Bab 1 - Guild Bayu Geni Aku Kembali

Pulau Nelayan, Distrik Selatan – Kediaman Dra'vetha (Kamar Pribadi Lutfayana)

Angin laut yang lembut menyapu tirai sutra yang menggantung di jendela kamar pribadi Nyai Luthfayana. Dari tempatnya berdiri, ia memandangi birunya lautan yang membentang luas, di mana cahaya mentari pagi memantul lembut di atas permukaan air. Tangan pucatnya yang anggun mengelus pelan perutnya yang mulai membulat—tanda kehidupan baru yang tumbuh di dalam dirinya.

Gaun santainya berwarna ungu kelam dengan lambang Tribe Dra'vetha di dada kiri berkibar ringan tersentuh angin. Rambut peraknya yang keungu-unguan terurai ke bahu, menyatu dengan cahaya pagi yang memantulkan kilau halus pada kulit putihnya. Matanya yang merah darah berkilau, menatap kejauhan dengan ketenangan khas jin bangsawan.

Langkah kaki lembut terdengar mendekat. Tuan Jesse—atau Jasana, sebagaimana nama yang dulu dikenal dunia—mendekatinya dari belakang. Dengan pelan, ia memeluk istrinya dari belakang dan menyandarkan dagunya di pundak wanita itu, tangannya mengelus perut istrinya yang hangat.

"Aku belum pernah sebahagia ini," bisik Jesse lembut, "Kau dan anak kita... seperti terang yang mengalir ke dalam hatiku yang dulu kelam."

Luthfayana menoleh sedikit, bibirnya menyungging senyum lembut yang nyaris tak terlihat. "Dan kau pun, bagai jangkar yang menenangkan badai di jiwaku. Aku merasa... hidup untuk pertama kalinya."

Namun, senyum Jesse memudar sedikit. Pandangannya menembus cakrawala. "Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Kedamaian ini... terlalu sempurna. Dua tahun ini, Mandalagiri terlihat tenang. Terlalu tenang. Dan aku... mulai merasakan bayangan lama bergerak kembali. Bayawira... aku yakin mereka belum lenyap. Mereka hanya menunggu saat."

Luthfayana menggenggam tangan suaminya, erat namun lembut.

"Kalau begitu... maka kembalilah, Jesse," ujarnya tegas namun penuh kasih. "Jangan lari dari cahaya yang pernah membuatmu menjadi siapa dirimu. Dunia mungkin akan butuh pedangmu lagi. Dan aku akan menjaganya dari sini. Kau tidak sendiri. Ada aku.Ada Catherine. Ada Velyra. Ada Morzhan. Kau bahkan telah membentuk keluarga yang siap menopang takdirmu."

Tuan Jesse menatap istrinya dengan mata yang penuh perasaan. "Kau mengizinkan aku... kembali ke jalan pedang?"

"Aku mengizinkanmu untuk menjadi dirimu yang sesungguhnya. Seorang pelindung. Seorang pemimpin. Seorang ayah yang kelak bisa berkata bahwa ia memperjuangkan dunia yang layak untuk anaknya tumbuh."

Jesse terdiam sejenak. Matanya menutup perlahan, menahan emosi yang muncul di balik ketegasan wajahnya. "Tapi aku harus bicara juga dengan Cathrine. Aku tak bisa melangkah sebelum semua yang kucinta mengizinkan langkahku."

Luthfayana mengangguk pelan. "Kau tahu dia akan mengerti."

Dengan penuh kasih, Jesse mencium kening istrinya, lalu bibirnya menyentuh kening wanita itu dengan lembut, sebelum melangkah pergi perlahan menuju pintu kamar. Jubah santainya berkibar ringan ketika ia keluar meninggalkan ruangan.

Luthfayana menatap ke luar jendela sekali lagi. Angin laut tetap berhembus, damai. Tapi dalam hatinya, ia tahu: badai sedang mendekat. Dan sang cahaya telah memilih untuk bangkit kembali dari kegelapan.

Pulau Nelayan, Distrik Selatan, Kediaman Dra’vetha (Kamar Pribadi Cathrine)

Udara pagi menyelinap lembut dari jendela besar yang terbuka setengah. Tirai putih mengembang pelan, membiarkan cahaya matahari menari-nari di dinding batu yang dipoles hangat. Di dalam kamar yang dihiasi ukiran lembut khas bangsawan Tribe Dra’vetha, Nyonya Cathrine van der Lindt tengah duduk di kursi kayu melengkung, menggendong bayi kecilnya yang tertidur pulas.

Rambut putih keperakan Cathrine terurai rapi di punggungnya, berpadu indah dengan mata ungunya yang menatap tenang ke wajah bayi mungil dalam pelukannya—Raviendra, putra pertamanya bersama Jesse. Di sisi meja, Velyra, pelayan kepercayaannya, berdiri anggun membawa semangkuk buah dan air hangat, menunduk hormat saat pintu kamar terbuka perlahan.

Langkah Tuan Jesse Dra'vetha memasuki ruangan itu, langkahnya tenang namun penuh makna. Tatapannya langsung menuju Cathrine, lalu pada Raviendra—sejenak senyum hangat muncul di wajahnya.

“Pagi yang damai,” ucap Jesse, mendekat dengan lembut, membelai kepala anaknya pelan. “Dia makin mirip kamu… tapi mata itu, seperti menatap diriku sendiri.”

Cathrine tersenyum tipis. “Mata itu milik kita berdua,” balasnya pelan. Ia menoleh, menatap Jesse dengan sorot mata yang sudah lama mengenalnya lebih dari siapa pun. “Kau datang membawa sesuatu, bukan sekadar rindu.”

Jesse menarik napas dalam. Ia duduk di hadapan Cathrine, suaranya berat namun jujur. “Aku ingin kembali… ke dunia pedang dan petualangan. Aku ingin berdiri lagi, demi Mandalagiri… dan demi kalian.”

Velyra menunduk hormat dan berjalan keluar kamar, meninggalkan keduanya dalam keheningan pribadi.

Cathrine menatapnya lama, lalu bangkit perlahan, menyerahkan Raviendra ke tempat tidur bayi di samping tempat duduk mereka. Ia berdiri tegak di hadapan Jesse—tak lagi seorang istri manis, tapi seperti bayangan masa lalu yang kembali.

“Bayawira bergerak lagi, bukan?” tanyanya tenang.

Jesse mengangguk. “Aku merasakannya. Seperti kabut yang dulu membungkus ibu kota. Namun lebih tajam… lebih licik.”

Cathrine mendekat, wajahnya mendung. “Aku pun merasakannya. Mereka… tak pernah mati. Hanya tidur. Aku tahu, karena dulu aku adalah bagian dari mereka.” Nada suaranya berubah dingin, tapi tidak penuh penyesalan. “Dulu, mereka memanggilku Ular Ungu Berbisa. Dan racunku belum sepenuhnya hilang.”

Jesse menatapnya dengan penuh pengertian.

Cathrine lalu menyentuh dadanya, tempat lambang Tribe Dra’vetha tersemat. “Jika kau memilih kembali ke cahaya… maka aku izinkan. Bukan hanya sebagai istrimu, tapi sebagai mantan bayangan yang tahu betapa kelamnya yang akan kau hadapi.”

Ia tersenyum lembut. “Pergilah, Suamiku. Jadilah pedang yang menusuk jantung kegelapan itu. Demi Raviendra… dan calon anakmu yang satunya lagi.”

Jesse menunduk, lalu menggenggam tangan Cathrine dengan lembut. “Terima kasih… atas kepercayaanmu. Aku tak akan membiarkan bayangan masa lalumu mengejar masa depan kita.”

Cathrine mendekat, mencium pipi Jesse singkat. “Bawa nama Dra’vetha… dan nama kita… dengan penuh cahaya.”

Jesse membalas dengan ciuman lembut di kening istrinya, lalu menatap anaknya yang masih tertidur. “Aku akan kembali. Untukmu, untuk Lutfayana… dan untuk mereka yang percaya padaku.”

Ia pun melangkah keluar dari kamar itu, melewati koridor panjang kediaman Dra’vetha, menuju fajar baru… menuju medan yang telah lama ia tinggalkan—dengan khodam yang kembali menyala, dan tekad yang tak lagi tersembunyi.

“Keputusan Tuan Jesse Sebelum Tahun Baru”

Kediaman Dra'vetha – Pulau Nelayan, Distrik Selatan, Kota Pelabuhan Adiyaksa – Kerajaan Mandalagiri

[Ruang Pribadi Tuan Jesse – Kediaman Dra'vetha]

Langit di luar telah berubah jingga keemasan, menyapu jendela kamar pribadi Jesse Dra’Vetha dengan cahaya temaram.

Di dalam ruangan yang hangat dan mewah, dinding batu halus memantulkan cahaya lentera kristal ungu yang tergantung di langit-langit. Wangi dupa khas Dra’Vetha perlahan memenuhi udara. Di salah satu sisi ruangan, seorang wanita cantik berambut putih keperakan duduk di kursi empuk, menggendong bayi mungil bermata ungu yang tertidur dengan damai di dadanya.

“Dia baru saja tertidur,” ujar Cathrine van der Lindt lembut, menoleh ke arah suaminya. Matanya yang berkilau ungu menatap Jesse dengan tatapan yang telah mengenalnya dalam diam dan luka. Di sisinya, Velyra, pelayan pribadi yang juga separuh roh pelindung, berdiri menjaga, senyap seperti bayangan.

Jesse berdiri di dekat jendela, menatap pantulan laut yang tenang. Jubah santainya yang berbordir lambang bulan sabit Dra’Vetha sedikit bergoyang tertiup angin dari celah jendela. Wajahnya teduh namun penuh gelisah.

“Aku akan kembali ke guild,” ujar Jesse, akhirnya bersuara, suaranya berat. “Ke Guild Bayu Geni... setelah tahun baru.”

Cathrine menunduk sejenak, lalu tersenyum, senyuman tenang yang hanya dimiliki seorang wanita yang sudah berdamai dengan masa lalunya.

“Aku sudah tahu sejak kau kembali dari Kalathraya... bahwa langkahmu takkan selamanya tinggal di sini, Suamiku,” ujarnya sambil mengelus kepala bayi mereka, Raviendra. “Kau bukan lelaki yang bisa duduk diam. Apalagi... bila Bayawira masih hidup dalam bayangan dunia.”

Jesse memalingkan wajahnya, menatap istrinya penuh perasaan.

“Rinjana...” gumamnya lirih, menyebut nama lama Cathrine. “Kau sudah jauh berubah... tapi aku tahu, bayangan dalam dirimu tentang Bayawira, Masih tetap mengganggumu.”

Cathrine tersenyum tipis, lalu mengangkat tongkat sihirnya yang disandarkan di samping kursi. Kristal ungunya memancarkan cahaya kecil saat disentuh.

“Bayawira mungkin sedikit telah hancur... tapi dosaku belum. Aku ingin Raviendra tumbuh di dunia yang aman. Jika kau memutuskan kembali ke jalur pedang... maka lakukanlah, Jesse. Tapi bawa tujuan yang jelas. Hancurkan sisa Bayawira yang mencemari masa lalu kita.”

Jesse mendekat, mencium kening Raviendra, lalu mengecup tangan Cathrine. “Terima kasih... karena selalu percaya padaku.”

[Beberapa Saat Kemudian – Ruang Bawah Tanah, Lorong Rahasia Kediaman Dra'vetha]

Di ruang rahasia yang diterangi cahaya api biru dari kristal batu dinding, Jesse berbicara empat mata dengan Morzhan, pelayan kepercayaan dan penjaga dimensi pribadi keluarga Dra’Vetha.

Morzhan, lelaki jin tinggi besar dengan mata tajam dan rambut rapi, mendengarkan dengan tenang saat Jesse menceritakan semua kegelisahan—tentang dua istrinya, tentang kehidupan baru, dan keinginannya kembali menjadi "Jasana Mandira" di mata dunia.

“Aku ingin kembali... tapi tak ingin dunia tahu siapa aku sekarang. Mereka tak siap tahu tentang Dra’Vetha, Rinjana..., Lutfayana... atau Raviendra.”

Morzhan menunduk dalam-dalam. “Tuan... aku telah siapkan semuanya.”

Ia mengeluarkan gulungan kecil dari dalam jubahnya, membukanya di atas meja batu. Di dalamnya ada skema simbolik, seperti cetak biru penghapusan jejak dimensi.

“Kita akan ciptakan skenario: Jasana Mandira, anak pandai besi dari Kalabumi, yang hilang bertahun-tahun karena tersesat ke alam jin... akhirnya kembali ke dunia lewat celah waktu. Dunia akan percaya itu.

Kami akan pastikan tidak ada satu pun bukti tentang kehidupan anda sebagai bangsawan Dra’Vetha.”

Jesse menatap Morzhan dengan penuh penghargaan.

“Dan bagaimana dengan Lutfayana?”

“Nyai Lutfayana sekarang untuk sementara mungkin akan tinggal di alam Kalathraya. Kandungannya sudah dijaga oleh empat penjaga darah. Tak akan ada manusia yang tahu dia istri anda, apalagi keturunan Kalathraya.”

Jesse menarik napas panjang. Seberkas damai muncul di wajahnya.

“Kau telah menyelamatkan hidupku, Morzhan.”

“Sudah tugasku, Tuan.”

[Malam Tahun Baru – Kediaman Dra'vetha]

Langit malam dihiasi lentera dan api merah yang mekar di langit. Di halaman belakang yang luas, keluarga Dra’Vetha kecil berkumpul—Cathrine duduk memangku Raviendra yang tertawa-tawa melihat kembang api. Velyra mengawasi di sisi mereka, sementara Jesse berdiri dengan jubah panjang hitam beraksen merah, bersisian dengan Morzhan.

“Setelah malam ini... dunia akan kembali melihatku sebagai Jasana,” ujarnya.

Morzhan menoleh. “Dan mereka takkan pernah tahu... bahwa di balik nama itu, tersembunyi darah jin dan cinta yang menembus batas dunia.”

Penutup Adegan:

Jesse menatap langit malam, tangan menggenggam gagang Lungguh Darma yang tersembunyi di balik jubahnya.

“Guild Bayu Geni... aku kembali. Tapi kali ini, aku bukan sekadar anak Kalabumi.”

Halaman Utama Guild Bayu Geni, Selepas Acara Tahun Baru

Matahari sore menggantung malu-malu di ufuk barat. Sisa-sisa hiasan tahun baru masih tergantung di sekeliling aula utama Guild Bayu Geni. Suara tawa dan percakapan para anggota bergema riuh di pekarangan, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan kegelisahan dalam dada Jasana.

Ia melangkah perlahan melewati gerbang utama guild, menyandang tas kulit sederhana dan mengenakan jubah kain kasar berwarna coklat tua yang menutupi pakaian dalamnya. Rambut panjangnya kini disisir rapi, tapi tak semewah saat ia masih hidup sebagai bangsawan Dra'Vetha. Tidak ada kilatan logam, tidak ada lambang kehormatan, tak ada aura kebangsawanan. Hanya seorang pemuda sederhana, berwajah bersih dan tenang, yang membawa beban kisah panjang yang tak bisa ia bagi dengan siapa pun.

Ia menatap gedung utama guild. Beberapa bendera divisi berkibar megah di atasnya, termasuk bendera hijau Raka Lelana—tempat ia akan kembali.

“Jasana?!”

Suara itu menghentikan langkahnya.

Bagas berdiri di dekat kolam air mancur kecil, memegang cangkir tembikar berisi wedang jahe. Di sebelahnya, Nandika ternganga, dan Kirta menatap tak percaya dengan alis terangkat tinggi.

“Jasana Mandira?” ulang Kirta, perlahan, seolah takut nama itu hanya gema kenangan.

Jasana tersenyum kecil—senyum hangat yang selalu membuat sahabat-sahabat lamanya tahu bahwa meski tubuhnya berubah, jiwanya tetap sama. Ia mengangguk.

“Maaf sudah membuat kalian menunggu terlalu lama,” katanya dengan suara yang pelan namun mantap. “Aku... tersesat lebih lama dari yang kukira.”

Bagas melangkah cepat, memeluk Jasana tanpa ragu. Pelukannya kuat, hangat, dan penuh emosi.

“Bangsat kau, Jasana. Kau pikir kita nggak mencarimu?” gumamnya pelan. “Kita kira kau mati...”

Nandika menahan air matanya. “Kami kirim doa hampir tiap malam. Bahkan Kapten Pradipa pernah bilang, kalau kau masih hidup, kau pasti akan kembali...”

Kirta menepuk pundaknya pelan. “Tapi kau kembali. Itu yang penting.”

Jasana hanya bisa mengangguk. Hatinya bergemuruh. Jika saja mereka tahu siapa dirinya sekarang... siapa yang menantinya di pulau nelayan itu... siapa yang tumbuh di perut wanita bangsawan jin itu... Tapi semua itu harus dikubur sementara.

“Aku bukan siapa-siapa sekarang,” katanya kemudian. “Bukan pendekar, bukan bangsawan, bukan pahlawan. Aku hanya... anak pandai besi dari Kalabumi yang ingin mengabdi di Guild Bayu Geni.”

Nandika tersenyum dan menjawab, “Kalau begitu, selamat datang kembali, anak Kalabumi.”

Dalam Aula Utama Guild Bayu Geni

Di dalam aula utama, suasana telah berubah sejak terakhir kali Jesse—dulu Jasana—berada di sana.

Kapten Pradipa Karna kini memimpin Divisi Raka Lelana. Suaranya lantang namun tenang saat memberi arahan kepada anggota baru. Tubuhnya makin kurus, tapi matanya tetap tajam.

Di ujung lain ruangan, Pangeran Mahkota Maheswara—sekaligus Pemimpin Guild Bayu Geni—berdiri bersama beberapa petinggi, memperhatikan semua dengan wibawa seorang raja yang sudah siap bertakhta.

Sementara itu, sosok pendekar wanita dengan pakaian putih dan sabuk hitam tengah melatih sekelompok anggota di pelataran samping. Kirana Wismandanta. Nama yang belum dikenal Jasana, tapi dari cara ia bergerak dan berbicara, jelas dialah pengganti Raksadana sebagai Kapten Divisi Panggrahita Aji.

Banyak yang berubah. Tapi Jasana tahu, meski waktu telah mengganti wajah-wajah dan posisi, tujuan Guild ini masih sama—dan kini, ia kembali bukan hanya untuk mengabdi, tapi juga untuk mengawasi dari balik bayang-bayang kehidupan barunya.

Catatan Penutup Scene

Jasana akan segera bertemu dengan Kapten Pradipa untuk permintaan resmi kembali sebagai anggota. Namun di balik kedatangannya, Morzhan telah menyiapkan rute komunikasi rahasia dengan dunia Jin Kalathraya jika sewaktu-waktu diperlukan.

Ruang Khusus Divisi Raka Lelana – Guild Bayu Geni

Ruangan itu masih sama seperti yang Jasana ingat—dinding batu berhiaskan peta dunia tua, lentera emas menggantung dari langit-langit, dan di tengahnya meja kayu jati besar dengan permukaan yang kini dipenuhi dokumen dan coretan misi.

Namun, kursi utama di balik meja itu kini diduduki oleh Kapten Pradipa Karna, bukan lagi Lodra Wahana.

Saat Jasana melangkah masuk, Pradipa menghentikan penanya, mendongak, lalu berdiri perlahan. Ada tatapan haru, tapi juga kehati-hatian dalam matanya.

“...Jasana Mandira,” ucapnya pelan, seolah nama itu adalah doa yang kembali terkabul.

“Kapten Pradipa...” jawab Jasana, menunduk dalam hormat.

Pradipa melangkah maju. Tak ada pelukan, tak ada drama. Hanya tatapan dua prajurit yang saling memahami beban hidup yang tak pernah ringan.

“Aku bersyukur pada semesta... pada leluhur... dan pada para penjaga tak kasat mata, karena kau kembali,” ucap Pradipa, nadanya dalam dan penuh makna. “Bahkan kami semua mengira kau telah lenyap di antara dua alam.”

Jasana tersenyum tipis. “Mungkin aku memang sempat lenyap... Tapi aku kembali, dan siap mengabdi.”

Pradipa menepuk pundaknya. “Banyak yang berubah, dan ada hal yang perlu kau tahu...”

Ia kembali duduk dan menunjuk ke kursi di seberangnya. Jasana duduk, tubuhnya kaku namun tenang. Lalu, suara Pradipa menurunkan suasana ruangan beberapa derajat.

“Dua tahun lalu... Lodra Wahana mengundurkan diri dari guild. Tak lama kemudian, kami temukan kebenarannya—dia membelot. Bergabung dengan kelompok pemberontak Bayawira Selatan.”

Jasana terdiam. Napasnya tertahan.

“Pimpinan mereka,” lanjut Pradipa pelan, “adalah... Resi Wighna Laksa.”

Dentuman emosi meledak dalam dada Jasana. Jari-jarinya mengepal di atas lutut. Suara nafasnya mulai berat. Nama itu—Wighna Laksa—bukan hanya musuh. Ia adalah sumber luka, pengkhianat agung yang membuatnya terlempar ke alam Jin Kalathraya, membuatnya tersesat satu tahun penuh bersama Rinjana, dan membayarnya dengan dua tahun hidup dalam bayang-bayang.

“Aku ingat... wajahnya. Suara mantranya,” desis Jasana. “Dia yang melemparkanku ke jurang itu... ke tempat di mana waktu tak berjalan seperti semestinya.”

Pradipa tak menjawab. Ia tahu luka itu belum sembuh. Tapi ia melanjutkan, suaranya perlahan dan tegas.

“Saat kau menghilang, Guild Bayu Geni sempat terguncang. Adipati Maheswara ditunjuk sebagai Pangeran Mahkota Mandalagiri oleh Majelis Tertinggi. Lalu, Kapten Raksadana mengambil alih posisi sebagai pemimpin guild sementara.”

Jasana menoleh. “Kapten Raksadana?”

Pradipa mengangguk. “Namun satu tahun silam, beliau mengundurkan diri. Tak sepaham dengan Maheswara mengenai arah guild dan relasi kerajaan. Ia pergi begitu saja... tidak tinggal lagi di rumahnya di distrik ksatria Tirabwana. Istri dan anak-anaknya hanya tahu satu hal: beliau hendak menyepi dan bertapa. Hingga kini, tak ada yang tahu di mana dia berada.”

Suasana ruangan makin sunyi. Hanya suara lentera yang berkedip di sudut.

“Lalu Adipati Maheswara?” tanya Jasana.

“Beliau memimpin kembali Guild Bayu Geni... sembari tetap menjalankan tugas sebagai Pangeran Mahkota,” jawab Pradipa.

“Dua beban besar di dua medan berbeda. Tapi ia memikulnya... dengan caranya sendiri.”

Jasana memejamkan mata. Dalam heningnya, bayangan-bayangan lama berkelebat: suara pedang, doa pelindung, wajah Lodra yang dulu ia hormati, dan senyum licik Resi Wighna Laksa yang membekas dalam dendam.

“Aku ingin kembali aktif di divisi ini, Kapten,” ucap Jasana akhirnya. “Dan jika diizinkan... aku ingin berada di garis depan saat kita berhadapan dengan Bayawira terutama Bayawira Selatan.”

Pradipa menatapnya lama. “Itu bukan permintaan ringan.”

“Aku tahu,” sahut Jasana. “Tapi aku tak kembali hanya untuk bernapas. Aku kembali untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai.”

Pradipa akhirnya tersenyum. Tipis. Tegas. “Kalau begitu... selamat kembali, anggota Raka Lelana.”

Ia berdiri, dan Jasana mengikutinya. Keduanya berjabat tangan, dengan kekuatan yang tak hanya berasal dari otot—tapi dari tekad masa lalu yang belum dituntaskan.

Asrama Guild Bayu Geni — Kamar Lama Jasana

Malam telah turun, angin lembut menyelinap lewat jendela kayu yang dibiarkan sedikit terbuka. Di dalam kamar kecil yang dulu mereka tempati bersama, Jasana, Bagas, dan Kirta duduk melingkar di atas tikar pandan yang sudah usang tapi penuh kenangan. Di pojok kamar, lentera kecil menyala, memancarkan cahaya kuning hangat.

Terdengar suara tawa renyah ketika Nandika tiba-tiba muncul dari pintu belakang, menyibak tirai tipis.

“Oi! Kalian kira bisa bernostalgia tanpa aku?” serunya, duduk tanpa malu di antara mereka.

“Ini asrama laki-laki, Nandika,” sindir Kirta sambil tersenyum.

“Dan aku sedang bernostalgia, bukan bermalam. Lagipula, siapa yang bisa melarangku bertemu Jasana setelah 2,5 tahun hilang?” balasnya tajam namun hangat. Tidak ada yang bisa membantah.

Jasana hanya menunduk dan tersenyum. Ada rasa haru yang menggelayut di udara, tapi juga keheningan yang menunggu penjelasan. Semua mata tertuju padanya, dan Jasana tahu waktunya telah tiba untuk menjawab pertanyaan yang belum diucapkan.

Ia menarik napas panjang.

“Aku... tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya lirih. “Satu saat aku ada bersama kalian... dan di saat berikutnya, aku berada di dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.”

Suasana hening. Bagas duduk bersila dengan dagu bertumpu di tangan. Kirta menyandarkan punggung ke dinding. Nandika menatap penuh tanya.

“Aku... terlempar ke alam jin. Kalathraya.”

Mereka semua menahan napas.

“Aku tidak sendiri. Seseorang ikut terlempar bersamaku...” Jasana melirik ke lantai sejenak, sebelum menatap mereka satu per satu. “Namanya... Rinjana Nirnawa.”

Nandika menegang mendengar nama itu, begitu pula Kirta. Bagas mengangkat alisnya, mengingat sosok yang dulu dikenal sebagai mantan Wakil kapten Bayawira Selatan—pemberontak.

“Dia... mencoba menyelamatkanku dari serangan Resi Wighna Laksa. Tapi... sihir itu menghantam kami berdua. Kami terlempar bersama ke Kalathraya,” lanjut Jasana dengan suara yang dibuat pelan dan serak.

“Dan Rinjana...?” tanya Kirta pelan.

Jasana menggeleng, pura-pura menahan perih. “Ia tidak selamat. Tubuhnya tak kuat menghadapi hempasan alam jin. Ia tewas... dan aku memakamkannya di tepi sungai bercahaya, di sebuah lembah sunyi... tempat para jin suci tidak mengganggu manusia.”

Semua terdiam. Bahkan Nandika tak mengeluarkan komentar sarkastik apa pun. Mata Bagas mulai berembun, meski tak tahu kenapa. Mungkin karena melihat sahabatnya membawa duka sebesar itu.

“Aku... hidup dalam pelarian. Dari hutan ke hutan. Dari satu reruntuhan ke desa jin lainnya. Sebagian mengusirku. Sebagian mengejarku... Tapi akhirnya, aku menemukan satu desa jin yang tidak memusuhiku. Mereka menyebut tempat itu Aetheraya, desa para jin bijak.”

“Di sana... aku belajar banyak hal. Tentang keseimbangan jiwa, tentang waktu, tentang keberadaan roh manusia di alam jin,”

katanya dengan nada penuh misteri.

“Waktu... berbeda di sana. Setahun aku di sana... tapi waktu di dunia ini sudah berjalan dua tahun lebih. Saat aku kembali lewat celah batu yang hanya terbuka sekali dalam dua windu, aku sadar... aku sudah terlambat.”

Ia memandang mereka semua dengan mata yang terlihat lelah dan lapuk oleh perjalanan batin yang panjang—sebuah cerita yang sebenarnya setengah palsu, tapi terasa nyata karena dilapisi oleh luka dan kerinduan sejati.

Kirta perlahan berkata, “Kau tetap hidup, Jasana... Itu cukup. Dan... meski banyak yang berubah, kau tetap saudara kami.”

Bagas mengangguk sambil menarik napas panjang. “Kita semua punya luka. Tapi kau... kau seperti membawa luka dunia bersamamu.”

Nandika menatapnya. “Aku senang kau kembali, meski dengan beban sebanyak itu. Jangan pikul sendirian lagi.”

Jasana tersenyum kecil. Ia tahu, meski rahasia tentang Rinjana Nirnawa sebagai istrinya tetap ia sembunyikan, ia tidak sendirian lagi.

Dan malam itu, dalam hangatnya obrolan yang berganti menjadi candaan dan cerita masa lalu, Jasana merasa untuk pertama kalinya sejak kembali... bahwa ia benar-benar pulang.

Prolog — Kembalinya Sang Penjelajah Kalathraya

Dalam catatan sejarah panjang Guild Bayu Geni, hanya segelintir nama yang disebut dengan embusan rasa heran, hormat, dan haru secara bersamaan. Salah satunya adalah nama Jasana Mandira—pemuda yang pernah hilang, lalu kembali dari dunia yang tak seorang pun mampu menyusulnya: Alam Jin Kalathraya.

Kabar tentang kembalinya Jasana pertama kali menggema di ruang Divisi Raka Lelana. Kapten Pradipa Karna, yang menyambut Jasana secara pribadi, menjadi orang pertama di kalangan petualang Bayu Geni yang mendengar langsung kisahnya. Ia mendengarkan tanpa menyela—tentang pertarungan melawan sihir Resi Wighna Laksa, tentang seorang wanita bernama Rinjana Nirnawa yang gugur sebagai martir, dan tentang betapa berbedanya waktu mengalir di alam jin.

Cerita itu menyebar cepat, dibisikkan dari satu meja makan ke meja lainnya, dari lorong asrama hingga ke ruang-ruang rahasia Bayang-bayang Geni. Semua percaya. Karena bagi mereka yang telah menyentuh dunia roh, segala yang mustahil memang mungkin terjadi.

Bahkan Pangeran Mahkota Maheswara, pemimpin tertinggi Guild Bayu Geni, menerima kisah itu bukan sebagai sebuah keanehan—melainkan sebagai sebuah pengorbanan.

Dalam waktu yang tak lama, sidang khusus intelijen kerajaan digelar. Atas nama kebenaran yang disampaikan oleh Jasana, status buronan Rinjana Nirnawa dicabut. Gelar lamanya sebagai Penyihir Ular Ungu Berbisa dari Selatan dihapus dari catatan hitam Mandalagiri. Dan sebagai gantinya, namanya diabadikan secara diam-diam dalam daftar mereka yang gugur dalam perang panjang melawan kelompok pemberontak Bayawira.

Bukan hanya itu—Pangeran Mahkota Maheswara sendiri memberikan penghargaan resmi atas nama kerajaan dan Guild Bayu Geni kepada Jasana. Bukan berupa lencana atau medali, tetapi sebuah pengakuan: bahwa Jasana telah bertarung di garis terluar batas dunia manusia, dan kembali membawa harapan.

Maka pada hari ketiga setelah kepulangannya, di hadapan para kapten divisi dan ratusan anggota guild, nama Jasana Mandira kembali dipanggil secara resmi sebagai bagian dari Divisi Raka Lelana. Ia kembali mengenakan mantel hijau tua dengan aksen emas dan lambang naga mengepak di dada kirinya. Sebuah pertanda bahwa dirinya telah kembali berdiri di bawah panji Guild Bayu Geni.

Hari itu langit di atas benteng Guild Bayu Geni bersih tanpa awan, dan angin yang bertiup membawa aroma daun pinus dari utara. Sebuah pertanda bagi banyak orang, bahwa sesuatu tengah bergerak.

Kini, dengan Bayawira masih mengakar dalam bayang-bayang, dan Resi Wighna Laksa belum tertangkap, tujuan Guild Bayu Geni menjadi lebih jelas dari sebelumnya:

Menghapus sisa-sisa racun pemberontakan, dan mengakhiri ancaman Bayawira hingga ke akar terdalamnya.

Dan di garis depan misi ini, berdiri seorang pemuda yang telah kembali dari ujung kegelapan, membawa luka dan rahasia yang tak bisa diceritakan pada siapa pun.

Namanya Jasana Mandira.Dan dunia belum tahu:bahwa ia belum kembali sepenuhnya sendirian.

"Aku telah melewati batas yang tak bisa dilalui manusia biasa.Dan kini, aku berdiri di antara dua dunia...untuk mengakhiri dendam lama yang belum selesai."Jasana Mandira

Beberapa hari kemudian Setelah Kembali

Waktu berjalan tanpa henti di benteng Guild Bayu Geni. beberapa hari telah berlalu sejak nama Jasana Mandira kembali menghiasi daftar aktif Divisi Raka Lelana. Hari-harinya dipenuhi tatapan tak percaya, sambutan hangat, dan senyum-senyum yang menampakkan rasa hormat. Namun di balik semua itu, ada bisu dalam hatinya yang belum selesai.

Pada hari keempat, Jasana melangkah menyusuri lorong ke arah ruang khusus Divisi Rasa Prawira. Suasana di sana sunyi, mistis, dan menyimpan aura kuno. Di balik tirai dupa dan sinar lilin biru keunguan, berdirilah sosok tinggi berjubah hitam dengan aksen emas—Kapten Mahadewa Rakunti.

Di hadapan meja batu hitam berukir aksara kuno, Mahadewa membuka peti kecil yang telah disegel dengan benang mantra. Di dalamnya, terbaring sebuah keris berukir naga melingkar, bilahnya menghitam kehijauan dengan sorotan putih samar yang kini perlahan berdenyut saat direngkuh oleh tuannya.

“Ia kembali meresponmu,” ujar Mahadewa lirih, “seperti jalinan khodam dan pemilik yang tak pernah terputus, hanya mengendap dalam tidur panjang.”

Jasana menatap bilah keris itu—Ardhana, khodamnya. Dulu, keris itu diberikan sebagai bentuk kepercayaan tertinggi dari Divisi Rasa Prawira saat ia pertama kali dianggap mampu menjalin ikatan spiritual. Namun saat dirinya menghilang ke Kalathraya, Mahadewa sendiri yang menyimpannya, menanti kemungkinan kembalinya sang pemilik.

“Terima kasih, Kapten,” ucap Jasana pelan, “Keris ini… bagian dari jiwaku yang hilang.”

Kapten Mahadewa Rakunti hanya mengangguk. Tak ada ritual, tak ada janji. Hanya kesunyian yang memahami pertemuan kembali antara roh dan jasadnya.

Beberapa jam kemudian, Jasana berdiri di halaman belakang Guild—tempat latihan yang telah banyak menyimpan kenangan luka dan kemenangan. Di sana, berdiri seseorang yang mematung menunggunya. Tubuhnya kekar, pakaian hitam, dan matanya masih menyimpan sinar tajam: Darsa Nagawikrama, sahabat, sekaligus rival terdekatnya.

Tak ada kalimat pembuka. Hanya pelukan keras dari Darsa yang mengejutkan semua yang melihat.

“Maaf, San…” bisiknya. “Kalau saja aku tidak memimpin misi pengejaran itu, kau takkan menghilang. Aku… hampir berpikir kau mati di Kalathraya karena kebodohanku.”

Jasana menepuk bahunya pelan, melepaskan pelukan itu sambil menatapnya tenang.

“Kita semua tahu risikonya sebagai anggota Bayu Geni,” ujarnya lirih. “Yang terpenting, aku masih hidup. Dan sekarang... kita bisa menyelesaikan misi yang belum selesai.”

Darsa hanya diam. Namun dari matanya yang sembab, tersirat betapa dalam rasa bersalah yang selama ini ia pikul. Kini, beban itu telah sedikit terangkat.

Malam harinya, di ruang pertemuan Divisi Raka Lelana, Kapten Pradipa Karna duduk di kursi ukirannya yang dihiasi lambang matahari terbit. Jasana berdiri di hadapannya dengan sikap hormat.

“Aku ingin meminta izin, Kapten. Sudah Beberapa hari aku kembali, tapi aku belum pernah menatap wajah ayah dan ibuku sejak peristiwa itu. Aku ingin kembali ke Kalabumi, meski hanya sebentar.”

Pradipa memandangnya lekat, lalu mengangguk tanpa ragu.

“Kau bukan lagi sekadar anggota, Jasana. Kau adalah simbol dari harapan yang kembali dari kegelapan. Tentu kau berhak pulang. Aku akan tugaskan beberapa orang untuk mengantarmu. Jangan khawatir soal keselamatan.”

Ia menulis izin resmi dan memberikannya dengan tangannya sendiri. Suara Pradipa sedikit lebih pelan saat menambahkan:

“Sampaikan salamku pada orangtuamu. Mereka telah menunggu terlalu lama untuk melihat putra mereka kembali sebagai seorang pejuang.”

Dan malam itu, di bawah langit berbintang yang menabur di atas benteng Bayu Geni, Jasana duduk di bawah pohon tua, menatap cahaya keris Ardhana yang kini bersandar di pangkuannya. Cahaya putihnya berdenyut lembut, seakan ikut bernafas bersama tuannya.

Kalabumi... Aku akan segera kembali. Tapi aku juga tahu, tidak semua kebenaran bisa kubawa pulang.

Kepulangan ke Kalabumi

Kabut pagi masih menggantung tipis di sela-sela ladang bambu dan jalur berbatu saat Jasana Mandira melangkah turun dari kudanya. Di belakangnya, dua orang staff Guild Bayu Geni, mengenakan mantel hijau khas Divisi Raka Lelana, ikut berhenti dan memberi hormat ringan. Di hadapan mereka terbentang desa Kalabumi, kampung halaman yang dulu ia tinggalkan dalam sunyi, dan kini disambut dalam wajah yang berbeda.

Kalabumi tak lagi seperti dulu. Jalan-jalan desa yang dulu lengang kini ramai oleh para kurir, pedagang, dan pengangkut logistik. Di kejauhan, terlihat asap putih mengepul dari bengkel tempa Karmawijaya, ayahnya. Deru palu yang menghantam besi terdengar tanpa henti, menciptakan simfoni kasar namun menggairahkan.

"Bengkel tua itu hidup kembali bahkan Lebih Hidup..." gumam Jasana dalam hati, matanya sedikit berkaca.

Apa yang orang-orang Kalabumi tak tahu adalah bahwa semua pesanan besar yang kini mengalir dari tiga kota utama Kerajaan Mandalagiri—Tirabwana, Tanah Selampa, dan Pelabuhan Adiyaksa—sebenarnya datang dari satu sumber tersembunyi. Dari identitas samar seorang bangsawan Tribe Dra'vetha, Jasana selama ini, bahkan ketika dalam persembunyian di Pulau Nelayan, menyusun strategi agar nama ayahnya tetap hidup lewat jalur kerja sama rahasia.

Saat ia melewati para pekerja yang sibuk memuat peti-peti senjata ke atas gerobak, banyak dari mereka hanya melirik sekilas. Tak ada yang mengenali sosoknya dalam balutan pakaian tempur dan jubah ringan Divisi Raka Lelana.

Namun ketika ia berhenti di depan rumah tua beratap sirap hitam di tepi desa, di situlah waktu seperti membeku.

Pintu kayu itu terbuka perlahan. Sosok kurus berjenggot putih berdiri kaku di ambang pintu—Karmawijaya, sang pandai besi, mematung, matanya membelalak dalam tak percaya. Di belakangnya, Wirasih, perempuan berkerudung lembut, menahan nafas sambil menutupi mulut dengan kedua tangan.

Jasana melepas tudungnya perlahan. Wajahnya menampakkan luka kecil di pelipis, sedikit lebih kurus dari dulu, tapi sinar matanya masih sama.

“Ayah... Ibu...” suaranya lirih, hampir tercekat.

Dan seperti banjir yang pecah dari bendungan, Karmawijaya berlari dan memeluknya keras. Wirasih menyusul dengan isakan tak tertahan, memeluk dari sisi lain, hingga ketiganya rebah bersimpuh di pelataran rumah.

“Kami pikir... kami sudah kehilangan kau, Nak...!” tangis Wirasih pecah. “Bertahun-tahun tanpa kabar... bahkan bintang pun tak bicara tentang kau...”

“Maafkan aku... Aku terperangkap... terlalu lama...” Jasana memeluk mereka erat. “Tapi aku kembali... aku akhirnya pulang.”

Tangis bahagia menyelimuti pagi itu. Para tetangga pun mulai mendekat, mengintip, lalu sadar bahwa yang kembali adalah anak sulung dari keluarga Karmawijaya, yang dahulu dikenal sebagai Anak Aneh yang berlatih pedang sendirian selama 5 Tahun, kini kembali sebagai pejuang dari Guild Bayu Geni.

Selama dua hari ke depan, Jasana tinggal di rumah itu. Ia makan makanan ibunya yang dulu hanya bisa ia bayangkan di tengah padang gurun Kalathraya. Ia membantu di bengkel tempa, membetulkan mata pisau, mengatur kembali alur ventilasi api, dan menata sistem kerja para pembantu baru yang kini banyak berasal dari luar desa.

Di malam hari, ia bercerita. Tentang perjalanannya. Tentang Kehidupan disana, Bersembunyi dari hutan ke hutan dari desa ke desa di Alam Jin. Tentang pengkhianatan Bayawira yang menyebabkan hal itu terjadi padanya, dan tentang kematian Rinjana Nirnawa yang mencoba menyelamatkannya, wanita yang pernah menjadi ancaman dan sahabat di waktu yang sama. Ia tidak menyembunyikan luka batin yang tertinggal. Tapi ia juga tidak menyeret keluarganya ke dalam gelapnya.

Karmawijaya hanya mendengarkan dalam diam, sambil menatap keris putih yang kini menggantung di pinggang Jasana.

“Kau bukan anak kecil lagi, San,” ucapnya suatu malam. “Tapi bagi kami, kau tetap putra yang kami banggakan. Bahkan kalau kau memilih pergi lagi... kami tahu, kau melangkah demi sesuatu yang lebih besar.”

Pada hari kedua, menjelang siang, kuda-kuda Guild telah disiapkan kembali. Dua staff Bayu Geni telah menunggu dengan sabar. Sebelum pergi, Wirasih menyelipkan bekal kecil—bungkusan nasi daun waru dan ikan kering kesukaan Jasana—ke dalam tas perlengkapan.

“Jangan lupakan rumah ini,” katanya, dengan senyum dan air mata yang bersaing di wajahnya.

Dan Jasana mengangguk, lalu menatap langit selatan.

“Aku akan kembali. Tapi sebelum itu, aku punya janji dengan tanah ini. Janji untuk menuntaskan semua keburukan yang masih bersembunyi.”

Ia naik ke atas kuda, mengacungkan tangan pada orang-orang desa yang mulai berkumpul dan melambaikan tangan. Tak ada pesta. Tapi cinta itu nyata. Kalabumi tahu, pahlawan mereka telah pulang... dan kini akan berangkat lagi.

Menuju perang yang belum selesai.

Minggu Kedua Awal Tahun – Seleksi Generasi Ke-14

Pagi itu, angin sejuk mengalir dari arah perbukitan Tirabwana, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru saja terkena embun pertama tahun ini. Di pelataran utama Markas Guild Bayu Geni, kesibukan luar biasa terjadi. Sebanyak 128 calon anggota baru telah memenuhi lobi utama yang megah, berdiri dalam barisan yang rapi namun penuh ketegangan.

Lobi besar itu bergema oleh langkah-langkah berat, desah napas gugup, dan bisik-bisik antar peserta. Sebagian dari mereka datang dengan pakaian sederhana—pendekar kampung, anak-anak desa, dan pelatih tenaga dalam—sementara yang lain mengenakan seragam akademi militer, jubah keluarga bangsawan, atau pelindung dada bertanda lambang klan.

Meski berasal dari latar berbeda, mereka semua kini berdiri di bawah atap yang sama. Guild Bayu Geni, tak lagi sekadar kelompok petualang bebas, tapi sebuah kekuatan setara institusi militer kerajaan, bahkan dianggap poros kekuatan independen yang diakui langsung oleh Mahkamah Tinggi Mandalagiri.

Semua ini tak lepas dari nama besar sang pemimpin: Pangeran Mahkota Maheswara, yang secara resmi menjadi wajah dan pelindung utama Guild Bayu Geni. Reputasi itu, ditambah keberhasilan berbagai ekspedisi lintas wilayah dan penaklukan dungeon terkutuk, telah menaikkan kelas Bayu Geni ke tingkat yang mustahil dibayangkan .

Ruang Rapat Divisi Raka Lelana – Lantai Dua Sayap Barat

Sementara calon anggota berkumpul di bawah, ruang khusus Divisi Raka Lelana dipenuhi oleh 19 anggota aktif, termasuk Jasana, Nandika, dan Kirta. Dinding ruangan dihiasi peta dunia kuno, obor bermantel kuningan menyala tenang, dan meja panjang dari kayu jati menjadi pusat perhatian.

Kapten Pradipa Karna berdiri di depan, mengenakan mantel tempur gelap dengan pedang "Dwijanaga" tersarung di punggung. Sosoknya penuh wibawa, mata tajam menelusuri barisan para petarung muda yang telah ia tempa selama hampir setahun.

“Minggu ini adalah minggu yang menentukan,” katanya membuka pertemuan. “Kita akan menyaring 128 calon menjadi hanya 20 anggota tetap. Selebihnya akan gugur atau dipulangkan dengan kehormatan.”

Ia melirik ke arah Jasana, Nandika, dan Kirta, yang kini telah menjadi instruktur junior tak resmi, dipercaya karena ketajaman naluri dan pengalaman lapangan mereka.

“Seleksi tahun ini tak hanya soal fisik dan teknik,” lanjut Pradipa. “Akan ada tiga lapisan ujian: Daya Juang, Kecerdikan, dan Kelayakan Jiwa. Divisi Raka Lelana bertanggung jawab atas bagian Orientasi Lapangan dan Simulasi Medan Bahaya. Kita akan menguji apakah mereka bisa berpikir, bertahan, dan bergerak sebagai tim.”

“Tahun ini juga... kita mewaspadai mereka yang membawa khodam, atau kekuatan tersembunyi. Khusus mereka, akan ada screening tambahan dari Rasa Prawira,” tambahnya sambil meletakkan dokumen hasil koordinasi antar divisi.

Jasana mencatat beberapa catatan penting. Ia tahu betapa pentingnya minggu ini—karena di balik setiap seleksi, ada benih masa depan Bayu Geni.

“Apakah kita akan menggunakan Labirin Hutan Palsu untuk ujian lapangan?” tanya Kirta dengan tenang.

“Benar,” sahut Nandika cepat, “tapi kali ini dengan tambahan ilusi aura dan jebakan gaib. Aku dan Kirta bisa bantu kalibrasi jebakan dari sisi medan.”

Pradipa mengangguk. “Kalian bertiga akan memimpin grup peninjau dan membuat simulasi konflik kecil antar grup. Uji moral dan kerja sama. Aku ingin tahu siapa yang sekadar kuat dan siapa yang pantas disebut saudara.”

Lobi Utama – Beberapa Saat Kemudian

Suara gong emas berdentang tiga kali dari balkon tengah. Seorang pria berpakaian resmi berdiri, diapit oleh dua penjaga senior. Ia membuka gulungan naskah dan berseru:

“Dengarkan wahai calon anggota! Dalam sepekan ke depan, kalian akan menjalani proses seleksi dari tubuh dan jiwa, dengan restu dan pengawasan langsung dari para Kapten Guild Bayu Geni.”

“Dari 128 calon, hanya 20 yang akan menjadi Anggota Tetap. Sisanya akan dibekali surat rekomendasi dan diberi kesempatan mencoba kembali tahun depan. Ini adalah tradisi. Ini adalah warisan. Ini adalah jalan para Bayu Geni!”

Hening sejenak. Lalu tepuk tangan kecil muncul, diikuti gemuruh semangat dari para peserta. Tak ada yang tahu apa yang menunggu mereka di luar tembok guild—medan uji, ilusi menyesatkan, bahkan mungkin pengkhianatan di tengah seleksi.

Namun satu hal pasti: setiap dari mereka datang dengan mimpi yang menyala. Dan hanya dua puluh api yang akan tetap berkobar.

Hari Pertama Ujian Calon Anggota Baru Guild Bayu Geni, Generasi Ke-14

Pagi itu, langit di atas Guild Bayu Geni tampak cerah, langka untuk awal musim penghujan. Namun cuaca yang bersahabat seolah ikut menyambut semangat membara dari 128 calon anggota yang telah berbaris rapi di lobi utama. Derap kaki para peserta berpadu dengan gemuruh langkah para petugas Guild, menciptakan atmosfer sakral dan penuh harap. Beberapa dari mereka tampak masih belia, wajah-wajah muda yang penuh tekad. Ada yang bersenjata pedang, ada yang membawa tongkat, dan ada pula yang hanya menggenggam kedua tangan mereka erat — pertanda bahwa kekuatan mereka bukan pada senjata, melainkan pada diri.

Terdengar suara gong berbunyi tiga kali dari arah podium utama.

Di hadapan barisan calon anggota, muncul sosok wanita gagah berusia 30 tahun, mengenakan pakaian latihan khas Divisi Panggrahita Aji: jubah abu tua beraksen biru tua dengan lengan digulung sampai siku, dan ikat pinggang kulit bersulam lambang nyala api. Dialah Kapten Kirana Wismadanta, pemimpin Divisi Panggrahita Aji, pendekar tangan kosong dengan pengendalian tenaga dalam dan spiritual yang nyaris sempurna.

Suasana hening.

Kirana melangkah maju ke mimbar. Sorot matanya tajam, namun penuh wibawa. Ia memandang satu per satu wajah di hadapannya, seolah menakar semangat mereka tanpa berkata sepatah kata pun.

“Saudara-saudari muda yang datang dari berbagai penjuru Mandalagiri... Hari ini, kalian berdiri di depan gerbang sejarah,” ucap Kirana, suaranya lantang dan tenang, “bukan hanya sejarah Guild Bayu Geni, tapi sejarah diri kalian sendiri.”

“Di sini, kalian tak lagi membawa nama kampung, nama ayah kalian, bahkan tidak juga pangkat atau gelar dari akademi. Yang akan berbicara... adalah tekad kalian, kesungguhan hati, dan keberanian untuk gagal dan bangkit.”

Ia berhenti sejenak, memandang ke sisi barisan kanan, matanya sempat terdiam pada satu sosok — seorang pemuda berambut hitam pendek, bermata tajam, berperawakan tegap, mengenakan seragam pelatihan militer yang telah dimodifikasi. Ada sorot tenang dan sedikit kebanggaan di mata Kirana, meski ia segera kembali menutupinya.

Itu adalah Wira Raksadana, putra dari sang legenda — Raksadana. Anak dari gurunya sendiri. Meski Kirana tahu siapa dia, ia tetap menjaga netralitas. Ujian adalah ujian, tak ada warisan darah yang akan menolong mereka.

Di balik Kirana, tampak duduk dalam diam empat kapten dari divisi lain:

Kapten Pradipa Karna, mewakili Raka Lelana, berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada, mata awas memperhatikan tiap peserta.

Kapten Mahadewa Rakunti dari Divisi Rasa Prawira, bermata tajam dan penuh misteri, tak berkedip seolah menembus jiwa para peserta.

Kapten Kalandra Wisanggeni, sang Kapten Bayang-bayang Geni, wajahnya tersembunyi sebagian di balik kerudung hitam, namun tatapannya menyapu seperti bayangan.

Kapten Doyantra Puspaloka dari Mandala Dhana, tenang dan bijak, hanya sesekali mencatat sesuatu di lembaran kertas di tangannya.

Mereka hadir bukan hanya sebagai simbol kehormatan, tetapi juga sebagai pengawas sekaligus juri diam dalam ujian tak langsung.

“Mulai Pagi menjelang siang nanti,” lanjut Kirana, “ujian pertama akan dimulai. Ujian itu bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk nurani dan niat kalian. Akan ada rasa lapar. Akan ada rasa sakit. Akan ada rasa putus asa. Tapi jika kalian berhasil melampaui semuanya... maka kalian akan berdiri sebagai bagian dari generasi keempat belas Guild Bayu Geni.”

Ia mengangkat tangan kanannya tinggi.

“Dengan ini, atas nama Guild Bayu Geni dan restu Sang Pemimpin, ujian resmi dimulai!”

Suara tepuk tangan tidak ada. Hanya hening dan desir angin yang menyapu seluruh pelataran. Tapi di dalam dada para peserta, genderang perang sudah ditabuh.

Beberapa saat kemudian, para peserta diarahkan menuju barak sementara di pelataran terbuka, sebuah area luas yang biasanya digunakan untuk duel dan latihan. Kini, tenda-tenda besar telah berdiri. Beberapa tenda khusus telah ditata untuk peserta wanita. Di sisi barat, tenda logistik dan dapur umum disiapkan. Di sisi timur, tribun kecil disiapkan untuk penguji dan para staf.

Para peserta menerima gelang kayu bertuliskan nomor pendaftaran dan simbol naga Guild Bayu Geni — penanda bahwa mereka kini berada dalam arena ujian, bukan lagi rakyat biasa.

Ujian pertama akan diumumkan beberapa saat lagi. Para peserta hanya memiliki waktu singkat untuk menyiapkan diri — membersihkan hati, menata napas, dan mengukuhkan niat.

Hari-hari berat telah dimulai.