ramuan untuk menghilangkan kutukan.

KEKUATAN BARU — PENYAMARAN DAN TRANSFORMASI

Sejak itu, perubahan lain muncul dari sisi Rinjana. Sebagai pengguna sihir, penaklukan menara justru memberinya berkah sihir transformasi bentuk, sebuah kemampuan yang sangat langka.

Ia bisa menyulap tubuh manusia menjadi menyerupai jin, meniru fitur fisik, resonansi aura, bahkan pola denyut energi. Hal ini menjadikan Jasana dan Rinjana nyaris tak terdeteksi sebagai manusia oleh para jin Kalathraya.

“Di sini, manusia dianggap parasit,” ujar Rinjana padanya kala itu.“Kita bisa mati hanya karena tampak berbeda.”

Kemampuan inilah yang menyelamatkan mereka. Sejak itu, mereka menjalani hidup baru — dengan identitas jin, dan akhirnya menemukan Guild Sanggar Lumirya, tempat perlindungan yang tak banyak bertanya asal usul.

Jasana kini berdiri, mengenakan mantel putihnya dengan lambang teratai hitam yang elegan. Ia mengangkat Lungguh Darma, pedang merahnya yang kini terasa... hidup.

Setiap pagi kini terasa lebih jernih, tubuhnya lebih kuat, pikirannya lebih fokus.

Regenerasinya mempercepat pemulihan otot dan aliran energi dalam tubuh, membuatnya seperti tidak pernah terluka sebelumnya.

“Dua hari lagi... Kharvak,” gumamnya.“Dan kali ini, aku tak akan hanya bertarung untuk menang... Tapi untuk menguji kekuatan yang kubawa dari puncak menara itu.”

Mata hijaunya menyala, seolah melihat sesuatu jauh di balik horizon.

MARKAS GUILD BAYU GENI TAHUN 541 SADAMANTA — BULAN KE-11

RUANGAN UTAMA — MEJA BATU LINGKARAN API

Lentera gantung berisi api abadi menyala tenang, memantulkan cahaya ke wajah-wajah serius yang duduk mengelilingi meja lingkar batu hitam yang diukir dengan lambang api, naga, dan mantra proteksi kuno.

Wajah-wajah yang Hadir:

Raksadana, kini telah menjadi Pemimpin Guild Bayu Geni. Usianya 42 tahun, bertubuh besar, karismatik dengan janggut lebat dan sorot mata tajam penuh wibawa.

Di sampingnya bersandar Pedang Besar Jatiwisesa, lambang pengabdian dan kekuatannya sebagai mantan Panglima Perang Mandalagiri.

Kapten Panggrahita Aji, Kirana Wismadanta, wanita berusia 28 tahun, rambut hitam dikuncir tinggi, mengenakan mantel latihan dengan bordir perak. Ia adalah juara bertahan Turnamen Bayu Geni dua tahun berturut-turut, terkenal karena gaya bertarung tenang dan teknik "Napas Tunggal" dalam pertarungan tangan kosong maupun senjata ringan.

Kapten Raka Lelana, Pradipa Karna, hadir dengan Dwijanaga disampirkan di punggung. Sorot matanya tajam, tenang seperti samudra yang menyimpan badai.

Kapten Rasa Prawira, Mahadewa Rakunti, berjubah ungu kelam, memegang tongkat besar hitam kehijauan berujung tengkorak kelelawar "Kaladewa". Usianya Sudah Cukup Matang, wajahnya seperti diselimuti misteri waktu.

Kapten Bayang-bayang Geni, Kalandra Wisanggeni, mengenakan pakaian gelap tanpa suara, pedang samurai gagang hitam tersarung di sisi pinggang. Tatapannya tajam, hampir tak berkedip.

Kapten Mandala Dhana, Doyantra Puspaloka, hadir dengan gada emas besar yang diletakkan berdiri di samping kursinya.

Penuh wibawa, tubuh tambunnya memancarkan aura perlindungan dan otoritas dagang.

Raksadana membuka suara, suaranya dalam dan berat seperti guntur yang bergema di gunung.

Raksadana: “Sudah Beberapa Minggu ini, tanpa satu pun jejak pergerakan dari Bayawira. Apakah ini pertanda kehancuran… atau badai yang sedang dikumpulkan dalam senyap?”

Mahadewa Rakunti berbicara pelan namun tegas.

Mahadewa: “Bahkan mata-mata ghaibku tak melihat bayangan mereka. Ini bukan sekadar menghilang… tapi seperti mereka menutup tirai antara dunia.”

Kalandra Wisanggeni menyela, suaranya rendah dan tajam.

Kalandra: “Kami temukan beberapa jalur komunikasi rahasia mereka telah ditinggalkan. Tidak terbakar. Tidak hancur. Ditinggalkan. Itu bukan kabur. Itu peralihan strategi.”

Raksadana mengangguk, mencatat dalam benaknya, lalu mengalihkan ke pokok kedua.

Raksadana: “Sebagaimana tradisi, Turnamen Bayu Geni akan digelar akhir bulan ini. Duel satu lawan satu, hanya sampai lawan menyerah atau lumpuh. Tanpa pembunuhan. Hanya 32 kursi untuk para petarung terpilih.”

Kirana Wismadanta menyunggingkan senyum tipis.

Kirana: “Aku ingin memastikan... siapapun yang terpilih dari Panggrahita Aji... adalah calon penerus gelar juara tahun ini.”

Pradipa Karna hanya tersenyum miring, tak berkata, namun dari sorot matanya, ia tahu siapa yang akan dikirim dari Raka Lelana.

Doyantra terkekeh, suaranya menggema seperti dentang logam.

Doyantra: “Kami mungkin pedagang… tapi jangan anggap kami tak bisa mengayunkan gada.”

Raksadana menambahkan:

“Pilihlah dengan bijak. Turnamen bukan sekadar ajang kekuatan... tapi ujian kesetiaan dan semangat guild.”

Raksadana menatap seluruh kapten.

“Kita semua berdiri di antara fajar dan badai. Siapkan diri kalian. Siapkan pasukan kalian. Tahun depan akan membuka babak baru.”

Para kapten bangkit berdiri. Tak ada teriakan. Hanya anggukan tegas dan langkah yang bergetar bersama tanah tempat para legenda ditempa.

PARA KAPTEN KEMBALI KE DIVISI MASING-MASING

Kirana Wismadanta kembali ke pelataran latihan untuk menguji para petarung muda.

Pradipa Karna melangkah ke ruang taktik di Raka Lelana dengan peta dan nama-nama calon peserta turnamen.

Mahadewa masuk ke ruang ritual bawah tanah, mempersiapkan ujian spiritual.

Kalandra lenyap ke lorong tersembunyi di bawah markas.

Doyantra kembali ke gudang utama, mengecek logistik, catatan pemasukan, dan... gada emasnya.

KALATHRAYA – ARENA GARTHAKA, MINGGU KE-4, HARI PERTAMA

Langit Kalathraya berpendar ungu samar, matahari alam jin perlahan merangkak naik, memandikan batu-batu mengambang dan pilar-pilar sihir di arena Garthaka dengan cahaya kekuningan tembaga. Suara gong dari menara penjurian bergema, menandai dibukanya pertandingan pertama hari ini. Sorak sorai penonton dari berbagai ras jin memenuhi tribun melingkar, wajah-wajah penasaran menatap ke tengah arena raksasa yang dipagari dinding energi transparan.

Dari sisi timur, keluar sosok menjulang dari lorong batu hitam: Kharvak dari Klan Duralmaz. Tubuhnya besar, kulit batu kelabu bercampur guratan hijau lumut, matanya tajam berkilat seperti batu giok. Di punggungnya tergantung sabit batu-besi raksasa dengan tepi berkerak mineral. Setiap langkahnya mengguncang lantai. Sorakan keras meledak dari sudut tribun barat—klan Duralmaz mendukung penuh petarung mereka.

Dari sisi barat, muncul Jasana Mandira, mewakili guild kecil Sanggar Lumirya. Ia kini dalam wujud jin: tinggi, tubuh atletis berotot ringan, rambut hitam panjang terikat ke belakang, mata menyala hijau terang, dan kulit berwarna hijau zamrud berkilau samar. Ia berjalan tenang dengan mantel putih bertanda teratai hitam berkibar pelan. Di punggungnya, pedang merah bernama Lungguh Darma, menyala halus seperti bara dalam kayu. Penonton sempat hening—nama Jasana belum dikenal luas. Tapi beberapa jin tua menunduk samar, seolah merasakan aura yang tak biasa darinya.

“Pertarungan Pertama Dimulai: Jasana dari Sanggar Lumirya menghadapi Kharvak dari Klan Duralmaz!”Suara wasit jin menggema dari atas arena. Kedua petarung mengangguk singkat.

DENTUMAN AWAL — AWALAN YANG MENGGUNCANG

Kharvak mengangkat sabitnya, menebaskannya ke tanah. Seketika, pilar batu muncul dari bawah tanah, mengarah untuk menghantam Jasana. Namun, tubuh Jasana melesat cepat ke samping—langkah ringan seperti angin kering musim gugur. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik Lungguh Darma, mengayunkannya ke depan:

“Tatarupa Satriya — Tebas Awal!”

Tebasan menghasilkan gelombang hijau terang berbentuk sabetan membelah udara. Pilar batu Kharvak hancur separuh, meski sebagian masih melesat ke arah Jasana. Ia memutar tubuhnya, membiarkan pecahan batu lewat di sisi.

Kharvak membalas cepat. Ia menginjak tanah keras dan mengangkat kedua tangannya:

“Kukila Bhumi!”

Dari balik tanah, sebuah golem raksasa muncul, tubuhnya dari batu lava dan tanah merah, mengejar Jasana dengan pukulan besar. Jasana menjejak ringan ke atas batu pecah, melompat, mengitari golem, dan kembali menebas:

“Tatarupa Satriya — Tebas Melingkar!”

Gelombang aura hijau melingkar menyerang golem dari samping, memotong lengan batu yang hendak menghantamnya. Percikan aura dan batu beterbangan.

Kharvak tersenyum lebar. Ia mulai menaikkan intensitas sihir tanahnya, menciptakan medan penuh jebakan: tanah yang longsor, paku batu yang tiba-tiba muncul dari bawah, dan kabut debu tebal dari tanah yang dihancurkan.

Namun Jasana melangkah pelan dalam kabut. Nafasnya stabil. Tangannya menggenggam pedang merah, dan aura hijaunya mulai menyelimuti seluruh tubuh. Dengan gerakan ringan, ia mengalirkan sihir ke tanah, menetralkan getaran medan jebakan Kharvak—sebuah teknik yang tidak diajarkan secara umum, hasil dari pemahamannya membaca medan tempur di dunia manusia.

Tebasan mereka akhirnya beraduLungguh Darma dan sabit batu-besi saling bertemu di udara.

“DHUARRR!!!”

Gelombang kekuatan menghempas keluar. Debu, kerikil, dan aura terpental dari titik tumbukan. Penonton bersorak, sebagian bahkan berdiri. Ini bukan duel biasa.

Kedua petarung terdorong beberapa langkah ke belakang, tapi tetap stabil. Nafas Jasana sedikit teratur, sementara Kharvak mengangguk dengan senyum menghormati. Ini baru awal, dan mereka tahu—pertarungan ini tidak akan cepat selesai.

Scene ditutup dengan kamera menjauh perlahan, debu perlahan jatuh ke tanah, dan matahari Kalathraya mulai meninggi...

"Pertarungan baru saja dimulai..."

ALAM DUNIA – GUILD BAYU GENI RUANG DIVISI PANGGRAHITA AJI, PAGI HARI

Matahari pagi menyinari jendela-jendela tinggi di ruangan latihan utama Divisi Panggrahita Aji, memantulkan cahaya ke lantai batu yang bersih. Ruangan itu luas dan dipenuhi alat-alat latihan spiritual dan fisik: patung kayu uji tebas, garis mantera untuk latihan pengendalian khodam, serta beberapa altar kecil di sudut ruangan.

Suasana pagi ini lebih ramai dari biasanya, seluruh anggota Divisi telah berkumpul, membentuk setengah lingkaran menghadap ke tengah ruangan.

Di tengah berdiri Kapten baru, seorang wanita berusia sekitar 28 tahun:Kirana Wismadanta — rambut hitam dikuncir tinggi, matanya tajam dan teduh sekaligus, tubuhnya tegap dengan mantel latihan bordir perak melambangkan otoritas dan keanggunan kekuatan dalam. Suaranya tegas namun hangat saat ia membuka pengumuman.

“Rekan-rekan Divisi Panggrahita Aji, minggu ke-3 hingga ke-4 bulan ini akan digelar Turnamen Internal Bayu Geni. Ajang ini bukan hanya untuk mencari yang terkuat… tapi untuk menunjukkan jiwa dan kendali yang paling murni dalam penguasaan teknik, senjata, dan spiritual.”

Semua hadirin diam, mendengarkan dengan seksama. Sebagian bahkan tampak menahan nafas.

“Setelah mempertimbangkan perkembangan latihan, daya spiritual, dan semangat dalam pengabdian, aku memilih enam orang untuk mewakili divisi kita.”

Ia mengangkat tangannya, menyebut nama satu per satu:

“Bagas Prayoga.”

Bagas melangkah maju dengan penuh semangat, matanya membara, tinjunya mengepal. Sorak sorai ringan terdengar dari rekan-rekannya.

“Brahma Anggacandra.”

Brahma mengangguk tenang, melangkah ke depan dengan dua pedangnya tergantung di punggung. Auranya tidak gegabah, tapi mengalir kuat seperti ombak dalam.

“Surya Bakti.”

Surya melangkah gagah, cambuk bajanya tergulung rapi di pinggang. Ia tersenyum bangga namun sopan kepada kaptennya. Rambut ikalnya sedikit berantakan karena latihan sebelumnya.

Lalu, Kirana menoleh ke sisi kanan, di mana beberapa senior berdiri tegak. Ia menunjuk tiga nama berikut:

Tiga Senior Divisi Panggrahita Aji:

Jayasena Rudraksha – usia 29 tahun, berwajah tegas dengan bekas luka tipis di pipi kiri, pengguna tombak besar dengan kemampuan pengendalian energi melalui napas dalam. Pendiam tapi penuh ketepatan.

Lalita Mahadewi – usia 28 tahun, satu-satunya senior perempuan, menguasai teknik kipas dan mantra pelindung. Gaya bertarungnya anggun namun mematikan, selalu tersenyum meski dalam tekanan.

Darsika Wulungpati – usia 30 tahun, berbadan tinggi dan tenang, pengendali dua golok kembar dan mahir mengolah emosi menjadi kekuatan serangan. Ia merupakan salah satu pengamat khodam terbaik di divisi.

Ketiganya maju, berdiri sejajar dengan Bagas, Brahma, dan Surya.

Kirana melangkah mendekat, memandangi keenam perwakilan divisinya.

“Kalian berenam akan membawa nama kita. Ingat, bukan hanya kekuatan otot atau sihir yang akan dinilai... tapi penguasaan atas diri, teknik, dan keberanian menghadapi tekanan. Tunjukkan bahwa Divisi Panggrahita Aji adalah pondasi jiwa dari Guild Bayu Geni!”

Gemuruh tepuk tangan dan sorakan kecil meledak dari para anggota lain—jumlahnya 7 orang yang kini membentuk barisan semangat, bersorak bagi rekan-rekan mereka.

Bagas menepuk dada dua kali. Brahma menunduk hormat pada rekan-rekan yang mendukung. Surya mengacungkan dua jari ke udara sambil tertawa kecil, wajahnya berseri. Sementara Jayasena, Lalita, dan Darsika hanya menanggapi dengan anggukan sederhana penuh kepercayaan diri.

Scene ditutup dengan langit di luar jendela yang semakin terang, sinar mentari menyinari lambang Panggrahita Aji yang tergantung di dinding: sepasang tangan terbuka mengangkat cahaya.

Turnamen akan segera dimulai. Dan semangat jiwa mulai menyala.

KEMBALI KE PERTARUNGAN: JASANA MANDIRA vs KHARVAK DURALMAZ

Langit alam Jin berwarna ungu terang, menggantung tinggi di atas Arena Garthaka, dikelilingi oleh tribun melingkar tempat ribuan penonton bersorak. Deru magis di udara terasa menekan dada, seakan arena ini sendiri ikut menyaksikan pertarungan.

Sudah tiga puluh menit berlalu sejak gong pertama ditabuh. Debu, batu, dan aura masih berhamburan. Dua sosok kini berdiri saling berhadapan di tengah medan yang porak-poranda:

Jasana Mandira, sosok tinggi berotot dengan kulit hijau zamrud, mata hijaunya menyala seperti bara hidup, mantel putih bertanda teratai hitam berkibar di punggungnya. Di tangan kanannya, pedang merah Lungguh Darma memantulkan aura kehijauan dari sihir yang menyatu dengan tiap gerakannya. Di lengannya ada goresan luka yang sempat mengucur darah... namun perlahan—nyaris tak disadari oleh dirinya sendiri—luka itu memudar, tertutup kembali oleh kilau samar aura hijau yang melingkar di sekujur tubuhnya.

Di seberangnya berdiri Kharvak Duralmaz, raksasa dari klan kuno penjaga bumi. Tubuhnya besar dan kokoh seperti pahatan batu, sabit batu-besi raksasa kini tergenggam lemah di tangannya. Wajahnya penuh keringat, napasnya berat, sebagian tubuhnya tertutup debu dan retakan tanah akibat serangan-serangan Jasana.

Kharvak mengentakkan tanah, membentuk dua golem batu dari sisi kanan dan kiri, mencoba mengurung Jasana.Tapi Jasana bergerak cepat, satu langkah ringan membelah udara—teknik ‘Langkah Daun Tumbang’—menghindar dari cengkeraman golem dan langsung berbalik.

Aura di sekitar Jasana semakin kuat, seperti pusaran badai hijau. Ia menurunkan kuda-kuda, menyiapkan tebasan yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih sunyi, lebih mematikan.

“Samarajati... Ke-13.”

Seketika tubuh Jasana seperti lenyap dalam bayangan dan cahaya, pedang Lungguh Darma menari-nari dalam kecepatan gila. Tiga belas tebasan halus terlontar seolah bersamaan, tak terlihat arah datangnya.

Kharvak, dengan sisa kekuatannya, mengangkat sabit raksasanya mencoba menangkis dari depan.

KRRAAAAKKK! Sabit batu-besi itu retak, lalu hancur berkeping di tangan Kharvak.

“A-apa…?” desis Kharvak, tak percaya. Matanya melebar, melihat reruntuhan senjatanya sendiri.

Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, Jasana sudah kembali mengambil sikap. Tangannya bersinar dengan aura intens — ini bukan tebasan biasa, ini adalah teknik spiritual.

“Seru Daya… Ke-5.”

Satu dorongan tenaga aura hijau dari ujung pedangnya, bagai gelombang dalam bentuk busur setengah lingkaran, menghantam langsung dada Kharvak.

BOOMM!!Kharvak terlempar beberapa meter ke belakang, menghantam dinding batu arena. Tubuhnya tergeletak tak bergerak, matanya tertutup. Tak ada suara dari penonton dalam beberapa detik—semuanya terdiam melihat raksasa klan tua itu tak berdaya.

Lalu...

“Pemenang! JASANA MANDIRA dari Sanggar Lumirya!!”

Pengumuman wasit terdengar lantang, disambut gelombang sorakan membahana dari tribun. Penonton berdiri, bertepuk tangan keras, bahkan beberapa jin senior dari klan terpandang tampak berbisik-bisik kagum.

“Siapa dia sebenarnya?”“Seperti Bukan jin murni... tapi kekuatannya...”

Sementara itu, Jasana hanya berdiri tenang di tengah arena, matanya menatap ke langit ungu. Napasnya tetap teratur. Ia menundukkan kepala sedikit, memberi penghormatan kepada Kharvak yang tak sadarkan diri, sebelum berbalik meninggalkan arena.

Sorakan tak juga mereda. Nama Jasana Mandira kini mulai bergema di kalangan para penonton Kalathraya.Ini bukan hanya kemenangan. Ini awal dari sebuah legenda.

ALAM DUNIA – GUILD BAYU GENI, RUANG AULA TERBUKA DEKAT TAMAN DALAM

Mentari sore menebar cahaya hangat ke dalam kompleks Guild Bayu Geni. Di sudut taman dalam yang asri, terdapat sebuah aula terbuka dengan pilar kayu dan atap daun lontar, tempat para anggota sering berkumpul di waktu senggang.

Hari ini, tujuh anggota junior duduk melingkar di sana. Mereka baru saja menerima kabar bahwa mereka terpilih sebagai kontestan Turnamen Bayu Geni, sebuah ajang tahunan paling prestisius di dalam guild. Dari total 65 anggota aktif, hanya 32 yang dipilih—dan mereka bertujuh termasuk di antaranya.

Mereka adalah:

Darsa Nagawikrama (Divisi Bayang-Bayang Geni)

Pratiwi Manggala (Divisi Bayang-Bayang Geni)

Nandika Sutasmi (Divisi Raka Lelana)

Kirta Wangsaputra (Divisi Raka Lelana)

Bagas Prayoga (Divisi Panggrahita Aji)

Brahma Anggacandra (Divisi Panggrahita Aji)

Surya Bakti (Divisi Panggrahita Aji)

Tawa kecil dan percakapan riang mengisi udara.

Bagas menepuk bahu Kirta sambil tertawa.Bagas: "Tebak siapa yang bakal menang sabuk emas tahun ini? Tentu saja yang paling kuat dan paling ganteng—aku!"

Kirta (tersenyum sambil memainkan anak panah kecil):"Kalau jurinya menilai dari betapa kerasnya kamu mendengkur saat tidur, pasti kamu menang, Gas."

Darsa (menyandarkan tubuhnya santai ke pilar kayu):"Tenang saja. Kalau pertandingan butuh taktik dan tipu daya, kau semua akan kalah dariku bahkan sebelum pertandingan dimulai."

Nandika (menyilangkan tangan, menyeringai):"Omong kosong. Kalau kita bertemu nanti, aku pastikan tombakku mendarat lebih dulu sebelum kau sempat ‘berpikir’."

Pratiwi (tertawa pelan, memainkan kerikil kecil dengan jari):"Sudah kubilang, yang licin dan lincah yang bakal bertahan sampai akhir. Kalian semua terlalu suka maju duluan. Biar aku yang sembunyi dan menusuk dari bayangan."

Surya (tersenyum tenang, mengangkat cangkir air rempah):"Aku tidak butuh menang. Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kita semua bisa melangkah. Tapi tentu, kalau menang, itu bonus yang manis."

Brahma (menatap sekeliling, matanya tajam tapi wajahnya santai):“Lucu. Kita semua dari divisi berbeda. Tapi saat ini rasanya seperti satu regu.”

Mereka semua terdiam sejenak, lalu saling berpandangan, lalu tertawa bersama.

Darsa:"Kalian sadar, ‘kan? Ini pertama kalinya tujuh junior dari tahun yang sama lolos bersama dalam satu turnamen.

Biasanya paling dua atau tiga."

Nandika:“Dan jangan lupakan, ini juga tahun pertama di mana panggrahita aji mengirim tiga jagoan junior sekaligus. Kapten Kirana pasti punya rencana besar.”

Bagas:"Aku dengar dia sedang susun strategi untuk latihan tanding gabungan antar divisi. Semacam gladi tanding?"

Pratiwi:"Bagus. Biar kita bisa intip gaya bertarung kalian sebelum turnamen sungguhan. Aku suka kalau tahu kelemahan lawan sebelum pertandingan."

Surya (tersenyum):"Kalau begitu aku harus mulai menyembunyikan gaya gerakku. Tidak akan mudah ditebak."

Sore mulai menjingga. Daun-daun berjatuhan pelan. Obrolan mereka terus bergulir.

Kirta:“Kalau aku lolos ke empat besar, aku akan minta izin pergi ekspedisi ke daerah utara. Ada reruntuhan yang ingin aku jelajahi.”

Brahma:“Dan kalau aku menang, aku akan minta duel ulang dengan salah satu senior. Ada hutang yang belum lunas.”

Bagas:“Aku akan minta ruang pelatihan baru di asrama. Yang lama mulai sumpek.”

Darsa (tersenyum licik):“Aku tidak akan minta apa-apa. Aku akan diam-diam menyusup ke ruang pemimpin guild dan lihat apa hadiah sebenarnya.”

Nandika:"Kau keterlaluan. "Pratiwi (tertawa): "Tapi bisa jadi benar."

Akhirnya, mereka semua berdiri.

Brahma:"Kita mungkin akan bertarung satu sama lain nanti. Tapi malam ini, kita masih satu saudara."

Kirta (mengangkat cangkirnya):“Untuk tujuh junior yang akan bikin sejarah.”

Bagas, Surya, Darsa, Nandika, Pratiwi, Brahma:“Untuk kita!”

Sorot cahaya senja menyorot wajah-wajah muda penuh tekad. Mereka belum tahu siapa yang akan menang, tapi satu hal pasti—dunia akan mencatat nama-nama mereka.

ALAM JIN – KOTA KALATHRAYA – MALAM HARI

Di Paviliun Selatan, kamar Jasana Mandira.

Cahaya remang bulan ungu Kalathraya merambat masuk melalui kisi-kisi jendela, mengguratkan bayangan lembut di lantai batu dan kelambu tempat tidur. Jasana terbaring dalam keheningan, napasnya teratur. Namun di balik tenang wajahnya, jiwanya telah menapaki ruang lain...

MIMPI – DI ANTARA KABUT DAN NYALA API BIRU

Jasana melangkah di antara padang kabut berpendar. Langkahnya terayun ringan namun siaga. Lalu dari kejauhan, muncul sosok raksasa bertanduk lembu, bermata tiga, bersayap perunggu terbakar api gaib. Tubuhnya mirip makhluk mistik dalam kisah kuno – Lembusnawa, penjaga dunia.

Sosok itu duduk di atas singgasana batu mengambang, dikelilingi semburat cahaya kehijauan dan pusaran angin sakti.

Lembusnawa:“Kau... manusia yang bukan sepenuhnya manusia lagi. Aku melihatmu menaklukkan menara kristal hitam, berdiri di atas luka dan kematian, namun jiwamu tak gentar. Siapa namamu?”

Jasana (menegang, bersiap menarik pedang bayangan):“Jasana Mandira. Apa kau... monster? Khodam liar? Atau hanya jelmaan tipu daya alam jin?”

Lembusnawa (tertawa rendah, suara seperti gelegar petir jauh):“Aku memang liar. Tapi tidak semua yang liar itu jahat. Aku bukan ilusi. Aku adalah kekuatan yang hidup dalam alam mistik. Dan… mungkin kini, aku adalah milikmu.”

Jasana terpana. Sorot mata ketiganya yang menyorot lembut namun tajam, menembus ke dalam kesadarannya. Lembusnawa berdiri perlahan.

Lembusnawa:“Aku tidak terikat pada siapa pun selama ratusan tahun. Tapi aura spiritualmu… telah bercampur dengan denyut alam ini. Kau bukan jin. Tapi jiwamu telah hidup dalam Kalathraya cukup lama, hingga menjadi wadah yang layak.”

Jasana (perlahan menurunkan tangannya):“Jadi… kau khodam? Khodam… kedua?”

Lembusnawa:“Ya. Yang bangkit bukan dari luka masa lalu seperti Khodam Liar lainnya, tapi dari kekuatan batin yang tumbuh dalam pertempuran dan cinta—pada kehidupan, pada keluarga, pada pengorbanan.”

Ia berjalan mendekat, aura panas namun damai melingkupi Jasana.

Lembusnawa:“Aku tahu tentang Menara Kristal Hitam. Kau menyentuh ruang waktu di dalamnya. Dan dari sana, kemampuan regenerasi itu—penyatuan antara tubuh dan kehendak. Aku... menyukai itu.”

Jasana:“Kalau begitu... jika kau bersedia tinggal dan bersemayam, aku ingin kau menetap di pedang merah milikku. Namanya Lungguh Darma. Tapi syaratnya satu…”

Lembusnawa (menundukkan kepalanya):“Aku mendengar.”

Jasana:“Gunakan kekuatanmu hanya untuk menumpas kejahatan. Jangan melukai kebenaran. Jangan menyeretku keluar dari jalan nurani.”

Lembusnawa (membungkuk sedikit, ritual penghormatan):“Sumpah diterima. Maka mulai malam ini, aku akan menjadi senjatamu jika kau dalam bahaya, dan muncul ketika jiwamu memanggilku.”

Ia menatap dalam ke arah Jasana.

Lembusnawa:“Tapi aku butuh nama. Yang lahir darimu.”

Jasana memejam sejenak. Dalam hatinya terbayang wajah Rinjana, senyuman dan keberanian perempuan yang kini mengandung anaknya. Terlintas bayangan Ardhana, dan cahaya merah dari Lungguh Darma.

Lalu ia menjawab:

Jasana:“Namamu... WIRATMAJA.‘Wira’ untuk keberanian, dan ‘atmaja’ untuk anak dari jiwa. Karena kau lahir dari kekuatan yang tumbuh dari harapanku melindungi mereka.”

Lembusnawa – kini Wiratmaja — mengeluarkan raungan lembut. Tubuh raksasanya perlahan berubah menjadi nyala merah keemasan, lalu membentuk pusaran cahaya yang menyerap ke dalam pedang Lungguh Darma.

KAMAR PAVILIUN – JASANA TERBANGUN

Jasana membuka matanya perlahan. Udara di kamar terasa hangat, tapi tidak mencekam. Ia menoleh ke arah pedangnya yang tersandar di sudut ruangan.

Lungguh Darma bersinar kemerahan lembut... dan berdenyut. Seperti napas. Seperti jantung.

Jasana mendekat, menyentuh gagangnya.

Jasana (tersenyum kecil, membatin):“Wiratmaja… selamat datang.”

Ia duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela ke langit Kalathraya yang bergemintang dengan warna tak dikenal.

Jasana:“Dengan kekuatan ini… aku bisa melindungi Rinjana. Dan anak kami.”

MINGGU KE-4, HARI KE-4 – KOTA KALATHRAYA, ALAM JIN

KOMPETISI PEDANG & SIHIR KALATHRAYA – MEMASUKI BABAK SEMIFINAL

Fajar baru menyapa langit Kalathraya dengan semburat ungu kebiruan yang membasuh menara-menara kristal dan paviliun-paviliun di kota para jin. Di pusat kota, Arena Utama Garthaka kembali bersiap menyambut salah satu hari terbesar dalam kalender Kalathraya: Babak Semifinal Kompetisi Pedang dan Sihir.

Panitia dan pelayan kerajaan berlarian ke sana ke mari, memeriksa altar batu pemanggilan, mengecek kekuatan pelindung sihir arena, dan menyusun bangku para penonton kehormatan dari berbagai klan jin. Terompet kristal telah dibersihkan. Bendera para semifinalis berkibar gagah dari tiang-tiang tinggi.

PAVILIUN PESERTA

Kawasan paviliun yang biasa dipenuhi sorak dan riuh kini sunyi. Tersisa hanya empat orang peserta, masing-masing berada dalam ruang pribadi mereka—berkontemplasi, bermeditasi, atau menyusun strategi.

Salah satunya adalah Jasana Mandira, mewakili Guild kecil Sanggar Lumirya, satu-satunya peserta dari luar klan jin besar.

Ia duduk diam di lantai kamarnya. Di sampingnya, bersandar pedang merahnya—Lungguh Darma, berkilau lembut. Tangan kirinya memegang sebuah cincin mungil yang dikenakannya di jari manis: Cincin dari Inti Embun Langit, Cincin Pernikahannya dengan Rinjana Nirnawa.

Jasana menunduk, mencium cincin itu perlahan.

Jasana (berbisik dalam hati):

“Rinjana… Anak kita… Dua pertandingan lagi. Kita bertiga akan pulang ke dunia. Aku harus jadi juara. Untuk kalian.”

MATA JASANA MENGERJAP TAJAM.

Ia berdiri. Tubuhnya kini tak lagi tampak seperti manusia biasa. Di alam jin, wujud aslinya tersembunyi demi keamanan.

Tubuhnya tinggi, berotot seperti pahatan batu. Rambut hitam panjang diikat ke belakang. Mata hijaunya menyala tenang, dan kulitnya hijau zamrud. Telinga runcing khas jin membuatnya tak dibedakan dari peserta lainnya.

Ia mengenakan mantel putih berpotongan gagah, dengan lambang teratai hitam—simbol Guild Sanggar Lumirya, sebuah guild kecil yang kini harum namanya berkat perjuangannya.

NAMA LAWAN JASANA

Hari ini, ia akan menghadapi petarung kuat dari klan jin terkenal. Lawannya adalah:

RAIGA TEN’AKAI

– Mewakili Guild Kalathraya

– Keturunan murni klan api

– Terkenal dengan sihir Api Neraka Merah Tua

– Menggunakan pedang samurai berhiaskan sisik naga merah

– Memiliki reputasi kejam, namun jujur bertarung

– Pernah mengalahkan 7 lawan dalam duel berturut-turut tanpa cedera berarti

Jasana tahu, pertarungan ini tak bisa dianggap enteng.

PINTU PAVILIUN TERBUKA

Suasana luar telah ramai. Para penggemar, jin muda, pelatih, dan rakyat Kalathraya telah memadati jalanan luar paviliun. Mereka meneriakkan nama-nama para semifinalis, membawa panji dan gulungan sihir yang menyala.

Begitu Jasana melangkah keluar, sorak langsung terdengar:

“Sanggar Lumirya!”

“Jin Pendekar Putih!”

“Lungguh Darma! Lungguh Darma!”

Jasana melambaikan tangan, senyumnya ramah namun tetap tenang. Di balik jubah putihnya, Lungguh Darma terselip siap di punggung.

Kereta-kereta kuda hitam berpelindung sihir telah disiapkan di depan. Empat peserta semifinal melangkah satu per satu, saling lempar pandang tanpa kata. Aura mereka mendidih seperti magma, namun ditahan rapat di bawah permukaan.

Jasana menaiki keretanya. Ia memejam sejenak, merasakan denyut Lungguh Darma di punggungnya dan aura sihir hijaunya yang perlahan mengalir menyatu dalam nadinya.

SEMI-FINAL DIMULAI DALAM BEBERAPA JAM.

Arena Garthaka akan menjadi saksi pertempuran luar biasa: Teknik pedang dan sihir, kehormatan klan, dan tekad seorang manusia yang menyamar di negeri para jin—demi cinta, keluarga, dan pulang.