Pelataran Sepi Guild Bayu Geni – Tengah Malam
Embun menggantung tipis di udara. Cahaya bulan menembus samar melalui celah awan dan menyapu pelataran guild yang telah tertidur dalam keheningan. Di salah satu sudut bayangan, Jasana Mandira melangkah perlahan, jubah hijau pekat Divisi Raka Lelana berkibar lembut. Di punggungnya tergantung Lungguh Darma dan Parangjati, keduanya dibungkus kain kelabu.
Ia menuntun seekor kuda hitam pekat yang tampak sudah dipersiapkan, lengkap dengan pelana kulit dan kantung perbekalan. Matanya menatap lurus ke arah gerbang timur guild, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara samar di belakang.
“Kau juga tidak bisa diam saja, ya?”
Suara itu tenang. Dalam. Tak terburu.
Kapten Kalandra Wisanggeni melangkah keluar dari bayangan pohon mahoni tua, mengenakan mantel panjang kelabu keunguan. Sebuah katana bergagang hitam menggantung di pinggangnya. Di sampingnya, seekor kuda coklat kelam berdiri patuh.
Jasana mengangguk pelan.
“Aku mendengarnya. Dia kirim sambung nurani. Suaranya… putus-putus.”
“Dia ditahan.”
Kalandra tidak menjawab seketika. Matanya menyipit, menatap langit.
“Sudah kuduga. Sejak sore tadi, aku merasa gelombang pikirannya berubah.”
“Aku dan dia… berasal dari ras yang sama. Getarannya tak bisa disembunyikan, saat pertama bertemu aku menaruh alat pelacak.”
Ia menatap Jasana, kemudian berjalan perlahan mendekat.
“Kau ingin menyelamatkannya. Begitu juga aku. Tapi ini bukan misi resmi.”
“Kita akan jadi pelanggar, bukan penyelamat, di mata mereka.”
Jasana menghela napas pelan.
“Aku tak peduli. Dia Sudah banyak memberikan Informasi Penting kepada kita, dan berkorban seorang diri menyelinap di tengah musuh.”
“Kalau kita tak bergerak, siapa lagi?”
Kalandra mengamati pemuda itu sejenak. Ada kilat tekad di mata Manusia Mandalagiri ini yang tak bisa ia abaikan.
“Tiga hari dua malam ke utara. Hutan Lembayung Dipa. Lewat Jalur tak berpenghuni.”
“Penjara Utara Kandhara Mangkara… tempat bagi musuh mereka yang ingin dilenyapkan diam-diam.”
“Kita akan menyusup. Hanya kita berdua.”
Jasana mengangguk.
“Tak perlu lebih banyak.”
Perjalanan Dimulai – Gerbang Timur Guild Bayu Geni
Tanpa salam, tanpa peluit. Dua bayangan melintas melewati gerbang timur guild yang tak dijaga malam itu—mereka sudah tahu celahnya. Dengan tenang mereka menyusuri jalur setapak di balik hutan kecil, sebelum berbelok menuju dataran tinggi.
Kuda-kuda mereka melaju pelan namun pasti. Langit mulai memucat, menandakan fajar akan tiba. Jasana memegang kendali dengan tenang, namun matanya tetap waspada. Di sisi lain, Kalandra tampak seperti sosok bayangan yang menyatu dengan malam.
Dalam perjalanan itu, hanya suara langkah kuda dan desir angin yang menemani.
Malam Pertama – Di Tepi Hutan Sunyi
Mereka beristirahat di balik rimbun pohon waru, api unggun kecil nyaris tak bercahaya. Jasana duduk bersila, telapak tangannya menempel pada tanah, mengaktifkan teknik sihir alam. Aura hijau mengalir halus dari ujung jemarinya.
“Jalur ini bersih. Tapi aku merasakan kehadiran makhluk pengintai di barat daya. Mungkin penjaga bayangan Kandhara.”
Kalandra mencabut katana pelan, lalu kembali menyarungkannya.
“Kita akan bergerak lewat lereng besok. Bila perlu, lewat jalur sungai bawah tanah.”
Jasana mengangguk. Tangannya perlahan menyentuh Parangjati, dan aura putih memancar sesaat. Suara lembut terdengar di kepalanya—Ardhana, sang Roh Penuntun, membisikkan arah dengan ketenangan surgawi.
Langit malam kembali menaungi dunia, sementara dua sosok asing menunggangi kuda mereka menuju tempat yang tak ingin disebut siapa pun. Satu adalah manusia dengan darah keberanian, satu lagi adalah bayangan dari ras Higabana yang tak pernah tidur.
Tujuan mereka satu: Menyelamatkan Inggrita.
Dan malam itu, dua kekuatan berbeda bersatu diam-diam di luar aturan guild, di luar kepentingan Mandalagiri.
“Kau tidak sendiri, Inggrita.”
Malam Kedua – Lereng Menuju Hutan Lembayung Dipa
Angin malam berembus pelan di lereng sunyi, membawa dingin yang menggigit kulit. Api unggun menyala tenang, menyebar cahaya oranye keemasan yang menari-nari di wajah Jasana dan Kapten Kalandra Wisanggeni. Tenda kecil berdiri di belakang mereka, dan dua kuda istirahat tak jauh, kelelahan setelah perjalanan tanpa henti selama seharian. Sudah dua hari Mereka Melakukan Perjalanan Bersama.
Kalandra duduk bersila, masih mengenakan jubah kelabu keunguan miliknya. Matanya menatap nyala api, tapi pikirannya melayang jauh.
Jasana duduk di seberangnya, memutar perlahan cangkir kayu berisi air hangat. Ia menoleh ketika Kalandra tiba-tiba bicara, suaranya tenang, nyaris seperti bisikan.
Kalandra:
"Kau pernah dengar nama Higabana, Jasana?"
Jasana:
(menoleh perlahan, mengangguk pelan)
"Sedikit. Dari Inggrita… sebuah desa kecil di seberang laut barat daya. Tapi tidak banyak yang tahu kisahnya."
Kalandra menarik napas, matanya masih menatap api.
Kalandra:
"Itu kampung halamanku. Pulau kecil yang bukan bagian dari Mandalagiri, tapi direbut... dengan rakus."
(hentikan sejenak)
"Usiaku 22 Tahun saat itu. Aku memimpin regu patroli di sana. Kami bertarung dengan cara kami sendiri. Sunyi, cepat, tak terlihat. Seperti bayangan..."
Jasana:
(pelan)
"Gaya bertarungmu seperti ninja dari Hikayat Timur... ternyata bukan kebetulan."
Kalandra mengangguk samar.
Kalandra:
"Benar. Tapi tak ada yang bisa kami lakukan saat tentara Mandalagiri datang. Kami bukan pasukan, hanya penjaga batas. Mereka membawa api dan pedang... tapi bukan untuk perang. Mereka ingin perempuan kami."
(suara Kalandra mulai dingin)
"Gadis-gadis muda, berkulit putih langsat… dianggap ‘berharga’ oleh para bangsawan Mandalagiri. Mereka dijual. Diperbudak. Dihilangkan dari hidupnya."
Jasana mengepalkan tangan. Api unggun memantul di mata hitam pekatnya yang kini mengeras.
Jasana:
"Itu bukan hanya penjajahan. Itu kejahatan yang ditutupi sejarah."
Kalandra:
"Dan Inggrita adalah salah satu dari mereka."
(hening sejenak)
Kalandra:
"Ia pernah jadi milik mereka. Tapi ia lolos. Luka itu tak pernah sembuh… maka ia memilih jalan dendam. Menjadi Bayawira. Mengacaukan yang telah merusak."
(ia menoleh pada Jasana, untuk pertama kalinya mata hitamnya memancarkan sesuatu yang hampir menyerupai rasa)
"Lalu ia bertemu kau."
Jasana menunduk pelan. Ia tak menjawab, hanya menatap nyala api yang mulai mengecil.
Kalandra:
"Sejak kau datang, ada cahaya yang perlahan tumbuh di dirinya. Bukan harapan… tapi arah. Kau memberinya tujuan yang bukan dendam."
Jasana:
(pelan, tenang, tapi dalam)
"Aku tak pernah ingin jadi penyelamat siapa pun. Tapi jika aku bisa jadi cahaya... maka akan kupertahankan itu sampai akhir."
Kalandra memejamkan mata sejenak.
Kalandra:
"Aku tak mempercayai banyak orang, Jasana. Tapi malam ini... aku tahu, kau bukan sekadar pendekar. Kau adalah pengingat bagi mereka yang hampir kehilangan kemanusiaannya."
Jasana:
(tersenyum kecil)
"Dan kau bukan sekadar bayangan, Kapten. Aku bisa melihat cahaya kecil di balik kelam matamu."
Kalandra tertawa kecil, untuk pertama kalinya. Suara itu lirih tapi nyata.
Kalandra:
"Jangan terlalu percaya diri. Aku tetap bayang-bayang."
Jasana:
"Malam ini, bayang-bayang pun butuh api untuk tetap hangat."
Kalandra
(tenang, namun dalam)
"Sebagai pendekar bayangan di usia 22 tahun... aku pernah sepenuhnya jatuh dalam kegelapan. Aku menyusup ke tanah Mandalagiri, menjadi algojo diam-diam. Setiap malam, pedang katana ini... menyantap darah bangsawan kotor yang menyakiti rakyatku. Aku anggap itu balasan setimpal."
Ia menatap ujung katana bergagang hitam yang tergeletak di sampingnya, bayangannya berkilat oleh nyala api.
Kalandra
(samar)
"Namun aku juga tahu... aku mulai kehilangan jiwaku sendiri."
Jasana
(pelan, berempati)
“Dan kau bertahan hidup... di antara darah dan kebencian.”
Kalandra
(mengangguk perlahan)
“Waktu itu, aku hanya hidup demi uang dan dendam. Hingga aku bertemu Doyantra Puspaloka. Seorang bangsawan muda yang... berbeda. Licik, ya. Serakah juga. Tapi tak seperti mereka yang kubunuh. Dia tak mencuri gadis dari desa. Hanya memonopoli. Jahat, tapi bukan binatang.”
Ia tersenyum kecil, getir.
Kalandra
“Untuk beberapa bulan, aku jadi pengawal pribadi Doyantra. Menjaga dari ancaman pedagang yang iri, dari pembunuh bayaran, dari utusan kerajaan. Aku dibayar mahal. Dan untuk pertama kalinya... aku merasa tak perlu membunuh karena dendam.”
Jasana
(mengangguk pelan, mendengarkan)
“Lalu datanglah... mereka?”
Kalandra
(menghela napas, menatap langit)
"Ya. Hari itu, langit merah oleh amarah. Kelompok petualang yang mengguncang poros kekuasaan Mandalagiri: Maheswara, Jagat Arunika, Raksadana, Lodra Wahana, Mahadewa Rakunti..."
Ia menatap Jasana sebentar, lalu kembali pada nyala api.
Kalandra
"Maheswara mengalahkan Doyantra dalam duel terbuka. Tapi aku... aku melawan Jagat Arunika."
Jasana
(tertegun)
“Jagat Arunika? Kapten Mandala Utama yang Sudah Meninggal 8 Tahun Lalu itu ya, Yang dikenal sebagai—”
Kalandra
(memotong, perlahan)
“—Bayangan Gunung yang tak bisa disentuh. Dia mengalahkanku tanpa bicara. Dan saat aku terkapar, Maheswara datang. Ia tidak menyuruhku mati. Tidak pula menghakimiku.”
Jasana
“Dia mengulurkan tangan.”
Kalandra
(tersenyum kecil)
“Ya. Tangan itu... tangan yang tidak membawa pedang, tapi cahaya. Untuk pertama kalinya, aku merasa dendamku bukan satu-satunya jalan. Dan sejak hari itu... kami semua berpetualang, lalu beberapa Bulan Kemudian tujuh orang dengan luka dan tekad berbeda, membentuk sesuatu yang baru: Bayu Geni.”
Sunyi.
Hanya suara api yang menyala. Di kejauhan, lolongan lembut hewan malam memecah kesunyian.
Kalandra
(berbisik)
“Dendam memang bisa membakar. Tapi kau tahu, Jasana... hanya cahaya yang bisa memandumu keluar dari abu.”
Jasana
(memandang Kalandra dengan hormat)
“Dan kau... memilih menjadi cahaya itu. Bukan hanya bayangan.”
Kalandra menoleh padanya. Untuk pertama kalinya, di balik wajah dingin dan tenang itu, terlihat senyuman kecil... tulus, manusiawi.
Kalandra
(dalam)
“Dan sekarang, giliranmu. Kau memikul api Bayu Geni selanjutnya, Jasana. Cahaya itu tak boleh padam.”
Dua sosok duduk diam dalam kehangatan api unggun, di bawah langit bertabur bintang. Dalam sunyi dan luka masa lalu, ikatan baru terbentuk—bukan sekadar antara dua pendekar, tapi antara dua generasi harapan.
GUILD BAYU GENI – PAGI HARI, HALAMAN UTAMA GUILD
Narasi: Mentari pagi belum sepenuhnya menembus kabut tipis yang menggantung di atas atap Guild Bayu Geni. Di tengah halaman utama, tempat biasa para anggota berlalu lalang, ada keheningan ganjil pagi itu. Dua sosok penting menghilang tanpa kabar — Kapten Kalandra Wisanggeni dan Jasana Mandira.
Larasmi (berbisik pada Pratiwi, sambil berjalan di lorong bawah tanah):
"Kapten Kalandra memang tak pernah meninggalkan jejak. Tapi aku yakin... ini bukan sekadar pelatihan biasa."
Pratiwi:
"Kau pikir ini misi rahasia?"
Darsa (muncul dari bayangan, dingin):
"Kita sampaikan pada yang lain... bahwa mereka sedang menjalani pelatihan teknik ninja rahasia. Itu perintah terakhir Kapten padaku, sebelum ia menghilang malam tadi."
(Wajah Darsa datar, tapi matanya menyimpan rasa was-was yang samar.)
RUANG KHUSUS DIVISI PANGGRAHITA AJI
Lokasi: Aula kayu berornamen khas Mandalagiri, dengan senjata-senjata pelatihan tergantung di dinding. Di tengah ruangan, Kapten Kirana Wismadanta, pendekar wanita gagah duduk di kursi ukir bercahaya lembut.
Bagas Prayoga berdiri di hadapannya, dengan dua nama sudah di kepalanya.
Kirana:
"Bagas, sebagai Prajurit yang terpilih, siapa Dua Orang yang akan kau bawa ke medan pertempuran?"
Bagas (tegas):
"Brahma dan Wira Raksadana."
Kirana (mengangguk perlahan):
"Pilihan berani. Anak dari Raksadana... dia punya warisan besar yang harus dibuktikan."
Brahma (serius):
"Kami akan siap, bahkan jika Kapten sendiri yang turun ke garis depan."
Kirana:
"Dan memang aku akan turun bersama kalian. Ini bukan pelatihan. Ini perang sesungguhnya. Bayawira Utara telah menyentuh batas Lembayung Dipa. Waktu kita hanya satu bulan untuk bersiap."
(Suasana berubah tegang, napas para pendekar muda menjadi berat.)
RUANG DIVISI RAKA LELANA
Lokasi: Ruang penuh peta dan lentera gantung. Pradipa Karna berdiri di hadapan Nandika, Kirta, dan Zadran. Suasana sunyi tapi penuh tekanan.
Pradipa Karna:
"Jasana... sedang bersama Kalandra. Tempat mereka tidak bisa dijangkau. Tapi yang pasti—ia akan kembali sebagai orang yang berbeda."
(Ia menatap langsung ke arah Kirta, Nandika, dan Zadran.)
Pradipa melanjutkan:
"Kemungkinan Jasana Akan memilih Dua Orang diantara Kalian bertiga... siapkan diri untuk mendampinginya. Dalam waktu dekat, kita akan maju dalam misi tingkat nasional. Bayawira Utara bukan ancaman biasa. Mereka menguasai ilmu bayangan, racun, dan medan gaib hutan Lembayung Dipa."
Nandika (mengepal tangan):
"Akan kami buktikan bahwa generasi baru Raka Lelana tak gentar menghadapi kegelapan."
Kirta (tegas):
"Peta akan jadi senjata pertama kami. Kami tak akan tersesat di wilayah setan."
Zadran (tenang tapi penuh tekad):
"Dan pedangku akan menembus kegelapan mereka."
Pradipa (menaruh tangannya di atas peta):
"Kalian akan berlatih mulai besok pagi. Aku sendiri yang akan memimpin latihan. Karena... aku sendiri yang akan memimpin kalian di garis depan."
(Suara obor di dinding berderak pelan, seolah merestui keputusan besar yang baru saja diucapkan.)
CATATAN NARATIF :
Kalandra dan Jasana saat ini sedang menyelinap ke wilayah rahasia, menuju tempat persembunyian kelompok yang menyandera Inggrita. Lokasi belum diketahui publik. Namun Berkat Sambung Nurani dan Alat Pelacak Kalandra Lokasi sudah mereka kunci.
Kalandra menyusun tipuan yang rapi dengan meninggalkan pesan tersembunyi kepada Darsa, agar rumor pelatihan ninja menyebar dan menutupi gerak mereka sebenarnya.
Jasana akan berlatih ilmu khusus Kalandra yang disebut "Teknik Ilusi Bayangan" — teknik rahasia tingkat tinggi yang hanya diajarkan secara personal dan penuh risiko mental. itu adalah pesan palsu yang di sampaikan Kalandra kepada Darsa.
Penjara Utara Kandhara – Markas Bayawira Utara, Hutan Lembayung Dipa
Bau busuk menyengat menusuk hidung, berasal dari tanah lembab dan genangan air kotor yang tak pernah dibersihkan. Cahaya remang dari obor yang nyaris padam menggantung di dinding batu yang penuh lumut. Di dalam salah satu sel terkunci dari baja hitam, tubuh seorang wanita terbaring lemas—tak berdaya, terikat rantai besi dari leher hingga pergelangan kaki. Dialah Inggrita Maranile, tubuhnya memar, penuh goresan, dan kulit putih langsatnya kini dipenuhi luka.
Langkah kaki berat terdengar dari balik lorong. Suara logam bergesek dengan batu. Tiga penjaga membuka jalan.
Dari balik bayangan, muncullah sosok pria muda berpakaian jubah gelap, bersulam benang perak yang menyilaukan ketika tersambar cahaya obor. Wajahnya tampan namun licik, penuh cemoohan yang tak tersembunyi. Dialah Arwana (26) — Wakil Kapten Bayawira Utara yang baru.
Ia berhenti di depan jeruji, menyeringai.
Arwana:
"Hm. Jadi ini wajah legendaris si Penembus Batas Sadar... Dulu kau ditakuti sebagai bayangan di balik malam. Tapi lihatlah dirimu sekarang..."
Ia masuk, tanpa takut, mendekat hingga berdiri tepat di depan tubuh Inggrita yang tak berdaya. Dengan congkak, ia membungkuk, mencengkeram dagu Inggrita, mendongakkannya paksa.
Arwana (dengan nada meremehkan):
"Sayang sekali. Wanita secantikmu... akhirnya menunggu mati dalam tempat sekotor ini."
(tersenyum mengejek)
"Katamu agen rahasia? Mata-mata canggih? Ternyata cuma budak tua yang tak bisa bertarung tanpa senjatanya."
Inggrita tidak menjawab. Bibirnya kering pecah-pecah. Matanya sayu, namun nyala merahnya masih menyala samar. Meski lemah, ada bara api kecil yang belum padam.
Arwana (berbisik di telinganya):
"Apa kau menyesal membelot ke Guild Bayu Geni? Kalau kau bersimpuh dan meminta ampun, mungkin aku akan beri sepotong roti. Atau seteguk air kotor."
Inggrita menggertakkan gigi. Dengan sisa tenaga, ia meludah ke arah Arwana. Air liur bercampur darah mengenainya sedikit.
Arwana tertawa dingin. Lalu, tanpa ampun, ia menendang sisi perut Inggrita, hingga tubuh wanita itu terpelanting ke dinding sel.
Arwana (dingin):
"Pertahankan harga dirimu, budak. Lihat berapa lama ia bisa bertahan tanpa air, tanpa makan, tanpa harapan."
Ia berbalik, meninggalkan sel dengan tawa pendek yang memuakkan. Di depan pintu sel, ia memberi perintah kepada penjaga.
Arwana:
"Jangan beri dia apa pun. Tapi jaga dia tetap hidup—atau setengah hidup. Aku ingin dia sadar saat kami membawanya ke pusat ritual minggu depan."
Lalu ia pun menghilang di balik lorong penjara, meninggalkan suara rantai bergemerincing dan hembusan napas pelan dari dalam sel.
Inggrita, sendirian dalam kegelapan, berbisik lirih—nyaris tak terdengar:
Inggrita (gumam pelan, mata setengah tertutup):
"Kalau ini harga yang harus kubayar... maka bayaranku belum lunas... aku belum selesai..."
Perbatasan Hutan Lembayung Dipa — Siang Hari
Meski mentari tengah berada di puncak langit, cahaya tak mampu menembus kanopi rapat Hutan Lembayung Dipa. Pohon-pohon raksasa berakar mencengkeram bumi seperti penjaga purba, menjulang dengan batang-batang selebar rumah. Kabut putih keunguan menyelimuti udara, bergerak perlahan seperti makhluk hidup yang bernapas dari dalam rimba. Sunyi. Bahkan burung pun enggan bernyanyi.
Dari celah rerumputan tinggi dan semak belukar, dua sosok melangkah perlahan—nyaris tanpa suara.
Jasana Mandira, tubuh tegap dalam mantel hijau pekat Divisi Raka Lelana, matanya tajam mengamati setiap bayangan. Di punggungnya, Lungguh Darma bergetar samar, merespons energi liar dari dalam hutan. Di pinggangnya, Parangjati seolah berdesis—suara yang hanya bisa didengar oleh pemiliknya.
Di belakangnya, melangkah tenang Kapten Kalandra Wisanggeni, mengenakan setelan kelabu keunguan khas Bayang-bayang Geni, langkahnya sehalus bayangan. Mata hitamnya terus mengawasi, bukan hanya gerak daun, tapi juga lapisan realitas yang tak tampak mata biasa.
Kalandra (berbisik pelan):
"Kau merasakannya?"
Jasana mengangguk perlahan, tangannya menyentuh permukaan Parangjati.
Jasana:
"Kabut ini... bukan hanya kabut. Ada lapisan ilusi samar. Tapi bukan sihir manusia."
Kalandra:
"Benar. Ini medan tidur para roh liar. Jangan berpikir. Jangan mengingat terlalu dalam. Hutan ini suka menyentuh pikiran."
Langkah mereka berlanjut. Pepohonan semakin padat. Akar-akar melintang seperti jebakan alami. Jasana berjongkok, menyentuh tanah, merasakan denyut halus di bawah permukaan.
Jasana:
"Ada bekas langkah berat. Barisan penjaga. Tapi jejaknya disamarkan. Mereka tahu medan ini."
Kalandra:
"Bayawira Utara menyembunyikan markas mereka bukan dengan benteng... tapi dengan hutan itu sendiri. Tapi kita punya keuntungan: mereka menganggap kita belum tahu lokasi penjaranya."
Tiba-tiba, dari sela-sela kabut, seekor serangga hitam sebesar tangan manusia hinggap di bahu Jasana. Sayapnya bening, matanya merah menyala. Sebelum ia bereaksi, serangga itu mendesis dan meledak dalam percikan kecil—tanda bahwa mereka telah memasuki perimeter pengawas.
Kalandra bergerak cepat. Tangannya membentuk mudra, bibirnya berbisik dalam bahasa tua. Udara di sekeliling mereka seperti menggulung—dan dalam sekejap, bayangan mereka memudar. Teknik pelindung ilusi khas Divisi Bayang-bayang Geni aktif.
Kalandra:
"Aku hanya bisa menyamarkan kita selama dua puluh menit. Setelah itu—kita harus bertarung atau menghilang."
Jasana:
"Cukup. Bawa aku dekat dengan penjara. Aku akan temukan dia."
Mereka menyusup lebih dalam, menyelinap di balik akar, meniti batang-batang lapuk tanpa bunyi. Kabut mulai menipis, dan suara logam bergesekan terdengar dari kejauhan. Bau busuk mulai terasa. Udara berubah—lebih dingin, lebih kental dengan aura penderitaan.
Di balik dua lapis pagar besi berlumut, tampaklah bangunan rendah berbatu hitam: Penjara Utara Kandhara. Menyatu dengan tanah, beratap akar dan lumut, dijaga empat orang bersenjata tombak dan panah siaga.
Jasana dan Kalandra bersembunyi di balik semak tinggi.
Jasana (mata menyipit):
"Dia di sana. Aku bisa merasakannya... sekarat, tapi belum padam. Wiratmaja bergetar."
Tiba-tiba, Pedang Lungguh Darma mengeluarkan cahaya biru halus, seperti merespons panggilan dari jiwa Inggrita. Aura biru lembut itu mengalir ke tanah, menuju dinding penjara yang tertutup lumut.
Kalandra menatap Jasana.
Kalandra:
"Kita tidak bisa menyerbu dari depan. Aku bisa melemahkan penglihatan mereka dengan kabut palsu, tapi kau harus cepat. Saat kau masuk, jangan ragu."
Jasana menarik napas dalam. Tangan kirinya menyentuh gagang Parangjati, tangan kanan menggenggam Lungguh Darma. Matanya membara dalam kegelapan kabut.
Jasana (tegas, pelan):
"Kita bawa dia pulang. Hidup."
Kalandra:
"Atau kita semua mati di tempat ini."
Penyerbuan Diam-diam ke Penjara Utara Kandhara di Hutan Lembayung Dipa
Kabut pekat menggantung seperti tirai gaib di antara pepohonan raksasa Hutan Lembayung Dipa. Meski siang hari, tak ada seberkas cahaya matahari yang sanggup menembus rerimbun kanopi hutan. Di antara senyap kabut dan bisikan angin, dua sosok bergerak secepat bayangan, tak menimbulkan suara.
Jasana Mandira, dengan mantel hijau Raka Lelana yang menyatu dengan semak dan kabut, berlari berdampingan dengan Kalandra Wisanggeni yang nyaris tak tampak. Aura hijau lembut menyelimuti Jasana sejenak, membantu tubuhnya menyatu dengan nuansa alam sekitar. Sementara itu, dari tubuh Kalandra, mengalir tipis kabut keunguan hasil teknik penyamaran Bayangan Tirta Sunyi — ilusi palsu yang mampu memutar indra musuh.
Penjara Bayawira di tengah hutan tak tampak seperti bangunan. Ia tersembunyi di balik akar pohon raksasa yang menyambung seperti lengkungan gua. Hanya mereka yang tahu jalurnya yang bisa menemukannya.
Empat penjaga Bayawira biasa bersenjata tombak berdiri mengelilingi area pintu masuk, tak menyadari apa yang akan datang.
Detik-detik Penyerangan Senyap
Dalam satu hentakan ringan, tubuh Kalandra menghilang dari sisi Jasana. Ia muncul di belakang penjaga pertama—"Tuk." Sebuah hantaman halus dengan sisi pedang pada titik syaraf leher. Penjaga itu terjatuh tak bersuara, tak sempat melihat apa yang terjadi. Kalandra berputar seperti bayangan dan menghilang kembali ke dalam kabut.
Penjaga kedua sempat menoleh, namun penglihatan mereka dibutakan oleh ilusi samar yang menampilkan hutan kosong. Saat ia melangkah satu langkah ke depan, "Bret." Katana hitam Kalandra meluncur memotong udara, bukan untuk membunuh, tapi menyentuh titik akupuntur tepat di bawah tulang tengkuk — membuat tubuh penjaga itu roboh seperti boneka kehilangan kendali.
Penjaga ketiga dan keempat tersadar ada yang tak beres. Namun sebelum sempat bersuara...
“Srekkk…”
Sebuah gerakan cepat dari Jasana. Ia menurunkan posisi, melesat dari balik semak dan menghantam dada penjaga ketiga dengan bagian belakang sarung Parangjati, membuat napasnya terhenti mendadak dan tubuhnya roboh. Yang keempat mencoba berteriak, namun tangan Jasana sudah mencengkram mulutnya dari belakang, dan dengan hantaman tepat ke bagian belakang kepala, ia jatuh tak sadarkan diri.
Dalam kurang dari dua menit, keempat penjaga tumbang — tanpa suara, tanpa jejak, tanpa darah.
Penyelamatan Diam-diam
Kalandra berdiri di tepi pintu masuk penjara tersembunyi. Ia menempelkan telapak tangan ke permukaan akar besar, lalu membisikkan mantra pendek. Kabut misterius menjalar masuk, lalu “Klak.” Celah pintu akar terbuka perlahan.
Jasana mengangguk, lalu menerobos masuk, tubuhnya diselimuti kabut tipuan yang menyesatkan mata dan penciuman. Ia melangkah cepat, menyusuri lorong akar yang dingin dan lembab.
Di ujung lorong, sebuah sel berbentuk batu akar berlumut. Di dalamnya, seorang wanita tergolek lemah—Inggrita Maranile.
Rambutnya yang hitam keunguan terurai, wajahnya pucat namun tetap menyimpan ketegasan. Tanpa buang waktu, Jasana menghampiri pintu sel dan menarik Parangjati, membisikkan nama roh yang terikat di dalamnya—"Ardhana."
Aura putih muncul sesaat. Gerendel sel meleleh perlahan seolah dihancurkan oleh cahaya lembut. Jasana masuk, memeriksa nadi Inggrita. Masih hidup—namun sangat lemah.
Sebelum keluar, Jasana berlari ke ruangan kecil di samping sel, yang menjadi gudang penyimpanan barang milik tahanan. Di sana, di atas meja batu, tergeletak:
Katana bergagang merah milik Inggrita.
Sepasang keris melengkung Asmaragata dan Kalamantri.
Topeng tengkorak iblis separuh — media pengikat khodam milik Inggrita.
Semua dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kantung kulit yang disiapkan. Lalu, tanpa suara, ia membopong tubuh Inggrita ke bahunya dan menyelinap keluar dengan kecepatan luar biasa.
Titik Aman — Hutan Lembayung Dipa
Beberapa ratus meter dari penjara, di tengah rimbunan perdu dan kabut, Kalandra telah lebih dulu tiba dan membuka penyamaran tempat persembunyian: sebuah cekungan tanah yang ditutupi daun dan ilusi cahaya. Dua ekor kuda sudah menunggu, bersama kantung persediaan makanan dan obat-obatan.
Jasana tiba tak lama setelahnya, meletakkan tubuh Inggrita dengan hati-hati di atas alas kain hangat yang disiapkan.
Ia menarik napas dalam-dalam, wajahnya menatap ke arah hutan yang kembali sunyi.
“Dia lemah. Tapi hidup,” kata Jasana lirih.
Kalandra mengangguk pelan. “Tak ada jejak. Tak akan ada yang tahu siapa yang datang.”
Jasana menatap Inggrita sejenak. Tangannya menyentuh dahi wanita itu, mencoba menyalurkan sedikit aura hijau penyembuhan dari kekuatan alamnya. Di antara kabut dan sunyi hutan, hanya denyut napas Inggrita yang perlahan mulai stabil—membuktikan bahwa misi mereka berhasil. Sementara di kejauhan, bayangan malam mulai menjelang, dan bahaya baru bisa datang kapan saja. Namun untuk sesaat, mereka selamat.
BEBERAPA JAM SETELAH PENYELAMATAN INGGRITA
Kabut tipis masih menyelimuti tempat persembunyian mereka—sebuah celah lembah kecil yang tersembunyi di antara batu-batu besar dan pohon-pohon berlumut. Di sanalah Kalandra dan Jasana menyiapkan tempat perawatan darurat, jauh dari mata Bayawira.
Dalam balutan perban dan lapisan tipis obat herbal yang menyebar aroma daun pahit dan akar harum, Inggrita Maranile mulai menggeliat pelan. Kelopak matanya yang berat perlahan membuka. Pandangannya sempat buram, tapi cahaya api unggun kecil dan sosok Kalandra yang duduk tenang di sampingnya mulai mengisi penglihatannya.
Suara lembut namun tegas milik Kapten Bayang-bayang Geni pun menyambutnya.
"Kau sudah sadar, Inggrita."
Nada bicaranya tenang, nyaris tanpa emosi seperti biasa, namun tak bisa menyembunyikan kelegaan yang dalam.
Inggrita mengerjap pelan. Nafasnya masih berat, namun ia bisa merasakan tubuhnya yang ringan—dibebaskan dari tekanan besi borgol dan siksaan mental. Suara rantai yang dulu terus terngiang di kepalanya telah menghilang. Ia ingin bergerak, tapi tubuhnya belum sepenuhnya pulih.
"Jangan memaksa," lanjut Kalandra, "ramuan dan perban ini akan menjaga tubuhmu tetap stabil. Untuk sekarang, cukup bernapas dan lihat langit."
Tak lama kemudian, Jasana datang membawa sebuah mangkuk kayu berisi bubur hangat dengan aroma jamur hutan dan rempah. Di tangan satunya, ia menggenggam kendi air hangat. Jasana duduk bersila di sisi lainnya, wajahnya tetap tenang, namun jelas terlihat ada gurat perhatian dalam sorot matanya.
"Kau harus makan, walau sedikit," ujar Jasana lembut.
Inggrita melirik ke arahnya—mata merah bara itu masih tampak redup karena kelelahan.
"Kau..." katanya lirih, "...kenapa kau repot-repot datang untukku?"
Jasana tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum singkat, lalu perlahan menyuapi Inggrita sesendok bubur.
Kalandra-lah yang menjawab, tanpa mengubah nada atau ekspresinya.
"Karena kau berasal dari Higabana, sama sepertiku. Karena aku tahu rasa hancur yang tak terlihat. Rasa menjadi milik orang lain, menjadi alat... lalu dilupakan. Kau bukan alat. Kau manusia. Dan manusia... berhak memilih jalannya."
Inggrita menatapnya lama. Bibirnya gemetar sedikit, lalu menyunggingkan senyum kecil penuh luka dan syukur.
"Kau tahu..." ujarnya lirih, "bahkan saat aku dikurung, aku masih bermimpi berdiri di padang lavender desa kita. Padahal aku bahkan hampir lupa seperti apa aroma tanahnya."
Kalandra memalingkan pandangan sejenak, seolah menghindari kenangan yang tak ingin disentuh, lalu berkata:
"Impianmu belum mati, Inggrita. Dan sekarang... kau bebas memilih apakah kau masih ingin melanjutkannya."
Sesendok demi sesendok makanan hangat masuk ke tubuhnya. Jasana dengan sabar menyuapi, menyeka bibir Inggrita dengan sepotong kain, tanpa mengucap kata lain. Wajahnya tenang, karismatik, dan tulus. Tidak ada belas kasihan yang merendahkan—hanya kehadiran seseorang yang peduli sebagai sesama manusia.
Inggrita akhirnya berkata lirih:
"Terima kasih... kalian memperlakukanku seperti manusia. Bukan senjata. Bukan boneka. Tapi manusia... yang punya nama dan mimpi."
Angin malam kembali berhembus lembut melewati celah-celah lembah. Di antara keheningan, suara burung hutan mengisi ruang—suara kehidupan yang kembali terasa nyata bagi Inggrita Maranile.
Penjara Utara Kandhara Mangkara – Hutan Lembayung Dipa
Suasana penjara sunyi mencekam. Hanya suara daun-daun lembayung yang berjatuhan di tanah lembab, dan desir angin malam yang membawa aroma kayu lapuk serta darah tipis.
Pintu jeruji besi terbuka—kosong.
Arwana, Wakil Kapten Bayawira Utara, berdiri kaku. Matanya menyorot tajam, napasnya berat, rahangnya mengeras. Tubuhnya seperti menyimpan bara.
Empat penjaga yang ditugaskannya tiarap di hadapannya, tubuh mereka memar, wajah mereka pucat ketakutan. Arwana baru saja menghajar mereka—keras dan tanpa ampun.
Arwana: “Empat orang untuk satu tahanan dan kalian masih gagal?!”
(Ia meludahkan darah dari buku jarinya, menatap dingin ke arah jeruji kosong)
“Kalian pikir dia bisa kabur begitu saja? Tidak meninggalkan jejak satu pun? Bahkan aura-nya pun lenyap.”
Salah satu penjaga tergagap.
Penjaga: “T-tidak ada... bayangan, tuanku... tak ada langkah, tak ada jejak roh... seperti... ditelan gaib.”
Arwana: (menendang pasir keras ke arah wajah penjaga itu)
“Kalau dia ditelan gaib, maka carilah ke rahang alam gaib sekalipun! Jangan kembali tanpa pelakunya!”
Ia menghunus pedangnya—hitam kebiruan, panjang dan ringan—lalu mengayunkannya sekali di udara, cukup untuk memberi ancaman tanpa menyentuh kulit.
Arwana: “Sebar! Timur, barat, utara, selatan! Setiap tapak hutan ini, setiap ranting, harus memberi tahu kita siapa yang berani mencuri milik kita!”
Empat anak buahnya bergegas. Mereka mengambil kuda masing-masing dan memacu dengan cepat, menyebar ke segala penjuru. Derap tapak kuda menggema di balik kabut ungu Hutan Lembayung Dipa.
Jalur Perbatasan Hutan – 3 Hari Sebelumnya
Langit pagi samar tertutup embun, aroma resin dan dedaunan basah mengiringi langkah kuda. Kapten Kalandra menunggang kuda, membonceng Inggrita dengan tenang namun waspada. Di belakang, Jasana Mandira memacu kudanya, menjaga jarak dan memindai medan.
Inggrita bersandar lemah di dada Kalandra. Napasnya berat, tapi matanya terbuka. Tak banyak kata keluar darinya. Tapi dalam keheningan itu, tubuh mereka menyatu dalam satu kehendak: pulang.
Kalandra menoleh sedikit ke samping. Satu tangan masih memegang kendali kuda, tangan lain menekan kantung kecil di sabuknya.
Kalandra: “Jangan bicara. Simpan tenagamu. Kita akan keluar dari neraka ini.”
Sepanjang jalur, ia telah memasang jebakan-jebakan ilusi dan ranjau energi bisu dari Divisi Bayang-bayang Geni. Terutama di persimpangan arah angin, di mana aura akan lebih sulit dilacak dan penglihatan bisa dikaburkan.
Kota Tirabwana – Malam Hari
Kota Tirabwana menyambut malam dengan lampu lentera dan aroma rempah dari gang-gang sempit. Gerbang Guild Bayu Geni tampak sunyi, hanya dijaga dua penjaga yang mengenal siluet Kalandra dan Jasana dari jauh.
Kalandra langsung membelok ke jalur lorong tersembunyi, menyusuri jalur gelap yang hanya bisa dibuka dengan isyarat tangan tertentu. Inggrita masih dibonceng, kini mulai bisa menopang dirinya walau lemah.
Pintu lorong membuka, dan Kalandra menghilang ke kedalaman Guild.
Kandang Kuda Guild
Jasana turun dari kudanya, menepuk leher kudanya pelan.
Jasana: “Kau sudah bekerja keras, Teman.”
Ia melepaskan pelana, menuntun kudanya ke bilik kandang, dan mengikatnya. Pandangannya menyapu langit malam.
(dalam hati)
Tirabwana tenang. Tapi bayangan dari utara masih akan menyusul...
Ia berjalan menuju asrama, melewati jalan setapak batu yang diterangi obor kecil. Setibanya di kamar yang ia tempati bersama Bagas dan Kirta, ia membuka pintu dan menghela napas.
Malam telah jatuh, tapi ketegangan belum berakhir.
Lorong Rahasia – Divisi Bayang-bayang Geni
Kalandra menurunkan Inggrita di ruang perawatan bawah tanah yang hanya diakses oleh kalangan rahasia. Cahaya remang biru menyapu wajah Inggrita.
Kalandra: “Kau aman. Untuk sekarang.”
Inggrita menatapnya, lemah tapi tegar. Bibirnya tersenyum samar.
Inggrita: “Kau tahu… mereka tidak akan berhenti…”
Kalandra (membalas dengan tenang):
“Biarkan mereka mencari. Tapi kita sudah satu langkah di depan. Ini baru awal.”
Ia menatap topeng tengkorak iblis separuh yang kini tergantung di dinding ruangan.
“Kita akan buat mereka percaya... bahwa bayangan tak bisa mereka jinakkan.”
Halaman Dalam Markas Guild Bayu Geni – Beberapa Hari Kemudian
Langit Tirabwana pagi itu berkabut tipis. Embun belum sepenuhnya mengering di rerumputan halaman dalam markas Guild Bayu Geni. Suasana tampak tenang, hanya terdengar suara sayup burung liar dan denting halus bilah pedang yang beradu dengan angin.
Di tengah halaman, tampak Inggrita Maranile berdiri tegap, rambut hitam keunguan panjangnya diikat tinggi. Tubuhnya telah pulih sepenuhnya. Dengan pakaian pendekar hitam tanpa lengan yang khas, ia memutar pedang katana gagang merah di tangan kanan dengan cekatan, gerakannya luwes, tajam, dan presisi. Setiap langkah kaki dan ayunan pedangnya menunjukkan ketenangan dan pengalaman seorang prajurit yang terbiasa menghadapi medan berbahaya. Keringat tipis membasahi pelipisnya, tapi matanya bersinar dengan fokus tinggi.
Dari balik pilar batu di sisi kanan halaman, Kapten Kalandra Wisanggeni berdiri mengamati diam-diam. Ekspresinya tetap tenang seperti biasa, namun ada sorot berbeda di matanya—bukan sekadar penilaian teknik, melainkan perhatian yang lebih dalam. Jemarinya menyentuh gagang pedangnya seolah ingin ikut bergerak.
Tanpa menoleh, Inggrita berkata dengan datar, namun menyimpan senyum kecil:
Inggrita: “Berapa lama kau ingin berdiri di sana dan berpura-pura mengawasi seperti bayangan, Kapten?”
Kalandra terdiam sejenak, lalu melangkah keluar dari bayang-bayang pilar dengan langkah ringan dan anggun.
Kalandra: “Cukup lama untuk tahu kau sudah sepenuhnya pulih... dan berbahaya.”
Inggrita menoleh sambil mengangkat alis, lalu menancapkan pedangnya perlahan ke tanah.
Inggrita: “Kalau begitu, buktikan saja. Latihanku akan jauh lebih menyenangkan bila ditemani lawan seimbang.”
Kalandra mengangguk perlahan, lalu mencabut pedang katana gagang hitam dari sarungnya. Keduanya berdiri saling berhadapan. Mereka mulai perlahan, langkah-langkah pendek terukur, lalu beradu dalam serangkaian gerakan cepat—dua pendekar seperti bayangan yang menari di udara.
Pedang mereka menebas, menangkis, dan memutar hampir dalam irama yang sama. Gaya bertarung mereka nyaris identik, seperti salinan cermin—ringan, senyap, namun mematikan. Tatapan keduanya saling terkunci, dan untuk pertama kalinya Kalandra tersenyum kecil saat menangkis serangan silang Inggrita dengan gerakan membelok yang sangat presisi.
Inggrita membalas senyum itu, matanya menyala dengan semangat langka.
Sementara itu, dari atas balkon kayu ruang Divisi Bayang-bayang Geni, tampak Darsa dan Pratiwi memperhatikan dengan gelak kecil.
Darsa: “Kupikir kapten kita tak bisa tersenyum, ternyata masih bisa juga ya.”
Pratiwi: (tertawa kecil) “Mungkin perlu luka berat dan seorang wanita seperti Inggrita dulu baru senyumnya muncul.”
Darsa: “Setelah beberapa hari dirawat kapten seorang diri, kurasa… ada yang berubah. Mereka seperti saling mengerti dalam diam.”
Pratiwi: (menggoda) “Kalau begitu biarkan hati dingin sang bayangan dipanaskan oleh bara merah Inggrita.”
Kembali ke halaman, latihan mereka melambat. Tak lagi saling menyerang, tapi pedang-pedang mereka bertemu di tengah, menyilang—terkunci. Nafas keduanya teratur namun terlihat bahwa mereka menikmati duel tersebut lebih dari sekadar latihan.
Keduanya terdiam dalam posisi saling dekat. Mata hitam tenang Kalandra bertemu mata merah bara Inggrita. Waktu seakan berhenti. Di antara helaan nafas dan desiran angin, ada getar emosi yang perlahan tumbuh—bukan hanya rasa saling hormat sebagai prajurit, tapi sesuatu yang lebih hangat, lebih manusiawi.
Scene ditutup dengan sudut pandang perlahan menjauh, meninggalkan bayangan dua sosok yang saling beradu pandang dalam diam, pedang-pedang mereka masih bersilang di tengah kabut pagi yang mulai menipis.
RUANG KHUSUS DIVISI RAKA LELANA – SIANG HARI
Langit siang mengintip dari jendela tinggi ruangan utama Divisi Raka Lelana. Di tengah ruangan yang megah itu—berhiaskan peta dunia besar dan lambang naga bersayap di dinding belakang—berkumpullah seluruh anggota Divisi Raka Lelana, sebanyak 23 orang, berdiri dalam formasi setengah lingkaran.
Di hadapan mereka berdiri Jasana Mandira, tubuhnya tegak, wajahnya memancarkan ketenangan dan keyakinan. Ia mengenakan mantel hijau pekat Raka Lelana, pedang "Lungguh Darma" tersarung di punggung, sementara "Parangjati" tergantung di sisi pinggang.
Di belakangnya berdiri Kapten Pradipa Karna, tangan bersedekap, mata tajamnya memperhatikan dengan seksama, namun memberi ruang sepenuhnya bagi Jasana untuk berbicara.
Jasana (dengan suara tenang namun tegas):“Kurang dari dua setengah minggu lagi, kita akan bergerak dalam Misi tingkat Nasional. Untuk itu, sebagai salah satu ujung tombak regu utama Bayu Geni... aku telah memilih dua rekan untuk mendampingiku dalam misi ini.”
Kerumunan anggota bergeming. Beberapa saling melirik penasaran.
Jasana (melanjutkan):“Yang pertama—Nandika Sutasmi. Kemampuannya dalam teknik tombak sudah terbukti, dan... ia telah berhasil membangkitkan khodamnya sendiri. Kekuatan dan keberaniannya tak diragukan lagi.”
Nandika yang berdiri di samping kiri Jasana menunduk sedikit memberi hormat. Tatapannya mantap.
Jasana:“Yang kedua—Zadran. Meskipun baru, ia menunjukkan keunggulan dalam membaca situasi dan menyusun strategi dalam misi terakhir. Saat darurat, kita butuh kepala yang tetap dingin.”
Zadran tampak terkejut sejenak, namun kemudian mengangguk perlahan. Wajahnya tetap datar, namun ada secercah semangat yang menyala di matanya.
Kapten Pradipa Karna akhirnya melangkah ke depan, menepuk bahu Jasana ringan.
Pradipa (dengan suara berat dan tenang):“Keputusan yang bijak. Aku menghargai pilihanmu, Jasana.”
Lalu ia menoleh ke seluruh anggota divisi.
Pradipa:“Jasana telah membuktikan diri. Dua khodam, dua senjata... dan pikiran yang matang. Dia kini pendekar terkuat di Raka Lelana. Maka biarlah kita percayakan padanya.”
Kirta Wangsaputra, sahabat Jasana yang berdiri di antara para anggota lain, mengangkat tangan.
Kirta (tersenyum tulus):“Aku tak terpilih, tapi aku tahu kenapa. Ini bukan soal siapa yang dekat, tapi siapa yang tepat. Kalian mewakili kami semua—jadi bawa nama Raka Lelana dengan bangga!”
Beberapa anggota mengangguk, lalu terdengar tepukan perlahan yang makin ramai.
Anggota 1:“Ayo, tunjukkan bahwa kita tak hanya berburu harta, tapi juga menjaga kehormatan!”
Anggota 2:“Jasana, Nandika, Zadran—kalian mewakili kita semua!”
Tepuk tangan terdengar, namun tak liar. Justru dalam suasana penuh penghargaan.
Kapten Pradipa lalu mengangkat tangannya, meminta keheningan.
Pradipa:“Tugas kalian penting. Tapi jangan lupakan satu hal—ketika regu utama bergerak ke garis depan, markas ini bisa menjadi sasaran. Aku ingin semua anggota yang tinggal, terutama kalian yang telah mengenal medan sekitar, menjaga Guild Bayu Geni sekuat mungkin.”
Suasana jadi lebih serius. Wajah-wajah para pendekar Raka Lelana tampak mengeras penuh kesiapan.
Pradipa (mengakhiri):“Pertemuan kita cukup di sini. Bersiaplah. Hari-hari ke depan akan menentukan banyak hal.”
Para anggota memberi hormat, lalu satu per satu bubar. Jasana, Nandika, dan Zadran tetap berdiri sejenak, menatap meja komando besar di tengah ruangan. Mereka tahu, misi ini bukan sekadar ekspedisi—tapi panggung utama yang akan menentukan arah sejarah Guild Bayu Geni.
Halaman Markas Guild Bayu Geni – Siang Hari
Mentari siang menggantung tinggi, menebar cahaya hangat di atas halaman berbatu Markas Guild Bayu Geni. Di dekat bangunan batu berornamen simbol-simbol rahasia Divisi Bayang-bayang Geni, dua sosok tengah duduk kelelahan di atas bangku panjang kayu tua yang teduh di bawah pohon beringin kecil.
Inggrita Maranile, tubuhnya basah oleh peluh, napasnya teratur namun terlihat bekas intensitas pertarungan. Tank top hitam pendekarnya tampak lengket pada kulit putih langsatnya yang bercahaya oleh keringat. Di sebelahnya, Kapten Kalandra Wisanggeni, walau wajahnya tetap tenang dan datar, terlihat mengusap peluh di pelipisnya dengan lengan jubah kelabu keunguan yang kusut karena gerakan latihan.
Kalandra: (dengan nada tenang, memandang langit sesaat)"Teknik pedangmu makin tajam, Inggrita. Aku bisa merasakan perubahan aliran tenagamu... lebih fokus dari biasanya."
Inggrita: (tersenyum miring, menyandarkan tubuh ke bangku)"Kau juga. Tapi jujur, aku tetap benci caramu muncul tiba-tiba dari ilusi dan menyergap dari bayangan seperti iblis kelaparan."
Kalandra: (tertawa kecil, nada ringan yang jarang keluar darinya)"Kalau semua orang tahu kapan aku datang... apa gunanya jadi Kapten Bayang-bayang?"
Inggrita: (berdecak pelan, tapi tersenyum)"Huh, menyebalkan."
Langkah kaki terdengar mendekat. Darsa dan Pratiwi datang membawa dua botol minuman herbal dingin. Darsa, dengan wajah tampannya yang selalu menyiratkan percaya diri, tersenyum lebar. Pratiwi di sampingnya tampak ceria, rambut panjangnya berkibar ditiup angin sore yang mulai bertiup lembut.
Darsa:"Ada yang butuh penyegaran? Kami bawa air daun lempung dan jahe dingin."
Pratiwi: (menjulurkan botol ke arah Inggrita)"Kalian kelihatan seperti habis bertarung dengan pasukan bayangan."
Inggrita: (menerima botol, mengangguk kecil)"Kurang lebih begitu."
Mereka duduk bersama di atas rerumputan dekat bangku. Suasana santai namun terasa keakraban mendalam antar mereka.
Tak lama kemudian, Kalandra membuka pembicaraan serius.
Kalandra: (suara lebih dalam, tenang tapi mantap)"Kita semua tahu Misi Tingkat Nasional akan dimulai dalam dua minggu lebih. Aku sudah memikirkan siapa yang akan mewakili Divisi Bayang-bayang Geni... aku juga akan turun langsung."
Darsa: (menyimak, angguk pelan)"Kami siap mendengar, Kapten."
Kalandra:"Inggrita, aku butuh kau ikut."
Inggrita: (menatap tenang, tak terkejut)"Kalau itu perintahmu, aku ikut. Apalagi kalau ini menyangkut Kandhara Mangkara..."
Kalandra:"Kau pernah jadi wakilnya. Kau tahu kelemahannya, pola pikirnya... bahkan mungkin jebakan yang ia siapkan. Informasimu bisa jadi penentu hidup dan mati tim utama Bayu Geni."
Pratiwi: (menatap Inggrita, lalu ke Kalandra)"Kalau Inggrita ikut... maka kami pun siap. Kami serahkan keputusan padamu, Kapten."
Kalandra: (mengangguk perlahan, lalu menarik napas panjang)"Baik. Maka tim kita untuk misi ini adalah aku, Inggrita, Darsa, dan Pratiwi."
Hening sejenak. Angin bertiup membawa dedaunan kering yang melayang lembut. Pratiwi lalu menatap Kalandra sambil menyipitkan mata penuh selidik.
Pratiwi: (nada menggoda, mata jenaka)"Ngomong-ngomong, Kapten... usiamu sudah 37 tahun, ya? Kenapa tidak sekalian lamar saja Kak Inggrita? Cantik, tangguh, cocok jadi pendampingmu."
Darsa refleks menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa... tapi gagal. Tawa keras pecah dari mulutnya.
Darsa: (sambil tertawa)"Kurasa dia baru pertama kali kelabakan di depan kita, hahaha!"
Inggrita: (tersenyum santai, melirik ke arah Kalandra yang mulai terlihat salah tingkah)"Tenang saja, Kapten. Aku tidak gigit."
Kalandra: (batuk pelan, wajahnya tetap serius tapi kali ini ada rona yang sulit disembunyikan)"Ehem... ya... baik. Kita... kita kembali ke topik. Untuk misi nanti—tim kita akan bertugas dalam infiltrasi tingkat tinggi. Tidak boleh ada kesalahan."
Ia berdiri, membalik tubuhnya sedikit agar tidak terlihat terlalu salah tingkah. Namun Pratiwi dan Darsa sudah tertawa puas, sementara Inggrita hanya menggeleng kecil, menikmati saat langka di mana sang kapten kehilangan kendalinya sejenak.
Kalandra: (setelah menarik napas panjang dan menegaskan suaranya kembali)"Bersiaplah dalam tujuh hari ke depan. Latihan khusus kita mulai malam besok. Jangan terlambat."
Ia lalu berjalan pergi, menyisakan senyuman misterius yang sempat melintas di wajahnya.
Inggrita: (menatap langkah Kalandra yang menjauh, lalu berbisik kecil)"Lucu juga kalau dia benar-benar melamarku..."
Pratiwi: (cepat menimpali dengan senyum lebar)"Kan kukatakan! Sudah kuduga dia menyimpan rasa!"
Empat anggota Bayang-bayang Geni itu tertawa ringan di bawah langit siang yang perlahan mulai berganti senja, sebelum misi besar kembali menuntut keseriusan mereka. Tapi untuk kali ini, mereka hanya menikmati momen kecil yang hangat... di tengah bayangan ancaman besar yang kian dekat.
Penutup Bab : Perwakilan 4 Divisi
Langit siang di atas Markas Guild Bayu Geni tampak bersih, namun hawa di sekitarnya mulai terasa berat, seolah semesta ikut menahan napas. Di dalam ruang batu bersimbol suci milik Divisi Rasa Prawira, keheningan mendalam tercipta saat Ratri Nidyanari mengucapkan dua nama: Wiryajati Arkamara dan Madyan Reksadipa. Pilihan itu disambut anggukan serempak oleh 26 anggota Divisi yang berdiri mengelilingi mereka, lalu dilanjutkan dengan suara berat dan penuh wibawa dari Kapten Mahadewa Rakunti, "Dengan ini, Divisi Rasa Prawira siap menjalankan Operasi Lembayung Dipa."
Keempat divisi kini telah menetapkan pasukan terbaik mereka.
Panggrahita Aji: Kapten Kirana Wismandanta, Bagas Prayoga, Brahma Anggacandra, dan Wira Raksadana.
Raka Lelana: Kapten Pradipa Karna, Jasana Mandira, Nandika Sutasmi, dan Zadran.
Bayang-bayang Geni: Kapten Kalandra Wisanggeni, Darsa Nagawikrama, Pratiwi Manggala, dan Inggrita Maranile.
Rasa Prawira: Kapten Mahadewa Rakunti, Ratri Nidyanari, Wiryajati Arkamara, dan Madyan Reksadipa.
Mereka bukan hanya pasukan elit. Mereka adalah simbol harapan terakhir yang akan melangkah menuju misi yang tak hanya akan mengguncang dunia, namun juga menentukan arah takdir: terang atau gelap.
Operasi Lembayung Dipa, nama yang akan tercatat dalam lembaran sejarah Bayu Geni, akan membawa mereka langsung ke jantung kekuatan musuh — markas Bayawira Utara di bawah komando Kapten Kandhara Mangkara, sang pelindung kegelapan.
Apakah cahaya akan berhasil menembus pekatnya bayang, atau justru salah satu dari mereka akan ditelan oleh kelam?