ALAM MANUSIA – GUILD BAYU GENI
KOMPLEK LATIHAN, RUANG DIVISI PANGGRAHITA AJI
Mentari pagi menyorot hangat ke bangunan utama Komplek Latihan Guild Bayu Geni, menciptakan siluet indah dari atap-atap joglo yang kokoh dan terbuka. Di sinilah para anggota Guild mengasah diri—fisik, jiwa, dan khodam.
Tepat di sebelah bangunan utama Divisi Panggrahita Aji, terdapat ruangan luas seperti Pusat olahraga, berdinding kayu ulin tebal, dengan perpustakaan teknik bela diri di salah satu sisi. Rak-raknya penuh dengan naskah dan buku tentang:
Teknik Pedang Mandalagiri
Pola Nafas Silat Tanpa Suara
Tombak Terbang Tanah Selampa
Panah Tiga Nafas Dataran Panawa
Jurus Cambuk Bayangan
dan ratusan teknik langka lainnya…
SUASANA ARENA LATIHAN
Di tengah ruangan beralaskan jerami anyam dan tanah padat itu, tiga sosok muda beradu cepat:
Bagas Prayoga, dengan sarung tangan besi, memusatkan tenaga pada tubuh dan kaki.
Surya Bakti, si pengendali cambuk baja, lincah seperti angin.
Brahma Anggacandra, dengan dua bilah pedang pendek, mengalir seperti air dalam tarung.
Ketiganya sedang berlatih pertarungan bebas 1 lawan 1 lawan 1, tanpa maksud saling melukai. Keringat menetes, napas tersengal, tapi tawa sesekali mewarnai duel itu.
Cambuk baja Surya memecah udara—CRAAK!—menyasar kaki Brahma, namun pedang kiri Brahma menepis dengan sudut presisi.
Bagas melompat maju, meninju tanah—gelombang debu beterbangan, membuat Surya sempat kehilangan pandangan.
BRAHMA (menangkis sambil mundur):
"Eh, Bagas! Itu bukan duel, itu sabotase arena!"
BAGAS (terbahak, sambil melompat ke samping):
"Kalau medan perang bersih, itu bukan perang. Belajar lah dari semut!"
SURYA (tersenyum miring sambil memutar cambuk):
"Kalian berdua terlalu cerewet. Coba kejar aku dulu sebelum bisa ngoceh."
Cambuk Surya melesat, membelit lengan Bagas sebentar, tapi dilepas cepat. Brahma memutar kedua pedangnya dalam pola silang, menyerbu dari arah belakang Surya.
BRAHMA
"Kalau kau bisa disentuh, Surya, kami pesta ayam goreng hari ini!"
SURYA (menukik rendah):
"Kalau begitu, siap-siap makan akar rumput!"
TIGA-TIGANYA TERTAWA DI TENGAH GERAKAN
Mereka bergerak dalam simfoni persahabatan dan semangat yang sama: menjadi lebih kuat—bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk Guild Bayu Geni, dan untuk sahabat-sahabat mereka yang kini sedang berjuang di tempat jauh.
BAGAS (dalam jeda gerakan, sambil bersandar di tiang):
"Ngomong-ngomong… kalian kira Jasana masih bisa ikut kompetisi kalau pulang dari alam jin nanti?"
SURYA (sambil menggulung cambuk):
"Kalau dia pulang dalam keadaan utuh dan selamat, aku yakin dia bisa ngalahin kita semua sekaligus."
BRAHMA (tersenyum kecil):
"Dan kita bakal tetap latih diri sampai bisa menyusulnya... atau melampaui. Siapapun dia nanti."
LANTAI BERGETAR SEDIKIT — TANDA LATIHAN LANJUT
Dengan isyarat cepat, mereka kembali saling mengincar. Latihan belum selesai. Pertemanan mereka—ditempa oleh duel, canda, dan tekad yang sama—baru saja memanas kembali.
ALAM JIN – KOTA KALATHRAYA
ARENA UTAMA GARTHAKA – SEMIFINAL PERTAMA
Matahari alam jin memancarkan cahaya keemasan yang menembus tirai kabut sihir yang mengambang di atas Arena Utama Garthaka. Arena berbentuk lingkaran raksasa dari batu kristal hitam, dikelilingi tribun bertingkat dengan bendera berbagai klan dan guild berkibar tertiup angin magis.
Suasana penuh antusias dan kemegahan. Asap harum dari dupa hitam beraroma anggrek gunung dan kapur api membumbung di udara, memberi aroma khas Kalathraya.
Di tribun khusus peserta, Jasana duduk tegap dengan mantel putih berlogo teratai hitam Sanggar Lumirya. Sosok jin yang ia gunakan—tinggi berotot, rambut hitam panjang terikat, mata hijau menyala, dan kulit zamrud—tampak tenang namun fokus.
Di pangkuannya, pedang Lungguh Darma bersarung merah darah, berkilau samar dalam bayangan tubuhnya.
Matanya tertuju ke tengah arena—mengamati pertandingan semifinal pertama—menganalisis gerak, sikap, dan potensi calon lawan di final, jika ia menang di partai kedua.
KOMENTATOR (suara menggema lewat sihir):
“Para hadirin yang terhormat, rakyat Kalathraya, dan para tamu dari tujuh bangsawan! Hari ini adalah hari Semifinal Kompetisi Pedang dan Sihir Kalatharaya—pertanda puncak mendekat!
Dan kini, mari kita sambut! Kedua peserta semifinal pertama, dari dua aliran kekuatan besar Alam Jin!”
DI UJUNG ARENA, kabut merah muda menyibak, dan muncullah sosok perempuan jin seperti Vampire dan terlihat mirip dengan Manusia:
Nama: Nyai Luthfayana Dra'vetha
Perwakilan: Tribe Dra'vetha – Bangsawan Darah Merah Ketujuh Kalathraya
Penampilan: Wajah pucat memikat, Kulit Putih pucat memikat, rambut perak keungu-unguan terurai, mata merah darah berkilau. Tubuh ramping dalam balutan jubah hitam beludru dengan hiasan tengkorak perak kecil.
Senjata: "Silvatira", pedang bermata dua ramping seperti belati panjang, berdesain ukiran akar dan nadi.
Sihir: Sihir Darah (Hemokinesis Tingkat Tinggi)
*Langkahnya penuh keanggunan dan aura kematian.
DARI UJUNG BERLAWANAN, angin dingin menyapu kabut hingga membeku di udara. Muncullah lawannya:
Nama: Kael Orvastra
Perwakilan: Klan Glayndar – Para Penjaga Puncak Es
Penampilan: Pemuda jin berkulit putih pucat kebiruan, rambut biru perak menyibak ke belakang, mengenakan mantel panjang dengan motif es dan sihir rune.
Senjata: "Frostrein", pedang perak kebiruan memancarkan kabut dingin.
Sihir: Cryomancy – Pengendali Es dan Salju
KOMENTATOR (suara naik):
“Dan kini, hadirin semua! Bersiaplah menyambut kehadiran tertinggi kita—Maharaja Jin Kalathraya, Yang Mulia Svalambara Yudhapraya!”
Tirai cahaya api putih menyibak dari gerbang tertinggi arena, memperlihatkan Sang Raja Jin duduk di atas singgasana berlapis batu azura dan kristal langit. Tubuhnya megah, berjubah emas dengan mahkota matahari bersayap. Di sekelilingnya, para bangsawan kelas atas berdiri—hening dan agung.
SVALAMBARA (melambaikan tangan, suaranya berat dan menggema):
“Bertarunglah dengan kehormatan. Karena kekuatan sejati, lahir bukan hanya dari amarah… tetapi dari alasan yang kalian pertaruhkan.”
KOMENTATOR:
“Dan sekarang… pertarungan Semifinal Pertama akan segera dimulai!”
Sorak-sorai pecah.
Penonton dari segala penjuru kalangan—bangsawan, pedagang, dan rakyat biasa jin—berseru serempak. Kabut arena disapu bersih, memperlihatkan dua sosok agung saling berhadapan di tengah. Aura darah dan es saling bertabrakan, menciptakan ketegangan magis di udara.
JASANA (dalam hati, sambil memegangi cincin embun langitnya):
“Siapa pun pemenangnya… aku harus bersiap. Untukmu, Rinjana. Untuk anak kita. Dan untuk kembali…”
Pedang Silvatira dan Frostrein terangkat. Aura darah dan es mengepul.
Seruan penonton menutup latar saat pertandingan dimulai.
ALAM MANUSIA – GUILD BAYU GENI
RUANG DIVISI RASA PRAWIRA – RUANG SALINAN ROH (RUANG RAHASIA)
Di balik lorong batu berliku, tersembunyi di balik ilusi pelingkup berlapis mantra pelindung, terdapat Ruang Salinan Roh—tempat sakral bagi Divisi Rasa Prawira. Dindingnya dipenuhi lingkaran sihir kuno yang terus menyala dan berputar perlahan, seperti jam magis yang tak pernah mati. Di tengah ruangan, terdapat pelataran ritual berbentuk segi delapan dari batu obsidian halus, dengan pola-pola arkanum terukir dan menyala ungu lembut.
DARSA berdiri di tengahnya, tubuhnya berkeringat, napas berat. Di sampingnya duduk Aswangga, seekor kucing hitam keunguan bermata terang menyala seperti bintang malam. Ekornya melingkar, namun aura ganas memancar dari tubuh mungil itu.
DARSA:
“Kenapa... setiap kali aku mencoba menyatu... dia justru ingin mengambil alih...”
ASWANGGA mengeluarkan suara rendah—separuh dengkuran, separuh tawa lirih yang tidak wajar.
SUARA DINGIN TIBA-TIBA MENYAHUT DARI SUDUT RUANGAN.
MAHADEWA RAKUNTI melangkah perlahan, tongkat sihirnya bersandar pada lantai batu, langkahnya tenang namun penuh wibawa.
MAHADEWA:
“Karena kau belum berdamai dengannya... Kau memaksa roh untuk tunduk, padahal roh butuh keyakinan, bukan kendali.”
Ia menghentakkan tongkatnya. Tengkorak Kelelawar diujungnya menyala terang. Dari dalamnya, meledaklah segumpalan bayangan, berubah menjadi gerombolan kelelawar ungu gelap yang beterbangan mengitari tubuh Mahadewa.
MAHADEWA:
“Lihat dan pahami.”
Ia memejamkan mata. Aura sihir menggetarkan ruangan. Gerombolan kelelawar menukik ke arahnya, menyatu ke tubuhnya dalam spiral bayangan, dan dalam sekejap, Mahadewa berubah:
Jubah silumannya ungu kelam, berkibar seperti kabut malam. Rambutnya memanjang berubah warna menjadi ungu kelam, matanya memerah menyala. Taring tajam muncul, kulitnya tampak seperti batu bulan kelam. Di atasnya, beberapa kelelawar kecil tetap melayang, membentuk semacam mahkota.
MAHADEWA (dengan suara dalam):
“Inilah Kebangkitan Spiritual. Aku tidak menaklukkannya. Aku menampung dan menerimanya. Karena aku tidak takut padanya... dan ia tidak takut padaku.”
Ia menatap Darsa tajam.
MAHADEWA:
“Kau siap, Darsa?”
DARSA (menarik napas panjang, lalu menatap Aswangga):
“Aku tidak akan lari lagi…”
Aswangga melompat ke udara, berubah menjadi kabut hitam ungu yang mengelilingi tubuh Darsa. Aura di ruangan mendadak liar dan menegang.
DARSA (berteriak pelan):
“Aswangga… aku bukan musuhmu… Aku adalah tubuhmu…!”
GEMA LEDAKAN MAGIS.
Ritual menyatu dimulai. Dalam sekejap tubuh Darsa ditelan aura ungu. Saat kabut menghilang, berdirilah wujud siluman kucing: tubuh Darsa dilapisi bulu tipis kehitaman, cakarnya tajam, telinga kucing di kepalanya, matanya ungu menyala. Mantel silumannya berkibar, dan ekor kucing panjang membelit tubuhnya.
Namun… tubuhnya gemetar. Mata ungu bersinar terlalu terang. Aswangga belum sepenuhnya terkendali.
MAHADEWA (membentak):
“Kendalikan! Jangan menjadi binatang—jadi TUAN dari nafsu liarmu!”
DARSA (melawan bisikan dalam kepalanya):
“...Aku... aku ini bukan budakmu, Aswangga! Kau... adalah bagian dariku!”
AURA MEREDUP SEDIKIT. Darsa mulai stabil.
Mahadewa mengangkat tangannya.
MAHADEWA:
“Baiklah. Sekarang… mari kita latih kendalimu dalam pertarungan.”
Ia menyeringai, memperlihatkan taringnya. Aura vampire-nya menegang.
DARSA (menarik napas, lalu tersenyum kecil):
“Kalau begitu… aku akan menantangmu... dengan wujud baruku.”
Bayangan siluman kucing dan vampire bertemu di tengah arena segi delapan. Aura keduanya bertabrakan.
Cahaya ungu dan merah meledak, membentuk simbol sihir di udara.
SCENE DITUTUP dengan suara hantaman sihir dan pertempuran bayangan...
Tujuan bukan untuk menang. Tapi untuk menguasai diri sendiri.
ALAM JIN – KOTA KALATHRAYA
ARENA UTAMA GARTHAKA – PERTARUNGAN MEMUNCAK
Suara sorak sorai dan teriakan penonton mengguncang dinding-dinding batu arena Garthaka. Getaran sihir memenuhi udara, seperti badai tak terlihat yang melingkupi arena kolosal di jantung Kota Kalathraya.
Sudah hampir satu jam pertarungan berlangsung antara dua tokoh hebat:
NYAI LUTFAYANA DRA’VETHA – wanita bangsawan dengan aura karismatik dan sihir darah kuno, memegang Silvatira, sebilah pedang melengkung berwarna merah gelap berkilauan, hidup dengan denyut sihir darahnya.
KAEL ORVASTRA – petarung es dari garis keluarga Orvastra, menggenggam Frostrein, pedang kristal biru es yang melepaskan sihir Cryomancy dengan presisi dan kekuatan mematikan.
Keduanya berdiri goyah, napas terengah. Tubuh mereka penuh luka, jubah robek, peluh dan darah bercampur sihir yang mengepul. Namun mata mereka masih menyala. Masih berapi. Masih menolak kalah.
NYAI LUTFAYANA (menarik sihir darah dari lukanya):
“Kael... ini akhir dari pertarunganmu.”
Sihir darah berkilat, membungkus Silvatira, membentuk bayangan naga merah darah yang melingkari pedangnya.
KAEL ORVASTRA (mengangkat Frostrein):
“Kau terlalu percaya pada darah. Dinginnya kehendak akan membekukan hatimu.”
Frostrein menyala biru terang, dan dari ujungnya, terbentuk tombak es raksasa yang melayang di belakang Kael.
KEDUANYA MELUNCUR – SEKILAT PETIR DAN CAHAYA.
BOOM!!
Tabrakan dua kekuatan besar menciptakan dentuman besar, mengguncang udara dan menciptakan kubah aura—merah darah dan biru es saling menekan di pusat arena.
Jasana, yang duduk di tribun utama bersama para peserta semifinal lainnya, berdiri spontan. Matanya membelalak. Tak berkedip.
JASANA (berbisik dalam hati):
“Ini... seperti dewa-dewi bertarung di medan suci...”
Di langit arena, sihir berbentuk naga darah dan tombak es saling bertabrakan, mendorong satu sama lain.
Raja Kalathraya yang duduk di kursi kehormatan, menatap dengan tangan mengusap dagu. Para bangsawan tercengang. Bangsawan dari Tribe Dra'vetha bersorak keras.
Dan akhirnya...
NYAI LUTFAYANA MENDORONG AURA SIHIRNYA LEBIH KUAT.
KAEL ORVASTRA TERHEMPAS – TERBANTING KELUAR ARENA.
SUARA KOMENTATOR ARENA (lantang menggema):
“PEMENANGNYA...!!! NYAI LUTFAYANA DRA’VETHA!!!”
Arena bergemuruh. Bangsawan Tribe Dra’vetha berdiri dan bersorak penuh kebanggaan.
NYAI LUTFAYANA berdiri tegap. Ia tersenyum lembut, mengangkat pedangnya tinggi. Kemudian, matanya beralih... dan mengunci ke arah Jasana. Ada sesuatu di sorot matanya. Minat. Rasa ingin tahu. Mungkin... lebih dari itu.
JASANA (mengerutkan alis):
“Apa dia... memperhatikanku?”
Dalam pikirannya, suara berat dan bijak terdengar.
WIRATMAJA, Khodam Lembuswana-nya, berbicara dalam batinnya:
WIRATMAJA:
“Jangan ragu... Anak Manusia. Lawanmu nanti bukan Jin biasa. Jika waktunya tiba, panggillah aku... dan jangan setengah hati.”
JASANA (membalas dalam hati):
“Aku mengerti... Wiratmaja.”
Di sisi arena, Kael Orvastra terduduk di pojok, wajahnya tertunduk. Meski kalah, matanya masih terbuka. Ia kalah bukan karena dikalahkan—tapi karena terlempar. Harga diri petarung masih menyala dalam tatapannya.
ARENA MULAI DISELIMUTI SIHIR PEMBERSIH.
Petugas-petugas sihir berjejer, mengangkat tongkat dan membetulkan kerusakan arena. Retakan batu menyatu. Jejak sihir memudar.
JASANA menatap arena sejenak, lalu menghela napas.
Langkah kakinya perlahan menuju lorong koridor bawah tanah. Pertandingan semifinal kedua akan segera berlangsung.
Dan ia tahu, giliran dirinya akan tiba. Tak ada waktu untuk ragu.
SCENE DITUTUP – BAYANGAN JASANA HILANG DITELAN LORONG GELAP.
Suara denting sihir, sorak sorai, dan gema napas para legenda yang akan lahir memenuhi udara Kalathraya.
ARENA UTAMA GARTHAKA – KOTA KALATHRAYA
SELEPAS PEMBERSIHAN ARENA – SEMIFINAL KEDUA AKAN DIMULAI
Debu telah sirna, retakan batu telah tersambung, dan hawa sihir kembali netral. Arena utama Garthaka kembali berdiri megah, seakan tak pernah dilanda pertarungan hebat sebelumnya.
Di tengah keheningan yang menggantung sesaat, suara Komentator Arena kembali menggema, mengguncang hati para penonton dari segala penjuru:
KOMENTATOR (dengan semangat membara):
“TUAN-TUAN, NYONYA-NYONYA, DAN PARA PENYAKSI TURNAMEN GARTHAKA YANG AGUNG!
Kini... saat yang kalian tunggu-tunggu tiba: SEMIFINAL KEDUA!!!”
Sorak-sorai kembali membahana.
KOMENTATOR (melanjutkan):
“Dari ujung timur jauh – mewakili Sanggar Lumirya, Guild Desa Aetheraya –
Sang pendekar hijau dari pedalaman yang kini berdiri di tengah legenda!”
Pintu gerbang timur terbuka perlahan. Asap tipis menyelimuti. Sosok tinggi gagah melangkah mantap.
KOMENTATOR:
“JASANA MANDIRA!!!”
Penonton menatap takjub. Jasana muncul dengan wajah bersahabat, rambut hitam panjang diikat rapi, matanya berkilau hijau zamrud tajam namun tenang. Kulitnya hijau terang berkilau seperti batu giok hidup, tubuh tinggi dan berotot, menggambarkan perpaduan kekuatan dan ketenangan.
Ia mengenakan jubah putih bersih, dan lambang Teratai Hitam dari Guild Sanggar Lumirya terukir jelas di punggung Mantelnya. Di punggungnya tergantung "Lungguh Darma", pedang merah terbuat dari Batu langit Merah yang memancarkan aura magis khas batu langit.
KOMENTATOR:
“Pengguna teknik berpedang aliran daratan dan sihir hijau ciptaannya sendiri – ‘Guritna Darma’!
Akankah pendekar dari desa mampu menembus tembok api lawannya...?”
KOMENTATOR (mengubah nada):
“Dan kini... Dari Guild Kalathraya!
Keturunan murni klan api... Pemilik reputasi menggetarkan arena!
Tuan dari Api Neraka Merah Tua!”
Gerbang barat terbuka—semburan api merah tua menyambut sorakan membahana. Sosok Raiga Ten’akai berjalan seperti nyala bara hidup.
Tubuh Raiga berotot padat, kulitnya bersemburat merah gelap, matanya bersinar seperti bara menyala. Ia memegang katana panjang yang gagangnya dihiasi sisik naga merah, dan setiap langkahnya meninggalkan jejak api.
KOMENTATOR:
“RAIGA TEN’AKAI!!!
Tujuh kali duel berturut-turut tanpa luka berarti!
Kejam namun jujur dalam pertarungan, dan kini... siap membakar mimpi siapa pun yang menghalangi!”
Sorak tinggi. Beberapa penonton bahkan berdiri.
Kedua kontestan berdiri di tengah arena. Sejenak mereka saling tatap.
KOMENTATOR (serius, lalu meledak):
“DUA PEDANG. DUA TEKNIK.
SATU LANGKAH MENUJU FINAL.
BERSIAPLAH...
DUEL... DIMULAI!!!”
PERTARUNGAN DIMULAI
Suara lonceng tanda dimulainya pertandingan berdentang. Dalam sepersekian detik, keduanya melesat ke tengah arena.
Jasana menarik Lungguh Darma, memicu sihir hijau berkilat yang melingkar lembut namun mematikan di sekitar pedangnya.
Raiga mengayunkan katana—percikan api menyala liar dari setiap gerakannya.
CLANG!!
Pedang bertemu pedang. Aura sihir hijau dan merah bertabrakan, menciptakan gelombang udara yang menyapu tribun terdekat.
Mereka belum mengeluarkan jurus pamungkas. Ini masih tahap pembacaan. Tapi intensitas gerakan begitu tinggi.
Tebasan, tusukan, gerakan mengelak, berguling, dan melompat—dua pendekar tampil seperti akrobat medan perang.
Penonton terpukau. Teriakan bersahutan.
Raja Kalathraya sendiri tampak duduk tegak, bibirnya menggumamkan pujian.
Nyai Lutfayana Dra'vetha, yang menonton dari kursi bangsawan, tersenyum tipis. Matanya tak lepas dari Jasana. Ia seperti tengah menilai lawan yang akan ia hadapi di babak akhir.
PEDANG MEREKA KEMBALI BERADU KUAT.
Wajah Jasana dan Raiga saling berdekatan—keringat menetes, tapi senyum menghiasi keduanya.
RAIGA:
“Hm... pendekar desa yang menyenangkan.”
JASANA:
“Dan kau... api yang tak mudah padam. Tapi aku menyukai tantangan.”
CLINGG!!
Suara pedang beradu keras menutup percakapan mereka.
LANTAI ARENA PECAH, KEDUANYA MELOMPAT MUNDUR BERSIAP MENGELUARKAN TEKNIK SEBENARNYA.
Sorakan mencapai puncaknya. Pertarungan baru saja dimulai, namun legenda tengah ditulis.
DESA AETHERAYA
MARKAS KECIL GUILD SANGGAR LUMIRYA
RUANG UTAMA GUILD – Sebuah aula berlapis batu cahaya dan kayu putih mengilat penuh oleh anggota Jin Guild, dari yang muda hingga yang sudah berusia ratusan tahun. Mereka berkumpul rapat di depan Kaca Sihir Raksasa yang memancarkan gambaran langsung pertandingan semifinal di Arena Garthaka, Kota Kalathraya, ibukota kerajaan Jin.
Gema sorakan penonton dari arena dunia nyata samar terdengar dari kaca itu. Di layar, tampak Jasana Mandira dan Raiga Ten’akai saling beradu pedang dengan sihir dan teknik yang memukau. Aura hijau dan merah menari-nari dalam benturan hebat.
Di antara kerumunan, tampak RINJANA, istri Jasana, dalam wujud sebagai Jin.
Rambut merah terang tergerai panjang bagai aliran nyala lembut. Kulitnya putih keperakan, nyaris berpendar di bawah cahaya kristal ruangan. Telinganya runcing, matanya biru tenang dan dalam, penuh doa dan harap.
Ia duduk di atas alas empuk berwarna kelabu, mengenakan pakaian santai berwarna biru pucat yang lembut, dan tangannya mengelus perutnya yang mulai membesar – usia kehamilan empat bulan.
Di sampingnya, duduk bersila dengan khidmat, Ketua Guild Sanggar Lumirya – RAGATMA, seorang Jin paruh baya dengan janggut perak halus, mata teduh dan tubuh penuh tato sihir tua. Usianya lebih dari 130 tahun, tapi aura ketenangan dan wibawanya terasa kuat di sekelilingnya.
Rinjana menunduk perlahan, kedua telapak tangannya digenggam di dada.
RINJANA (berbisik, lembut):
“Wahai penguasa antara alam,
Lindungilah dia—yang kupilih bukan hanya sebagai suami…
…tapi juga ayah dari anak kami.
Kembalikan dia dalam utuhnya.
Untukku.
Untuk kami berdua yang menunggunya pulang.”
Tangan lembutnya mengusap pelan perutnya yang membulat.
Tatapannya kembali pada layar—menyala dengan cahaya hijau dan merah yang saling membakar.
Beberapa anggota Jin lainnya menatap hening, seolah merasakan beratnya harap Rinjana. Beberapa berdoa dalam diam. Mereka tahu… Jasana tidak hanya mewakili guild di hadapan kerajaan. Tapi membawa harapan.
KAMERA BERGESER – mendekati Kaca Sihir.
Gambaran di dalamnya memperlihatkan Jasana dan Raiga kembali saling serang, pedang bertabrakan dalam hujan percikan cahaya sihir. Suara benturan menggema, mengisi ruang sihir tersebut.
ARENA UTAMA GARTHAKA, KOTA KALATHRAYA
ALAM JIN – PERTENGAHAN PERTARUNGAN
Sorakan penonton memenuhi udara. Langit di atas arena beriak oleh getaran sihir dari dua pendekar yang tengah bertarung dalam duel yang semakin membara.
Jasana Mandira berdiri dengan napas teratur, tubuhnya yang berbalut jubah putih dengan lambang Teratai Hitam berkibar oleh tekanan aura yang saling mendesak. Di hadapannya, Raiga Ten’akai, berdiri tegak dengan mata menyala merah membara, rambut hitam terurai, dan tubuh berbalut hawa panas khas klan api.
KOMENTATOR (suara magis, menggelegar):
"Pertarungan telah mencapai titik tengah! Aura mereka mulai menunjukkan bentuk sejati! Inilah duel dua kutub kekuatan: Sihir Hijau Alam vs Api Neraka Merah Tua!"
Jasana mengangkat pedangnya – Lungguh Darma, batu langitnya bersinar merah terlapisi aura hijau zamrud pekat.
JASANA (dalam hati, mantap):
“Waktunya... meresapi aliran semesta.”
TEBASAN PERTAMA: "TATARUPA SATRIYA"
Dengan satu hentakan kaki, Jasana maju. Ayunan pedangnya membentuk gelombang cahaya hijau berbentuk siluet prajurit berbaju zirah menyatu dalam tebasan. Aura sihir hijaunya bergetar kuat, menghantam langsung ke arah Raiga.
Namun, Raiga mengangkat pedangnya—menyilangkannya dengan presisi.
RAIGA (berdesis):
“Hmph... tak cukup.”
Sihir api merah tua meledak dari bilah pedangnya, menahan Tatarupa Satriya dengan teknik pedang konternya yang memukau:
"BENKAI EN’OUGI"
—Tari Api Leluhur, sebuah jurus samurai yang menyalurkan energi klan dalam satu sabetan penuh semangat leluhur.
Benturan aura hijau dan merah membelah udara dengan ledakan energi. Tanah di bawah mereka retak!
Raiga langsung membalas! Dia memutar pedangnya dan menebas dari atas ke bawah. Gelombang api meluncur seperti naga menyembur!
RAIGA:
“Rasakan panas dari darahku!”
Jasana tak gentar. Ia melangkah mundur dengan mantap, lalu memasang kuda-kuda klasik.
"MARGA PRATAMA"
—Langkah Leluhur, teknik klasik pedang yang ia pelajari sendiri dari observasi alam. Ia memfokuskan sihir hijau ke poros pedang dan mengiris vertikal, membelah serangan api itu dengan presisi dan kekuatan dasar yang luar biasa.
KOMENTATOR:
“Luar biasa! Jasana tak hanya mengandalkan sihir… tapi fondasi teknik pedangnya begitu kuat!”
Raiga melompat ke belakang, mendarat ringan di udara panas. Matanya menyipit.
“Kalau begitu, kita main dari jarak jauh…”
Ia mengangkat pedangnya dan mengayun horizontal. Bilahnya mengeluarkan sihir api yang membentuk sabitan panjang merah menyala, memotong udara seperti cambuk neraka.
RAIGA:
“Ryuukazan – Tebasan Naga Merah!”
Jasana menyilangkan jari, dan sihir hijaunya berputar melingkar.
JASANA:
“Guritna Darma… berputarlah!”
Aura hijau menyebar membentuk pola huruf kuno di udara, lalu melesat sebagai gelombang konsentrik dari mantra alam—simbol keharmonisan dan pertahanan aktif.
DUA SERANGAN SALING BERTABRAKAN DI UDARA!
– BOOOMMMM!!!
Ledakan sihir mengguncang arena. Angin panas dan energi alam menghantam seisi panggung pertarungan. Jasana dan Raiga terhempas mundur ke bibir arena, debu mengepul.
Sesaat hening…
KOMENTATOR:
“Dua pendekar ini… benar-benar menyatu dalam semangat pertarungan!”
Kamera menyorot keduanya.
Jasana berdiri perlahan, menyeka debu dari wajahnya. Raiga menghela napas, lalu mengangkat pedangnya.
Mereka saling pandang—dan... TERSENYUM.
Bukan senyum meremehkan, tapi senyum saling menghargai. Semangat ksatria yang menyala tanpa dendam.
KOMENTATOR (mengguntur):
"INI ADALAH PERTARUNGAN YANG LAYAK DIINGAT DALAM SEJARAH TURNAMEN GARTHAKA!!"
Dengan visual wide shot arena yang gemetar. Dua pendekar berdiri di ujung, bersiap melanjutkan babak akhir pertarungan… dengan jiwa penuh semangat.
BABAK SETENGAH AKHIR – ARENA UTAMA GARTHAKA, KOTA KALATHRAYA
Langit di atas arena telah berubah kemerahan, pancaran sihir api Raiga memanaskan udara, menciptakan riak panas yang membakar batas arena. Jasana terengah, tubuhnya tergores luka dan pakaiannya hangus di beberapa bagian akibat benturan sihir.
RAIGA (mengerang penuh kekuatan):
“RYUUKAZAN: KAGUTSUCHI BAKUREN!!”
Dengan satu gerakan, Raiga memutar tubuhnya dan menebas ke depan. Lidah-lidah api membentuk spiral naga yang menyapu ke arah Jasana, kali ini lebih cepat, lebih panas, dan lebih tajam. Aura pertahanan sihir hijau Jasana robek dan terbakar—api menjilat pundaknya dan bagian kiri tubuhnya.
Jasana jatuh berlutut, terbatuk. Tapi... ia bangkit. Terbakar, tapi masih hidup.
JASANA (dalam hati, tertatih):
“Tak akan kuakhiri… di sini...”
Ia menarik napas dalam, dan mengangkat pedangnya.
“TEKNIK KE-5: SERU DAYA!”
Sihir hijau berdenyut hebat di sekeliling tubuhnya, membentuk gelombang getar yang menyalur ke tanah, membangkitkan aura hidup alam—tanaman, tanah, dan udara bersatu dalam satu hentakan tebasan diagonal.
RAIGA (menatap tajam):
“Lawan yang keras kepala... Tapi sudah cukup.”
RAIGA MENGELUARKAN COUNTER-NYA:
“HONOU JIN’EN: PEDANG SERIBU SIFAT API”
—Gelombang sihir api Raiga membelah tebasan Seru Daya, lalu melesak seperti ombak raksasa, menghantam Jasana dengan serangkaian semburan api berbentuk seribu mata api.
BOOM!
Jasana terpental, tubuhnya kembali mengempas ke tanah, terdorong hingga ke tepian arena. Nafasnya berat. Namun matanya belum kehilangan cahaya itu.
MARKAS GUILD SANGGAR LUMIRYA, DESA AETHERAYA – ALAM JIN
Di ruang utama markas kecil Sanggar Lumirya, kaca sihir besar memancarkan pertarungan yang sedang berlangsung. Para anggota Guild Jin terlihat tegang. Suara telah hilang; hanya pantulan cahaya dari pertarungan yang menyinari wajah mereka.
Di barisan depan, RINJANA, istri Jasana dalam wujud jin-nya, menangis diam-diam. Rambut merahnya terurai, tangan mengelus lembut perutnya yang membesar.
RINJANA (dalam bisikan doa):
“Tetaplah berdiri, Jasana... Demi kita. Demi anak kita…”
Ketua Guild, RAGATMA, memejamkan mata, tangannya mengepal.
“Anak itu... belum selesai. Lihat baik-baik, Jasana Mandira bukan ksatria biasa.”
KEMBALI – ARENA GARTHAKA
RAIGA berjalan mendekat, api masih mengelilingi tubuhnya seperti lapisan baju zirah.
RAIGA (berbisik saat mendekat Jasana):
“Menyerahlah. Untuk ukuran guild kecil sepertimu… bisa sejauh ini saja sudah mukjizat.”
Jasana, berlumur debu dan luka, perlahan berdiri.
Matanya mulai menyala dengan aura kehijauan bercampur merah tua…
JASANA (dalam hati, memejamkan mata):
“Aku tak sendiri... Dalam gelap dan luka… ada dia yang selalu mendengarku...”
Lalu dari dalam bilah pedangnya—Lungguh Darma—muncul CAHAYA MERAH BERPENDAR.
Bayangan senyuman muncul... lalu suara dalam yang berat dan agung:
KHODAM WIRATMAJA (bergema dalam jiwanya):
“Apakah kau siap... untuk membakar kehendakmu?”
CAHAYA PEKAT menyembur dari bilah pedang—membentuk siluet raksasa.
Seekor makhluk agung... berwujud lembu bersayap—
LEMBUSWANA.
Tubuhnya berotot, bersayap perunggu, mata tiga menyala, dan tanduknya menjulang seperti senjata kerajaan. Api gaib menari dari bulu-bulunya.
Penonton membeku. Suara hilang.
RAIGA (melangkah mundur, matanya melebar):
“Apa itu...?”
KOMENTATOR (nyaris berbisik, panik):
“I-Itu bukan sihir… bukan aura… BUKAN makhluk jin... Apakah... dia Kontrak Roh? Siluman? ”
Penonton Jin terguncang.
Di alam mereka, tidak ada konsep Khodam. Mereka hanya mengenal panggilan siluman atau kontrak roh.
JASANA BERDIRI, TEGAK.
Di belakangnya, WIRATMAJA mengaum diam-diam, suaranya membelah langit batin semua penonton.
JASANA (lirih, penuh keyakinan dalam hati):
“Aku adalah suara kehendak manusia. Aku tak datang untuk menyerah...”
Dengan visual wide shot: Jasana berdiri memegang pedangnya, api di sekeliling tubuhnya mulai berubah warna…
Dan siluet Lembuswana, Khodam agung itu, mengepakkan sayap perlahan—menandakan babak akhir... telah dimulai.
Raiga melompat tinggi ke udara, rambutnya yang terurai tampak seperti kobaran api. Ia melintangkan pedangnya ke depan, memusatkan seluruh sisa tenaganya, lalu berseru lantang:
"Ryuukazan: Kagutsuchi Bakuren!“
Ledakan sihir api merah membentuk ribuan bilah kecil seperti meteor yang mengepung Jasana dari segala arah. Langit di atas arena seakan terbakar, suhu meningkat drastis hingga sihir pelindung arena mulai bergetar.
Namun Jasana tetap berdiri, tubuhnya lelah dan luka terbakar di beberapa bagian, tapi matanya tajam menatap ke depan. Ia hanya mengangkat pedangnya secara sederhana — gerakan lambat dan tenang.
Dari balik punggungnya, sosok Wiratmaja — Khodam Mistik berbentuk Lembuswana — merentangkan sayap perunggunya. Mata ketiganya bersinar biru menyala, dan dari bulu-bulunya menari sihir api ghaib berwarna kebiruan yang memijar. Lembuswana mengeluarkan raungan lirih, dan dalam sekejap ia melesat menahan semua bilah api milik Raiga.
Benturan terjadi.
Ledakan demi ledakan teredam dan dipatahkan oleh sihir Wiratmaja, bahkan sebelum menyentuh tanah. Tubuh Raiga terhempas, diserang balik oleh serangan sihir biru dari Lembuswana yang menghantamnya seperti tombak-tombak gaib. Ia terguling, darah menetes dari bibirnya, tapi ia bangkit lagi.
Raiga, kebingungan dan panik, menggenggam pedangnya dengan kedua tangan dan berteriak:
“Ryuukazan: Hi no Enma — Gekirin no Kensei!“
(Pedang Raja Api Neraka: Hakim Akhir Yang Murka)
Aura merah darah melingkar membentuk sosok samurai raksasa dari api yang menyatu dengan Raiga, lalu melesat seperti kilat ke arah Jasana dengan amukan membelah tanah dan langit.
Jasana tak gentar. Ia menggenggam Pedang Merah Lungguh Darma, berbisik tegas namun tenang:
“Kita akhiri ini, Wiratmaja.”
Lembuswana menoleh ke arahnya, tersenyum — bukan sebagai makhluk tunduk, tapi sebagai kawan seperjuangan. Ia melesat ke depan, tubuhnya membakar dengan sihir biru yang lebih murni, lebih hidup, lalu menabrak langsung ke jurus pamungkas Raiga.
KEDUA JURUS BERTABRAKAN DI UDARA.
Suara gaung dan cahaya menelan seisi arena. Gelombang sihir menghantam batas pelindung, membuat seluruh arena bergetar.
Lalu, dari tengah cahaya, terlihat tubuh Raiga terpental keras — melayang jauh melewati batas arena — lalu jatuh terguling dan tidak bangun lagi. Api dari serangannya padam. Tubuhnya masih bernapas, namun tak sadarkan diri.
Jika bukan karena sihir pelindung panitia, tubuh Raiga bisa saja hancur oleh sihir tadi. Tapi perlindungan itu menyelamatkannya dari kematian.
“Pemenangnya—JASANA dari GUILD SANGGAR LUMIRYA!!”
Teriakan komentator menggema, disambut sorak-sorai membahana dari tribun penonton.
Sang Raja Jin, Maharaja Svalambara Yudhapraya, berdiri dari singgasananya. Ia menepuk tangan perlahan, lalu dengan penuh wibawa memberikan tepuk tangan yang diikuti seluruh bangsawan di tribun utama.
Di antara mereka, Nyai Lutfayana Dra'vetha, calon lawan Jasana di babak final, tersenyum tipis. Matanya berbinar, bukan dengan kemarahan, tapi dengan gairah tantangan.
Jasana berdiri di tengah arena, napasnya berat. Di belakangnya, sosok Lembuswana perlahan memudar, lalu kembali menyatu ke dalam Pedang Merah Lungguh Darma. Angin berhembus lembut seolah memberi salam penghormatan pada sang pemenang.
BERPINDAH KE MARKAS GUILD SANGGAR LUMIRYA
Seluruh anggota guild bersorak gembira, tumpah ruah di aula utama. Gelas-gelas ditinggikan, tawa pecah bersahutan.
Di sudut ruangan, Rinjana berdiri menatap cermin sihir yang masih menampilkan arena. Matanya sembab, tapi bibirnya tersenyum.
“Kau benar-benar melampaui dirimu sendiri, Jasana,” bisiknya lembut.
Layar sihir meredup, babak akhir pun usai — namun jalan menuju takhta juara belum selesai.
Final menanti.
PAGI HARI BERIKUTNYA — ISTANA KALATHRAYA, ALAM JIN TINGKAT DUA
Matahari hijau dari langit Alam Jin Kalathraya menyinari menara-menara istana yang terbuat dari kristal hitam dan bebatuan bercahaya. Di salah satu ruang pribadi paling dalam dari istana megah itu, Maharaja Svalambara Yudhapraya berdiri termenung di depan meja bundar tempat ia biasa bermeditasi dan memantau pergerakan kekuatan magis dari seluruh penjuru Kalathraya.
Pikirannya masih tertambat pada satu hal: Pertarungan kemarin di semifinal.
Ia kembali memejamkan mata, membayangkan kembali sosok makhluk yang muncul saat Jasana melawan Raiga.
Siluet raksasa bertanduk lembu, bermata tiga, bersayap perunggu yang membara dengan api biru gaib...
Sang Maharaja mengernyit.
Itu bukan sihir biasa.
“Itu… bukan pemanggilan. Bukan teknik khas Jin… bukan manifestasi roh ataupun inkarnasi magis seperti yang diajarkan di Akademi Garthaka.”
Pikirannya perlahan menyusun simpulan. Ia mendesah pelan, lalu duduk di kursi takhtanya yang penuh ukiran mantra kuno. Matanya menyipit tajam, seolah menembus ruang dan waktu.
"Itu adalah… ‘Khodam’."
"Sesuatu yang hanya dimiliki manusia... dan tak satu pun dari kaum Jin di Kalathraya yang pernah berhasil menirunya."
Ia menghela napas berat, lalu berbicara lirih dalam hati.
“Jadi, kau sebenarnya bukan Jin. Kau adalah manusia… yang menyamar.”
Maharaja berdiri, melangkah perlahan ke arah jendela besar berkaca kristal biru.
Angin dingin dari pegunungan magis Kalathraya berhembus masuk melalui celah-celah ukiran. Jubah emas kebesarannya bergetar lembut tertiup angin.
"Namun aku tidak akan menangkap pemuda itu… bukan selama ia tidak mengganggu tatanan Kalathraya dan tidak membuat kerusakan di sini.”
"Kalau hanya ingin bertarung… ingin membuktikan dirinya di antara para Jin… maka biarlah begitu adanya."
Ia memandang langit kehijauan di atas.
"Pasti dia memiliki alasan kenapa bisa berada sejauh ini—hingga ke Alam Jin Tingkat Dua. Tempat ini… terlalu dalam untuk manusia biasa."
"Mereka yang tersesat saja biasanya hanya terlempar ke Alam Jin Tingkat Pertama. Tapi dia… sudah melewati batas itu."
Maharaja terdiam sejenak, lalu menatap jauh ke langit.
“Mungkin... dia terlempar ke sini karena sihir yang sangat kuat.”
(Dalam hati mengingat nama tua yang sudah lama tak disebut)
“Resi Wighna Laksa…”
BERPINDAH — PAVILIUN PESERTA, DEKAT ARENA GARTHAKA
Udara tenang. Kabut biru tipis menyelimuti atap-atap pavilun berhiaskan batu obsidian dan lampion sihir. Burung-burung ilusi berterbangan di langit senja Kalathraya.
Di salah satu kamar penyembuhan, Jasana terbaring di atas ranjang dari batu halus yang mengeluarkan cahaya penyembuh.
Beberapa staff penyembuh dari Guild Garthaka sedang menyalurkan sihir penyembuh ke luka-lukanya — luka yang dalam dari pertarungan kemarin melawan Raiga. Uap sihir biru perlahan menyelimuti kulitnya, memperbaiki sel dan jaringan yang robek.
Seorang pelayan mendekat, menyodorkan semangkuk ramuan pemulihan hijau pekat yang mengepul lembut.
“Minumlah ini, Tuan Jasana,” ucapnya lembut.
Jasana mengangguk. Ia mengambil mangkuk tersebut, menatap sebentar ke dalam cairan, lalu meneguknya perlahan. Hangat, pahit, namun menyegarkan. Sihir herbal Jin segera bekerja, memulihkan tenaganya sedikit demi sedikit.
“Terima kasih…” ucap Jasana pelan, suaranya berat namun lembut.
Pelayan itu tersenyum, lalu membungkuk hormat sebelum keluar dari ruangan.
Jasana menatap ke langit-langit ruangan, wajahnya tampak tenang namun pikirannya penuh tanda tanya. Ia belum tahu apa yang akan terjadi… namun ia tahu satu hal:
Dua hari lagi, segalanya akan ditentukan.
Kamera perlahan naik, menyorot Arena Utama Garthaka dari kejauhan. Arena yang kemarin dipenuhi ledakan dan sorak-sorai kini kosong, hening, dan megah. Angin bertiup lembut, menerbangkan debu halus yang bersisa dari pertarungan sebelumnya.
Di atas gerbang utama arena, sebuah bendera besar berwarna biru langit dan emas berkibar. Simbol resmi turnamen—dua naga yang saling mengelilingi matahari—terlihat berkilau diterpa cahaya sihir.
Tertulis di atasnya: “FINAL — 2 HARI LAGI.”
Pertarungan terakhir…
Akan segera dimulai.
PAGI HARI – KOTA KALATHRAYA, ALAM JIN
Mentari Alam Jin Kalathraya naik sedikit di ufuk ungu kemerahan, memandikan permukaan kota dengan cahaya kabut tipis yang berpendar lembut. Di sekitar Arena Utama Garthaka, keramaian luar biasa sudah menggema sejak fajar. Lorong-lorong menuju arena padat dengan para Jin dari berbagai penjuru, berjubel, bersemangat, dan bersorak antusias.
Tiket pertandingan final telah ludes sejak sehari sebelumnya, tapi ribuan Jin masih mengantri untuk masuk. Di udara, reklame sihir berukuran raksasa melayang-layang, menggambarkan dua kontestan yang akan berlaga hari ini:
Jasana Mandira, dari Guild Sanggar Lumirya – tampak gagah dalam wujud Jin-nya, berdiri dengan tatapan tenang, di belakangnya lambang teratai hitam di atas latar putih.
Nyai Lutfayana Dra'vetha, perwakilan Bangsawan Tribe Dra'vetha – digambarkan dengan aura memikat nan gelap, berdiri anggun dengan jubah beludru hitam, tengkorak perak menghiasi dada dan pinggangnya, dan mata merah darah menatap tajam.
Lambang Tribe Dra’vetha tampak mencolok di layar sihir: sebuah bulan sabit merah tergigit, di tengahnya siluet kelelawar bersayap lebar membentuk rangkaian huruf kuno Dra’vetha. Lambang ini terlihat di bendera-bendera kecil yang dikibarkan para pendukung bangsawan tersebut.
Di sisi arena, toko-toko merchandise mendulang emas. Boneka sihir kecil berbentuk Jasana dan Lutfayana laris manis—yang satu berambut hitam panjang dengan jubah putih teratai hitam, satunya lagi berambut perak keunguan dan gaun hitam menjuntai. Anak-anak jin berebut menirukan gaya bertarung mereka, sementara suara pedagang bersahutan:
“Boneka Jasana, sang Pendekar Teratai Hitam! Sekali tepuk, bisa mengeluarkan suara sihir!”
“Hanya lima keping untuk Lutfayana dengan jubah tengkorak perak! Limited edisi!”
Tiba-tiba suara terompet sihir terdengar menggelegar dari sisi timur kota.
Iring-iringan Kereta Kencana Maharaja Svalambara Yudhapraya tiba di pelataran khusus para bangsawan. Rombongan besar dengan kilau emas dan permata disambut sorak-sorai dan hormat khas penghuni Kalathraya. Sang Maharaja turun dari kereta berkepala naga perunggu, diiringi para penasihat, menteri, dan penjaga berkuda bersenjata tombak kristal.
Maharaja Yudhapraya melambaikan tangan ringan, wajahnya tenang namun penuh tanya dalam, masih memikirkan wujud makhluk gaib yang dikeluarkan Jasana beberapa hari lalu. Ia menempati singgasana khusus di tribun kerajaan, tepat di hadapan arena pusat.
BERPINDAH – PAVILIUN PESERTA
Dalam lorong paviliun berhiaskan sulur-sulur sihir hijau dan pelindung aura, Jasana Mandira melangkah mantap.
Tubuhnya tinggi dan gagah—kulit hijau zamrud, rambut panjang hitam terikat rapi, mata hijau menyala lembut dalam ketenangan. Jubah putih panjang menyelimuti tubuhnya, dan pada punggung Mantelnya tampak lambang teratai hitam yang besar dan tegas, simbol Guild Sanggar Lumirya yang ia bela.
Di punggungnya tergantung pedang merah darah: Lungguh Darma, bergetar halus seolah memahami pertarungan yang akan datang.
Langkahnya mantap, sunyi, hanya suara gaung sepatu di lantai batu yang terdengar. Saat ia melewati lengkungan terakhir lorong, cahaya Arena Garthaka menyambut dari ujung, terang dan hangat seperti tantangan.
Kamera menyorot langit ungu Kalathraya yang mulai penuh cahaya, lalu beralih ke Arena Utama Garthaka yang kini telah penuh sesak oleh para penonton. Di tengahnya, panggung suci sihir mulai menyala terang—mempersiapkan momen puncak antara dua kekuatan besar yang tak pernah disangka akan bertemu:
Jasana Mandira sang Pendekar Teratai Hitam vs. Nyai Lutfayana Dra'vetha sang Pewaris Vampirik.
Pertandingan terakhir segera dimulai…
ARENA UTAMA GARTHAKA – PAGI MENJELANG SIANG
Sorak-sorai membahana memenuhi udara ketika aura sihir mulai memekat di udara, menandakan detik-detik pembuka Pertandingan Final Kompetisi Pedang dan Sihir Kalathraya.
Di atas platform mengambang tinggi di tengah arena, Kompetitor Voice—dua Komentator Jin, satu berambut api dan satu lagi bermata kristal, berdiri di atas podium sihir berbentuk terompet raksasa.
Komentator 1 (Jin Suara Api):
“Wahai seluruh warga Kalathraya! Hari ini bukanlah hari biasa! Karena inilah... PUNCAK dari semua duel! Hari ketika dua kekuatan besar bertemu dalam sejarah baru Kalathraya!”
Komentator 2 (Jin Mata Kristal):
“Dan sebelum pertarungan dimulai, mari kita sambut Sang Cahaya Negeri Kalathraya, pelindung Alam Jin Tingkat 2, penguasa Kunci Dimensi… Yang Mulia Maharaja Svalambara Yudhapraya!”
Arena pun hening sesaat.
Maharaja Svalambara berdiri dari singgasananya, jubah kebesaran berwarna hitam dengan lapisan dalam keemasan berkibar pelan diterpa angin sihir. Matanya yang tajam menatap ke segala penjuru, lalu suara agungnya bergema, dibesarkan oleh gema mantra angin:
Maharaja Svalambara:
“Wahai seluruh rakyat Kalathraya… Hari ini, kita menyaksikan lebih dari sekadar duel. Ini adalah panggung jiwa. Di sinilah para petarung menguji bukan hanya kekuatan—tetapi kehormatan, keberanian, dan kebenaran dari niat mereka.”
Ia mengangkat tangannya, dan dari balik tirai energi di samping singgasana, muncullah Piala Kompetisi:
Sebuah Artefak Berbentuk Kunci Raksasa, seukuran lengan dewasa, berwarna perak keemasan, memancarkan kilau bergelombang seperti permukaan air hidup. Ujungnya berukir rumit, membentuk jalinan dimensi.
“Inilah Kunci Dimensi Kalathraya. Hanya yang layak yang bisa memegangnya. Ia dapat membuka gerbang antara Alam Jin Tingkat Lanjut, Alam Manusia, Alam Roh, bahkan Alam Monster. Dan bersamanya—sepeti penuh koin emas Kalathraya sebagai penghargaan nyata bagi sang pemenang!”
Dua penjaga jin membawa kotak kayu hitam berisi emas, dan membukanya, kilau koin memancar hebat.
“Bertarunglah sebagai kesatria, jangan hanya demi menang—tapi untuk menemukan siapa dirimu yang sejati.”
Sang Raja duduk kembali perlahan, dan penonton memberikan tepuk sorak panjang, sebagian menyuarakan nama para finalis.
Komentator 1:
“Dan sekarang... saat yang kita nanti-nantikan!”
Komentator 2:
“Perwakilan dari Sanggar Lumirya, sang pendekar hijau dengan tekad baja dan sihir ciptaan sendiri, pemegang pedang batu langit—Jasana Mandira!”
Pintu lorong sisi kiri terbuka. Jasana muncul dengan langkah mantap. Kulit hijau zamrudnya bersinar lembut, rambut hitam panjang terikat rapi. Jubah putih dengan lambang teratai hitam berkibar, dan pedang merah Lungguh Darma tampak seperti hidup—denyutnya bersahut dengan napas pemiliknya. Sorak-sorai pendukung membahana.
Komentator 1:
“Dan dari Tribe Dra'vetha, bangsawan Darah Merah Ketujuh, pewaris sihir darah paling mengerikan dalam sejarah Kalathraya, sang pengendali maut berselimut keindahan—Nyai Lutfayana Dra'vetha!”
Pintu sisi kanan terbuka perlahan. Kabut merah tipis mengepul. Dari dalamnya, Nyai Lutfayana melangkah pelan, rambut perak keungu-unguan berkilau dalam cahaya arena. Mata merah darahnya menyala lembut namun berbahaya. Jubah beludru hitam menari lembut, dihiasi tengkorak perak kecil. Di tangan kanannya, "Silvatira", pedang ramping bermata dua dengan ukiran akar merah tua, berdenyut seirama dengan detak sihir darahnya.
Penonton Terdiam... lalu—BERGEMURUH!
Di tengah arena, keduanya berdiri saling berhadapan.
Nyai Lutfayana tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya penuh permusuhan. Di matanya, tampak tatapan berbeda—campuran rasa penasaran, kagum, dan sesuatu yang belum ia pahami sendiri.
Nyai Lutfayana (lirih, nyaris tidak terdengar):
“Kau... bukan seperti Jin lain.”
Jasana tidak membalas. Ia hanya menatap lurus, sorot matanya tajam dan tenang. Satu napas panjang, aura hijau dari dalam dirinya mulai menyala samar.
Lungguh Darma di punggungnya bergetar. Silvatira di tangan Lutfayana berdengung.
Komentator 2:
“...BEGINILAH! Pertarungan terakhir! Siapakah yang akan menggenggam kunci dimensi kalatharaya?! Pertarungan antara cahaya hijau harapan... dan darah abadi bangsawan kelam...”
Kamera berputar naik, menyorot seluruh arena penuh cahaya dan semangat.
Scene ditutup dengan sorot mata Jasana dan Nyai Lutfayana—dua dunia, dua jalan, satu takdir, satu pertarungan.
PERTANDINGAN FINAL DIMULAI.
Sorak-sorai penonton menggema di seluruh arena megah saat sang komentator meneriakkan, “PERTANDINGAN DIMULAI!” Aura sihir berdenyut di udara, mengguncang panggung batu berbentuk lingkaran yang dipenuhi simbol kuno. Arena disinari cahaya merah jingga dari matahari ganda Kalathraya yang menggantung tinggi di langit ungu kelam.
Jasana dan Nyai Lutfayana Dra'vetha berdiri saling berhadapan.
CLANG!
Benturan pertama antara Lungguh Darma dan Silvatira meledak di udara, menimbulkan gelombang getaran yang menjalar hingga ke bangku penonton. Keduanya melaju, saling mengayun, menusuk, dan menangkis. Teknik berpedang mereka nyaris seimbang—Jasana dengan gaya pejalan gunung yang tangguh dan stabil, Lutfayana dengan keanggunan maut seperti tarian malam berdarah.
“Tebasan Pertama: Tatarupa Satriya!” seru Jasana.
Pedangnya menyapu dalam busur merah menyala, membentuk ilusi enam bayangan ksatria bersenjata yang menyerbu dari berbagai arah.
“Ritual Belati: Cakar Darah Udhara!” bisik Nyai Lutfayana, tenang namun mematikan.
Silvatira melengkung ke depan, memanggil lima cabang bilah darah tipis dari udara, menyerang bayangan Jasana satu per satu—lalu melesat ke arah tubuh asli.
Benturan kembali terjadi! Aura sihir menyembur: hijau dari Jasana, merah darah dari Lutfayana.
“Hmm… kau jauh lebih menarik dari yang kuduga, Jasana Mandira.” suara Lutfayana lembut, memikat.
“Aku datang untuk bertarung, bukan untuk merayu,” balas Jasana sambil tersenyum kecil, menahan serangan pedang yang meluncur dari samping.
“Tapi pesonamu terlalu keras untuk diabaikan,” lirih Lutfayana, mendekat begitu cepat seakan mengendap dari bayangan.
“Dan sihirmu… itu bukan sihir Jin biasa. Siapa kau sebenarnya?”
Jasana menarik napas, lalu mengayunkan Lungguh Darma, melepaskan semburan sihir hijau spiral seperti akar menjalar.
“Aku adalah aku. Dan aku akan menangkan ini.”
Tiba-tiba, Silvatira bergetar. Lutfayana mengangkatnya tinggi.
“Sihir Darah: Angsara Merah Tertumpah!”
Bilah pedangnya berubah seperti kristal darah, meledakkan anak-anak jarum darah tajam dari udara.
Jasana menjawab dengan tenang.
“Sihir Hijau: Guritna Loka – Penyangga Jiwa!”
Sebuah perisai tanaman berlapis muncul dari tanah dan udara, menangkis hujan darah sihir.
Mereka saling dorong. Aura mereka membumbung: merah darah dan hijau zamrud bertabrakan di tengah arena, menciptakan pusaran energi memukau. Sorak penonton tak berhenti. Sebagian berdiri.
ALAM JIN, DESA AETHERAYA
Di dalam Markas Guild Sanggar Lumirya, kaca sihir raksasa memperlihatkan pertarungan itu. Puluhan anggota guild dan warga desa menyaksikan dengan napas tertahan.
Di antara mereka, berdiri Rinjana Nirnawa. Rambut merahnya tergerai, mata biru tajam menatap penuh perhatian. Tangannya perlahan mengelus perutnya yang sedikit membuncit—usia empat bulan.
“Dia bertarung dengan sepenuh jiwanya,” bisiknya pelan.
Wajahnya tampak tenang, tapi dari matanya terpancar cinta yang dalam dan sedikit kekhawatiran.
Kembali ke ARENA UTAMA.
Aura mereka menyentuh puncak kekuatan.
Jasana tersenyum, angin bertiup menggoyangkan rambut hitamnya.
“Kau petarung hebat, Nyai.”
Lutfayana menatapnya—senyum tipisnya berbeda kini, bukan sekadar ketertarikan biasa. Ada sesuatu yang tumbuh di balik tatapan darahnya.
“Dan kau… terlalu berbahaya untuk sekadar ditaklukkan.”
Aura keduanya meledak kembali, membentuk gelombang cahaya merah dan hijau yang menyilaukan, menutup scene dengan ledakan sihir yang menandai bahwa pertarungan baru saja memasuki babak paling serius.
ARENA UTAMA GARTHAKA, KOTA KALATHRAYA, ALAM JIN
Sorak sorai kembali bergemuruh ketika Jasana dan Nyai Lutfayana Dra'vetha maju serempak, benturan aura kembali menggelegar. Kilatan cahaya hijau dan merah darah memecah udara, menari bersama dalam pusaran kekuatan yang belum pernah disaksikan oleh mayoritas penonton.
Serangan Dekat Nyai Lutfayana: "Cakar Ratu Merah"
Dengan kecepatan yang hampir mustahil diikuti mata biasa, Nyai Lutfayana melesat ke depan. Bilah Silvatira-nya berubah merah pekat, membentuk garis-garis urat menjalar di sepanjang bilahnya. Ia menebaskan pedangnya dengan teknik Cakar Ratu Merah, gabungan serangan sihir darah dan pedang jarak dekat, yang menimbulkan suara seperti jerit roh terkoyak.
Jasana mengangkat Lungguh Darma, meski tubuhnya sedikit terdorong. Wajahnya serius, matanya bersinar hijau.
Jasana:
"Baiklah. Kalau begitu, izinkan aku membalas."
Dengan kekuatan tekadnya, ia mengaktifkan “Langkah Pertama: Teknik Pedang Klasik”, gerakan anggun nan padat kekuatan, memadukan teknik dasar pedang dengan lapisan sihir hijau. Aura hijau meledak, menghempas balik serangan Lutfayana.
DEBU DAN AURA SIHIR MENYELIMUTI ARENA.
Penonton terdiam. Semua terpukau melihat kedua petarung berdiri, seimbang... tak ada yang mundur.
Mereka kembali beradu teknik pedang.
Langkah mereka seperti tari sakral dua jiwa yang saling menguji. Silvatira berkilau merah darah, Lungguh Darma menggemakan cahaya hijau yang hidup.
Nyai Lutfayana:
"Gerakanmu… sangat indah. Aku hampir merasa seperti sedang berdansa, bukan bertarung."
Jasana (tersenyum):
"Dan kau penari yang sangat mematikan."
Serangan Jarak Jauh Lutfayana: "Elegi Darah Ketujuh"
Langkah mundur cepat, lalu pedangnya ditarik ke dada. Ia menyayat telapak tangannya, darah mengalir—tapi tak menetes, melainkan melayang membentuk lingkaran di udara.
Dengan mantra tak terdengar, darah itu berubah menjadi semburan tombak merah pekat melesat cepat ke arah Jasana.
“Elegi Darah Ketujuh!” serunya.
Jasana tidak sempat menghindar—serangan itu telak mengenai perisai hijaunya yang rapuh. Tubuhnya terlempar, membentur batas arena. Penonton tercekat. Debu menguar.
Namun Jasana bangkit. Matanya bersinar tajam.
Jasana:
"Kau... kuat. Tapi aku juga punya sesuatu yang harus kujaga."
Ia mengangkat pedangnya. Aura hijau bergelora.
Teknik Andalan Jasana: “Teknik Ke-5: Seru Daya”
Dari dalam dadanya, semangat yang telah diasah selama bertahun-tahun di Kalabumi memancar. Lungguh Darma menyala, aura hijau menari bagaikan angin badai.
Dengan satu hentakan, Seru Daya meledak. Nyai Lutfayana yang mencoba menahannya dengan Silvatira terdorong keras, nyaris keluar dari arena.
Namun ia mendarat dengan anggun. Rambutnya berkibar. Wajahnya memerah.
Nyai Lutfayana (berbisik):
"Kau bukan hanya petarung... kau sesuatu yang lain."
Jasana (sambil menarik napas):
"Aku hanya seseorang yang tak ingin kalah."
Mereka kembali maju.
Benturan pedang dan sihir kembali terjadi. Gerakan mereka semakin halus namun mematikan. Mereka bukan hanya bertarung, mereka berkomunikasi dalam bahasa teknik dan keyakinan.
MARKAS GUILD SANGGAR LUMIRYA, DESA AETHERAYA, ALAM JIN—
Ruang utama dipenuhi anggota guild dan warga desa yang menonton dari Kaca Sihir Besar. Sorot mata mereka tak lepas dari pertarungan yang berlangsung.
Di sudut ruangan, Rinjana Nirnawa berdiri. Rambut merahnya tergerai, pakaian santai membalut tubuhnya yang sedang mengandung empat bulan. Tangannya sesekali memegang perutnya.
Mata birunya yang tajam menatap penuh rasa. Aura lembut Jin dalam dirinya terpancar samar. Hanya dia yang tahu, bahwa petarung hebat itu... adalah ayah dari anak yang ia kandung.
Rinjana (pelan, dalam hati):
"Kekuatanmu... jauh melampaui dulu. Tapi hatimu... masih sehangat dulu."
KEMBALI KE ARENA
Pertarungan kembali memanas. Jasana dan Lutfayana kini bertarung dengan intensitas seperti badai. Tapi... senyuman di wajah mereka tak pernah padam.
Nyai Lutfayana (dalam hati, saat menangkis):
"Mengapa aku merasa... aku tak ingin pertarungan ini selesai?"
Jasana (sambil menyerang):
"Kau bertarung dengan elegan, tapi aku belum selesai!"
Tebasan hijau dan tusukan darah kembali berpadu dalam pertarungan menari.
Sorak-sorai meledak di arena utama Garthaka.
Suara gemuruh juga terdengar dari seluruh penjuru Desa Aetheraya.
Kemenangan belum ditentukan—namun pertarungan telah menorehkan rasa kagum di seluruh penjuru Alam Jin.
Rinjana tersenyum kecil.
"Dia semakin kuat. Tapi hatinya... masih milikku."
NYAI LUTFAYANA TERSENYUM, wajah pucatnya memerah sedikit.
JASANA TERSENYUM, tak menyadari satu hati di arena... telah terpikat olehnya.
Debu dan aura sihir belum sepenuhnya mengendap ketika Jasana maju dengan sorot mata yang serius. Langkahnya tenang namun penuh tenaga. Lalu…
TEKNIK PEMBUKA: "Tebasan ke-13: Samara Jati"
Dengan satu hembusan napas panjang, Jasana menggenggam erat Lungguh Darma. Tubuhnya melesat ke depan, aura hijau dari sihir ciptaannya memancar liar seperti tanaman hidup. Tiba-tiba—
"Tebasan ke-13: Samara Jati!"
—suara Jasana menggema ketika pedangnya menyabet udara, mengoyak ruang dan waktu dalam satu garis bersinar. Serangan itu bagaikan gelombang hidup dari dedaunan purba dan tekad yang terpatri.
Nyai Lutfayana Dra'vetha mencoba bertahan dengan Silvatira, namun hempasan sihir dan kekuatan murni dari tebasan tersebut menghantamnya hingga ia terseret dan terjatuh menghantam tanah arena.
Sesaat hening.
Nyai perlahan bangkit, jubahnya robek di beberapa tempat, wajahnya menunduk… lalu ia berkata pelan namun tajam:
“Sepertinya permainan kita telah usai…”
TRANSFORMASI: "Darah Mahacandra Dra'vetha"
Jasana melompat mundur, berjaga. Aura di sekitar Nyai Lutfayana Dra'vetha berubah drastis—merah pekat seperti anggur tua menggumpal dan membungkus tubuhnya. Suara denting darah berdetak seperti simfoni neraka.
Dalam satu kilatan, tubuh Nyai memanjang, siluetnya melebur dengan kabut darah. Dari balik itu, muncul wujud baru—"Darah Mahacandra Dra'vetha", bentuk tertinggi Bangsawan Darah Merah Kalathraya: kulitnya memutih seperti kristal bulan, rambutnya menjuntai bak untaian perak berdarah, dua taring tipis menyembul, dan matanya menyala merah menyilaukan.
Aura intimidasi menjalari arena. Sebagian penonton gemetar, sebagian lagi terpesona.
“Dia menggunakan bentuk itu… untuk seorang peserta luar?”
“Artinya… ia menghormatinya. Atau lebih.”
JURUS PENYERANGAN: "Rentetan Darah Neraka - Griwa Sraya"
Dengan satu lambaian anggun, dari tubuh Nyai melesat puluhan bilah darah tajam yang berputar dan mengejar Jasana. Jurus itu bernama—
“Griwa Sraya”, rentetan darah neraka yang menggulung bagai ombak merah abadi.
Jasana tak sempat menghindar. Serangan itu menghantam tubuhnya secara langsung, menghancurkan lapisan pelindung sihir hijaunya. Ia terlempar keras, meringis, namun tetap bertahan berdiri di ujung arena.
PEMANGGILAN KHODAM: “WIRATMAJA – LEMBUSWANA AGNI”
Mata Jasana membara. Tangan kirinya menggenggam dada, sementara tangan kanannya mengangkat Lungguh Darma. Pedang itu mulai berdenyut—memanas.
Suara gaib menggema:
"Bangkitlah... Wiratmaja!"
Dari bayangan di belakang Jasana, muncul sesosok raksasa Lembuswana Agni, makhluk khodam: tubuh lembu raksasa bertanduk perunggu, mata tiga bersinar zamrud, dan sayap terbakar api gaib menyala dari bulunya. Langkahnya menggetarkan bumi, dan dari mulutnya mengaum kekuatan yang melawan kematian.
Lembuswana menghadang serangan darah Nyai dengan tubuhnya, menahan badai merah itu sambil mengibaskan sayap yang menyulut arena dengan api hijau suci.
Jasana melangkah maju, lalu menghentakkan pedangnya ke depan dengan teknik gabungan:
"Tebasan Kesunyian Hijau – Sekar Jagad Darma"
(Sebuah jurus yang menciptakan lingkaran sihir hijau berbentuk bunga jagad yang meledak dalam garis spiral tenang namun mematikan)
Nyai Lutfayana Dra’vetha, dalam wujud Darah Mahacandra, mengangkat kedua tangan, darahnya menyatu dengan udara dan menjadi bilah tombak besar dari sihir murni:
"Puncak Darah Kalathraya – Velmora Tilarrah"
(Sihir Darah pamungkas bangsawan Dra'vetha yang memadat dalam satu bentuk tombak penghakiman)
Kedua serangan itu saling menerjang di udara—menciptakan tabrakan mengerikan dan ledakan cahaya bercampur darah dan api biru.
Penonton di Arena Garthaka berteriak kagum.
Sementara di Desa Aetheraya, di markas Guild Sanggar Lumirya, seluruh anggota menyaksikan melalui Kaca Sihir.
Rinjana, yang berdiri mematung di depan kaca, berbisik dengan mata berbinar:
"Kekuatan itu... tidak seperti Jasana yang kukenal dulu..."
Ia menatap sorotan Jasana yang menolak kalah, meski tubuhnya telah berdarah dan lelah. Tapi matanya tetap menyala—sebuah nyala tak tertundukkan, nyala seorang petarung sejati.
Sorak-sorai bergemuruh dari dua dunia: Kalathraya dan Aetheraya.
Pertarungan masih belum usai. Namun satu hal pasti—kedua jiwa telah saling mengakui.
Dan dalam tatapan terakhir sebelum tabrakan sihir tadi, di mata merah Nyai Lutfayana Dra'vetha, tersimpan sesuatu yang lebih dari rasa hormat...
Serangan bertubi-tubi dari Nyai Lutfayana Dra'vetha mengguncang udara di sekitar arena. Dengan hanya mengayunkan Silvatira seperti tongkat sihir, ribuan bilah darah melesat dari segala penjuru—tajam, cepat, dan haus akan kehancuran. Serangan itu bukan hanya kuat secara fisik, namun membawa serta tekanan mental yang menusuk ke dalam sanubari lawan. Suara siulan pedang dan gelegar sihir berpadu menjadi badai maut yang mendesak Jasana hingga ke ujung batasnya.
Di sisi lain, Lembuswana Wiratmaja berusaha mati-matian melindungi tuannya, menyelimuti Jasana dengan jilatan api ghaib biru dari bulu sayapnya. Tapi bahkan api suci itu mulai goyah oleh derasnya arus darah yang dikendalikan Nyai.
Dalam hati, suara khodam berbicara.
Wiratmaja: “Serangan ini terlalu sempurna… Jika kau tetap seperti ini, kau akan runtuh. Biarkan aku menyatu dengan ragamu, Jasana.”
Jasana (berbisik dalam batin): “Menyatu? Apa itu tidak berbahaya…?”
Wiratmaja: “Percayalah padaku. Ini bukan bentuk kehancuran, ini adalah kelahiran kekuatan tertinggimu.”
Jasana memejamkan mata di tengah badai sihir darah yang menggila. Nafasnya diatur. Langkahnya mantap. Dan saat itu juga, bayangan raksasa Lembuswana di belakangnya melesat masuk ke dalam tubuhnya—seolah tubuh Jasana adalah gerbang ke dunia spiritual yang telah lama tertutup.
Ledakan aura pun terjadi.
Lingkaran sihir raksasa berwarna hijau dan biru muncul melingkar di bawah kaki Jasana. Aura tebal menggulung langit arena. Semua penonton bangkit dari tempat duduk mereka. Maharaja Svalambara sendiri mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah enggan melewatkan satu detik pun.
Tubuh Jasana berubah.
Kulitnya mengeluarkan cahaya kehijauan yang menyala seperti zamrud, lalu terbalut lapisan tanduk lembu keemasan di bahunya. Tiga mata kini menyala dari wajahnya—mata tengah memancarkan cahaya biru kebijaksanaan. Dari punggungnya, sepasang sayap perunggu terbentang megah, terbakar api ghaib biru yang meliuk seperti roh-roh purba.
Mode Kebangkitan Khodam: “WIRATMAJA MURTIKARA” – Penjelmaan Jiwa Agung
Jasana kini berdiri gagah—separuh dirinya manusia, separuhnya merupakan cerminan dari Lembuswana, makhluk sakral yang dalam mitos hanya dapat dipanggil oleh jiwa paling murni.
Jasana/Lembuswana (suara bergema, dalam nada suci):
“Aku adalah Simbol Kesucian,
Tunggangan Para Dewa,
Pemimpin Mulia Tiga Alam,
Penguasa Darat, Air, dan Udara.”
Seluruh arena sunyi. Suara itu terdengar hingga pelosok kota. Bahkan suara desir angin pun seakan berhenti. Nyai Lutfayana Dra'vetha, dalam wujud vampir tingkat tingginya “Darah Mahacandra Dra’vetha”, tampak terguncang. Tatapannya terpaku. Sebuah semburat merah muda tak sengaja melintas di pipinya. Ia segera memalingkan wajah… namun tidak cukup cepat menyembunyikan sorotan matanya yang kini bercampur kagum dan… tertarik.
Nyai Lutfayana (pelan, sambil mengangkat pedangnya):
“…Menarik. Ternyata kau bisa sejauh ini, Jasana Mandira… Tapi aku belum selesai.”
Dia mengambil posisi, dan sekali lagi, Sihir Darahnya melesat. Kali ini lebih padat, lebih pekat, seperti sungai darah yang berubah menjadi tombak-tombak haus korban.
Nyai Lutfayana Dra'vetha menggunakan: “RAJAH DARAH MAHACANDRA”
Sebuah teknik pemanggilan formasi darah berbentuk bulan merah bercakar lima yang menyerap kekuatan darah dari arena itu sendiri.
Jasana dalam wujud Wiratmaja Murtikara menggunakan: “PURNA SATWA RAKTAJALA”
Sebuah teknik gabungan pedang dan sihir, di mana api suci biru dari bulu Lembuswana dikonsentrasikan dalam tebasan tunggal pedang “Lungguh Darma”.
Keduanya menyerang.
Satu tebasan dari Jasana—sederhana tapi menyimpan seluruh kehendak dan kesucian. Satu serangan darah dari Nyai Lutfayana—liar, anggun, dan mematikan.
Dentuman dahsyat mengguncang langit Arena Garthaka. Angin bergemuruh. Cahaya hijau Biru dan merah membelah langit seperti dua dunia yang saling berseteru.
Debu membumbung tinggi. Arena retak di banyak tempat. Sorak penonton tertahan di tenggorokan. Layar pelindung arena sihir mulai bergetar.
Scene ditutup dengan siluet dua sosok itu berdiri berhadapan dalam kabut—masih tegak, masih bernapas, dan... siap menuju babak akhir pertarungan.
KLIMAKS PERTARUNGAN DI ARENA GARTHAKA, KOTA KALATHRAYA
Langit di atas Arena Garthaka kini berubah menjadi lautan cahaya. Di antara awan-awan ungu dan kabut magis yang bergulung-gulung, dua sosok agung saling menatap dalam diam. Jasana Mandira, dalam wujud spiritual bersatu dengan Khodam Wiratmaja, tubuhnya diselimuti aura biru hijau membara, mata ketiganya bersinar menyala, dan sayap perunggu di punggungnya terbentang, dikelilingi api ghaib yang menggulung seperti ombak surgawi. Di tangannya, Lungguh Darma—pedang merah batu langit—berdenyut seperti nadi alam semesta.
Dari seberang, Nyai Lutfayana Dra'vetha dalam bentuk transformatif Darah Mahacandra Dra'vetha melayang anggun, gaun beludru hitam berkibar liar di udara, rambut menjuntai bak untaian perak berdarah, dua taring tipis menyembul. Matanya—merah darah bercahaya—berpadu dengan aura pedang Silvatira yang kini berselimut pusaran sihir darah pekat. Aura mereka berdua mengguncang langit.
"Selesai sudah basa-basi ini," bisik Nyai Lutfayana, menahan degup jantung yang entah karena kekuatan... atau pesona musuhnya.
"Ya. Saatnya... mengakhiri," ucap Jasana pelan, namun menggema hingga ke hati setiap penonton.
Keduanya melesat.
Seperti dua kilat dari dimensi berbeda, mereka bertabrakan di udara!
Boom!!
Benturan pertama membelah awan sihir.
Gelombang energi berbentuk pusaran biru-hijau dan merah-darah meluap ke seluruh penjuru Arena. Penonton menahan napas. Benturan kedua membuat tanah berguncang. Serangan ketiga memecah langit Arena hingga sihir perlindungan kerajaan memancar ke segala arah.
Dalam kecepatan yang tak terindra, Jasana memutar tubuhnya, menghantamkan Lungguh Darma yang kini berbalut api biru gaib seperti petir surgawi. Nyai Lutfayana mengayunkan Silvatira dengan hemokinesis penuh, menyebar gelombang darah berbentuk seribu duri ke arah Jasana.
Namun...
Dari dalam tubuh Jasana, suara Wiratmaja menggema:
"Sekarang, Jasana. Satu tebasan, satu takdir."
Dengan raungan khodam dan tekad sang pendekar, Jasana melesat bagaikan meteor biru—
Sayap Lembuswana menyembur api!
Aura biru dan hijau menyatu, membentuk naga dan teratai di langit.
"SERUAN PEMBEBAS JIWA!!" teriak Jasana, Lungguh Darma menghujam ke depan dengan tebasan membelah segala batas.
Serangan terakhir itu menembus badai darah, menghancurkan gelombang silvatira, dan—
"BRAGGHH!!"
—menghantam tubuh Nyai Lutfayana. Gadis bangsawan darah merah itu terhempas, tubuhnya terpental anggun bagaikan bunga yang luruh dari pohon agung.
Sebelum jatuh, matanya yang merah darah menatap langit... menatap Jasana.
"Dia... bukan hanya pendekar... dia cahaya... dia—"
Deg.
Jatuh. Tak sadarkan diri.
Arena senyap sejenak. Angin seperti berhenti. Para penonton menahan napas.
Lalu... dari menara komentator:
"PEMENANG!! JASANA MANDIRA!! DARI GUILD SANGGAR LUMIRYA!!"
Suara itu disambut gelombang sorak-sorai luar biasa.
Langit dipenuhi kembang api sihir.
Para bangsawan Tribe Dra'vetha berdiri dan bertepuk tangan. Bahkan yang keras kepala sekalipun mengangguk mengakui kemenangan Jasana.
Di Desa Aetheraya, halaman Guild Sanggar Lumirya.
Kaca sihir besar memantulkan bayangan kemenangan. Semua anggota guild melompat bersorak, peluk-pelukan, menari, berteriak.
Di tengah kerumunan itu, berdiri Rinjana Nirnawa.
Rambut merahnya tergerai, kulit putih keperakan berkilau lembut, mata birunya berkaca-kaca.
Dia menutup mulutnya. Tangis bahagia tak terbendung.
"Jasana... kau melakukannya," bisiknya, matanya berbinar. "Kau menang..."
Kembali ke Arena Garthaka.
Dengan tubuhnya telah kembali ke bentuk semula, Jasana berdiri di tengah sorotan sihir. Keringat, debu, namun juga cahaya kemenangan terpancar dari auranya. Sang Maharaja Kalathraya, Svalambara Yudhapraya, turun langsung dari singgasananya yang melayang.
Dengan tangan mulia, sang raja menyerahkan Piala Artefak: Kunci Dimensi Kalathraya—sebuah artefak perak-keemasan sebesar lengan dewasa, bercahaya lembut, penuh ukiran dunia jin.
"Kau layak atas kunci ini, pendekar dari Aetheraya."
Lalu, sang raja membuka sebuah peti besar berisi koin emas Kalathraya, dan menyerahkannya dengan hormat kepada Jasana.
"Juga... undangan kehormatan bagi dirimu dan keluargamu untuk mengunjungi istana kerajaan kami. Kami menantikan kedatanganmu, bersama... pasanganmu."
Jasana menunduk, menerima dengan penuh hormat.
"Aku akan datang, Baginda. Bersama istriku."
Teriakan kemenangan membahana.
Jasana mengangkat piala itu tinggi-tinggi.
Langit Kalathraya bersinar biru.
Dan dalam hatinya, Jasana bergumam:
"Aku menang. Dan waktunya... kembali ke dunia."