Bayangan Cinta dan Riak Bahaya
Satu bulan telah berlalu sejak nyala terakhir padam di medan tempur Lembayung Dipa. Damai merambat perlahan di tiap sudut kerajaan, meski langit masih menyisakan debu dari nyawa yang gugur dan tanah masih hangat oleh darah yang tertumpah.
Namun, ketenangan itu hanyalah wajah pertama dari badai yang belum usai. Pada malam kemenangan yang sama, di sudut sunyi markas Guild Bayu Geni, kekacauan lain terjadi, Artefak Purba Manik Suraloka, jatuh ke tangan musuh dan yang kembali muncul dari kegelapan: Jagat Arunika, Pemimpin Bayawira Utama. Dengan lenyapnya manik tersebut, kabut ancaman kembali menyelimuti takdir Mandalagiri.
Di sisi lain, kehidupan tak berhenti bergerak. Dari reruntuhan pertempuran, cinta tumbuh diam-diam. Kejutan datang ketika Kapten Kalandra Wisanggeni, pria berwajah dingin yang dikenal sebagai penguasa bayangan, menyatakan lamaran pada sosok yang pernah berdiri di sisi lawan—Inggrita Maranile, mantan Wakil Kapten Bayawira Utara yang kini menjadi sekutu setia Guild Bayu Geni.
Pernikahan mereka digelar beberapa hari kemudian secara sederhana namun sakral di Aula Utama Markas Guild Bayu Geni. Mengikuti adat Mandalagiri, ratusan anggota Guild hadir menyaksikan janji suci yang terucap dengan lembut namun kuat Begitupun Para Kapten Divisi dan Pangeran Mahkota Maheswara. Kalandra, mengenakan pakaian adat kelabu keunguan dengan lambang bayang-bayang di dada, bersumpah di hadapan roh leluhur dan sesama petarung bahwa ia akan melindungi Inggrita dengan segenap jiwa dan raga—hingga ajal menjemput. Sementara itu, Inggrita tampil anggun dalam balutan kain khas pengantin Mandalagiri, rambut hitam keunguan panjangnya disanggul tinggi, menampakkan wajah lembut namun penuh nyala keberanian.
Usai pernikahan, pasangan itu memilih hidup sederhana di kota Tirabwana, tinggal di sebuah rumah sederhana yang hangat. Setiap malam sepulang dari tugasnya di Divisi Bayang-bayang Geni, Kalandra tak lagi tidur di ruang pribadinya yang gelap dan sunyi, melainkan disambut cahaya lentera dan senyum hangat sang istri. Bagi keduanya, rumah itu bukan sekadar tempat tinggal—namun pelindung jiwa yang baru.
Di sisi lain, Jasana Mandira, pahlawan yang mengalahkan Kandhara dan menggugurkan tirai kegelapan Lembayung Dipa, meminta izin untuk memulihkan diri. Dengan luka panjang di tubuhnya—bekas sabetan kapak kegelapan yang masih membakar di kulitnya—ia beralasan akan berobat ke kota pelabuhan Adiyaksa. Namun sebenarnya, Jasana hanya ingin kembali ke pelukan keluarga sejenak. Meski tubuhnya terluka, jiwanya lebih lelah dan merasa janggal.
Kapten Pradipa Karna memahami, dan memberikan restu penuh. “Ia adalah pahlawan yang layak istirahat,” ucapnya.
Sementara itu, benih cinta lain juga mulai tumbuh di antara dua muda-mudi Guild—Darsa Nagawikrama dan Pratiwi Manggala.
Hubungan mereka semakin erat, namun Pratiwi masih menyimpan keraguan. Ia merasa tidak sepadan dengan darah bangsawan yang mengalir dalam diri Darsa. Tapi Darsa, dengan tenang menggenggam tangannya dan berkata,"Darah bisa mengalir, tapi hatiku tinggal di sini, bersamamu."
Baginya, status dan garis keturunan telah lama ia tinggalkan saat memilih jalan pejuang dalam Guild Bayu Geni. Kini, ia bukan lagi pewaris rumah Nagawikrama—melainkan penjaga masa depan bersama Pratiwi.
Di bawah langit Tirabwana yang mulai merekah oleh musim baru, cinta dan luka, harapan dan ancaman berjalan beriringan.
Ada banyak hal yang belum selesai, banyak tanya yang masih menggantung. Namun untuk saat ini, di sela keheningan yang rapuh, cinta menjadi cahaya kecil yang menuntun jalan mereka.
_“Jika gelap tak dapat kuusir,biarlah cintamu jadi pelita.Jika luka tak sanggup sembuh,biarlah tanganmu yang menutupnya.
Dalam senyap dan perang,aku akan berdiri di sisimu,bukan karena tak takut,tapi karena cintaku lebih besar dari ketakutanku.”_
Bab baru pun dimulai… bayangan musuh semakin dekat, tapi di dalam hati para pendekar, api harapan mulai menyala kembali.
Senja Pulangnya Sang Bayangan
Langit senja menari lembut di atas lautan. Mentari menggantung rendah, menyiramkan cahaya jingga keemasan ke permukaan air yang berkilau, sementara burung-burung laut berputar di atas perahu nelayan yang mulai kembali ke dermaga.
Angin asin mengantar aroma khas pesisir, namun di ujung pulau kecil yang sunyi, terdapat bangunan megah namun bersahaja—kediaman bangsawan bergaya Tribe Dra’Vetha, tersembunyi di balik bunga-bunga liar dan pepohonan berbunga keunguan yang hanya tumbuh di tanah para penyimpan rahasia.
Di halaman rumah itu, Tuan Jesse Dra’Vetha—yang dikenal sebagai Jasana Mandira—akhirnya pulang.
Langkah kakinya menapak tanah yang sekarang menjadi satu-satunya kampung halamannya dengan irama pelan. Rambut panjangnya diikat rapi, pakaian santainya tetap menunjukkan ciri bangsawan dari barat jauh, dengan lambang sabit merah tergigit dan kelelawar bersayap lebar yang tersemat di dada. Di pelataran rumah, para pelayan yang mengenalnya segera menyambut dengan penuh hormat.
“Tuan Jesse telah kembali!” seru Morzhan, jin bertubuh besar berkulit pucat, sambil memberi hormat dalam gaya khas pelindung Dra’Vetha.
“Selamat datang, tuanku…” ucap Velyra, jin perempuan berambut hitam menjuntai dan mata ungu redup, senyum halusnya menghiasi wajah pucatnya. Ia menunduk dengan anggun.
Namun yang paling menyentuh adalah pemandangan di beranda. Nyai Lutfayana, bangsawan darah merah ketujuh Kalathraya, tengah menggendong Ishvara Elvardhra, putri kecilnya yang baru berusia dua bulan. Di sampingnya berdiri Cathrine van der Lindt, istri pertamanya, dan Raviendra, putra sulungnya, yang kini sudah bisa berjalan kecil meski bicara masih belum fasih.
“Ayah!” seru Raviendra dengan nada khas anak kecil, lari dengan tertatih, membuka kedua tangannya.
Jasana menunduk, memeluk anaknya erat—kemudian mengangkat Ishvara dari gendongan ibunya dan mengecup keningnya lembut.
“Maafkan Ayah, Ravi… karena tak bisa hadir di hari ulang tahunmu,” katanya sambil mengeluarkan sebuah kalung kecil dari kantongnya, terbuat dari zamrud hijau, berbentuk seperti kota miniatur. “Ini hadiahku untukmu… penjaga kecil kota Ayah.”
Raviendra mengangguk dengan mata berbinar. “T...Tima...ka...eih...”
Suara tawanya yang belum sempurna menghangatkan suasana. Jasana kemudian memeluk Cathrine, lalu Lutfayana. Suasana damai itu seolah menunda beban yang ia pikul selama ini.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.
Tatapan Lutfayana berubah tajam saat ia memperhatikan dada suaminya. Dengan lembut namun sigap, ia menyerahkan Ishvara pada Velyra, lalu menyingkap pakaian bagian atas Jasana. Telapak tangannya menyentuh bekas luka panjang yang membentang dari dada kanan hingga perut kiri. Luka itu sudah mengering dan terlihat sembuh… tapi kulit di sekitarnya tetap pucat kebiruan, dan suhu tubuhnya terasa dingin menusuk.
“Ini bukan luka biasa…” gumam Lutfayana, sorot matanya berubah khawatir.
“Ini...kutukan. Kutukan dari alam Jin Tiraksara.”
Jasana menahan napas sejenak. Ia memang sering merasakan nyeri menusuk di malam hari, namun ia tak ingin membuat siapa pun khawatir. “Aku pikir hanya luka dalam biasa...”
“Tidak. Ini luka yang menolak sembuh karena ditingkahi roh asing dari dimensi lain,” ujar Lutfayana mantap. “Kalau tidak segera ditangani, kekuatanmu bisa terkikis perlahan. Bahkan roh-roh pengikatmu bisa ikut terganggu…”
Tanpa menunggu lebih lama, Lutfayana memberi isyarat. Morzhan dan dua pelayan lelaki segera mendekat dan dengan hati-hati membawa Tuan Jesse ke ruang dalam untuk perawatan. Cathrine, meski khawatir, tetap tenang dan menghampiri Lutfayana.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Cathrine lembut.
Lutfayana memandang ke kejauhan. “Aku akan memanggil Tabib Kalathraya. Satu-satunya yang bisa menetralkan luka seperti ini adalah teknologi sihir darah bangsa kami—dari alam asalku. Kita harus melakukannya segera… sebelum roh kegelapan dari Tiraksara menyerap sepenuhnya Jiwa Jesse dan energi Wiratmaja dan Ardhana dari dalam tubuhnya.”
Cathrine mengangguk perlahan. “Kalau begitu… aku akan menjaga Raviendra dan Ishvara. Jangan biarkan Jesse terlambat ditangani…”
Lutfayana membalas dengan senyum samar. “Dia terlalu penting… bagi kami semua.”
Senja pun turun perlahan, menelan langit dan cahaya, namun di halaman rumah bangsawan itu, angin berbisik pelan di antara bunga-bunga eksotis dari tanah Kalathraya. Bunga-bunga berkelopak lembut dan berwarna ungu darah itu bermekaran, seolah tahu bahwa pemilik rumah mereka kini sedang bertarung kembali—bukan dengan senjata di tangan, tapi dengan racun kutukan yang bersemayam di tubuhnya.
Dan langit pun berganti warna, dari jingga menjadi ungu tua.
Jiwa yang Tertinggal di Tiraksara
Keesokan Harinya...
Lokasi: Ruang Perawatan Rahasia Kediaman Dra’Vetha – Bawah Tanah Pulau Nelayan Bagian Selatan
Waktu: Malam hari, tak lama setelah senja
Kilau biru keperakan dari sihir Kalathraya memantul tenang dari dinding batu hitam, menerangi tubuh Tuan Jesse Dra’Vetha yang terbaring di ranjang batu berlapis kristal darah. Di sekelilingnya, alat-alat sihir rumit dari dimensi jin mendesis pelan, menyalurkan ramuan energi dan pelindung ruhani. Napasnya berat, pucat di wajahnya seperti dibungkus kabut tipis. Namun luka di dadanya... bukan luka biasa.
Di sampingnya berdiri Tabib Kalathraya, makhluk jin tua bermata biru samar dan kulitnya seputih tulang malam, mengenakan jubah panjang bersulamkan simbol darah dan jiwa. Ia baru saja menyelesaikan pemeriksaan mendalam terhadap tubuh Jesse yang tampak tak berdaya.
“Dia telah kehilangan separuh jiwanya…” ucapnya pelan namun menggetarkan udara.
“Luka itu memang sembuh secara fisik. Tapi Kapak Kegelapan Kandhara Mangkara telah menyerap jiwanya… perlahan, menghisap kekuatan dan keberadaan batinnya ke dalam Alam Jin Tiraksara.”
Nyai Lutfayana menahan napas, mata merah darahnya membara, menyelidik setiap kata.
“Bisakah dia diselamatkan?” tanyanya lantang, namun suaranya bergetar.
“Satu-satunya cara adalah menyusuri jalan menuju Alam Jin Tiraksara dan membebaskan separuh jiwanya yang terperangkap di sana. Tanpa itu… tubuh ini hanya akan menjadi wadah kosong. Dan dua roh penjaganya… Wiratmaja dan Ardhana... mereka juga ikut terseret perlahan ke dalam dimensi gelap itu.”
Di balik tabir kristal pelindung, tampak bayangan samar dua makhluk khodam yang biasa menyatu dengan Jesse—menghilang dari aura tubuhnya. Kekosongan mereka terasa seperti lubang hitam yang mengisap segala harapan.
Tabib menambahkan, “Aku hanya bisa meredam rasa sakit dan memperlambat laju kehancuran jiwanya dengan ramuan dan sihir pelindung. Tapi waktumu tidak panjang, Nyai…”
Cathrine, yang berdiri di dekat tempat tidur Jesse dengan Ishvara dalam pelukan dan Raviendra menggenggam ujung jubahnya, menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran.
“Aku ingin ikut…” bisiknya lirih, “Tapi aku tahu kekuatanmu lebih cocok untuk menyusuri lorong-lorong jiwa di dunia jin. Aku akan menjaga mereka,” ia menoleh ke bayi perempuan dan anak sulungnya, “Dan menjaga harapanmu.”
Lutfayana menyentuh bahu Cathrine dan tersenyum lembut, “Jiwaku tidak akan tenang jika aku hanya berdiri menatapnya sekarat. Aku akan membawanya kembali, dengan atau tanpa diriku kembali.”
Lalu ia memberi perintah kepada Morzhan, pelayan utama dan penjaga antar-dimensi.
KUIL SELATAN BAWAH TANAH – PINTU KE ALAM JIN TIRAKSARA
Di bawah pondasi rumah bangsawan Dra’Vetha, tersembunyi kuil tua yang hanya bisa dibuka dengan artefak Kunci Dimensi Kalathraya—benda sepanjang lengan yang berkilau perak keemasan.
Morzhan meletakkan artefak itu di atas altar hitam dengan simbol sabit tergigit dan siluet kelelawar. Cahaya merah mengalir, membentuk lingkaran sihir berdenting, dan dari dalam altar, terbuka lorong pusaran energi yang memutar dan menarik napas kehidupan sekitarnya.
Lutfayana menatap ke dalam pusaran gelap itu.
“Alam Jin Tingkat Pertama Tiraksara... tempat roh dikurung, dan kutukan menjadi tubuh.”
Tanpa ragu, ia menghunus Silvatira, pedang darah miliknya, dan mengangguk pada Morzhan.
“Kita masuk. Ikuti jejak jiwanya.”
Dan dalam sekejap—mereka berdua terserap ke dalam portal, seperti ditelan bayangan langit.
KEMBALI KE KAMAR PERAWATAN JASANA/JESSE
Kembali di kamar bawah tanah yang tenang. Cahaya sihir perlahan redup. Tubuh Jesse tetap tak bergerak, matanya terpejam, wajahnya pucat. Namun di sekelilingnya, cahaya pelindung dari Kalathraya masih menyala redup, menjaga sisa jiwanya dari kehancuran total.
Velyra berdiri dalam diam, bersama Cathrine yang kini memeluk kedua anaknya.
Dalam batin mereka, satu doa bergema:
“Kembalilah... Jesse... Pulanglah sebelum bayangan menjadi takdir...”
Scene berakhir dengan fokus pada lambang Tribe Dra’Vetha yang terukir di dinding batu—bulan sabit merah tergigit dan siluet kelelawar bersayap… perlahan bercahaya merah tua.
Tiga Sahabat, Satu Misi Rahasia
Keesokan Harinya...
Lokasi: Markas Guild Bayu Geni – Ruang Pertemuan Tertutup Divisi Raka Lelana
Waktu: Malam Hari, Beberapa Hari Setelah Perang Lembayung Dipa
Suasana ruangan remang, diterangi cahaya lentera gantung. Dinding batu tua berhiaskan peta dunia dan simbol naga masih menyimpan keheningan dari perang terakhir. Di tengah meja bundar dari kayu jati, tampak tiga sosok muda duduk serius: Bagas Prayoga, Nandika Sutasmi, dan Kirta Wangsaputra.
Di hadapan mereka berdiri Kapten Pradipa Karna, sosok gagah berpedang Dwijanaga, menatap mereka satu-satu dengan sorot mata penuh kekhawatiran yang tersembunyi di balik ketegasan khas seorang Kapten.
“Kalian bertiga adalah sahabat terdekat Jasana,” ucapnya pelan namun dalam.
“Dan aku tahu... ada sesuatu yang disembunyikannya sejak kembali dari alam Jin Kalathraya awal Tahun lalu. Sesuatu yang bahkan dia sendiri belum bisa kendalikan.”
Ketiganya terdiam. Hanya suara desiran angin dari ventilasi bawah tanah yang terdengar samar.
“Selama satu bulan terakhir, aku mengamati luka di dadanya... luka itu bukan luka biasa. Bukan luka dunia ini. Dia menyembunyikan rasa sakitnya—bahkan dari kalian. Dan aku... sebagai yang pernah bertarung bersamanya, tidak bisa diam saja.”
Nandika menggenggam erat tombak panjang di sisinya. “Kau ingin kami... mencarinya?”
Pradipa mengangguk. “Dia telah pergi diam-diam ke Kota Pelabuhan Adiyaksa dengan alasan pengobatan. Kota itu pusat dagang, bukan tempat penyembuhan... dan itu yang membuatku semakin curiga. Aku butuh kalian untuk menyusulnya—bukan sebagai prajurit Guild. Tapi sebagai sahabat. Jika ada yang bisa menembus lapisan rahasianya... itu kalian.”
Kirta—yang baru pulih dari luka parah—menatap Pradipa penuh tekad. Meski dadanya masih terasa sesak saat menarik napas, ia tak ingin melewatkan ini.
“Setelah pertarungan terakhir melawan Lodra, Teksaka, dan Ratri Andini... aku hampir mati. Tapi aku masih di sini. Jika itu bisa membawaku lebih dekat pada kebenaran sahabatku... maka anggap aku siap.”
Bagas, yang sejak tadi diam, mengepalkan tangan. Sarung tangan besi Tapak Maruta tampak berdenyut perlahan, pancarkan semburat merah membara.
“Aku bisa rasakan ada sesuatu yang mengganggunya... saat kami latihan minggu lalu, auranya tidak stabil. Dia seperti... kehilangan pijakan. Aku ikut.”
Kapten Pradipa memberi satu gulungan kertas. Di dalamnya terdapat peta jalur rahasia dan lokasi terakhir tempat Jasana—mendaftarkan keberadaannya.
“Ini misi lintas divisi. Tidak tercatat. Kalian akan bergerak diam-diam. Bila ada yang bertanya... kalian sedang dalam perjalanan studi lapangan untuk Divisi Raka Lelana.”
PAGI HARI, DEPAN GERBANG GUILD BAYU GENI
Mentari pagi menyinari tubuh ketiganya. Kirta memasang sabuk panahnya, Nandika memeriksa sarung tombaknya, dan Bagas menepuk dadanya sendiri, menenangkan khodamnya.
Nandika menoleh, “Kenapa Kota Pelabuhan Adiyaksa ya? Bukan Tirabwana? Bukankah Tirabwana lebih terkenal sebagai tempat pengobatan dengan tabib sihir kerajaan?”
Kirta menggeleng pelan. “Entah. Tapi aku yakin... jawabannya ada di sana.”
Bagas tersenyum kecil, namun pandangannya tajam ke kejauhan. “Kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu... berarti dia sedang berperang. Dan kita—akan datang sebagai tamengnya.”
Ketiganya menaiki kuda masing-masing. Pintu gerbang dibuka. Di bawah langit biru terang, ketiganya melesat keluar dari guild dengan kecepatan penuh, meninggalkan hiruk pikuk ibukota dan membawa misi diam-diam penuh misteri menuju Kota Pelabuhan Adiyaksa.
SCENE PENUTUP: PRADIPA DI BALKON GUILD
Kapten Pradipa berdiri di balkon atas markas, melihat ke arah ketiganya yang menghilang di kejauhan. Tangannya menggenggam sarung Dwijanaga, dan ia berbisik:
“Jagalah dia... Jasana bukan hanya pahlawan. Ia adalah jantung Guild ini. Dan jika jantung itu mulai membeku... kita semua akan kehilangan denyutnya.”
Narasi Fade Out:Di balik senyumnya yang teduh, Jasana menyimpan luka dari kegelapan yang tak bisa dilihat mata manusia. Tapi takdir tidak membiarkannya menanggung semua sendiri... karena di bayang-bayang, para sahabat sejatinya tengah mengejar cahaya yang tertinggal.
Perjalanan Menuju Kota Pelabuhan Adiyaksa
Hari ke-1 – Senja Hari | Desa Persinggahan: Desa Wanaseta(Wilayah Barat Daya Mandalagiri)
Desa Wanaseta, sebuah desa kecil yang terletak di perbukitan rendah Mandalagiri barat daya, diselimuti sinar jingga senja saat ketiga pengendara kuda tiba. Asap tipis dari dapur-dapur rumah kayu mengepul, aroma kayu bakar bercampur wangi bumbu masakan desa. Di kejauhan, terlihat hamparan sawah kecil yang menguning dan anak-anak desa berlari mengejar ayam.
Bagas, Nandika, dan Kirta memutuskan beristirahat semalam di desa tersebut sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kota Pelabuhan Adiyaksa esok pagi.
Mereka menginap di Pondokan Sri Layung, sebuah penginapan sederhana namun bersih, milik pasangan tua yang ramah.
Hari ke-2 – Malam Hari | Kota Pelabuhan Adiyaksa
Pemandangan kota pelabuhan Adiyaksa sangat kontras dengan desa-desa Mandalagiri: ramai, gemerlap, dan dipenuhi pelaut serta saudagar dari negeri-negeri jauh. Bangunan berarsitektur campuran lokal dan asing berdiri megah di tepian laut.
Cahaya lentera dan obor berkilauan di sepanjang jalanan berbatu.
Ketiganya memesan kamar di Penginapan Laut Kencana, sebuah penginapan tiga lantai yang terletak di jantung distrik tengah kota. Di lantai pertama, terdapat rumah makan terbuka yang menghadap ke jalan, dengan meja-meja kayu penuh pengunjung dari berbagai penjuru negeri.
Tempat Makan Penginapan – Malam Hari
Bagas, Nandika, dan Kirta duduk di meja sudut, menyantap ikan bakar saus rempah, nasi pandan, dan sup kelapa hangat.
Mereka tampak lelah, tapi masih waspada. Saat mereka asyik menikmati makan malam, percakapan dari dua pria paruh baya di meja sebelah terdengar samar.
“Kau tahu, Pulau Nelayan itu sekarang bukan lagi tempat para pelaut nyangkut. Sejak diambil alih perusahaan Dra'Vetha, tempat itu berubah total…”
“Benar… aku bahkan sempat antar barang ke sana dua bulan lalu. Distrik baratnya dipenuhi paviliun-paviliun mewah. Ada pasar besar di sekitarannya, di Utara tambak udang, bahkan perkebunan kelapa dan rempah di timur…”
“Tapi bagian selatannya… ah. Itu yang menarik. Tempat pribadi sang bangsawan Dra'Vetha. Katanya hanya orang penting yang bisa masuk. Konon rumahnya... seperti istana kecil.”
Kirta menatap sekilas ke arah mereka, tapi segera kembali menunduk ke mangkuknya. Bagas mencelupkan nasi ke dalam kuah sup, tanpa komentar. Nandika hanya menyeringai tipis.
“Mereka bilang dulunya itu pulau mati… dan sekarang ada enam ratus pekerja hidup dari situ,” lanjut si pria.
“Bangsawan asing itu… pintar. Walau bukan dari Mandalagiri, dia tahu cara membuat rakyat menghormatinya.”
“Kau tahu nama bangsawan itu?” tanya yang satunya.
“Hm… Tuan Jesse Dra’Vetha. Nama yang tak pernah muncul sebelumnya. Tapi kekayaannya mengalir seperti air laut di pelabuhan ini.”
Ketiganya menahan reaksi. Nama itu asing bagi mereka, namun membekas.
Kamar Penginapan – Setelah Makan
Mereka kembali ke lantai atas. Nandika mengambil kamar tunggal, sementara Kirta dan Bagas berbagi kamar. Suasana malam mulai sunyi, hanya suara debur ombak dari kejauhan yang mengiringi malam mereka.
Di balkon kamar, Kirta membuka jendela. Udara malam lembut menyapa wajahnya. Udara tropis dari pantai bercampur hawa pegunungan Mandalagiri—sejuk, menyegarkan, dan membawa firasat samar.
Dari bawah sana, suara pengamen jalanan menyanyikan lagu pelaut. Sementara itu, jauh di balik kelam malam, Pulau Nelayan yang dibicarakan tadi berdiri dalam keheningan, menyembunyikan satu nama yang seharusnya sudah dikenali: Jasana, atau kini disebut Jesse Dra’Vetha.
Narasi Penutup:
Tanpa mereka sadari, perjalanan mereka bukan hanya untuk menemukan sahabat lama… tapi juga mengungkap sosok baru yang telah menjelma menjadi bagian dari dunia yang tak lagi sama. Pulau Nelayan bukan sekadar tanah dagang… ia adalah panggung takdir yang menanti mereka dengan rahasia yang mendalam, di balik siluet kelelawar dan bulan sabit merah tergigit.
Kota Pelabuhan Adiyaksa – Pagi Hari
Langit kota Adiyaksa bersih dari awan, dengan angin laut meniupkan aroma asin dan riuh pelabuhan menggema hingga ke jantung kota. Bagas, Nandika, dan Kirta berdiri di tengah hiruk-pikuk pasar terbuka, wajah-wajah mereka menunjukkan lelah yang mulai merayap. Sejak kemarin mereka sudah menyusuri sudut-sudut kota: balai-balai pengobatan, kios-kios tabib, hingga pusat penyembuhan tradisional. Tapi… tak ada jejak sahabat mereka, Jasana.
“Seakan dia menghilang begitu saja,” gumam Kirta, matanya mengamati sekeliling.“Atau sengaja menghilang...” balas Nandika pelan.“Tapi kenapa ke Adiyaksa?” tanya Bagas sambil menyeka peluh, “Kota ini bukan tempat penyembuhan… ini tempat dagang.”
Di tengah keheningan itu, Nandika tiba-tiba mengingat percakapan dua pria semalam.
“Pulau Nelayan… perusahaan dagang Dra’Vetha... Bangsawan asing...”
Ia pun menyampaikan ingatan itu, dan ketiganya sepakat: mereka harus menyelidiki perusahaan tersebut.
Mungkin… hanya mungkin… Jasana terlibat lebih jauh dari pada yang mereka kira.
Distrik Niaga – Kantor Dagang Dra’Vetha
Mereka akhirnya tiba di jantung distrik niaga. Jalanan lebar berlapis batu, dihiasi bendera dagang dari berbagai penjuru dunia. Di tengahnya, berdiri megah bangunan kantor Perusahaan Dagang Dra’Vetha.
Arsitekturnya mencolok: perpaduan Khas Kota Pelabuhan Adiyaksa putih mengilap dan kaca biru yang menampilkan nuansa asing.
Di atas gerbang utama, bendera Dra’Vetha berkibar—bulan sabit merah tergigit, dengan siluet kelelawar bersayap lebar di tengahnya.
Tak seperti kota Tirabwana yang penuh aturan dan hirarki darah murni, Adiyaksa adalah kota pelabuhan kosmopolitan, rumah bagi saudagar dari Kerajaan Angin, perajin dari padang utara, hingga bangsa berkulit cerah dari luar Mandalagiri. Semua berbaur—baik yang dari darah campuran, kaum asing, maupun manusia Mandalagiri sendiri. Kota ini adalah anarki yang teratur, tempat perdagangan menjadi hukum tertinggi.
Penerimaan Tamu – Kantor Dra’Vetha
Penjaga gerbang kantor Dra’Vetha menghentikan mereka, namun Nandika maju dan menunjukkan tanda pengenal Guild Bayu Geni. Kirta dan Bagas mengikuti.
“Kami dari Guild Bayu Geni, datang untuk mencari salah satu anggota kami... kemungkinan pernah bekerja sama dengan perusahaan ini,” ucap Nandika dengan tenang namun tegas.
Mendengar nama Bayu Geni, sang penjaga tampak menegang. Ia memberi hormat, lalu bergegas masuk ke dalam.
“Silakan masuk, Yang Mulia. Kami akan antarkan kalian ke ruang pertemuan VIP dan segera memberi tahu Nyonya Besar…”
Ruang VIP Dra’Vetha
Mereka memasuki ruangan yang tidak mereka sangka: langit-langit tinggi bertatahkan ukiran perak, jendela-jendela kaca patri menggambarkan peta dagang dunia, dan aroma bunga langka memenuhi udara.
Sofa empuk, meja kayu hitam mengkilap, dan dinding dihiasi lukisan sang Tuan Besar—siluet pria bertopi tinggi yang wajahnya samar dalam bayangan. Di bawahnya tertulis:"Jesse Dra'Vetha – Penguasa Pulau Nelayan"
Ketiganya bertukar pandang. Nama itu… tidak ada dalam daftar pengusaha Mandalagiri. Tapi terasa… tidak asing.
Beberapa menit berlalu hingga akhirnya… suara langkah tumit tinggi terdengar dari lorong marmer.
Seorang wanita masuk. Rambut putih keperakan tergerai, mata ungu berkilau, tubuh ramping dalam gaun bangsawan hitam-ungu khas Dra’Vetha. Di dadanya, tersemat lambang kelelawar bulan sabit merah.
“Selamat datang, anggota Guild Bayu Geni.” ucapnya, dengan senyum anggun yang… menyembunyikan kekuatan.
Bagas, Nandika, dan Kirta terdiam.
Sosok wanita ini tidak asing…Terlalu akrab untuk disebut asing…Namun mereka tak bisa langsung menebak dari mana.
“Nama saya… Cathrine van der Lindt. Pimpinan Perdagangan Dra’Vetha.”
SCENE DITUTUP dengan tatapan kaget ketiganya.
Narasi Penutup:
Di balik wajah cantik dan senyum diplomatis, tersembunyi nama lama… Rinjana Nirnawa, sang bayangan yang dikira gugur. Di antara meja-meja dagang dan laporan keuntungan, tersembunyi rahasia terdalam—tentang cinta, pengorbanan, dan sebuah nama yang kini disembunyikan: Jasana.
Pulau Nelayan adalah panggung rahasia. Dan panggung itu… telah siap menyambut mereka.
Rahasia Cathrine dan Bayangan
Jesse
Lokasi: Ruang VIP Kantor Dagang Dra’Vetha, Distrik Niaga – Kota Pelabuhan Adiyaksa
Suasana di dalam ruangan begitu sunyi hingga detak jarum jam di dinding terdengar nyaring. Nandika, Bagas, dan Kirta masih duduk dengan penuh tanda tanya. Tatapan mereka tertuju pada wanita berambut perak di hadapan mereka—Cathrine van der Lindt, sosok elegan dan memesona, tapi kini… mulai mengurai kenyataan yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang masa lalu.
“Aku tahu… kalian pasti terkejut,” ucap Cathrine lirih, jemarinya menyentuh permukaan cangkir teh di depannya. “Tapi kalian berhak tahu… tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Jasana—atau seperti yang kalian kenal, Jesse.”
Ketiganya hanya menatap, menunggu cerita itu mengalir.
Cathrine mulai berkisah…
“Tiga tahun lalu, aku bukanlah bangsawan Dra’Vetha… aku masih Rinjana Nirnawa, Wakil Kapten Bayawira Selatan.
Saat itu aku sedang menjadi buronan. Jasana dan Darsa diutus mengejarku, dan akhirnya mereka berhasil menemukan jejakku di hutan Hargagiri, markas rahasia Bayawira Selatan.
Tapi Darsa… dia meledak. Marah. Tanpa aba-aba, dia mengayunkan pedangnya untuk memenggalku.
Namun Jasana menahan pedangnya. Mereka berdua beradu argumen—keras, tajam. Jasana berkata, ‘Kita menangkap, bukan membunuh!’ dan Darsa… masih terbakar oleh dendam.”
Wajah Cathrine menegang, suaranya sedikit bergetar.
“Dan saat itulah, atasanku… Kapten Resi Wighna Laksa, meluncurkan sihir terlarang—Teleportasi Acak Kalathraya. Tujuannya sederhana: lempar mereka ke tempat tak dikenal. Tapi…”
Ia memejamkan mata.
“Darsa berhasil menghindar… tapi Jasana tidak. Dan aku… dengan refleks melompat untuk menyelamatkannya.”
“Kami berdua… terlempar ke Alam Jin Kalathraya.”
Suasana ruang menjadi lebih pekat.
“Kalathraya bukanlah neraka… tapi juga bukan surga. Dunia jin itu indah, damai, tapi dipenuhi kebencian terhadap manusia.
Kami harus menyamar. Kami berkah sihir Menara Kristal Hitam di Alam Jin Kalathraya, lalu Kami bertransformasi agar tubuh kami menyerupai mereka.”
“Kami hidup dalam persembunyian… berpindah-pindah desa, hingga akhirnya tiba di sebuah tempat yang menerima kami, desa Aetheraya.
Di sanalah, untuk pertama kalinya… kami merasa hidup seperti manusia biasap, walau dalam wujud Jin.”
“Jasana mulai bekerja di Guild lokal bernama Sanggar Lumirya, seperti biasanya… ia tetap berlatih pedang ke mana pun ia pergi.
Dan aku… mulai jatuh. Tidak hanya karena aku berutang nyawa… tapi karena aku mengenal hatinya yang sejati. Sederhana, keras kepala, tapi penuh kasih. Ia melamarku pada bulan ketiga kami di sana.”
Nandika mulai menunduk, hatinya teraduk. Sementara Bagas hanya menghela napas dalam.
“Lalu… bulan keenam aku hamil. Dan Jasana menemukan kabar: sebuah Kuil Kalathraya di ibu kota jin memiliki portal menuju dunia manusia. Tapi untuk mengaksesnya… dibutuhkan biaya besar.”
“Ia bekerja siang malam. Sampai akhirnya… kompetisi pedang dan sihir Kalathraya diumumkan. Hadiahnya: Satu Peti emas Kalathraya dan Artefak Kunci Dimensi Kalathraya.”
Cathrine menatap mereka satu per satu.
“Jasana ikut… dan bertarung di sana. Kompetisi itu… luar biasa brutal. Tapi dari sanalah muncul kekuatan yang kalian kenal sekarang—Khodam ke-2 Miliknya Sosok Lembuswana.”
Kirta mencengkeram panah di punggungnya, menahan nafas.
“Khodam itu… lahir dari tekad dan pengorbanan Jasana. Dari luka-luka yang ia tanggung, dari cinta dan kerinduan untuk kembali.”
Namun kemudian suara Cathrine meredup…
“Tapi di pertandingan final… lawannya adalah seorang wanita bangsawan jin bernama Nyai Lutfayana Dra’Vetha.”
Ketiganya langsung menegakkan tubuhnya.
“Ya… nama belakang itu sama. Karena setelah Jasana mengalahkannya, dia terkena kutukan Mahachandra—kutukan cinta darah bangsawan jin. Ia jatuh cinta pada Jasana… dan sekarat karena patah hati.”
“Satu-satunya cara menyelamatkannya… adalah Jasana menerima cinta itu. Dengan Menikahinya Melalui Adat Bangsawan Tribe Dra'vetha dan Jasana menjadi sosok Bangsawan Tribe Dra'vetha.”
Cathrine menatap kosong ke depan.
“Aku mengizinkannya. Bukan karena aku tak cinta… tapi karena aku tahu, Jasana tidak akan bisa hidup tenang jika dia tahu ada jiwa yang mati karena dirinya.”
“Akhirnya… kami bertiga, aku, Jasana, dan Lutfayana—beserta dua pelayan jin setia, berhasil kembali ke dunia ini melalui kuil kecil di Pulau Nelayan Bagian Selatan yang saat ini berdiri Kediaman Kami.”
“Dan di sanalah… kami membangun kembali hidup kami. Jasana mendirikan pulau itu, dan menamakan: Pulau Dagang Dra’Vetha. Ia menggunakan identitas baru: Jesse Dra’Vetha.”
Cathrine mengusap sudut matanya.
“Ia menyembunyikan semuanya—dari kerajaan, dari Guild Bayu Geni, bahkan dari kedua orang tuanya yang kini telah tiada… hanya untuk melindungi kami.
Politik Mandalagiri tidak pernah ramah pada percampuran. Tidak pernah ramah pada kebenaran yang berbeda dari yang mereka inginkan.”
Hening. Sangat hening.
Nandika menggigit bibir bawahnya. Matanya basah, tapi ia menahan. Dalam hatinya, ia tahu… Jasana telah lama mengisi ruang yang tak bisa diganti. Tapi semuanya telah ditentukan oleh takdir.
Bagas menghela napas panjang, matanya memerah, namun rahangnya mengeras—seakan tak percaya bahwa sahabat yang ia kenal ternyata menyimpan luka dan beban seberat itu.
Kirta hanya terdiam, tangan mengepal di atas lutut.
Scene Ditutup dengan Narasi:
Terkadang, perjuangan tidak dinilai dari medan perang… tapi dari berapa banyak yang dikorbankan untuk menjaga yang dicintai.
Dan Jasana… telah memilih menjadi bayangan, agar dua cahaya yang ia cintai tetap bersinar.
Namun kebenaran yang tersembunyi… tak bisa selamanya berdiam di balik dinding dan nama samaran. Waktu akan memaksanya bangkit, dan saat itu tiba—dunia akan melihat siapa sebenarnya Jesse Dra’Vetha.
Di tengah ruangan yang tenang, hanya suara gelas yang disentuh Bagas menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Ia meneguk pelan suguhan di depannya, lalu menarik napas panjang. Di sisi lain, Nandika menatap kosong ke meja, dan Kirta bersandar ringan di kursinya, seolah mencoba meresapi seluruh kebenaran yang baru saja mereka dengar. Atmosfer menjadi pekat oleh beban cerita masa lalu yang begitu kompleks.
Cathrine melanjutkan ceritanya, suaranya tetap tenang, namun ada kilau emosi samar di balik tatapan matanya.
“Lalu... kami membeli Pulau Nelayan itu. Sebuah tempat yang terlupakan oleh kerajaan. Kami bangun semuanya dari awal, mulai dari pelabuhan kecil, kediaman, hingga perusahaan kecil yang kini menjadi rumah bagi banyak orang… Tempat itu kami beri nama Pulau Dra’vetha.”
Ia tersenyum tipis, lalu menatap ke jendela sejenak.
“Satu tahun kami di alam jin Kalathraya, saat kami kembali… ternyata baru lima bulan berlalu di dunia ini. Jasana—atau Jesse seperti orang-orang menyebutnya sekarang—memutuskan untuk tidak langsung kembali ke Guild. Ia bilang, ‘Kita perlu rumah dulu, sebelum kembali ke medan perang.’”
Kirta mengangguk perlahan, gumam kecil keluar dari mulutnya, “Itu… sangat seperti dia.”
Cathrine melanjutkan,
“Kami fokus membangun segalanya dari nol. Ia menolak saran Kami untuk Menemui Sahabat dan Teman-teman Guild Bayu Geni Bahkan Orang tua-nya di Kalabumi, Namun ia tidak Mengabaikan Orang tua-nya dan Membantu Bisnis Mereka secara diam-diam lewat relasi bisnis di Kalabumi. Ia terlalu berhati-hati. Setelah aku melahirkan, dia mengganti nama dan seluruh identitasnya. Jesse Dra'vetha… menjadi topeng dan sekaligus perisai yang ia pakai untuk menjaga aku dan Lutfayana… istri keduanya.”
Nandika yang sedari tadi diam, menggenggam jemarinya sendiri di bawah meja. Perasaan berkecamuk dalam dadanya, namun ia tetap menampilkan wajah tenang.
Cathrine kembali menatap mereka.
“Awal tahun ini, setelah melihat gerakan Bayawira yang mulai aktif kembali, Jasana memutuskan untuk kembali menjadi dirinya yang lama—Jasana Mandira. Ia tahu, tak bisa selamanya sembunyi. Ia tinggalkan rumah, dan kembali ke Guild…”
Suaranya sedikit bergetar, sebelum ia melanjutkan dengan lebih berat:
“Tapi saat pertempuran di Lembayung Dipa bulan lalu, ia terluka parah. Bukan luka biasa… tetapi luka pada jiwanya. Setengah dari jiwanya terserap ke dalam alam Jin Tiraksara… bersama dan perlahan dua Khodamnya. Semua karena serangan dari Kapak Kegelapan milik Kandhara Mangkara.”
Terdengar hembusan napas tajam dari Bagas. “Apa maksudmu, dua Khodam miliknya ikut terserap perlahan?”
Cathrine mengangguk pelan.
“Ya. Lembuswana dan Ardhana. Keduanya ikut terseret bersama separuh jiwanya secara perlahan. Kini… tubuhnya hanya cangkang yang lemah. Ia terbaring di ruang khusus di kediaman kami di selatan pulau nelayan. Tidak bangun. Tidak merespon. Seakan ia hilang…”
Kirta bersuara pelan, “Lalu…?”
“Lutfayana, istrinya yang berasal dari kalangan Jin, kini pergi bersama seorang pelayan kepercayaannya, Morzhan, menuju alam Jin Tiraksara. Mereka mencoba menembus batas antara dunia ini dan dimensi tersebut untuk mencari pecahan jiwa Jasana dan Khodamnya. Tapi… itu bukan perjalanan mudah. Tiraksara… bukan tempat biasa. Itu alam kutukan.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Bagas akhirnya berdiri, tangan mengepal. Sorot matanya menyala penuh tekad.
“Kalau begitu… sore ini aku akan ikut menjenguknya. Apapun bentuknya… aku ingin melihat langsung sahabatku.”
Kirta menimpali, “Aku juga.”
Nandika mengangguk, masih dalam diam. Tapi air matanya hampir jatuh. Ia menunduk.
“Dulu… aku kira Jasana hanya pria sembrono yang punya banyak rahasia… Tapi sekarang aku sadar… dia menyimpan semuanya karena rasa cinta dan tanggung jawab… dan kita tidak pernah benar-benar tahu sebesar apa beban yang dia pikul sendiri.”
Cathrine tersenyum lembut. “Dan sekarang… dia butuh kalian.”
Scene ditutup dengan sorot lampu menembus jendela, menggambarkan bayangan tiga sahabat yang bersiap menuju perjalanan baru—bukan untuk misi, bukan untuk perang, tapi demi sahabat mereka, Jasana.
Dan di kediaman mewah Tribe Dra’vetha, di sisi selatan pulau Nelayan... seorang pria terbaring dalam keheningan. Tubuhnya tenang, tapi separuh jiwanya tengah terombang-ambing di batas antara dunia manusia dan dimensi Tiraksara, menunggu… tangan-tangan yang sudi menariknya kembali.
Bayangan Air Mata di Kota Adiyaksa
Sore hari menjelang senja di Kota Pelabuhan Adiyaksa. Cahaya oranye temaram menyelinap masuk melalui jendela kaca lobi penginapan tempat Bagas, Kirta, dan Nandika menginap. Di kursi panjang rotan dekat meja resepsionis, Bagas tampak duduk dengan tubuh sedikit bersandar, kedua lengannya bersilang, dan wajahnya kesal.
“Sudah hampir satu jam…” gumamnya, menatap ke arah tangga. “Perempuan kalau dandan lama, aku ngerti. Tapi ini bukan dandan biasa. Ini kayak… mikirin hidup.”
Kirta, yang duduk di ujung lain kursi, menoleh. Wajahnya lelah tapi tetap tenang.
“Mungkin dia lagi butuh waktu. Banyak hal yang dia terima hari ini… terlalu banyak, mungkin.”
Bagas mengangguk malas, lalu kembali menatap ke luar. Dermaga terlihat samar dari jendela, dengan barisan perahu nelayan bersandar, ombak kecil memukul-mukul kayu.
Kirta pun akhirnya berdiri.
“Aku jemput dia ke atas. Kalau kelamaan, nanti gelombang sore keburu naik.”
Ia menaiki anak tangga dengan cepat, melewati lorong sempit menuju kamar tempat Nandika menginap. Pintu kamar setengah terbuka. Kirta mengetuk pelan, tak ada jawaban. Rasa penasaran membawanya mendorong pintu sedikit, lalu langkahnya terhenti.
Nandika berdiri di depan jendela kamar, punggung menghadap pintu. Bahunya bergetar pelan. Di tangannya tergenggam kain kecil yang basah oleh air mata.
Gumaman lirihnya terdengar, tertahan-tahan.
“…kenapa harus seperti ini… kenapa bukan aku dari awal…”
Kirta menahan napasnya. Ia tahu ia tak pantas menguping, tapi langkahnya tak bisa bergerak.
“Aku… aku tahu dia hanya anggap aku sahabat. Tapi… ternyata dia sudah menikah. Dua istri… dua anak… dan kehidupan yang sama sekali tak kukenal…”
Suara itu penuh kepiluan. Seorang pejuang, seorang pendekar tombak yang dikenal tangguh di arena Guild… kini menjadi gadis yang sedang terluka oleh cinta tak tersampaikan.
Kirta menguatkan diri. Ia mengetuk pintu ringan, lalu berkata lembut, “Nandika… ini aku.”
Nandika tersentak, buru-buru mengusap wajahnya, membalik badan dan memaksa tersenyum meski matanya merah.
“Kirta… maaf, aku… aku akan segera turun.”
Kirta melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mendekat lalu duduk di sisi tempat tidur.
Tatapannya lembut, tanpa penghakiman.
“Aku tahu… kau terluka. Tapi aku juga tahu… Jasana tidak pernah bermaksud menyakiti siapapun. Termasuk dirimu.”
Nandika menggigit bibirnya, menahan emosi.
“Aku hanya… aku merasa bodoh. Menaruh hati pada seseorang yang nyatanya sudah milik orang lain. Bahkan… milik dua dunia.”
Kirta tersenyum kecil, lalu menatap keluar jendela. Suaranya pelan tapi dalam.
“Takdirnya bukan takdir ringan, Nandika. Dia kehilangan orang tua, terpisah dari dunia, membangun keluarga diam-diam demi perlindungan, dan kini… separuh jiwanya hilang. Kau tahu apa yang dia butuhkan sekarang? Bukan cinta baru, bukan penghakiman. Tapi tangan-tangan sahabat yang mau menariknya kembali.”
Air mata kembali mengalir di pipi Nandika. Ia berdiri, namun tubuhnya gemetar. Kirta bangkit, dan sebelum ia sempat berpikir panjang, ia memeluk Nandika dengan hangat.
“Menangislah jika harus. Tapi setelah ini… kita akan menjemput sahabat kita. Dan kalau kau memang mencintainya… katakanlah nanti saat dia bangun. Aku yakin… bahkan kedua istrinya bisa mengerti. Jasana terlalu bercahaya untuk tidak dicintai.”
Pelukan itu bertahan beberapa saat. Nandika perlahan mengangguk di bahu Kirta.
“Terima kasih, Kirta… kau selalu tahu apa yang harus dikatakan.”
Mereka melepaskan pelukan. Nandika menarik napas panjang, menghapus air matanya, dan tersenyum kecil.
“Ayo… Bagas pasti sudah mengeluh separuh sore.”
Mereka berjalan beriringan menuruni tangga. Di lobi, Bagas berdiri sambil menghentak-hentakkan kaki, wajahnya penuh keluhan. Namun ketika ia melihat mereka berdua turun dengan ekspresi lebih tenang, ia tersenyum lebar dan berseru:
“Akhirnya! Kalau kita telat lagi, mungkin pulau itu udah pindah tempat!”
Nandika hanya tersenyum singkat, dan Kirta melempar lirikan geli ke arah Bagas.
Ketiganya lalu berjalan keluar penginapan, membawa bekal ringan, menuju dermaga. Di sana, mereka menyewa perahu kecil milik nelayan tua yang sudah mengenali nama "Dra'vetha" sebagai wilayah khusus di selatan pulau—terlarang bagi orang biasa, namun tidak bagi yang datang dengan izin.
Langit mulai membakar jingga, dan bayangan mereka bertiga memanjang di atas papan dermaga, seperti tiga sosok yang membawa beban sahabat, cinta, dan takdir.
Perahu mulai bergerak, meninggalkan kota pelabuhan, menuju pulau yang menyimpan kebenaran, kesedihan, dan harapan baru: Pulau Nelayan atau Dra’vetha.
Cahaya Malam di Dra'vetha & Gerbang ke Tiraksara
Kereta kecil yang ditarik dua kuda bersurai perak berhenti perlahan di sebuah dermaga kecil di selatan Pulau Dra’vetha. Ombak malam memantulkan cahaya bulan sabit, yang terlihat anehnya merah… menggigit seperti lambang kaum bangsawan di pulau ini. Bagas, Kirta, dan Nandika turun dari perahu nelayan dengan membawa perlengkapan seperlunya, udara malam sedikit dingin namun harum dengan aroma bunga dan garam laut.
Di ujung dermaga kecil, seorang pria berpakaian gelap dengan lambang bulan sabit tergigit di dadanya menyambut mereka.
“Selamat datang… Tuan Bagas, Tuan Kirta, Nona Nandika. Nyonya Cathrine telah menanti kedatangan kalian. Silakan ikut saya.”
Mereka saling menatap, agak terkejut karena nama mereka telah dikenal bahkan sebelum mereka memperkenalkan diri. Tak ada kata dibutuhkan, karena pulau ini memang milik kaum yang hidup di balik tabir.
Di sepanjang jalan utama, lampu-lampu sihir menyala pelan, melayang di udara tanpa penyangga, cahayanya ungu lembut bercampur perak. Jalan setapak dari batu-batu pipih hitam terhampar sejauh mata memandang. Kereta yang mereka tumpangi melaju tanpa suara, hanya roda-roda besi ringan menyentuh pelan tanah batu hitam.
Di kanan-kiri terbentang padang bunga bercahaya — kelopak-kelopak putih dan biru yang berpendar pelan seperti napas malam, menari tertiup angin. Di tengahnya berdiri air mancur dengan patung bulan sabit merah dan siluet kelelawar: lambang Tribe Dra'vetha.
Rumah bangsawan itu menjulang indah. Dindingnya putih susu dengan tiang-tiang tinggi berukir sihir purba. Ketika mereka turun dari kereta dan melangkah ke pintu utama, seorang pria bersorban hitam dengan mata berpendar merah darah membungkuk ringan.
“Saya Orrin, salah satu pengawal pribadi Nyonya Cathrine. Silakan masuk. Dia sedang bersiap menyambut Anda.”
Bagas menatap Orrin sekilas, merasa ada aura tidak biasa dari pelayan ini. Namun Kirta dengan sopan membalas anggukan Orrin. Mereka dibawa masuk ke ruang tamu besar bernuansa gelap elegan. Gorden ungu, lampu-lampu menggantung dari kristal darah naga, dan sebuah lukisan besar siluet kelelawar menghiasi dinding.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka… dan masuklah wanita berwibawa yang memikat mata mereka.
Nyonya Cathrine van der Lindt — rambut putih keperakan tergerai di bahu, mata ungu menyala lembut namun tajam, tubuh ramping dalam balutan jubah formal bangsawan Tribe Dra’vetha dengan lambang sabit merah bersayap di dada. Di tangannya tergenggam tongkat sihir berujung kristal berduri.
“Selamat datang… sahabat-sahabat suamiku. Terima kasih telah datang.”
Nandika berdiri, matanya agak berkaca, namun menunduk hormat.
“Kami datang untuk membawanya kembali. Apa pun caranya…”
Cathrine mengangguk pelan. Ia memberi isyarat dan Orrin segera menyalakan obor biru di sisi kanan ruangan. Sebuah panel rahasia di dinding terbuka, dan lorong batu berliku membawa mereka menuju ke bawah tanah.
Langkah mereka berhenti di depan ruang besar berbentuk setengah lingkaran. Di tengah ruangan itu, tubuh Jasana terbaring di atas lempeng sihir, tubuhnya terlilit jaring-jaring cahaya dari alat medis Kalathraya yang terus berdenyut menahan aura kegelapan dari luka sabetan di dadanya.
Luka itu—menghitam, bergerak seperti makhluk hidup, menjalar pelan ke seluruh tubuhnya. Aura hitam itu mengeluarkan raungan nyaris tak terdengar—kutukan Tiraksara.
Nandika menahan napas melihatnya. Bagas mengepalkan tangan, dan sarung tangan Tapak Maruta-nya berdenyut merah menyala. Kirta diam, namun sorot matanya tajam, penuh tekad.
Cathrine mendekat ke sisi mereka, lalu mengangkat tangannya, menampilkan sebuah gelang perak dengan tiga kristal kecil berwarna biru, merah, dan hijau.
“Ini adalah artefak penghubung. Morzhan dan Nyai Lutfayana sudah lebih dulu masuk ke alam Jin Tiraksara untuk mencari separuh jiwa Jasana yang tertawan di sana… dan juga dua khodam-nya yang tercerai dari tubuh fisik. Kalian bertiga harus menyusul mereka.”
Ia lalu mengeluarkan benda besar seperti kunci berukir dari logam perak keemasan sebesar lengan manusia. Benda itu bercahaya ketika mendekati lingkaran sihir di lantai ruangan sebelah.
“Kuil Selatan berada tepat di bawah bangunan ini. Di sanalah portal pembuka menuju alam jin Tiraksara. Aku akan membuka jalan… tapi hanya sampai batas tertentu. Setelah itu, kalian harus hadapi semuanya sendiri.”
Mereka bertiga saling pandang. Bagas hanya mengangguk, penuh semangat. Kirta mengepalkan tangan. Nandika menunduk sekali, lalu mengangkat wajahnya dengan penuh tekad.
“Kami siap.”
Mereka melangkah bersama Cathrine dan Orrin menuju ruang terdalam dari kediaman itu. Cahaya semakin temaram, udara semakin tebal dengan aura mistis. Di tengah kuil bawah tanah, terukir lambang kuno Dra’vetha mengelilingi lingkaran teleportasi besar.
Cathrine menancapkan kunci dimensi itu ke tengah lingkaran. Cahaya menyala keemasan, lalu berubah menjadi ungu kelam. Angin melingkar, dan suara nyaring seperti bisikan ribuan jiwa terdengar dari dalam pusaran.
“Sekali kalian masuk,” ucap Cathrine pelan, “tidak ada jalan mundur. Tapi di sana, takdir Jasana… dan kebenaran dunia ini… sedang menunggu.”
Satu per satu, mereka melangkah ke dalam pusaran.
Bagas masuk pertama, dengan sorot mata menyala.
Kirta menyusul, menggenggam busurnya erat.
Lalu Nandika melangkah terakhir, dan dalam hatinya hanya satu bisikan:
“Tunggu aku, Jasana…”
Cahaya portal menyala terang—dan seketika semuanya lenyap ke dalam kehampaan ungu menuju alam jin Tiraksara.
Gerbang Neraka Jiwa Tiraksara
Saat cahaya portal meredup, langkah kaki mereka bertiga akhirnya berhenti di hadapan sebuah kuil raksasa yang menjulang bisu di tengah kehampaan. Batu-batu hitam yang membentuk bangunannya seperti bernapas, menyemburkan kabut tipis yang berisi bisikan-bisikan samar—suara-suara jiwa yang hilang, terkubur, atau terjebak di antara batas keberadaan.
Langit di atas mereka bukan langit… melainkan pusaran pekat, berputar seperti mata raksasa yang selalu mengawasi. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya retakan-retakan merah yang menggantung seperti akar dari langit patah, memancarkan cahaya darah.
Alam ini bukan sekadar tempat. Ia adalah pantulan luka terdalam jiwa.
Inilah Alam Jin Tiraksara, sebuah dimensi kuno yang terlahir dari sisa kutukan agung pada zaman sebelum manusia mengenal sihir. Di sinilah jiwa-jiwa yang terbelah, yang ternoda oleh pengkhianatan, dendam, dan penyesalan abadi dibuang dan dipenjara.
Waktu tidak mengalir lurus di sini—setiap napas bisa jadi bertahun, dan setiap detik bisa melahirkan ilusi masa lalu yang menyiksa.
Di tengah kegelapan kuil, Bagas menggenggam sarung tangan Tapak Maruta yang kini menyala merah membara, siap membakar apa pun yang menghalangi mereka. Nandika berdiri tenang, tombaknya terangkat sedikit, mata birunya menyorot angin sihir yang mulai memberontak. Kirta memandang sekeliling dengan tajam, mencoba memetakan jalur dengan naluri penjelajahnya.
Namun satu hal yang mereka semua sadari:Di tempat ini, bukan hanya jasana yang terancam……tapi diri mereka sendiri.
Alam ini akan memancing ketakutan mereka, menciptakan musuh dari bayangan hati, dan memisahkan mereka dari kenyataan. Di balik gerbang-gerbang berikutnya tersembunyi kebenaran yang memutar balik nurani—dan hanya jiwa yang teguh yang dapat melewati setiap ujian tanpa terkoyak.
Dan dengan satu hembusan angin dingin yang membawa aroma tanah mati dan tangisan jauh… kuil itu perlahan membuka pintunya.
Langkah mereka pun dimulai.Ke dalam neraka jiwa.Ke dalam alam yang bahkan para jin pun enggan menyebut namanya terlalu keras.
Selamat datang di Tiraksara... tempat di mana cahaya bisa mengkhianati, dan bayangan bisa menjadi penuntun.