Aula Utama Markas Guild Bayu Geni
Langit pagi di atas Tirabwana mulai diselimuti awan pucat, seolah langit pun ikut menyelubungi kesunyian yang menekan di aula utama Markas Guild Bayu Geni. Aula megah itu kini penuh sesak oleh ratusan anggota guild dari lima divisi, semuanya berdiri dalam barisan teratur, menyaksikan momen paling menentukan sejak berdirinya guild ini.
Di depan barisan, berdiri gagah para perwakilan dari empat divisi utama yang terpilih untuk menjalankan Misi Tingkat Nasional – Operasi Lembayung Dipa.
Dari sisi timur aula, Divisi Panggrahita Aji tampak membara dalam mantel merah bata yang menyala di bawah cahaya obor. Di depan mereka, Kapten Kirana Wismandanta berdiri tegak, sementara di belakangnya tiga sosok pilihan: Bagas Prayoga, Brahma Anggacandra, dan Wira Raksadana, berdiri kokoh bagai pilar-pilar kekuatan rohani dan keteguhan jiwa.
Dari sisi barat, Divisi Raka Lelana menyuguhkan aura petualang yang garang. Kapten Pradipa Karna, dengan pedang Dwijanaga di punggungnya, berdiri memimpin Jasana Mandira, Nandika Sutasmi, dan Zadran, ketiganya mengenakan mantel hijau pekat dengan simbol naga mengepak, menandakan kesiapan menjelajah dan menembus jantung musuh di hutan terlarang.
Dari sisi utara aula, suasana menjadi lebih teduh namun penuh ketegangan. Kapten Kalandra Wisanggeni, sosok bayangan yang tak terbaca, berdiri memimpin Darsa Nagawikrama, Pratiwi Manggala, dan sosok asing yang baru saja mendapatkan kepercayaan: Inggrita Maranile, mantan wakil kapten Bayawira Utara yang kini membelot ke pihak cahaya. Mereka semua mengenakan jubah kelabu keunguan yang tenang namun menyiratkan bahaya, lambang Divisi Bayang-Bayang Geni.
Di sisi selatan, Divisi Rasa Prawira hadir dengan keanggunan mistik. Kapten Mahadewa Rakunti berdiri tenang, penuh wibawa, diapit oleh Ratri Nidyanari, Wiryajati Arkamara, dan Madyan Reksadipa. Mantel ungu gelap kehitaman yang mereka kenakan memancarkan aura rahasia dan kekuatan ghaib yang tak kasat mata.
Semua mata tertuju ke arah tengah aula, tempat Pangeran Mahkota Maheswara berdiri di atas podium batu bersimbol lambang Bayu Geni. Dengan suara berat dan lantang, ia membuka sambutan:
“Hari ini, di bawah langit yang belum memihak siapa pun, kalian semua berdiri di ambang ujian sejarah. Operasi Lembayung Dipa bukan sekadar misi — ini adalah pertaruhan masa depan. Kalian akan melangkah ke jantung kegelapan, ke dalam hutan Lembayung Dipa di Mandalagiri Utara, tempat kekuatan Bayawira Utara berkumpul di bawah komando Kapten Kandhara Mangkara. Bawalah nama Guild Bayu Geni dengan kehormatan. Bawa pulang cahaya, atau jangan pulang sama sekali.”
Sambutan itu disambut dengan hening yang menggetarkan. Tak ada sorak. Hanya tatapan-tatapan penuh tekad dan bisikan napas dari hati yang siap menantang maut.
Sebelum pasukan berangkat, Maheswara memberi satu peringatan terakhir:
“Bagi yang tidak terlibat dalam misi ini, kalian tidak bebas. Kalian adalah benteng terakhir. Kelompok Bayawira yang berada di Kaki Gunung Mandalgraha bisa saja menyerang saat kekuatan utama kita bergerak. Kita akan bersiap mewaspadai pergerakan mereka, Lindungi markas, lindungi Tirabwana.”
Tepat di belakangnya, Kapten Doyantra Puspaloka dari Divisi Mandala Dhana sudah bersiaga dengan para anggota ekonom dan pengatur distribusi. Mereka kini memikul peran baru: barikade pertahanan dan logistik pertempuran.
Sementara itu, dari kejauhan, kabar telah sampai bahwa batalion kerajaan yang dipimpin oleh Panglima Agung Jayasatya telah lebih dulu bergerak menuju Hutan Lembayung Dipa dengan 800 pasukan, terdiri dari Batalion Trikandha dan Satgas Bayusekti, membelah medan dalam keheningan penuh taktik.
Namun tak hanya pihak terang yang bersiap.
Di sisi gelap hutan Lembayung Dipa, pasukan Kapten Kandhara Mangkara dari Bayawira Utara telah bersiaga. Di tengah kabut dan hutan berduri, mereka membentuk kekuatan 900 prajurit kegelapan, termasuk 16 elite Bayawira, pasukan gabungan dari ras-ras buas dan liar: ras raksasa, jin berkepala binatang, jin balaraksa, jin punggrang, serta kelompok bandit manusia yang dipimpin Arwana, wakil kapten Bayawira Utara.
Dua kekuatan besar kini bergerak menuju benturan yang tak terelakkan.Dan di antara keduanya, sejarah akan ditulis kembali.
Suara genderang perang yang mulai ditabuh dari kejauhan.Langkah kaki para perwakilan divisi mulai bergemuruh keluar aula, menyatu dalam irama yang akan menggema di seluruh tanah Mandalagiri.Operasi Lembayung Dipa telah dimulai.
MARKAS BAYAWIRA UTARA – HUTAN LEMBAYUNG DIPA, SENJA YANG BERKABUT
Kabut merah tipis merayap menyelimuti dataran datar yang dijadikan markas Bayawira Utara di tengah Hutan Lembayung Dipa. Barisan tenda-tenda perang berdiri kokoh meski hanya dari kain tebal dan rangka kayu kuat. Obor hitam dengan api kebiruan menyala di tiap sudut, menciptakan bayangan menari di permukaan tanah lembab. Bau besi, tanah, dan darah samar menggantung di udara.
Di tengah markas, Kapten Kandhara Mangkara duduk di kursi besi kasar bertatahkan kulit raksasa. Tubuhnya besar dan berotot, mengenakan baju perang berlapis baja hitam dengan simbol Bayawira berbentuk mata naga bersilang tombak.
Dua kapak besar menyilang di punggungnya, gagang panjang menjulang tinggi dari bahunya. Rambut hitam panjang terurai di balik helm perang kerajaan tua yang dicuri dari medan perang puluhan tahun lalu. Tatapannya hitam, tajam, dingin.
Dari sisi kanan, muncul sosok tegap bersiluet bayangan obor—Arwana, Wakil Kapten Bayawira Utara, melangkah mantap ke tengah tenda.
Arwana (menunduk hormat):“Laporan, Kapten. Semua pasukan telah siaga. Jumlah total: Sembilan ratus prajurit, termasuk gabungan dari ras raksasa, jin berkepala binatang, jin balaraksa, jin punggrang, dan manusia. Dan Pasukan Undead buatan enam belas orang Bayawira dari kelompokku telah selesai menjalani ritual darah Welinga Dasa.”
Kandhara mengangkat satu alis. Suaranya berat dan dalam, seperti gemuruh batu runtuh.
Kandhara Mangkara:“Hanya enam belas dari seratus yang bertahan?”
Arwana:“Ya, Kapten. Sisanya… ditelan kegelapan Tiraksara tubuhnya meleleh tidak kuat menahan kekuatan kegelapan itu. Tapi keenam belas ini—mereka bukan lagi manusia biasa. Mereka sekarang dikenal sebagai... Taring Hitam Baru. Tubuh mereka tak hanya kebal terhadap sihir cahaya, tapi juga menyatu dengan aura gelap dari Welinga. Mereka lapar pertempuran, dan Abadi.”
Kandhara menghela napas pendek, namun mata hitamnya berkilat puas. Ia berdiri dari kursinya. Tanah di bawahnya sedikit bergetar.
Kandhara Mangkara:“Taring Hitam Baru… seharusnya cukup untuk mendobrak dinding cahaya yang dibawa para ksatria Mandalagiri dan anak-anak Guild Bayu Geni itu.”
Arwana (menambahkan):“Menurut mata-mata kita, Panglima Agung Jayasatya memimpin langsung pasukan kerajaan. 800 orang dari batalion Trikandha dan Satgas Bayusekti. Dan tidak lama, empat kapten Guild Bayu Geni akan menyusul—masing-masing dengan tiga petarung terkuat dari divisinya.”
Kandhara menyeringai tipis. Sebuah senyuman yang lebih mirip luka menganga di wajah kerasnya.
Kandhara Mangkara:“Biarkan Jayasatya merasakan kabut kematian lebih dulu. Tahan dia… Tapi jangan buru-buru. Seret mereka ke rawa. Biar mereka tenggelam bersama harapan mereka sendiri.”
Ia mendekat ke meja kayu lapuk berisi peta kasar wilayah hutan. Dengan jari besar, ia menunjuk area bertanda “Rawa Tiraksara” yang dilingkari tinta merah tua.
Kandhara:“Bawa mereka ke sini. Lembah gelap tempat Welinga Dasa menyembunyikan kutukannya. Biar darah mereka menjadi persembahan selanjutnya.”
Arwana (mengangguk):“Perintah diterima, Kapten.”
Ia berbalik, jubah gelapnya mengepak saat langkah cepatnya menghilang ke kabut. Ia kembali ke garis depan, tempat pasukannya telah berdiri dalam bayang-bayang, siap menyambut pertempuran.
SESUDAH ARWANA PERGI
Kandhara Mangkara menatap langit hutan yang memudar gelap. Kabut semakin tebal. Di kejauhan terdengar raungan hewan yang bukan berasal dari dunia manusia.
Kandhara (gumam rendah):“Alam ini… bukan milik para ksatria. Ini rumah kami. Dan mereka… hanya tamu yang akan kami kubur.”
Ia melangkah ke luar tendanya. Dari balik pepohonan, pasukan raksasa dari Alam Jin Tingkat Pertama, penghuni bayangan—makhluk dengan kulit batu, bertanduk, dan mata merah—berkumpul dalam diam.
Tanpa aba-aba, mereka semua berlutut saat Kandhara lewat.
Kandhara Mangkara, sang manusia raksasa yang menjalin perjanjian dengan makhluk-makhluk dari alam Jin, kini berdiri sebagai ancaman nyata—bukan hanya bagi kerajaan, tapi bagi keseimbangan dunia itu sendiri.
BEBERAPA HARI KEMUDIAN: PERSIAPAN PASUKAN MANDALAGIRI & BAYU GENI
Waktu: Subuh menjelang terang, embun masih menetes di rerumputan padang luas yang berada tak jauh dari tepi hutan Lembayung Dipa. Langit berwarna kelabu kebiruan, dan kabut tipis masih menyelimuti barisan pohon yang tampak menghitam di kejauhan.
PADANG LEMBAYUNG DIPA– MARKAS PASUKAN UTAMA
Umbul-umbul biru muda dengan lambang Naga Tirta berkibar tinggi di atas tiang-tiang logam panjang. Di tengah padang luas, 800 pasukan gabungan Batalion Trikandha dan Satgas Bayu Sekti berdiri dalam barisan rapi. Deru semangat menggema rendah namun mantap—sebuah kekuatan siap bertempur.
Di barisan terdepan, berdiri Panglima Agung Jayasatya, mengenakan zirah baja biru terang bertatahkan ukiran naga mengilap. Wajahnya tenang dan tegas, mata tajam memandang ke arah Utara, ke arah hutan Lembayung Dipa yang tampak seperti menelan cahaya.
Di sampingnya berdiri para perwira tinggi, sementara para kurir, penjaga kudapan, dan penyampai taktik bergerak cepat dengan dokumen dan peralatan.
TENGAH PADANG – TENDA PELINDUNG GUILD BAYU GENI
Di dalam tenda berlapis kulit berlogo Kobaran Api dengan Simbol Angin Melingkar, para Kapten Divisi Bayu Geni tengah mengelilingi meja taktis bundar yang menampilkan model medan 3 dimensi dari Hutan Lembayung Dipa dan posisi musuh.
Keempat Kapten berdiri dalam mantel khas divisi mereka:
Kirana Wismandanta: dengan mata tajam penuh fokus, tubuh kokoh dalam mantel merah bata Divisi Panggrahita Aji.
Tangannya mengepal tenang, menggenggam kekuatan dalam raganya sendiri—Roh Khodam Panembahan Senopati bersemayam dalam dirinya.
Pradipa Karna: berdiri tegap, mantel hijau pekat berkibar pelan. Pedang Dwijanaga tergantung di punggungnya, auranya bagaikan gunung yang sedang menahan amarah. Matanya mengarah ke sektor tenggara, tempat ia dan timnya akan memulai penetrasi.
Kalandra Wisanggeni: diam dan nyaris tanpa suara, mengenakan mantel kelabu keunguan, tatapannya seperti bayangan—gelap namun penuh kalkulasi. Di balik punggungnya, katana hitam yang menjadi sarang Kala Cakra Ranti.
Mahadewa Rakunti: berjubah ungu pekat, tongkat Kalaweda berdiri di sampingnya seolah hidup. Mata mahadewa mengamati peta dengan sorot dingin; suara kelelawar gaib Bayungkara menggema samar di telinganya.
Mereka ditemani oleh 12 anggota terpilih, masing-masing sudah bersiap dalam pakaian tempur Guild mereka—mantel khas, senjata dalam genggaman, dan khodam terikat yang mulai bergetar menyambut aroma perang.
RAPAT TERAKHIR – DI DALAM TENDA TAKTIKAL
Panglima Jayasatya masuk ke dalam tenda, mengangguk kepada empat kapten.
Panglima Jayasatya:"Waktu kita tinggal sedikit. Saat kami menyerbu garis depan Bayawira di sisi selatan hutan, kalian—Bayu Geni—bergerak dalam empat arah, seperti pisau menusuk jantung dari segala sisi."
Pradipa mengangguk mantap.Mahadewa menyahut dengan nada dingin:
Mahadewa Rakunti:"Kami tidak akan gagal, Panglima. Biarkan suara api dan sihir menusuk jantung mereka sebelum mereka sempat berkedip."
PENYUSUNAN FORMASI:
🗡️ Tim Tenggara – Serangan Halimun Terarah
Kapten Pradipa Karna
Bagas Prayoga
Wiryajati Arkamara
Pratiwi Manggala
🗡️ Tim Barat Laut – Serangan Siluman Bayangan
Kapten Kalandra Wisanggeni
Ratri Nindyanari
Brahma Anggacandra
Nandika Sutasmi
🗡️ Tim Timur – Serangan Energi Dalam
Kapten Kirana Wismandanta
Darsa Nagawikrama
Zadran
Madyan Reksadipa
🗡️ Tim Barat – Serangan Sihir dan Api
Kapten Mahadewa Rakunti
Jasana Mandira
Wira Raksadana
Inggrita Maranile
DETIK-DETIK KEBERANGKATAN
Barisan pasukan kerajaan mulai bergerak, pelan namun pasti. Senjata terhunus, barisan menebar dari titik berkumpul menuju perimeter hutan. Suara terompet perang menggema, rendah namun menggigilkan.
Dari sisi kiri, para anggota Bayu Geni telah menanggalkan pelindung suara langkah dan menyusup ke arah masing-masing jalur dengan kecepatan tinggi dan formasi rapi.
Kapten Kirana berbisik pada anggotanya,
"Kita menusuk dalam senyap. Bila angin berhenti berhembus, itulah tanda serangan dimulai."
MENUJU PERTEMPURAN BESAR DI HUTAN LEMBAYUNG DIPA
Kabut hutan mulai bergolak. Awan mulai menghitam.Kegelapan darah Welinga Dasa menanti.Taring-taring Bayawira Utara siap mencabik.
Dan para Penusuk Jantung... telah bergerak.
HUTAN LEMBAYUNG DIPA – POS TERSEMBUNYI BAYAWIRA UTARA
Dari balik rerimbunan akar pohon raksasa dan kabut ungu lembayung yang menyelimuti tanah jin, sesosok pengintai berjubah kabur bersisik perak—memiliki wajah seperti musang bertaring panjang dan mata kuning bersinar—menghentikan langkahnya. Ia memicingkan mata, lalu melolong lirih ke arah sebuah patung batu berkepala ular dua yang tertanam separuh dalam tanah.
Seketika, pola cahaya merah darah melingkar muncul di udara. Itu pertanda.
"Panglima manusia dan pasukannya... telah bergerak. Menuju jantung hutan ini."
Lolong itu diteruskan ke berbagai penjuru lewat bisikan jin gaib. Tak lama kemudian, suara tanduk bayangan bergema—dari cangkang tulang kuda laut hitam. Di dalam perkemahan Bayawira Utara, pasukan kegelapan mulai bergerak.
Dari balik kabut dan pohon-pohon raksasa, para kelompok tempur gabungan mulai membentuk barisan:
Regu Jin Berkepala Binatang: Wajah buas menyerupai serigala, banteng, babi hutan, dan elang, dengan tubuh besar dan tangan bersenjata batu dan logam kasar.
Pasukan Jin Balaraksa (Orc): Kulit hijau kotor, bertubuh besar, memanggul palu dan pedang bengkok, wajah berhiaskan luka-luka perang.
Gerombolan Jin Punggrang (Goblin): Lincah, kecil, bermata merah menyala, dengan belati dan senjata racun.
Ras Manusia Raksasa: Tinggi dua kali manusia biasa, berbaju baja tak sempurna dan kapak besar, mereka meraung menantang.
Pasukan Bayawira Utama: Manusia tangguh bersenjata terlatih, mengenakan jubah gelap berhias lambang ular berkepala dua berwarna merah melingkar di dada mereka.
Dari atas Dahan Pohon Raksasa, Arwana, Wakil Kapten Bayawira Utara, berdiri tegak di atas batu pemujaan.
Jubah kelamnya berkibar tertiup angin perang. Armor ringannya bersinar redup oleh sulaman benang perak—seolah menyalurkan aura sihir gelap dari Tiraksara.
Di tangannya, pedang hitam kebiruan bermata dua tampak ringan, tapi meneteskan aura haus darah. Matanya menyipit penuh strategi.
“Bayu Geni menyebar. Mereka ingin menyusup dan menusuk jantung kita…”
Ia menyeringai.
“Ke enam belas Taring Hitam, bersiap.”
Dari balik pepohonan, 16 elite Bayawira Taring Hitam Baru—pasukan rahasia baru Bayawira—muncul satu per satu. Mereka mengenakan armor ringan berwarna kelam dan bertopeng ular berkepala dua. Tak satu pun mengeluarkan suara. Hanya gestur kepala. Siap. Setia.
“Empat jalur. Empat regu. Tangkap... atau bunuh para penyusup itu sebelum mereka menyentuh akar markas!”
Dalam hitungan detik, keempat regu Taring Hitam menyebar:
Ke tenggara, mengikuti arah tim Pradipa Karna.
Ke barat laut, memburu jejak Kalandra dan timnya.
Ke timur, menghadang Kirana dan para penyerang halimun.
Ke barat, membentuk perimeter untuk menunggu Mahadewa Rakunti.
Arwana bergerak cepat lalu melangkah perlahan ke arah tengah padang rerumputan, tempat peperangan besar akan meletus. Di tangannya, kekuatan kegelapan mulai bangkit. Bayangan hitam menyerupai lidah ular mengalir di sepanjang pedangnya.
Darah Welinga Dasa, makhluk dari rawa Tiraksara, mulai berdenyut di nadinya. Ia tak takut. Ia menunggu satu nama.
“Jayasatya... ayo kita lihat seberapa agung kau sebenarnya.”
LEMBAYUNG DIPA – PADANG PERANG
Kabut membelah.
Deru langkah kaki menggetarkan tanah. Teriakan perang meledak dari kedua sisi. Panah api menyala dari pasukan Mandalagiri. Balaraksa dan Punggrang membalas dengan peluru besi dan tombak gelap. Pedang bertemu kapak. Gigi bertemu baja. Raungan dan pekikan menyatu bagai badai.
Batalion Trikandha & Satgas Bayu Sekti, 800 pasukan kerajaan Mandalagiri, menantang barisan 900 pasukan kegelapan.
Di tengah kekacauan:
Pedang menyayat,
Panah menancap di dada,
Sihir meledak di udara,
Tanah terbelah oleh benturan kekuatan.
Arwana dan Jayasatya saling melangkah ke tengah arena. Tak ada kata. Hanya sorot mata.
Dengan gambaran benturan awal perang besar di Lembayung Dipa. Api, kabut, dan jeritan menggema, sementara di balik pertempuran terbuka... penusuk-penusuk dari Bayu Geni mulai menyelinap lebih dalam menuju jantung kegelapan.
TIM BARAT – SERANGAN SIHIR DAN API
Hutan Lembayung Dipa diterjang badai cahaya dan api. Dari arah barat, Tim Barat — Tim Serangan Sihir dan Api — merangsek maju seperti gelombang panas, menebas dan membakar semak belukar, menghadapi barikade pasukan Bayawira yang mencoba menahan laju mereka.
Tujuan mereka jelas: menghancurkan markas Bayawira Utara dan mengalahkan Kandhara Mangkara — sosok yang kini bersembunyi dalam pusat kegelapan hutan itu.
Barisan depan dipimpin oleh Jasana Mandira, Kapten Mahadewa Rakunti, Wira Raksadana, dan Inggrita Maranile. Aura mereka menyala terang di tengah rerimbun gelap, membakar segala rintangan.
Namun sesaat setelah mereka berhasil menembus garis pertahanan luar dan memasuki hutan yang lebih dalam…
Wuusshhh!Empat bayangan gelap tiba-tiba muncul dari balik kabut hitam — Para Taring Hitam Baru. Tubuh mereka seperti manusia, namun pergerakannya tak berjiwa. Mereka mengenakan armor kelam bertopeng ular berkepala dua. Senjata mereka: pedang hitam yang mengeluarkan lidah bayangan, menjulur seperti ular lapar. Mereka tidak berbicara. Hanya satu tujuan: membunuh.
PERTARUNGAN EMPAT LAWAN EMPAT
Jasana melangkah maju.
“Kalian bukan manusia lagi…”
Pedangnya, Lungguh Darma, menyala dengan api ghaib biru, dan dari balik tubuhnya, bayangan Lembuswana mulai tampak samar di balik percikan aura. Lawannya mengayun cepat, dua kali lebih kuat dari manusia biasa. Jasana menahan dengan langkah cepat, membelah tanah di bawah kaki.
Kapten Mahadewa Rakunti menancapkan tongkat Kalaweda ke tanah.
“Bayungkara... bangkit!”
Dari ujung tengkorak tongkatnya, segerombolan kelelawar ungu gelap melesat, menyelimuti salah satu taring hitam, menghambat geraknya. Sementara Mahadewa merapal mantra dalam bahasa kuno, tanah di sekitar mereka bergelombang seperti bayangan hidup.
Inggrita Maranile menyerang cepat, berputar dengan dua keris pendeknya:
“Asmaragata! Kalamantri!”
Kedua keris hidup itu menari seperti ular, memotong bayangan-bayangan hitam.
Lawannya bergerak tanpa rintihan meski tubuhnya terpotong. Inggrita mundur selangkah, wajahnya tegang.
“Hati-hati! Jiwa Mereka sudah ditelan kegelapan... tak bisa merasa sakit! Satu-satunya cara: lepaskan topeng mereka atau penggal kepala mereka!”
Wira Raksadana mendesak maju.Pedang peraknya menciptakan gelombang angin saat beradu dengan pedang taring hitam.
Suaranya seperti denting dua dunia bertabrakan. Ia mengangguk pelan mendengar seruan Inggrita, dan mulai mengarahkan serangannya lebih presisi ke arah leher musuhnya.
SANG PANGKOMANDAN DIHADANG – ARWANA VS JAYASATYA
Di tempat lain, tepat di tengah padang rerumputan yang mulai bersimbah darah dan api — Panglima Agung Jayasatya, sosok gagah berzirah biru terang bertatahkan naga, sedang menghadapi ancaman yang tak kalah besar.
“Arwana…” gumamnya.
Arwana, wakil kapten Bayawira Utara yang baru, berdiri di hadapannya seperti bayangan kematian. Pedangnya yang hitam kebiruan menyala dengan aura ular.
Wajahnya licik, namun penuh amarah.
“Kau terlalu tua untuk medan perang ini, Jayasatya.”
“Dan kau terlalu muda untuk mengerti kehormatan.”Jawaban Jayasatya tenang, namun matanya menyala.
Arwana menderu murka. Kedua pedang beradu — suara dentingan mereka memekakkan telinga. Arwana menyerang seperti angin hitam, serangan sihir kegelapan dari darah Welinga Dasa keluar dari tubuhnya, seperti ular bayangan yang mengejar Jayasatya dari segala arah.
Namun sang panglima tidak gentar. Harimau Putih, khodam dari pedangnya, muncul sebagai aura bayangan menyelimuti tubuhnya, membalas sihir kegelapan dengan raungan cahaya suci dari Mandalagiri.
Kamera perlahan menyorot dari atas — seluruh Padang Lembayung Dipa telah berubah menjadi ** medan perang raksasa **. Ledakan sihir, semburan api, dan raungan makhluk ghaib terdengar dari segala penjuru.
Pasukan Batalion Trikandha dan Satgas Bayusekti dari Mandalagiri yang berjumlah 800 orang menghadapi pasukan Bayawira Utara sebanyak 900, gabungan dari jin berkepala hewan, balaraksa (orc), punggrang (goblin), ras manusia raksasa, dan manusia terlatih dari bayawira.
Layar perlahan menggelap.Suara terakhir: raungan lembuswana bercampur raungan harimau putih.
Tim Timur – Serangan Energi Dalam
Kabut pekat menyelimuti sisi timur Hutan Lembayung Dipa ketika Tim Timur menerobos masuk dengan langkah cepat dan teratur. Di bawah komando Kapten Kirana Wismandanta, satu-satunya kapten wanita di Guild Bayu Geni, pasukan ini tak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga tenaga dalam dan penguasaan roh dalam tingkat tinggi.
Namun, baru beberapa ratus langkah dari perbatasan hutan, empat sosok mengerikan muncul dari balik kabut. Mereka adalah Taring Hitam Baru, mengenakan armor kelam yang nyaris melebur dengan gelapnya hutan. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng ular berkepala dua. Mereka berjalan nyaris tanpa suara, namun aura kematian menyertai langkah mereka.
“Bersiap,” ujar Kapten Kirana datar, tubuhnya tegap meski aura gelap menyerbu dari segala arah.
Seketika, benturan pertama terjadi. Salah satu taring hitam melesat cepat menebas dari samping, namun Kirana menahan tebasan itu dengan tangan kosong, menciptakan gelombang energi kejut di udara. Ledakan aura spiritual memancar dari tubuhnya, membentuk siluet sang khodam — Panembahan Senopati — seorang leluhur ahli silat berjubah putih dengan postur agung yang menyatu dengan gerakannya. Suara gemuruh tenaga dalam mengguncang tanah di bawah kaki mereka.
Tak jauh dari sana, Darsa Nagawikrama sudah terlibat dalam pertarungan cepat.
Pedang pendek Sahya di tangan kanannya menangkis dan menyerang dalam irama mematikan, sementara tangan kirinya melesatkan senjata lempar rahasia ke titik-titik vital musuh. Namun, taring hitam itu terus bangkit, luka-lukanya menutup dalam hitungan detik, wajah tak berekspresi tetap menatapnya.
“Mereka… seperti mayat hidup yang tak punya jiwa…” desis Darsa sambil melompat ke belakang, mengaktifkan jebakan ledak bayangan yang gagal menghentikan musuhnya.
Di sisi lain, Zadran bertarung dengan gaya kidalnya yang unik. Gerakannya luwes, seperti menari di tengah badai, memainkan pedangnya yang ramping dan tajam bagai gigi serigala. Ia sempat mengiris bahu lawannya dan memukul mundur, tapi segera sadar luka itu tak menghentikan taring hitam yang terus maju.
“Sepertinya… kita harus membakar mereka menjadi abu… atau penggal kepalanya,”
katanya santai, namun matanya awas, tubuhnya bergerak lincah menghindari tebasan yang mendekat.
Madyan Reksadipa, dengan cambuk petir Kundhala Brahmi di tangannya, menjadi badai petir hidup di tengah kegelapan hutan.
Setiap sabetan cambuknya memekik seperti kilat, menyambar tubuh taring hitam yang tetap berdiri bahkan saat tubuh mereka menghitam terbakar.
“Dasar makhluk kegelapan… merepotkan sekali!” geram Madyan. “Kita seperti melawan boneka pembunuh yang cuma tahu satu hal — membunuh!”
Meski serangan tim mereka brutal dan canggih, empat Taring Hitam itu terus bertahan, tanpa suara, tanpa rasa sakit, tanpa takut. Mereka bukan lagi manusia.
Mereka adalah pemburu abadi, digerakkan oleh kekuatan darah Welinga Dasa, ular raksasa dari alam jin Tiraksara yang kini mencemari jiwa mereka sepenuhnya.
Kapten Kirana melayang ke udara dengan satu tendangan memutar dan menghantam lawannya hingga terpental. Di belakangnya, siluet Panembahan Senopati mengikuti geraknya, memberikan lapisan energi spiritual tambahan. Ia menatap para anggota timnya dan berseru lantang:
“Jangan ragu! Mereka tidak bisa ditebas. Hancurkan kepala mereka—atau kalian akan mati di tangan bayangan mereka!”
Aura semakin menggila, dan bentrok antara tenaga dalam, sihir petir, dan gaya bertarung unik dari tiap anggota tim menciptakan pertempuran yang hampir seperti tari kematian di bawah langit Hutan Lembayung Dipa yang semakin menghitam.
Tim Tenggara – Serangan Halimun Terarah
Di kedalaman Hutan Lembayung Dipa, di arah tenggara wilayah perbatasan, Tim Tenggara yang dipimpin Kapten Pradipa Karna mulai memperlambat langkah. Kabut lembut mulai menyelimuti jalur depan mereka, namun aura mencekam terasa semakin dekat.
Tiba-tiba, empat sosok Taring Hitam baru muncul dari balik pepohonan, tubuh mereka mengenakan armor ringan berwarna kelam, wajah tersembunyi di balik topeng ular berkepala dua. Tak satu pun dari mereka mengeluarkan suara, namun hawa pembunuh yang terpancar dari tubuh mereka cukup untuk membuat suhu sekitar menurun.
Kapten Pradipa segera menarik pedang legendarisnya, Dwijanaga, dan memanggil khodamnya—seekor Wyvern bersayap gelap yang muncul dari balik kabut, lalu menyemburkan kabut asam ke arah salah satu Taring Hitam. Sosok itu meleleh... namun, tubuhnya perlahan bersatu kembali. Dari kabut asam yang menguap, makhluk itu melesat ganas ke arah Pradipa.
Dengan satu sabetan Dwijanaga, serangan ditepis. Pradipa mengernyit.
“Mereka bukan makhluk biasa… Jiwa mereka… dikuasai sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini,” gumamnya.
Di sisi lain, Bagas Prayoga dan Wiryajati Arkamara bergerak bersamaan. Bagas menghantam udara dengan pukulan api dari Tapak Maruta, menciptakan gelombang panas yang melesat ke depan, sementara Wiryajati mengangkat tongkat sihirnya, menciptakan bola-bola api kecil yang mengejar dua Taring Hitam secara simultan.
“Kita hanguskan mereka sekarang juga!” seru Bagas.
Ledakan terjadi. Dua dari Taring Hitam tampak terbakar... namun tubuh mereka kembali menyatu dari bayangan hitam seperti kabut pekat, lalu menyerang balasan dengan sihir kegelapan. Bagas dan Wiryajati terpental, tubuh mereka menghantam batang pohon besar di belakang.
Sementara itu, Pratiwi Manggala bergerak lincah seperti angin, menari dengan selendang hijaunya, menangkis serangan musuh sambil mengamati pergerakan.
Matanya menangkap sesuatu—aura hitam yang terkonsentrasi di kepala para Taring Hitam.
“Kapten! Sepertinya kepalanya harus dipenggal dan dipisahkan, atau hancurkan otaknya! Aku melihat aura hitam mengendalikan otak mereka!” serunya keras.
Pradipa, yang tengah berduel dengan salah satu musuh, menyipitkan mata lalu mengangguk cepat.
“Sepertinya benar, Pratiwi! Bagas! Wiryajati! Fokus ke kepala mereka—itu titik lemahnya!”
Bagas bangkit dengan napas berat, sarung tangan besinya berdenyut merah membara.
“Siap, Kapten!”
Wiryajati juga berdiri, tongkatnya bergetar dan mulai mengumpulkan sihir.
“Kali ini akan kubakar langsung otaknya…”
Namun musuh semakin mendesak. Kekuatan kegelapan dari darah ular Welinga Dasa yang mengalir dalam tubuh mereka membuat mereka kebal rasa sakit dan tak mengenal takut. Aura mereka makin tebal, seperti selubung bayangan yang melingkupi jiwa mereka.
Satu Taring Hitam melompat ke arah Bagas, lidah bayangan dari pedangnya melesat seperti cambuk. Bagas memutar tubuh, menangkis, lalu menghantam helm musuh dengan pukulan penuh api. Helm itu retak, tetapi tubuh Taring Hitam terus bergerak meski setengah wajahnya hancur.
Wiryajati mengayunkan tongkatnya.
“Mahagni Samudra!”
Bola api raksasa berputar, membentuk spiral api merah yang menyelimuti tubuhnya, lalu meledak ke arah Taring Hitam yang sedang mendekat. Ledakan itu menghempaskan musuh, namun kembali lagi… bangkit… tak henti.
Tim Pradipa Karna masih bertahan, tapi jelas mereka harus segera menemukan cara pasti menghancurkan otak atau kepala para Taring Hitam itu atau setidaknya melepaskan topeng yang menutupi wajah mereka—karena mereka bukan lagi manusia… tapi alat pembunuh yang digerakkan sihir kegelapan dari Alam Jin Tingkat Pertama.
Hutan Lembayung Dipa, Arah Barat Laut – Kegelapan Pekat, Kabut Tipis Menyapu Tanah
Empat sosok bertopeng ular berkepala dua melayang tenang di antara pepohonan lebat, armor kelam mereka memantulkan cahaya samar yang terpecah oleh dedaunan. Hening. Tak ada suara. Seperti bayangan kematian yang menanti waktu menebas.
Kapten Kalandra Wisanggeni telah lebih dulu mengunci pertarungan dengan salah satu dari mereka. Benturan pedangnya yang ramping dan hitam—katana gagang hitam yang mengikat Khodam—menangkis tebasan bayangan lidah ular dari pedang musuh. Dalam tiap gerakannya, ada kelincahan khas pendekar bayangan: tenang, tajam, dan hampir tak bersuara.
Sekelompok gagak melayang di atasnya, berputar dalam pola mematikan.
"Menarik," desis Kalandra dengan senyum dingin. "Kita tak sedang menghadapi manusia... ini mayat hidup tanpa jiwa. Auranya gelap... sekali."
Tak jauh dari posisi Kalandra, Ratri Nindyanari berdiri kokoh, rambut peraknya menari dalam angin, tongkat sihirnya tertancap membentuk barikade cahaya.
Aura pelindungnya melingkupi Brahma dan Nandika, memantulkan serangan sihir hitam dari dua taring hitam lainnya. Mata Ratri terpejam sesaat, lalu terbuka perlahan—penuh kepedihan.
"Aku mendengar jeritan jiwa mereka... Mereka dulunya manusia. Kini dikendalikan sihir kegelapan dari darah ular... satu-satunya jalan adalah menghancurkan kepala mereka, atau topeng itu—itu sumber ikatan gelapnya."
Nandika melompat mundur, tombak dilemparkannya berkali-kali, masing-masing diselimuti aura angin biru dari Sakalingga, khodam merak mistiknya. Tapi tiap tombak hanya memukul tubuh musuh—tanpa efek berarti. Dari balik punggungnya, Sakalingga membentangkan sayapnya, ekornya bergetar dan menembakkan bulu-bulu sihir angin tajam ke arah musuh. Dentuman aura tercipta saat sihir angin bertabrakan dengan lidah sihir hitam dari pedang musuh.
"Sial... mereka bukan manusia..." gumam Nandika. "Bahkan Sakalingga pun kesulitan!"
Kalandra menangkis satu tebasan mematikan, lalu berteriak, "Nandika! Fokus ke kepala mereka! Atau lepas topengnya! Itu kuncinya!"
Brahma, yang berhadapan dengan lawan tercepat dari empat taring hitam, sudah berkeringat. Dua pedangnya menari ganas, menciptakan kilatan-kilatan api kecil tiap kali berbenturan dengan pedang lawan.
"Kepalanya! Harus dipenggal!" teriaknya sambil menghentak mundur, mengatur nafas.
Sementara itu, Kalandra melompat ke atas dahan besar, menarik napas dalam.
Tangannya membentuk mudra. Suara bisikan gaib terdengar di sekitarnya, lalu ribuan gagak hitam keluar dari kegelapan, memenuhi langit di atas mereka.
"Aku peringatkan... serangan ini tak bisa ditahan lama," gumamnya.
Katana gagang hitamnya bersinar kelam, dan dari ujung bilahnya, aura khodam Kala Cakra Ranti merasuk ke seluruh tubuhnya.
Gagak-gagak itu membentuk formasi, seperti pusaran hitam pekat di atas medan pertempuran, melingkupi pohon-pohon dan menciptakan bayangan besar seperti tirai malam yang menelan cahaya.
"Lepaskan topeng mereka... atau jangan harap kembali hidup," bisik Kalandra sebelum menghilang dalam kabut ilusi yang ia ciptakan.
PADANG PERTEMPURAN TERBUKA, HUTAN LEMBAYUNG DIPĀ (TENGAH HARI)
Langit siang mengabur oleh debu dan asap pertempuran. Tanah berguncang oleh derap kaki ratusan prajurit. Pasukan Kerajaan Mandalagiri yang terdiri dari Batalion Trikandha dan Satgas Bayu Sekti, meski hanya berjumlah 800 orang, telah berhasil memukul mundur garis depan Bayawira Utara hingga ke kedalaman Hutan Lembayung Dipā.
Tubuh-tubuh bergelimpangan di rerumputan merah darah. Raungan para pendekar bercampur dengan jeritan binatang-binatang mistik yang terlibat dalam perang. Pasukan kerajaan tampak lelah namun tetap bertahan, darah membasahi zirah mereka, namun mata mereka tetap menyala oleh semangat juang.
Para ras manusia raksasa, berkulit batu dan bersenjatakan kapak besar, sempat mengguncang barisan depan Satgas Bayu Sekti. Namun gerakan lincah para prajurit kerajaan perlahan melumpuhkan kekuatan brute-force itu satu per satu.
“Majuuuu! Jangan beri mereka waktu tarik napas!!” seru seorang pemimpin regu Satgas Bayu Sekti, mengayunkan pedangnya ke dada manusia raksasa besar.
Namun di sisi lain, beberapa regu dari Batalion Trikandha termakan siasat gerilya. Pasukan Punggrang, makhluk goblin lincah dan cerdik, menarik mereka ke dalam lembah-lembah kelam yang sunyi. Tanpa sadar, puluhan prajurit masuk ke dalam “Rawa Tiraksara”, tempat di mana Welinga Dasa—ular raksasa dari Alam Jin Tingkat 1—menanam kutukannya.
Dalam sekejap, jeritan mereka terdengar dari balik kabut rawa, tubuh-tubuh mereka tenggelam perlahan, seolah ditarik oleh tangan-tangan tak kasat mata. Mereka mati tanpa perlawanan, dimakan rawa hidup yang menyembunyikan sihir kegelapan.
Sementara itu, pasukan jin berkepala burung melesat ke pucuk pohon dan melontarkan panah beracun hitam ke arah prajurit kerajaan. Teriakan kesakitan membahana saat puluhan terkena dan tubuh mereka menggeliat sebelum roboh tak bernyawa.
“BERHENTI!! Itu jebakan! Jangan kejar mereka!” teriak Ketua Regu Barisan Kedua, menyadari tipu muslihat yang memancing pasukan ke zona kematian.
Di atas dahan-dahan tinggi, Panglima Agung Jayasatya, sosok kharismatik dan berpengalaman, bertarung sengit melawan Arwana, Wakil Kapten Bayawira Utara.
Gerakan mereka cepat, akurat, dan mematikan.
Jayasatya menggunakan teknik pedang langit khas Mandalagiri, dan di sisinya, Khodam Harimau Putih mengaum dan menerjang dari balik kabut seperti bayangan maut. Arwana, licik dan lincah, berusaha menggunakan kelengahan Jayasatya, namun Panglima tak mudah dipancing.
“Kau pikir bisa menipu mata seorang yang telah melalui perang besar, Arwana?” desis Jayasatya tajam.
Dua pedang saling berbenturan, percikan api melesat di udara, ranting pohon patah berjatuhan di antara mereka. Di sela pertempuran, Panglima Jayasatya berseru dengan suara menggetarkan:
“JANGAN MASUK LEBIH DALAM! Itu TAKTIK MEREKA! Mereka ingin kita binasa perlahan!”
Perintah itu membuat barisan yang semula mengejar mulai melambat. Mereka menyadari bahwa hutan ini bukan hanya ladang pertempuran, melainkan ranjau hidup yang menjadi senjata Bayawira Utara.
Asap dan kabut mulai menebal, menutupi garis pandang. Jeritan pertempuran mulai mereda, tergantikan oleh kesunyian mengancam. Pasukan Bayawira Utara mundur secara acak, namun jelas bahwa itu bukan kekalahan—melainkan strategi memecah kekuatan lawan.
Bayang-bayang di balik pepohonan menyimpan rahasia gelap. Perang belum selesai, dan lembah lembayung dipa masih menyimpan kutukan dari dalam rawa.
BENTURAN TERAKHIR – PERTEMPURAN DI HUTAN LEMBAYUNG DIPA
Dua sosok mendominasi pusat pertempuran yang mulai terpecah—Panglima Agung Jayasatya dan Arwana, wakil kapten Bayawira Utara. Mereka melesat saling serang dari cabang ke cabang, pedang membelah udara, benturan cahaya dan kegelapan saling bertubrukan.
Suara auman Harimau Putih—khodam Jayasatya—membahana dari balik bahunya, sesekali menerjang ilusi gelap yang diciptakan Arwana dari kekuatan Tiraksara. Namun Arwana terlalu gesit.
Dengan serangan tipuan, ilusi kegelapan, dan semburan energi hitam, ia menyelinap seperti asap di antara pohon-pohon raksasa.
Hingga akhirnya—dua pedang saling berbenturan dalam percikan terakhir.
Keduanya melompat ke belakang secara bersamaan. Jayasatya mendarat tegak dengan tatapan tenang, sementara Arwana mendarat di atas akar pohon menjulang dengan tawa kecil licik.
“Pasukan Bayawira! Masuk ke jantung hutan! Kepung barisan mereka! Buat mereka hilang arah!”
Dengan satu gerakan tangan, barisan Bayawira Utara—para balaraksa, punggrang, jin bersayap burung, dan pendekar kegelapan—menyebar ke segala penjuru, memasuki rerimbunan hutan raksasa. Arwana menghilang dalam bayang-bayang pepohonan.
Jayasatya mengangkat tangan ke atas.
“BERHENTI! Jangan kejar! Ini jebakan!”
Suara panglima agung menggema, dan barisan batalion Trikandha serta Satgas Bayu Sekti yang mulai menyebar langsung mundur dan berkumpul membentuk perimeter pertahanan di tengah medan hutan.
“Pasukan, kita sudah masuk terlalu dalam. Kita berdiri di tanah yang mereka kuasai. Lindungi setiap sisi. Buat formasi bertahan. Jangan bergerak kecuali atas perintah.”
Pasukan kerajaan langsung membentuk lingkaran bertingkat—pengintai dan pemanah di luar, penjaga tombak dan tameng di tengah, serta prajurit utama bersenjata berat di jantung formasi. Para pengendali khodam dan pendekar sihir bertugas menjaga pusat.
Mereka sadar, hutan ini bukan medan biasa. Hutan Lembayung Dipa—rimbun, gelap, dan bagaikan dunia lain. Meskipun hari masih siang, matahari tak menembus kanopi tebal pohon-pohon raksasa. Cahaya hanya datang dari lentera rohani dan ilham khodam mereka sendiri.
Dari kejauhan terdengar suara-suara berbisik, seperti desis ular dan bisikan roh hutan. Taktik Arwana jelas: memecah barisan, menciptakan paranoia, dan melumat satu per satu.
Jayasatya berdiri tenang, tangan memegang gagang pedangnya yang berkilau biru. Harimau Putih khodamnya bergentayangan di sekitar perimeter, siaga penuh.
“Kita tidak akan jadi mangsa dalam hutan ini… Kita akan jadi tombak yang menembus kegelapan mereka.”
pasukan kerajaan dikepung gelap, namun bersinar biru pucat di tengah kegelapan lembayung. Di kejauhan, mata-mata merah dan bayangan tak dikenal mulai menyusun langkah. Gerilya telah dimulai.
Hutan Lembayung Dipa – Kedalaman Jalur Penusuk Jantung | Tim Barat Guild Bayu Geni
Kabut tipis merayap perlahan di antara pepohonan raksasa. Akar menjulur seperti jemari mengintai, dan cahaya matahari benar-benar tak mampu menembus dedaunan gelap yang menggantung seperti tirai raksasa. Sisa panas dari sihir dan percikan api masih terasa di udara—sisa pertarungan panjang sejak pagi melawan keempat Taring Hitam yang seperti tak bisa dikalahkan.
Namun kini...
Mereka telah menghilang. Empat makhluk diam-diam mundur, bayangan tubuh mereka lenyap begitu saja, seolah ditelan kegelapan itu sendiri.
Wira Raksadana (terengah, mengangkat pedangnya ke tanah):"Ke mana mereka pergi...? Dari tadi kita tak berhasil menumbangkan satu pun... dan kini mereka justru menghilang begitu saja?"
Inggrita Maranile (mata menyapu sekeliling, napas berat namun masih siaga):"Bukan kabur. Mereka bergerak mundur... seperti menerima perintah. Ini bukan taktik asal. Sesuatu sedang menunggu kita di depan."
Jasana Mandira (menatap langit hutan gelap, pedang Lungguh Darma digenggam erat, tubuhnya masih bergetar ringan oleh sisa energi khodam):"Aura mereka tidak menghilang sepenuhnya. Aku masih merasakan geliat bayangan. Mereka mundur, tapi belum pergi. Mungkin hanya untuk mengganti strategi... atau... memperlambat kita."
Kapten Mahadewa Rakunti (menanam tongkat Kalaweda ke tanah sambil menutup mata, sekejap kemudian, suara tengkorak kelelawar pada ujung tongkat bergetar halus, suara gaib menyusup):"Bayungkara... tutupi kami."
Angin tiba-tiba berdesir dingin. Ratusan kelelawar berwarna ungu kehitaman keluar dari kegelapan dan membentuk semacam kubah bayangan samar di atas posisi mereka.
Kapten Mahadewa (membuka mata, lalu berbicara tegas namun tenang):"Kita istirahat di sini. Jangan terlalu jauh dari satu sama lain. Energi kalian hampir habis, dan musuh kita tidak seperti makhluk biasa.
Mereka sudah kehilangan sifat manusianya, kini hanya cangkang yang dikendalikan darah Weliga Dasa."
Inggrita (menggenggam gagang keris Asmaragata):"Makhluk-makhluk itu seperti hidup hanya untuk membunuh. Tak bisa disakiti oleh serangan biasa... bahkan ilusi dan sihir penyerapan energi tak membuat mereka gentar."
Wira (membasuh wajah dengan air dari kantung kulitnya, lalu duduk dengan napas berat):"Apa kita terperangkap? Jika mereka menghilang, dan kita tetap masuk ke dalam, bisa jadi... kita sedang dikelilingi."
Jasana (menatap pedang Lungguh Darma-nya, bisik lirih):"Ardhana... Wiratmaja... aku butuh kalian tetap terjaga. Jika mereka muncul kembali, aku tidak akan ragu membakar hutan ini jika perlu."
Kapten Mahadewa (tersenyum tipis):"Tidak perlu membakar hutan. Tapi persiapkan diri untuk kemungkinan itu. Aku telah menanam tiga lapisan sihir pelindung di perimeter sekitar. Siapa pun yang mencoba mendekat, akan terkena pengalihan arah dan ilusi kehampaan."
Jasana (mengangguk, perlahan duduk bersila):"Kita di tengah hutan purba ini... tapi justru keheningan seperti ini yang paling berbahaya."
Inggrita (duduk bersimpuh, wajah tetap tajam menatap sekeliling):"Kalau mereka muncul kembali... aku akan pastikan Asmaragata dan Kalamantri menembus ilusi mereka terlebih dulu. Tidak akan kubiarkan mereka mendekat sejengkal pun."
Wira (berdiri setengah):"Kak Jasana, dan Kak Inggrita. Kalau mereka keluar dari bayangan, kita tetap bertiga sebagai dinding pertama. Biarkan Kapten fokus dengan sihir pelindung. Aku masih bisa bertarung."
Kapten Mahadewa (menancapkan tongkat Kalaweda di tengah kelompok):"Istirahatkan tubuh, tapi tidak pikiran. Ketika Taring Hitam menghilang, bukan berarti mereka mundur. Itu bisa berarti... mereka baru saja memanggil kawanannya."
SFX: Gemerisik pelan dari pepohonan. Tak ada suara burung. Tak ada suara angin. Hanya napas dan denyut nadi.
Namun perlahan, dari atas batang-batang pohon, sepasang mata ungu samar menyala... satu... dua... tiga...
Hutan Lembayung Dipa belum selesai dengan mereka.
Kamera beralih perlahan ke bagian kanopi hutan, memperlihatkan kelelawar Bayungkara beterbangan membentuk perlindungan samar, sementara cahaya dari Kalaweda membentuk garis sihir melingkar yang menyala redup di antara akar-akar pohon raksasa.
HUTAN LEMBAYUNG DIPA, TIM TIMUR – SAAT PARA TARING HITAM MENGHILANG
Empat sosok bertopeng ular berkepala dua yang sejak pagi menghadang kini tiba-tiba perlahan mundur. Tak satu suara pun terdengar dari mereka, hanya bayangan gelap yang menyerupai lidah ular tertinggal ketika mereka lenyap di balik kabut hutan.
Kirana Wismandanta, tubuhnya penuh debu dan peluh, berdiri tegap namun napasnya terengah. "Kenapa mereka... mundur?" gumamnya curiga, matanya menyapu hutan.
Tiba-tiba terdengar deru langkah lincah dan...
"Darsa!" teriak Madyan.
Sosok Darsa mendadak melesat menerobos semak, tubuhnya berubah. Tubuh manusiawinya lenyap tergantikan bayangan siluman kucing hitam keunguan.
Matanya menyala ungu liar, dan di belakangnya membayang samar sosok Aswangga, khodamnya, melesat cepat seperti angin kegelapan mengejar sisa taring hitam yang kabur.
"Darsa! KEMBALI!!" teriak Kirana geram.
Tak dihiraukan. Darsa menghilang dalam kabut dan daun-daun yang beterbangan.
Kirana mengepalkan tinjunya. "Dasar bocah bodoh! Khodammu belum stabil sepenuhnya!" serunya sambil menghentakkan kaki ke tanah. Wajahnya mengeras penuh murka bercampur kekhawatiran.
Zadran dan Madyan mendekat. Nafas mereka masih berat.
Zadran: “Kapten, dia terlalu cepat. Seperti... melesat bersama bayangan.”
Kirana: mengangguk pelan, matanya gelap “Aku tahu. Itu bentuk penuh awal Aswangga. Dan Darsa... dia belum matang untuk menunggangi kekuatan itu.”
Madyan: “Apakah ia bisa kembali sendiri?”
Kirana: “Jika hutan ini tidak berubah menjadi medan buas saat senja turun... mungkin. Tapi kalau malam datang... kita akan kehilangan dia, Makhluk-makhluk Kegelapan akan semakin kuat dan Liar.”
Mereka terdiam beberapa saat. Angin mulai berhembus aneh. Kabut menebal di beberapa sisi.
Zadran mengangkat tangan dan berbicara tenang namun tajam:
Zadran:“Kapten. Izinkan aku sampaikan satu siasat. Kita hanya punya waktu sampai Senja dan sebelum Lembayung Dipa membuka celah gaib di tengah malam. Darsa mengejar empat taring hitam. Itu artinya jejak energi gaib mereka lebih padat dan mengalir searah.
Gunakan cambuk petir Madyan untuk mengaktifkan 'gemuruh resonansi'. Cambuk itu bisa menciptakan gema getaran dari sihir gelap yang tertinggal—jejak mereka akan muncul dalam garis aliran gelap, terlihat dari pantulan uap tanah yang menghitam.
Sementara itu, aku akan memanjat pohon tertinggi. Dari atas, aku bisa membaca pola kabut dan perubahan suhu hawa, karena Aswangga pasti meninggalkan jejak hawa dingin di sekitarnya saat melesat.
Kapten... Anda fokus pada medan, dengan kekuatan tenaga dalam Anda. Jika Anda membuka titik cakra kaki, Anda bisa 'merasakan getaran langkah' yang dilewati Darsa sebelum ia menghilang. Gabungkan itu, kita akan tahu arah perginya. Tapi kita harus mulai sebelum matahari benar-benar tergelincir. Jika tidak, jejaknya akan lenyap, ditelan hutan dan bayang-bayang jin Lembayung.”
Kirana terdiam sejenak, menatap Zadran dengan sorot kagum yang tak terucap.
Kirana: mengangguk tegas“Strategi cemerlang, Zadran. Madyan, siapkan cambukmu. Kita mulai sekarang.”
Madyan: “Siap, Kapten.”
Zadran: menyampirkan pedangnya, lalu mulai mendaki pohon cepat dan lincah seperti serigala“Darsa... bertahanlah. Kami datang menjemputmu... sebelum senja dan malam menjelma kutukan.”
Kirana berdiri di atas akar besar pohon tua, memejamkan mata, mengaktifkan indra tenaga dalamnya. Kilatan biru dari cambuk Madyan menyambar udara, menciptakan getaran sihir yang menyusuri tanah. Di kejauhan, Zadran bersiul tajam, lalu berteriak dari atas pohon:
Zadran (teriak): “Aku lihat jalurnya! Tiga tikungan ke utara, lalu masuk ke lereng kabut di arah tenggara! Ada bekas aura hitam keunguan... itu Aswangga!”
Kirana: “Bergerak cepat! Sebelum Senja dan malam datang hutan ini membuka rahangnya!”
(Mereka Bergerak jangan sampai Senja datang dan Tirai malam mulai menyelimuti dedaunan, dan kabut Lembayung Akan Semakin Pekat dan Energi Kegelapan Semakin Kuat.)