Bab 2 - Misi Penyelamatan Artefak

KOTA PELABUHAN ADIYAKSA – DISTRIK NIAGA | KANTOR DAGANG DRA'VETHA

Mentari siang menyinari pelabuhan Adiyaksa yang sibuk. Terlihat perahu-perahu dagang keluar masuk dermaga, aroma garam laut dan rempah memenuhi udara. Di distrik niaga yang tertata megah, bangunan-bangunan besar dari batu putih berderet rapi. Salah satu yang paling mencolok adalah Kantor Dagang Dra'Vetha, bangunan tiga lantai bergaya arsitektur utara dengan kaca berukir dan bendera berwarna ungu tua berlambang bulan sabit merah tergigit serta siluet kelelawar.

Di dalam kantor utama, ruangan paling atas yang menghadap langsung ke pelabuhan, tampak seorang wanita bangsawan duduk tenang. Nyonya Cathrine Van der Lindt—dulu dikenal sebagai Rinjana Nirnawa—membalik lembaran demi lembaran laporan logistik di atas meja besar berlapis kain beludru ungu. Rambut peraknya tergerai, mata ungu berkilau menyala lembut di bawah cahaya kristal gantung.

Cathrine (dalam hati, sambil menandai dokumen):"Pulau Nelayan mencatat surplus tinggi, distrik hiburan mencetak laba dari pengunjung bangsawan saat perayaan tahun baru... sementara perikanan dan ekspor ke Buludru tetap stabil. Semuanya sesuai rencana..."

Duduk di hadapannya adalah Morzhan, pria jin berwajah manusia dengan tubuh tinggi besar. Ia mengenakan pakaian pelayan utama berwarna hitam dan ungu dengan bros logam lambang Dra’Vetha di dadanya. Di tangannya tergenggam beberapa gulungan baru.

Morzhan (dengan suara tenang dan dalam):"Laporan terakhir dari jalur pengiriman ke Tirabwana: Kereta kencana membawa gurita hitam telah melintas perbatasan tengah siang tadi. Kapal Djong tujuan Buludru juga sudah berlayar pagi tadi dari dermaga barat."

Cathrine tersenyum tipis. Tangannya menyentuh kristal kecil yang menyala sebentar di meja, lalu memadam.

Cathrine:"Luar biasa... Ini lebih baik dari yang kutargetkan bulan lalu. Aku hanya khawatir dengan... suamiku. Bagaimana kabar Jesse di Guild Bayu Geni?"

Morzhan mengangguk ringan, lalu mendekat dan berbisik sedikit lebih lirih.

Morzhan:"Dia dalam keadaan sehat. Telah kembali menjalani kehidupan petualang di bawah nama lamanya... Jasana Mandira. Dalam waktu dekat Mungkin akan terlibat langsung dalam misi kerajaan untuk memberantas sisa-sisa Bayawira."

Cathrine menarik napas pelan, lalu menatap ke luar jendela ke arah lautan biru.

Cathrine (lirih):"Dia benar-benar kembali ke jalur itu..."

Morzhan (menambahkan):"Dan satu hal lagi, Nyonya... Status buronan 'Rinjana Nirnawa' telah dihapus. Resmi dinyatakan gugur oleh pihak kerajaan. Ini... hasil dari campur tangan langsung Tuan Jasana."

Cathrine memejamkan mata sejenak, senyumnya menguat. Ia menatap wajahnya di cermin kecil di meja—seorang wanita baru, bebas dari masa lalunya yang berdarah.

Cathrine:"Rinjana Nirnawa sudah mati. Yang ada sekarang hanya Cathrine Van der Lindt. Istri Jesse Dra'Vetha. Pengusaha dan juga seorang Ibu..."

SCENE BERPINDAH KE: PULAU NELAYAN – DISTRIK SELATAN | KEDIAMAN KELUARGA DRA’VETHA

Rumah besar berdinding batu halus berdiri tenang di atas bukit kecil, dikelilingi taman bunga merah darah dan ungu tua yang harum. Sebuah air mancur tengah mengalirkan aroma herbal pelindung yang hanya bisa diracik oleh ahli sihir dari kalangan jin.

Di beranda belakang, Velyra, pelayan utama dari tribe Dra’Vetha, sedang memangku Raviendra, anak laki-laki berusia 1.8 tahun. Rambut si kecil keperakan dan matanya ungu—warisan dari ibunya garis darah bangsawan Windmills.

Velyra (sambil mengelus rambut Raviendra):"Lihat... Ayahmu kini menjadi seorang pelindung Negeri ini, Ravi. Dan ibumu... seorang wanita kuat yang bertarung bukan dengan senjata, tapi dengan cinta dan keberanian."

Ravi tertawa kecil, menunjuk ke arah bunga merah yang mekar. Velyra tersenyum. Suasana kediaman mereka tenang namun penuh aura sihir tersembunyi. Tak banyak manusia yang tahu bahwa rumah ini dijaga oleh lebih dari sekadar tembok dan penjaga biasa.

Di dalam ruang suci rumah, terdapat ruang meditasi dimensi tersembunyi, tempat Nyai Lutfayana Dra’Vetha—istri kedua Jasana, saat ini sedang beristirahat dalam perawatan sihir kehamilan, dijaga oleh roh-roh penjaga alam Kalathraya.

KEMBALI KE KANTOR DAGANG

Cathrine (berdiri dan meraih tongkat sihirnya yang disandarkan di kursi):"Pastikan semua pengiriman ke Buludru dan Tirabwana dikawal oleh dua pelindung bayangan. Dan Morzhan... kirim surat pribadi pada Jesse. Katakan... aku akan mengirimkan seseorang untuk membantunya di guild bayu geni."

Morzhan (menunduk):"Seperti kehendakmu, Nyonya."

Note Tambahan Naratif:

Pulau Nelayan dikelola sebagai resort eksklusif, distrik hiburan, dan pusat spiritual tersembunyi dari tribe Dra’Vetha.

Cathrine dan Lutfayana mewakili dua sisi dari keluarga Jasana yang terhubung dengan dua dunia: dunia manusia dan dunia jin.

Morzhan & Velyra sebagai tangan kanan kepercayaan keluarga ini yang nantinya akan menjaga dan merawat anak-anak mereka dan menjadi penghubung yang menjaga garis komunikasi dan keseimbangan bisnis-politik-spiritual.

Nama Dra’Vetha dan pengaruhnya diam-diam mengakar di banyak sektor dagang dan diplomatik antar kerajaan melalui kedok bangsawan dari Kerajaan Salju di utara.

Medan Latihan Guild Bayu Geni, Pagi Hari Menjelang Siang

Udara pagi masih diselimuti kabut tipis, namun semangat 128 calon anggota Guild Bayu Geni telah membuncah memenuhi medan pelatihan yang luasnya hampir setengah alun-alun kerajaan. Bendera Guild Bayu Geni berkibar megah di sisi timur medan, menandai dimulainya Ujian Hari Pertama.

Di atas panggung kayu sederhana, berdiri para instruktur senior dari berbagai divisi — anggota angkatan Jasana. Mereka memakai lambang divisi masing-masing di bahu kiri seragam latihan mereka. Jasana berdiri tegap mewakili Divisi Raka Lelana, diapit oleh Kirta dan Nandika. Bagas, Brahma, dan Surya berdiri di sisi barat mewakili Panggrahita Aji, sementara Darsa, Larasmi, dan Pratiwi dari Bayang-Bayang Geni bersandar santai di balik bayangan tenda.

Rakha dari Mandala Dhana memantau catatan logistik peserta, sedangkan Wigra berdiri tenang di belakang, mengenakan jubah khas Rasa Prawira, mengamati aura para peserta dengan mata tajamnya.

Tahap 1 – Ujian Ketahanan Fisik

Peserta diminta berlari membawa karung pasir di punggung, mengelilingi medan latihan sepanjang beberapa ribu langkah. Karung-karung berisi pasir hitam seberat 20–30 kati sudah disiapkan di jalur awal.

“Lari bukan hanya tentang kecepatan,” suara Surya menggema. “Tapi ketahanan dan tekadmu di medan panjang. Siapkan napas dan niatmu!”

Teriakan aba-aba dilepas. Medan bergemuruh. Beberapa peserta langsung tersungkur di setengah putaran pertama. Keringat bercucuran. Tapi dari kerumunan itu, tiga sosok terus melaju dengan stabil:

Wira Raksadana, langkahnya mantap dan ritmis, posisi tubuh sempurna seperti diajarkan dalam militer. Seseorang berseru, “Itu anaknya mantan Panglima Raksadana, bukan?!”

Zadran, pemuda kurus namun tangguh, berlari dengan postur miring sedikit ke kiri karena mengimbangi beban. Ia seperti memiliki keseimbangan alami yang luar biasa.

Nenden Ayu Jalaksana, dengan tubuh mungilnya, justru melejit di jalur dalam, napasnya teratur, wajah tetap anggun tanpa tanda kelelahan. Nandika yang melihat dari jauh bergumam, “Dasar Jalaksana manja itu, masih saja suka pamer. Tapi… dia memang kuat.”

Setelah dua putaran penuh, hanya 67 peserta yang berhasil menyelesaikannya. Sisanya terpaksa ditarik mundur untuk perawatan.

Tahap 2 – Uji Reaksi dan Insting

Para peserta yang lolos kini berbaris di tengah arena tertutup. Para instruktur, termasuk Jasana, Nandika, Bagas, Darsa, dan lainnya, mengambil tongkat rotan ringan. Mereka mengenakan topeng hitam untuk menjaga anonim dan membentuk pola serangan tak terduga.

Aturan sederhana: hindari semua serangan dalam waktu 5 menit. Jika tiga kali terkena, gugur.

Alarm berbunyi. Serangan dimulai.

Banyak peserta panik dan menunduk. Tapi Zadran justru memiringkan tubuhnya mengikuti arah angin dan suara. Beberapa kali dia memutar tubuhnya dengan langkah kaki yang seperti menari, menghindari tiga serangan berturut-turut dari arah berbeda. Jasana yang menyaksikan itu dari balik topengnya tersenyum samar, “Morzhan benar-benar mengajarnya dengan baik.”

Nenden tampak seperti menebak arah serangan sebelum datang. Tubuhnya melenting ringan, sesekali berguling dan membalas dengan gerak tangan kosong mengarahkan rotan lawan keluar lintasan. Nandika mendecak, “Masih suka pamer seperti dulu.”

Wira berdiri di tengah dan memusatkan insting seperti prajurit terlatih. Beberapa pukulan rotan yang diarahkan padanya ditepis dengan refleks sempurna. Dia bahkan memprediksi arah lintasan tongkat dari suara napas si penyerang.

Dari 67 peserta, tersisa hanya 38 peserta yang lolos.

Tahap 3 – Ujian Strategi Mini

Peserta dibagi ke dalam kelompok kecil, masing-masing 5 orang. Di tengah arena berdiri sebuah tiang dengan bendera merah, dijaga oleh tiga instruktur yang dipilih dari para senior (hari ini: Kirta, Brahma, dan Pratiwi).

Tugas: Susun strategi. Rebut bendera tanpa menyentuh penjaga, dan hanya satu kelompok yang boleh bergerak tiap giliran.

Kelompok yang dipimpin oleh Wira menyusun formasi V terbalik, di mana dua dari anggotanya memancing dua penjaga keluar dari posisi, sementara Wira dan dua lainnya menyerbu sisi kiri dan berhasil merebut bendera tanpa tersentuh.

Kelompok Zadran membuat formasi jebakan. Mereka berpura-pura menyerang dari kiri, lalu Zadran sendiri mengendap-endap dari semak ilusi yang dia deteksi, menerobos celah pertahanan dengan gerakan mendadak, menyambar bendera.

Sementara kelompok Nenden Ayu memanfaatkan spiritual aura — Nenden mengalirkan energi melalui tanah dan mengalihkan perhatian penjaga dengan gelombang kecil yang membuat satu penjaga terpeleset. Teman-temannya memanfaatkan momen itu dan Nenden melompat mengambil bendera, mendarat tanpa suara.

Dari total 12 kelompok, hanya 4 kelompok yang berhasil menyusun strategi efektif — tiga di antaranya adalah kelompok dari Wira, Zadran, dan Nenden Ayu.

MENJELANG SENJA

Ujian hari pertama selesai. Cahaya oranye senja mulai menyapu medan pelatihan. Para peserta duduk bersila di halaman terbuka, diberi sup akar langit hangat dan roti gandum isi kelapa, hasil dapur Divisi Mandala Dhana.

Para senior berkumpul di sisi barat, berdiskusi santai.

Jasana: “Tiga peserta itu menarik.”

Nandika: “Jalaksana tetap menjengkelkan. Tapi kemampuan spiritualnya meningkat pesat.”

Darsa: “Yang bernama Zadran… ada sesuatu dalam cara dia bergerak. Terlatih… bukan anak biasa.”

Bagas tertawa: “Dan Wira. Dia anak jenderal. Ya tentu saja.”

Malam pun menjelang. Ujian hari pertama selesai. Tapi ini baru permulaan.

Next: Hari kedua akan menghadirkan uji kemampuan individu dengan senjata pilihan, serta simulasi pertarungan satu-lawan-satu antar peserta.

Hari Kedua — Ujian Kemampuan Individu & Pertarungan 128 Besar

Langit Tirabwana cerah ketika halaman utama medan latihan Guild Bayu Geni kembali dipenuhi oleh para calon anggota.

Mereka berdiri dalam barisan rapi, tubuh masih terasa lelah setelah ujian hari pertama. Namun kali ini, sorot mata mereka tajam, fokus, dan menyimpan semangat juang yang berbeda.

Di atas panggung kayu setengah lingkaran, Kapten Kirana Wismadanta berdiri tegap. Sosok wanita gagah itu mengenakan jubah abu tua dengan aksen biru gelap, ikat pinggang kulit bersulam lambang nyala api di tengah dada. Rambutnya dikuncir tinggi, suara bicaranya menggema tegas ke seluruh penjuru halaman.

“Hari ini... adalah waktumu menunjukkan siapa dirimu dengan senjata pilihanmu! Ini bukan sekadar duel. Ini tentang tekad. Tentang kehormatan. Tentang menunjukkan bahwa kau layak berdiri di antara para ksatria dan pendekar Bayu Geni.”

Para peserta bersorak pendek. Beberapa menatap senjata kayu mereka—tiruan dari senjata asli yang telah mereka pilih sebelumnya. Ada yang menggenggam pedang kayu, tombak ringan, senjata rantai pendek, hingga busur latihan tumpul.

Sementara itu, para anggota senior dari angkatan Jasana telah mengambil tempat di meja penilaian, masing-masing membawa lembaran evaluasi, pena bulu hitam, dan tatapan yang tajam. Mereka berdiri di empat penjuru arena latihan utama.

Jasana, Kirta, Nandika berdiri di sisi barat, mewakili Divisi Raka Lelana.

Darsa, Larasmi, Pratiwi mengawasi dari lorong timur, mewakili Divisi Bayang-bayang Geni.

Bagas, Brahma, Surya berjaga di sisi utara, berseragam latihan Divisi Panggrahita Aji.

Rakha duduk tenang, mencatat di sisi selatan bersama Wigra, mewakili Divisi Mandala Dhana dan Rasa Prawira.

Pertarungan dimulai. Satu per satu, peserta dipanggil ke arena untuk menunjukkan teknik dasar mereka. Mereka kemudian diadu satu-lawan-satu dalam babak 128 besar, sebuah kompetisi duel mini yang akan berlangsung selama tiga hari penuh.

Peserta yang Menonjol Wira Raksadana

Saat namanya dipanggil, bisik-bisik segera terdengar dari tribun dan antara para instruktur.

“Itu putra Pak Raksadana, ya?”“Lihat posturnya… Tekniknya terlalu bersih untuk anak muda biasa.”

Wira berjalan ke tengah arena dengan langkah mantap. Ia membawa pedang kayu dua sisi, dan saat pertarungan dimulai, gerakannya seperti tarian maut — lincah, tajam, penuh kekuatan militer yang terlatih.

Beberapa pukulan bahkan membuat lawannya terhempas keluar lingkaran pertarungan tanpa mampu membalas.

Bagas mengangguk pelan melihat teknik itu.

“Mirip sekali dengan ayahnya, tapi... anak ini lebih luwes.”

Zadran

Tak banyak yang tahu siapa dia, namun saat Zadran melangkah ke arena, Jasana hanya melirik sekilas lalu menghela napas pelan.

Dalam hati ia berkata:

“Kau sampai mengirim anak itu, Morzhan? Seperti biasa, kau selalu selangkah di depan...”

Zadran menggunakan pedang kayu pendek kidal. Gaya bertarungnya unik—tidak secepat Wira, tapi penuh jebakan gerak, seolah mengundang lawan untuk menyerang hanya untuk terpancing ke perangkap balik. Teknik-teknik yang sangat Jasana kenal.

“Terlalu rapi untuk anak biasa...” bisik Darsa curiga.

Nenden Ayu Jalaksana

Gadis kecil bersenjata tombak ringan itu tampak seperti sedang bermain. Namun ketika bel pertarungan dibunyikan, ia melesat ke depan seperti kilat, menari lincah, dengan putaran tombak yang mematikan.

Nandika, yang mengawasi dari sisi arena, mengerutkan kening melihatnya.

“Anak itu... masih seperti dulu. Terlalu percaya diri. Tapi... kekuatannya tidak bisa diremehkan.”

Dalam satu duel, Nenden bahkan menyapu kaki lawannya lalu menusukkan ujung tumpul tombaknya ke dada — dengan kecepatan yang membuat Kirta bersiul pelan dari kejauhan.

Hari Ketiga — Babak 64 Besar

Pertarungan semakin ketat. Beberapa peserta yang sebelumnya tampak kuat mulai gugur karena kelelahan, atau karena kurang pengalaman membaca gerakan lawan. Wira tetap mendominasi, Zadran bermain sabar dan cerdas, dan Nenden tampak seperti tidak mengenal lelah.

Namun dalam salah satu duel, Zadran menghadapi seorang pengguna senjata rantai, dan hampir kehilangan kendali.

Jasana berdiri dari bangkunya, namun tidak mengatakan apa-apa.

Zadran memejamkan mata sejenak, menghindar, lalu menangkis dengan balik tubuh. Saat duel usai, ia berdarah di pelipis tapi tetap berdiri tegak.

Larasmi menggumam,

“Yang ini... punya sisi gelap. Tapi terkendali.”

Hari Keempat — Babak 32 Besar

Hari terakhir simulasi duel. Wira menang cepat dengan dua tebasan kayu yang akurat. Nenden menang dramatis lewat duel panjang dengan peserta bertubuh besar. Zadran menang nyaris seimbang dengan teknik tipuan mematikan.

Dari balik arena, para instruktur berdiskusi pelan. Kapten Kirana berjalan ke arah meja mereka.

“Tiga anak itu… sudah jelas.”

“Tapi kita harus memilih tidak hanya dari kekuatan. Kita mencari yang sanggup membawa misi Guild.”

Wigra, dengan nada lembut, berkata,

“Kita lihat siapa di antara mereka yang tetap berdiri esok hari... ketika tantangan sebenarnya datang bukan dari musuh, tapi dari dalam diri mereka sendiri.”

Penutup Hari Keempat

Senja menggantung di langit. Sorot matahari terakhir menyapu halaman Guild. Para peserta tersisa berbaris dengan napas berat, namun sorot mata mereka penuh harapan.

Jasana berdiri terakhir di antara para instruktur, memandangi tiga wajah muda yang telah menonjol hari itu. Dalam hatinya, ia menyimpan harapan—dan sekaligus kekhawatiran.

“Wira, anak sang panglima... Nenden, tombak dari masa lalu Nandika... dan Zadran, muridku sendiri...

Bayu Geni akan berubah, dan kalian mungkin menjadi porosnya.”

Malam Hari, Lobi Utama Guild Bayu Geni – Jamuan Makan Seleksi Hari Keempat

Suasana lobi utama Guild Bayu Geni malam itu berubah menjadi megah dan penuh cahaya. Lentera-lentera gantung bersinar lembut di langit-langit tinggi, memantulkan kilauan keemasan di permukaan lantai batu mengilat. Meja-meja panjang telah ditata rapi dan penuh hidangan: daging panggang berbumbu rempah, nasi gurih dengan daun kemangi, sup akar langit yang harum menggoda, hingga buah-buahan eksotis dari wilayah perbukitan dan pesisir.

Peserta seleksi yang berjumlah 128 orang duduk dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar masih mengenakan pakaian latihan mereka yang telah diganti dengan versi bersih dan rapi. Wajah-wajah mereka tampak lega, lelah namun bersemangat.

Di ujung ruangan, sebuah panggung kecil telah disiapkan. Di sanalah Kapten Kirana Wismadanta, dengan sikap gagah dan penuh wibawa, berdiri menyambut semua yang hadir. Ia mengenakan jubah Merah Bata khas Divisi Panggrahita Aji, dengan aksen biru tua menyala, dan ikat pinggang kulit bersulam lambang api yang tampak seperti nyala membara dalam cahaya lentera.

Lengan bajunya tergulung sampai siku, memperlihatkan bekas-bekas luka lama—jejak pengalaman panjang di medan latihan dan pertempuran.

Sambutan Kapten Kirana

Dengan suara yang lantang namun bersahabat, Kapten Kirana memulai sambutan:

“Selamat malam, para peserta ujian seleksi Guild Bayu Geni. Hari ini kalian telah melewati ujian keempat: uji kemampuan senjata dan simulasi duel. Kalian semua layak mendapatkan jamuan ini, bukan hanya karena kerja keras, tetapi karena semangat kalian yang tak runtuh, bahkan saat kalah.”

Ia memandang sekeliling, menatap wajah para peserta satu per satu.

“Mulai esok, kita akan memasuki babak kelima hingga ketujuh. Tiga hari penuh yang akan menjadi ujian paling sulit: ujian mental dan pengendalian diri. Kekuatan bisa dilatih, strategi bisa dipelajari. Tapi pengendalian diri? Itu hanya bisa dibangun dari dalam.”

“Kalian akan diuji tanpa senjata, tanpa dukungan tim, dan tanpa tahu siapa kawan atau lawan. Beberapa dari kalian mungkin merasa itu tidak adil—dan memang tidak. Karena dunia ini tidak adil. Tapi siapa yang mampu tetap waras, tegas, dan jujur pada dirinya sendiri, ialah yang akan berdiri terakhir.”

“Sore hari pada hari ketujuh, dua puluh nama terbaik akan diumumkan. Dua puluh jiwa yang akan kami pilih menjadi anggota baru Guild Bayu Geni, dan kalian akan ditempatkan ke lima divisi utama sesuai penilaian dari para instruktur senior.”

Sambutan itu disambut tepuk tangan meriah. Kapten Kirana memberi aba-aba, dan pelayan-pelayan segera mulai menyajikan makanan besar.

Suasana Makan Malam

Jamuan pun dimulai. Tawa dan obrolan memenuhi ruangan, menggantikan ketegangan hari-hari sebelumnya. Para instruktur dan panitia duduk di bagian depan, namun tetap mudah dijangkau oleh para peserta.

Wira Raksadana, dengan aura percaya diri dan keanggunan seorang pewaris pejuang, tampak duduk bersama Bagas. Mereka tengah tertawa membicarakan duel sebelumnya.

Wira: “Tebasan ketiga lawan tadi itu… seperti latihan pemula.”

Bagas, tertawa: “Jangan terlalu sombong, Nak. Tapi ya, gaya kakimu tadi memang mantap. Mirip ayahmu...”

Zadran dan Jasana duduk di sisi berlawanan namun cukup dekat untuk memalsukan keakraban mereka. Jasana dengan senyum tipis, menjaga nada netral.

Jasana: “Hebat juga tadi... hampir kau buat lawanmu terpental keluar arena.”

Zadran, sambil menyesap sup akar langit: “Latihan dari orang yang keras memang menumbuhkan hasil keras, bukan?”

Tatapan mereka saling bertemu sejenak, sebelum sama-sama tertawa kecil. Tak seorang pun di meja mereka menyadari ketegangan tersirat itu, atau sejarah dalam diam yang mereka simpan.

Sementara itu, Nenden Ayu Jalaksana tampak duduk tak jauh dari Nandika, keduanya saling mencibir dan tertawa.

Nenden: “Kakak Nandika... masih juga galak, ya. Tapi lihat, aku bisa sampai di sini kan?”

Nandika, geleng kepala: “Iya, iya... aku akui, kau tidak selemah dulu. Tapi jangan bawa sikap manja ke medan sesungguhnya. Ini bukan taman bunga, Nenden.”

Nenden, sambil menyuap daging panggang: “Tapi aku suka bunga... dan kemenangan.”

Di sisi lain, Darsa, Larasmi, dan Pratiwi dari Divisi Bayang-bayang Geni duduk diam mengamati para peserta, mata mereka seperti pencatat rahasia yang tidak pernah berhenti bekerja.

Darsa, pelan: “Kita lihat saja siapa yang tetap tenang saat api mulai menyala.”

Larasmi: “Aku bertaruh Nenden akan meledak duluan.”

Pratiwi, tersenyum miring: “Zadran akan bertahan. Dia terlalu banyak menyimpan... sesuatu.”

Jamuan malam itu bukan hanya soal makanan—tetapi panggung sosial, ketegangan tersembunyi, dan persiapan terakhir sebelum ujian yang paling berat datang menghantam.

Dan malam itu, saat cahaya lentera mulai meredup, hanya sedikit dari mereka yang benar-benar menyadari:

Besok, ujian sesungguhnya akan dimulai—bukan untuk tubuh, tapi untuk hati dan jiwa.

HARI KE-5 – UJIAN MENTAL DAN PENGENDALIAN DIRI

Mentari pagi menyapa langit Tirabwana dengan cahaya lembut. Udara terasa hening dan tegang. Di halaman latihan utama Guild Bayu Geni, para peserta telah berkumpul, mengenakan pakaian sederhana namun bersih. Inilah hari ke-5 dari ujian seleksi—saat di mana mental, nurani, dan kendali diri menjadi penentu.

Ujian Pangasa Budhi – Tes Kecerdasan dan Ketajaman Strategi

Di sebuah aula yang disulap menjadi medan pertempuran miniatur, peserta duduk dalam kelompok kecil menghadap papan strategi yang memuat teka-teki taktis: jalur pengepungan, simulasi pertahanan benteng, dan analisis jebakan. Setiap kelompok dipantau oleh para instruktur, termasuk Jasana, Darsa, dan Wigra.

Wira tampil menonjol dengan strategi pengepungan tiga arah yang mengunci musuh tanpa korban. Zadran memecahkan skenario pertahanan dengan pendekatan tak terduga, membalik posisi antara umpan dan penjaga utama. Sementara Nenden Ayu menunjukkan kejernihan pikiran saat memecah pertarungan gerilya menjadi potongan kecil yang bisa dikendalikan.

Ujian Rasa – Tes Empati dan Pengambilan Keputusan Etis

Peserta dipisah satu per satu, dibawa ke ruang gelap dengan suara tangisan dan teriakan. Dalam simulasi penyelamatan sandera, mereka dihadapkan pada pilihan mustahil: menyelamatkan satu sahabat lama atau lima warga sipil yang tak mereka kenal.

Beberapa ragu dan runtuh dalam tekanan. Namun Wira memilih warga sipil, meskipun air mukanya menunjukkan beratnya keputusan. Nenden, dengan linangan air mata, memilih sahabatnya, lalu berkata, “Aku akan menanggung luka ini, tapi aku tidak akan biarkan mereka semua mati tanpa perjuangan.” Zadran, dengan suara berat, menjawab, “Aku tidak akan memilih siapa pun... Aku akan cari jalan ketiga.”

Meskipun tak realistis, tekadnya menunjukkan integritas.

HARI KE-6 – Ujian Pasukan

Hari keenam adalah ujian kekompakan tim. Peserta dibagi acak menjadi regu-regu kecil dan diturunkan ke area pertempuran buatan di lereng bukit timur. Dalam misi yang penuh strategi, tipu daya, dan simulasi serangan, para peserta diuji atas kekompakan dan kerja sama.

Beberapa kelompok hancur karena ego pribadi. Namun tim Wira yang dipimpin olehnya sukses menguasai titik strategis tanpa kehilangan satu anggota pun. Tim Nenden dan Zadran yang tergabung bersama juga menunjukkan koordinasi luar biasa dengan taktik komunikasi isyarat dan serangan menyelinap.

HARI KE-7 – Ujian Diri – Meditasi dan Hadapan dengan Khodam

Hari terakhir adalah yang paling sunyi... dan paling berat. Satu per satu peserta dibawa ke Ruang Cermin Sunyi, sebuah ruang batu tanpa suara dengan sebuah cermin besar di tengahnya. Tak ada suara, tak ada cahaya selain dari sinar temaram lentera jiwa.

Mereka diminta duduk diam dan menatap pantulan diri mereka... hingga “sesuatu” muncul.

Wira menahan napas saat bayangan dirinya menjelma sosok raksasa berapi, menuding dan meneriakkan kesalahan masa lalunya.

Ia berdiri dan menghadapi dengan teguh.

Nenden melihat bayangan dirinya yang rapuh dan penuh keraguan, namun menatapnya dengan belas kasih, memeluknya, dan menangis dalam keheningan.

Zadran terdiam, melihat sosok dirinya yang meneteskan darah dari pedang, berwajah seperti Jasana. Ia berlutut, lalu menggenggam pedang tersebut dan berkata, “Aku bukan kamu. Tapi aku pernah jadi kamu.”

PENGUMUMAN HASIL SELEKSI

Sore menjelang malam, langit mulai menguning. Lobi utama Guild Bayu Geni dipenuhi peserta yang telah kelelahan namun tetap berdiri dengan tegak.

Panggung kecil di bagian depan telah disiapkan. Para instruktur, termasuk angkatan Jasana, duduk rapi di sisi samping. Di barisan belakang berdiri para kapten divisi: Kalandra Wisanggeni, Mahadewa Rakunti, Kirana Wismandanta, Pradipa Karna, dan Doyantra Puspaloka—semua dalam diam, namun penuh wibawa.

Di tengah keheningan, muncullah Pemimpin Guild Bayu Geni, Pangeran Mahkota Maheswara, berpakaian biru keemasan dengan lambang naga tirta menyala di dadanya.

Langkahnya pelan, tatapannya tajam namun bijak.

“Anak-anak muda… kalian telah melalui tujuh hari yang melelahkan. Tapi yang terpenting bukanlah tubuh kalian diuji… melainkan hati, jiwa, dan keberanian kalian untuk tidak mundur,” katanya dengan suara lantang.

“Dari 128 yang mendaftar, kami telah memilih 20 nama terbaik… mereka yang layak untuk langsung menjadi anggota resmi Guild Bayu Geni!”

Beberapa peserta menahan napas. Beberapa lainnya menunduk, sudah merasakan hasilnya.

Pangeran Maheswara melanjutkan, sambil membuka gulungan pengumuman.

Lima Terbaik Seleksi Anggota Baru:

1. Wira Raksadana – Masuk ke Divisi Panggrahita Aji

2. Nenden Ayu Jalaksana – Masuk ke Divisi Raka Lelana

3. Zadran – Masuk ke Divisi Raka Lelana

4. Sekar Yudhawati – Seorang gadis kalem bermata tajam, dengan kemampuan magis alami, masuk ke Divisi Rasa Prawira

5. Dwi Sanggara – Pemuda pendiam dengan keahlian ilusi dan pengintaian, masuk ke Divisi Bayang-bayang Geni

Pangeran kemudian menyebut 15 nama lainnya secara berurutan. Mereka semua dibagi secara seimbang ke dalam lima divisi sesuai penilaian instruktur dan pengamatan para kapten.

Sorak dan tepuk tangan menggema. Para peserta yang berhasil tak bisa menyembunyikan senyumnya. Wira menatap Bagas dari jauh, lalu memberi hormat. Nenden tersenyum cerah ke arah Nandika yang membalas dengan anggukan bangga. Zadran berdiri diam di tengah kerumunan, menatap Jasana dari kejauhan dengan senyum samar. Jasana membalasnya dengan anggukan tenang, seolah berkata, “Tugas kita baru dimulai.”

Sementara itu, peserta yang tidak terpilih mulai berjalan pelan keluar dari aula.

Sebagian dengan kepala tertunduk, sebagian lagi menatap langit. Namun sebelum mereka melangkah lebih jauh, Pangeran Maheswara kembali angkat bicara:

“Jangan biarkan kegagalan hari ini memadamkan nyala kalian. Tahun depan masih terbuka. Pulanglah dengan kehormatan, karena kalian telah berani mencoba... dan itu tak semua orang sanggup.”

Ucapan itu membuat beberapa dari mereka tersenyum kecil. Beberapa lainnya menitikkan air mata, namun berjalan dengan langkah lebih ringan.

Ujian Seleksi Calon Anggota Baru Guild Bayu Geni… Resmi Selesai. Dan petualangan baru pun akan segera dimulai.

Pagi Hari di Markas Guild Bayu Geni – Upacara Pengangkatan Anggota Baru

Mentari pagi menyinari halaman utama Markas Guild Bayu Geni, cahayanya menembus lembut melalui celah dinding batu dan pilar-pilar kokoh yang berdiri gagah di sepanjang pelataran. Angin sejuk dari dataran tinggi membawa aroma bunga dan embun pagi, mengiringi momen sakral yang telah dinanti—Upacara Pengangkatan Resmi Anggota Baru Guild Bayu Geni.

Di tengah pelataran utama, seluruh anggota Guild Bayu Geni sejumlah 106 orang telah berbaris rapi dalam formasi tegap. Barisan dibagi menjadi lima kelompok besar sesuai divisi, masing-masing menampilkan identitas warna dan lambang dengan kebanggaan:

Divisi Panggrahita Aji: Mantel merah bata polos, simbol tombak dan api di dada kiri. Terlihat Bagas, Brahma, dan Surya berdiri tegas dalam barisan terdepan.

Divisi Raka Lelana: Mantel hijau pekat dengan simbol naga mengepak di dada kiri. Jasana, Nandika, dan Kirta tampak tenang namun penuh semangat.

Divisi Bayang-bayang Geni: Mantel kelabu gelap dengan semburat ungu, simbol mata elang bayangan di dada kiri. Dalam barisan tersembunyi namun sigap, terlihat Darsa, Larasmi, dan Pratiwi.

Divisi Rasa Prawira: Mantel ungu tua berpadu hitam, simbol cahaya samar di dada kiri. Wigra berdiri di tengah rekan-rekannya, wajahnya tenang seperti malam.

Divisi Mandala Dhana: Mantel kuning gading dengan garis emas dan simbol gading di dada kiri. Rakha berdiri dengan senyum kecil dan tangan bersedekap.

Di hadapan barisan utama, dua puluh anggota baru yang lolos dari 128 peserta ujian berdiri dalam barisan istimewa. Mereka kini mengenakan mantel resmi sesuai divisi yang diumumkan kemarin sore. Lima peserta terbaik berdiri di barisan paling depan, sorot mata mereka menyala dengan semangat dan harapan.

Di barisan Panggrahita Aji, terlihat Wira Raksadana, sosok dengan postur gagah, ranking satu, berdiri paling depan memimpin rekan divisinya.

Di Raka Lelana, Nenden Ayu Jalaksana dan Zadran tampak berdiri berdampingan, saling tukar pandang penuh rasa hormat.

Di Rasa Prawira, Sekar Yudhawati dari rangking 4 tampak anggun dan khidmat, menyimpan kekuatan tersembunyi di balik tatapannya yang tajam.

Di Bayang-bayang Geni, Dwi Sanggara—peringkat 5—berdiri tegak, tatapannya awas, penuh naluri pemburu bayangan.

Di Mandala Dhana, empat anggota baru juga tampak bangga dan siap menapaki jalan baru.

Di mimbar utama yang menjulang, Pangeran Mahkota Maheswara berdiri gagah kali ini dengan jubah kebesarannya berwarna hitam emas, menyiratkan karisma dan kewibawaan seorang pemimpin sejati. Di sisi kanan dan kirinya berdiri para Kapten Divisi:

Pradipa Karna (Raka Lelana)

Kirana Wismadanta (Panggrahita Aji)

Mahadewa Rakunti (Rasa Prawira)

Kalandra Wisanggeni (Bayang-bayang Geni)

Doyantra Puspaloka (Mandala Dhana)

Kelima kapten itu berdiri tenang, menyaksikan dengan sorot mata tajam dan penuh penilaian. Meskipun diam, kehadiran mereka menghadirkan aura kuat yang membuat seluruh halaman terasa bergemuruh.

Pangeran Maheswara membuka sambutannya dengan suara lantang namun bersahaja:

“Hari ini, tanah ini, langit ini, dan para leluhur menyaksikan lahirnya dua puluh bara muda yang akan kami tempa menjadi nyala abadi. Kalian bukan lagi peserta. Kalian adalah bayu geni—jiwa-jiwa api. Mulai hari ini, kalian memanggul nama kami, dan kami memanggul nama kalian dalam pertempuran, dalam pengorbanan, dalam harapan.”

Suasana hening. Hanya napas para anggota baru yang terdengar, sebagian menahan haru, sebagian menggenggam erat mantel baru mereka.

“Kami tidak menjanjikan kejayaan. Tapi kami membuka gerbang untuk kalian menemukannya sendiri. Jadilah terang dalam kegelapan. Jadilah rahasia dalam terang. Jadilah... api dalam bayu—abadi, membara, dan tidak padam.”

Lalu dengan langkah mantap, sang pangeran mengangkat tangan kanan, diikuti oleh kelima kapten dan seluruh instruktur.

“Demi nama Guild Bayu Geni, aku—Maheswara, Pemimpin dan Pelindung Api—dengan ini meresmikan kalian sebagai Anggota Resmi Guild Bayu Geni!”

Seluruh halaman menggema. Para anggota baru menghormat serempak. Dan saat itu pula, Pangeran Maheswara meneriakkan salam suci guild:

“Satu Jiwa!”

Serentak dari seluruh penjuru halaman, terdengar teriakan lantang membalas:

“Satu Jiwa!”

Suara itu menggema ke langit, menggetarkan udara, menyatukan jiwa-jiwa dari berbagai divisi dalam satu semangat. Ada yang meneteskan air mata. Ada yang tersenyum lebar. Tapi semuanya merasa—mereka kini adalah satu keluarga.

Tak lama kemudian, para anggota baru diarahkan menuju kapten divisi masing-masing. Mereka lalu berjalan menuju ruangan divisi mereka—menuju tempat yang akan menjadi rumah, tempat tumbuh dan terbakar.

Hari ini mereka akan memulai: pengenalan ruangan, perkenalan sesama anggota, dan langkah pertama mereka sebagai Bayu Geni sejati.

BEBERAPA HARI KEMUDIAN – RUANG KHUSUS DIVISI RAKA LELANA

Langit pagi mendung menggantung rendah di atas benteng Guild Bayu Geni. Di dalam ruang megah Divisi Raka Lelana, dengan dinding berhias relief naga mengepak dan peta dunia kuno yang berpendar lembut karena sentuhan sinar obor, seluruh anggota Divisi—sebanyak 23 orang—berdiri dalam formasi setengah lingkaran menghadap meja pusat komando. Di balik meja tersebut berdiri Pradipa Karna, dengan sorot mata tenang namun tajam. Mantelnya berkibar pelan diterpa angin dari jendela tinggi, dan pedang bermata dua Dwijanaga tersampir di punggungnya, menjadi pengingat akan reputasinya yang tak tergoyahkan.

“Waktunya kita bergerak,” ucap Pradipa Karna, suara beratnya bergema di seluruh ruangan, “Misi khusus Divisi Raka Lelana telah datang, dan tidak semua bisa dilakukan sekaligus. Maka akan kubagi kalian ke dalam lima kelompok, dan hari ini… Tim Pertama akan berangkat lebih dulu.”

Semua mata langsung tertuju ke depan saat Pradipa menunjuk empat nama:

“Jasana Mandira, kau pimpin Tim 1. Anggota tim: Nandika Sutasmi, Nenden Ayu Jalaksana, dan Zadran.”

Jasana mengangguk dengan tenang, sementara Nandika menepuk pundaknya sambil tersenyum. Nenden mengangguk sopan, dan Zadran berdiri tegak dengan ekspresi penuh kesiapan.

“Tugas kalian: penyelamatan dan pengamanan artefak langka yang beberapa waktu terakhir dilaporkan hilang dari wilayah utara. Diduga kuat pencurian dilakukan oleh kelompok pemberontak Bayawira, lebih tepatnya faksi Bayawira Utara yang kembali aktif diam-diam.”

Ia menarik gulungan peta dari samping dan membentangkannya di meja batu. Jarinya menunjuk ke sebuah titik di wilayah pegunungan:

“Kalian akan berangkat menuju Desa Candraloka, sebuah desa terpencil di utara Mandalagiri. Di sana terdapat Candi Gunung Silu, tempat sakral yang menyimpan artefak suci 'Watu Buwana'—batu kuno dengan lapisan logam merah muda langka.”

Tatapan para anggota lainnya makin serius. Pradipa melanjutkan:

“Infiltrasi kalian harus tenang. Hindari keributan. Temukan apakah artefaknya masih ada, atau siapa yang mencurinya. Lindungi warga. Jika benar Bayawira, kita harus tahu tujuan mereka. Bukan hanya artefaknya yang penting… tapi pesan yang mereka tinggalkan.”

Setelah penjelasan, Jasana berdiri di depan. Di pinggang kirinya tergantung pedang merah 'Lungguh Darma', dan di samping kanan keris pusaka berpola naga melingkar 'Parangjati'. Wajahnya tenang, tapi penuh tekad.

Nandika mengenakan pelindung kulit ringan di atas mantel hijau pekatnya. Di punggungnya tersarung tombak utama 'Sakalingga', dengan beberapa tombak lempar berukir motif burung selatan tergantung rapi di sabuk silang.

Zadran berdiri dengan pedang khas Mandalagiri tersarung di sisi kanan, membuktikan bahwa ia kidal. Ia tampak sederhana, namun gerak tubuhnya seperti seekor serigala yang selalu waspada.

Sementara itu, Nenden Ayu Jalaksana membawa tombak bersisi perak di tangan, dan tiga tombak cadangan tersilang di punggungnya. Matanya tajam namun penuh ketenangan, aura seorang penjaga hutan yang tak banyak bicara tapi cepat bereaksi.

Di antara mereka, Kirta Wangsaputra menghampiri, mengenakan mantel Divisi Raka Lelana, namun masih berada dalam tim kedua.

“Jasana, hati-hati di sana,” ucap Kirta sambil menepuk bahu temannya. “Gunung Silu penuh legenda. Jangan hanya percaya pada apa yang terlihat.”

Jasana membalas, “Kalau kami tak ada kabar tiga hari ke depan, pimpin mereka dan lanjutkan tugas yang tersisa.”

Nandika menambahkan ringan, “Tapi jangan berharap kami tersesat. Aku sudah lama ingin lihat matahari terbit dari puncak Candi Silu.”

Mereka bertukar senyum dan tepukan persaudaraan.

KANDANG KUDA GUILD BAYU GENI

Keempat anggota Tim 1 melangkah mantap menuju kandang kuda Guild, tempat beberapa ekor kuda pilihan telah disiapkan. Seekor kuda hitam milik Jasana meringkik pelan saat ia mendekat. Kuda Nandika berbulu cokelat gelap dengan surai hitam, tampak kuat dan cepat. Zadran menaiki kuda abu-abu kekar, sementara Nenden menaiki kuda jantan berbulu putih kekuningan dengan mata keabu-abuan.

Mereka menaiki pelana, menggenggam kendali, dan dengan aba-aba pelan dari Jasana, keempatnya melaju perlahan melewati gerbang timur Guild.

Langit mulai cerah. Udara pagi terasa sejuk, tapi tensi dalam dada mereka sudah mulai menghangat.

Misi pertama mereka sebagai Tim Khusus Divisi Raka Lelana… telah dimulai.

JALUR UTARA MANDALAGIRI – SIANG HARI, DI TEPI HUTAN KECIL

Langit siang terhampar dengan awan tipis bergulir perlahan. Jalan tanah yang mereka lewati kini menyempit, diapit semak dan pohon pinus rendah yang merunduk ke arah sinar matahari. Setelah menempuh perjalanan dari pagi, keempat anggota Tim 1—Jasana, Nandika, Nenden, dan Zadran—akhirnya menarik tali kekang kuda mereka, berhenti di tepi hutan kecil yang tenang.

“Di sini saja, kita istirahat sebentar,” ujar Jasana, menepuk leher kudanya yang berkeringat.

Mereka menuruni pelana dan mengikat kuda di pohon-pohon terdekat. Nenden dengan sigap memeriksa lingkungan sekitar, sementara Nandika membuka ranselnya dan mengeluarkan bekal perjalanan yang disiapkan oleh tim logistik Guild tadi pagi—nasi ketan bungkus daun jati, potongan daging kering berbumbu, serta kacang panggang dan air buah.

Keempatnya duduk melingkar di atas rerumputan yang lembap, dan makan dalam keheningan sejenak, hanya terdengar suara serangga dan desir angin hutan.

Tak lama kemudian, Jasana mulai membuka obrolan sambil menyuap nasi ketan.

“Kalau cuaca begini terus, kita bisa sampai di desa terdekat sebelum malam. Namanya… Dusun Lembayung. Warga setempat dikenal ramah, ada penginapan tua di pinggiran sawah. Kita bermalam di sana saja.”

Nandika mengangguk, “Aku dengar dari Kirta, desa itu pernah jadi jalur pelintasan para penjaga kerajaan zaman dulu. Mungkin ada peninggalan menarik juga.”

Nenden menambahkan lembut, “Tapi kita tetap harus waspada. Kalau Bayawira memang aktif di utara, bisa jadi mereka sudah lebih dulu tahu soal artefak itu.”

Semua mengangguk setuju. Namun dari keempatnya, Zadran terlihat paling pendiam. Ia duduk sedikit menjauh, memegang roti kering di tangan tanpa benar-benar menggigitnya. Tatapannya sesekali mengarah ke Jasana, namun cepat dialihkan.

Jasana memperhatikan itu dari ekor mata. Ia menghela napas pelan, lalu tersenyum samar sambil menyuap makanan terakhirnya.

“Zadran, kau kelihatan tegang sekali. Jangan bilang ini pertama kalinya kau bertugas di luar tembok?” goda Jasana, setengah serius.

Zadran menoleh perlahan, mencoba tersenyum. “Bukan begitu, Kak—eh, maksudku… Jasana. Hanya terbiasa menjaga posisi. Hutan seperti ini mengingatkanku pada… tempat lama.”

Nenden mengangkat alis, “Kau pernah tinggal di daerah pesisir, ya? Aku dengar aksenmu agak... Barat.”

Zadran cepat-cepat mengunyah dan mengangguk singkat, “Ya. Di sebuah pulau kecil… Ayahku bekerja di tempat perniagaan.”

Nandika hanya tersenyum. Ia merasa pembicaraan itu sudah cukup akrab, tapi belum menjangkau apa pun yang mencurigakan.

Sementara itu, di dalam hati, Jasana hanya menggeleng pelan, membatin dalam diam:

"Morzhan benar-benar tak bisa diam... Menaruh Zadran di Bayu Geni? Dan sekarang satu tim denganku? Sudah pasti Catherine yang mengatur semua ini."

Ingatan akan surat Catherine beberapa malam lalu terlintas kembali. Surat yang ditulis rapi dengan tinta biru khas wanita itu, menyampaikan doa, kabar pulau tempat tinggal mereka, dan—tersirat—pengharapan agar Zadran bisa menjadi tangan kanan dalam sunyi.

Jasana membalasnya singkat, namun penuh hormat. Ia tahu Catherine tidak akan memaksa… tapi langkah-langkahnya sering lebih cepat dari waktu.

"Setidaknya aku tidak sendirian sepenuhnya," batinnya.

Ia memandangi Zadran yang masih berusaha tetap tenang, meski jelas-jelas menahan sesuatu di balik tatapannya. Mungkin kebanggaan, atau rasa tanggung jawab. Tapi Jasana memilih membiarkannya begitu.

"Biarlah ia belajar di jalannya sendiri."

Setelah makan, Nenden mulai memeriksa tombaknya, Nandika menyiapkan peta jalur selanjutnya. Jasana berdiri, menyeka tangan dan menepuk bahu Zadran ringan.

“Kita jalan lagi. Sore ini, sampai di Dusun Lembayung. Malamnya, kita gali info warga soal candi. Siapa tahu… Bayawira meninggalkan jejak.”

Zadran berdiri dan mengangguk cepat. “Siap.”

Mereka kembali menaiki kuda. Hutan kecil itu perlahan mereka tinggalkan. Matahari condong ke barat, menandakan waktu mulai menua.

Tim 1 dari Divisi Raka Lelana kini telah memasuki wilayah utara Mandalagiri. Dalam diam dan tawa ringan, mereka membawa beban sejarah, bayang-bayang rahasia, dan tujuan yang tak bisa gagal.

SEMENTARA ITU, SIANG HARI — DESA CANDRALOKA, WILAYAH MANDALAGIRI UTARA

Langit di atas Desa Candraloka membakar dengan cahaya matahari yang terik, namun suasana di bawahnya dingin oleh kabar buruk yang menggetarkan setiap hati warga. Debu jalanan belum sempat reda, para penduduk bergerombol di sekitar Balai Desa, wajah-wajah penuh cemas dan bisik-bisik yang makin riuh setiap menitnya.

Di depan balai desa, Kepala Desa Candraloka, seorang pria tua berjanggut perak bernama Prawira Darmaja, berdiri tegar di hadapan kerumunan. Di sampingnya berdiri dua penjaga candi yang masih tampak lelah dan perban membalut lengan mereka.

“Dua malam lalu… saat sebagian besar desa telah terlelap, Candi Gunung Silu diserang,” suara Prawira berat, namun tetap tenang, “Sebanyak 12 orang menyerbu penjaga malam, berpakaian hitam, wajah tertutup… hanya mata mereka yang tampak.”

Orang-orang saling pandang. Desas-desus tentang Bayawira telah berhembus lama, namun ini adalah bukti nyata dan mengerikan.

“Mereka membawa pedang panjang seperti Samurai… dan salah satu dari mereka, diduga adalah pemimpinnya, bertubuh ramping dan lincah, kemungkinan besar seorang wanita. Gerakannya cepat dan mematikan.”

Salah seorang penjaga candi yang selamat—bernama Raga—menunduk sembari berbisik, “Kami tak sanggup menghadapi mereka… mereka bukan seperti bandit biasa. Mereka terlatih.”

Warga terdiam. Bukan hanya karena rasa takut, tapi karena nama artefak suci yang dicuri telah menyentuh inti kepercayaan dan sejarah mereka.

“Mereka mencuri… Watu Buwana,” lanjut Prawira dengan nada getir. “Batu purba yang telah menjadi pusat keseimbangan spiritual desa kita selama ratusan tahun. Tempat itu kini kosong…”

Beberapa warga mulai menitikkan air mata, sementara yang lain mengepalkan tangan, antara marah dan tak berdaya.

“Namun…,” Prawira menegakkan bahunya, suaranya menguat, “Aku telah mengirim pesan lewat jalur cepat kepada Guild Bayu Geni, dan tadi pagi, aku menerima kabar balasan. Tim bantuan telah dikirim, mereka akan tiba besok sore.”

Bisik-bisik kembali bergulir, kali ini dengan nada harap-harap cemas.

“Mereka adalah anggota dari Divisi Raka Lelana, para petualang pilihan yang mengemban misi penyelamatan artefak dari seluruh penjuru negeri. Kita harus bersiap menyambut mereka… dan yang terpenting, beri mereka informasi sejelas mungkin. Kita tak boleh kehilangan arah… karena musuh kali ini bukan sembarang pencuri. Mereka adalah… Bayawira.”

Sorotan mata para penduduk mengarah pada langit utara, seakan menanti cahaya harapan dari balik pegunungan tempat para petarung itu akan datang. Desa Candraloka yang dulu sunyi kini berada di tengah badai.

Dan semuanya bermula dari hilangnya Watu Buwana.

SIANG MENJELANG PETANG — MARKAS RAHASIA BAYAWIRA UTARA, BUKIT GUNUNG SILU

Kabut tipis bergelung di sela-sela pepohonan rimbun dan cadas bukit Gunung Silu. Di celah sepi kaki bukit yang tersembunyi dari pandangan manusia biasa, berdirilah markas darurat — berupa tenda-tenda lapis gelap yang disusun rapih melingkar, dilengkapi bendera merah bergambar ular berkepala dua yang melingkar.

Tenda utama — paling besar dan tertutup rapat — di dalamnya menyala cahaya obor kehijauan yang memantulkan bayangan misterius di dinding kain. Di tengah ruangan, duduk bersila seorang wanita bertubuh lentur namun memancarkan aura tajam bagai baja.

Ia adalah Inggrita Maranile, Wakil Kapten Bayawira Utara.

Penampilannya jauh dari kesan seorang wanita bangsawan — tank top hitam model pendekar, penutup mulut tipis ala ninja, dan rambut hitam keunguan panjang yang diikat tinggi di belakang kepala. Sorot matanya tajam memerah seperti bara, bercahaya di kegelapan, seakan menantang siapapun yang berani mendekat.

Di pangkuannya, tampak sebuah batu bundar lapisan logam merah muda langka, dengan guratan simbol kuno di permukaannya — Watu Buwana, artefak suci dari Candi Gunung Silu.

Ia memandangi batu itu dengan tenang, lalu berkata lirih namun tegas:

“Satu kunci telah kita genggam… Watu Buwana — penjaga arah langit dan bumi,”

Ia berdiri perlahan. Pedang katana gagang merah yang bersandar di dinding ia raih dan kaitkan di pinggang kiri. Di balik penutup mulutnya, senyum dingin tergurat samar.

“Kekuatan Purba ke-5… sebentar lagi akan kita buka gerbangnya.”

Dua sosok berpakaian hitam segera masuk ke dalam tenda dan berlutut dengan penuh hormat. Mereka adalah Ranaksa dan Sivani, pemburu artefak senior dalam Bayawira.

Inggrita menatap keduanya. Suaranya lembut tapi mengandung perintah yang tak bisa dibantah:

“Candi berikutnya… Candi Telaga Kencana di lembah barat dan Candi Pitu Langit di arah tenggara. Temukan artefak lainnya. Cepat dan tanpa jejak.”

“Kekuatan Purba tak akan menunggu… dan Bayawira tak akan berhenti.”

Keduanya mengangguk dan segera menghilang ke balik semak dengan langkah senyap.

Inggrita melangkah ke pintu tenda, lalu menatap ke arah utara — ke langit yang perlahan memerah oleh senja. Angin meniup rambutnya, membiarkannya berkibar seperti api ungu di bawah cahaya yang memudar.

Close-up pada sorot matanya yang merah, mengisyaratkan bahwa darah dan rahasia mengalir di balik kecantikannya.

Ia bukan wanita biasa. Wajahnya cantik, berkulit putih langsat, dengan garis wajah halus namun tegas — jelas bukan berasal dari ras murni Mandalagiri. Darah asing mengalir dalam dirinya, dan masa lalunya menyimpan sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar ambisi pemberontakan.

(Suara desir angin dan suara batu menggetar pelan… seakan merespons kekuatan purba yang baru saja terusik.)