Bab 6 - Kemenangan yang Membuka Pintu Baru

Amarah Bayang-Bayang – Kejatuhan Watu Lingsir

Fajar menyibak pelan kabut tipis di atas pegunungan Mandalgraha. Namun pagi itu bukan pertanda damai bagi mereka yang mengenakan lambang ular berkepala dua merah—Bayawira.

Dari kejauhan, terlihat satu sosok menunggang kuda hitam bermata merah. Rambutnya terikat tinggi, jubah gelapnya mengepak seperti sayap gagak. Di dadanya tergantung liontin perak berbentuk mata trisula: simbol peringkat elite Bayawira—pangkat Arka Madya, sejajar dengan Taring Hitam.

Namanya: Arwana.

Seorang pendekar tanpa senyum, ahli pengurung jiwa dan pelacak bayangan, pemimpin Divisi Pengawasan dan Koreksi Intern Bayawira—sekaligus mata kanan Gerungga untuk kasus-kasus darurat.

Ia menatap reruntuhan markas Watu Lingsir dari atas bukit batu—matanya menyipit tajam.

“Asap kebodohan…” gumamnya pelan.

Di bawah sana, markas yang dulu berjaga kokoh itu kini hanya puing. Gerbang batu terbelah dua. Pilar-pilar berukir mantra pelindung telah retak, dan aura sihir gelap yang biasanya menyelubungi tempat itu kini sirna entah ke mana.

Pemeriksaan Reruntuhan

Arwana turun perlahan, diiringi dua orang bawahannya yang mengenakan kerudung merah gelap—pengintai khusus, pembaca jejak roh dan suara yang tertinggal di tempat kejadian.

Di depan ruang tahanan, tubuh-tubuh penjaga berserakan. Sebagian masih bernapas namun tak sadarkan diri, tubuh mereka terbakar aura dalam—tanda mereka diserang dari dalam pikirannya sendiri, bukan hanya secara fisik.

“Tiga belas… dua belas. Tidak ada yang mati,” ujar salah satu pengintai sambil meraba denyut nadi dan pupil mata para penjaga.

“Lebih menyakitkan dari mati,” balas Arwana dingin. “Mereka diserang dengan teknik tinggi… tapi bukan sihir biasa. Ini… strategi yang ditata dalam diam.”

Ia melangkah masuk ke ruang tahanan bawah. Tiga sel, masing-masing dengan kondisi berbeda.

1. Sel Atas:

Pintu hancur, engsel terlepas dari dinding. Beberapa bagian tembok berlubang. Ada bekas darah dan ceceran tanah basah di lantai.

2. Sel Bawah:

Jeruji terayun terbuka, bekas goresan panjang dan sabetan tumpul terlihat di dinding. Di lantai, ada selendang merah muda dan pecahan gelang kayu kecil. Arwana memungutnya, lalu menggenggamnya erat.

“Gadis-gadis itu dibawa pergi dengan paksa… tapi tanpa luka parah. Mereka… dilindungi.”

3. Sel Barat:

Bekas ledakan kecil menghantam sisi engsel. Serpihan logam tertanam di dinding, sisa senjata rahasia dilemparkan dari jarak dekat. Beberapa tali simpul dan rantai lepas berserakan. Tanda adanya pembebasan sistematis, bukan pemberontakan acak.

Ruang Komando – Puncak Kekalahan

Arwana berdiri di tengah ruang utama markas, tempat biasanya Gerungga duduk di kursi batu hitam. Tapi kini, atap runtuh menimpa sisi ruangan. Meja batu retak. Lentera pengintai pecah. Dan di tengah puing-puing, keempat belas Taring Hitam—pasukan elit pribadi Gerungga—terbaring nyaris tanpa nyawa.

Gerungga sendiri terlihat separuh tertimbun reruntuhan, dadanya naik-turun lemah, dahi berdarah, matanya masih tertutup.

Arwana menunduk dan menyentuh lantai, membaca sisa resonansi spiritual yang tertinggal.

Suara jiwa-jiwa yang terperangkap... berbisik pelan.

“Tertipu… terjebak…”

“Bayangan mereka bercabang… kami mengejar hantu…”

“Ada tiga jalan… tapi hanya satu yang nyata…”

Arwana membuka matanya.

“Ini bukan pembebasan paksa,” katanya dingin. “Ini pelarian terencana. Mereka membagi pasukan. Mengaburkan jejak. Menggunakan ilusi medan. Dan... mereka menghantam pusat kita.”

Salah satu pengintai bergumam: “Taktik seperti ini… bukan pekerjaan anak-anak desa biasa. Ini…”

Jagat mengangguk. “... pekerjaan kepala strategi.”

Reaksi Jagat Arwana

Ia menatap reruntuhan markas Watu Lingsir, lalu menoleh pada para bawahannya.

“Catat semuanya. Jangan ganggu para Taring Hitam. Biarkan mereka bangun dengan rasa malu,” katanya dingin.

“Dan siapkan pemetaan ulang wilayah. Pasang jaringan mata di tujuh jalur pelarian. Tapi jangan buru mereka… belum sekarang.”

Salah satu bawahannya bertanya, “Kenapa tidak, Tuan Arwana? Mereka sedang lemah.”

Arwana menoleh pelan, matanya setajam duri.

“Kita sudah bermain terlalu percaya diri. Sekarang, kita hadapi musuh yang bisa menyusup, menipu, dan menyusun siasat seperti arwah. Mereka tidak hanya menyelamatkan… mereka mempermalukan kita.”

Ia memutar cincin hitam di jarinya.

“Mulai hari ini... perburuan bukan lagi soal menangkap.”

“Tapi menebus aib.”

Watu Lingsir jatuh.

Para Taring Hitam kalah.

Briefing Internal Bayawira di Reruntuhan Watu Lingsir

Fajar menyingsing di atas reruntuhan markas Watu Lingsir. Asap tipis masih membumbung dari atap batu yang rubuh. Angin pagi membawa bau debu, darah, dan rerantakan kayu terbakar. Di tengah puing-puing dan tubuh para penjaga yang terbaring tanpa daya, suasana begitu senyap dan menegangkan.

Di antara tumpukan puing ruang komando, Arwana—seorang elite Bayawira berpakaian jubah kelam dengan armor ringan bersulam benang perak—berdiri tegap di depan meja darurat yang diatur seadanya. Ia dikelilingi lima prajurit kepercayaannya dan dua juru catat yang membacakan laporan-laporan insiden malam tadi. Tatapan matanya tajam namun menahan ketegangan. Di tangannya, dua gulungan intelijen yang baru saja disampaikan dari jalur cepat informan Bayawira.

“Watu Lingsir hancur. Seluruh tahanan Watu Lingsir kabur. Gerungga Balaratri dan keempat belas Taring Hitam-nya—semua tak sadarkan diri. Luka berat.”

Suara pembaca laporan itu terhenti sejenak.

Arwana menyela, datar namun dalam.

“Zadran. Siapa sebenarnya bocah ini?”

Salah satu juru catat mengangguk dan mulai membacakan:

“Nama: Zadran. Asal usul: Tidak tercatat dalam rekrutmen reguler. Diterima di Guild Bayu Geni dua minggu setelah seleksi awal bulan lalu. Lolos dengan nilai fisik tinggi namun tanpa latar belakang pertempuran besar sebelumnya. Diketahui berasal dari Pulau Nelayan yang Masuk kedalam Wilayah Administratif Kota Pelabuhan Adiyaksa, yang kini menjadi wilayah dagang Bangsawan Asing Dra’vetha. Ayahnya tercatat sebagai kepala distrik Perkebunan dan Peternakan di pulau tersebut.”

Arwana menyipitkan mata, lalu berujar pelan.

“Dra’vetha… bangsawan eksentrik yang tak pernah menunjukkan wajahnya di pertemuan Dewan Dagang Mandalagiri…”

Ia menarik napas. “Dan bocah dari tanah Nelayan ini mengalahkan Ranaksa, salah satu elit kita, dan lima ninja Inggrita sendirian?” Ia melirik dengan tajam.

Salah satu pengawal menjawab,

“Kami masih mengonfirmasi… Tapi bekas pertempuran dan tubuh-tubuh yang ditemukan… cocok dengan gaya pertarungan individu. Tidak ada jejak senjata lain.”

Arwana mengangguk perlahan, lalu membuka gulungan kedua.

“Dan ini… Jasana Mandira…”

Begitu nama itu disebut, ruangan seolah diselimuti kesunyian lebih dalam. Bahkan para penjaga yang sedang menata kembali bagian dinding reruntuhan melambatkan gerak mereka, seolah ikut mendengar.

“Dari catatan intel Bayawira Utara: Mengalahkan Inggrita Maranile bulan lalu di Bukit Gunung Silu. Wakil Kapten Bayawira Utara terkuat, kedua setelah Kapten Kandhara Mangkara. Pasukan elite Inggrita—dua elite Bayawira dan sepuluh ninja—ditawan seluruhnya oleh Mandalagiri. Inggrita berhasil kabur sendiri.”

Arwana terdiam.

“Kini—ia bersama kelompok kecil mengalahkan Gerungga Balaratri dan seluruh Taring Hitam…”

Salah satu pengawal bertanya pelan.

“Apakah mungkin ia menggunakan semacam Senjata Suci atau Artefak, Tuan Arwana?”

Arwana menggeleng perlahan.

“Kalau benar… Maka kekuatan itu belum mencapai puncaknya. Tapi potensinya… menakutkan.”

Ia menoleh ke arah reruntuhan dan mayat-mayat terluka yang baru saja diseret ke sisi halaman.

“Gerungga bukan lawan sembarangan. Meskipun ia Wakil Kapten Bayawira Baru tapi ia sangat kuat dan memiliki Khodam yang mengerikan. Namun Jasana bisa membuatnya terluka Parah dan Terkapar nyaris Kehilangan Nyawa.”

Hening beberapa detik.

“Ini buruk.”

Suaranya kini keras dan tegas. Para prajurit mengangkat wajah.

“Para Kapten sedang di wilayah mereka masing-masing. Kapten Jagatmarma di Giriwasesa, Kandhara Mangkara di Lembayung Dipa, dan Wighna Laksa bersama Lodra Wahana masih di Timur. Sementara Tuan Jagat Arunika berada jauh di Tenggara.”

Ia memandang langit yang mulai terang.

“Dan markas utama kita di Mandalgraha hanya menyisakan pasukan cadangan… Tak satupun dari mereka sebanding dengan Jasana Mandira.”

PRAJURIT UTAMA #2:

“Apakah kita mengirim perintah pemanggilan darurat, Tuan?”

Arwana menghela napas.

“Tidak ada gunanya memaksa semua kembali. Belum… Tidak sampai Tuan Arunika tiba kembali ke Gunung Mandalgraha. Aku akan mengatur Rapat Darurat jika dia sudah muncul kembali.”

Ia mengepalkan tangan, matanya menatap tajam ke arah reruntuhan pintu sel yang hancur lebur.

“Sementara itu, kita pelajari gerakan mereka. Mereka belum keluar dari wilayah utara. Semua titik jalur keluar harus dipantau. Kerahkan bayangan-bayangan dari Divisi Senyap. Kita tidak menyerang… Kita mengawasi. Menunggu.”

Ia berjalan pelan menuju reruntuhan ruang komando, tempat Gerungga masih dirawat oleh tabib bayangan. Matanya menatap penuh perhitungan.

“Jika Jasana Mandira adalah awal dari sesuatu yang lebih besar… maka kita tidak boleh menghadapinya tanpa rencana. Kita adalah Bayawira. Bukan anjing liar yang menyerang tanpa tahu kapan mundur.”

Ia berhenti, lalu menoleh pada para pemimpin regu.

“Tempat ini… Watu Lingsir… biarkan jadi peringatan.”

“Mulai hari ini, Jasana Mandira dan Zadran masuk dalam Daftar Hitam Prioritas Bayawira.”

“Kita tunggu sang matahari mendekatkan bayangannya—dan saat itu tiba, mereka tidak akan bisa bersembunyi lagi.”

Pelarian Kelompok Jasana dkk dari Watu Lingsir – Desa Baru, Arah Utara Lembah Nini Baya

Langit pagi menyambut dengan kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan cemara dan rerimbunan perdu di ujung Lembah Nini Baya. Suara burung hutan terdengar samar-samar, bercampur angin pagi yang lembap. Di balik semak-semak tepi jalan setapak, tampak iring-iringan kecil bergerak cepat namun hati-hati.

Kelompok kecil itu terdiri dari 4 pendekar anggota Guild Bayu Geni—Jasana Mandira, Bagas Prayoga, Nandika Sutasmi, dan Zadran—serta 15 penyintas yang baru saja mereka selamatkan dari penjara bawah tanah di Watu Lingsir.

Visual:

Gadis-gadis belia usia 16–18 tahun berjalan rapat dan saling menggandeng. Sebagian besar dari mereka mengenakan pakaian compang-camping, beberapa masih tampak trauma dan linglung, namun mulai menunjukkan semangat hidup saat melihat alam terbuka di hadapan mereka.

Lima laki-laki tampak berbeda:

Rana Tiradipa, anak bangsawan Tirabwana, meski kurus dan penuh luka, memiliki sorot mata tajam dan karisma pemimpin muda.

Pengawal pribadinya, seorang pria bertubuh kekar usia 30-an, tampak masih siaga meski cedera.

Seorang pengembara muda yang tak banyak bicara, membawa luka memar di wajah.

Dua orang regu pencari, berpakaian pelacak khas Tirabwana, salah satu dari mereka berjalan pincang.

Dialog dan Aksi

Nandika berlari kecil mendekati Jasana yang memimpin di depan. Tombaknya tersampir di punggung, dan aura angin dari khodam Sakalingga samar berputar di sekitarnya.

“Jasana, kita harus segera berlindung. Desa terdekat menurut peta ada sekitar setengah hari ke utara, melewati Sungai Kamaya.”

Jasana mengangguk. Tubuhnya tampak pulih sepenuhnya dari luka-luka semalam—berkat regenerasi cepat dari kekuatan misterius yang selama ini dia rahasiakan.

“Bagas, pastikan barisan tetap rapat. Jangan sampai ada yang tertinggal.”

Bagas, dengan sarung tangan Tapak Maruta yang berdenyut merah samar, berjalan di samping para gadis.

“Iya, tenang saja, aku jaga barisan belakang. Yang ini,” katanya sambil menunjuk dua gadis paling lemah, “aku gendong kalau perlu.”

Zadran berjalan di sisi kiri barisan. Wajahnya tetap datar dan sedikit lesu seperti biasa, namun matanya tajam memindai semak dan bukit kecil di sekeliling.

Pedangnya tergantung di pinggang kanan—pedang ramping keperakan dengan bentuk seperti gigi serigala. Ia bertangan kidal dan dikenal dengan gaya bertarung yang unik, tak banyak diketahui.

Diam-diam ia menoleh ke arah Jasana di depan.

"Dia kembali menjadi dirinya... Pemimpin sejati."

"Tapi tak seorang pun boleh tahu siapa dia sebenarnya..."

Dialog Rahasia - Tatapan Singkat

Zadran sempat berjalan berdampingan sebentar dengan Jasana. Keduanya tak saling bicara, hanya bertukar tatapan singkat.

Dalam sorot mata Zadran, ada rasa hormat dalam-dalam. Dalam tatapan Jasana, ada sedikit senyum tenang... namun tegas, mengisyaratkan satu hal:

“Tetap jaga rahasia kita.”

Deskripsi Fisik dan Kondisi

Jasana: Sudah pulih sepenuhnya, berjalan tegap. Kedua senjatanya tersarung rapi—Lungguh Darma dan Parangjati—terkunci di sisi kiri dan kanan tubuhnya.

Nandika: Wajah cantik dengan keringat yang mengalir di pelipis. Meski mengenakan pakaian tanpa lengan dan terkesan sederhana, aura biru dari Sakalingga membuatnya tampil memukau seperti pendekar agung.

Bagas: Meski berbadan tambun, pergerakannya gesit. Setiap suara ranting patah langsung ditanggapi olehnya. Sarung tangan Tapak Maruta-nya seperti punya nyawa, sesekali bergetar seakan merespons ketegangan sekitar.

Zadran: Berwajah tampan namun terlihat seperti pendiam dan tidak bersemangat. Tapi tatapan matanya selalu fokus. Ia seperti bayangan yang tak bisa ditebak. Dalam diamnya, menyimpan teknik pedang kelas tinggi dan pengalaman yang disembunyikan dari dunia.

Catatan Emosional dan Situasi

Kelompok ini sedang dalam fase pelarian, namun berhasil menyelamatkan para korban penting, termasuk anak bangsawan Tirabwana.

Mereka sadar bahwa Bayawira pasti akan memburu mereka lagi, terutama karena yang mereka hancurkan bukan hanya pasukan biasa, tapi elite Bayawira termasuk Gerungga Balaratri dan sebelumnya Inggrita Maranile.

Jasana mulai sadar, bahwa kemenangan mereka bisa jadi menimbulkan badai besar berikutnya.

Ia memandang langit, lalu bergumam pelan:

“Bayawira tak akan diam... Kita harus sembunyi untuk saat ini. Tapi cepat atau lambat, mereka akan datang.”

Kamera bergerak menjauh ke atas, menampilkan barisan penyintas yang mengikuti para pendekar di tengah hutan subur, menuju arah utara, ke sebuah desa terpencil yang belum mereka ketahui nasibnya.

Kabut semakin tebal…

Suara langkah kaki mereka memudar…

Dan dari kejauhan—di antara bayangan pepohonan—sesosok mata mengintai dari balik topeng hitam... seorang mata-mata Bayawira.

Senja di Desa Rasagiri

Langit sore memerah, garis cakrawala menembus pucuk pepohonan hutan lebat yang membentang dari kaki Gunung Mandalgraha. Debu jalan membumbung ringan saat langkah-langkah mereka perlahan mendekati desa kecil yang dikelilingi sawah dan lereng bukit teduh. Di gapura kayu sederhana yang dihiasi ukiran burung walet dan dedaunan, tulisan tua bertuliskan "Rasagiri" menyambut mereka.

Desa itu sunyi sejenak saat rombongan tiba — orang-orang yang terluka, lelah, dan berdebu. Namun mata para warga cepat menangkap dua sosok berpakaian khas: Jasana dan Zadran, dengan mantel hijau pekat beraksen emas dan lambang naga mengepak di dada kiri—simbol terhormat dari Divisi Raka Lelana, Guild Bayu Geni.

Seketika bisik-bisik lirih terdengar di antara para penduduk:

“Itu… mereka dari Bayu Geni...”

“Lihat mantel hijau itu… para penjelajah dari Raka Lelana…”

“Mereka penyelamat, pasti...”

Tanpa banyak tanya, para warga segera turun tangan. Beberapa perempuan tua mengulurkan kain dan makanan hangat, pemuda-pemuda desa membantu mengangkat para penyintas yang lemah, membawa mereka ke balai desa Rasagiri, bangunan sederhana dari kayu jati yang kokoh.

Pak Karto, kepala desa Rasagiri, lelaki tua bertubuh tegap dan berwajah bijak, menyambut mereka dengan tenang.

“Kalian telah melewati perjalanan yang berat. Balai ini tempat kalian beristirahat malam ini.”

Di dalam balai desa, Jasana duduk berhadapan dengan Pak Karto, menjelaskan semuanya. Ia berbicara perlahan namun tegas:

“Kami menyelamatkan 15 orang penyintas dari Penjara Watu Lingsir milik Bayawira. Mereka terdiri dari 10 gadis belia, 5 pria, termasuk seorang anak bangsawan Tirabwana — Rana Tiradipa — dan pengawalnya. Juga dua pemuda dari regu pencari yang justru ikut ditawan, serta satu pengembara muda yang tertangkap tanpa sengaja. Semua ini... adalah korban dari penculikan yang tak berperikemanusiaan.”

Pak Karto terdiam sejenak, matanya tajam memandang ke luar jendela.

“Bayawira… mereka memang sudah lama jadi bayangan buruk bagi Mandalagiri. Terima kasih, anak muda. Kau dan teman-temanmu telah melakukan hal besar.”

Ia segera menulis surat laporan lengkap, menyegelnya, lalu memanggil seorang pria muda kepercayaannya:

“Kawiswara, bawa ini ke Pos Patroli Selatan. Jelaskan situasinya dan minta bantuan kereta kuda untuk evakuasi para korban. Perjalanan bolak-balik butuh tiga hari. Tapi selama itu, aku jamin keselamatan mereka di desa ini.”

Kawiswara langsung berangkat, menunggang kuda ke arah barat daya menyusuri jalur hutan kecil.

Malam di Rasagiri

Malam tiba dengan tenang. Api unggun dinyalakan di halaman balai desa. Para penyintas mulai terlihat lebih hidup setelah diberi makan dan luka mereka dibalut. Rana Tiradipa, meskipun masih pucat, akhirnya bicara, duduk bersisian dengan pengawalnya yang selalu menjaga jarak tak jauh.

Nandika duduk dengan tombaknya di sisi, wajahnya tenang namun matanya awas. Ia bicara pelan pada Jasana.

“Kalau saja kita datang lebih lambat sehari… mungkin ke-10 Gadis-gadis Muda ini sudah Dijual Sebagai Budak Bangsawan…”

Zadran yang biasanya diam, kali ini ikut menyahut, suaranya pelan namun tajam:

“Mereka menyebutku boneka setengah gagal… tapi aku tahu… aku bisa membuat mereka takut.”

Bagas, yang saat ini sedang menyendokkan nasi rempah ke mangkuk besar, tertawa renyah.

“Setengah gagal? Lah, aku saja kalau bukan karna kamu nekat loncat ke batu runtuh itu, kita nggak bakal keluar dari lorong sungai itu! Hahaha!”

Beberapa gadis muda tertawa kecil melihat gaya bicara Bagas yang ceria meski tubuhnya besar dan wajahnya penuh debu. Namun dalam tawa itu, jelas terlihat rasa syukur yang mendalam. Mereka bebas.

Rencana Evakuasi dan Masa Depan Para Penyintas

Jasana kemudian menjelaskan pada Pak Karto dan para korban bahwa begitu kereta kuda tiba, mereka semua akan dibawa ke kota Tirabwana.

10 gadis dan pengembara muda 19 tahun akan diterima sementara oleh Markas Guild Bayu Geni, dan akan mendapat perlindungan langsung dari Pangeran Mahkota Maheswara atau Kapten Pradipa Karna.

Rana Tiradipa dan pengawalnya akan dipulangkan ke keluarga bangsawan Tiradipa di Distrik Barat.

Dua pemuda dari regu pencarian akan kembali ke markas mereka dan menyampaikan laporan lengkap kepada otoritas kota.

Pak Karto menepuk bahu Jasana.

“Teruskan perjuanganmu, anak muda. Dunia butuh lebih banyak orang seperti kalian.”

Penutup Malam Itu

Saat malam makin larut, Jasana berdiri di luar balai desa, memandang ke arah hutan gelap Mandalgraha. Angin malam membelai rambut panjangnya yang diikat rapi. Ia menggenggam gagang Parangjati, dan merasa kehadiran Ardhana berbisik lembut di dalam jiwanya.

“Tugas belum selesai... Tapi malam ini, jiwa-jiwa itu telah bebas.”

Zadran, berdiri tak jauh, hanya menyahut pelan, matanya menatap langit:

“Besok… kita akan melanjutkan lagi. Tapi malam ini… kita biarkan mereka tidur tanpa rantai.”

Hari Pertama di Desa Rasagiri

Mentari pagi di Desa Rasagiri baru saja mengusir sisa embun yang menggantung di dedaunan. Udara segar dari arah pegunungan Mandalgraha masih terasa dingin menusuk kulit, namun perlahan hangat dengan sinar keemasan yang menyentuh atap-atap rumah sederhana warga desa. Desa Rasagiri, salah satu pemukiman yang berdiri di kawasan utara Gunung Mandalgraha, kini menjadi tempat penampungan sementara bagi Jasana, Nandika, Bagas, Zadran, dan lima belas orang penyitas korban kekejaman Bayawira.

Balai desa yang sederhana namun bersih, kini disulap menjadi ruang pengungsian. Warga tampak tulus membantu: beberapa perempuan paruh baya menyajikan bubur hangat, teh rempah, dan pakaian bersih hasil jahitan tangan mereka. Anak-anak desa sesekali mengintip malu-malu ke arah para penyitas, menyadari bahwa mereka sedang menyaksikan orang-orang yang baru saja lolos dari kegelapan neraka.

Di sudut barat balai desa, di bawah naungan pohon beringin besar yang rimbun, Nandika Sutasmi duduk bersila di atas tikar pandan bersama sepuluh gadis belia korban penculikan. Tatapannya lembut, namun matanya tajam mengamati reaksi mereka satu per satu. Ia tak memberikan banyak ceramah—hanya membagikan kisah-kisah kecil dari masa latihannya yang keras, sesekali diselingi tawa ringan, lalu memberi mereka kebebasan melukiskan perasaannya di atas tanah menggunakan ranting.

Salah satu gadis—bernama Sari—perlahan membuka suara. Suaranya serak namun tetap tegas, “Aku… sudah disekap hampir empat bulan… di tempat itu. Gelap, sempit, dan hanya ada jeritan.”

Gadis-gadis lain mulai mengangguk. Ada yang baru dua bulan, ada pula yang tiga. Beberapa menangis. Nandika tak menghakimi. Ia mengajarkan mereka satu hal hari itu: menarik napas panjang, menanamkan keyakinan bahwa mereka bukan korban, tetapi penyintas. “Kalian tetap bisa memilih apa yang ingin kalian tanam setelah luka ini,” ucapnya pelan.

Sementara itu di pelataran depan balai desa, Jasana Mandira terlihat sedang melatih lima laki-laki muda penyitas lainnya. Mereka kini memegang pedang kayu buatan tangan Jasana—seadanya, dari potongan batang pohon keras yang ia temukan di sekitar desa. Suara derak benturan kayu mengisi udara, berpadu dengan arahan lantang namun sabar dari Jasana.

Rana Tiradipa, pemuda bangsawan Tirabwana, menunjukkan semangat yang menyala. Kakinya masih belum mantap, tapi tangannya sudah mulai memahami irama ayunan. “Aku tak ingin hanya bisa berlindung di balik nama keluargaku lagi,” ucap Rana pada Jasana.

Di sampingnya, pengembara muda berusia 19 tahun dan dua pemuda regu pencarian yang dulu justru ikut diculik, mengikuti latihan dengan keringat bercucuran, namun semangat menyala. Jasana mengangguk penuh penghargaan. “Kalian punya nyali. Sisanya tinggal waktu.”

Sedikit terpisah, pengawal pribadi Rana, seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun dengan sorot mata tenang dan sikap tenang namun waspada, sudah menunjukkan keahlian dasar berpedang yang kuat. Jasana memutuskan untuk mengajarinya teknik lanjutan: ayunan cepat melingkar dan tusukan balik khas pendekar Mandalagiri. Mereka berdua berlatih dalam diam yang penuh konsentrasi, saling memahami lewat gerakan, bukan kata-kata.

Di pinggiran halaman, Zadran duduk bersandar di pagar kayu, wajahnya teduh meski tetap terlihat muram. Beberapa anak muda desa tampak duduk mendekat, salah satunya bertanya, “Kau dari Guild Bayu Geni, ya? Keren mantelmu.”

Zadran hanya menoleh sebentar dan tersenyum tipis. “Biasa saja. Kadang lebih berat dari kelihatannya.” Tapi anak-anak itu tetap memandangnya dengan kagum, membayangkan dirinya sebagai pahlawan dari dongeng.

Bagas Prayoga, dengan wajah tambunnya yang bersahabat, sedang berdiri di dekat dapur umum desa, membantu seorang ibu tua mengangkat air dari sumur. Suaranya lantang menghidupkan suasana. “Ibu, air sumur di sini dinginnya mirip air dari pegunungan! Bagus buat menyadarkan kepala ngantuk!”

Orang-orang tertawa. Aura hangat Bagas seperti api unggun yang menenangkan, apalagi bagi mereka yang baru saja melewati dinginnya penjara Bayawira.

Sore perlahan mulai turun. Langit Rasagiri berubah keemasan, memantulkan ketenangan yang kontras dengan kisah-kisah kelam yang perlahan mulai mencair bersama tawa kecil, latihan ringan, dan sentuhan tangan warga yang penuh ketulusan.

Hari pertama mereka di Rasagiri bukan hari penuh kemenangan, tetapi hari pertama dari penyembuhan.

Hari Kedua di Desa Rasagiri

Matahari menggantung redup di atas langit Mandalagiri Selatan. Angin pagi membawa bau rumput basah dan kayu terbakar dari dapur-dapur warga.

Di ruang pengungsian balai desa, suara rintik hujan yang mulai turun perlahan menjadi musik latar dari keheningan. Nandika duduk di antara para gadis korban, kini membawa beberapa potongan kain sisa dan benang berwarna-warni yang ia dapat dari warga desa.

“Aku akan ajarkan cara membuat simpul pelindung,” katanya sambil tersenyum lembut. “Ini bukan mantra, bukan juga jimat. Tapi setiap simpul yang kalian ikat bisa kalian isi dengan harapan, atau keberanian.”

Gadis-gadis itu mulai tertarik. Jemari yang tadinya gemetar kini mulai bergerak. Dalam sunyi, mereka menciptakan simpul demi simpul. Sari, gadis yang kemarin berbicara pertama, membuat pola berbentuk seperti kupu-kupu.

“Aku ingin bisa terbang… kalau suatu hari nanti tempat itu datang lagi.”

Nandika hanya mengangguk. “Kalau pun tak bisa terbang, setidaknya kau bisa memilih arah terbangmu.”

Di pelataran desa, Jasana melanjutkan pelatihan pedang kayu. Tapi hari ini lebih banyak berbicara. Ia menyuruh mereka berdiri melingkar dan memegang pedang tanpa saling menyerang.

“Pedang bukan hanya alat menyerang,” katanya pelan. “Pedang adalah pilihan. Pilihan untuk melindungi, menolak, bertahan. Tapi kalian harus tahu: pilihan itu hanya ada kalau kalian tenang.”

Rana Tiradipa menyimak dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, ia bertanya, “Kau belajar dari mana semua ini?”

Jasana menjawab, “Dari kesunyian… dan dari seorang yang tidak pernah meninggalkanku, bahkan saat aku ingin menyerah.”

Pengawal Rana hari ini tidak ikut latihan. Ia duduk sendiri di dekat lumbung, membersihkan pedangnya yang sudah rusak dan tumpul. Zadran yang memperhatikannya dari jauh, menghampiri.

“Mau kutajamkan sedikit?”

Pengawal itu menggeleng. “Tak perlu. Biarkan tumpul. Itu lebih cocok untuk orang seperti saya.”

Zadran menatapnya beberapa saat. “Kau merasa bersalah, karena tak bisa melindungi tuanmu?”

Pengawal itu terdiam.

Zadran melanjutkan, “Kau bukan satu-satunya yang pernah gagal. Tapi kalau kau berhenti, maka kau hanya akan menjadi luka yang terus terbuka.”

Di dapur umum, Bagas sedang membuat sup akar langit dibantu oleh dua warga. Beberapa anak-anak kecil duduk di dekat tungku, tertawa setiap kali Bagas pura-pura membuat suara lucu saat memotong sayur.

Salah satu anak perempuan berbisik ke ibunya, “Kakak besar itu seperti raksasa baik dari dongeng.”

Bagas mendengarnya dan pura-pura berteriak, “Siapa bilang aku raksasa? Aku ini peri langit!”

Gelak tawa pun meledak. Tapi di balik canda itu, Bagas tahu: ketakutan mereka mulai mencair.

Menjelang malam, hujan masih turun. Balai desa terasa lebih hangat oleh lampu minyak dan suara ringan yang mulai terdengar. Seseorang memainkan seruling bambu. Gadis-gadis yang kemarin membisu kini duduk berdekatan, saling menyisir rambut satu sama lain. Laki-laki muda yang berlatih mulai berbagi kisah pribadi, dan salah satu dari mereka mengajak Rana berkeliling desa, menunjukkan tempat yang dulu digunakan warga untuk berlindung saat zaman perang.

Jasana duduk di bawah pohon beringin. Ia melihat sekeliling: bukan lagi reruntuhan hati yang hancur, melainkan tunas yang mulai tumbuh di atas tanah luka.

“Masih ada satu hari lagi sebelum pasukan datang,” gumamnya.

Dan ia tahu, dua hari itu akan sangat berarti.

Hari Ketiga di Desa Rasagiri

Awan tipis mengambang di langit biru. Udara pagi sejuk, menyimpan harapan dan semangat baru.

Di halaman belakang balai desa, suara tawa kembali terdengar. Sepuluh gadis belia, yang tiga hari lalu hanya bisa menunduk atau menangis dalam diam, kini sudah mulai membuka diri. Nandika duduk di antara mereka, sambil mengepang rambut salah satu gadis, diselingi tawa kecil dan candaan ringan.

“Ayo, siapa yang mau nyanyi lagi?” tanya Nandika.

Sari, yang sebelumnya paling pendiam, angkat tangan dengan malu-malu. Suaranya pelan saat mulai menyanyi lagu rakyat tua dari dataran Selampa, tentang gadis yang bersembunyi di hutan dan berteman dengan kijang perak.

Gadis-gadis lain ikut bersenandung, dan tak lama suasana menjadi ceria. Ada yang mulai membantu warga membawa air, ada pula yang membantu mengiris bahan makanan di dapur umum. Salah satu warga tua bahkan berujar, “Seperti punya cucu-cucu baru di rumah.”

Nandika memperhatikan dari kejauhan, senyumnya tenang. Ia tahu luka mereka belum sepenuhnya sembuh, tapi ia juga tahu: mereka mulai berani menatap matahari lagi.

Di pelataran latihan desa, Rana Tiradipa dan para penyintas laki-laki telah semakin sigap. Keringat menetes di dahi, tangan-tangan mereka kini lebih mantap menggenggam pedang kayu.

Pengembara muda, yang selama ini bicara seperlunya, kini menunjukkan jurus beladiri yang mulai halus. “Aku dulu belajar dari pamanku, tapi tak pernah serius,” ujarnya pada Jasana. “Tapi kini… aku tahu kenapa aku harus bisa.”

Jasana hanya mengangguk. Ia tak banyak bicara hari ini, hanya mengamati. Gerak mereka, semangat mereka, dan luka-luka batin yang mulai diselimuti keberanian.

Dua regu pencarian yang selamat juga sudah mampu bertarung bertahan, meski dengan teknik sederhana. Salah satu dari mereka berkata, “Mungkin kami bukan pendekar. Tapi kali ini, kami tak akan lari lagi.”

Di dapur umum, Bagas masih setia membantu warga. Tangannya sibuk memotong akar dan daun, tapi mulutnya tetap ringan menghibur. Anak-anak kecil kembali mengelilinginya. Kali ini, mereka menantang Bagas untuk menyantap cabai rimba.

“Wah, kalian pikir aku takut?”

Tertawa pecah saat wajah Bagas memerah dan ia sibuk mencari air, pura-pura panik. Di balik keceriaan itu, warga desa merasa lebih tenang. Sosok Bagas yang hangat dan kuat menjadi tiang suasana.

Di sisi lain desa, Zadran duduk di bawah pohon lontar bersama pengawal pribadi Rana. Obrolan mereka pelan, kadang sunyi panjang menyela.

“Aku masih mendengar teriakan mereka di tidurku,” ucap sang pengawal.

Zadran mengangguk. “Aku pun masih melihat bayangan di tempat gelap. Tapi aku belajar satu hal… takut bukan untuk dibunuh, tapi untuk dikenali. Supaya kita tak dikendalikan olehnya.”

Pengawal itu memejamkan mata sejenak. “Kau orang yang aneh, Zadran.”

Zadran tersenyum tipis. “Aku memang tak biasa.”

Menjelang sore, Jasana duduk di ruang tengah balai desa bersama Pak Karto, kepala desa Rasagiri yang sudah sepuh namun tetap tegap. Cahaya senja menembus jendela, menyorot keriput bijak di wajahnya.

“Pasukan Patroli Selatan kemungkinan akan datang malam ini,” kata Pak Karto. “Mereka akan menginap semalam di sini, lalu besok pagi barulah kalian berangkat ke Tirabwana.”

Jasana mengangguk pelan. “Mereka pasti menempuh perjalanan jauh. Desa ini cukup untuk satu malam yang layak.”

Ia mengeluarkan sekantong kecil koin emas dan perak, lalu meletakkannya di hadapan Pak Karto.

“Ini untuk desa. Untuk makanan, untuk perbaikan balai, atau apa pun yang kalian butuhkan.”

Pak Karto menolak dengan sopan, “Nak Jasana, kami tak pernah berniat menagih balas budi.”

Jasana menatapnya tegas, namun penuh hormat. “Saya tahu. Tapi kebaikan yang tak dihargai… kadang jadi beban bagi hati yang menerima. Terimalah ini sebagai rasa terima kasih dari kami semua.”

Pak Karto akhirnya mengangguk, dan menggenggam kantong itu dengan haru.

Malam mulai turun. Api unggun menyala di tengah desa. Suara suling terdengar lagi. Para gadis korban duduk bersama para warga, bergabung tanpa rasa canggung. Di kejauhan, samar-samar, kilau obor tampak di jalur selatan. Pasukan Patroli Selatan mulai mendekat.

Jasana berdiri di pelataran, memandang cahaya itu. Ia tahu, hari esok akan membawa mereka pada tahap baru: kembali ke Tirabwana, menghadapi kenyataan, dan memulai penyembuhan yang lebih besar.

Tapi malam ini…

Mereka berhak bernafas.

Mereka berhak tertawa.

Dan mereka berhak merasa aman untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

Malam Hari, Sebelum Tengah Malam – Kedatangan Pasukan Patroli Selatan

Langit malam Desa Rasagiri diselimuti bintang-bintang redup. Udara terasa dingin namun bersih, seperti mengantar ketenangan yang perlahan menyelimuti desa setelah hari-hari penuh ketegangan.

Dari arah selatan, kilau obor dan bunyi derap kaki kuda mulai terdengar menghampiri. Beberapa warga yang masih terjaga segera berdiri, mengangkat kepala, menatap jalan tanah yang mengarah ke desa.

Tak lama kemudian, rombongan pasukan Patroli Selatan dari Kerajaan Mandalagiri tiba. Di barisan depan, pasukan berkuda berlapis zirah ringan dengan lambang Kerajaan Mandalagiri di dada mereka. Di belakang, dua kereta kuda tertutup bergerak perlahan, dijaga oleh para penjaga dengan tombak dan busur siaga. Di atas salah satu kereta, bendera kecil Tirabwana berkibar di ujung tiang, pertanda kehormatan atas keberadaan darah bangsawan di antara para penyintas.

Pak Karto, yang telah bersiaga sejak sore, berjalan cepat menghampiri dengan senyum lebar.

"Selamat datang di Rasagiri, para prajurit yang gagah. Kami telah menanti kalian," ucapnya hangat sambil membungkukkan badan.

Seorang pria paruh baya berpakaian prajurit utama turun dari kudanya dan menyambut Pak Karto dengan hormat. Di belakangnya, seorang pemuda desa berpakaian lusuh ikut turun—Kawiswara, sang utusan desa yang dikirim tiga hari lalu oleh Pak Karto.

Kawiswara tampak letih namun puas. “Saya bawa mereka, Pak. Mereka datang secepat mungkin begitu dengar kabar dari saya.”

Sang pemimpin patroli—Letnan Adyamanta, pria bermata tajam dan berjanggut tipis—menggenggam tangan Pak Karto dengan erat.

“Terima kasih telah menjaga mereka. Kami dengar banyak hal. Tapi tak kami sangka, sebanyak ini jiwa yang selamat. Termasuk seorang bangsawan muda…”

“Rana Tiradipa,” timpal Pak Karto, menoleh ke belakang sejenak, “ia sedang beristirahat dengan selamat.”

Di sisi halaman desa, Jasana, Bagas, Nandika, dan Zadran telah berdiri menanti. Wajah mereka lelah tapi tenang, tangan mereka masih bau tanah dan abu sisa pekerjaan sore.

Letnan Adyamanta menghampiri mereka dan memberi hormat militer—tangan kanan di dada.

“Kami dari Kerajaan Mandalagiri menyampaikan rasa terima kasih mendalam. Tanpa kalian, kami mungkin hanya akan datang untuk mengangkut jasad, bukan nyawa yang hidup.”

Jasana membalas hormatnya. “Kami hanya menjalankan tugas kami sebagai anggota Guild Bayu Geni. Tapi kami juga manusia… dan mereka bukan angka. Mereka adalah jiwa.”

Bagas menambahkan dengan senyum, “Dan perut manusia tetap harus kenyang sebelum tidur, bukan?”

Letnan itu tertawa. “Kau benar. Sudah tiga hari kami makan roti keras dan daging kering.”

Tak menunggu lama, tenda-tenda darurat mulai didirikan di halaman depan balai desa. Jasana dan Zadran membantu membentangkan kanvas dan menegakkan tiang, sementara Bagas memanggul peti-peti perbekalan ke sisi tenda. Api unggun dinyalakan kembali, mengusir dingin yang merambat dari tanah.

Sementara itu, Nandika bersama beberapa warga perempuan desa mulai menyajikan makanan hangat: nasi rempah, kaldu akar langit, dan potongan daging panggang dari sisa persediaan hutan. Aroma makanan segera memenuhi udara, dan para prajurit satu per satu mengucapkan terima kasih, duduk bersila dengan raut lega di wajah mereka.

Di dalam balai desa, kelima belas penyintas telah tertidur. Beberapa berbaring beralaskan selimut tebal yang dipinjam dari rumah-rumah warga, yang lain saling bersandar, tidur dalam ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sejak ditahan di markas Watu Lingsir.

Rana Tiradipa, sang bangsawan muda, terbaring dengan tangan masih menggenggam gagang pedang kayu. Di sisinya, sang pengawal yang setia menjaga tidur majikannya. Tak ada mimpi buruk malam itu—hanya keheningan yang damai.

Di luar, langit perlahan beringsut menuju tengah malam. Angin bertiup lembut, membawa bau tanah basah dan suara jangkrik dari semak belukar.

Jasana menatap langit sebentar sebelum masuk ke dalam tenda. “Besok pagi, kita pulang ke Tirabwana,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Zadran, dari balik bayangan api, membalas pelan, “Bukan pulang. Kita sedang menuju awal baru.”

Gua Kabut Gunung Mandalgraha, Markas Utama Bayawira

Langit di puncak Gunung Mandalgraha seolah menahan napasnya. Kabut pekat menutupi lereng-lereng curam, menciptakan selubung gaib yang membuat markas utama Bayawira nyaris tak terdeteksi dari mata manusia biasa. Di tengah puncak itu, tersembunyi di balik tebing-tebing batu yang tertutup lumut hitam dan tumbuhan parasit, terbentang sebuah gua raksasa dengan aura menekan—Gua Kalangwana, pusat kendali kekuatan hitam Bayawira.

Di dalam gua, ruangan utama tempat rapat rahasia digelar bagaikan singgasana dunia bayangan. Pilar-pilar batu berukir lambang ular berkepala dua menopang langit-langit gua yang menjulang tinggi. Obor berapi hitam menyala di tiap sudut, menari dalam bisikan sihir gelap. Di tengah ruangan, terdapat meja bundar batu yang mengelilingi simbol besar Bayawira, terpahat dalam permukaan lantai: seekor ular berkepala dua melingkar.

Di sana duduk empat sosok tertinggi Bayawira: sang pemimpin utama Jagat Arunika, dan ketiga Kapten Utama: Jagatmarma dari Barat, Kandhara Mangkara dari Utara, dan Resi Wighna Laksa dari Selatan.

Jagat Arunika—berwajah matang dan berkarisma, mengenakan jubah hitam dengan ikat kepala dan bekas luka melintang di pipinya—duduk tenang di kursi batu yang sedikit lebih tinggi dari lainnya. Aura hitam pekat terus merembes dari tubuhnya, menciptakan tekanan tak kasatmata dalam ruangan.

Jagat Arunika (datar, tegas):

“Markas Watu Lingsir di kaki gunung… hancur dalam waktu satu malam. Dua wakil kaptenmu, Mangkara, hancur. Gerungga Balaratri menyusul Inggrita. Apa kau masih menganggap ini kebetulan?”

Kandhara Mangkara, dengan wajah keras penuh amarah, duduk sambil mengepal kedua tangannya. Kapak besarnya yang disarungkan di punggung bergetar perlahan, seolah merespon kemarahan pemiliknya.

Kandhara Mangkara (geram):

“Bukan kebetulan. semua jejak mengarah ke satu nama—Jasana Mandira. Bocah itu... dia telah mencederai martabat faksi utara, dan sebelumnya... dia juga menjatuhkan Kirana Lodra tiga tahun lalu. Kirana sampai kini masih terkurung di penjara Mandalagiri.”

Jagatmarma tertawa kecil, namun matanya tetap tajam. Ia memutar topi caping di tangannya sambil mengingat masa lalu.

Jagatmarma (santai tapi menyiratkan ketegangan):

“Dulu aku pernah bertemu dia… sekitar tiga tahun lalu. Bocah itu dan dua rekannya dari Guild Bayu Geni mencoba menyelidiki markasku di Giriwasesa. Tapi aku tak sebodoh itu. Dengan Ajian Nirmanasmara, aku ubah ingatan mereka. Mereka pergi tanpa tahu apa pun... Tapi lihat dia sekarang. Dua khodam? Dia bukan bocah biasa.”

Resi Wighna Laksa menutup matanya sejenak, tongkat tengkoraknya bersandar di bahunya. Suaranya tenang namun mengandung kedalaman magis yang mencekam.

Resi Wighna Laksa (pelan, seperti menyampaikan ramalan):

“Aku juga pernah mengujinya. Kugiring dia ke celah antara dunia… Alam Jin Kalathraya. Tapi bukan dia yang binasa… malah Rinjana Nirnawa, wakil kapten selatanku. Menurut bisikan informan, Rinjana tak pernah kembali… tapi bocah itu? Dia pulang… membawa sesuatu dari tempat yang tak seorang pun seharusnya selamat.”

(hening sejenak)

Kandhara Mangkara menggebrak meja batu.

Kandhara (geram):

“Aku tak peduli dari mana dia pulang! Yang pasti, dia telah menghancurkan dua kekuatanku. Inggrita dengan Pasukan Ninja-nya, dan Gerungga dengan Pasukan Taring Hitamnya, bukanlah prajurit biasa! Tapi keduanya jatuh!”

(nada mengejek)

“Bocah itu seperti kutukan yang dikirim dari langit.”

Jagat Arunika tersenyum tipis, sorot matanya berkilat kekuningan. Aura hitam di sekitarnya menggulung perlahan seperti kabut hidup.

Jagat Arunika (dingin):

“Kalau begitu... izinkan aku yang turun. Aku ingin melihat langsung… seberapa kuat bocah ini. Jika dia bisa mengalahkan dua Anggota Berpangkat Wakil Kapten dan bisa kembali dari Kalathraya, maka dia pantas untuk... dikenali lebih dalam.”

(berdiri perlahan)

“Namun ingat… jika dia menjadi ancaman yang nyata bagi tatanan kegelapan kita, maka tak ada tempat lagi untuk belas kasihan.”

Kabut tebal menggulung masuk ke dalam gua seiring langkah Jagat Arunika menuju mulut gua. Dari belakang, tiga kapten utama memperhatikannya dengan diam. Mereka tahu, bila sang pemimpin mulai bergerak, maka takdir akan mulai bergetar—dan darah akan tumpah dalam jumlah lebih dari yang pernah mereka perkirakan.

Kemenangan yang Membuka Pintu Baru

Hari berganti hari. Setelah menempuh perjalanan panjang melewati hutan lebat, lembah berkabut, dan dataran tandus, rombongan patroli selatan akhirnya tiba di gerbang megah Kota Tirabwana. Matahari pagi menyapu pelataran gerbang dengan cahaya keemasannya, menyorot wajah-wajah letih namun penuh harap para penyintas yang berhasil dibebaskan dari neraka tersembunyi di bawah kaki Gunung Mandalgraha—markas rahasia Watu Lingsir milik Bayawira.

Rombongan itu terdiri dari lima belas jiwa yang berhasil diselamatkan:

Sepuluh gadis belia, berusia antara enam belas hingga delapan belas tahun, dengan mata yang menyimpan trauma namun mulai memantulkan cahaya kehidupan.

Lima laki-laki, termasuk seorang pemuda bangsawan bernama Rana Tiradipa dari keluarga terkemuka Distrik Barat Tirabwana, bersama pengawal setianya yang telah hilang sebulan lalu.

Dua anggota regu pencari orang hilang, yang semula ditugaskan menemukan Rana, namun justru turut menjadi korban.

Seorang pengembara muda berusia sembilan belas tahun, yang tak banyak bicara namun menyimpan sorot tekad dalam pandangannya.

Mereka semua disambut dengan hangat dan penuh penghormatan oleh rakyat dan penjaga kota. Bendera-bendera Tirabwana berkibar perlahan, seakan ikut bernapas lega atas kepulangan mereka yang telah lama dianggap hilang.

Rana Tiradipa dan pengawalnya segera diantar kembali ke rumah keluarga besar Tiradipa, disambut air mata haru oleh sanak keluarga yang nyaris kehilangan harapan. Dua anggota regu pencari kembali ke markas mereka, disambut hormat dan pelukan hangat dari sesama rekan. Adapun para gadis dan sang pengembara muda ditampung sementara di Markas Guild Bayu Geni, tempat yang telah menjadi mercusuar keselamatan dan harapan bagi banyak jiwa.

Di markas itu, mereka disambut langsung oleh Pangeran Mahkota Maheswara, pemimpin Guild Bayu Geni. Sang pangeran, dengan sorot matanya yang tegas namun lembut, memberi jaminan bahwa para korban akan dilindungi dan dibantu untuk memulihkan hidup mereka.

Di tengah alun-alun utama Istana Mandalagiri, upacara penghargaan khusus diadakan. Di hadapan Maharaja Darmawijaya, Permaisuri Shandrakirana, Mahamentri Palindrasuta, Panglima Agung Jayasatya, serta Pangeran Mahkota Maheswara sendiri dan Jajaran Istana yang Hadir—nama-nama yang menjadi tiang agung negeri Mandalagiri—empat sosok berdiri tegap: Jasana Mandira, Nandika Sutasmi, Bagas Prayoga, dan sang rekan baru Zadran Anggota Junior.

Dengan pakaian dinas resmi dan debu petualangan yang masih menempel di sepatu mereka, keempatnya menerima penghargaan atas keberanian, keteguhan, dan kecerdasan mereka dalam menuntaskan misi. Tak hanya menyelamatkan lima belas jiwa, mereka juga berhasil membongkar lokasi tersembunyi salah satu markas Bayawira dan menyampaikan informasi vital mengenai kemungkinan letak markas utama mereka di lereng atas Gunung Mandalgraha.

Rakyat bersorak. Gemuruh tepuk tangan menggema dari dinding ke dinding istana. Tapi dalam hati para prajurit muda itu, kemenangan ini belum benar-benar tuntas. Mata Jasana sempat menatap ke arah puncak gunung nun jauh di utara, yang diselimuti kabut kelabu—tempat di mana kekuatan gelap masih bersembunyi, menanti waktu untuk menyerang kembali.

Namun hari ini… hari ini adalah hari kemenangan.

Dan dari kemenangan itulah, lembaran baru akan segera terbuka.