Ruang Tahanan Atas Markas Watu Lingsir Bayawira - Kaki Gunung Mandalgraha
Lorong batu yang lembap dan sempit dipenuhi bau besi dan tanah tua. Lampu-lampu api kecil tergantung di dinding, berayun pelan tertiup hembusan udara dari lorong tersembunyi. Suara rantai dan derit besi sesekali terdengar dari balik kegelapan.
Zadran duduk setengah berjongkok di sisi Bagas. Dengan cekatan, ia membuka kantong kulit kecil di balik sabuknya, mengeluarkan botol kecil berisi cairan ungu keperakan—Ramuan Penetral Mantra Tidur. Tanpa ragu, ia membuka mulut Bagas yang masih terbaring dan meneteskan cairan itu sedikit demi sedikit.
Tak sampai satu menit, tubuh Bagas bergetar ringan. Kelopak matanya bergetar, lalu terbuka lebar. Ia tersentak bangun, mengerang rendah, tubuhnya masih setengah lemas.
Bagas:
"Ngh... Di mana... Zadran?"
Zadran (pelan, tajam):
"Tenang. Kita di dalam markas utama Bayawira... Watu Lingsir. Kau dan Nandika terkena mantra tidur dari makanan di Dusun Patangruwah. Tapi sekarang kita harus bergerak—Jasana sedang menghadapi Gerungga Balaratri seorang diri."
Mata Bagas langsung tajam. Ia menggertakkan giginya, lalu merogoh kantong di sisi kiri sabuknya. Dengan satu gerakan, ia menarik keluar dua sarung tangan besi berwarna merah gelap. Begitu dikenakan, "Tapak Maruta" langsung menyala dengan aura panas merah membara, seperti bara hidup di kedua tangannya.
Bagas:
"Jasana suruh kita selamatkan Nandika, kan?"
Zadran mengangguk cepat. Satu gerakan, dan pedang peraknya—pendek, ramping, tapi tajam seperti gigi serigala—keluar dari sarungnya. Ia memegangnya di tangan kiri. Sorot matanya dingin dan penuh konsentrasi.
Zadran:
"Kita harus cari ruangan di bawah. Tahanan khusus pasti dijaga lebih ketat."
Tanpa membuang waktu, Zadran menendang pintu besi penjara. Suara dentuman keras menggemakan lorong.
Empat penjaga Bayawira yang sedang berjaga di dekatnya terperanjat. Namun mereka tak sempat menghunus senjata. Dalam satu hentakan, Bagas sudah meluncur ke depan, kedua tangannya memukul dua penjaga dengan gelombang panas pukulan. Suara logam meledak—kedua penjaga terlempar membentur dinding, pingsan.
Sementara itu, Zadran menyelinap ke kiri, mengelak dari tebasan satu penjaga, lalu menusuk cepat ke arah tulang selangkanya. Pedang perak menembus ringan, tanpa banyak darah. Penjaga terakhir sempat berteriak, tapi ditendang Bagas hingga tak sadarkan diri.
Mereka berdua bergerak cepat ke arah lorong menurun, mengikuti jejak udara dingin dan suara rantai samar.
Bagas (geram, napas dalam):
"Kalau mereka menyentuh Nandika... aku akan hancurkan seluruh dinding markas ini."
Zadran (serius):
"Tenang. Kita tak bisa gegabah. Kita tak tahu apa yang menunggu di bawah."
Suara langkah kaki mereka bergema, namun penuh tekad. Di bawah tanah Watu Lingsir, keduanya melangkah menuju pertempuran—demi menyelamatkan satu rekan mereka yang terpisah, dan demi membayar kepercayaan Jasana Mandira.
Ruang Tahanan Bawah Watu Lingsir Kaki Gunung Mandalgraha.
Udara pengap menyelimuti ruangan bawah tanah yang sunyi, hanya dipecah oleh suara rantai besi yang tergesek setiap kali salah satu gadis bergeser ketakutan. Lampu minyak temaram menggantung dari langit-langit batu yang rendah, memancarkan cahaya kekuningan yang suram, menyorot wajah-wajah lusuh para tahanan gadis-gadis muda yang duduk berdesakan di sepanjang dinding.
Sebagian besar dari mereka masih belia, dengan pakaian kotor, tubuh kurus, dan mata membengkak karena tangis. Mereka berasal dari berbagai pelosok Mandalagiri—dari dusun-dusun terpencil hingga desa-desa di pinggiran perbatasan. Namun kini, mereka semua berada di tempat yang sama—ruang tahanan busuk milik Bayawira, menanti nasib yang mengenaskan.
Di sudut ruangan, tergeletak Nandika Sutasmi. Tubuhnya masih tak sadarkan diri, namun nafasnya teratur. Wajahnya sedikit memucat, pelipisnya berlumur keringat dingin. Ia terbaring di atas tikar kasar, masih mengenakan pakaian pendekar berwarna biru tanpa lengan, Jubah Raka Lelana, sabuk yang biasanya ia Gunakan untuk Membawa Tombak, Tombak Sakalingga dan perlengkapan lainnya telah dilucuti.
Empat orang penjaga Bayawira berdiri di luar jeruji baja, mengenakan pakaian gelap tak bersimbol. Mereka bersenjata ringan, namun dari sikap dan cara bicara mereka, terlihat mereka merasa di atas angin.
Penjaga 1 (dengan nada melecehkan, sembari melihat para gadis):
"Heh, lihat tuh... yang di sudut itu, baru masuk tapi mukanya paling cantik. Kalau dia dijual duluan, bisa dapet dua kali harga pasar."
Penjaga 2 (menyeringai):
"Tunggu aja. Malam ini bakal ada pengepul dari Pelabuhan Timur. Katanya khusus datang buat ‘pesanan pribadi’ dari bangsawan di Mandalagiri Timur."
Penjaga 3 (tertawa rendah):
"Yang itu dari Desa Candraloka, yang ini dari daerah Tirabwana... heheh, Bayawira bisa jadi saudagar budak sekarang!"
Penjaga 4 (dingin, menyeringai sambil menunjuk Nandika):
"Tapi kalau yang itu bangun... hati-hati. Kudengar dia bukan gadis biasa. Ada yang bilang dia anggota Guild Bayu Geni."
Suasana di antara para gadis makin mencekam. Beberapa mulai menangis pelan, yang lain hanya menunduk pasrah. Tak ada yang berani bersuara. Tapi di balik ketakutan mereka, mulai tumbuh getar harapan samar—karena satu di antara mereka bukanlah korban biasa.
Di luar pengetahuan para penjaga, Nandika adalah senjata tajam yang sedang tidur. Dan ketika ia terbangun, keempat penjaga itu tidak akan tahu apa yang menimpa mereka.
Sementara itu... langkah kaki mulai terdengar dari lorong di atas. Berat, berlari, dan semakin dekat.
Bayang-bayang panas Tapak Maruta dan kilatan perak di tangan kidal mulai menyapu lorong bawah tanah Watu Lingsir.
— Pertolongan sedang menuju, dan neraka akan terbuka di ruang tahanan ini.
Ruang Komando Markas Watu Lingsir
Ruang komando Watu Lingsir adalah ruangan batu berbentuk segi delapan, dengan pilar-pilar besar yang menopang langit-langit tinggi. Di tengah ruangan, sebuah meja strategi bundar dari batu hitam terbelah dua akibat gelombang sihir yang barusan meledak. Debu dan serpihan batu beterbangan, sementara lantai dilumuri bayangan dan cahaya dari serangan sihir yang baru saja reda.
Jasana Mandira berdiri di tengah ruangan. Nafasnya teratur namun tegas. Jubah hijau pekat Divisi Raka Lelana yang ia kenakan tampak robek di beberapa bagian, namun auranya justru semakin membara. Di tangan kanannya, Lungguh Darma—pedang merah darah dari batu langit—berpendar halus, seolah memanas karena adrenalin tuannya. Di udara, Parangjati keris pusakanya berputar perlahan, seperti makhluk hidup yang bersiap menerkam.
Dua tubuh tak sadarkan diri tergeletak kaku di ujung ruangan, wajah mereka pucat karena efek "Rajapati", roh penuntun dari keris Parangjati. Tak jauh dari mereka, tiga penyihir Bayawira bertopeng kayu terkapar dengan bekas terbakar sihir hijau pada jubah dan tongkat mereka, korban dari “Guritna Darma”—si mantra pengikis dosa yang hanya dikuasai oleh segelintir pendekar suci.
Namun pertarungan belum selesai.
Di hadapan Jasana kini berdiri sepuluh sisa Bayawira, termasuk satu makhluk dari ras raksasa bertubuh dua kali ukuran manusia biasa, kulit kelabu kehijauan yang kasar bagaikan batu, dan menggenggam golok besar yang mampu membelah dua kereta baja dalam satu tebasan.
Gerungga Balaratri, berdiri paling depan. Wajahnya tampak tak senang, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam. Pedang bermata dua Parengkara sudah berada di tangannya—bercahaya samar keperakan, bergetar tipis seolah haus darah. Setelan bangsawan biru tua miliknya kini terlihat tak lebih dari lambang kepalsuan, karena simbol ular berkepala dua di dada kirinya tak bisa lagi disembunyikan. Ia sudah jatuh ke dalam jaringan gelap yang dulu ia tolak dengan kehormatan.
Gerungga (mendesis, penuh benci):
"Kukira kau hanya petarung biasa dari guild... Tapi ternyata kau penyimpan dua Khodam? Roh Pawaka dan Satwa Mistara... Jenis Khodam yang Merepotkan. Huh."
Jasana (tenang, tapi tajam):
"Aku bukan yang pertama yang mengejarmu, Gerungga. Tapi aku akan jadi yang terakhir."
Gerungga:
"Jangan sombong, bocah! Watu Lingsir bukan tempat bermain para pendekar suci. Ini sarang kami. Kau sendirian... dan kami masih sebelas!"
Seolah menjadi isyarat, para prajurit Bayawira lainnya mulai menyebar, membentuk setengah lingkaran mengepung Jasana. Tongkat sihir kembali terangkat, senjata berat seperti golok dan tombak disiagakan. Suara gemeretak kaki raksasa menggetarkan lantai ketika makhluk besar itu melangkah maju.
Namun Jasana tak mundur. Ia justru melangkah satu langkah ke depan. Tangannya merentang, dan udara di sekelilingnya mulai bergetar. Aura hijau lembut mulai menyelimuti tubuhnya—Sihir Alam, murni dan tua, mengalir dari dalam tubuhnya.
Lalu... langit-langit ruangan tampak bergetar. Bayangan besar mulai merambat dari lantai ke atas dinding.
Sayap api biru mengepak di kejauhan. Di balik Jasana, samar namun mulai tampak, sosok berapi biru dengan tubuh agung bertanduk, bermata tiga dan bersayap perunggu menyala mulai membentuk...
Wiratmaja, Khodam Kedua Jasana—Sang Lembuswana, penjaga kerajaan ghaib.
Gerungga tersentak, matanya melebar.
Para Bayawira tampak mundur setengah langkah—tak percaya.
Jasana menunduk sedikit. Suaranya dalam dan menyatu dengan kekuatan sihir alam di sekitarnya:
“Bukan aku yang terkepung… Tapi kalian yang sudah terperangkap di akhir dari kebusukan ini.”
Lantai bergetar.
Pertarungan besar akan dimulai.
RUANG KOMANDO MARKAS WATU LINGSIR
Asap tipis mengepul dari lantai batu yang hangus setelah pertarungan awal. Langkah kaki terdengar pelan namun berat, sepuluh anggota elit Taring Hitam mulai bergerak membentuk formasi. Lima dari kanan, lima dari kiri. Gerungga berdiri tegak di tengah, pedangnya Parengkara sudah terhunus, cahaya kebiruan samar menyelimuti bilah bermata dua itu.
"Sepertinya kau benar-benar orang yang menjatuhkan Kirana Lodra...," ucap Gerungga pelan, namun tajam bagaikan belati. Sorot matanya menusuk ke arah Jasana, “Dan... sudah kuduga. Hanya orang dengan dua lapis khodam yang mampu mengalahkan Inggrita.”
Ia menunjuk dengan ujung pedangnya ke arah langit di belakang Jasana.
“Khodam Satwa-Mistara,” katanya, menyeringai saat melihat sosok Wiratmaja, Lembuswana bermata tiga dengan sayap api biru perlahan mengepak, tatapannya membara seolah siap menerkam.
“...dan Khodam Roh-Pawaka,” lanjut Gerungga, kali ini menatap lurus ke Ardhana, sang tetua berjubah putih yang berdiri tenang membawa tongkat suci yang berkilau dengan aura putih menyilaukan.
Dengan suara berat dan tegas, Gerungga berteriak:
“Taring Hitam! Jangan remehkan pemuda ini. Fokus pada kelengahan, incar celah, dan serang dari bayangan!”
Pasukan langsung bergerak serempak, tubuh mereka menyatu dalam gerakan yang terlatih dan mematikan. Di sisi kanan, dua orang dengan golok dan zirah ringan berlari zig-zag, mengincar posisi kaki Jasana. Di sisi kiri, tiga orang bertopeng kayu sudah melafalkan mantra pendek yang membuat tongkat sihir mereka berpendar gelap—siap menembakkan energi hitam.
Jasana menarik napas perlahan, matanya menatap tajam setiap gerakan. Ia berdiri tegak, Lungguh Darma di tangan kanan berkilat merah darah, dan Parangjati melayang di udara mengitari tubuhnya seperti roh penjaga.
“Rajapati. Lembuswana. Waktunya.”
Seketika, Ardhana melangkah ke depan perlahan, mengetuk tongkatnya ke lantai batu. Gelombang cahaya putih menyapu lantai, melumpuhkan sejenak tiga orang bertopeng kayu yang sedang menyiapkan sihir. Gerakan mereka tertahan—mata mereka membelalak seolah melihat masa lalu yang tidak ingin mereka kenang.
Di sisi lain, Wiratmaja meraung tanpa suara. Sayapnya mengepak dan semburan api ghaib biru meluncur ke arah dua pasukan berzirah. Mereka mencoba berguling, tapi hanya satu yang berhasil menghindar. Yang lain tersambar dan terpental, bajunya terbakar dan tubuhnya membentur pilar batu dengan keras.
Namun lima sisanya datang dengan cepat, menyusul dari belakang, dua dengan tombak bermata ganda dan satu raksasa—manusia kelabu kehijauan dengan golok besar sebesar pintu gerbang.
Jasana berputar cepat, Lungguh Darma menebas ke kanan menangkis tombak, sedangkan Parangjati secara otomatis menukik ke bawah, memotong sabuk salah satu musuh yang membuatnya terjatuh kehilangan keseimbangan.
Raksasa itu mengayunkan golok besar ke arah kepala Jasana. Namun sebelum tebasan itu mencapai, Wiratmaja menyusup di antara mereka dan menahan dengan tanduknya. Dentuman keras memantul di dinding batu. Mata ketiga Wiratmaja menyala terang dan semburan energi dari tatapannya melesat ke wajah si raksasa. Ia terjerembab mundur, tangan kirinya gemetar.
Ardhana menyusup ke barisan tengah, memutar tongkatnya dan menancapkannya di lantai. Sinar melingkar muncul di bawah tiga musuh, lalu mereka jatuh berlutut seperti tertarik oleh beban ribuan kenangan yang ditumpukkan di dada mereka.
Dari sepuluh yang mengepung, hanya tiga yang tersisa masih berdiri dengan napas tersengal dan luka di sana-sini.
Di tengah ruangan, Gerungga perlahan melangkah maju, mata tajamnya belum berkedip.
“Menarik... Kau bahkan belum mengeluarkan ‘Guritna Darma’-mu. Apakah aku harus memaksamu?”
Pedang Parengkara bergetar di tangannya. Aura kebiruan pekat mulai menyelimuti tubuhnya.
Jasana berdiri tegap, mata hitamnya menatap lurus pada Gerungga. Di belakangnya, Ardhana bersiap dengan tongkat di tangan, dan Wiratmaja mulai menaikkan api birunya, siap menyambut duel klimaks...
RUANG TAHANAN BAWAH MARKAS WATU LINGSIR
Suasana ruang bawah tanah lembap dan suram, dinding batu tua tampak dipenuhi lumut dan bau besi tua menyeruak di udara. Di dalam sel besar yang dikunci rapat, sepuluh gadis belia terlihat terkulai, sebagian terikat rantai di tangan dan kaki, sebagian lainnya duduk lesu dengan pandangan kosong. Di sudut ruangan, seorang gadis muda dengan pakaian pendekar biru tanpa lengan masih tak sadarkan diri — Nandika Sutasmi.
Suara benturan logam terdengar dari pintu masuk.
BRAK!
Bagas Prayoga berdiri tegap di depan pintu besi sel dengan sarung tangan besi "Tapak Maruta"-nya menyala samar merah bata. Di belakangnya, Zadran, sigap berjaga dengan pedang peraknya.
Tanpa banyak bicara, Bagas menghantamkan sarung tangannya ke pintu besi.
DUARRR!
Pintu penjara itu hancur berkeping, serpihannya beterbangan ke lantai batu.
Bagas segera masuk dan mendekati para gadis yang terikat, lalu dengan tenang — namun penuh kekuatan — meremas dan mematahkan rantai besi satu per satu hanya dengan tangan kosong.
Para gadis mulai menangis pelan. Beberapa langsung tersungkur, bersujud kepada Bagas dan Zadran, mengucapkan terima kasih berkali-kali dalam nada gemetar.
Zadran berlutut mendekati Nandika, mengeluarkan botol kecil dari sabuknya. Cairan berwarna ungu-keperakan dalam botol itu bergoyang perlahan saat ia membukanya. Dengan hati-hati, ia meneteskan beberapa tetes ramuan penetral mantra tidur ke bibir Nandika.
Beberapa menit kemudian—mata Nandika terbuka. Napasnya memburu, matanya liar menatap sekitar dengan kebingungan.
NANDIKA
(dengan suara serak dan panik)
“Senjataku… Jubahku…! Di mana Sakalingga?!”
Bagas langsung merunduk dan memegang bahunya.
BAGAS
“Tenang, Nandika… Kau aman sekarang. Kita di ruang bawah tanah markas Watu Lingsir. Kami baru saja mengalahkan penjaga. Jasana sedang bertarung di atas… menghadapi Gerungga, wakil kapten Bayawira.”
Nandika perlahan bangkit, wajahnya masih marah dan cemas. Saat matanya menatap ke sekeliling, ia menyadari sepuluh gadis belia lain yang baru saja bebas dari rantai mereka.
Salah satu gadis mendekat dengan tubuh gemetar, berbicara dengan suara pelan:
GADIS BELIA
“Mereka… mereka menculik kami dari desa. Kami akan dijual di pasar gelap… sebagai budak penghibur… bagi bangsawan Mandalagiri…”
Nandika terdiam. Matanya membara. Rahangnya mengeras.
NANDIKA
(tegas)
“Tidak. Aku tidak akan membiarkan satu pun dari kalian dijual. Tapi pertama-tama… aku harus ambil tombakku.”
Zadran menunjuk ke arah pintu baja kecil di sudut ruangan.
ZADRAN
“Pintu itu. Ruang barang. Kemungkinan senjata dan perlengkapanmu ada di sana.”
Bagas menatap Zadran, lalu pada Nandika.
BAGAS
“Kami akan naik ke ruang komando bantu Jasana. Kau urus gadis-gadis ini. Pastikan mereka keluar dari Watu Lingsir dan Cari tempat Aman, tinggalkan sedikit Jejak agar kami bisa mencari Kalian.”
Nandika mengangguk mantap. Ia berjalan cepat menuju ruang barang, mata menyala, tekad mengeras.
Zadran dan Bagas berlari keluar dari ruang tahanan, menapaki lorong batu menuju medan pertempuran di atas.
Sementara Nandika membuka pintu ruang barang dan bersiap mengambil kembali tombaknya, Jubahnya, dan kehormatannya.
RUANG KOMANDO MARKAS WATU LINGSIR
Debu belum sempat sepenuhnya luruh dari udara ketika tubuh raksasa terakhir dari pasukan "Taring Hitam" roboh ke lantai batu. Tebasan ke-13 Samarajati dari Jasana mengukir luka dalam di dada sang manusia raksasa, darah gelap mengucur seperti sungai tua yang kehilangan arah. Nafas berat makhluk itu berderu sejenak, lalu hilang bersama kesadarannya, lututnya menghantam tanah, tubuhnya menyusul ambruk—menyisakan keheningan sesaat.
Hanya satu sosok yang masih berdiri.
GERUNGGA BALARATRI.
Ia menatap Jasana dari seberang ruang komando yang telah berubah menjadi arena pertempuran sunyi. Dinding batu retak, obor-orbor bergetar, dan simbol ular berkepala dua di dada kiri bajunya tampak berkedip-kedip di bawah cahaya merah muram.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Gerungga mengangkat pedangnya — Parengkara — pedang bermata dua dengan bilah keperakan memantulkan aura kelam. Ia lalu memejamkan mata dan menggumamkan mantra dalam bahasa kuno Tirabwana.
“Wahai Aul, bangkitlah.”
Udara di belakang Gerungga menghitam, membentuk pusaran kabut berduri. Dari kegelapan itu, muncul AUL — Khodam lapisan Satwa-Mistara milik Gerungga — sosok menyeramkan, setinggi manusia, namun tubuhnya setengah menyerupai serigala tegak dengan taring panjang, bulu hitam abu berkilau, dan kuku-kuku melengkung yang menggores lantai saat ia melangkah. Matanya merah menyala dan seluruh tubuhnya memancarkan aura keganasan liar.
Sosok itu mendengus, lalu melolong… sebuah lolongan yang menggema ke seluruh lorong Watu Lingsir.
Namun, Jasana tidak bergeming.
Ia perlahan menghunus Parangjati—keris ukiran naga yang berkilau dengan aura putih tenang. Khodam pertamanya, Ardhana alias Rajapati, bangkit membentuk siluet bercahaya. Sosok tetua berpakaian serba putih, berjanggut dan rambut panjang, berdiri dengan tangan terlipat di belakang, memancarkan aura ketenangan yang justru mencekam.
Di tangan kanan, Jasana telah menggenggam Lungguh Darma, pedang merah yang seolah bernyawa. Aura biru menyelimuti tubuhnya saat Khodam keduanya, Wiratmaja, muncul dalam kobaran api ghaib: Lembuswana bersayap perunggu, bermata tiga dan bertanduk lembu, mengepakkan sayapnya sambil mengaum membelah ruang. Aura biru melingkupi Jasana bagai perisai dan amarah sekaligus.
JASANA MANDIRA berdiri dalam formasi ganda: Ardhana di belakangnya sebagai tameng spiritual, dan Wiratmaja di sisi kanan sebagai tombak penghancur.
Gerungga mengangkat pedangnya.
Aul menunduk, siap menerkam.
Jasana menundukkan wajah, sejenak seperti memanjatkan doa.
Kedua pasang mata saling bertaut dalam tatapan tajam yang mengunci takdir.
Duel sesungguhnya baru akan dimulai.
Hentakan langkah pertama Gerungga maju, dan aura sihir menyeruak dari kedua sisi. Langit di luar bergemuruh, seolah menyadari: dua pendekar pengikat khodam mistara tengah bersiap mengukir sejarah berdarah.
Pertarungan Jasana Mandira vs Gerungga Balaratri (Bagian Tengah Pertarungan – Sebelum Klimaks)
Asap tipis menyelimuti lantai ruang komando yang retak dan porak poranda. Tubuh-tubuh pasukan elit “Taring Hitam” berserakan tak berdaya, tersungkur tanpa suara. Di tengahnya, dua sosok masih berdiri—meski tertatih.
Jasana Mandira menarik napas dalam-dalam, dadanya naik turun, bahunya basah oleh darah dan keringat. Matanya yang hitam pekat tetap menyala dengan bara tak padam. Di belakangnya, Wiratmaja berdiri gagah, mengibaskan sayap perunggu yang terbakar oleh api ghaib biru. Di sisi lain, Rajapati, sang Ardhana, melayang anggun di udara dengan aura putih yang menenangkan namun menggetarkan jiwa.
Gerungga Balaratri terhuyung namun belum tumbang. Tubuhnya terluka, baju bangsawan biru tuanya koyak dan terlumur darah. Nafasnya berat, dan mata kecoklatannya penuh dendam, tapi juga mulai diliputi keraguan. Di belakangnya, Aul, makhluk serigala tegak bertaring panjang dan mata merah bara, meraung rendah, siap kembali menyerang.
DORRRAAAGHHH!!
Benturan antara Lungguh Darma dan Parengkara kembali menyalak, percikan merah darah dan api biru beterbangan saat Jasana dan Gerungga saling serang.
Jasana berputar, mengayunkan Lungguh Darma dalam pola sabetan setengah lingkaran, disambut oleh tebasan ganda Gerungga yang memutar cepat.
“Teknik Ke-3: Cagak Waja!”
teriak Gerungga, pedangnya bercahaya biru kelam dan membentuk pola silang menghantam dada Jasana.
Jasana terpental ke belakang sejengkal, tapi kakinya tetap menjejak. Ia menekuk lutut, lalu memanggil:
“Ardhana, paku jiwanya!”
Rajapati bergerak cepat, menyatukan kedua telapak tangan dan menebarkan aura putih yang menyelimuti medan. Gerungga terpaku sesaat—gerakannya melambat.
“Wiratmaja, ‘Langit Kutha Rawa’!”
Lembuswana meraung dan mengepakkan sayapnya. Api ghaib biru meluncur membentuk lingkaran besar, mengepung Aul yang merangsek ke arah Jasana.
“Aul! Hindari!!”
teriak Gerungga, namun sudah terlambat. Aul tersambar lidah api mistik, tubuhnya terlempar ke dinding dan menggeram, sebagian bulu dan kulit mistiknya terbakar.
Tapi Aul tak menyerah. Ia bangkit dan melesat lagi, cakarnya meleset tipis dari wajah Jasana.
“Teknik Tebas: Prabana Wengi!”
Jasana melompat dan memutar tubuhnya di udara, Lungguh Darma mengeluarkan kilatan merah darah dan menghantam pundak Gerungga.
“UARGHH!”
Gerungga memekik, terhuyung, darah memancar dari luka terbuka. Namun ia masih bertahan, menggertakkan gigi dan membalas:
“Parengkara, bentuk sejati!!”
Pedang bermata dua itu berdenyut dan memanjang, berubah seperti bilah ular melingkar yang hidup. Serangan berikutnya dari Gerungga menjadi liar, meliuk, sukar ditebak. Jasana terdesak—satu sayatan menyerempet lengan kanannya.
“Huff... Huff... Tak kusangka kau sekuat ini, Gerungga...”
gumam Jasana sambil mengatur napas.
“Kau juga... ternyata tidak sekadar anak bawang Bayu Geni...”
balas Gerungga dengan napas berat.
Keduanya berdiri, saling menatap dalam diam. Api biru dari sayap Wiratmaja berkobar perlahan, aura putih Ardhana masih melingkupi medan, menekan psikis Gerungga yang mulai goyah. Aul pun mulai lesu, gerakannya melambat dan napasnya berat.
Tapi Jasana juga tidak dalam kondisi prima. Napasnya sudah memburu sejak awal pertempuran, tubuhnya penuh luka dan energi sihirnya menipis.
Namun tidak satu pun dari mereka mundur.
“Kau bukan orang yang bisa kuselamatkan, Gerungga...”
kata Jasana perlahan, matanya penuh belas kasih sekaligus tekad.
“Lalu bunuh aku kalau bisa...”
geram Gerungga, mengangkat Parengkara dengan gemetar.
Saling pandang dua pendekar yang tersisa. Senjata terangkat. Khodam bersiap kembali. Dan udara menegang… menuju ledakan klimaks yang belum datang.
PERTARUNGAN JASANA VS GERUNGGA BALARATRI
(Dengan singgapan masa lalu Gerungga di tengah pertarungan yang memuncak emosi)
Gemeretak tanah bergetar. Serpihan bebatuan melayang terbakar aura sihir dan khodam yang saling bertubrukan. Darah menetes dari pelipis Gerungga, matanya tajam menatap Jasana, tapi napasnya mulai berat. Parengkara, pedangnya, sudah terkelupas sebagian di sisi mata bilahnya, dan tubuhnya dipenuhi luka sabetan dan luka bakar ringan akibat serangan Wiratmaja.
Sementara itu, Jasana, meski masih berdiri tegap, lututnya sedikit gemetar. Matanya menyala kehijauan samar, pertanda sisa sihir alamnya masih mengalir dalam tubuh. "Ardhana... Wiratmaja... Kita belum selesai," gumamnya.
Tiba-tiba—angin menderu keras, dan pandangan Jasana kabur sekejap. Di balik kabut tipis yang diciptakan benturan aura tadi, mata Gerungga menghitam, dan sosok Khodam-nya, AUL, menjelma kembali di belakangnya—serigala tegap setinggi manusia dewasa, tubuhnya berasap kelam dan mata merah menyala. Tapi...
Gerungga terdiam.
Kilasan masa lalu menghantam kesadarannya.
EMPAT TAHUN LALU – TIRABWANA, KEDIAMAN BALARATRI
Rumah megah keluarga Balaratri malam itu menjadi neraka. Api menyala di ruang depan saat massa meneriakkan kecaman. Di luar pagar, rakyat dan bangsawan lain menyaksikan nama keluarga Balaratri dirobek dari sejarah secara terbuka.
Gerungga muda—berusia 27 tahun—berlutut di hadapan jasad ayahnya yang tergantung di paviliun belakang. Ibunya meronta histeris, lalu meredup dalam minggu-minggu ke depan, tubuhnya menua mendadak oleh rasa malu dan tekanan publik, hingga akhirnya—mati dalam diam.
Gerungga berdiri di depan kaca besar rumahnya, melihat wajahnya sendiri: bangsawan muda yang dulu penuh wibawa, kini menjadi musuh publik. Padahal...
"Mereka juga melakukannya... semua dari keluarga besar Tirabwana tahu... Tapi hanya aku yang dijatuhkan."
Tangannya menggenggam surat pengadilan palsu. Nama-nama saingannya tercantum dalam catatan transaksi gelap, tapi semuanya dibungkam atau disuap. Hanya keluarganya yang dikorbankan.
Marah. Sakit. Hancur.
TIGA TAHUN LALU – PEGUNUNGAN UJUNG UTARA
Gerungga berdiri di hadapan seorang pria besar bermata tajam: Kandhara Mangkara. Tanpa banyak bicara, ia melempar pedang pada Gerungga dan berkata:
"Jika kau bisa berdiri setelah tiga seranganku... kau kuberi tempat. Tapi bukan sebagai prajurit biasa."
Gerungga bangkit setelah lima serangan.
Inggrita—perempuan dingin bermata merah tajam, hanya tersenyum singkat.
Kirana Lodra—pendiam, hanya mengangguk mengakui kemampuannya.
Dan sejak hari itu—ia menjadi Wakil Kapten Bayawira Utara.
KEMBALI KE PERTARUNGAN – SAAT INI
Gerungga mendesis. Napasnya semakin berat. Tapi luka batinnya lebih panas dari luka fisiknya. Ia mencengkeram Parengkara dengan kedua tangan, sementara Aul menggeram di belakangnya.
"Jasana Mandira..." suaranya parau namun penuh tekanan emosi,
"Apa kau tahu... dunia ini tidak adil. Kerajaan kalian... penuh kemunafikan."
Jasana mengangkat Lungguh Darma. Darah menetes dari pergelangannya. Tapi matanya tetap jernih, tidak digoyahkan.
"Aku tak membela kemunafikan... Tapi kau membalas dengan membakar semua. Keadilan bukan api dendam."
Tiba-tiba, Aul melonjak! Tapi Wiratmaja muncul dari balik Jasana, kepakan sayapnya membakar udara dengan api biru gaib, menghantam tubuh Aul dan melemparkannya kembali!
Namun kali ini—Parengkara bergetar hebat. Aura merah kehitaman menyelubungi bilahnya. Gerungga mulai mengerahkan kekuatan penggabungan penuh dengan AUL.
"Kalau begitu, Jasana... mari kita runtuhkan semuanya... Bersama dalam kehancuran."
Aura medan bertarung pun berubah. Tanah mulai retak, udara menegang. Jasana menggenggam gagang Parangjati, dan suara lembut terdengar dari dalam dirinya.
"Jasana... waktunya gunakan Guritna Darma. Tapi hati-hati... ini akan melemahkanmu setelahnya."
"Aku tahu, Ardhana. Tapi ini... untuk menghentikannya."
Dan dalam momen klimaks yang mulai terbentuk—dua kekuatan besar mulai saling menghantam lagi, menggetarkan langit dan tanah...
BENTURAN AKHIR DI MARKAS WATU LINGSIR
(Bagian Akhir Pertarungan Gerungga Balaratri vs Jasana Mandira)
Suara ledakan sihir dan denting besi lenyap seketika. Asap tipis dan serpihan bebatuan runtuh dari langit-langit ruang komando Watu Lingsir, menyisakan jejak pertarungan dahsyat yang baru saja berakhir.
Tubuh Gerungga Balaratri terhempas jauh, membentur dinding batu hingga retak besar menjalar ke segala arah. Tubuhnya hangus terbakar, baju bangsawannya hangus di beberapa bagian, kulitnya melepuh, dan "Parengkara" terlepas dari genggaman, bergetar di lantai, aura kelamnya mulai meredup.
Matanya setengah terbuka, masih menyiratkan kemarahan yang belum padam, namun tubuhnya sudah tak mampu bergerak. Nafasnya berat, tersengal… ia masih hidup—tapi kritis.
Di sisi lain, Jasana Mandira terduduk di tengah ruangan, napasnya terengah, tubuhnya gemetar menahan letih, luka fisik dan luka yang tersembunyi. Keringat dan debu menempel di wajahnya, namun sorot matanya masih menyala, sejenak sebelum akhirnya perlahan-lahan ia merebahkan diri ke lantai batu yang hangat oleh jejak energi dan api sihir tadi.
Khodam Wiratmaja lenyap dalam semburat cahaya api biru, kembali ke Lungguh Darma yang terbaring di sampingnya.
Sementara itu, aura putih dari Ardhana, roh penuntun, berangsur pudar dan menghilang ke dalam Parangjati.
Hening. Hanya bunyi riuh angin yang merayapi lorong panjang markas.
Beberapa detik kemudian...
Dari lorong utama, suara langkah kaki terdengar tergesa. Zadran muncul lebih dulu, diikuti oleh Bagas Prayoga. Keduanya tertegun saat melihat pemandangan mengerikan di hadapan mereka: ruang komando yang luluh lantak, 14 anggota Taring Hitam terkapar, dan Gerungga, wakil kapten Bayawira Utara, dalam kondisi sekarat.
Namun yang lebih mengejutkan adalah sosok Jasana yang tergeletak di tengah, dengan dua senjata pusaka di sisi tubuhnya, mantel hijau Raka Lelana robek di beberapa bagian, namun wajahnya masih menyiratkan tekad.
Bagas hampir tak percaya. “...Dia ngelakuin semua ini... sendiri?” bisiknya.
Zadran tak menjawab, langsung berlutut di samping Jasana dan mengeluarkan ramuan pemulihan berwarna ungu kehijauan dari kantong bajunya. Ia membuka perlahan mulut sahabatnya itu dan meneteskan beberapa tetes cairan.
Jasana mengerang pelan, matanya sedikit terbuka, napasnya membaik. Ia menoleh pelan, melihat Bagas yang kini berjongkok di sebelahnya.
Senyum lelah merekah di wajahnya.
“Maaf... agak lama...,” gumam Jasana pelan.
Bagas, yang biasanya lantang, hanya menunduk, tersenyum kecil dan mengangguk. “Kau gila, Jasana... Tapi luar biasa.”
Zadran berdiri dan menatap ke arah Gerungga yang masih tak sadar. “Kita tak punya banyak waktu. Kalau Kandhara Mangkara tahu markas ini diserang, pasukan utama Bayawira bisa tiba kapan saja.”
Ia menatap Bagas serius. “Bopong dia. Sekarang.”
Tanpa ragu, Bagas segera mengangkat tubuh Jasana ke punggungnya. Jasana tidak melawan, terlalu lelah untuk bicara lagi.
“Kita Menuju, Nandika?” Kata Bagas sambil mulai bergerak ke lorong keluar.
Zadran menjawab, “Kemungkinan dia sudah diluar. Menjaga sepuluh gadis yang kita selamatkan dari ruang tahanan bawah. Seharusnya mereka sudah menemukan tempat aman.”
Trio itu berlari menuruni lorong, meninggalkan puing-puing pertarungan yang nyaris menghancurkan Ruang Komando markas Watu Lingsir menjadi abu.
Sementara itu...
Di kejauhan, terdengar suara langkah berat dan suara klak-klak baja mendekat dari arah timur markas.
Pasukan Bayawira lainnya mungkin sudah dalam perjalanan.
Tapi untuk saat ini—misi penyelamatan berhasil.
Namun... pertempuran sesungguhnya baru saja dimulai. Karena ketika kabar kekalahan Gerungga Balaratri menyebar, dan Kandhara Mangkara mendengarnya, balas dendam mungkin tak bisa lagi dihindari...
MARKAS WATU LINGSIR & GUBUK DI KAKI GUNUNG MANDALGRAHA
(Penyelamatan Para Tahanan oleh Nandika & Pelarian dari Markas Musuh)
Sementara itu...
Di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di balik rerimbunan hutan pinus di kaki Gunung Mandalgraha, suara nafas tercekat, tangis pelan, dan bisik-bisik kelelahan terdengar dari dalam.
Nandika Sutasmi duduk bersandar di dinding bambu reyot, pelipisnya masih basah oleh keringat. Ia menatap ke sekeliling: lima belas orang korban penyelamatan duduk bersisian, beberapa masih gemetar karena trauma.
Sepuluh di antaranya adalah gadis-gadis belia, wajah mereka sayu, pakaian compang-camping, sebagian besar bekas luka dan bilur masih tampak jelas. Mereka sebelumnya ditahan oleh Bayawira untuk dijual di pasar gelap, dijadikan budak penghibur para bangsawan busuk.
Namun Nandika berhasil menembus ruang tahanan barat dan membebaskan mereka.
Tapi tak hanya mereka.
Dari sel-sel terpisah, Nandika juga menyelamatkan lima pria lain:
Seorang pemuda pengembara biasa, berusia sekitar 19 tahun, yang tersesat dan ditangkap karena dicurigai sebagai mata-mata.
Dua orang anggota tim pencari orang hilang dari Pasukan Rakyat Tirabwana yang menghilang sebulan lalu saat Mencari Anak seorang Bangsawan Tirabwana Bernama Rana Tiradipa.
Seorang anak muda bertubuh tegap dengan wajah khas darah bangsawan: Rana Tiradipa, putra salah seorang bangsawan tinggi Tirabwana Keluarga Tiradipa yang dikabarkan hilang sejak sebulan lalu.
Satu lagi adalah pengawal setianya, tubuhnya penuh luka namun masih berdiri tegak di sisi Rana.
Kini mereka semua beristirahat, bersembunyi, bernaung dari ancaman Bayawira, setidaknya untuk malam ini.
Nandika menyusuri gubuk, memeriksa luka mereka satu per satu dengan ramuan sederhana yang ia bawa. Ia bahkan mengorbankan sebagian perban dari baju luarnya untuk membalut luka terdalam salah satu gadis.
Suara dari luar terdengar—gerakan cepat di antara semak.
Nandika segera bangkit, tombaknya di tangan.
Namun sesaat kemudian, ia melihat cahaya kecil dari simbol panah silang hijau yang ia ukir di beberapa batang pohon—tanda rahasia yang ia buat sebagai penunjuk arah untuk teman-temannya.
Dan benar saja, dari balik gelap pepohonan, muncullah Zadran lebih dulu, diikuti Bagas yang membopong Jasana yang tampak sangat lemah namun masih sadar.
“Nandika!” seru Zadran setengah terengah.
Nandika langsung menghampiri mereka. Matanya membelalak melihat keadaan Jasana. “Ya Dewata... dia terluka seberat ini?”
Bagas hanya mengangguk. “Tapi dia menang... Gerungga... dan Pasukannya kalah.”
Nandika terdiam sejenak, lalu menatap Bagas dan Zadran dengan sorot tajam namun penuh syukur.
“Cepat bawa dia masuk.”
Mereka masuk ke dalam gubuk. Para tawanan terdiam melihat sosok Jasana, beberapa langsung mengenali lambang mantel Raka Lelana yang robek di punggungnya. Rana Tiradipa bahkan bergumam pelan, “Dia... dia dari Guild Bayu Geni…”
Nandika menyiapkan tikar dan alas sederhana. Bagas membaringkan Jasana perlahan. Zadran mulai membuka bagian dalam mantel Jasana dan mengoleskan ramuan pemulihan di luka yang belum ditutup.
Sementara itu, Rana Tiradipa berdiri pelan, meski masih lemas. Ia menghampiri Jasana dan berseru, “Namamu... Jasana Mandira, bukan? Aku dengar tentangmu. Kau... penyelamat kami semua hari ini.”
Jasana membuka mata sebentar, hanya sempat tersenyum samar dan mengangguk perlahan. Napasnya berat, tapi hangat. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi—semuanya gelap, dan akhirnya ia tertidur.
Zadran menutup matanya dengan tenang. “Biarkan dia istirahat. Ia butuh waktu untuk pulih.”
Malam pun merangkak turun.
Gubuk itu menjadi tempat perlindungan sementara bagi sekelompok orang yang nyaris dijual sebagai budak dan yang lain disiksa dan nyaris dibunuh karena mereka tahu terlalu banyak.
Di luar, suara burung malam dan semilir angin kaki gunung menjadi satu-satunya saksi, bahwa di balik bayang-bayang kekuasaan Bayawira, masih ada yang melawan.
Dan malam ini, mereka menang.
Gubuk Tersembunyi di Kaki Gunung Mandalgraha, Tengah Malam
Malam kian pekat. Kabut tebal menyelimuti sekeliling gubuk kayu yang sunyi, menyamarkan keberadaan mereka dari pandangan mata jahat. Hanya suara napas tenang dan sesekali desiran angin malam yang menggesek dedaunan terdengar dari luar.
Di dalam gubuk, lima belas orang korban Bayawira telah tertidur pulas, kelelahan jiwa dan raga. Di sudut ruangan, Jasana terbaring dalam tidur tenang, tubuhnya dibalut perban di beberapa bagian yang sebelumnya dipenuhi luka terbuka. Tapi sesuatu yang aneh mulai terlihat—luka-luka itu tampak pulih jauh lebih cepat dari biasanya. Kulit yang semula robek mulai merekat, memudar menjadi semburat merah muda segar. Aura halus kehijauan samar memancar dari tubuhnya.
Nandika duduk di sampingnya, diam dalam pengamatan. Wajahnya memancarkan kelegaan dan kekaguman. Ia tersenyum tipis, jemarinya menyentuh ringan ujung jubah Jasana yang tersingkap sebagian.
"Luka-lukanya... menyembuh dengan kekuatan yang tak biasa. Mungkinkah ini kekuatan khodamnya? Atau tubuhnya sendiri memang sudah melampaui batas manusia biasa?" batinnya.
Matanya menatap wajah Jasana yang tampak polos dan damai dalam tidur, tak ubahnya anak kecil yang lelah bermain seharian. Jauh dari sosok pemimpin Guild masa depan yang kuat, namun justru itulah yang membuat Nandika semakin tertarik—bukan hanya pada kekuatannya, tapi pada sisi-sisi manusiawi yang jarang terlihat.
Di Luar Gubuk – Penjagaan Malam
Bagas duduk di atas batu besar, tangan besarnya menggenggam sebilah dahan sebagai senjata darurat. Di sampingnya, Zadran berdiri bersandar pada pohon, mata hitamnya tajam menembus kabut, penuh kalkulasi.
“Kalau kita nunggu terlalu lama, pasukan Bayawira bisa datang kapan saja,” kata Bagas pelan. “Kita bawa lima belas orang, kebanyakan lemah dan trauma. Gak bisa ngelawan. Kita harus keluar sebelum matahari tinggi.”
Zadran mengangguk, lalu membuka mulutnya dengan suara tenang namun pasti.
Strategi Brilian Zadran - “Jejak Tiga Bayangan”
Zadran menjelaskan rencananya dengan suara rendah namun mantap.
1. Pecah Jalur Pelarian Menjadi Tiga Kelompok Bayangan.
Zadran menyarankan agar mereka membentuk tiga kelompok kecil, masing-masing melalui jalur berbeda yang mengarah ke satu titik kumpul rahasia di lembah barat, tepat di luar wilayah kaki gunung.
Kelompok pertama terdiri dari para korban dan satu pengawal berpengalaman (Bagas), mereka akan mengambil jalur melalui sungai kecil yang tertutup pepohonan dan rawan lintah namun aman dari patroli Bayawira.
Kelompok kedua (dipimpin Zadran dan Nandika) akan melintasi jalur atas berbatu, lebih berbahaya tapi strategis untuk memancing perhatian musuh dan membuat pengecoh.
Kelompok ketiga adalah “bayangan palsu”: Zadran akan membuat jejak tipuan, berupa tali diseret, jejak kaki palsu, dan aroma getah yang meniru jejak manusia menuju arah selatan, menjauhkan perhatian dari jalur utama.
2. Titik Kumpul Rahasia di Lembah Berbatu “Nini Baya.”
Lembah ini adalah tempat sunyi dan jarang dijamah, diapit tebing pendek dan ditutupi kabut pagi yang tebal. Zadran pernah lewat sana dalam ekspedisi sebelumnya dan menyimpan peta rahasianya.
Di sana sudah tersedia perbekalan darurat yang dikubur oleh kelompok pengintai sebelumnya, termasuk air minum dan bahan bakar.
3. Sandi Waktu dan Tanda.
Masing-masing kelompok akan meninggalkan tanda rahasia dari daun pinang dilipat segitiga, diletakkan di bawah batu tertentu sepanjang jalur, sebagai penanda bahwa mereka selamat dan melanjutkan.
Jika semua berjalan lancar, mereka akan berkumpul kembali dua jam setelah fajar, dan langsung melanjutkan perjalanan menurun ke desa terdekat.
Bagas mengangguk, mulutnya menggigit bibir bawah.
“Kalau semua korban bisa jalan, rencana ini bisa berhasil. Tapi kalau ada yang jatuh sakit—”
“Kalau ada yang sakit,” potong Zadran, “aku akan bawa di punggungku. Kita semua anggota Bayu Geni. Nyawa mereka, tanggung jawab kita.”
Bagas menatap pemuda itu sejenak. Dalam diri Zadran yang tampak lesu dan tak bersemangat, ternyata tersembunyi tekad baja yang meyakinkan.
“Kalau gitu,” kata Bagas sambil bangkit berdiri, “kita pastikan semuanya siap sebelum fajar menyingsing.”
Zadran mengangguk.
Kabut kian menebal, namun semangat di dada mereka justru mulai menyala. Esok hari, saat matahari menyentuh punggung Gunung Mandalgraha, mereka akan bergerak. Pelarian berani ini akan menjadi awal legenda kecil yang hanya diketahui oleh mereka yang selamat dari gelapnya Watu Lingsir.
Fajar Menyingsing di Kaki Gunung Utara
Udara pagi terasa lembap, berembus lembut di sela-sela pepohonan tinggi yang masih berselimut kabut tipis. Aroma tanah basah dan dedaunan segar mengisi rongga napas. Burung-burung hutan mulai bersahutan, perlahan menggantikan sunyi malam yang menekan.
Jasana berdiri di bawah pohon beringin kecil, tubuhnya tegap walau masih menyimpan sedikit sisa-sisa luka semalam. Sorot matanya sudah kembali tajam, menatap penuh perhatian ke arah Zadran yang tengah membentangkan secarik peta lusuh buatan tangan, digambar di atas kulit pohon lontar dengan arang dan getah.
Zadran duduk setengah berlutut, mantelnya yang hijau pekat basah oleh embun pagi. Tangan kirinya menunjuk tiga jalur yang ditandai dengan garis-garis samar.
“—Kita akan pecah menjadi tiga jalur bayangan,” bisiknya, suaranya rendah namun mantap. “Tujuan akhir kita semua adalah Lembah Nini Baya, di sisi barat kaki gunung. Jalur ini,” ia menunjuk garis meliuk ke utara yang berhenti di satu lingkaran kecil, “adalah tempat berkumpulnya. Jarang dilewati. Bahkan Bayawira pun tak pernah menganggap tempat itu penting.”
Jasana mengangguk pelan. “Tiga jalur?”
Zadran mengangguk, menoleh sekilas ke belakang memastikan tak ada yang mendekat, lalu melanjutkan.
1. Jalur Sungai – Kelompok Penyelamat
“Kelompok pertama,” bisik Zadran, “adalah inti dari penyelamatan: para korban dan satu penjaga kuat. Aku sarankan Bagas yang memimpin.”
Bagas yang berdiri di belakang mereka, menyeringai dengan gaya khasnya, meski wajahnya tampak lelah.
“Aku dan sepuluh anak gadis? Waduh, ini bukan misi, ini hampir jadi rombongan ziarah...” gumamnya sambil mencibir santai, “...tapi ya sudahlah, kuterima. Aku jamin semua selamat.”
Zadran tersenyum sekilas, lalu melanjutkan, “Kalian akan melewati aliran sungai kecil yang menyusup ke timur laut lalu melengkung ke barat. Airnya cetek, tapi banyak lintah. Hati-hati. Pepohonan lebat, tak terlihat dari udara. Jalur ini aman dari patroli Bayawira—selama kalian tak membuat suara.”
Rana Tiradipa, bangsawan muda dari Tirabwana, yang selama ini hanya diam di pinggir pohon sambil memeluk lututnya, kini berdiri perlahan dan mengangguk ke arah Bagas.
“Aku ikut jalur itu. Pengawalku sudah siap.”
2. Jalur Tebing – Pengalih Perhatian
Zadran menunjuk jalur kedua—garis yang menanjak, penuh cekungan batu.
“Jalur kedua: aku dan Nandika akan membawa tiga korban lainnya—pengembara muda dan dua regu pencari. Kita lewat tebing atas, jalurnya sempit, licin, tapi dari sana kita bisa terlihat. Aku ingin Bayawira mengejar kami, bukan kalian.”
Nandika mengencangkan ikatan tombaknya. Wajahnya serius, tubuhnya masih menyimpan luka semalam, namun matanya menyala.
“Kalau harus memancing musuh, aku tahu caranya,” ucapnya. “Aku bawa tombakku yang paling berisik.”
3. Jejak Palsu – Penyesat Bayangan
Zadran menatap Jasana lurus. “Tugasmu tak kalah penting. Kau sendiri, jalur selatan. Bukan untuk lari—tapi untuk menyesatkan.”
Jasana menyeringai kecil, memutar-mutar tali yang terikat pada sebilah ranting di tangannya.
“Jejak palsu, eh?”
“Tarik tali ke semak, buat jejak kaki samar, sebar getah dari pohon lodong yang baunya mirip peluh manusia. Bawa potongan kain bekas korban yang sudah disayat sedikit. Giring perhatian mereka ke selatan. Dan jangan menoleh.”
Jasana mengangguk dalam. “Akan kulakukan. Aku akan membuat seolah kami semua ke arah itu.”
Titik Kumpul: Lembah Nini Baya
Zadran kembali menunjuk titik bundar kecil di peta.
“Di Lembah Nini Baya ada tempat kosong yang aku dan tim lama pernah pakai saat ekspedisi—aku sempat mengubur cadangan perbekalan. Air, makanan kering, minyak obor. Kita akan kumpul di sana dua jam setelah fajar.”
“Dan tanda?” tanya Jasana.
Zadran merogoh sakunya, menunjukkan selembar daun pinang yang dilipat rapi membentuk segitiga.
“Ini. Daun pinang lipat segitiga. Setiap kelompok akan meletakkan satu di bawah batu pipih di sepanjang jalur—tanda bahwa kalian selamat dan lanjut. Kalau tak ada tanda setelah tiga jam, anggap kelompok itu tak berhasil... dan lanjutkan tanpa menunggu.”
Bagas menyilangkan tangan. “Kalau aku tak muncul di sana nanti, tolong... anggap aku berhasil bikin musuh lelah.”
“Kalau aku dan Nandika tak muncul,” Zadran menyambung, “anggap kami sudah mengalihkan perhatian cukup jauh.”
Jasana menatap mereka satu-satu, sorot matanya penuh rasa hormat dan keteguhan.
“Kalau kalian tak muncul... aku akan cari kalian setelah semua korban selamat,” ucapnya pelan.
Kabut mulai menipis. Langit perlahan berubah jingga keemasan. Fajar sepenuhnya merekah.
Zadran melipat kembali peta, lalu berdiri.
“Sudah waktunya. Bagas—bawa mereka, diam dan cepat. Nandika, ikuti aku. Jasana—kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Ketiganya saling bertukar anggukan, dan tanpa banyak kata, mereka mulai bergerak. Jejak-jejak pelarian dimulai—bukan sekadar menyelamatkan nyawa, tapi menyelamatkan masa depan.
Pelarian Bayangan – Strategi Tiga Jalur Zadran
Kabut masih menyelimuti lereng kaki Gunung Mandalgraha saat tiga bayangan perlahan-lahan berpencar menyusuri jalur mereka masing-masing. Tak satu pun kata perpisahan diucapkan—karena dalam sunyi, mereka semua tahu: terlalu banyak suara, berarti maut.
Kelompok Pertama – Jalur Sungai Rimba
Dipimpin: Bagas Prayoga
Anggota: 10 gadis muda, Rana Tiradipa, pengawal pribadi Rana
Aliran air sungai kecil menderas lembut, nyaris tak terdengar oleh telinga biasa. Bagas berjalan paling depan, tangan kanan memegang sebatang kayu runcing yang ia pakai untuk mengetuk-ngetuk dasar air, memastikan tak ada lubang jebakan.
Anak-anak gadis itu bergerak setengah membungkuk, tubuh mereka menyatu dengan bayang-bayang rimbun daun. Rana Tiradipa berada di tengah barisan, menggenggam tangan salah satu gadis yang kakinya sudah mulai gemetar. Sang pengawal, meski terluka, tetap siaga di belakang, bahunya menahan beban dari kantung air dan cadangan makanan kering.
Beberapa lintah menempel di kaki mereka—tapi tidak ada yang mengeluh. Bagas bergerak cekatan memotongnya dengan bilah kecil. Satu-satunya suara yang terdengar adalah desir air dan napas yang tertahan.
Satu kali, mereka mendengar derap kaki kuda dari atas tebing.
Bagas segera memberi isyarat diam, lalu mengangkat satu tangan. Mereka semua tiarap di air dangkal, tak bergerak, tak bernapas. Hanya mata yang mengintip dari balik semak.
Beberapa menit yang terasa seperti seabad berlalu... dan suara itu menghilang.
Bagas menoleh, tersenyum pada anak-anak yang ketakutan. “Lanjut. Kita hampir di ujung jalur sungai.”
Kelompok Kedua – Jalur Tebing Berbatu
Dipimpin: Zadran dan Nandika Sutasmi
Anggota: Pengembara muda (19 tahun), dua anggota regu pencarian (25 tahun)
Mereka bergerak menyusuri jalur sempit berbatu yang meliuk di sisi barat gunung. Di bawah sana, jurang terbuka menganga. Nandika bergerak cepat tapi berhati-hati, menancapkan tombaknya ke batu sebagai penyeimbang.
Salah satu regu pencari kehilangan pijakan—nyaris jatuh jika Zadran tidak menangkap bahunya tepat waktu. Mereka tertahan, napas mereka tertahan, sebelum kembali berjalan.
Di tengah jalan, Zadran menyalakan api kecil dari batu pemantik, lalu menggantungkan secarik pakaian sobek di semak berduri. Ia membiarkannya berkibar—umpan bagi mata-mata Bayawira yang mengintai dari kejauhan.
“Sekarang mereka tahu kita di sini,” bisiknya pada Nandika. “Tinggal buat mereka percaya kita semua lewat sini.”
Tak lama kemudian, seperti yang direncanakan, suara teriakan patroli terdengar dari balik batu besar.
Nandika mengangkat tombaknya dan menancapkannya ke tanah keras, membuat suara gemuruh kecil, lalu menarik mundur semua anggota ke sisi terowongan sempit yang tersembunyi di balik tebing.
Taktik berhasil. Pasukan Bayawira melewati jalur batu dengan tergesa-gesa, tak menyadari bahwa itu hanya ilusi jalur utama.
Kelompok Ketiga – Jejak Palsu di Selatan
Dipimpin: Jasana Mandira (sendirian)
Jasana bergerak cepat, namun penuh perhitungan. Ia menyeret seutas tali di tanah berlumpur, meninggalkan pola jejak kaki dan goresan semu yang seolah-olah berasal dari belasan orang.
Ia mencampur getah dari pohon lodong dengan sedikit tanah lembap, menepuknya pada bebatuan dan batang pohon—menyebarkan aroma yang menyerupai peluh dan bau luka terbuka.
Sesekali, ia meninggalkan potongan kain yang diikat dengan simpul kecil—detail yang akan menipu penciuman anjing pelacak sekalipun.
Beberapa jam kemudian, saat ia menyusup ke balik semak-semak rendah di sisi selatan, ia mendengar suara klakson siaga dari pos Bayawira. Pasukan mereka telah termakan umpan.
Ia tersenyum kecil, lalu memutar arah menuju barat—tempat titik pertemuan sejati berada. Kabut mulai naik pelan dari bawah lembah.
Lembah Nini Baya – Titik Pertemuan
Saat matahari sepenuhnya terbit, kabut lembah masih menebal, menyelimuti batu-batu besar dan semak belukar.
Daun pinang segitiga mulai tampak di bawah batu penanda pertama. Jasana yang tiba lebih dulu meletakkan miliknya di bawah batu datar, lalu duduk bersandar sambil mengatur napas.
Tak lama kemudian, dari arah atas tebing, muncul bayangan Nandika yang memapah salah satu regu pencari. Zadran menyusul dari belakang, membawa kantung air yang hampir kosong.
Ketiganya hanya saling mengangguk. Tak ada pelukan, tak ada sorakan. Hanya napas lega dan tatapan penuh pengertian.
Beberapa saat kemudian, suara dari balik semak membuat mereka siaga—namun ternyata itu Bagas, membawa seluruh rombongan korban. Tubuhnya dipenuhi bekas goresan lintah dan lumpur, namun wajahnya bersinar bangga.
“Kubilang juga apa,” katanya sambil mengacungkan jempol, “semua selamat.”
Rana Tiradipa membantu salah satu gadis duduk, sementara pengawalnya segera menyisir luka-luka ringan yang mereka alami. Semua dalam kondisi hidup dan sadar.
Zadran membuka penanda tanah, menggali perbekalan darurat—sekarung kecil makanan kering, dua botol air cadangan, dan minyak obor.
Ia membagikan air secara merata, lalu menatap ke arah langit yang mulai membiru.
“Langkah kita belum berakhir. Tapi yang pasti... kita telah keluar dari neraka di kaki Gunung Mandalgraha.”
Jasana menatap lembah yang dikelilingi tebing sunyi itu, lalu mengangguk.
“Terima kasih, Zadran,” bisiknya. “Tanpa rencanamu... mungkin tak ada satu pun dari kita yang bisa berdiri di sini hari ini.”
Semua kelompok selamat. Tiga jalur, satu tujuan.
Strategi Zadran terbukti sebagai siasat yang menyelamatkan lima belas jiwa dari jerat Bayawira.
Namun pelarian mereka baru permulaan—sebab di luar lembah, dunia masih menunggu... dan ancaman belum usai.