SENJA DI DESA AETHERAYA – PENYAMBUTAN JASANA
Mentari senja mewarnai langit Alam Jin dengan semburat jingga keemasan, memantulkan cahaya lembut ke atap-atap rumah di Desa Aetheraya. Jalan utama desa dipenuhi warga yang berjejer di kanan-kiri, menanti sang juara. Lentera sihir mulai menyala satu per satu di pinggir jalan, menambah kemeriahan suasana.
Dentum kaki kuda jin bergema lirih namun sakral, saat kereta kencana khas Kalathraya yang ditarik oleh dua ekor kuda jin berbulu perak tiba di desa. Dihiasi ukiran magis dan bendera teratai hitam, lambang Guild Sanggar Lumirya, kereta itu melambat hingga berhenti tepat di tengah desa.
Pintu kereta terbuka. Jasana Mandira turun dengan langkah mantap, membawa aura sang juara. Matanya menyapu kerumunan dengan senyum penuh kehangatan.
WARGA DESA DAN ANGGOTA GUILD:
(Bersorak ramai)
“Hidup Jasana!”
“Hidup Sanggar Lumirya!”
“Juara dari Desa Aetheraya!”
“Pahlawan kita!”
Rinjana, berdiri paling depan dengan gaun sederhana berwarna lembut, tak kuasa menahan haru. Ia berlari kecil mendekat, memeluk Jasana dengan senyum bahagia dan mata berkaca-kaca.
RINJANA (memeluk erat, berbisik pelan di telinga Jasana):
“Kau pulang... Dan membawa cahaya bagi kita semua.”
(menatapnya dengan mata berbinar)
“Aku tahu kau akan menang... Tapi tak pernah kusangka akan sehebat ini. Seluruh negeri tahu nama Jasana Mandira.”
Jasana tersenyum lembut, memegang pinggang Rinjana sejenak lalu melepaskannya dengan pelan. Ia menatap wajah istrinya penuh cinta, namun tetap menjunjung kesopanan di hadapan orang banyak.
Lalu, dari arah balai guild, Ragatma, Ketua Guild Sanggar Lumirya, berjalan mendekat dengan langkah berat namun penuh wibawa. Ia menunduk memberi hormat pada Jasana, yang langsung membalas dengan hormat dalam-dalam.
RAGATMA (dengan suara lantang namun bergetar bangga):
“Jasana... Kau bukan hanya membawa pulang piala. Kau membawa harapan bagi desa ini, nama untuk guild ini, dan rasa hormat dari bangsawan hingga istana!”
(menepuk dada kirinya, tempat lambang teratai berada)
“Mulai hari ini, Sanggar Lumirya akan berdiri sejajar dengan guild-guild besar di Kalathraya. Misi dari kaum bangsawan akan datang, dan para pemuda desa akan percaya bahwa darah pejuang bisa lahir dari pelosok, bukan hanya dari istana!”
Jasana mengangguk, lalu berbicara dengan tenang namun tegas.
JASANA:
“Semua ini bukan semata karena aku... Tapi karena kepercayaan Guild ini, desa ini, dan kalian semua.”
(menatap warga dengan bangga)
“Aku hanyalah satu pedang dari banyak harapan. Dan pedang itu... akan terus dijaga, diasah, dan digunakan demi kebaikan.”
Sorak-sorai kembali menggema. Di atas langit, kilau sihir berbentuk teratai hitam mekar perlahan, menyinari seluruh desa dalam cahaya lembut, menandai hari bersejarah Desa Aetheraya.
Kamera perlahan menjauh, menunjukkan kerumunan yang merayakan, senja yang perlahan menutup hari, dan dua sosok—Jasana dan Rinjana—yang berdiri berdampingan di tengah desa, menatap masa depan yang baru saja dibuka.
MALAM PERAYAAN DESA AETHERAYA – ACARA MAKAN BESAR
Langit malam di Alam Jin Kalathraya memancarkan rona biru lembut, dihiasi bintang-bintang yang tampak lebih dekat daripada biasanya—seakan turut merayakan kemenangan yang baru saja diraih. Di tengah desa Aetheraya, lentera-lentera mengambang di udara memancarkan cahaya kehijauan yang menari bersama angin malam.
Meja-meja panjang dari kayu hutan magis tersusun di tengah lapangan desa, dipenuhi hidangan khas jin: sup akar langit, daging kuda jin panggang, roti embun, dan buah-buahan bercahaya. Tawa dan canda mengisi udara. Anak-anak berlarian dengan wajah dicat warna-warni, para tetua bersulang, dan para anggota Guild Sanggar Lumirya duduk bersisian dengan para warga desa dalam suasana penuh persaudaraan.
Di tengah semua itu, Jasana dan Rinjana duduk berdampingan di bangku batu yang dibentuk dari pahatan alami. Mereka saling tersenyum sambil menikmati hidangan, tangan Rinjana sesekali mengelus lembut perutnya yang mulai menonjol.
RINJANA (dengan suara pelan namun hangat):
“Rasanya seperti mimpi, ya? Semuanya tertawa… semuanya bahagia… seperti kita akhirnya bisa bernapas lega.”
JASANA (menatap sekeliling, lalu menoleh padanya dengan senyum lembut):
“Kalau ini mimpi, biarlah tak pernah usai. Lihat mereka, Rin. Mereka bersorak bukan hanya karena aku menang… tapi karena mereka percaya harapan itu nyata.”
Tiba-tiba suara tawa besar menginterupsi. Ragatma, dengan wajah memerah dan langkah sedikit oleng, datang membawa cangkir penuh anggur akar biru. Ia duduk di samping mereka dengan tawa lepas.
RAGATMA (berseru nyaring dengan suara serak dan sedikit mabuk):
“HAH! Aku tahu dari awal... waktu kau pertama kali datang ke desa ini dengan mata hijau seperti biji mentimun kutukan… aku tahu kau anak istimewa!”
(meneguk minumannya, lalu menunjuk ke perut Rinjana)
“Dan kalian! Kalian harus kasih nama anak itu Ragatma Kedua! Atau Ragatmini! Demi teratai hitam, itu akan jadi nama paling mulia!”
RINJANA (tertawa menutup mulut):
“Kalau namanya terlalu panjang, anakku bisa-bisa bingung setiap dipanggil, Kak Ragatma!”
(menoleh pada Jasana sambil terkikik)
“Bagaimana kalau kita kasih nama… ‘Ragatma Junior Sang Teratai Pemabuk’?”
JASANA (tertawa pelan, mengangkat cangkir):
“Kalau begitu, kita buat tradisinya sekarang. Setiap anak lahir di Aetheraya, Ragatma harus kasih pantun selamat—dengan kondisi sadar ataupun tidak!”
Tawa pun pecah di antara mereka. Beberapa warga yang mendengar ikut tertawa, dan seorang anak kecil bahkan menirukan cara jalan Ragatma yang mabuk sambil membawa kendi kosong.
Suasana berubah hangat dan damai. Musik petik dan tabuh halus mulai mengalun, menciptakan irama ringan yang mengisi sela-sela pembicaraan. Malam terus berlalu, tapi tak ada satu pun yang ingin segera pergi.
Rinjana bersandar ringan di bahu Jasana, menatap ke langit biru keperakan yang perlahan berubah menjadi ungu kelam. Bintang-bintang berkelip pelan, seperti mata-mata damai yang mengamati dunia.
JASANA (berbisik, setengah pada dirinya sendiri):
“Di tempat seperti ini… sulit membayangkan bahwa dunia di luar sana penuh peperangan dan ambisi.”
RINJANA (masih menatap langit):
“Maka mari kita buat tempat ini… jadi satu titik damai yang tak pernah padam.”
Mereka berdua diam, tenggelam dalam keheningan yang tidak sunyi. Di atas sana, langit Alam Jin Kalathraya menyelimuti mereka dengan kedamaian—seakan memberi restu atas masa depan baru yang tengah tumbuh, dalam keluarga kecil dan desa yang perlahan mulai dikenal dunia.
Suara tawa, musik, dan lentera magis bergema lembut, meninggalkan jejak hangat di malam damai Aetheraya.
Beberapa Hari setelah Pesta di malam hari itu
"Selamat Tinggal Aetheraya"
Desa Aetheraya, Alam Jin Kalathraya – Pagi Hari yang Dingin dan Cerah
Udara pagi di Aetheraya terasa segar, embun masih menetes di ujung-ujung daun lebar yang tumbuh subur di sepanjang lereng desa. Aroma tanah basah bercampur dengan harumnya bunga sihir khas Kalathraya menambah nuansa sendu pagi itu.
Di tengah pelataran desa, seluruh penduduk sudah berkumpul. Senyum dan mata yang berkaca-kaca menghiasi wajah mereka. Jasana berdiri di depan mereka dengan tegap, mengenakan pakaian Latihan Guild Sanggar Lumirya yang kini tampak seperti baju kebesaran seorang pahlawan. Di sisinya, Rinjana menggenggam tangan suaminya dengan lembut, perutnya yang membesar menjadi saksi perjalanan panjang mereka.
Jasana menarik napas dalam.
Jasana (suara lantang namun lembut):
“Aku… dan Rinjana, adalah manusia. Kami bukan berasal dari Kalathraya. Kami tersesat—tidak sengaja terlempar ke dunia ini karena sihir gelap seorang resi jahat di dunia kami...”
Beberapa warga terlihat saling berpandangan. Namun bukan keterkejutan yang muncul di mata mereka, melainkan senyum tenang.
Ragatma yang berdiri tak jauh dari Jasana, tersenyum lebar dengan tangan disilangkan di depan dada.
Ragatma (menyela sambil tertawa kecil):
“Hahaha! Sudah dari dulu kukatakan pada mereka... kalian bukan jin. Tapi bukan itu yang penting. Yang penting, hati kalian tetap di sini... di Aetheraya.”
Warga mulai bersorak kecil, mengangguk dan tertawa. Suara anak-anak yang pernah dilatih Rinjana mulai terdengar.
Anak kecil:
“Terima kasih, Kak Rinjana! Aku bisa membuat perisai cahaya sekarang!”
Remaja desa:
“Dan aku bisa mengayunkan pedang seperti Kak Jasana!”
Jasana tak mampu berkata-kata. Ia tersenyum, lalu memejamkan mata. Butir air jatuh di pipinya.
Rinjana (berbisik pada Jasana):
“Mereka menerimamu… kita… sepenuhnya.”
Air mata Rinjana pun ikut jatuh, namun wajahnya bersinar dengan cahaya kedamaian. Mereka saling menatap sebentar, lalu memandang para warga.
Jasana melangkah ke arah Ragatma, lalu menyerahkan sebuah kantong beludru berisi koin emas Kalathraya.
Jasana:
“Ini... untuk Sanggar Lumirya. Bangunlah sesuatu yang lebih baik dari ini. Aku tahu kau akan menggunakan ini sebijak-bijaknya.”
Ragatma menerimanya dengan mata berkaca-kaca, namun buru-buru menyembunyikan air mata dengan tawa kerasnya.
Ragatma (suara berat):
“Bodoh sekali... kau membuatku terharu pagi-pagi begini! Tapi ingat, Jasana, Rinjana… pulanglah suatu hari. Rumah ini akan tetap terbuka.”
Suara derap langkah perlahan menggema, mengalihkan perhatian semua orang. Sebuah kereta kencana berwarna perak-biru, ditarik oleh makhluk bersayap kristal dari Alam Jin, berhenti di ujung pelataran.
Pintu kereta terbuka perlahan. Angin pagi menyapu dedaunan, seolah ikut berpamitan.
Jasana menggenggam tangan Rinjana lebih erat.
Jasana (berbisik pada Rinjana):
“Aku tak menyangka... dunia jin bisa memberi kita rumah seperti ini.”
Rinjana (tersenyum lirih):
“Bukan dunia jin, Sayang… tapi hati mereka.”
Mereka melangkah perlahan menuju kereta. Sebelum naik, Jasana membalikkan badan, berdiri tegak, dan mengangkat tangan.
Jasana (lantang):
“Terima kasih, Aetheraya! Kami tak akan pernah melupakan kalian!”
Warga Desa (serempak):
“Selamat jalan, Jasana! Selamat jalan, Rinjana! Salam untuk dunia manusia!”
Sorak-sorai menggema. Rinjana melambai sambil tersenyum, air matanya jatuh satu-satu di pipinya. Jasana menunduk dalam memberi salam terakhir.
Kereta kencana mulai bergerak perlahan. Dari jendela belakang, Jasana dan Rinjana melihat para warga mengepalkan tangan tinggi-tinggi. Di pangkuan Jasana, sebuah ransel berisi sisa koin emas dan Kunci Dimensi Kalathraya tersimpan rapi—penanda akhir dari satu perjalanan, dan permulaan bab baru.
Langit Kalathraya pagi itu membiru jernih. Angin membelai lembut rambut mereka.
Dan di dalam dada mereka, Desa Aetheraya akan selamanya hidup.
Kerajaan Jin Kalathraya
Beberapa hari telah berlalu sejak perpisahan penuh haru di Desa Aetheraya. Kini, langit Kalathraya bersinar terang di atas ibu kota megah Alam Jin. Kereta kencana berornamen kristal biru dan roda perak berukir meluncur tenang menyusuri jalanan berbatu zamrud Kota Kalathraya. Di dalamnya, Jasana duduk tegap dengan ransel di punggung, sementara Rinjana bersandar lembut di sisinya, tangannya sesekali menyentuh perutnya yang telah mulai membuncit.
Kereta perlahan berhenti di pelataran istana kerajaan yang menjulang megah, dikelilingi pilar-pilar perak dan taman udara yang melayang. Para pelayan istana berjubah biru laut dengan ikat pinggang kristal segera menyambut mereka dengan sopan, membungkuk rendah sambil membantu menurunkan koper besar Jasana.
“Selamat datang, Pemenang Kalathraya,” ucap seorang pelayan dengan nada hangat.
Jasana mengangguk hormat, memanggul ranselnya yang berisi sisa emas Kalathraya dan Artefak Kunci Dimensi, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Rinjana erat.
Mereka berdua dipandu menyusuri lorong-lorong istana yang megah. Mosaik-mosaik berkilau terpampang di dinding, menggambarkan sejarah perang besar bangsa Jin dan kemunculan para penjaga dimensi. Suara langkah mereka menggema tenang, hingga akhirnya mereka tiba di ruang tamu istana—ruangan berlangit tinggi dengan kursi-kursi dari ukiran kayu naga dan meja batu safir.
Setelah dipersilakan duduk dan menerima minuman penyegar, Jasana dan Rinjana menanti dalam diam penuh hormat. Tak lama, pintu besar terbuka perlahan. Maharaja Svalambara Yudhapraya masuk, auranya agung dan menenangkan. Jubah emasnya memancarkan cahaya seperti matahari terbit, dan mahkotanya yang bersayap memantulkan kilau cahaya ruangan.
Jasana dan Rinjana segera berdiri dan membungkuk memberi penghormatan adat Kalathraya. Maharaja tersenyum ringan dan duduk di singgasananya.
“Apa yang hendak kalian sampaikan, Pendekar dan Penyihir dari Sanggar Lumirya?” tanya sang Raja dengan suara dalam dan lembut.
Dengan tenang namun mantap, Jasana melangkah maju. “Maharaja yang mulia… saya dan istri saya, Rinjana, memohon restu untuk mengakses Kuil Kalathraya, membuka portal ke dunia asal kami. Kami ingin pulang.”
Sang Raja mengangkat alisnya. Jasana menarik napas panjang. “Dan… dengan segenap kejujuran, kami mengaku bahwa kami bukan bangsa Jin. Kami manusia. Terlempar ke Kalathraya karena sihir gelap Resi Wighna Laksa.”
Ruangan mendadak sunyi. Hanya terdengar suara napas tertahan Rinjana.
Namun kemudian, Svalambara tersenyum lebar—dan tertawa ringan. “Aku sudah tahu.”
Jasana dan Rinjana saling berpandangan kaget.
“Aku melihatnya di pertandingan semifinal. Saat kau memanggil khodammu, Lembuswana. Kekuatan khodam hanya dimiliki manusia. Tidak mungkin aku tidak mengenalinya,” ujar sang Raja sambil mengangkat cangkir emasnya.
“Aku tidak menyebarkannya karena aku ingin melihat siapa sebenarnya kalian. Dan kalian membuktikannya. Kalian tidak mencemari tanah kami. Bahkan sebaliknya—kalian membawa kebaikan.”
Jasana menunduk hormat. “Terima kasih, Paduka.”
Svalambara berdiri, matanya menatap Rinjana dengan penuh perhatian. “Dan bayi yang dikandung istrimu… bukan sekadar manusia. Ia akan menjadi jembatan antara dua dunia. Sebagian dari dirinya adalah Kalathraya. Dia istimewa. Jika kalian kembali ke dunia asal, didiklah dia dengan bijak.”
Rinjana menggenggam tangan Jasana lebih erat, air mata haru menggenang di pelupuk matanya.
Svalambara melangkah maju dan menyentuh bahu Jasana dengan ringan. “Kunci Dimensi itu memang hakmu. Kau sudah membuktikan keberanian, kesetiaan, dan kebaikan. Pergilah. Dunia manusia menantimu. Tapi… pintu Kalathraya akan selalu terbuka untuk kalian berdua.”
Senyum lirih menghiasi wajah Jasana dan Rinjana. Mereka membungkuk dalam, lalu berpamitan dengan penuh rasa terima kasih.
Di balik langkah mereka meninggalkan istana, harapan baru tumbuh. Sebuah perjalanan pulang… dan awal dari takdir yang lebih besar, yang telah ditulis di antara dua alam.
RUMAH BANGSAWAN TRIBE DRA’VETHA, DISTRIK BANGSAWAN KALATHRAYA
Pada saat Kereta Kencana keluar dari istana tiba-tiba dihadang dan diberhentikan oleh dua orang pelayan yang berasal dari Keluarga Bangsawan Tribe Dra'vetha, dia menjelaskan kepada Jasana untuk mengudang nya ke Rumah Bangsawan tersebut karena ada sesuatu yang penting, maka Jasana terpaksa mengikuti mereka.
Akhirnya....
Kereta kencana berhenti perlahan di depan gerbang besar berhiaskan lambang kelelawar bersayap perak. Kabut tipis menyelimuti halaman megah Rumah Bangsawan Tribe Dra'vetha—sebuah bangunan bergaya gothic tinggi menjulang, dengan jendela kaca berwarna dan relief tengkorak menghiasi pilar-pilarnya. Dua pelayan membukakan pintu kereta, lalu memberi salam penuh hormat kepada Jasana dan Rinjana.
Mereka disambut oleh pelayan berpakaian serba hitam dengan emblem darah merah di bahunya, dan dibawa masuk ke dalam, melintasi lorong panjang berlampu lentera biru redup. Suasana hening dan sendu terasa kental. Aroma herbal pekat dan dupa darah menguar dari balik tirai ruangan perawatan.
Di dalam ruangan itu, tampak sepasang suami istri bangsawan berdiri dengan wajah murung di samping ranjang berkanopi hitam beludru. Di atas kasur, Nyai Lutfayana Dra'vetha terbaring lemah. Wajah pucatnya lebih pucat dari biasanya, bibirnya biru, dan tubuhnya tampak merintih perlahan. Rambut peraknya tergerai, matanya setengah terbuka seolah menahan beban berat yang tak kasat mata.
Ayah Lutfayana, Adhikara Dra’vethan, seorang pria tinggi kurus dengan rambut putih menjuntai dan jubah merah tua, membungkuk hormat pada Jasana dan Rinjana. Di sebelahnya, Ibu Lutfayana, Niraswari Dra’vetha, wanita berwajah dingin dan anggun dengan mata merah teduh, menyambut dengan anggukan penuh harap.
Adhikara Dra’vethan:
“Tuan Jasana... Nyonya Rinjana… kami memohon maaf atas panggilan mendadak ini. Namun… putri kami… dia terkena Kutukan Mahacandra. Kutukan cinta yang hanya muncul… saat hati yang abadi memilih cinta yang fana.”
Jasana melangkah mendekat, menatap Lutfayana yang memanggil lirih namanya sambil menggenggam udara kosong.
Jasana (lirih):
“Apakah ini… akibat dari jurusku waktu itu?”
Niraswari Dra’vetha:
“Bukan karena kekuatanmu, Tuan… tetapi karena hatinya. Saat dia menyentuh bilah pedangmu… cinta yang lama terpendam dalam darah bangsa kami mengikatnya padamu. Ini adalah Mahacandra—kutukan darah bagi kaum darah merah… Jika cintanya tak terbalas… nyawanya akan hilang dalam kabut.”
Rinjana tampak terkejut, wajahnya memucat. Tapi tak ada kemarahan. Hanya keheningan panjang dan sorot mata yang berubah tajam.
Adhikara Dra’vethan:
“Satu-satunya jalan adalah menjadikan dia sebagai istri yang sah. Maka kutukan itu akan lepas. Keseimbangan antara suku kami dan pengadilan Kalathraya akan tetap utuh. Kami mohon… demi hidupnya… demi kedamaian di kota ini...”
Jasana menatap Rinjana. Hatinya terpecah. Tapi sebelum sempat berbicara, Rinjana mengangkat tangannya perlahan.
Rinjana (lembut, namun tegas):
“Kau tidak perlu berkata apa-apa, Jasana. Aku tahu hatimu… Aku tahu siapa dirimu. Jika ini jalan yang harus ditempuh… jika ini menyelamatkan nyawa dan menjaga dunia tetap utuh… maka… lakukanlah. Tapi satu syaratku.”
Rinjana (menatap Adhikara):
“Putri kalian akan ikut bersama kami ke dunia manusia. Dia akan hidup bersama kami… sebagai keluarga.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Lalu Niraswari meneteskan air mata, memeluk Rinjana perlahan.
Niraswari:
“Terima kasih… kau wanita berhati cahaya. Kami tidak pantas meminta… tapi kau berikan lebih dari cukup.”
Lutfayana perlahan membuka matanya penuh air. Suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Lutfayana:
“Rinjana… aku… berhutang hidup padamu. Aku bersumpah… selama aku bernafas… aku akan menjaga anakmu… dan kau… dengan seluruh darahku.”
Rinjana tersenyum, meski matanya berkaca.
Rinjana:
“Kita bukan musuh. Kita adalah dua hati yang memilih mencintai pria yang sama. Tapi aku percaya… cinta bukan tentang memiliki… melainkan menjaga.”
Jasana menunduk dalam. Hatinya penuh haru dan kekaguman. Ia tak menyangka, anak desa, mantan pandai besi dari dunia manusia… kini berdiri di hadapan dua wanita bangsawan, satu Bangsawan Manusia, satu Bangsawan Alam Jin, keduanya kini menjadi bagian dari hidupnya.
Jasana (dalam hati):
“Dunia… kenapa kau percayakan mereka padaku? Tapi jika ini jalanku… maka aku akan berjalan… sampai ujung takdir.”
Lampu ruangan mulai meredup. Di luar, bulan darah menggantung. Seekor kelelawar perak terbang di langit Kalathraya, membawa kabar bahwa garis takdir telah ditulis ulang malam ini—oleh cinta, kutukan, dan restu dari dua hati yang agung.
Malam Pernikahan Jasana & Nyai Lutfayana Dra’vetha
Lokasi: Istana Dalam – Rumah Bangsawan Dra’vetha, Distrik Darah Merah Kalathraya
Udara malam begitu pekat dan dingin, menyelimuti langit Kalathraya dengan kabut kelabu yang tampak seperti tirai dunia lain. Bulan merah darah menggantung besar di langit, seperti mata para leluhur Tribe Dra’vetha yang menjadi saksi sunyi malam ini. Di jantung Distrik Bangsawan Darah Merah, rumah besar keluarga Dra’vetha dipenuhi cahaya lentera-lentera hitam keunguan yang menggantung di langit-langit batu. Lilin-lilin dengan nyala ungu dan merah darah berderet di sepanjang dinding berukir relief makhluk-makhluk gaib kuno, menciptakan bayang-bayang menari di setiap sudut ruangan.
Sebuah ruangan upacara tertutup, berdinding batu hitam dan tirai beludru merah tua, telah disiapkan untuk momen sakral ini. Di tengah ruangan terdapat altar bundar bertabur kelopak bunga darah-merah dari pohon Silavendra, bunga suci para bangsawan Dra’vetha. Lantai di sekitar altar dilukisi simbol kutukan Mahacandra dalam ukiran darah naga purba, bersinar samar saat mantra kuno diucapkan.
Nyai Lutfayana Dra’vetha tampak anggun dalam gaun pernikahan khas Vampire Kalathraya: gaun panjang berlapis renda beludru hitam, bertabur kristal merah darah yang berkilau seperti tetesan segar. Rambut perak keungu-unguannya digelung sebagian dengan mahkota tengkorak perak kecil bertatahkan rubi. Di pinggangnya, tergantung Silvatira—pedang darah legendaris keluarga Dra’vetha, simbol kehormatan dan kekuatan pewaris. Meski masih lemah, langkahnya anggun dan bermartabat, diiringi sihir lembut yang menyokong tubuhnya.
Jasana, kini dalam wujud manusianya, mengenakan pakaian formal bangsawan Dra’vetha: jas panjang hitam bersulam benang darah, dengan jubah belakang berdesain akar dan nadi seperti ukiran di pedang Lutfayana. Matanya yang hitam menatap tenang namun tegas, membawa aura seorang manusia yang tidak tunduk oleh rasa takut, namun juga tidak congkak dalam keagungan.
Di samping altar, Rinjana berdiri anggun dalam balutan gaun pesta gothic berwarna ungu kelam dengan renda hitam, tangannya mengelus perutnya yang mulai membuncit. Mata ungunya teduh namun menyimpan ketegaran luar biasa. Ia menatap Jasana dan Lutfayana dengan senyum pilu yang lembut—bukan senyum kalah, namun senyum seseorang yang memilih untuk percaya dan memberi.
Dua figur tua berdiri di belakang altar: Adikara Dra’vethan, ayah Lutfayana, mengenakan jubah bangsawan panjang merah marun dengan lambang darah naga di dada—wajahnya bangga dan tenang. Di sampingnya, Niraswari Dra’vetha, ibu Lutfayana, mengenakan gaun kelam dengan mahkota tengkorak kecil seperti putrinya, air matanya menetes pelan, namun senyumnya adalah restu.
Upacara dimulai.
Pendeta Darah Kalathraya membacakan mantra dalam bahasa kuno Dra’vetha, lidah siluman dan darah, memanggil roh-roh leluhur untuk menjadi saksi. Nyala api di sekeliling altar berubah merah terang, berdenyut seiring degup jantung Nyai Lutfayana.
Jasana mengulurkan tangan, menyentuh jari Lutfayana. Sebuah ikatan energi merah membelit keduanya, menyatu dalam formasi Mahacandra. Dalam sekejap, kutukan di tubuh Lutfayana terlepas seperti kabut merah kehitaman yang menguap dari tubuhnya. Nyai Lutfayana menghela napas lega, dan untuk pertama kalinya, wajahnya benar-benar tenang dan tersenyum.
Setelah sumpah diucapkan dan darah simbolis dari kedua telapak tangan bersentuhan di atas Silvatira, pendeta mengangkat tangan dan berseru:
“Kutukan Mahacandra telah terangkat. Ikatan darah telah ditetapkan. Dalam nama leluhur Dra’vetha, kami mengakui pernikahan ini sebagai pengikat dua dunia.”
Seluruh ruangan sunyi, lalu bergemuruh oleh suara pujian dalam bahasa bangsa jin.
Rinjana melangkah maju, mendekati Lutfayana. Mereka saling menatap, lalu tanpa kata saling menggenggam tangan. Lutfayana, dengan suara lemah namun pasti berkata:
“Aku berhutang nyawa padamu, Rinjana. Di dunia kalian nanti, aku akan menjadi penjagamu… dan anakmu.”
Rinjana menunduk, dan membalas:
“Dan aku percaya, kau akan menjadi perisai bagi kita. Kita kini satu keluarga.”
Malam itu, dua wanita agung yang ditakdirkan bertemu karena seorang pria sederhana bernama Jasana, mengikat perjanjian yang tak hanya menyelamatkan nyawa—namun menciptakan keluarga baru yang melampaui batas darah dan dunia.
Jasana berdiri di tengah mereka, menatap langit malam Kalathraya, bulan merah di atas, dan berkata dalam hati:
"Dari anak desa, kini aku menjadi pengikat dua bangsawan dari dua dunia… Aku harus layak atas berkah dan beban ini."
Malam berlanjut dalam pesta tertutup, diiringi musik dawai sedih dan aroma mawar hitam yang terbakar. Sebuah awal bagi lembaran baru yang tidak bisa dibalik kembali.
“Kepergian Menuju Dunia” Beberapa Hari setelah Acara Pernikahan Sakral tersebut
Distrik Bangsawan – Kota Kalathraya, Alam Jin Kalathraya - Pagi Hari
Kabut tipis menggantung di antara pilar-pilar batu merah darah yang menjulang di pelataran kediaman utama Tribe Dra'vetha. Udara sejuk dari pagi hari Kalathraya membawa aroma bunga malam dan dupa darah, khas ritual perpisahan bangsawan. Tiga sosok berdiri di bawah atap perunggu berhias ukiran nadi dan akar tua yang menyambung ke langit, siap memulai langkah baru ke dunia yang berbeda.
Jasana mengenakan pakaian formal Tribe Dra'vetha—mantel panjang hitam keunguan berhias sulaman benang darah di bagian dada, menyatu dengan posturnya yang gagah. Di pinggangnya tergantung Lungguh Darma, terbungkus kain merah gelap. Rinjana berdiri di sampingnya, anggun dan tenang dengan gaun panjang bergaya bangsawan gothic, memperlihatkan perutnya yang sedikit membuncit. Di tangannya, tongkat hitam Magic Wands berkilat samar.
Dan di tengah mereka, Nyai Lutfayana Dra'vetha, telah kembali pada wujud indahnya. Rambut perak keunguannya tergerai sempurna, mata merah darahnya menatap haru kedua orang tuanya. Pakaian formal bangsawan melekat di tubuhnya seperti tirai bayangan anggun yang bersatu dengan cahaya pagi. Di punggungnya tergantung Silvatira—pedang akar dan nadi yang tak pernah lepas dari dirinya.
Di belakang mereka, berdiri dua pelayan baru:
Velyra dan Morzhan, dua Jin Vampire setia berbaju panjang kelam dengan wajah tenang dan aura gelap.
Velyra: Jin perempuan berambut hitam pekat menjuntai, bermata ungu redup, ahli sihir pelindung dan kebidanan.
Morzhan: Jin lelaki tinggi besar dengan jubah baja gelap, ahli penjaga dan transportasi antar-dimensi.
Adikara Dra'vethan, ayah Lutfayana, mendekat. Ia memegang bahu Jasana dengan tangan kuatnya.
"Pandulah dia, Jasana... bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai pelindung. Ia bukan sekadar bangsawan, ia adalah api darah terakhir Dra'vetha."
Jasana menunduk penuh hormat.
"Dengan segenap hidup dan kehormatanku."
Niraswari Dra'vetha, ibunda Lutfayana, mendekap lembut putrinya dan Rinjana sekaligus. Matanya berkaca, namun senyum tidak pernah pudar.
"Dunia manusia akan asing dan dingin bagimu, Lutfayana. Tapi bersama mereka... kau tak akan sendiri. Dan kami... akan menantimu pulang bila waktunya tiba."
Rinjana memegang tangan Lutfayana.
"Kita akan memperkenalkan dunia kami, pelan-pelan... dengan cara yang indah."
Lutfayana tersenyum lembut, untuk pertama kalinya sejak kutukan Mahacandra terjadi.
"Aku tak tahu apa yang menunggu... tapi aku percaya. Pada kalian berdua."
Dua pelayan mengangkut koper berisi perlengkapan bangsawan, jubah tambahan, senjata cadangan, ramuan khusus untuk kehamilan, dan di antara koper milik Jasana terselip satu peti berat berisi Koin Emas Kalathraya dan Piala Kompetisi—Kunci Dimensi Kalathraya.
Kereta kencana Tribe Dra'vetha telah menunggu di bawah gapura darah, ditarik oleh dua makhluk Jin-Bajak Laut bertanduk tiga, mata mereka berkilat merah lembut. Pintu kereta dibuka, kain tirai beludru tergulung.
Sebelum masuk, Lutfayana menoleh.
"Ayah... Ibu... terima kasih karena tidak mengikatku... tapi justru melepas untuk terbang."
Adikara dan Niraswari hanya menjawab dengan anggukan pelan dan pandangan yang dalam.
"Kalathraya akan selalu menjadi rumahmu... dan kalian semua."
Lutfayana melangkah masuk bersama Jasana dan Rinjana. Velyra dan Morzhan menyusul, menutup pintu kereta. Kereta pun mulai bergerak perlahan di jalur batu darah menuju arah utara, ke Kuil Kalathraya, tempat gerbang antar dimensi berada.
Kabut kembali menyelimuti jalur saat roda berlapis obsidian menggulung tanah Kalathraya. Dari kejauhan, denting lonceng perpisahan berdentang... seolah memberi salam untuk mereka yang akan menyeberangi dunia.
Gerbang Dimensi dan Awal Baru
Latar: Alam Jin Kalathraya, Kota Kalathraya, Kuil Kalathraya
Waktu: Pagi Hari, mentari dunia jin mulai bergeser ke tenggara langit ungu
Kabut halus yang berasal dari tetumbuhan suci di pelataran Kuil Kalathraya mengambang pelan, diselimuti cahaya keemasan dari pilar sihir yang terus memancar dari dinding kuil tua. Bangunan itu menjulang megah dengan ukiran naga dan akar, puncaknya menyentuh langit yang berpendar magenta muda—ciri khas langit pagi di dunia jin.
Kereta kencana bangsawan Tribe Dra’vetha berhenti perlahan di depan pelataran. Pintu terbuka, dan keluarlah Jasana, Nyai Lutfayana, dan Rinjana, diikuti oleh dua pelayan pribadi: Velyra dan Morzhan, yang langsung memikul koper dan peti persembahan tanpa suara.
Para penjaga kuil berjubah putih bergaris emas segera menghampiri dan menunduk sopan. Salah satu dari mereka berkata dengan suara dalam dan sopan:
“Selamat datang, Tuan Jasana Mandira dan para permaisuri. Atas perintah langsung Maharaja Svalambara Yudhapraya, kami telah mempersiapkan ritual pemanggilan gerbang antar-dimensi. Silakan ikuti kami.”
Dengan langkah tenang, rombongan kecil itu berjalan melewati koridor besar kuil, diapit oleh patung-patung raksasa bertanduk, yang tampak hidup saat mereka dilewati. Di dalam ruangan utama kuil, dinding batu berukir aksara Kalathraya Kuno bersinar lembut.
Di ujung ruangan, terdapat sebuah relief dinding bundar berisi lubang khusus di tengahnya, yang berpendar menanti. Jasana, tanpa ragu, membuka koper kecilnya, mengeluarkan artefak perak keemasan seukuran lengan, lalu dengan hormat menyelipkannya ke dalam lubang itu.
Begitu artefak menyatu, seluruh dinding bergetar ringan—aksara kuno menyala satu per satu, hingga akhirnya... sebuah portal besar berbentuk lingkaran terbuka perlahan. Di dalamnya tampak pusaran energi berwarna biru keemasan.
Penjaga kuil menunduk dan berkata,
“Gerbang telah dibuka. Silakan ambil kembali kunci dimensi. Anda kini menjadi Penjaga resmi dimensi, Tuan Jasana.”
Jasana mengangguk, menarik kembali artefak dan menyimpannya kembali ke koper di tangan Velyra.
Di atas pusaran portal, muncullah untaian aksara sihir:
“Pilih Tujuan: Alam Dunia”
Jasana melangkah maju, menyentuh aksara itu. Dengan tenang ia bersuara:
“Kerajaan Mandalagiri. Barat Daya. Pulau Nelayan dekat Kota Pelabuhan Adiyaksa.”
Sekejap kemudian, tulisan berubah:
“Dimensi Tertaut: Kuil Laut Selatan Mandalagiri, Pulau Nelayan Adiyaksa.”
Rinjana menggenggam lengan Jasana, sedang Nyai Lutfayana menatap portal tanpa ekspresi namun mata merahnya bergetar samar, menandai detik-detik penting dalam takdirnya. Velyra dan Morzhan mengikuti dari belakang, membawa koper dan peti artefak.
Jasana menoleh sebentar ke para penjaga kuil, lalu membungkuk kecil:
“Terima kasih atas bimbingannya. Doakan langkah kami.”
Seorang penjaga menjawab pelan:
“Semoga Sang Pengikat Langit melindungi kalian, dan Kalathraya akan selalu membuka gerbang bagi kalian yang berdarah pilihan.”
Dan tanpa banyak kata lagi, Jasana melangkah ke dalam pusaran cahaya. Rinjana mengikutinya, lalu Lutfayana melangkah dengan anggun namun tegas. Di belakang, dua pelayan vampir menyusul membawa masa depan dalam koper dan peti suci.
Scene ditutup dengan Portal yang berputar pelan, lalu menghilang dalam cahaya... meninggalkan pelataran kuil yang kembali hening, hanya suara angin pagi dunia jin yang terdengar.
Kedatangan di Pulau Nelayan Adiyaksa
Latar: Alam Manusia, Pulau Nelayan Adiyaksa
Malam hari di tepi Kuil Laut Selatan yang sunyi dan mulai tertutup semak. Cahaya rembulan memantul di permukaan laut. Ombak tenang menyentuh bebatuan pantai.
Portal bercahaya di tengah ruang utama Kuil menyala terang, kemudian meredup setelah lima sosok muncul darinya.
Jasana melangkah pertama, menghela napas panjang dan mengangkat wajah ke arah langit malam.
“Udara ini... ini udara dunia kita. Dunia manusia...” ucapnya lirih.
Rinjana mengikuti, tangannya menyentuh perutnya dengan lembut. Ia tersenyum kecil. “Aku tak menyangka akan merasa senyaman ini di sini. Bahkan bayiku pun seperti bergerak... mungkin dia mengenali tempat ayahnya berasal.”
Di belakang mereka, Nyai Luthfayana melangkah perlahan. Mata merah darahnya menyipit menatap hamparan langit berbintang.
“Ini... aneh sekali,” ucapnya datar. “Udara ini terasa... ringan. Tidak seperti atmosfer Kalathraya. Dan... bau laut ini begitu asin.”
Ia menunduk, memungut kerikil dan memperhatikannya. “Tanah kasar. Tidak ada resonansi sihir.”
Velyra dan Morzhan muncul terakhir dari portal, masing-masing membawa koper dan peti kayu yang besar.
“Tanah stabil. Tidak ada aura gangguan lintas dimensi,” lapor Morzhan singkat, suaranya berat.
Velyra melirik sekeliling dan mendekati Rinjana. “Tempat ini jauh dari keramaian. Baik untuk pemulihan dan perkembangan janin. Namun perlu perlindungan magis tambahan.”
Jasana menatap bangunan tua di belakang mereka—Kuil Laut Selatan. Dindingnya ditumbuhi lumut, sebagian atap telah runtuh, dan patung-patung penjaga laut tampak aus.
“Tempat ini ditinggalkan, tapi terletak di posisi yang sempurna,” ujarnya sambil melangkah ke anak tangga kuil. “Kuil tua ini berada di simpul energi bumi yang tenang... Aku bisa merasakannya.”
Rinjana ikut menatap kuil dengan kagum. “Kita akan tinggal di sini?”
Jasana mengangguk. “Ya. Aku berencana membeli pulau ini. Termasuk tanah dan reruntuhan kuil. Kita akan membangunnya menjadi rumah besar, layaknya kediaman bangsawan Tribe Dra’vetha. Tapi... bukan hanya itu.”
Ia mengeluarkan Artefak Kunci Dimensi Kalathraya dari kopernya dan memperlihatkannya pada Luthfayana.
“Aku ingin kuil ini menjadi jembatan. Sebuah penghubung resmi antara Alam Jin dan Alam Manusia. Bukan sekadar portal... tapi gerbang diplomatik, tempat yang sakral.”
Luthfayana memutar tubuhnya, memandang kuil lusuh itu sekali lagi, lalu memandang Jasana.
“Visi yang besar... dari seorang manusia.”
Ia tersenyum samar. “Tapi aku suka. Ini akan menjadi markas kita... dan lambang pertama kehormatan Dra’vetha di dunia ini. Aku akan tinggal dan membantu.”
Velyra menunduk hormat. “Kami siap mengurus tempat ini. Saya akan memulai perlindungan magis dasar malam ini juga.”
“Dan saya akan menjaga perimeter. Pastikan tidak ada yang mencium keberadaan kita terlalu cepat,” timpal Morzhan.
Rinjana tersenyum, memegang lengan Jasana. “Rasanya seperti awal kehidupan baru, bukan?”
Jasana menatap pelabuhan Adiyaksa yang tampak dari kejauhan, kelip-kelip lampu kapal dan rumah penduduk menyala di seberang lautan.
“Ya,” ucapnya lirih. “Masa depan dimulai di sini.”
Ia berdiri di tangga paling atas kuil, siluet tubuhnya membingkai cahaya bulan, sementara angin laut meniup rambut hitamnya yang diikat.
“Kita akan membangun tempat ini. Dan suatu saat... dunia akan tahu siapa kita.”
Kamera menyorot bayangan kuil tua yang perlahan diterangi cahaya sihir perlindungan yang mulai ditanamkan Velyra. Angin laut menderu pelan. Suara ombak memeluk pantai.
MARKAS GUILD BAYU GENI, KOTA TIRABWANA
WAKTU: PAGI HARI
SUASANA: TURNAMEN GUILD BAYU GENI DIMULAI
Lapangan terbuka di dalam Markas Guild Bayu Geni. Langit cerah. Bangku penonton kanan-kiri penuh sesak oleh para anggota Guild dan warga kota tirabwana, para Kapten Divisi duduk di tribun kehormatan. Bendera masing-masing divisi berkibar.
Pemimpin Guild Bayu Geni, RAKSADANA, berdiri di podium. Ia mengenakan jubah perang tua berwarna merah tembaga, dengan sabuk emas lambang Guild. Suaranya menggelegar namun bersahaja.
RAKSADANA:
Wahai para pendekar Bayu Geni, para prajurit masa depan, dan pemilik bara semangat yang tak padam…
Hari ini kita memulai Turnamen Bayu Geni, bukan sekadar ajang kekuatan, tetapi panggung untuk jiwa kalian bersinar. Kalian bukan hanya mengayunkan senjata, tapi mengukir jejak sejarah Guild yang telah kita bangun bersama.
Aku, Raksadana, yang dahulu berdiri di medan perang Mandalagiri, kini berdiri di sini sebagai saksi atas semangat kalian yang menyala!
(Sorak sorai menggema. Kapten-kapten memberi hormat. Darsa, Nandika, Kirta, dan anggota lain tampak menyimak dari tribun Divisi masing-masing.)
RAKSADANA (melanjutkan):
Turnamen ini adalah arena. Tapi juga cermin. Lihatlah dirimu di mata lawanmu, dan tanyakan: seberapa jauh tekadmu bisa membawa langkahmu?
Selamat bertarung! Dan ingat—dalam Bayu Geni, keberanian lebih berharga dari kemenangan.
Sorak-sorai semakin membahana. Raksadana mundur, dan kini naik ke panggung KOMENTATOR, pria paruh baya yang ceria dengan rambut setengah botak dan suara nyaring.
KOMENTATOR:
Wow wow wow! Sambutan luar biasa dari Sang Pemimpin kita! Dan langsung saja! Pertandingan Pembuka kita hari ini adalah pertarungan dua pendekar dari dua divisi berbeda!
(Penonton bersorak)
KOMENTATOR (melanjutkan):
Dari Divisi Panggrahita Aji: sang petarung tangan kosong bertubuh tambun tapi penuh kekuatan—BAGAS PRAYOGA si 'Tapak Maruta'!!
(Bagas melangkah masuk, mengepalkan sarung tangan besinya yang berdenyut merah. Ia mengangkat tangan ke penonton dengan senyum malu-malu tapi mantap.)
Dan lawannya… dari Divisi Mandhala Dhana, pendekar gada perak—senior yang tak pernah absen di medan logistik dan pertarungan—ARSAD MAHENDRA!!!
(Arsad melangkah mantap, mengangkat gada peraknya ke atas dengan tatapan penuh percaya diri. Ia membungkuk hormat ke arah Bagas.)
KOMENTATOR:
Dan... SEGERA dimulai! Pertandingan Pertama!!
[Suara lonceng berbunyi]
[Pertarungan dimulai]
(Gema sorak penonton, debu-debu beterbangan saat kaki mereka menyentuh tanah.)
Bagas langsung melompat ke depan, menghantamkan pukulan kuat ke dada Arsad, namun Arsad menahan dengan gada peraknya, terdorong beberapa langkah ke belakang.)
ARSAD (senyum kecut):
“Kau kuat… seperti banteng lapar.”
BAGAS (menarik napas, lalu tersenyum):
“Dan kau keras… seperti batok kelapa. Tapi lihat ini!”
(Bagas menghentakkan kakinya, tanah sedikit bergetar. Aura merah menyala dari sarung tangannya. Tapak Maruta bangkit samar di belakangnya, sosok banteng api besar mengepulkan asap.)
KOMENTATOR:
Ohh!! Tapak Maruta mulai bangkit! Ini bukan hanya otot, tapi kekuatan batin!
(Bagas melompat tinggi, menghantam ke bawah dengan tinju berapi! Arsad memutar gada, membuat gelombang tekanan udara yang membuyarkan sebagian energi pukulan!)
ARSAD (terengah):
“Aku belum kalah, Nak Bagas! Mandhala Dhana bukan hanya tahu dagang, kami juga tahu caranya menghantam keras!”
(Arsad menyerang balik, memutar gada peraknya dan menghantam bahu Bagas—bagas terpental beberapa langkah, tapi berdiri lagi dengan kaki gemetar.)
BAGAS (tersenyum, darah mengalir dari pelipis):
“Aku harus menang... demi semua yang percaya padaku.”
(Dengan teriakan keras, Bagas mengaktifkan kekuatan penuhnya. Sosok Tapak Maruta menyatu dengannya. Tinju terakhir—“Pukulan Banteng Membahana”—mengenai dada Arsad, membuatnya terhempas sampai ke ujung arena.)
[Suara gong berbunyi]
[Kerumunan bersorak. Arsad terbaring, tersenyum dan mengangkat jempol ke arah Bagas.]
KOMENTATOR (teriak):
BAGAS PRAYOGA MEMENANGKAN PERTANDINGAN PEMBUKA!!
Sungguh pertarungan yang mengguncang jiwa! Dan ini baru awal, para penonton sekalian!
[Kamera bergerak perlahan ke tribun para Kapten. Kapten Kirana dari Divisi Panggrahita Aji tersenyum puas, Kapten Doyantra Puspaloka dari Mandhala Dhana mengangguk hormat melihat semangat adu kekuatan tanpa dendam.]
RAKSADANA (berbisik pelan ke dirinya sendiri):
“Begini seharusnya para pewaris Bayu Geni bertarung… dengan jiwa, bukan sekadar otot.”
TURNAMEN BAYU GENI – BABAK 32 BESAR – DUEL KE-5
Sorotan matahari memantul di atas gelanggang duel berbatu yang telah menghangat. Sorak-sorai mengiringi suara gemuruh lonceng kecil yang menandakan dimulainya duel berikutnya.
Komentator (suara membahana, penuh semangat):
"Saudara-saudara sekalian! Kita tiba di Duel ke-5 dalam Babak 32 Besar Turnamen Bayu Geni!"
"Kali ini, dari Divisi Bayang-bayang Geni! Sang pendekar muda, penuh akal dan kecerdikan, sang pemilik khodam misterius: DARSA NAGAWIKRAMA!!!"
(Sorakan membahana dari sisi timur, beberapa anggota Bayang-bayang Geni berdiri dan bersiul keras)
"Dan lawannya! Seorang senior tangguh dari Divisi Rasa Prawira! Ahli sihir angin dari dataran tinggi Gunung Purwa, penyatu mantra dan taktik, sang penyihir bertudung: RAKANDA SRIWALA!!!"
(Sorakan dari sisi barat terdengar lebih tenang, tapi penuh wibawa. Beberapa penyihir berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat.)
(Darsa melangkah ringan, matanya tenang, pedang pendek "Sahya" tergantung di pinggang. Di balik jubahnya, khodam Aswangga bersembunyi, hanya terlihat bayangan keunguan melingkar di punggungnya.)
(Rakanda berdiri tenang di seberang, tongkat sihirnya bergetar halus, tudung hitam menutupi setengah wajah dinginnya.)
Komentator:
"Duel… DIMULAI!"
(Gema lonceng terdengar. Seketika itu juga, angin menderu dari arah Rakanda. Ia mengangkat tongkat, dan mantranya melesat cepat seperti bilah angin memotong udara!)
Rakanda (dingin):
"Bayu Candhala!"
(Empat bilah angin menghantam ke arah Darsa. Darsa mengayunkan pedang pendeknya ke samping — tiga dari bilah itu terpental, satu menorehkan goresan di lengan kirinya.)
Darsa (menyeringai kecil):
"Cepat, tapi belum cukup licin."
(Ia melompat ke depan, memutar, dan melempar dua senjata lempar kecil dari balik lengan baju. Rakanda mengangkat tongkatnya — membentuk pusaran angin sebagai tameng.)
(Debu beterbangan. Darsa muncul dari samping, sudah dekat! Serangannya cepat dan bertubi-tubi, hanya menggunakan teknik-teknik menengah, namun dalam tekanan yang konstan dan perhitungan yang tajam.)
Rakanda (mundur, napas mulai berat):
"Kau… tak seperti junior biasa."
Darsa (pedangnya bersinar samar keunguan):
"Aku tak pernah merasa perlu pamer kekuatan penuh. Yang penting… menang."
(Aura keunguan dari Aswangga mulai berkilat samar di bawah kaki Darsa. Gerakannya melesat — dua bayangan tertinggal! Ia melompat rendah, memutar di tanah, menghindari pusaran angin Rakanda, lalu memukul balik dengan tebasan diagonal dari bawah ke atas!)
(Rakanda terpental. Tubuhnya menghantam dinding pelindung gelanggang, tongkatnya terlepas, dan ia jatuh — pingsan, tak sadarkan diri.)
Komentator (dengan suara memuncak):
"RAKANDA TIDAK SADARKAN DIRI! DENGAN DEMIKIAN—DUEL KE-5 DIMENANGKAN OLEH DARSA NAGAWIKRAMA DARI BAYANG-BAYANG GENI!!!"
(Sorakan riuh dari berbagai penjuru lapangan. Beberapa penonton berdiri, bertepuk tangan keras. Di sisi kiri, Pratiwi menyelinap mendekati tepian panggung. Ia tersenyum lebar, rambutnya yang dikepang anggun melambai pelan terkena angin.)
Pratiwi (menunggu hingga Darsa turun, lalu mendekat sambil tersenyum):
"Kau luar biasa, Darsa. Gerakanmu tadi… membuat semua orang terdiam."
Darsa (sedikit menyeringai, menyeka keringat):
"Aku hanya melakukan apa yang perlu. Tapi… senang kau menontonnya."
(Mereka bertukar pandang sesaat. Mata Darsa terlihat lebih lembut. Di bahunya, bayangan Aswangga mengecil lalu menghilang seperti asap.)
Komentator (dari jauh):
"Kami akan mengambil jeda singkat sebelum Duel ke-6! Para penonton, jangan ke mana-mana!"
(Lensa kristal siar melayang perlahan, menangkap senyum Pratiwi dan Darsa di pinggir arena, sementara langit Tirabwana mulai menampakkan semburat emas senja.)
NEGOISASI DI KANTOR BUPATI KOTA PELABUHAN ADIYAKSA
Latar: Siang Hari, Distrik Pusat Kota Pelabuhan Adiyaksa, Kerajaan Mandalagiri – Wilayah Barat Daya.
Bangunan kantor bupati berdiri megah di tengah hiruk-pikuk pasar pelabuhan. Arsitekturnya perpaduan antara kayu jati lokal dan batuan laut, dengan ukiran khas Mandalagiri menghiasi tiang-tiang dan pintu gerbang. Lantai ubin mengilap memantulkan cahaya matahari yang masuk dari jendela besar. Bendera kerajaan berkibar lambat tertiup angin laut.
Bupati: Reksadipa Samaranegara, pria paruh baya dengan perut membuncit, mengenakan jubah hijau kebesaran berlapis emas. Wajahnya ramah tapi licik, senang dengan aroma keuntungan dan prestise.
Reksadipa Samaranegara
(dengan tawa rendah saat menyambut Jasana dan kedua istrinya)
"Ah! Bangsawan dari luar negeri. Ini kehormatan besar bagi kota Adiyaksa. Kami memang terbiasa menerima tamu dari seberang lautan, pelabuhan ini jantung dagang Mandalagiri."
Jasana
(anggun, penuh wibawa)
"Aku dan istri-istriku datang sebagai perwakilan dari Tribe Dra'vetha, sebuah keluarga bangsawan dari negeri salju di utara. Kami tertarik memiliki properti di wilayah pesisir, terutama pulau nelayan yang... sepertinya sudah lama terbengkalai."
Reksadipa
(mata menyipit penuh ketertarikan)
"Pulau itu memang sudah lama tidak terurus. Tapi... untuk pasangan bangsawan seperti kalian? Tentu bisa dipertimbangkan."
(melihat ke arah Lutfayana, kagum)
"Istri Anda… Luar biasa anggun. Putih seperti salju. Saya jadi paham, Anda pasti berasal dari ras bangsawan kulit terang. Kemuliaan terpancar dari wajah kalian."
Lutfayana
(senyum lembut, namun menatap tajam)
"Kami tidak mencari tanah kosong. Kami ingin membangun peradaban kecil. Membawa peradaban kami ke tanah ini, dan tentu akan menjadi keuntungan bagi Mandalagiri."
Reksadipa
(semakin semangat)
"Apalagi bila tempat itu akan dihuni dan dimakmurkan. Kerajaan tentu akan mendukung pemanfaatan wilayah terlantar... Terlebih jika ada pemasukan dari pajak dan perdagangan nantinya."
(mengangguk cepat)
"Baik! Saya akan buatkan surat resmi. Tanah itu milik negara, tapi akan kami limpahkan pada keluarga Dra'vetha sebagai pemegang kuasa pemanfaatan abadi, dengan catatan investasi Anda terdaftar."
BEKAS PULAU NELAYAN - GAMBARAN CEPAT
Tampak pulau kecil tak jauh dari daratan, hanya butuh satu jam dengan perahu. Reruntuhan pondok kayu, pantai berbatu dan pepohonan lebat. Ideal untuk disulap jadi markas, kediaman, atau benteng rahasia.
KEMBALI KE RUANGAN NEGOISASI
Jasana
"Aku juga meminta dukungan tenaga kerja. Kami akan membayar mereka dengan pantas. Kami tak berniat merampas. Kami ingin mencipta."
Reksadipa
(mengetuk meja, bangkit berdiri)
"Tentu, tentu. Saya akan pilihkan putra-putra terbaik dari Adiyaksa. Beberapa tukang dan pengawas pelabuhan juga bisa dikerahkan. Semuanya akan saya urus."
Lutfayana
(menyodorkan dokumen bergaya khas luar negeri, beraksara Dra’vetha)
"Ini tanda pengakuan dari bangsawan darah merah ketujuh. Kami siap menandatangani kesepakatan sesuai hukum Mandalagiri."
Reksadipa
(menerima dokumen dengan penuh hormat, kemudian melihat koin yang diletakkan Jasana di meja)
SUARA KOIN BERGEMERINCING
Timbunan koin emas dan perak memenuhi satu kotak kayu kecil.
Reksadipa
(mata melebar, senyum makin lebar)
"Astaga...! Ini... Ini jumlah yang bisa membangun tiga dermaga!"
(dengan penuh semangat)
"Atas nama Kerajaan Mandalagiri dan Kota Adiyaksa... Aku nyatakan, kesepakatan ini resmi!"
NARASI PENUTUP SCENE
Di luar, matahari siang menyinari pelabuhan. Kapal-kapal dagang melintas pelan, dan burung camar beterbangan. Kesepakatan itu menjadi permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sebuah pulau kosong... akan segera hidup kembali di bawah kendali Tribe Dra'vetha.
ISTANA TIRABWANA, KERAJAAN MANDALAGIRI
Latar: Siang hari, Istana Tirabwana – Ruang Khusus Pangeran Mahkota.
Cahaya matahari menyusup lembut lewat jendela tinggi berkelir emas. Di dalam ruangan, lukisan raja-raja terdahulu berjajar megah. Sebuah meja besar dari batu giok putih menjadi pusat ruangan, di mana Pangeran Mahkota Maheswara duduk, mengenakan pakaian khusus dengan lambang kerajaan tersulam emas di dadanya. Di hadapannya berdiri Pradipa Karna, tegap dengan mantel hijau gelap Divisi Raka Lelana menjuntai gagah.
Pradipa Karna
(dengan nada hormat dan sedikit menahan emosi)
“Yang Mulia Pangeran Mahkota… Saya mohon izin melaporkan kondisi internal Guild Bayu Geni. Sejak aturan-aturan yang Paduka tetapkan dahulu, yang saya yakini sebagai fondasi emas, telah dicabut seluruhnya oleh Kapten Raksadana.”
Maheswara
(dahi berkerut, suara dalam dan tegas)
“Dicabut… seluruhnya?”
Pradipa Karna
(mengangguk)
“Ya, Paduka. Tidak ada lagi pembatasan jam malam. Para anggota bebas keluar-masuk Tirabwana tanpa laporan. Misi pribadi tidak lagi dikenai sanksi, dan kewajiban mengambil misi minimum pun dihapus. Mereka mulai hidup seenaknya, seperti guild kampung.”
Maheswara
(bangkit dari duduknya, langkahnya berat dan mantap menuju jendela, memandang keluar ke taman istana)
“Bukan itu yang kubayangkan untuk Bayu Geni… Aku menciptakan aturan itu agar guild ini menjadi institusi elit, bukan sekadar perkumpulan petarung. Aku ingin Bayu Geni dihormati bangsawan, menjadi pilar masa depan… Kendaraan politik yang kuat.”
Pradipa Karna
(mendekat satu langkah, nada lebih tajam)
“Dan kini, semua fondasi itu dikoyak hanya demi kenyamanan dan ‘kebebasan’ yang tidak terarah. Mohon maaf Paduka… Tapi saya tidak bisa diam melihat kemunduran ini. Saya mendukung penuh visi Paduka.”
Maheswara
(berbalik, matanya menyala)
“Raksadana… Aku menghormatinya, tentu. Dia guruku. Tapi aku tidak buta—dia masih terikat pada cara lama. Pada sistem tentara dan kehormatan yang usang. Sedangkan aku membangun untuk masa depan… untuk kejayaan Mandalagiri yang baru.”
(hening sejenak, lalu Maheswara melangkah kembali ke kursinya dan duduk dengan wibawa)
Maheswara
“Terima kasih atas keberanianmu, Pradipa Karna. Tanpamu, aku tidak akan tahu lebih cepat. Aku akan segera bertindak. Raksadana mungkin telah membangun tubuh Guild ini… Tapi aku akan membentuk jiwanya.”
Pradipa Karna
(tersenyum penuh arti, membungkuk hormat)
“Saya hidup untuk perintah Paduka. Dan saya yakin, dalam tangan Paduka, Bayu Geni akan menjadi legenda sejati.”
Camera angle menyorot wajah Maheswara yang tegas dan mata Pradipa Karna yang berkilat penuh ambisi. Angin mengayun pelan tirai tipis jendela istana, seolah menandai awal badai yang akan datang dalam tubuh Guild Bayu Geni.
PEMBANGUNAN DI PULAU NELAYAN
Beberapa hari kemudian.....
Langit pagi menggantung pucat, menyambut suara-suara awal dari para tukang yang mulai berdatangan ke pulau kecil yang dahulu tak berpenghuni, kini sah menjadi milik tiga bangsawan agung dari "Kerajaan Salju"—nama yang kini disematkan penuh kharisma dan tipu daya oleh Jasana, Rinjana, dan Lutfayana sebagai samaran keberadaan mereka yang sesungguhnya.
Di tepi dermaga, kapal-kapal pengangkut bahan bangunan bersandar. Para pekerja mulai membongkar batu, kayu, dan besi. Seorang pria tinggi dengan aura berwibawa melangkah keluar dari paviliun kayu sementara yang baru didirikan. Ia adalah Jasana Mandira, mengenakan pakaian formal bangsawan Tribe Dra'vetha—jubah panjang berwarna hitam-merah beludru, beraksen perak dan bordiran simbol darah beku berbentuk segitiga. Rambutnya panjang, hitam mengilat, terikat rapi ke belakang. Di pinggangnya tergantung pedang merah "Lungguh Darma", yang kini tampak berdenyut samar seakan bernapas.
Mandor utama, seorang pria tua berkulit sawo matang dan mengenakan penutup kepala dari kain, mendekat penuh hormat.
Mandor: “Tuanku Bangsawan, pekerja dan bahan semua telah siap. Kami menanti perintah sesuai rancangan yang telah diserahkan oleh Nyonya Lutfayana.”
Jasana mengangguk pelan, lalu menyerahkan gulungan besar desain pembangunan kepada sang mandor. Ia berbicara dengan nada dalam, tegas namun tenang.
Jasana: “Mulailah dari sini, di atas reruntuhan kuil ini… Rumah utama akan dibangun. Ikuti desain ini dengan teliti. Ruang bawah tanah harus benar-benar tertutup, tak boleh ada pekerja yang menyadari bentuk aslinya. Aku ingin lorong rahasia dibangun dari ruang utama, menyatu dengan pondasi lama.”
Mandor mengangguk, tak banyak tanya, terbiasa dengan keanehan permintaan bangsawan. Ia berpaling pada para tukang dan mulai memberi perintah.
Sementara itu, di bagian tepi pantai, Lutfayana—berpenampilan mewah dan elegan dengan gaun bangsawan putih keperakan dan mata tajam penuh visi—berjalan bersama dua tukang batu dan arsitek lokal.
Lutfayana: “Resor akan berdiri di garis pasir ini. Jendela kaca besar menghadap laut. Kolam kecil di tengah. Ruangan utama dua lantai. Aku ingin tempat ini seperti kediaman musim panas para dewa.”
Tukang-tukang mencatat cepat, menyadari gaya wanita itu bukan gaya biasa. Sementara Rinjana sedang mengawasi lahan tambak dan perikanan di sisi utara pulau, menunjuk area rawa dangkal yang cocok untuk budidaya.
Tak lama, Jasana memanggil mandor kembali dan mengeluarkan kantong kulit besar berisi koin emas Kalathraya. Koin itu bercahaya lembut, warnanya bukan kuning biasa, melainkan berpendar seperti cahaya senja. Simbol-simbol asing dari dunia jin terukir rumit di permukaannya.
Mandor mengernyit namun tak berani bertanya, terlebih setelah melihat jumlah koin itu… lebih dari cukup untuk membangun satu desa besar sekalipun.
Mandor: “Tuan… ini—ini emas?”
Jasana: “Emas kerajaan dari utara jauh. Gunakan seperlunya. Sistem borongan. Upah dibayar sesuai hasil dan waktu. Tak usah bertanya asal-usulnya.”
Mandor menunduk dalam.
Mandor: “Akan kami laksanakan, Tuanku. Dari pagi sampai sore, tiap hari kecuali badai datang.”
Jasana mengangguk dan berbalik, menatap reruntuhan kuil tua yang akan tersembunyi di bawah rumah barunya. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya.
(Dalam hati)
“Biarlah dunia melihat ini sebagai rumah bangsawan. Tapi hanya aku yang tahu, ini adalah gerbang penjaga alam jin…”
Catatan Visual:
Para pekerja mulai menggali fondasi, beberapa bagian reruntuhan kuil ditutup dengan balok-balok batu.
Ruang bawah tanah mulai dibentuk sebagai lorong melingkar menuju altar utama kuil yang dibiarkan utuh, namun kini dilingkari tembok pelindung.
Di pantai, fondasi resor mulai disusun, tiang-tiang mulai berdiri.
Di belakang pulau, kolam-kolam tambak dan peternakan direncanakan, sementara kebun diratakan dari semak belukar.
PERTARUNGAN TERAKHIR BABAK 32 BESAR – GUILD BAYU GENI
KOMENTATOR (Suara Lantang dan Bersemangat)
"Para hadirin sekalian! Kini kita tiba di pertandingan terakhir dari babak 32 besar! Perwakilan Divisi Panggrahita Aji—BRAHMA ANGGACANDRA! Lawannya, senior tangguh dari Divisi Mandala Dhana—DEWASMA KARUNANTA!"
Penonton bersorak. Kedua petarung memasuki arena dari sisi berlawanan.
KOMENTATOR
"Duel dua senjata! Celurit melawan pedang! Tenaga dalam melawan kecepatan akrobatik! Sore ini, pertarungan akan menyala!"
(TANGAN JURI MENGANGKAT)
"Duel dimulai!"
ADEGAN DUEL DIMULAI
Brahma melangkah ringan seperti air, dua pedangnya sudah terangkat sejajar dada. Dewasma berputar ringan, celurit di tangannya meliuk seperti sepasang ular siap menyergap.
SUARA PEDANG BERSIUL
Clang! Cling! Ssssching!
Dewasma menebas rendah dari kanan dan kiri, celuritnya membentuk lingkaran mematikan. Brahma melompat ke belakang, lalu memutar di udara—dua pedangnya beradu dari atas ke bawah, menangkis celurit secara presisi.
Penonton Menahan Nafas.
Akrobatik Brahma seperti penari bayangan—melompat ke atas kepala lawan, lalu menghujam turun dengan sabetan menyilang.
Dewasma Berteriak
"HAAAGH!"
Tenaga dalamnya dilepaskan ke tanah, menciptakan gelombang kecil yang memaksa Brahma kehilangan pijakan. Tapi Brahma membalik di udara dan mendarat dengan ujung pedang.
LIMA MENIT BERLALU – KEDUANYA SUDAH LUKA-LUKA
Brahma terengah, pelipisnya berdarah. Dewasma menahan luka di bahu kiri, namun mata mereka tetap tajam.
Brahma (dalam hati)
Jika kubiarkan dia terus mainkan lingkaran celurit, aku takkan bisa masuk… Tapi jika kuserang dengan poros berat di tengah…
Brahma Melompat!
Ia mengarahkan satu pedang ke depan, yang satu berputar ke belakang, menciptakan pusaran yang menusuk ke tengah—gaya uniknya dari latihan gaya Panggrahita Aji.
Dewasma Terpukul Mundur!
Keseimbangannya goyah, salah satu celurit lepas dari genggaman. Ia mundur selangkah—dua langkah—hingga…
KOMENTATOR (Sambil Berdiri)
"Dewasma keluar dari batas arena!"
SUARA GONG DENTANG PANJANG
KOMENTATOR (Teriak Penuh Semangat)
"Dengan strategi akhir yang mencengangkan—BRAHMA ANGGACANDRA MENANG! Ia resmi lolos ke BABAK 16 BESAR!!"
Penonton bersorak, sebagian berdiri.
BRAHMA dan DEWASMA
Keduanya saling menunduk, penuh respek, luka-luka mereka tidak parah berkat perlindungan sihir yang disiapkan panitia. Sebuah pertarungan yang adil dan luar biasa.
KOMENTATOR (Menutup Pertandingan)
"Babak 32 besar resmi ditutup hari ini! Babak 16 besar akan digelar tiga hari dari sekarang! Persiapkan mental dan fisik kalian, karena tantangan sesungguhnya baru dimulai!"
NARASI PENUTUP
Di langit senja, bayangan kedua petarung perlahan menghilang di balik panggung peristirahatan. Kemenangan Brahma hari ini bukan hanya kemenangan fisik, tapi bukti bahwa taktik, teknik, dan semangat bisa membalikkan segalanya.