Rapat Tertutup Malam Hari di Ruang Mandala Utama Guild Bayu Geni
Langit Tirabwana telah ditelan gelap malam. Bintang-bintang bertaburan di angkasa, namun di jantung ibu kota Mandalagiri, tepatnya di ruang Mandala Utama Guild Bayu Geni, cahaya datang bukan dari langit, melainkan dari lentera kristal berisi nyala api berwarna biru yang menggantung tinggi di atas meja bundar batu hitam. Dinding ruangan dipenuhi ukiran sejarah para leluhur, dan simbol kekuatan purba berpendar samar di beberapa titik, seolah menyadari bahwa malam ini keputusan penting tengah dibahas.
Pangeran Mahkota Maheswara duduk di kursi utama yang lebih tinggi sedikit dari yang lain. Ia mengenakan pakaian resmi berwarna hitam dengan simbol api menyala di dada. Pedang Arka Wijaya bersandar tenang di pangkuannya, tetapi nyala merahnya berkedip halus—seakan bereaksi terhadap ketegangan di ruangan.
Di sekeliling meja bundar telah duduk para kapten divisi:
Pradipa Karna, mengenakan mantel hijau pekat Divisi Raka Lelana, wajahnya tenang namun tegas.
Kirana Wismadanta, tubuh ramping berotot dalam setelan merah bata Divisi Panggrahita Aji, duduk tegak dengan mata tajam menyapu sekeliling.
Kalandra Wisanggeni, sosok sunyi dengan jubah kelabu keunguan Divisi Bayang-bayang Geni, matanya redup namun waspada.
Mahadewa Rakunti, dengan sikap resi, tenang dalam balutan hitam keunguan Divisi Rasa Prawira, jemari menggenggam tongkat Kalaweda di samping kursinya.
Doyantra Puspaloka, berperawakan besar dan mantap, suara napasnya berat dan teratur, mengenakan jubah kuning gading Divisi Mandala Dhana.
Pradipa Karna membuka laporan dengan suara rendah dan mantap.
“Yang Mulia, rekan-rekan Kapten. Misi pengamanan artefak Watu Buwana dari Candi Gunung Silu telah berhasil. Dipimpin oleh anggota kita, Jasana Mandira, bersama Nandika, Nenden Ayu Jalaksana, dan Zadran. Artefak kini diamankan dan segel diperkuat kembali. Namun lebih penting dari itu… kami menemukan tujuan Bayawira Utara mencurinya. Mereka mencari jejak kekuatan purba yang tersembunyi.”
Ia membuka gulungan peta dan meletakkannya di tengah meja. Gambar struktur kekuatan Bayawira terpampang: titik merah menunjuk lokasi-lokasi persembunyian, skema pasukan, dan hierarki.
“Kapten mereka, Kandhara Mangkara… seorang manusia ras raksasa. Konon telah punah, tapi kini memimpin gabungan pasukan manusia raksasa dan jin dari Alam Tirakarsa. Wakilnya, Gerungga Balaratri, dulunya bangsawan Tirabwana yang hilang. Dan ini…”—Pradipa menatap semua orang—“…berkat keputusan taktis Jasana, kita kini memiliki mata-mata di dalam tubuh Bayawira. Mantan Wakil Kapten mereka, Inggrita Maranile, kini bekerja untuk kita, dan Laporan peta Kekuatan ini berasal darinya, sebagai langkah awal bentuk kesetiaan terhadap kita.”
Kirana sempat menyipitkan mata, nada suaranya datar namun kritis.
“Apakah bisa dipercaya? Pengkhianatan macam itu bisa bermain dua sisi.”
Namun Kalandra—yang sebelumnya hanya diam—berbicara perlahan.
“Aku sudah periksa latar dan rekam aura perempuan itu. Ia memang mengalami pergolakan jiwa. Tampaknya… kepercayaan Jasana tidak sepenuhnya bodoh.”
Mahadewa Rakunti mengangguk ringan, suaranya penuh pertimbangan.
“Ini pertanda, bahwa perpecahan dalam Bayawira sendiri mulai terbentuk. Kita harus cerdik membaca celah.”
Pangeran Maheswara mendengarkan semuanya tanpa menyela, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja batu.
Kemudian Kalandra mengangkat laporan lain.
“Laporan dari tim Darsa. Mereka menggagalkan ritual Bayawira Selatan. Pemimpinnya, Resi Wighna Laksa, mengerahkan dukun-dukun hitam untuk tujuan yang serupa: membangkitkan kekuatan purba. Namun pendekatan mereka berbeda… lebih mistis, lebih ritualistik. Dua jalur, satu tujuan.”
Doyantra yang sedari tadi diam, menggeram pelan.
“Kekuatan purba… jika sampai jatuh ke tangan mereka, apapun yang mereka bangun akan menjadi kiamat kecil.”
Pangeran Maheswara akhirnya bersuara, tenang namun setiap kata bagaikan komando perang.
“Bayawira… sudah menggenggam empat kekuatan purba. Tersisa tiga. Tapi dua di antaranya—tidak akan semudah itu mereka rebut. Satu tersembunyi di dalam Istana Tirabwana. Satu lagi…”—ia menatap Kirana dan Mahadewa sesaat—“…tersimpan di Ruang Rahasia Guild Bayu Geni, hanya diketahui aku dan Raksadana.”
Keheningan menyelimuti ruangan sejenak. Kirana mengepalkan tangan di atas pahanya, matanya semakin tajam.
“Lalu satu terakhir?”
Maheswara menoleh pelan, suaranya berubah lebih berat.
“Masih menjadi misteri… Tapi bayangan keberadaannya sudah mulai terungkap lewat gerak-gerik Bayawira. Kita harus lebih cepat dari mereka.”
Ia berdiri, lalu berkata penuh tekad.
“Aku akan memerintahkan peningkatan pengamanan spiritual dan ghaib di Istana Tirabwana. Kalung penjaga energi akan diaktifkan kembali. Ruang rahasia di bawah Guild ini juga akan diperkuat segel spiritualnya. Kekuatan purba tak boleh jatuh ke tangan gelap.”
Semua kapten mengangguk mantap. Pradipa menyentuhkan tangan ke dada, memberi hormat.
“Atas nama kehormatan Raka Lelana, kami siap menjaga perbatasan dunia ini dari kegelapan.”
Kirana menyusul.
“Panggrahita Aji akan menyiapkan pasukan spiritual untuk menutup celah jiwa yang mungkin mereka pakai.”
Kalandra, pelan, namun penuh makna.
“Kami akan membuat bayangan mereka menjadi kabut yang tak mampu melihat terang.”
Doyantra menggenggam gagang gadanya.
“Satu koin emas pun takkan jatuh ke tangan mereka, apalagi kekuatan.”
Mahadewa Rakunti mengangkat tongkatnya sedikit, cahaya kehijauan membias di wajahnya yang tenang.
“Aku akan bicara dengan roh-roh lama… mungkin mereka tahu ke mana kekuatan terakhir itu disembunyikan.”
Pangeran Maheswara menatap semuanya, lalu berkata dalam penutup,
“Perang belum datang. Tapi langkah-langkah awalnya sudah terdengar. Kita tidak menunggu. Kita bertindak. Demi Mandalagiri.”
Nyala api biru di atas mereka bergetar… seolah menyambut tekad para penjaga terakhir negeri ini.
MALAM DI HUTAN RIMBA, MANDALAGIRI UTARA
Hening malam menyelimuti hutan purba yang lebat di wilayah utara Mandalagiri. Pepohonan tinggi menjulang, dedaunan menari pelan dibelai angin malam, dan cahaya bulan purnama menembus celah-celah ranting, menciptakan bayangan menari di atas tanah.
Di antara rimbunnya hutan, sebuah rumah pohon sederhana namun kokoh berdiri di atas batang pohon raksasa. Dindingnya terbuat dari papan kayu tua, dihiasi ukiran-ukiran simbol pelindung, dan obor kecil menyala temaram di sudut beranda.
Inggrita Maranile berdiri diam di tepian balkon rumah pohon itu, tubuhnya tegak namun mata berkaca-kaca menatap malam yang terbentang luas. Ia mengenakan tank top hitam pendekar, kulitnya yang putih langsat memantulkan cahaya bulan dengan samar. Rambut panjang keunguan yang diikat tinggi bergetar lembut diterpa angin.
Di genggamannya tergenggam sebuah kepingan obsidian merah kecil, bersinar samar. Ukiran berbentuk segitiga bercahaya di permukaannya, simbol “Sambung Nurani”, pemberian dari Jasana.
Inggrita (dalam hati, lirih):
"Kenapa... kau begitu tulus? Aku sudah terlalu jauh... terlalu kotor..."
Kilasan masa lalu menabrak pikirannya—usia 17 tahun, diculik dari desa kecil Higabana oleh tentara Mandalagiri. Diseret sebagai budak ke tanah asing, diperlakukan sebagai milik oleh bangsawan rakus. Setiap luka, setiap malam dingin, setiap jerit tak terdengar, membentuk dinding di dalam hatinya... hingga perlahan dinding itu retak oleh satu cahaya yang tak disangka: Jasana.
Dari balik bayangan gelap, sesosok roh prajurit wanita berzirah samurai muncul perlahan. Itulah Onna Bushi, khodamnya. Wujudnya tenang namun penuh aura tajam. Mata rohnya menyala samar merah, dan suara lembut namun kuat terdengar dari balik kabut antara alam.
Onna Bushi (dengan suara datar lembut):
“Pemuda itu. Dia sedikit mengobati luka di jiwamu, bukan?”
Inggrita menoleh pelan, mengangguk pelan. Senyum samar menghias wajahnya. Tapi matanya masih menyimpan keraguan, seperti bara yang tak berani menyala.
Inggrita:
“Dia... berbeda dari yang lain. Tapi aku tak pantas…
Aku... bukan siapa-siapa lagi. Seorang budak. Tercemar. Rusak. Lelaki baik sepertinya tak pantas disandingkan denganku.”
Onna Bushi menatapnya dalam, lalu melangkah mendekat. Jubah samurainya berkibar tipis ditiup angin roh. Tangannya yang seperti bayangan menyentuh pundak Inggrita—sebuah sentuhan hangat yang menembus kesendirian.
Onna Bushi:
“Jangan berkecil hati, Inggrita. Kau bukan budak siapa pun lagi.
Kau telah memilih jalanmu sendiri, dan kau bahkan berani melawan mereka yang dulu menyiksamu.”
Onna Bushi (dengan suara tenang):
“Pemuda itu bukan seperti laki-laki kebanyakan. Ia melihat cahaya... bahkan dalam kegelapan.”
Inggrita memalingkan wajahnya sebentar, memandangi batu obsidian itu lagi. Matanya berkilat oleh air mata yang ditahan. Jari-jarinya mengusap simbol segitiga yang bersinar lembut.
Inggrita (berbisik):
“Kenapa... kau yang harus menyentuh jiwaku, Jasana…?
Aku takut… jika hatiku berharap.”
Onna Bushi (tersenyum tipis):
“Jangan takut berharap, Inggrita. Kadang... hanya harapan yang bisa menyembuhkan luka yang tak bisa dilihat.”
Keheningan kembali turun. Burung hutan bersuara dari kejauhan. Di langit, awan pelan-pelan menutupi bulan.
Inggrita menghela napas dalam-dalam. Perlahan ia menyarungkan sepasang kerisnya ke pinggang, lalu menatap jauh ke hutan gelap.
Inggrita (tegas, lirih):
“Kalau takdir mengharuskan aku menghancurkan Bayawira dari dalam... maka aku akan lakukan.
Dan jika aku bisa melindunginya… meski dari bayangan, aku akan melakukannya.”
Onna Bushi berdiri di belakangnya, diam, lalu menghilang seperti asap tertiup angin. Tapi senyumnya tetap membekas di udara.
Kamera menjauh dari rumah pohon, meninggalkan siluet Inggrita yang masih berdiri di beranda, ditemani malam, angin, dan bara kecil dalam hatinya yang mulai menyala kembali.
Ruang Tamu VIP Resort Distrik Hiburan, Pulau Nelayan – Wilayah Mandalagiri Barat Daya
Ruangan beraroma kayu manis dan bunga laut. Lantai kayu berlapis karpet merah marun. Di meja bundar dari kaca hitam, dua pihak sudah duduk saling berhadapan. Penerjemah berdiri di sisi sang bangsawan asing yang mengenakan jubah biru laut dengan bordir perak.
Bangsawan Windmills:
“Goedenavond, edelvrouwe. Mijn naam is Hertog Albrecht van Hohenwelle, een afgezant van het Koninkrijk Windmills uit het Noorden. Ik kom in vrede en met een voorstel van wederzijdse welvaart.”
(Selamat malam, nyonya bangsawan. Nama saya Adipati Albrecht van Hohenwelle, utusan dari Kerajaan Windmills di Utara. Saya datang membawa damai dan usulan untuk kemakmuran bersama.)
Nyonya Catherine (tersenyum lembut, menjawab lancar dalam bahasa yang sama):
“Een genoegen u te ontmoeten, Hertog Albrecht. Ik ben Catherine van der Lindt, de huidige hoofdvertegenwoordiger van de Dra’vetha Handelsgroep op dit eiland. Uw taal is vertrouwd voor mij, ik heb het geleerd in mijn jeugd.”
(Sebuah kehormatan bertemu dengan Anda, Adipati Albrecht. Saya Catherine van der Lindt, perwakilan utama Usaha Dagang Dra'vetha di pulau ini. Bahasa Anda tidak asing, saya mempelajarinya sejak masa muda saya.)
Bangsawan Windmills (terkejut, sambil tersenyum sopan):
“Indrukwekkend. Zelden hoor ik mijn moedertaal zo vloeiend gesproken in dit deel van de wereld.”
(Luar biasa. Jarang saya mendengar bahasa ibu saya dituturkan sefasih ini di wilayah ini.)
(Ia memberi isyarat pada penerjemahnya untuk tidak melanjutkan.)
Bangsawan Windmills (melanjutkan dengan suara mantap):
“Ik zal dan zonder omwegen tot de kern komen. Wij zoeken een betrouwbare leverancier van tropische grondstoffen — met name kokosnoten en specerijen — voor onze handelscompagnie in Noord-Windmills. Uw groep komt hoog aangeschreven en ik stel voor een partnerschap aan.”
(Maka saya akan langsung ke inti. Kami sedang mencari pemasok bahan mentah tropis — khususnya kelapa dan rempah-rempah — untuk perusahaan dagang kami di wilayah Utara Windmills. Grup Anda memiliki reputasi tinggi, dan saya ingin menawarkan kemitraan.)
(Ia menggeser sebuah map kulit ke hadapan Catherine — berisi proposal dagang, termasuk harga beli, volume permintaan tahunan, serta skema pengiriman antar pelabuhan.)
Catherine (membuka map tersebut perlahan, membaca seksama. Pandangannya tajam, tapi tak bisa menyembunyikan ketertarikan):
“Een voorstel dat zowel ambitieus als eerlijk is. De hoeveelheden zijn groot, maar met onze netwerken en voorraadbeheersing is het haalbaar.”
(Sebuah usulan yang ambisius sekaligus adil. Jumlahnya besar, namun dengan jaringan dan manajemen persediaan kami, itu bisa dilaksanakan.)
“Ik ga akkoord. De Dra’vetha Handelsgroep zal kokosnoten en specerijen leveren zoals vermeld. Dit markeert het begin van een vruchtbare samenwerking.”
(Saya setuju. Usaha Dagang Dra’vetha akan menjadi penyuplai kelapa dan rempah-rempah sebagaimana tertera. Ini menandai awal dari kerja sama yang subur.)
Bangsawan Windmills (tersenyum lebar, menandatangani perjanjian di atas kertas segel kerajaan bersimbol roda angin bersalju):
“Moge deze alliantie beide rijken versterken.”
(Semoga aliansi ini memperkuat kedua kerajaan.)
(Nyonya Catherine juga membubuhkan tandatangannya, dengan cap stempel berlambang bulan sabit merah tergigit dan siluet kelelawar.)
[Adegan Penutup]
Para pelayan bangsawan asing membuka peti kecil berlapis baja hitam. Di dalamnya tersusun koin-koin emas bercetak lambang kerajaan. Peti itu diserahkan dengan hormat sebagai uang muka.
Bangsawan Windmills (berdiri, lalu mengulurkan tangan dengan anggun):
“Op een toekomst van voorspoed, edelvrouwe.”
(Untuk masa depan yang sejahtera, nyonya bangsawan.)
Catherine (menerima jabatan tangan dengan senyum dingin penuh wibawa):
“En op een horizon die zich opent naar verre koninkrijken.”
(Dan untuk cakrawala yang terbuka menuju kerajaan-kerajaan yang jauh.)
[Catatan Penulis]
Prestise Usaha Dagang Dra'vetha resmi meluas ke luar Kerajaan Mandalagiri.
Dengan dimulainya kerja sama internasional ini, nama Tribe Dra'vetha perlahan tapi pasti akan menembus kalangan bangsawan asing.
Namun, di balik semua ini, rahasia Kalathraya tetap tersembunyi rapat, terlindungi oleh topeng keanggunan dan bisnis.
MARKAS RAHASIA BAYAWIRA UTARA, HUTAN LEMBAYUNG DIPA – WILAYAH MANDALAGIRI UTARA
Kabut lembayung menggantung pekat di antara pepohonan tinggi yang menjulang seperti pilar dunia. Di tengah wilayah terlarang yang tak pernah dijamah manusia ini, berdiri markas rahasia Bayawira Utara—sebuah desa tersembunyi di antara dimensi, terlindung oleh ilusi dan kabut jin.
Meski disebut markas, tempat ini tampak hidup layaknya perkampungan, namun dengan nuansa suram dan magis. Bangunan-bangunan berdinding kayu tua dan batu hitam dipenuhi simbol-simbol kuno. Asap dupa tebal mengepul dari berbagai titik, membawa aroma rempah dan sihir.
Di tengah keramaian, tampak beragam ras penghuni kegelapan:
Punggrang, jin kecil dengan tubuh cebol dan telinga panjang—berisik dan licik.
Balarakasa, jin besar bertaring yang sering bertengkar sambil mengangkat senjata berat.
Jin bertubuh manusia dengan kepala hewan, seperti kepala serigala, rusa, bahkan gagak—tampak tenang namun menebar rasa tidak nyaman.
Bandit-bandit manusia, terlihat dari pakaian compang dan tatapan liar mereka, berbaur seperti warga biasa.
Mereka bercengkrama, berlatih, minum dari kendi hitam, atau sekadar tertawa sambil berjudi. Namun semua aktivitas mereka berada dalam bayang-bayang kekuasaan dua sosok yang kini berdiri di sebuah teras tinggi yang menghadap seluruh desa.
TERAS KOMANDO MARKAS BAYAWIRA UTARA
Di tempat itulah berdiri Kapten Kandhara Mangkara dan Wakil Kapten Gerungga Balaratri.
Sosok Kandhara menjulang tinggi, mengenakan baju perang berat dengan simbol Bayawira yang berkilau di bawah cahaya lentera. Matanya hitam, menatap dalam, dan tak pernah benar-benar menunjukkan emosi selain murka atau tekad. Helm perangnya seperti warisan raja perang dari masa silam.
Di sebelahnya berdiri Gerungga—lebih muda, rapi, namun penuh karisma gelap. Pakaian bangsawan biru tua yang dikenakannya tampak asing di tempat sebuas ini, namun simbol ular berkepala dua di dada kiri cukup menjelaskan siapa dirinya sekarang.
Kandhara (nada berat, sedikit geram):
“Aku tak menyangka… Inggrita kalah. Padahal dia seharusnya cukup kuat untuk menghadapi siapapun di wilayah Utara.”
Gerungga (menjawab tegas):
“Yang mengalahkannya bukan orang biasa, Kapten. Namanya Jasana Mandira. Seorang pemuda dari Guild Bayu Geni.”
Kandhara (berdiri tegak, wajah menegang):
“Lagi-lagi Bayu Geni… seperti racun yang terus menyebar. Mereka selalu muncul saat kita mendekati sesuatu yang penting.”
Kandhara (dengan nada menyelidik):
“Di mana Inggrita sekarang?”
Gerungga:
“Seperti biasa. Di rumah pohon di Rimba Utara. Dia sedang menyendiri… menenangkan pikirannya.”
Kandhara berjalan perlahan menuju tepi teras, menatap hutan yang membentang di kejauhan.
Kandhara (berbicara seperti pada dirinya sendiri):
“Jejak Kekuatan Purba… tak bisa lagi kita temukan hanya dengan Artefak Suci. Penjaga mereka mulai sadar. Pasukan kerajaan juga semakin menyusahkan.”
Ia mengepalkan tinjunya.
Kandhara (mantap):
“Kalau begitu... hancurkan sumber masalahnya. Temukan pemuda itu—Jasana—dan habisi dia.”
Gerungga (menunduk):
“Perintah dilaksanakan Kapten.”
Kandhara:
“Jangan buat suara. Jangan sisakan jejak. Pastikan dia tidak sempat menyalakan harapan yang lebih besar.”
Gerungga mengangguk pelan. Matanya berkilat, dan tanpa suara, tubuhnya mulai memudar. Aura sihir khas teleportasi Bayawira menyelubunginya seperti kabut yang berputar.
Kandhara (datar, namun penuh perintah):
“Gerungga... jadilah bayangan sebelum malam turun.”
Gerungga (tersenyum tipis):
“Bayangan tak perlu malam untuk berburu.”
Dalam sekejap, Gerungga menghilang—meninggalkan pusaran udara kosong. Angin lembut menggoyang lentera.
Kandhara berdiri sendiri, namun bayangannya membesar... dan di kejauhan, lima sosok manusia raksasa berkulit batu dan bertubuh besar berjalan perlahan ke arah barat markas.
Mereka adalah warisan ras yang dikira telah punah, kini hidup kembali di bawah panji Bayawira Utara.
Dengan kamera perlahan mundur memperlihatkan markas Bayawira Utara, di tengah kabut lembayung dan pohon-pohon raksasa. Suara dentang senjata, tawa garang, dan bisikan sihir menyatu dalam satu tempat terlarang—pusat kekuatan kegelapan yang mulai bergerak.
🌲 Rumah Pohon Rahasia, Hutan Rimba Utara
Di tengah rimba lebat utara, kabut lembayung menyelimuti puncak-puncak pohon tua. Terletak sedikit terpisah dari markas utama Bayawira Utara, Di antara rimbunnya hutan, sebuah rumah pohon sederhana namun kokoh berdiri di atas batang pohon raksasa. Dindingnya terbuat dari papan kayu tua, dihiasi ukiran-ukiran simbol pelindung, dan obor kecil menyala temaram di sudut beranda. Di dalamnya, Inggrita Maranile, Wakil Kapten Bayawira Utara yang kini menjalankan misi rahasia untuk Guild Bayu Geni, duduk bersila di depan sebaris lilin kecil berbentuk naga terbalik.
Dengan jemarinya yang halus namun kuat, ia menorehkan mantra pengintai pada paku-paku sihir kecil di gulungan daun lontar, lalu menanamkannya secara halus di titik-titik tertentu yang telah ia hafal: dekat ruang rapat, gudang artefak, dan ruang komando Bayawira Utara.
Tak lama, bisikan-bisikan mulai terdengar di ruang kecil meditasi itu, disalurkan dari jarak jauh lewat sihir pendengar.
Kandhara Mangkara (dalam suara berat, tajam)
“Kalau begitu... hancurkan sumber masalahnya. Temukan pemuda itu—Jasana—dan habisi dia.”
Gerungga Balaratri (suara dalam dan padat, nada hormat)
“Perintah dilaksanakan, Kapten.”
Wajah Inggrita menegang, matanya memerah seperti bara api yang bangkit dari dalam dada. Ia tak bisa membiarkan ini berjalan tanpa peringatan. Dengan cepat, ia membuka kotak kecil berhias lambang bulan sabit tergigit, dan mengeluarkan sebuah batu obsidian merah dengan ukiran segitiga cahaya di tengahnya — Sambung Nurani, hadiah dari Jasana, yang kini ia genggam dengan hati-hati.
“Bangkitlah... nurani cahaya dari Lembuswana,” bisiknya.
Seketika kristal itu bergetar dan memancarkan sinar biru redup yang membelah dimensi kesadaran. Energi Khodam Jasana merespon... dan mengalir.
🛤️ Perjalanan Menuju Gunung Mandalgraha
Di jalanan bebatuan kaki gunung Mandalgraha, Jasana, Nandika, Bagas, dan Zadran menunggang kuda dalam formasi rapat. Angin dingin berhembus dari pegunungan. Suasana menegang karena desas-desus tentang Laporan Orang Hilang ditelan Kabut dan lain-lain.
Namun, seketika langkah kuda Jasana terhenti. Ia menyentuh dada kirinya, tempat di mana batu Sambung Nurani digantungkan. Matanya kosong sesaat, lalu terdengar suara perempuan dalam pikirannya — halus namun penuh ketegasan.
Inggrita (melalui sambungan nurani)
"Jasana, waspadalah. Gerungga Balaratri sedang memburumu... bersama pasukan pilihannya dari Bayawira Utara.
Kapten Kandhara memerintahkan kematianmu karena engkau menggagalkan rencana mereka terkait Artefak Suci waktu itu. Mereka bergerak cepat."
Jasana menunduk, menarik napas panjang, lalu menjawab dalam hati — namun nurani Lembuswana mengirimkan jawabannya kembali pada Inggrita dengan suara penuh tekad.
Jasana:
“Akan aku hadapi. Terima kasih Inggrita. Jangan khawatir, aku tidak sendiri.
Aku bersama teman-teman yang kuat. Tapi kau... jaga dirimu di sana. Jika ada bahaya, Lembuswana akan sedikit melindungimu.”
💭 Kembali ke Rumah Pohon, Inggrita Mendengar Jawaban
Inggrita mendengarkan dengan senyum tipis di bibirnya. Matanya yang tajam perlahan melembut, meskipun dikelilingi oleh aura kegelapan. Ia menyentuh dada kirinya, tepat di atas jantung.
“Jasana... bahkan di tengah ancaman nyawamu, kau masih sempat mengkhawatirkanku.
Kau tak tahu betapa berbahayanya simpati seperti itu... untuk wanita sepertiku.”
Senyumnya berubah samar. Ia menatap langit senja yang mengintip di sela daun pohon. Di pinggangnya, keris kembar Asmaragata dan Kalamantri tampak bergetar halus, seolah merasakan bahaya yang akan datang dari sisi Bayawira sendiri.
Hutan Rimba Utara, Perbatasan – Senja Merah Membakar Langit
Di sebuah titik perkemahan tersembunyi, di bawah lindungan pohon-pohon tinggi yang menyelimuti langit dengan dahan-dahannya, Gerungga Balaratri berdiri di hadapan pasukan pilihannya. Angin berhembus membawa aroma tanah lembab dan daun basah, serta ketegangan yang tak terlihat di udara. Seorang anggota berbadan kecil dengan mata tajam dan langkah ringan menghampiri, lalu berlutut di hadapan Gerungga.
Anak Buah:
“Tuanku, kabar dari si Mata itu sudah tiba. Ia menyelinap di antara para anggota baru Guild Bayu Geni, dan kini ditempatkan di Divisi Rasa Prawira. Hanya engkau yang tahu identitasnya.”
Gerungga memutar tubuhnya perlahan, wajahnya tenang namun mata tajamnya bersinar gelap. Ia menyilangkan tangan di depan dada.
Gerungga:
“Bicara...”
Anak Buah:
“Target utama kita, Jasana... ia sedang menjalankan misi lintas divisi menuju Kaki Gunung Mandalgraha bersama tiga orang lainnya—Bagas Prayoga, Nandika Sutasmi, dan satu anggota baru bernama Zadran. Tiga dari mereka telah membangkitkan khodam, hanya Zadran yang belum.”
Senyum miring muncul di sudut bibir Gerungga. Cahaya senja yang jatuh dari sela dedaunan membuat siluetnya terlihat seperti bayangan arwah kuno.
Gerungga:
“Bayu Geni... mengantar jasad ke gerbang kami sendiri. Mandalgraha adalah pusat akar Bayawira Utama. Di sana... kami tak perlu berburu, cukup menutup pintu pulang mereka.”
Ia berbalik, menatap empat belas pasukan pilihannya. Masing-masing berdiri tegap dengan perlengkapan unik—beberapa mengenakan baju zirah ringan dengan simbol ular berkepala dua, yang lain mengenakan kain hitam panjang dan topeng kayu. Salah satu dari mereka, makhluk setinggi dua kali manusia biasa, adalah dari ras manusia raksasa, bertubuh kokoh dengan kulit kelabu kehijauan, menunggangi kuda besar dengan surai sehitam malam.
Gerungga:
“Kita berangkat malam ini. Kita akan menuju Markas Watu Lingsir di Kaki Gunung Mandalgraha, tempat mereka kemungkinan akan lewat adalah Dusun Patangruwah. Pastikan Mereka terkena Mantra tidur... Dan Bawa ke Watu Lingsir.”
Anak Buah:
"Siap Tuan Akan Kami atur di Dusun Patangruwah."
Ia mencabut pedangnya, Parengkara, pedang bermata dua dengan alur merah menyala di tengah bilahnya, bergetar pelan seperti bernafas bersama tuannya. Senjata itu dahulu milik bangsawan besar Tirabwana, namun sejak Gerungga menghilang tiga tahun lalu, pedang itu menjadi lambang kematian bagi yang menentangnya.
Gerungga:
“Yang lain... boleh kalian bunuh jika mereka menghalangi. Tapi Jasana—aku yang akan mengakhirinya. Dia punya sesuatu... dia telah berani Mengganggu Rencana Kapten Kandhara.”
Pasukan itu menjawab serempak dengan dentuman langkah dan pukulan dada kanan mereka.
Pasukan:
“Perintah diterima, Kapten!”
Di balik tatapan tenangnya, Gerungga tahu: misi ini bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah panggung untuk membuka kembali dendam lama, dan mengguncang akar yang ditanam oleh Guild Bayu Geni. Di Mandalgraha... darah akan tumpah.
Jalur Setapak Menuju Kaki Gunung Mandalgraha – Pagi Berkabut Tipis
Embun masih menggantung di ujung-ujung daun, dan udara pegunungan mulai terasa dingin menggigit. Cahaya matahari pagi belum mampu menembus lebatnya kabut yang menggantung di sekitar lereng bawah Gunung Mandalgraha. Empat penunggang kuda melaju pelan di jalur setapak sempit, diapit oleh semak dan pohon cemara tinggi.
Jasana menghela napas perlahan. Matanya menatap lekat ke arah puncak gunung yang nyaris tak terlihat karena kabut tipis yang menyelubungi lerengnya. Wajahnya terlihat tegang, namun matanya menyimpan tekad.
Jasana (dalam hati):
"Gua Sunyi... di atas sana... tempat markas utama Bayawira bersembunyi di balik kabut buatan. Inggrita tidak bicara sembarangan. Resi Wighna Laksa... kabarnya ia bisa memanipulasi medan dan waktu dengan mantra pertahanan."
Ingatan itu menyeruak dalam benaknya, percakapan larut malam beberapa hari sebelum misi ini dimulai...
Flashback – Taman Dalam Guild Bayu Geni, Tengah Malam
Inggrita berdiri di bawah pohon besar, jubah gelapnya menyatu dengan bayangan malam. Suaranya pelan namun tegas, penuh peringatan.
Inggrita:
“Jasana... Gunung Mandalgraha bukan sekadar gunung. Di sana, Markas Utama Bayawira berdiri tersembunyi, dijaga kabut mistis yang tak bisa ditembus pandangan biasa. Itu buatan Resi Wighna Laksa, Kapten Bayawira Selatan—salah satu tokoh paling berbahaya dari pihak mereka.”
Jasana:
“Kenapa kau memberitahuku ini, Inggrita? Kau belum pernah bicara sejauh ini.”
Inggrita (menatapnya dalam):
“Karena aku melihat sesuatu padamu. Sesuatu yang akan membuat pertempuran ini berubah. Tapi jangan gegabah. Di sekitar kaki gunung, ada desa-desa kecil. Tenang, sederhana... tapi banyak dari penduduknya adalah Bayawira. Mereka tidak akan segan membunuh jika merasa kau mencium jejak mereka.”
Jasana:
“Aku tak akan gegabah.”
Kembali ke Jalur Mandalgraha – Pagi Itu
Bagas, menunggangi kudanya yang kekar, melirik ke arah Jasana.
Bagas:
“Kau kelihatan serius sekali dari tadi. Ada yang mengganggumu?”
Jasana (singkat, menatap ke depan):
“Sedikit firasat. Kita harus tetap waspada.”
Nandika:
“Daerah ini sunyi... bahkan suara burung pun tak ada. Tapi aku merasa aura kehidupan ada di sekitar sini. Seperti... ada yang mengawasi.”
Zadran, anggota baru bertubuh sedang kurus namun berotot dengan rambut hitam acak-acakan dan ekspresi datar, menoleh ke kanan dan kiri, lalu berbicara dengan nada pelan.
Zadran:
“Kita sudah melewati dua desa, tapi hanya sedikit warga yang muncul. Aku yakin sebagian dari mereka bukan warga biasa.”
Jasana (mengangguk):
“Aku tahu. Tapi misi ini terlalu penting untuk dilewatkan. Aku melihatnya sendiri di papan misi: ‘Menelusuri Jalur Utara Mandalgraha, Investigasi Jejak Gaib dan Gangguan Makhluk Penghuni Tua. Orang-orang Sering Hilang ditelan Kabut Misterius. Misi Umum lintas divisi. Upah tinggi, risiko sangat tinggi.”
Bagas (berdecak):
“Dan kau langsung mengajukan diri?”
Jasana:
“Bukan hanya karena rasa penasaran. Aku ingin tahu... apakah benar markas itu ada. Dan kalau bisa, mencium baunya—walau sedikit. Aku tak akan bodoh menyerang, hanya... mengamati.”
Nandika (tersenyum tipis):
“Kau memilih kami karena kau butuh yang bisa bertahan jika terjadi apa-apa, ya?”
Jasana (menoleh dan tersenyum):
“Aku memilih kalian karena aku percaya pada kalian. Tak hanya kuat, kalian juga tidak ceroboh.”
Langkah kuda mereka berlanjut, menyusuri jalan berbatu yang mulai menanjak. Di kejauhan, bayangan samar desa mulai terlihat di balik kabut. Sebuah desa kecil bernama Dusun Patangruwah, tampak tenang dan bersahaja. Namun di balik dinding kayunya yang kusam dan jalan tanah yang bersih, tatapan-tatapan dari balik celah jendela terasa... mengawasi.
Zadran:
“Tempat ini... terlalu rapi untuk dusun terpencil.”
Jasana (mengangguk):
“Jangan buat masalah. Tundukkan kepala, ikut saja alurnya. Hari ini kita bermalam di sana... dan mulai mencari jejak halus dari dalam kabut.”
Kedai Makan “Rasa Lembah” – Dusun Patangruwah, Pagi Menjelang Siang
Udara di dalam kedai itu sedikit lebih hangat dibanding di luar. Bau kaldu rebusan akar dan daging liar memenuhi ruangan, menggoda perut siapa pun yang masuk. Meja-meja kayu tersusun rapi, namun hanya satu yang terisi—oleh empat anggota Guild Bayu Geni yang tampak seperti para pengelana biasa.
Bagas sudah seperti anak kecil yang menemukan harta karun. Matanya bersinar begitu melihat piring-piring makanan datang satu per satu.
Bagas (senang bukan main):
“Astaga, ini... ini daging rusa panggang! Dan itu apa, sayur akar langit?! Aku bisa makan dua kali ini!”
Nandika terkekeh pelan, memutar sendok di mangkuk sup.
“Kaldu ini... kaya banget. Rasa rempahnya kuat, ada sentuhan manis dari umbi hutan. Mereka tahu cara memasak.”
Zadran duduk tenang, matanya sesekali menelusuri seisi ruangan, lalu melirik pada Jasana yang duduk di seberangnya.
Jasana mendekatkan mulut ke telinga Zadran, berbisik hampir tanpa suara.
“Ada yang aneh dengan dusun ini. Warganya seperti menahan napas. Terlalu tenang. Terlalu rapi.”
Zadran mengangguk perlahan, menyahut lirih.
“Aku pikir juga begitu. Mataku tadi menangkap dua orang memeriksa kuda kita diam-diam. Kita harus berpura-pura. Jangan minum atau makan. Aku curiga makanan ini diberi mantra tidur. Mungkin kita sedang diumpan.”
Jasana:
“Kalau Bagas atau Nandika jatuh pingsan, kita ikut saja. Mungkin kita bisa dibawa ke markas utama Bayawira.”
Zadran mengangkat alis, lalu menjawab lirih sambil mengangkat cangkir ke bibirnya.
“Mainkan saja peranmu. Kita lihat siapa yang memancing kita.”
Obrolan mereka kembali normal. Bagas sibuk menyendok makanan, berbicara sembari mulutnya penuh.
Bagas (nyaris berseru):
“Kalau ini makanan orang desa, aku bersedia jadi petani!”
Nandika (tertawa kecil):
“Kau akan membuat kambing takut, Bagas.”
Suasana sempat mencair. Jasana dan Zadran pura-pura menyeruput air dari cangkir bambu mereka, padahal hanya menempelkan di bibir. Mereka tak menelan setetes pun.
Namun tak butuh waktu lama. Seketika, sendok yang dipegang Bagas terlepas. Matanya terbelalak sebentar, lalu tubuhnya meluruh dengan suara berat—bruugh!, jatuh menimpa kursi dan lantai.
Nandika memegang kepalanya dengan ekspresi kebingungan.
“Apa... kenapa rasanya—”
Tubuhnya ambruk ke meja dengan suara duk!, napasnya teratur... tapi tak sadarkan diri.
Jasana dan Zadran saling menatap sebentar. Lalu keduanya hampir bersamaan menunduk, berpura-pura lemas dan tertidur di tempat. Tubuh mereka terkulai seperti tak berdaya, namun telinga mereka tetap siaga mendengar setiap langkah.
Tak lama...
Suara pintu dapur berderit.
Langkah-langkah berat terdengar menggema di lantai kayu. Empat pria bertubuh besar dan berotot muncul dari balik pintu dapur. Mereka mengenakan pakaian desa biasa, tapi masing-masing membawa semacam belati pendek terselip di pinggang—dengan gagang bergambar lingkaran api dan mata satu di tengahnya.
Pria Pertama (berbisik keras):
“Keempatnya kena. Sudah kubilang mantra tidur itu paling ampuh kalau dicampur akar pekat bayangan.”
Pria Kedua memeriksa satu per satu.
“Hmm... yang ini kuat juga tubuhnya. Pasti pasukan tempur. Yang dua lagi—sepertinya siasat dan pelacak. Dan yang satu... tidak jelas... mungkin pemimpin.”
Pria Ketiga (dengan nada berat):
“Ikat tangan dan kaki mereka. Kita bawa ke Hadapan Wakil Kapten Gerungga. Sesuai perintah.”
Tanpa banyak bicara, mereka mulai mengikat keempat ‘tahanan’ tersebut dengan tali hitam dari serat pohon naga. Zadran dan Jasana menjaga napas tetap tenang. Satu kesalahan saja, mereka akan ketahuan berpura-pura.
Pria Keempat:
“Bawa lewat jalur belakang. Kita akan masuk ke Jalur Sunyi sebelum matahari benar-benar tinggi. Gerungga ingin mereka tiba sebelum tengah hari.”
Mereka lalu mengangkat tubuh para anggota Guild satu per satu ke atas kereta kayu yang ditarik oleh dua lembu hitam. Pintu belakang kedai dibuka, memperlihatkan jalur sempit menuju hutan lebat. Tanpa banyak suara, kereta bergerak masuk ke dalam rimba menuju arah kabut Gunung Mandalgraha.
Di dalam kereta, Jasana membuka sedikit matanya, cukup untuk melihat Zadran yang masih tenang, matanya tertutup rapat tapi jari-jarinya sedikit menekan tali di lengannya.
Jasana (dalam hati):
"Gerungga, ya... Wakil Kapten Bayawira Utara, Sesuai yang dikatakan Inggrita, Kalau ini jalannya untuk masuk ke markas mereka, maka kita harus siap. Tapi pertama, selamatkan Bagas dan Nandika... Lalu cari tahu... apa sebenarnya yang mereka sembunyikan di balik kabut itu."
DALAM PERJALANAN MENUJU MARKAS UTAMA BAYAWIRA
Kereta kayu itu berderit pelan menyusuri jalanan sempit yang dikelilingi pohon-pohon tinggi dan kabut pekat yang menggantung di udara. Roda-rodanya menghantam batu dan akar tua, menimbulkan suara geraman yang menyatu dengan suara serangga malam. Di dalam kereta, tubuh Bagas dan Nandika terbaring tak sadarkan diri, tangan dan kaki terikat tali hitam dari serat pohon naga. Sementara Jasana dan Zadran, masih berpura-pura pingsan, menahan napas mereka agar tetap meyakinkan.
Keempat pria bertubuh besar yang membawa mereka tetap diam, mata mereka sesekali menatap ke luar jendela sempit kereta, berjaga terhadap kemungkinan penguntit. Tubuh-tubuh mereka berotot, penuh luka lama—tanda mereka bukan petarung biasa. Mata mereka dingin dan terlatih, dan bisikan mereka terdengar seperti kode.
"Wakil Kapten Gerungga akan suka ini... Empat bocah bodoh yang menyusup tanpa tahu tempat ini bukan sembarang tempat."
Salah satu dari mereka tertawa pendek.
“Tunggu sampai mereka lihat apa yang kita simpan di dalam gua penjaga...”
Jasana, yang tubuhnya sengaja direbahkan di dekat pintu kayu, membuka sedikit matanya. Ia bisa melihat kabut yang menggulung seperti asap putih, dan sekelebat siluet batu hitam tinggi di kejauhan. Gunung Mandalgraha mulai terlihat, menjulang sunyi, angkuh, seakan menyembunyikan rahasia gelap di balik kabutnya.
NARASI - KEBENARAN DUSUN-DUSUN SEKITAR GUNUNG MANDALGRAHA
Kaki Gunung Mandalgraha tidak pernah benar-benar sepi. Meski terlihat hanya dihuni oleh penduduk dusun-dusun kecil—petani, penggembala, dan penjaga hutan—nyatanya sebagian besar dari mereka adalah Bayawira Utama, para loyalis garis keras yang ditanam untuk menjaga perimeter luar dari markas pusat mereka.
Selama bertahun-tahun, dusun-dusun seperti Patangruwah, Kalipuru, dan Ngaruman hanya menjadi peta kosong di catatan pemerintahan Tirabwana. Tetapi mereka menyimpan peran penting: sebagai radar hidup untuk mendeteksi penyusup, sebagai penyaring siapa pun yang terlalu dekat dengan rahasia Bayawira.
Orang-orang yang dirasa mencurigakan, para pengembara, pelacak, bahkan pemburu herbal sekalipun—jika mereka menyimpang terlalu jauh dari jalur umum dan masuk ke salah satu dusun ini, mereka tidak pernah kembali.
Termasuk satu laporan penting: hilangnya Rana Tiradipa, bangsawan muda dari Tirabwana yang tengah melakukan perjalanan pengembaraan bersama lima pengawal pribadi. Mereka hilang satu bulan lalu, terakhir terlihat di dusun kecil dekat Sungai Merapi. Dua minggu kemudian, tim pencari pun hilang. Hanya kereta kosong yang ditemukan terjebak di antara akar besar dan lumpur dingin.
KEMBALI KE KERETA – MENUJU MARKAS GERUNGGA BALARATRI
Kabut semakin tebal. Jalan berubah menjadi batu hitam yang licin, lalu menyempit menjadi jalur setapak. Kereta dihentikan di depan dinding batu raksasa, tempat dua patung batu berbentuk Garuda berkepala singa berjaga diam. Salah satu pria besar mengetuk pola tertentu pada batu—tiga kali cepat, dua kali pelan.
Batu itu bergetar... lalu bergerak perlahan membuka, menampakkan lorong gelap yang dipenuhi lentera api biru.
“Ayo, bawa mereka. Wakil Kapten menunggu.”
Langkah kaki mereka menggema, membawa keempat tubuh—dua lemas, dua berpura-pura tak sadarkan diri—ke dalam mulut rahasia Bayawira.
Jasana dan Zadran hanya punya satu kesempatan. Jika mereka gagal berpura-pura, maka semua akan berakhir sebelum misi benar-benar dimulai.
PROLOG EKSPLORASI — WATU LINGSIR
Kabut, Batu, dan Bayangan Yang
Tersembunyi
Di barat laut Ibukota Tirabwana, jauh melampaui peta perdagangan dan jalan utama kerajaan, berdirilah Gunung Mandalgraha—raksasa batu yang menjulang diam, menelan matahari pagi lebih lama dari wilayah lain di Mandalagiri Selatan. Gunung ini bukan hanya bagian dari alam yang tak dijamah, tapi telah menjadi tembok sunyi yang menyimpan perang rahasia, nama yang tidak pernah ditulis dalam catatan resmi, namun dikenal sebagai tempat berkumpulnya kekuatan paling berbahaya di seantero Tanah Persemayaman.
Di kaki gunung ini, di antara kabut pekat dan jalur setapak yang hanya dikenal oleh kaki-kaki tertentu, tersembunyi sebuah tempat bernama Watu Lingsir.
Watu Lingsir bukan markas utama. Ia hanyalah satu dari beberapa titik penghubung rahasia—markas pendukung yang digunakan oleh para Wakil Kapten Bayawira ketika mereka mempersiapkan pertemuan besar di atas puncak Mandalgraha, di markas utama yang hanya disebut sebagai “Gua Utama” oleh mereka yang cukup berani menyebutnya.
Tempat ini dibangun setengah ke dalam tanah, tersembunyi di balik rerimbunan akar dan batu besar. Hanya mereka yang mengetahui irama ketukan pada batu penjaga bisa masuk. Dindingnya berasal dari batu vulkanik hitam, keras dan tahan sihir, dilapisi mantra peredam suara dan ilusi pandangan yang membuatnya tampak seperti bagian biasa dari pegunungan. Tidak ada pintu, tidak ada jendela—hanya kabut yang menutup setiap celah pandang, menjadikannya tak terdeteksi dari udara maupun jarak jauh.
Di dalamnya, Watu Lingsir memiliki struktur yang rumit. Ruang-ruang bawah tanah menjulur seperti akar, masing-masing memiliki fungsi yang berbeda:
Ruang Pelatihan: tempat anak-anak dan remaja dilatih dalam diam dan kekejaman. Dindingnya dipenuhi senjata kayu dan baja yang tertata rapi. Di sinilah para Bayawira Muda lahir dalam ideologi, bukan darah.
Lorong Komando: ruang berkumpul para wakil kapten dan utusan Bayawira. Peta-peta kuno digantung dengan benang-benang merah yang menunjuk ke desa-desa kecil di seluruh Mandalagiri—sasarannya, targetnya, dan simpul pengaruh yang sedang tumbuh diam-diam.
Gua Jamu dan Racun: sebuah ruangan yang dipenuhi aroma tajam dari ramuan akar, bunga gunung, dan bisa binatang. Di sini, ahli-ahli racun meracik minuman yang bisa membuat orang lupa, tak sadarkan diri, atau mati perlahan selama sebulan.
Ruang Doa Senyap: meskipun Bayawira tak pernah menyembah dewa-dewa besar kerajaan, mereka memuja kekuatan purba yang tak dikenali. Dinding ruang doa ini dipenuhi ukiran wajah tanpa mata, dan sebuah api ungu terus menyala tanpa sumber bahan bakar.
MARKAS TAMPAK TENANG, TAPI PENUH MATA
Seluruh markas dijaga oleh Bayawira berstatus “Wicaksana”—tingkatan elit kedua setelah para Wakil Kapten. Mereka tidak memakai seragam. Mereka hidup sebagai penduduk, pendeta, pelayan, dan bahkan penghibur di dusun-dusun sekitarnya. Tapi ketika lonceng kabut dibunyikan—suara dalam nada rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka—semua berubah menjadi senjata hidup.
Watu Lingsir adalah simpul utama yang menghubungkan seluruh jalur rahasia dari berbagai dusun ke atas gunung. Jalur sempit berliku, lorong batu yang hanya selebar bahu, bahkan gua air yang bisa dilewati perahu kecil—semuanya mengarah ke satu tempat: Markas Utama Bayawira di Puncak Mandalgraha.
DUSUN-DUSUN SEKITAR GUNUNG: TITIK BAYANGAN
Dusun Kalipuru: terlihat seperti dusun pembuat anyaman dan peternak sapi, tapi menjadi tempat transit komunikasi pesan rahasia melalui kerajinan bambu.
Dusun Patangruwah: seakan dusun pembuat arang biasa, namun di bawah tanahnya terdapat ruang pemrosesan senjata ringan dan logam hitam.
Dusun Ngaruman: berfungsi sebagai pelabuhan sungai kecil di lereng barat. Di sinilah para tamu penting Bayawira sering ‘disamarkan’ dan ‘dihilangkan’ sebelum dibawa ke atas gunung.
KEHADIRAN JASANA DAN TIM: ANCAMAN DAN KESEMPATAN
Saat Jasana, Nandika, Bagas, dan Zadran akhirnya dibawa ke Watu Lingsir oleh para penjaga Bayawira, mereka masih belum tahu sejauh apa mereka telah menembus jantung organisasi musuh. Bagi Jasana, yang sudah mengetahui informasi penting dari Inggrita, ini adalah peluang emas. Bukan hanya untuk menemukan orang-orang yang hilang, tetapi untuk memetakan jaringan markas Bayawira—dan mungkin, untuk menemukan titik lemah dari sebuah kekuatan yang selama ini dianggap tak kasat mata.
Mereka belum tahu bahwa Gerungga Balaratri, Wakil Kapten yang menanti mereka di dalam, bukan hanya sekadar komandan. Ia adalah penjaga gerbang informasi, pelatih pemburu, dan penjaga rahasia jalan ke atas gunung.
Gunung Mandalgraha tidak pernah menyambut siapa pun. Ia menerima—lalu menyembunyikan—apa yang ia telan.
Bagi Bayawira, Mandalgraha adalah Ibu. Bagi para penyusup, ia adalah Liang.
Nyala yang Tak Padam di Kabut Watu Lingsir
Kabut abadi menyelimuti markas bawah tanah Watu Lingsir, menelusup diam-diam dari celah bebatuan dan lereng curam pegunungan Mandalgraha. Kabut itu bukan sembarang uap alam: ia dipenuhi bisikan gaib, gema langkah yang tidak pernah tampak wujudnya, dan bau besi tua yang seakan keluar dari tanah itu sendiri. Konon, tempat ini hanya permukaan—gerbang luar dari sarang utama Bayawira di atas gunung, tersembunyi dalam gua purba yang bahkan peta kerajaan pun tak mampu menandainya.
Di ruang terdalam dari markas ini, di balik pintu baja yang dihiasi simbol ular berkepala dua, terhampar Ruang Komando. Dinding batu tak rata memantulkan sinar obor kebiruan yang tak pernah padam, memantul pada meja batu pusat yang berbentuk spiral, dikelilingi empat belas sosok dari Bayawira Utara—mereka yang dijuluki “Taring Hitam”.
Di tengah ruangan berdiri seorang pria muda, namun sorot matanya menyimpan sejarah kelam yang tak sesuai dengan usianya. Dialah Gerungga Balaratri, mantan bangsawan Tirabwana yang menghilang tiga tahun lalu. Kini, ia bukan sekadar pengkhianat. Ia adalah Wakil Kapten Bayawira Utara—pemilik pedang bermata dua Parengkara, dan satu dari sedikit orang yang pernah melihat isi ruang rahasia Mandalgraha.
Di belakangnya berdiri makhluk dari ras manusia raksasa, bertubuh kelabu kehijauan, menjulang seperti tiang batu. Yang lain bersenjatakan trisula, panah beracun, atau sekadar membawa simbol kutukan Bayawira di dada mereka.
Seorang anak buah mendekat cepat dan memberi hormat.
"Wakil Kapten, keempat tahanan dari Bayu Geni telah dikurung di sel bawah. Yang satu itu—yang memakai pedang merah—telah kami temukan."
Gerungga menyipitkan mata.
"Bawa dia ke sini. Sekarang."
Di lorong sempit ruang tahanan yang lembap, Jasana Mandira dan Zadran berbaring dalam diam. Tangan dan kaki mereka terikat tali hitam dari serat pohon naga, tapi napas mereka mulai tenang, penuh kesadaran pura-pura. Di sisi lain, Bagas Prayoga terkulai, belum bangun dari pengaruh racun tidur. Nandika, menurut dugaan Jasana, ditahan terpisah—mungkin di ruang tahanan lain.
Dalam lirihnya, Jasana berbisik cepat,
"Zadran... Kalau kau lihat celah... cari Nandika. Bawa Bagas keluar. Gunakan ramuanmu untuk menyadarkan Bagas dan Nandika. Aku akan jadi umpan mereka."
Zadran mengangguk halus tanpa berkata-kata.
Tak lama, dua Bayawira bersenjata membuka pintu sel.
"Yang pedang merah itu, angkat dia! Wakil Kapten ingin melihat wajahnya."
Jasana tak bergerak, berpura-pura tetap pingsan. Ia diseret kasar, jubah hijaunya terseret tanah, mantel Raka Lelana-nya penuh debu dan noda darah kering. Tapi dari sudut matanya, ia sempat memberi satu isyarat kecil kepada Zadran—dua jari ke arah dada, lalu ke arah pintu keluar. Isyarat “pukul dan lari”.
Di dalam Ruang Komando, Gerungga berdiri menghadapi tubuh Jasana yang kini dilemparkan di hadapannya seperti barang jarahan. Ia menatap pemuda itu, lalu tersenyum tipis.
"Jadi... ini bocah yang mengalahkan Inggrita... Seperti ini rupanya wajah pengacau Bayu Geni..."
Ia mendekat, suaranya seperti pisau dipelintir perlahan.
"Apa kau tahu berapa banyak teman kami yang mati karena kalian? Kukira akan lebih mengesankan..."
Ia mencabut Parengkara, pedang bermata dua dengan kilau gelap keperakan. Ujungnya diarahkan ke leher Jasana. Saat logam itu hampir menyentuh kulit...
ZZZKT!
Tangan kanan Jasana menyala. Aura api ghaib biru menyelimuti lengan dan telapaknya, dan dalam gerakan sekilas, ia menahan tebasan itu dengan tangan kosong.
Seketika Gerungga terkejut dan melompat mundur.
"Apa?!"
Aura itu—bukan aura biasa. Itu adalah wiraga Khodam! Sosok Lembuswana dalam bentuk tak kasat mata mulai memancar samar dari belakang tubuh Jasana, membentuk bayang perunggu terbakar dengan tatapan tiga mata yang menyala.
Keempat belas anggota Bayawira siaga, membentuk lingkaran. Yang bertopeng menghunus keris bermotif tulang. Yang besar dari ras raksasa menghentakkan kakinya, membuat lantai bergema.
Jasana perlahan berdiri, tali hitam dari serat pohon naga tangannya terbakar habis oleh api ghaib. Wajahnya tegas. Matanya hitam pekat, menatap satu per satu musuh di sekeliling.
"Aku tidak datang untuk mati hari ini," katanya dingin.
"Tapi jika memang ini yang kalian mau... Aku akan bawa kalian ke neraka bersamaku."
Tubuhnya kini dilapisi api biru. Di balik jubahnya, dua senjata bersinar samar—Lungguh Darma di punggung, dan Parangjati yang bergetar seolah merespon ketegangan jiwa tuannya.
Cahaya kebiruan memenuhi ruangan komando Watu Lingsir—menjadi pertanda bahwa api lama dari Mandalagiri, yang selama ini membara dalam sunyi, kini kembali menyala.