Bab 3 - Inggrita...

KEESOKAN HARI SENJA — KEDATANGAN TIM 1 RAKA LELANA DI DESA CANDRALOKA

Langit senja menggantung lembayung di atas Desa Candraloka, yang terletak di Utara Mandalagiri. Siluet Gunung Silu berdiri anggun tak jauh dari desa — sebuah bukit suci yang meski tak terlalu tinggi, menyuguhkan pemandangan menawan: pepohonan rindang, batu-batu putih yang mencuat dari tanah, dan candi-candi tua yang mengendap dalam sejarah.

Empat ekor kuda melambatkan langkahnya memasuki gerbang desa. Jasana, Nandika, Nenden, dan Zadran — tim pertama dari Divisi Raka Lelana — akhirnya tiba.

Mereka disambut oleh Prawira Darmaja, kepala desa yang tampak sepuh namun berwibawa. Janggut peraknya tergerai rapi, dan tongkat kayu tua bersulam perak berada di genggamannya. Di belakangnya berdiri beberapa penduduk desa, penjaga Candi Gunung Silu, serta anak-anak desa yang memandangi para tamu dengan campuran harap dan penasaran.

“Selamat datang, para utusan dari Guild Bayu Geni…” ucap Prawira Darmaja dengan suara berat namun hangat, “…desa ini menanti kalian sejak pagi. Kami bersyukur kalian tiba sebelum malam turun.”

Jasana turun dari kuda dan membalas dengan hormat. “Kami datang untuk mencari kebenaran… dan bila perlu, menghadangnya.”

Setelah rehat sejenak dan menerima jamuan air hangat di balai desa, Jasana segera meminta bertemu dengan para saksi langsung.

Salah satu dari mereka, Raga, penjaga candi yang masih mengenakan perban di lengannya, mulai memberi kesaksian.

“Malam tiga hari yang lalu, saat hujan belum reda sepenuhnya… kami diserang. Mereka datang tiba-tiba… berjumlah tiga belas. Pakaian mereka serba hitam, penutup wajah sampai hidung… hanya mata dan rambut yang terlihat. Salah satunya—pemimpinnya, kurasa—seorang wanita. rambutnya panjang diikat tinggi di belakang kepala. Sorot matanya tajam memerah seperti bara… dan mereka semua… menggunakan senjata Katana.”

“Kami tak mampu melawan. Mereka seperti bayangan yang menari… cepat, tanpa suara. Salah satu rekan kami bahkan tak sempat melihat siapa yang menyerangnya. Dan—ya… mereka semua mengenakan lambang… ular merah berkepala dua yang melingkar di dada kiri.”

Mendengar itu, Jasana terdiam sejenak, lalu berkata perlahan pada rekan-rekannya.

“Bayawira… dan bukan kelompok sembarangan. Dari deskripsi itu… mereka menggunakan teknik ninja. Gaya yang tidak berasal dari tanah Mandalagiri.”

Zadran menoleh, rautnya menegang.

“Kau yakin?”

“Sangat,” ujar Jasana, menatap lurus.

“Satu-satunya orang yang pernah kulihat menggunakan teknik seperti itu… adalah Kapten Kalandra Wisanggeni dari Divisi Bayang-bayang Geni. Gaya bertarung senyap, penuh ilusi, dan sangat mematikan.”

Langit mulai meremang kehitaman. Diiringi suara jangkrik dari sawah sekitar, Jasana menyusun pembagian tugas.

“Nandika, Nenden — kalian tetap di desa. Coba gali informasi dari para warga dan lihat apakah ada yang melihat arah kepergian kelompok itu. Temui juga Pak Prawira, mungkin beliau punya peta rute kuno atau informasi tentang pergerakan orang asing.”

“Aku dan Zadran akan ikut bersama penjaga candi. Kita akan ke Gunung Silu. Kita harus tahu… untuk apa mereka mencuri Watu Buwana. Tak mungkin hanya untuk dijual. Artefak itu… terlalu sakral untuk sekadar dijadikan harta rampasan.”

Nandika mengangguk. “Hati-hati, Jasana. Jangan bertindak gegabah.”

Zadran hanya memberi anggukan singkat. Ia tahu medan malam bisa menyembunyikan lebih dari sekadar batu dan bayangan.

MALAM — PERJALANAN KE CANDI GUNUNG SILU

Ditemani dua penjaga candi, Jasana dan Zadran menapaki jalan setapak dari batu menuju Candi Gunung Silu. Lentera minyak di tangan mereka bergoyang lembut diterpa angin malam. Di kejauhan, sosok candi tampak sunyi, namun auranya tidak hilang — justru terasa seperti sedang menahan amarah.

“Tempat ini… masih menyimpan rahasia,” bisik Jasana. “Dan aku curiga… pencurian Watu Buwana adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.”

Zadran meliriknya, suara pelan. “Kau yakin ini bukan hanya pencurian acak?”

Jasana menggeleng. “Tidak. Jika benar ini kelompok ninja Bayawira… mereka bergerak dengan tujuan jelas. Dan… Watu Buwana bukan batu sembarangan.”

DESA CANDRALOKA — BALAI DESA

Sementara itu, Nandika dan Nenden duduk bersama Pak Prawira di dalam balai desa, mempelajari peta desa, jalur-jalur candi kuno, dan daftar para pelancong atau pemburu artefak yang pernah melintas.

“Beberapa hari sebelum kejadian,” kata Pak Prawira perlahan, “ada rombongan pedagang asing yang mengaku dari selatan… tapi tak sempat dicatat. Mereka langsung pergi ke arah timur…”

Nenden mencatat cepat. “Mungkin itu jalur pelarian mereka.”

“Mungkin,” gumam Nandika, “atau mungkin mereka hanya mengalihkan perhatian kita.”

CANDI GUNUNG SILU — TENGAH MALAM

Jasana berdiri di tengah reruntuhan altar utama yang sudah kosong. Cahaya lentera menyinari guratan simbol kuno di lantai batu. Ia menyentuh permukaan itu… lalu bergumam.

“Ada sesuatu yang belum mereka ambil… atau belum sempat mereka buka. Mungkin petunjuk… mungkin kunci lainnya.”

Zadran berdiri tak jauh di belakang, tangannya di gagang pedang.

Dan malam itu, meski sunyi, terasa seperti diawasi.

Tengah Malam di Candi Gunung Silu

Langit telah berubah gelap sepenuhnya, hanya cahaya bulan separuh yang menerangi pelataran Candi Gunung Silu.

Angin malam menyentuh dedaunan hutan di sekitarnya, mengalirkan hawa dingin yang memeluk sunyi. Di hadapan altar tempat artefak Watu Buwana semula berada, kini hanya tersisa cekungan kosong yang membisu.

Jasana melangkah mendekat dengan khidmat. Ia berlutut di tanah, menempatkan pedang merah Lungguh Darma di pangkuannya, lalu menutup mata. Zadran dan dua penjaga candi berdiri tidak jauh, menatapnya dalam diam.

Suara alam perlahan lenyap dari telinga Jasana, digantikan gema batin yang mengalir dalam kehampaan jiwanya. Dari kedalaman pikirannya, bayangan cahaya biru menjelma. Aura itu membesar, membentuk siluet agung—Lembuswana, sosok raksasa bertubuh perkasa dengan tanduk melengkung, mata ketiga yang menyala di dahinya, dan dua sayap perunggu terbakar api ghaib biru cerah.

“Aku datang, Wiratmaja...” bisik Jasana dalam hati.

Sosok Wiratmaja, nama yang ia anugerahkan pada khodam keduanya itu, menjawab dengan suara seperti gemuruh yang lembut, “Bayawira tidak hanya mengincar satu artefak, tuan. Mereka mencari pecahan kekuatan purba yang tersegel dalam tiga tempat. Di sinilah awalnya. Mereka masih di sekitar bukit Gunung Silu, belum pergi. Tapi bukan mereka yang harus kau buru malam ini.”

Gambaran candi lain melintas di benak Jasana—Candi Telaga Kencana, bercahaya kehijauan di lembah barat, dan Candi Pitu Langit, menjulang di tenggara dengan siluet tujuh gerbang batu raksasa.

“Hadang mereka di sana,” lanjut Wiratmaja.

“Jangan ganggu sarang mereka. Biarkan mereka merasa tak terpantau. Ketika waktu tepat datang, maka kau akan tahu arah pukulanmu.”

Jasana mengangguk dalam batin, lalu perlahan membuka mata.

Seketika, tubuhnya dikelilingi aura biru menyerupai api suci, tenang namun membara. Para penjaga candi menatap dengan takjub, tak mampu berkata-kata. Api itu bukan panas, tapi membawa hawa teduh yang menenangkan jiwa.

Zadran, yang berdiri tidak jauh, hanya tersenyum kecil. Ia sudah terbiasa melihat kekuatan mentornya itu. Sejak setahun lalu, Dia sering berlatih dibawah bimbingan Jasana dan Morzhan di pulau nelayan milik keluarga Jasana atau Jesse Dra'vetha.

Namun di depan Guild, keduanya bermain peran sebagai orang asing. Demi menjaga rahasia identitas bangsawan muda yang membawa nama Tribe Dra'vetha.

Setelah beberapa saat, aura itu perlahan memudar. Jasana berdiri, suaranya tegas namun tenang.

“Dua artefak lagi akan jadi target. Mereka belum pergi jauh. Tapi kita tak akan menyerang mereka malam ini. Kita harus lebih dulu tiba di Candi Telaga Kencana dan Candi Pitu Langit untuk menggagalkan rencana mereka.”

Salah satu penjaga, yang masih terpaku menatapnya, berkata pelan, “Tuan... apakah itu... khodam suci?”

Jasana menatapnya, lalu hanya menjawab dengan senyuman kecil. “Dia... adalah penjaga amanah.”

Penjaga lainnya memberi petunjuk arah sesuai yang disebutkan Jasana, mengonfirmasi bahwa letak kedua candi itu memang tidak jauh dan bisa ditempuh dalam dua arah berbeda dari desa Candraloka.

Tanpa membuang waktu, Jasana dan Zadran segera meninggalkan candi. Mereka melangkah cepat di bawah temaram bintang, kembali ke balai desa. Jejak kaki mereka tak berbunyi, namun aura tujuan mereka terasa begitu jelas—menghadang sebelum kekuatan kuno jatuh ke tangan yang salah.

Para penjaga tetap berjaga di Candi Gunung Silu, kali ini dengan perasaan yang berbeda.

Mereka telah melihat sesuatu yang tidak biasa, namun tak satu pun meragukannya.

Malam itu, di bawah langit yang tenang, sebuah babak baru telah dimulai.

Scene ditutup dengan bayangan Jasana dan Zadran yang melangkah tegas menembus pekat malam, menuju cahaya lentera dari desa Candraloka. Di sana, Nandika dan Nenden tengah menunggu, dan keputusan besar akan segera diambil.

Balai Desa Candraloka – Tengah Malam

Suasana balai desa masih diterangi lampu minyak yang berayun lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding bambu. Di dalam ruangan utama, Nandika dan Nenden Ayu duduk di dekat perapian kecil, membungkus tubuh mereka dengan selimut tipis sambil menghangatkan kaki. Mereka baru saja menyelesaikan perawatan luka kecil dan istirahat sejenak setelah perjalanan sore tadi.

Pintu berderit pelan. Jasana dan Zadran masuk dengan langkah tegas. Jasana masih membawa pedang Lungguh Darma di punggungnya, dan wajahnya tampak serius, namun tenang. Zadran sedikit tertinggal di belakang, tatapannya menyapu ruangan cepat sebelum berhenti pada Nandika.

Jasana langsung membuka percakapan, suaranya tenang namun menyiratkan urgensi.

“Nandika, Nenden… bagaimana keadaan kalian sekarang? Apakah sanggup bergerak malam ini juga?”

Nenden Ayu yang biasanya ramah, kini tampak lebih fokus. Ia menjawab lebih dulu dengan anggukan mantap.

“Aku sanggup. Tenagaku sudah kembali, tinggal beri perintah saja.”

Nandika menatap sejenak ke arah Jasana, lalu ke Zadran, sebelum akhirnya berkata dengan nada tegas,

“Aku juga siap. Jangan sia-siakan waktu malam.”

Jasana mengangguk ringan, lalu membuka gulungan kecil dari ikat pinggangnya—botol bambu berisi ramuan. Ia menyodorkannya satu per satu.

“Minuman stamina. Tidak banyak, tapi cukup untuk menguatkan tubuh dan kejernihan pikiran.”

Ia menyerahkannya ke Nandika, Nenden, lalu Zadran, dan yang terakhir ia minum sendiri tanpa ragu. Aroma segar dari ramuan rempah dan akar gunung menyebar, menghangatkan perut dan dada begitu diteguk.

Pak Prawira Darmaja, kepala desa Candraloka yang duduk menyudut di ruangan itu, hanya menyimak percakapan keempat pemuda itu dengan mata yang penuh pertimbangan. Ia tidak menyela. Ia tahu, malam ini, para pemuda itu membawa misi yang lebih besar dari sekadar melindungi candi-candi tua.

Jasana lalu merentangkan peta kecil yang digambar di atas kulit tipis. Ia menunjuk tiga titik di atasnya.

“Kita bagi menjadi tiga arah.”

Ia menatap masing-masing anggota dengan tajam, namun penuh kepercayaan.

Nandika dan Nenden, kalian menuju Candi Telaga Kencana, letaknya di lembah barat. Menurut petunjuk, aura artefak di sana bisa terlihat dari kejauhan, kehijauan lembut. Itu sasaran yang paling dekat dan mungkin diserbu lebih awal.”

Zadran, kau menuju Candi Pitu Langit. Letaknya di tenggara. Ada tujuh gerbang batu besar di sana, tempat itu angker dan dijaga ilusi kuat, tapi juga kemungkinan besar jadi target Bayawira.”

“Aku sendiri... akan memantau markas mereka di kaki bukit Gunung Silu. Tidak jauh dari sini. Jika pemimpin mereka bergerak, aku akan hadang langsung. Kunci kemenangan kita ada pada pencegahan. Bukan pertarungan terbuka.”

Tiba-tiba, Nandika bersuara pelan namun tegas, raut wajahnya menunjukkan keraguan.

“Tapi… Zadran akan sendirian? Dia masih baru. Tempat itu terlalu berbahaya kalau hanya seorang diri.”

Zadran menegakkan tubuhnya. Wajahnya tak berubah, tapi dalam hatinya ia merasa hangat atas perhatian itu. Namun ia juga tahu, saat ini bukan waktunya untuk diragukan.

“Aku bisa. Aku tidak akan gegabah. Dan… Jasana sudah percaya padaku,” ujarnya sambil menatap lurus ke depan.

Jasana tersenyum kecil, namun tidak membantah atau menunjukkan kedekatannya dengan Zadran di hadapan mereka. Tapi untuk menenangkan hati Nandika, ia berkata,

“Jika keadaan gawat, aku akan langsung bergerak ke tempat Zadran. Lokasi kita masih dalam jangkauan. Percayalah… kita saling mengawasi meski tak selalu terlihat.”

Nandika menghela napas. Meski masih tampak cemas, ia mengangguk. Keyakinan Jasana cukup untuk menenangkan pikirannya.

“Baiklah… kalau begitu, mari kita mulai.”

Keempatnya berdiri serempak. Pak Prawira hanya memberi anggukan penuh restu.

Tanpa banyak kata, keempat anak muda itu keluar dari balai desa. Di luar, malam menanti, dan rencana telah terbentuk.

Nandika dan Nenden melangkah ke barat menuju lembah Telaga Kencana yang berkabut hijau.Zadran berbalik ke tenggara, menapaki jalan sunyi menuju Pitu Langit dengan langkah yakin meski sendiri.Jasana mengambil jalur ke utara, menyusuri kaki bukit yang gelap, tempat markas musuh berada, dan tempat ia akan menghadapi apa pun yang keluar dari bayangan.

ketiganya berpencar dalam keheningan malam. Hanya desir angin dan gemerisik dedaunan yang menjadi saksi, bahwa malam ini, nasib tiga candi kuno berada di tangan mereka.

Di balik taktik ini, tersimpan lapisan rahasia: kedekatan antara Jasana dan Zadran yang tetap tersembunyi, dan status bangsawan sang pemimpin muda yang belum banyak diketahui. Tapi malam ini, bukan gelar atau hubungan yang bicara… melainkan keberanian dan ketepatan langkah.

Candi Telaga Kencana, Lembah Barat – Tengah Malam

Kabut hijau menyelimuti lembah tempat Candi Telaga Kencana berdiri, memberikan nuansa magis yang mencekam. Di antara kabut, cahaya kehijauan dari pilar-pilar candi memancar samar, seperti nafas tua dari zaman yang terlupakan.

Nandika dan Nenden Ayu bersembunyi di balik salah satu pilar batu besar di sisi barat pelataran candi. Di hadapan mereka, tampak lima sosok berpakaian hitam tengah bergerak cepat, menyingkirkan para penjaga candi satu per satu. Tubuh para penjaga tergeletak tak sadarkan diri, beberapa dengan luka sayatan bersih.

Pemimpin kelompok itu—seorang gadis muda bertubuh lentur—berdiri di tengah pelataran. Mata dan rambut panjangnya yang menjuntai keluar dari penutup wajah mencerminkan kepercayaan diri penuh.

Ia berbicara dengan nada dingin, “Aku Sivani, elit Bayawira Utara. Malam ini artefak Telaga Kencana menjadi milik kami.”

Tanpa aba-aba lebih lanjut, kelima bawahannya melompat menyerang.

“Bersiap!” seru Nandika cepat. Ia mengangkat tombak Sakalingga, yang langsung menyala samar dalam aura biru terang. Angin berdesir aneh di sekeliling tombak itu, membungkusnya dengan kekuatan halus namun berbahaya.

Nenden Ayu memutar tombaknya, mengambil posisi di sisi kanan Nandika. “Kita hadapi mereka bersama. Satu gerak, satu nafas.”

Benturan pertama terjadi. Dua Bayawira menyerbu Nenden, tiga lainnya mengepung Nandika. Serangan cepat mereka tak menyentuh kulit—karena tombak Nenden menari memutar, menahan setiap sabetan dengan akurasi presisi, sementara Nandika memutar Sakalingga dengan gaya khas dari Tanah Selampa, mengandalkan kekuatan tusukan beruntun dan putaran kilat yang menyayat.

Candi Pitu Langit, Tenggara

Di bawah tujuh gerbang batu raksasa yang menjulang seperti mulut zaman, Zadran berdiri tegap. Pedangnya terhunus. Mata kirinya tajam, berkonsentrasi penuh.

Di hadapannya, lima Bayawira telah mengepung, dipimpin oleh lelaki tinggi besar dengan rambut hitam-keperakan dan sorot mata congkak.

“Aku Ranaksa, elit Bayawira Utara. Hanya satu orang dari Guild Bayu Geni dikirim? Sungguh meremehkan kami.”

Zadran tersenyum tipis, mengangkat pedang panjangnya dengan tangan kiri. “Satu orang sudah cukup untuk kalian yang cuma bisa berkelompok seperti pengecut.”

“Cih, sombong.”

Pertarungan pun pecah. Lima Bayawira menyerang secara serempak, gerakan mereka cepat dan bertenaga. Namun Zadran bergerak lebih cepat. Dengan langkah kaki lincah dan ayunan pedang yang presisi, ia menangkis dan melawan balik. Suara logam bersentuhan dan tubuh-tubuh musuh terpelanting satu per satu.

Satu Bayawira jatuh dengan luka di lengan, satu lagi terhempas menghantam batu gerbang. Ranaksa akhirnya turun tangan.

Keduanya beradu senjata di bawah bayangan gerbang batu ketujuh. Aura panas dari tenaga dalam mereka membungkus pedang masing-masing. Suara dentingan keras terdengar.

Ranaksa menggeram, “Siapa namamu, bocah?”

Zadran membalas datar, “Zadran. Dan kau akan mengingatnya saat tubuhmu jatuh.”

Kaki Bukit Gunung Silu – Markas Darurat Bayawira Utara

Markas darurat dibangun dari tenda-tenda kasar dan anyaman ilalang gelap, berdiri tersembunyi di lembah sunyi tak terjamah. Malam menyelimuti hening, hanya cahaya obor dan nyala lentera biru yang menerangi area pusat komando.

Di atas salah satu pohon besar yang tumbuh miring, Jasana berjongkok tenang, matanya menyipit mengamati dari celah dedaunan. Suasana hening, hanya suara jangkrik malam yang terdengar samar.

Di balik tenda utama, seorang wanita berdiri memandangi peta besar di meja kayu rendah. Inggrita Maranile—wakil kapten Bayawira Utara. Wajahnya putih langsat, dengan garis rahang halus namun tajam. Ia mengenakan tank top hitam model pendekar, lengan berotot ramping, rambut hitam keunguan diikat tinggi. Matanya bersinar merah terang seperti bara api, menyala dalam gelap.

Jasana menyempitkan pandangannya. Itulah target sebenarnya. Pemimpin bayangan operasi ini.

Namun ia belum bergerak. Napasnya teratur, tubuhnya tak bergeming. Ia menunggu momen pergerakan.

Cahaya bulan purnama menggantung tinggi di langit. Siluet Gunung Silu tampak mempesona—tidak terlalu tinggi, namun puncaknya dihiasi pepohonan tua dan angin halus yang berdesir.

Tiga arah, tiga pertempuran.Empat anggota Guild Bayu Geni mengemban takdir dalam gelap.Dan malam belum selesai.

Pelataran Candi Telaga Kencana – Tengah Malam

Kabut hijau yang menggantung seperti tirai mistis mulai bergoyang oleh pusaran angin yang ditimbulkan aura Tombak Sakalingga. Aura biru terang di sekitar senjata Nandika berdesir kuat, membentuk gelombang tak terlihat yang mengguncang debu-debu di batu pelataran.

Kelima Bayawira menyerang secara simultan. Dua dari kanan, dua dari kiri, dan satu dari atas—melompat sambil mengayunkan pedang seperti kilat malam.

Nenden Ayu bergerak lebih dulu. Dengan teknik tombaknya yang halus namun tajam, ia menangkis serangan dari dua lawan di kanan. Gerakannya seperti aliran sungai, membelokkan serangan lalu menari cepat menusuk balik. Salah satu lawan tergelincir, terhantam pukulan gagang tombak tepat di perutnya—lalu roboh.

Sementara itu, Nandika menyambut tiga lainnya. Ia memutar Sakalingga dengan satu tangan, memanfaatkan momentum pusaran angin sihir yang menyelubungi tombak itu.

Saat satu Bayawira melompat menyerang dari atas, Nandika melompat mundur dan melemparkan tombaknya ke atas secara vertikal.

Byar!Tombak itu seperti menembus udara, menghantam Bayawira di udara, membuatnya terpelanting ke belakang dan tak bergerak.

Dua lainnya tetap menyerang, memanfaatkan celah saat Nandika belum memegang senjata. Tapi saat keduanya hampir menyentuh tubuh Nandika—tombak Sakalingga kembali ke tangannya seperti tertarik kekuatan gaib. Ia menangkapnya, memutar tubuh, dan menyerang lurus.

Tusukan ganda menumbangkan dua Bayawira tersisa dengan akurat di titik netral tubuh, membuat mereka tak sadarkan diri.

Sivani, sang pemimpin elit, masih berdiri. Ia tampak waspada, dan kali ini tak lagi tersenyum.

“Aku terlalu meremehkan kalian,” ucapnya perlahan. “Tapi kalian tak akan lolos dariku.”

Ia mencabut pedangnya—panjang, melengkung tipis, dan bercahaya merah samar. Dengan kecepatan tinggi, ia menerjang Nenden Ayu. Tombaknya ditangkis kasar dan tubuhnya dipukul mundur. Serangan Sivani sangat cepat dan terlatih. Aura merah di sekitar tubuhnya menunjukkan pengendalian tenaga dalam tingkat lanjut.

Nandika maju menggantikan Nenden. Sivani dan Nandika beradu tombak dan pedang dalam tempo cepat. Benturan logam berulang kali terdengar di antara kabut. Setiap sabetan Nandika disambut dengan kelincahan Sivani, dan setiap tusukan Sivani ditangkis oleh pusaran angin Sakalingga yang membentuk tameng tak kasat mata.

Nenden Ayu bangkit. “Gunakan teknik putaran badai!” teriaknya.

Nandika mengangguk. Ia memutar Sakalingga dengan kedua tangan, lalu menancapkannya ke tanah.

“Lingkar Sakalingga!”

Dari titik tombak, angin berputar meledak ke segala arah. Kabut di pelataran tersibak keras. Sivani terpental ke belakang, tubuhnya menabrak dinding batu Candi Telaga. Ia berusaha bangkit, namun pandangannya mulai kabur. Sebelum bisa bergerak lagi, ujung tombak Nenden Ayu sudah mengarah ke lehernya.

“Kau kalah,” ucap Nenden tegas.

Sivani mengerang pelan… dan akhirnya tak sadarkan diri.

Setelah Pertarungan

Kabut mulai mereda. Lima Bayawira lain tergeletak tak sadarkan diri, dua di antaranya diikat dengan tali sihir milik Nenden Ayu. Sementara itu, Nandika mengikat tangan Sivani dengan rantai logam kecil yang disimpan dari perlengkapan guild—rangkaian khusus yang menghambat aliran tenaga dalam.

Mereka berjalan masuk ke dalam ruang utama Candi Telaga Kencana—tempat artefak disimpan. Di tengah ruang batu kuno itu, sebuah artefak berbentuk kendi emas kecil dengan ukiran naga dan awan, dikelilingi cahaya biru lembut, masih utuh berdiri di atas altar.

Nenden Ayu menatapnya kagum. “Ini dia... Kendi Telaga Kencana. Salah satu artefak pelindung aliran air suci dari perut bumi.”

Nandika mengangguk. “Dan sekarang tidak jadi dicuri. Kita selamatkan tempat ini.”

Sebelum pergi, mereka menyalakan kembali obor penjaga dan meninggalkan jejak tanda Guild Bayu Geni di gerbang candi sebagai penanda bahwa tempat ini telah diselamatkan dan perlu dijaga lebih ketat.

Mereka pergi membawa Sivani dalam kondisi pingsan, dengan misi berhasil, dan malam yang mulai reda.

Candi Pitu Langit – Di Antara Gerbang Batu Raksasa

Angin berdesir lewat celah tujuh gerbang batu yang menjulang kokoh, menciptakan siulan nyaring yang menyayat malam.

Zadran berdiri tegap di tengah pelataran berbatu. Cahaya bulan menerpa mantelnya yang hijau pekat, berlogo Raka Lelana. Pedangnya digenggam di tangan kiri, panjang, bermata satu, dan berkilau tajam.

Di hadapannya, lima Bayawira berpakaian serba hitam sudah tergeletak tak sadarkan diri, tubuh mereka berserakan di pelataran seperti boneka habis dilanda badai.

Tinggal satu lawan tersisa: Ranaksa.

Tubuh Ranaksa tegap dan kokoh, matanya menyala marah di balik penutup wajahnya.

Pedang samurainya digenggam erat. Ia melangkah maju perlahan, penuh tekanan.

Ranaksa:“Kau terlalu santai, Bocah. Membunuh bukan pilihan, tapi mempermainkan musuh seperti ini jauh lebih sombong.”

Zadran tersenyum tipis. Ia memutar pedangnya perlahan di udara, lalu menunjuk ke arah Ranaksa.“Jika kau merasa dipermainkan… mungkin memang sudah saatnya kau sadar siapa yang sebenarnya harus takut.”

Ranaksa tak menunggu. Ia menerjang seperti anak panah. Serangan demi serangan samurainya datang cepat, presisi, dan penuh tenaga dalam. Tapi setiap sabetan hanya mengenai bayangan. Zadran bergerak dengan kecepatan tenang, memiringkan tubuh, menangkis dengan mudah, lalu melangkah mundur satu langkah setiap kali.

Clang! Clang! Clang!

Percikan api terlempar ke udara dari benturan pedang. Namun posisi Ranaksa terus didorong mundur oleh tekanan tak terlihat.

Ranaksa menggeram. “Hentikan menghindar! Hadapi aku sungguhan, pengecut!”

Zadran berhenti.“Baiklah.”

Ia mengangkat pedang dengan satu tangan, membiarkannya mengarah lurus ke tanah.

Dalam sekejap, aura hijau pekat membungkus tubuhnya. Tanah di bawah kakinya retak kecil akibat tekanan tenaga dalam yang tiba-tiba melonjak.

Zadran melesat.

Dalam satu gerakan cepat, ia menebas dari bawah ke atas, memaksa Ranaksa bertahan. Tapi lalu datang pukulan dari gagang pedang ke dada Ranaksa, membuatnya tersentak. Sebelum bisa mundur, Zadran sudah di sampingnya—menebas dari kiri ke kanan. Ranaksa memblokir, tapi pedang Zadran berputar dari arah sebaliknya karena teknik kidal berlapis.

“Teknik Bayangan Berganti.”

Sabetan terakhir mengenai dada Ranaksa—menembus lapisan kain dan pelindung kulit, menciptakan luka terbuka yang dalam tapi tidak fatal.

Ranaksa jatuh terduduk, napasnya terengah. Matanya menatap Zadran dengan getir, dan tubuhnya mulai lemas karena darah yang menetes dari luka.

Zadran menurunkan pedangnya perlahan.

“Pedangmu cepat. Tapi emosimu lebih cepat dari akalmu. Itulah celahmu.”

Ranaksa masih mencoba bangkit—namun tubuhnya tak sanggup. Ia akhirnya roboh, tak sadarkan diri.

Usai Pertarungan

Zadran menghela napas, lalu mengangkat tubuh Ranaksa dan mengikat kedua tangannya dengan tali yang telah diikat mantra pelumpuh dari Guild. Ia membopongnya ke pundak, lalu berbalik menatap Candi Pitu Langit—yang kini tenang kembali di bawah cahaya bulan.

Ia bergumam, lirih:“artefak sudah aman. Tinggal interogasi mereka…”

Lalu dengan langkah mantap, ia berjalan menuruni lereng batu menuju Balai Desa Candraloka, sebuah tempat yang telah ditentukan sebagai titik pertemuan Guild.

Bayangan tubuh Zadran perlahan menghilang di balik pepohonan, bersama napas kemenangan yang tanpa sorak.

Kaki Bukit Gunung Silu — Dini Hari Menjelang Fajar

Kabut tipis menyelimuti tanah hutan di kaki bukit Gunung Silu. Pohon-pohon tinggi berdiri diam seolah menonton dari kejauhan. Embun menggantung di daun-daun, memantulkan cahaya samar dari bulan yang hampir tenggelam.

Dua sosok berdiri berhadapan di tengah tanah lapang berbatu, tepat di batas antara hutan dan lereng. Angin pagi membawa keheningan yang menegangkan.

Inggrita:

(Suara dingin dan percaya diri)

“Aku, Inggrita Maranile, Wakil Kapten Bayawira Utara.”

Jasana:

(Tenang, mata tajam menatap lurus)

“Jasana dari Guild Bayu Geni.”

Tak ada kata-kata lanjutan. Tak perlu. Sebab yang berbicara berikutnya adalah suara baja bertemu baja, dan percikan aura yang menyibak kabut.

Pertarungan Dimulai

Inggrita menerjang lebih dahulu—cepat seperti bayangan, teknik berpedang gaya ninja miliknya gesit, fleksibel, menusuk dari sudut-sudut tak terduga. Gerakannya nyaris seperti tarian pembunuh: senyap, mematikan.

Jasana menghadapinya tanpa gentar. Dengan gaya berpedang klasik Mandalagiri, ia tetap berpijak kuat, setiap gerakan penuh ketenangan dan tekanan. Pedangnya menyapu angin seperti aliran sungai yang kuat namun tenang—melawan kecepatan Inggrita dengan presisi dan kekuatan bersih.

Tebasan dan sabetan bersilang cepat.

Aura Jasana menyala biru kebiruan seperti api suci Mandala.

Aura Inggrita kemerahan pekat, seperti kabut malam yang beracun.

Keduanya terpental mundur, sama-sama mendarat ringan. Peluh mulai menetes, namun sorot mata mereka tak goyah.

Inggrita: (terengah, matanya menyipit)

“Kau bukan lawan yang mudah, Jasana... Tapi jangan pikir aku akan berhenti di sini.”

Jasana: (tersenyum tipis)

“Aku tak pernah menganggapmu remeh, Inggrita. Tapi jika kau datang untuk membawa kehancuran lewat artefak suci, maka kau harus kulewati dulu.”

Mereka kembali menyerang. Tebasan saling mengunci. Tanah bergetar. Kabut terpukul mundur oleh tekanan aura.

Di kejauhan, fajar mulai memecah cakrawala. Cahaya oranye menyapu perlahan pepohonan.

Pertarungan belum usai.

Pertarungan di Kaki Gunung Silu — Menjelang Terbit Fajar

Debu dan serpihan tanah beterbangan ketika dua pendekar muda kembali saling beradu pedang. Nafas berat, ayunan senjata, dan aura yang kian memanas mendominasi suasana. Namun mendadak, Inggrita berhenti dan melangkah mundur perlahan.

Dari tas kecil di pinggang belakangnya, ia mengeluarkan sebuah topeng berwujud tengkorak iblis separuh wajah, matanya menyala samar merah. Tanpa berkata sepatah pun, ia memasang topeng itu ke wajahnya.

Suara dentingan besi bergema dalam senyap.

Sekejap...

Cahaya merah menyala liar dari tubuh Inggrita. Aura panas dan berat menyeruak ke segala penjuru, membuat hawa sekitar menggigil bukan karena dingin, tetapi tekanan.

Di belakang tubuh Inggrita, siluet samar seorang wanita berpedang katana muncul—berdiri anggun namun memancarkan ancaman tak kasat mata. Ia mengenakan jubah pertempuran kuno, rambut panjang diikat ke belakang, mata merah seperti bara, dan sikap penuh kehormatan seperti ksatria dari masa silam.

Roh itu adalah Onna Bushi.

Jasana mundur setapak. Matanya melebar, tapi wajahnya tetap tenang.

Namun dalam ruang pikirannya, dua suara muncul serentak—dalam diamnya batin.

Ardhana (suara dalam batin)

“Khodam wanita itu... bukan sembarangan. Ia berasal dari Lapisan Roh-Pawaka, seperti aku. Sosok sadar, bukan hanya energi liar. Ini akan merepotkan.”

Wiratmaja (dalam gema berat, membara)

“Tuan, izinkan aku menjaga tubuhmu. Aura itu mengancam tidak hanya tubuhmu, tapi juga keseimbangan rohmu.”

Ardhana

“Biarkan aku yang menghadapi Onna Bushi. Wiratmaja, lindungi Jasana dari segala efek samping pertempuran rohani. Kita hadapi ini... sebagai penjaga sejati.”

Wiratmaja

“Baiklah. Ardhana, tunjukkan cahaya yang menuntun. Aku akan jaga jiwa tuan Jasana dengan apiku.”

Mata Jasana terbuka kembali. Dari tubuhnya, api ghaib biru menyelimuti perlahan, membentuk lapisan perlindungan halus namun kuat.

Di belakangnya, muncul sosok ArdhanaRajapati, sang tetua berjubah putih, berdiri tegap dengan tatapan tajam namun bijak, tangannya mengangkat tongkat bercahaya putih yang perlahan memadat menjadi bentuk tombak cahaya.

Aura putih yang menenangkan namun menghimpit seperti kekuatan langit bertabrakan dengan aura merah menyala dari roh Onna Bushi.

Langit timur mulai merekah jingga. Angin pagi menjerit pelan—seolah bumi ikut menahan nafas.

Kedua sosok jasmani—Jasana dan Inggrita—berdiri mantap,dan di belakang mereka, dua khodam dari dunia lain telah bersiap bertempur.

Aura mereka bertubrukan di udara, menciptakan gelombang gaib yang memecah kabut, mengguncang dedaunan, dan membuat tanah retak halus di bawah kaki mereka.

Tatapan mata mereka saling bertemu—keras, tajam, dan penuh tekad.

Pertarungan baru saja memasuki babak sejatinya.

Pertarungan antar khodam. Jiwa melawan jiwa. Dan pagi itu di kaki Gunung Silu, sejarah baru akan terukir.

LANJUTAN PERTARUNGAN – JASANA VS INGGRITA

Angin mendesir tajam. Debu dan daun-daun kering beterbangan di antara dua sosok yang berdiri berhadapan. Tubuh Jasana masih diselimuti aura api ghaib biru dari Wiratmaja, sementara sosok Ardhana berdiri di belakangnya seperti bayangan pelindung—anggun dan penuh wibawa.

Inggrita berdiri tak kalah kokoh, tubuhnya diselimuti cahaya merah samar yang tampak seperti darah yang menguap. Topeng tengkorak iblis menutupi setengah wajahnya, membuat sorot mata merahnya kian menusuk. Di belakangnya, berdiri sosok Onna Bushi, samurai wanita bertubuh ramping namun tajam seperti bilah katana, rambut panjang berikat dan aura membunuh mengalir deras darinya.

Sebelum pedang berbicara, suara dari mulut Inggrita terdengar—namun bukan suaranya. Itu suara dalam, berat, dan penuh ancaman.

Onna Bushi: "Anak muda... jangan mengusik jalanku. Ini bukan urusanmu."

Jasana menajamkan pandangannya, tangan menggenggam pedang Lungguh Darma erat-erat.

Jasana: "Bayawira sangat berbahaya... Tak peduli alasanmu, kalian mengancam orang-orang tak bersalah."

Inggrita menunduk sejenak, lalu mengangkat wajah dengan tatapan penuh amarah dan luka lama yang membekas.

Inggrita: "Kau tidak tahu apa-apa, bocah! Sejatinya Mandalagiri menyimpan lebih banyak kegelapan dari kami! Bayawira adalah cahaya yang ingin memperbaiki, meski tampak seperti badai. Kami ingin tatanan baru, sebuah sistem yang adil...!"

Jasana: "Aku tak peduli konflik masa lalu istana. Di mana ada kehidupan, akan selalu ada terang dan gelap. Tapi Bayawira... untuk saat ini, kalian adalah kegelapan yang harus disingkirkan."

CRAAAAKKKKHHH!!

Pedang mereka berbenturan. Percikan api ghaib merah dan biru meledak di antara mereka. Seketika sosok Ardhana dan Onna Bushi menyabet udara, menciptakan shockwave maha dahsyat. Tanah retak, pepohonan di sekitar tumbang, dan langit seolah bergetar.

DESA CANDRALOKA

Fajar baru saja menyingsing. Sinar keemasan menyentuh pucuk-pucuk atap desa. Di lapangan terbuka, puluhan anggota Bayawira yang sudah dikalahkan diikat dan dijaga ketat. Nandika, Zadran, dan Nenden berdiri memandangi langit utara dengan mata membelalak.

Cahaya merah dan putih bertabrakan di cakrawala, seperti dua matahari bertempur. Badai energi memukul wajah mereka.

Nandika (menatap langit): "Itu... pertarungan mereka?"

Zadran: "Astaga... kekuatannya menembus hingga ke sini."

Nenden (khawatir): "Apa kita harus bantu? Itu... luar biasa kuatnya..."

Nandika menggenggam tombaknya erat, namun menahan langkah.

Nandika: "Jangan. Itu pertarungan yang tidak bisa kita masuki sembarangan. Kita bantu... dengan cara lain. Kita pantau dari jarak aman. Jika dia tumbang, kita jadi harapan terakhirnya."

Mereka mulai bergerak, mengendap melalui celah hutan ke arah utara, menuju medan pertarungan, namun tetap menjaga jarak.

KEMBALI KE MEDAN PERTARUNGAN

Langit mulai berselimutkan awan kelam. Petir gaib menyambar di antara benturan khodam.

Onna Bushi melompat tinggi, katana di tangannya menebas langit dan menurunkan tebasan berlapis. Ardhana menangkis dengan tongkat panjang bercahaya putih, menciptakan barrier aura melumpuhkan.

Di darat, Jasana dan Inggrita saling menukar puluhan tebasan. Asmaragata dan Kalamantri, dua keris hidup milik Inggrita, melayang sendiri di udara, menyerang Jasana dari berbagai arah seperti dua ular api.

Namun Parangjati milik Jasana berkibar dalam gerak patah nan lincah, mengimbangi dan sesekali menyerap aura mereka, membalas dengan sabetan cepat dan menusuk dari sela celah.

Ardhana: "Hati-hati, Jasana. Keris itu... menyerap bukan hanya aura, tapi niat hatimu."

Wiratmaja: "Aku akan naikkan perlindunganmu. Jangan beri celah. Dia hampir membuka mata ketiganya..."

BUMM!!!

Satu hantaman Onna Bushi menghantam dada Ardhana, namun Ardhana tak mundur. Ia malah memeluk Onna Bushi dalam cengkeraman cahaya putih, membuat gerakan roh itu kaku sesaat.

Namun Inggrita mengerang marah. Darah mengalir dari ujung bibirnya. Ia menggenggam pedang katananya dengan dua tangan dan menancapkannya ke tanah.

ZRAAAKKKK!!!

Guncangan besar terjadi. Darah dari tubuhnya mengalir ke pedang dan menyulut tanah, memunculkan lingkaran ritual.

Inggrita (berteriak): "ONNA BUSHI! BUKA BATAS PERTAMA KEKUATANMU!"

Sosok Onna Bushi menjerit nyaring. Aura merah di sekitarnya berubah menjadi ungu hitam, dan satu tanduk muncul dari pelipis kiri. Rambutnya tergerai seperti cambuk roh, dan pedangnya mulai berkilau seperti kilat merah yang membelah dimensi.

Jasana terpaksa melompat mundur.

Jasana: "Apa... dia membuka kekuatan sejati khodamnya?"

Ardhana (dengan tenang): "Tenanglah. Kini giliran kita..."

Cahaya dari Parangjati dan Lungguh Darma bersinar bersamaan. Aura biru dari Wiratmaja menggulung langit, sementara Ardhana menyilangkan tangannya, menciptakan mantra pembatas yang membuka Lapisan Ruang-Roh, mempertemukan dimensi roh dan dunia nyata sepenuhnya.

Pertarungan pun naik ke tingkatan yang lebih tinggi.

Bukan hanya ilmu dan senjata, namun kehendak, luka masa lalu, dan tekad hidup kini saling menyerang.

Pertarungan belum usai. Inggrita dan Jasana masih berdiri tegak, namun dunia di sekitar mereka mulai berubah menjadi cermin dari jiwa masing-masing. Dan di sinilah ujian sesungguhnya dimulai...

LANJUTAN CERITA: KONFRONTASI DI ALAM ROH & INGATAN KELAM

Gelombang terakhir dari benturan antara Onna Bushi dan Ardhana merobek langit subuh, membuka celah tipis ke dunia roh. Ruang sekeliling Jasana dan Inggrita seolah membeku, terhenti dalam kilatan cahaya yang tak alami. Dunia jasad lenyap, digantikan oleh padang kosong yang sunyi, diwarnai oleh kabut putih yang melayang-layang.

Dalam sunyi itu, Ardhana berdiri tegak di samping Jasana—sosok tua berjanggut putih panjang, mata damai namun tajam, menggenggam tongkat naga bercahaya. Di seberangnya, Onna Bushi muncul—prajurit wanita bersurai ungu panjang, berpakaian samurai, menatap dingin tanpa emosi. Mereka berdua berdiri di batas dimensi: dunia antara kesadaran dan luka batin.

Onna Bushi bersuara melalui roh:“Anak muda... keberadaanmu mengganggu siklus rasa sakit yang telah menjadi rumah bagi tuanku. Kau tidak mengerti... dunia ini tidak akan berubah dengan kelembutan.”

Jasana melangkah ke depan. Nafasnya berat. Dalam dunia roh, luka jasad tak terlihat, namun beban batin terasa nyata.

Jasana menjawab:“Mungkin aku belum tahu semua. Tapi aku tahu apa itu kegelapan… dan bagaimana ia tumbuh dari luka yang tak pernah diobati. Aku tidak ingin menghapus masa lalu… aku ingin menyembuhkannya.”

Tiba-tiba, sekeliling mereka berganti. Kabut menipis. Dunia roh mulai menampilkan ingatan kelam yang mendalam 15 tahun lalu: Pasir putih… pantai yang sunyi… sebuah desa kecil di seberang lautan barat daya. Desa Higabana. Seorang gadis remaja, 17 tahun. Inggrita muda. Ia diikat dan diseret oleh tentara asing berbaju besi Mandalagiri, matanya penuh air dan kepedihan.

Ia berteriak kepada ibunya, namun hanya debur ombak yang menjawab. Ditarik, dibawa, dijual. Dijadikan pelayan para bangsawan. Dicambuk karena menjatuhkan guci. Dipermalukan karena aksen asingnya. Dipaksa melihat kawannya digantung karena mencoba kabur.

Gambaran itu menghantam Jasana seperti badai petir. Ia terpaku. Bahkan Ardhana menghela nafas panjang, menyadari betapa dalam luka ini.

Jasana, dengan suara lirih:“...Jadi ini... wajah kelam dari istana yang kusebut tanah air…”

Ia menatap Onna Bushi, lalu ke arah jasad Inggrita yang terbaring tak sadarkan diri di dunia nyata. Pandangan Jasana mulai berubah dari kemarahan menjadi belas kasih.

Jasana kembali berbicara, kali ini suaranya lembut namun penuh tekad:“Inggrita Maranile... aku tidak bisa mengubah apa yang kau alami. Tapi aku bersumpah, akan kubuka jalan agar generasi berikutnya tak perlu lahir dari luka yang sama. Tapi bukan lewat darah, bukan lewat cara Bayawira.”

“Kau bukan boneka dendam. Kau pantas mendapat hidup yang utuh kembali.”

Tiba-tiba, kabut di dunia roh mulai memudar. Kedua roh khodam terlihat lelah. Wiratmaja, sang Lembuswana, mendarat di samping Jasana, membuka sayapnya dan memeluk tuannya dengan api biru suci, menahan ambruknya roh Jasana. Sementara itu Onna Bushi perlahan mundur, seperti menerima sesuatu dalam diam.

Ardhana berkata pada Jasana,“Kau telah memilih jalan yang lebih sulit, jasana. Tapi itu adalah jalan para penuntun.”

Dunia roh runtuh perlahan, dan Jasana serta Inggrita kembali ke dunia nyata—terbaring di tanah yang dingin, napas mereka lemah, tubuh penuh debu dan luka, energi mereka terkuras habis.

Matahari pagi mulai naik, cahayanya menyentuh dedaunan basah. Dari kejauhan, Nandika, Zadran, dan Nenden mulai terlihat di puncak bukit, menatap ke arah mereka dengan cemas.

Nandika bergumam pelan,“Pertarungan ini… bukan sekadar pedang dan khodam. Ini pertarungan jiwa.”

Langit pagi itu tampak lebih terang dari biasanya, seolah memberi harapan baru setelah malam yang penuh luka.

PENYADARAN INGGRITA & INTERAKSI EMOSIONAL

Langit menjingga perlahan saat mentari pagi sepenuhnya mengusir bayang malam. Angin membawa embusan sejuk dari hutan di sekeliling, menyapu reruntuhan bentang tempat pertarungan itu terjadi. Jasana terbaring di sisi kanan, tubuhnya berdebu, napas teratur namun berat. Di sampingnya, Inggrita Maranile perlahan menggerakkan jari-jarinya, alisnya berkerut menahan sisa rasa sakit di jiwa.

Suara dedaunan yang terinjak membawa langkah kaki yang semakin mendekat—Nandika, Zadran, dan Nenden tiba, segera berlutut memeriksa kondisi keduanya.

Nenden berbisik khawatir,“Kak Jasana... dia masih hidup.”

Zadran menatap Inggrita waspada:“Wakil Kapten Bayawira itu juga... sadarkan diri.”

Tubuh Inggrita menggeliat lemah. Matanya terbuka—sayu, merah, seperti habis menangis, meski air mata tak pernah benar-benar jatuh. Di hadapannya, langit tampak terang dan kosong. Ia mengangkat tangan ke atas, seolah ingin menyentuh sesuatu yang tak terlihat.

Inggrita berbisik lirih,“…Mengapa kau…?”

Jasana, perlahan membuka matanya. Ia menoleh, meski berat, menatap wajah perempuan itu.

Jasana menjawab dengan suara parau,“Karena… aku tak ingin hidup di tanah yang hanya bisa tumbuh dari dendam.”

Inggrita diam. Nafasnya tersendat, seperti menahan guncangan yang terlalu lama dipendam. Untuk pertama kalinya, wajahnya terlihat rapuh. Ia bukan lagi sosok tajam berdarah dingin. Ia hanyalah seorang gadis dari Higabana, yang pernah dipaksa melupakan namanya sendiri.

Inggrita berkata pelan,“Kau... melihat masa laluku…?”

Jasana mengangguk.“Aku melihatnya. Dan aku tak akan pernah lupa.”

Perempuan itu mengalihkan pandangan. Tangannya meraba gagang katana di pinggangnya, tapi tak mencabutnya. Suara gemetar mengiringi kata-katanya:

Inggrita:“Jika aku menghentikan dendamku… apa yang tersisa dariku?”

Jasana menatapnya dalam-dalam, lalu dengan sisa tenaga, ia duduk perlahan dan mengulurkan tangannya.

Jasana:“Yang tersisa adalah kau… bukan budak masa lalu, bukan prajurit boneka… tapi perempuan kuat yang berhak memilih arah hidupnya sendiri. Aku akan membantumu. Aku tak tahu caranya... tapi aku bersumpah akan mencari jalan. Dengan cahaya. Bukan kegelapan Bayawira.”

Seketika tubuh Inggrita bergetar. Topeng tengkorak separuh yang tergantung di sabuknya retak perlahan, seperti simbol belenggu yang mulai runtuh. Onna Bushi, yang biasanya berdiri tak jauh darinya dalam bayang jiwa, kini tak tampak. Senyap. Mungkin sedang merenung, atau mungkin memilih menjauh, memberi ruang bagi tuannya untuk merasakan kembali apa itu menjadi manusia.

Air mata akhirnya jatuh. Satu tetes, bening dan sunyi, meluncur di pipi putihnya.

Inggrita, sambil menatap tangan Jasana yang masih terulur:“…Apa yang kau lihat di Mandalagiri ini, yang membuatmu begitu yakin akan cahaya?”

Jasana tersenyum samar,“Aku melihat banyak luka. Tapi aku juga melihat sahabat yang setia. Guru yang bijak. Dan… dunia yang menunggu untuk disembuhkan, bukan ditaklukkan.”

Inggrita menatap tangan itu… dan untuk pertama kalinya, ia menggenggamnya. Bukan sebagai lawan, bukan sebagai penantang, tapi sebagai seseorang yang mungkin mulai percaya bahwa dirinya masih bisa diselamatkan.

Nandika dan Nenden saling menatap, tak menyangka pertempuran yang mereka kira akan membawa kehancuran, justru membuka pintu pengampunan.

Zadran, sambil duduk bersandar:“Mungkin… inilah yang membuat Kak Jasana berbeda dari pendekar lain.”

Dalam diam, matahari terus naik. Dan untuk sesaat, di tengah reruntuhan, di atas tanah yang masih panas oleh pertempuran jiwa—sebuah benih perdamaian mulai tumbuh.

“Bayangan dalam Bayang-Bayang”

Beberapa jam setelah pertarungan berakhir, Inggrita dan Jasana berdiri di bawah pohon besar di tepi hutan. Angin membelai rambut mereka, seolah menghapus sisa luka yang masih menggantung. Mereka berbicara pelan, hati-hati, sebab suara bisa mengundang telinga yang tak terlihat.

Inggrita:“Setelah ini, mereka akan menanyai aku. Mereka tak akan percaya aku kalah darimu.”

Jasana, menatap lurus ke depan:“Katakan bahwa aku membiarkanmu hidup. Karena aku ingin kau kembali dan menyampaikan pesan padamu sendiri.”

Inggrita, alisnya naik: “Pesan?”

Jasana mengangguk, lalu mendekat, berbicara perlahan: “Aku ingin kau tetap di Bayawira. Tetap jadi bayangan… tapi bukan untuk membunuh. Melainkan untuk menyelamatkan.”

Ia menyelipkan sesuatu ke tangan Inggrita—kepingan kecil batu obsidian merah dengan ukiran segitiga cahaya.

Jasana: “Ini bukan sekadar simbol. Ini adalah ‘Sambung Nurani’. Sebuah ikatan. Selama kau memilikinya, khodamku Wiratmaja akan tahu jika kau dalam bahaya. Dan aku akan datang.”

Inggrita terdiam lama. Ia menggenggam benda itu erat, matanya bergetar.“Jika Bayawira tahu, aku bisa mati.”

Jasana:“Dan jika tak ada yang menanam cahaya di dalam kegelapan itu, tak akan ada yang pernah bangun dari mimpi kelam mereka.”

Inggrita menghela napas. Matanya kembali tajam, tapi kali ini bukan karena dendam—melainkan karena tekad.

Inggrita: “Kalau begitu… aku akan jadi bayangan yang menipu para bayangan.”

Jasana menaruh tangan di pundaknya, perlahan:“Kau bukan budak. Kau bukan alat. Mulai hari ini, kau adalah harapan yang menyamar.”

Seketika, angin berhembus lebih kencang. Dari kejauhan, suara burung gagak terdengar—tanda panggilan Bayawira Utara. Inggrita tahu, waktunya kembali. Ia merapikan topeng tengkorak setengahnya, lalu menatap Jasana untuk terakhir kalinya malam itu.

Inggrita, tersenyum tipis: “Aku akan bawa terang itu ke tengah kegelapan. Tapi jangan mati sebelum aku kembali.”

Jasana: “Kalau aku mati, aku akan hidup kembali… dalam cahaya yang kau bawa.”

Inggrita melangkah pergi, tubuhnya menghilang dalam bayang-bayang malam. Tapi kali ini, langkahnya bukan menuju kehancuran. Ia adalah "bayangan yang berkhianat pada bayangan".

“Segel yang Diperbarui, Hati yang Bergelombang”

Candi Gunung Silu berdiri megah di puncak bukit batu, diselimuti kabut pagi dan harum dupa yang mengepul dari tungku-tungku perunggu di pelatarannya. Hening menyelimuti tempat itu, hanya suara desir angin dan nyanyian mantra penjaga candi yang melantun dalam bahasa kuno.

Di tengah pelataran, 'Watu Buwana'—batu bulat berlapis logam merah muda langka—diletakkan kembali di atas altar batu hitam berukir cakra dan awan. Cahaya mentari yang memantul di permukaannya menciptakan aura keemasan yang hangat.

Para penjaga candi berdiri melingkar, tangan mereka membentuk mudra, bersatu dalam kekuatan gaib untuk memperkuat segel pelindung. Warga desa Candraloka, termasuk Pak Prawira Darmaja, turut menyaksikan dengan khidmat, berdiri bersama para anggota Guild.

Jasana berdiri paling depan, didampingi oleh Nandika, Nenden, dan Zadran. Mereka telah berperan penting dalam menggagalkan rencana pencurian dan membantu mengembalikan artefak suci ini.

Kepala Candi, seorang sesepuh berjubah putih:"Dengan pengembalian Watu Buwana ini, semoga keharmonisan antara langit, bumi, dan alam ghaib tetap terjaga. Kepada para pelindung muda, kami mengucapkan rasa terima kasih sedalam semesta."

Jasana hanya menunduk hormat, tak berkata apa-apa. Tapi tatapan para penjaga dan warga padanya penuh kekaguman.

Setelah Upacara – Persiapan Pulang

Udara mulai menghangat saat matahari naik lebih tinggi. Di sisi pelataran, kuda-kuda mereka telah disiapkan. Nenden tampak sedang memeriksa tali pelana, sementara Zadran memeriksa bekal dan gulungan informasi yang mereka bawa.

Zadran: “Jadi... ini peta kekuatan Bayawira Utara yang dibawa Inggrita ya? Gila... ini bakal jadi senjata besar buat Guild.”

Nenden, serius namun lembut: “Tapi juga beban besar. Kalau mereka tahu Inggrita pengkhianat, nyawanya bisa tak berharga.”

Zadran mengangguk, mendadak terdiam. Ia sadar, informasi yang mereka bawa bukan sekadar data. Itu adalah taruhan nyawa seseorang.

Di sisi lain, Nandika tengah menyiapkan kudanya. Tapi matanya beberapa kali melirik ke arah Jasana yang sedang memeriksa pelindung bahu dan sabuk pedangnya. Ada sesuatu yang berbeda sejak misi ini dimulai. Sejak Jasana kembali dari hilangnya selama dua tahun setengah, seakan ada kharisma baru yang tumbuh darinya—tenang tapi kuat, bersahaja tapi menyala.

Nandika (dalam hati): “Dia bukan Jasana yang dulu... Tapi entah kenapa, aku lebih ingin bersamanya sekarang...”

Saat Jasana menoleh, mata mereka beradu. Nandika kaget, dan buru-buru berpaling, wajahnya memerah seperti tersengat matahari pagi. Jasana hanya tersenyum tipis, belum sepenuhnya menyadari gejolak yang terjadi di balik tatapan sahabat lamanya itu.

Perjalanan Pulang – Menuju Guild Bayu Geni

Kaki-kaki kuda menghentak tanah lembut saat mereka berempat mulai menuruni jalur bukit, meninggalkan Candi Gunung Silu di belakang mereka. Langit biru mengembang, angin berembus tenang.

Jasana, sambil menunggang kudanya, berkata pelan:“Kita sudah dapat dua hal berharga: artefak ini kembali aman… dan arah gerak musuh mulai terlihat. Tapi ini baru permulaan.”

Nenden, setengah tersenyum:“Dan kita kembali dalam keadaan utuh. Itu juga sesuatu yang layak disyukuri.”

Zadran:“Akan kita ceritakan semua ke Kapten Pradipa Karna. Termasuk soal Inggrita. Aku yakin ini akan mengubah banyak hal.”

Angin membawa bisikan hutan, seolah ikut mengamini.

Jasana menatap jauh ke arah selatan—ke tempat Guild Bayu Geni berada. Sebuah pertempuran telah usai, tapi perang yang lebih besar sedang menggeliat di balik kabut utara. Dan di sanalah, takdir mereka akan kembali diuji.

Bayangan dari Utara

Setelah perjalanan panjang selama dua hari satu malam menembus lembah, ladang, dan jalan-jalan berbatu yang mengular di kaki pegunungan, keempat anggota Guild Bayu Geni akhirnya melihat kembali kemegahan ibu kota Tirabwana, pusat Kerajaan Mandalagiri.

Menara-menara tinggi menjulang di kejauhan, bendera kerajaan berkibar di atas gerbang kota, dan dentang lonceng pasar sore terdengar dari kejauhan. Tapi mereka tidak singgah. Tanpa membuang waktu, Jasana, Nandika, Nenden Ayu, dan Zadran langsung mengarahkan kuda mereka menuju benteng Guild Bayu Geni, menyusuri lorong utama dan melewati gerbang batu berukir lambang naga bersayap menyala.

Begitu tiba, mereka menuju ruang khusus Divisi Raka Lelana—ruangan luas berhias peta dunia kuno, rak senjata tua, dan meja besar dari kayu hitam di tengahnya. Di sana, duduk dengan gagah dan tenang, Kapten Pradipa Karna—pria berusia awal tiga puluhan, berambut hitam diikat ke belakang, janggut tipis menggaris tegas di dagunya, dan mata tajam yang penuh pengamatan.

Ia mendongak saat mereka masuk, meletakkan cawan tehnya dan menatap lurus ke arah mereka.

Kapten Pradipa Karna:“Lapor.”

Jasana maju ke depan, berdiri tegap. Angin senja dari jendela membawa aroma damar dan peluh pertempuran yang masih membekas.

Jasana (tegas):“Misi pengamanan artefak suci Watu Buwana telah selesai dengan keberhasilan penuh, Kapten. Artefak telah dikembalikan ke Candi Gunung Silu dan segel pelindung diperbarui. Ini adalah surat dan stempel resmi dari para penjaga candi sebagai bukti.”

Ia mengeluarkan gulungan surat berstempel merah tua, diserahkan dengan hormat ke tangan Pradipa Karna.

Sang kapten membuka dan membacanya perlahan. Setelah puas, ia mengangguk singkat.

Jasana (melanjutkan):“Namun lebih dari sekadar pengamanan artefak, kami menemukan bahwa tujuan Bayawira mencuri Watu Buwana adalah untuk membuka jejak kekuatan purba yang terkubur. Batu itu bukan sekadar benda sakral, melainkan peta samar menuju reruntuhan lama yang diduga menyimpan kekuatan dari zaman sebelum Mandalagiri berdiri.”

Ruangan mendadak hening. Pradipa menyilangkan tangannya.

Pradipa Karna:“Lanjutkan.”

Jasana menarik napas pelan.

Jasana:“Dalam perjalanan, kami menghadapi seorang musuh yang luar biasa—Wakil Kapten Bayawira Utara bernama Inggrita. Pertarungan kami berakhir imbang, namun dalam titik akhir pertarungan, dia sadar... bahwa selama ini dirinya hanya dijadikan alat oleh Bayawira. Kini dia memutuskan membelot.”

Alis Pradipa terangkat. Matanya mengeras.

Pradipa Karna:“Kau membiarkan dia pergi?”

Jasana (menatap lurus, tanpa ragu):“Ya, Kapten. Dia kini menjadi mata-mata di dalam tubuh Bayawira. Dia berjanji akan mengirimkan informasi tentang kekuatan inti mereka.”

Pradipa tak langsung merespons. Ia menatap tajam, lalu berkata pelan namun padat:

Pradipa:“Kau terlalu naif, Jasana. Musuh tetaplah musuh.”

Sebelum Jasana menjawab, Nandika maju ke depan, berdiri sejajar.

Nandika:“Saya menyaksikan semuanya. Dan saya percaya keputusan Jasana bukan hanya soal belas kasihan. Itu pertaruhan cerdas. Kami semua melihat bahwa Inggrita benar-benar berubah.”

Pradipa memandang keduanya, masih tak sepenuhnya percaya. Tapi saat Jasana bicara lagi, suaranya lebih dalam, lebih tenang:

Jasana:“Jika suatu hari Inggrita kembali ke pihak Bayawira... saya bersumpah atas nama leluhur saya, saya siap menerima hukuman apa pun dari Guild atau Kerajaan Mandalagiri.”

Ia lalu meletakkan satu gulungan kulit di meja.

Jasana:“Ini adalah bukti kesetiaan pertamanya. Peta struktur kekuatan Bayawira Utara.”

Pradipa membuka gulungan itu. Dalamnya tergambar skema detail yang tak ternilai:

Kapten Bayawira Utara: Kandhara Mangkara — manusia dari ras raksasa yang konon telah punah.

Wakil Kapten: Gerungga Balaratri, bekas bangsawan dari Tirabwana yang menghilang bertahun lalu.

Pasukan inti terdiri dari jin dari alam Tirakarsa—alam jin tingkat satu—dan manusia raksasa seperti kaptennya.

Beberapa klan jin terkenal serta para bandit dari utara kini bersatu dalam satu kekuatan gelap.

Pradipa mendadak terdiam lama, matanya menyapu tiap baris informasi. Ketika akhirnya menutup gulungan itu, nadanya berubah.

Pradipa Karna:“Ini... jauh lebih besar dari yang kami duga. Pangeran Mahkota Maheswara harus segera tahu. Aku akan mengatur rapat tertutup dengan seluruh Kapten Divisi malam ini juga.”

Ia lalu berdiri, membuka laci meja, dan mengeluarkan empat kantung kulit bersegel lambang naga merah.

Pradipa Karna (serius tapi hangat):“Sebagai imbalan, ini hak kalian. Koin perak dan emas, masing-masing. Kalian bukan hanya melindungi sebuah artefak—kalian membawa cahaya ke dalam kabut.”

Mereka menerima dengan hormat. Tak ada dari mereka yang mengeluh lelah atau meminta imbalan. Tapi di balik keheningan itu, ada perasaan bangga... dan tanda bahwa mereka kini bukan hanya anggota muda. Mereka adalah bagian dari sejarah yang sedang bergerak.

Di luar ruang Divisi Raka Lelana, langit Tirabwana perlahan berwarna tembaga. Angin petang membawa harum kayu dan tanah. Jasana berdiri sebentar di balkon batu, menatap ke langit.

Di kejauhan, awan gelap mulai berkumpul di ufuk utara.

Bayawira tidak akan tinggal diam.

Dan mereka pun takkan tinggal diam pula.