Bab 14 - Cahaya vs Kegelapan

Alam Jin Tiraksara

Lokasi: Gua Bayangan Lazuardi,

Titik Kedalaman Ke-4, Alam Jin Tiraksara

Di tengah dunia kelam yang membengkokkan kenyataan dan meretakkan batas logika, terdapat sebuah gua purba yang membentuk labirin bayangan—dikenal oleh kaum jin sebagai Gua Bayangan Lazuardi. Batu-batu berduri menghiasi langit-langit, dan lorong-lorongnya mengalirkan bisikan dari jiwa-jiwa tersesat. Di sinilah Morzhan dan Nyai Lutfayana Dra’vetha menunggu, Mereka berdua sudah 2 Minggu berada di Alam Jin Tiraksara dan baru mendapatkan petunjuk keberadaan Separuh jiwa Jasana, berlindung sejenak dari badai ilusi yang melanda setiap wilayah di Tiraksara.

Semburat sihir merah gelap memancar dari tangan Lutfayana. Di hadapannya tergambar sebuah peta ghaib berupa proyeksi energi merah darah yang berdenyut—peta pergerakan aura jiwa di wilayah ini. Di sampingnya, Morzhan berdiri kokoh, matanya menatap celah gua dalam diam, penuh waspada.

“Kapak Kegelapan milik Kandhara itu bukan sekadar senjata,” ujar Lutfayana lirih namun tajam. “Ia dirancang untuk merobek batas kesadaran dan menyeret separuh jiwa ke dasar alam ini.”

Morzhan mengangguk, lalu mengaktifkan kristal kecil di tangannya—sebuah batu penuntun jiwa. Pantulan cahaya ungu dari batu itu redup, nyaris padam.

“Energi Jasana tersebar... tapi masih utuh sebagian,” gumam Morzhan. “Wiratmaja dan Ardhana... khodam miliknya, seperti sedang berada dalam ‘penjara roh’. Tapi tak bisa kupastikan lokasi pastinya. Mereka tidak diam. Mereka... melawan dari dalam.”

Lutfayana meletakkan tangan di dada, merasakan denyut ikatan jiwanya dengan suaminya yang sedang terbaring sekarat di dunia nyata.

“Kalau kita hanya mencari tanpa pola, kita akan terseret ke ilusi tak berujung,” katanya. “Tiraksara akan memutarbalikkan waktu dan identitas kita.”

Morzhan lalu mengambil langkah, menatap mata merah Lutfayana.

“Maka kita akan ikuti jejak ‘Aura Lawas’.”

Lutfayana mengerutkan alis. “Aura Lawas?”

Morzhan mengangguk dan menjelaskan siasatnya.

Siasat Morzhan: Penelusuran Jejak Aura Lawas

“Kapak Kandhara membawa kutukan dari inti lapisan Tiraksara yang paling purba. Energinya menyisakan ‘bekas luka dimensi’ pada jalur waktu. Kita akan menelusuri aura lawas dari jalur tersebut.”

Gunakan Batu Penuntun Jiwa sebagai penanda, diresonansikan dengan getaran terakhir jasana sebelum tubuhnya roboh.

Gabungkan darah Lutfayana—karena sihir darahnya terhubung dengan jiwa Jasana—dengan Silvatira, pedang warisannya. Energi itu akan membuka jalur tersembunyi dalam gua menuju tempat penjara roh.

Masuki Rute Retakan Ilusi, lorong dimensi tak stabil tempat separuh jiwa tertahan. Tapi jalur ini berbahaya. Jika salah satu dari mereka kehilangan kendali atas identitas diri, maka tubuh dan jiwa bisa terkoyak permanen.

Di ujung jalur itu, Penjara Jiwa akan terlihat: sebuah menara batu terbalik di langit, dengan rantai ghaib menggantung khodam dan sisa jiwa yang tertinggal.

Tepat saat Lutfayana bersiap menyayat telapak tangannya untuk memulai ritual, sebuah cahaya dari gelang sihir menyala di pergelangan Morzhan. Ia menatapnya, dan sebentuk suara lembut milik Cathrine terdengar melalui sihir:

“Mereka sudah masuk portal... Nandika, Bagas, dan Kirta telah tiba.”

Lutfayana menatap Morzhan, lalu sebuah senyum tipis terbit di wajah pucatnya.

“Syukurlah… dengan kekuatan mereka bertiga, mungkin kita bisa memecahkan segel Penjara Jiwa tanpa mengorbankan siapa pun.”

Morzhan menjawab tegas, “Kita bergerak malam ini. Mereka pasti akan menemukan kita… dan kita akan temukan jiwa Jasana.”

Scene ditutup dengan peta sihir di hadapan Lutfayana yang mulai menunjukkan arah baru—sebuah celah samar, berdetak lemah di kejauhan. Itulah jalur menuju Penjara Jiwa, tempat kebenaran, penderitaan, dan pertaruhan masa depan Jasana menanti.

Di Tiraksara, jiwa bukan sekadar hidup... tapi taruhan terakhir antara kehendak dan kehampaan.

Pertemuan Lima Jiwa di Tiraksara

Nuansa dunia jin Tiraksara menyambut mereka dengan lanskap yang meresahkan. Awan ungu kelam menggantung rendah, tanah bernafas seperti makhluk hidup, dan waktu terasa seperti cairan yang mengalir mundur.

Di hadapan sebuah celah batuan tajam yang menyerupai gerbang raksasa, tampak dua sosok menanti—Morzhan, tegap dan penuh wibawa dalam balutan pakaian pelayan bangsawan, serta seorang wanita jin yang luar biasa memesona: Nyai Lutfayana Dra’vetha. Rambutnya perak keungu-unguan yang berkilau di bawah cahaya batu langit Tiraksara, jubah hitamnya membentuk siluet memikat, dengan mata merah darah yang bersinar seperti bara. Silvatira, senjatanya, tergantung di punggung seperti untaian ancaman sekaligus keanggunan.

Begitu Bagas, Kirta, dan Nandika mendekat, langkah mereka melambat. Mata mereka terpaku pada sosok Lutfayana, bukan karena takut—tapi karena kagum yang bercampur misteri.

Kirta, yang biasanya santai, menelan ludah pelan dan berbisik ke Bagas,

“Jin juga bisa secantik itu ya...?”

Bagas hanya mengangguk cepat, sedikit kaku, namun dengan gaya khasnya ia berkata,

“Kalau bukan di dunia jin, mana mungkin Jasana dapet dua bidadari sekaligus…”

Namun di antara mereka, Nandika yang paling sunyi. Tatapannya menunduk sesaat. Dalam benaknya, perasaan yang ia simpan kepada Jasana kembali bergolak. Tapi ia menarik napas panjang, menguatkan hatinya. Bukan saatnya memikirkan perasaan. Ini tentang nyawa Jasana.

Lutfayana menghampiri, mengamati ketiga sahabat suaminya dengan tatapan tajam namun tenang.

“Kalian... Bagas Prayoga, Kirta Wangsaputra, dan... Nandika Sutasmi.”“Aku Lutfayana Dra’vetha—istri kedua dari Jasana Mandira.”

Ia sedikit menundukkan kepala dengan sopan, walau auranya tetap memancarkan kewibawaan bangsawan Kalathraya.

Morzhan berdiri di sampingnya, lalu menyambut dengan suara berat namun ramah,

“Aku Morzhan, pelayan utama keluarga Dra’vetha. Kami berterima kasih atas kedatangan kalian.”

Setelah perkenalan singkat itu, mereka semua duduk di sekitar batu datar yang memancarkan cahaya sihir merah samar. Lutfayana lalu menggambar formasi sihir pada permukaan batu tersebut dengan ujung jarinya yang menyala darah. Di sinilah rencana disusun.

Strategi Penyelamatan Jiwa Jasana

Langkah Pertama: Batu Penuntun Jiwa yang dibawa Morzhan diletakkan di tengah lingkaran formasi sihir. Begitu energi jiwa terakhir Jasana diselaraskan, batu itu berdenyut dengan cahaya lembut berwarna biru keputihan—menandai arah medan ilusi yang mengarah ke Penjara Jiwa.

Langkah Kedua: Lutfayana mengambil Silvatira, dan dengan sihir darahnya, ia menyayat ringan telapak tangannya, meneteskan darah langsung ke bilah pedang. Aura merah pekat segera menjalar sepanjang bilah, membuka jalur tersembunyi dalam dinding gua—retakan dimensi tipis yang terlihat seperti bayangan yang bergetar.

Langkah Ketiga: Lorong itu dikenal sebagai Rute Retakan Ilusi—sebuah jalur yang tak stabil. Ilusi masa lalu, emosi terdalam, dan bayangan diri akan menyerang siapa pun yang masuk. Jika satu pun dari mereka kehilangan kendali akan identitasnya, maka tubuh mereka akan pecah—dan jiwanya terperangkap selamanya.

Langkah Keempat: Di ujung lorong tersebut, terdapat Penjara Jiwa—sebuah menara batu terbalik yang tergantung di langit hitam Tiraksara, dirantai oleh energi ghaib purba. Di sanalah Wiratmaja dan Ardhana, serta separuh jiwa Jasana, terikat. Penjara itu dijaga oleh makhluk tanpa wajah, ciptaan dari kutukan kapak kegelapan Kandhara.

Setelah semua rencana dibahas, Bagas mengepalkan tinjunya, sarung tangan besinya mengeluarkan letupan cahaya merah.

“Kita sudah terlalu lama melihat Jasana melindungi semua orang. Sekarang giliran kita melindungi dia.”

Kirta mengangguk. Ia menggantung Panarasa di punggungnya, dan menatap lorong ilusi di hadapan mereka.

“Ayo kita tuntaskan ini. Tidak peduli berapa ilusi yang akan menghadang, aku tahu siapa diriku.”

Nandika, dengan tombak Sakalingga tergenggam erat di tangannya, menatap Lutfayana dan berkata dengan suara dalam,

“Aku belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan... tapi aku tidak akan membiarkan sahabatku mati di dunia ini.”

Lutfayana tersenyum tipis. “Jasana memang layak memiliki sahabat seperti kalian…”

Scene ditutup dengan kelima sosok itu berdiri sejajar di hadapan lorong ilusi yang kini bergetar lebih cepat—seolah merasakan kedatangan mereka. Udara menjadi semakin tegang, cahaya mulai melengkung. Di depan mereka, bukan hanya jalur berliku... tapi ujian terakhir antara realita dan kehampaan.

"Di dalam kegelapan Tiraksara, hanya jiwa yang kuat dan jujur yang bisa kembali pulang."

Rute Retakan Ilusi

Alam Jin Tiraksara — Jalur Bayangan Jiwa

Lorong itu menyambut mereka dalam kesunyian yang menyesakkan. Dinding-dinding batu bernafas, membisikkan kata-kata tak bermakna. Warna-warna dunia membengkok, waktu tak lagi linier. Hanya langkah-langkah mereka yang terdengar, samar, terpantul dan terpecah di udara yang seperti kaca cair.

Rute Retakan Ilusi bukan hanya lorong, tapi ujian. Di tempat ini, masa lalu, ketakutan terdalam, dan bayangan diri menjadi nyata—menyerang bukan dengan pedang, tapi dengan luka batin.

Rintangan Pertama: Kirta dan Masa Lalu yang Terlupakan

Kirta, yang berjalan paling depan, tiba-tiba berhenti. Di hadapannya, kabut menipis dan membentuk pemandangan yang sangat ia kenali—dataran tinggi Panawa, kampung halamannya. Sosok ayahnya muncul di balik kabut, berdiri dengan wajah kecewa.

“Kau meninggalkan kami, Kirta. Kau lari dari perang. Kau tidak pernah layak mewarisi busur ini.”

Tangan Kirta gemetar. Di hadapannya, Panarasa, busur warisannya, mulai memudar.

“Kau hanya pemburu... bukan ksatria.”

Kirta mundur selangkah, dadanya sesak. Tapi suara Bagas dari belakang menyadarkannya,

“Kirta! Jangan percaya mata di tempat ini! Itu bukan kenyataan!”

Kirta menutup matanya. Ia mengingat perjalanannya bersama Guild, jasana yang mempercayainya, dan pertarungan yang telah ia lalui. Ia membuka mata, lalu menarik napas dalam-dalam.

“Aku Kirta Wangsaputra. Aku tidak sempurna... tapi aku memilih jalanku.”

Dengan sihir tenaga dalamnya, Kirta menembakkan satu panah bercahaya ke ilusi tersebut. Semua langsung pecah seperti kaca, dan ia pun melanjutkan langkahnya, kini dengan tekad lebih bulat.

Rintangan Kedua: Bagas dan Bayangan Amarah

Bagas berjalan melewati celah batu, namun tiba-tiba ia sendirian. Ruang kosong dan merah terbentang di hadapannya. Dari kabut muncul... dirinya sendiri, namun lebih kurus, lebih liar, dan mata menyala api gelap.

“Kau tahu kenapa kau lemah, Bagas? Karena kau takut pada amarahmu sendiri.”

Bayangan itu menghantam Bagas dengan pukulan api hitam. Bagas terlempar. Suara itu menggema,

“Kau menahan khodammu... kau tidak pernah membiarkannya lepas!”

“Tapak Maruta” di tangannya mulai berdenyut liar, aura banteng berapi muncul setengah dari tubuhnya.

Bagas berlutut, darah menetes dari bibirnya. Tapi ia tersenyum.

“Aku tidak menahan Maruta karena takut... aku menahannya karena aku percaya pada kekuatan tanpa kehilangan kendali.”

Ia menghentakkan kedua tangannya ke tanah. Energi sihir api membentuk perisai berbentuk kepala banteng raksasa, dan menelan bayangan dirinya. Api hitam itu pun padam. Bagas berdiri tegak kembali, dan mengepalkan tangan—dengan sarung tangan yang kini bersinar merah menyala.

Rintangan Ketiga: Nandika dan Luka Perasaan

Nandika melangkah... lalu terseret ke dalam kenangan yang mendadak hidup. Ia kembali ke markas Guild Bayu Geni, hari saat ia melihat Jasana tersenyum kepada Catherine dan Lutfayana. Suara-suara bisik terdengar di sekelilingnya.

“Dia tidak pernah memilihmu...”“Sahabat hanyalah bayangan dari cinta yang tak terucap...”“Kau tidak cukup untuknya...”

Matanya berair. Sosok-sosok ilusi Jasana berjalan melewatinya, tak pernah menoleh. Ia ingin berteriak... tapi tak sanggup.

Lalu... dari balik bayangan, muncul cahaya biru. Sakalingga, khodamnya dalam bentuk merak bercahaya, terbang mengelilinginya.

“Jangan biarkan luka itu menjadi rantaimu, Nandika. Kau lebih dari perasaanmu... Kau adalah tombak angin dari Tanah Selampa.”

Dengan tangisan yang tertahan, Nandika menggenggam tombaknya erat. Ia menerjang ilusi itu dan menghancurkannya. Suaranya menggema lembut tapi tegas,

“Aku mencintainya... tapi aku lebih mencintai hidupnya.”

Rintangan Lutfayana dan Morzhan – Ujian Identitas Jin

Lutfayana dan Morzhan juga diserang oleh manifestasi jiwa mereka: Lutfayana melihat ibunya yang terbakar dalam perang berdarah Kalathraya, sementara Morzhan diserang oleh sosok-sosok manusia yang menyebutnya makhluk palsu.

Namun mereka bertahan—dengan ikatan darah, pengalaman sebagai Ras Jin dan Ilusi Dunia Jin yang sudah tidak asing Bagi Mereka, dan loyalitas terhadap Jasana.

Ujung Lorong – Gerbang Penjara Jiwa

Akhirnya, lorong ilusi runtuh di belakang mereka. Mereka berdiri di ujung jalur itu... dan di hadapan mereka, bentangan tanah seperti taman mati, ditumbuhi bunga-bunga batu berwarna merah darah. Di tengahnya, menara terbalik menggantung dari langit kelam, terikat oleh rantai energi biru-ungu. Itulah Penjara Jiwa.

Bayangan hitam berkaki banyak berkeliaran di halaman bawah. Dari kejauhan, terdengar suara-suara tangis dan gumaman yang menyayat.

Kirta menyiapkan panah, Bagas mengepalkan tangan, Nandika mengelus tombaknya. Morzhan dan Lutfayana memantau medan dengan tenang.

“Kita tunggu saat yang tepat,” ujar Morzhan. “Masuk tanpa rencana akan membawa bencana.”

“Mereka... menunggu kita,” bisik Lutfayana, menatap ke Penjara Jiwa, di mana dua titik cahaya biru dan putih perlahan bergetar—Wiratmaja dan Ardhana.

Scene ditutup dengan kelimanya berjongkok di balik batu hitam, mengintai dengan napas tertahan, sementara suara dari Penjara Jiwa berbisik:

“Kau ingin menyelamatkan jiwa... maka bersiaplah kehilangan milikmu.”

Gerbang Rantai Penjara Jiwa

Strategi Perpecahan Jiwa dan Harapan —

Di bawah bayang-bayang menara terbalik yang menggantung dari langit Tiraksara, lima sosok berdiri membentuk lingkaran. Cahaya dari batu jiwa di tangan Lutfayana berpendar lembut, menunjukkan denyut samar dua khodam—Wiratmaja dan Ardhana—yang terperangkap dalam ruang spiritual yang terpisah dari jasad Jasana.

Aura dari penjara itu menggema seperti tangisan ribuan jiwa. Udara dingin menusuk, bukan karena suhu, melainkan karena keheningan jiwa yang terpenjara.

Lutfayana membuka suara terlebih dahulu.

“Penjara ini terbagi dalam dua tingkat utama. Tingkat bawah—ruang penyekapan entitas spiritual. Di sanalah dua khodam milik Jasana disekap. Tingkat atas—inti penjara jiwa. Di situlah separuh jiwa suamiku dikurung, mungkin terikat rantai kutukan Tiraksara.”

Ia memandang semua yang hadir. Sorot matanya tajam namun teduh.

“Kita harus membagi diri. Satu kelompok menyelamatkan Wiratmaja dan Ardhana di bawah. Yang lainnya menuju ke atas… menyelamatkan Jasana.”

Morzhan menunduk pelan, lalu menyarankan dengan suara berat:

“Kelompok pembebas khodam sebaiknya diisi oleh para pria. Aku tahu lorong-lorong bawah penuh dengan jebakan fisik dan benturan energi liar. Aku bisa membuka segelnya. Bagas punya kekuatan pertahanan tinggi dan ledakan api. Kirta punya akurasi dan kecepatan untuk menembus pertahanan ilusi yang mengikat khodam.”

Kirta berseru sambil mengacungkan busurnya.

“Hah! Akhirnya tugas yang bukan cuma jalan diam-diam. Siap bakar panah dan tulang iblis!”

Bagas terkekeh, mengencangkan ikat kepalanya.

“Kalau ada yang bisa baku hantam sama aura kegelapan, itu tugas ku. Lagian, aku penasaran sama si Lembuswana... gede banget katanya.”

Nandika hanya tersenyum tipis, lalu menatap Lutfayana. Mereka saling mengangguk tanpa kata.

“Kalau begitu…” ujar Nandika pelan, “aku dan Nyai Lutfayana akan menuju tingkat atas. Jasana bukan hanya sahabat kami, tapi juga suami Nyai. Kita akan bawa dia pulang.”

Lutfayana menatap Nandika sejenak, lalu menghela napas.

“Kau tahu ini akan berbahaya. Di ruang atas, bukan hanya tubuh, tapi perasaan dan pikiran bisa diambil paksa.”

Nandika mencengkeram tombak Sakalingga.

“Aku pernah terluka karena perasaan… jadi aku tidak takut menghadapinya lagi.”

Kirta sempat menoleh ke arah Nandika, ragu. “Kau yakin gak mau aku ikut? Kita dari tim yang sama, loh…”

Nandika menatapnya lembut, lalu menepuk bahunya.

“Jangan khawatir. Kau jagain khodam Jasana. Aku… akan jaga jiwanya.”

Bagas menambahkan dengan nada humor namun tulus,

“Kirta, kalau kau ketemu Lembuswana, jangan coba-coba ditunggangin. Itu bukan tunggangan Guild.”

Kirta tertawa kecil. “Yah, padahal udah kebayang jadi pahlawan berkendara api biru…”

Lutfayana mengambil Silvatira, lalu menggambar pola pemisah sihir di tanah—garis cahaya darah bercabang dua. Di ujung kiri adalah lorong spiral menuju ruang bawah khodam. Di ujung kanan, tangga terbalik yang melayang—menuju pusat jiwa di langit kelam.

“Kita akan masuk bersamaan. Setelah lewat jalur ini, komunikasi sihir akan terputus. Kita hanya bisa bertemu lagi… setelah semua ini selesai.”

Morzhan berjalan ke arah jalur bawah bersama Bagas dan Kirta.

“Waktu kita tidak banyak. Penjara ini hidup, dan ia menyadari kehadiran kita.”

Nandika memutar tombaknya, suara angin lembut mengalir dari ujung senjata.

“Kalau begitu… ayo kita buat waktu cukup… untuk menyelamatkan semuanya.”

Lutfayana membuka gerbang dimensi dengan kunci darah. Cahaya merah tua menerangi wajah-wajah mereka.

Dua tim.Dua tujuan.Satu jiwa yang harus diselamatkan.Dua khodam yang harus dibebaskan.

Mereka berpisah... dan langkah-langkah terakhir mereka menghilang dalam gelapnya Gerbang Rantai Penjara Jiwa.

Rantai Langit dan Kutukan Jiwa

Penjaga Neraka dan Penantang Takdir —

Lorong menuju tingkat atas penjara jiwa Tiraksara membentang ke atas seperti tangga-tangga angkasa yang tak memiliki ujung, terbalik dan berputar seperti dinding dunia yang membelot hukum alam. Dinding-dindingnya bercahaya ungu suram, mengalir seperti darah yang membatu. Di kejauhan, jeritan lemah dari jiwa-jiwa yang terkurung menggema… bukan melalui telinga, tapi langsung menusuk hati mereka.

Nandika dan Lutfayana melangkah hati-hati. Di balik kabut ilusi yang menyelubungi jalur itu, mereka tahu… sesuatu sedang mengintai.

Dan benar.

Makhluk penjaga penjara jiwa muncul dari rekahan lorong—berbentuk raksasa setengah bayangan, setengah tulang, dengan wajah tanpa mata dan tangan rantai yang menyala. Suaranya bukan auman… melainkan ratapan, seakan ribuan jiwa yang dikunyahnya berteriak dari dalam tubuhnya.

Makhluk Penjaga Jiwa:“Kalian… bukan tahanan… bukan penguasa… maka kalian... harus menjadi bagian dariku…”

Tubuhnya melesat, rantai besar menyapu udara, menghantam tanah ilusi dan menimbulkan semburan debu jiwa yang menyayat kulit.

Lutfayana mengayunkan pedang Silvatira, tebasannya menyayat udara dan melepaskan tusukan nadi darah yang melesat seperti tombak-tombak halus ke arah makhluk itu. Rantai makhluk menangkis, tapi satu serangan menyentuh tubuhnya dan menghisap energi jiwa di permukaannya.

Sementara itu, Nandika memutar Tombak Selampa, aura biru Khodam Sakalingga mengalir menyelimuti tubuhnya. Ia melompat ke udara, menghujamkan tombak ke kepala makhluk, lalu mendarat berputar dan melempar satu tombak cadangan ke persendian rantai si makhluk.

Nandika:“Lawan kita bukan cuma kuat… dia juga terbuat dari penderitaan. Hati-hati, Nyai!”

Lutfayana:“Aku lebih dari sekadar berhati-hati.”

Lutfayana menggigit ujung jarinya, mengaktifkan Sihir Darah Tingkat Tinggi. Darahnya mengalir dari ujung kuku, membentuk mandala darah di udara yang berputar cepat, lalu meledak ke arah makhluk penjaga, memaku pergerakannya dengan rantai-rantai merah dari darah sendiri yang berubah padat.

Makhluk Penjaga Jiwa:“Kalian… tak akan bisa menyelamatkannya… semua jiwa di sini adalah milik TIRAKSARA!”

Makhluk itu menghentakkan tubuhnya, memutus sebagian rantai darah. Tapi di saat itu, Nandika sudah melesat dari sisi kiri, menebas titik lemah rantainya dengan tombak utama Sakalingga. Angin sihir meledak dari ujung tombak, mendorong makhluk itu mundur hingga terhuyung dan terjatuh ke dalam jurang jiwa tak berdasar di belakangnya.

Ledakan cahaya biru dan merah mewarnai kegelapan lorong.

Tubuh mereka terhempas ke belakang, tapi tidak terluka. Lorong kembali tenang. Suara jeritan mulai mereda, seakan penjaga itu adalah kunci pelindung utama yang baru saja dihancurkan.

Keduanya terduduk sejenak. Nandika bersandar pada dinding lorong berdarah itu, tombaknya tertanam di tanah ilusi.

Lutfayana duduk di sebelahnya, wajahnya pucat… tapi sorot matanya masih membara.

Nandika: (napasnya terengah)

“Dia… hampir saja membunuh kita. Aku tidak yakin kita akan selamat sampai ke ujung…”

Lutfayana: (menatap langit ilusi yang berputar)

“Jasana telah mengorbankan segalanya… aku rela menembus sepuluh penjaga seperti itu kalau itu yang diperlukan.”

Mereka saling diam sejenak. Nafas menghangatkan ruang ilusi yang dingin. Di antara mereka, ada kesunyian yang tidak janggal… seperti dua perempuan yang mengerti bahwa bukan sekadar kekuatan yang sedang mereka pertaruhkan—melainkan cinta, kenangan, dan harga diri.

Nandika: (lembut)

“Apa kau mencintainya… sejak awal?”

Lutfayana: (tersenyum tipis)

“Aku mencintainya… sejak dia menyelamatkanku dari kutukanku.”

Nandika mengangguk. Tatapannya menajam.

“Kalau begitu… ayo kembalikan separuh jiwanya. Laki-laki itu belum boleh mati.”

Lutfayana berdiri, mengangkat Silvatira.

“Benar. Dia masih punya alasan untuk hidup… dan kami… akan menjadi alasan itu.”

Cahaya samar di ujung lorong bersinar—gerbang terakhir menuju inti kutukan.

Mereka melanjutkan perjalanan. Dua perempuan. Dua kekuatan. Satu tujuan:

Menyelamatkan orang yang mereka cintai dari belenggu kutukan abadi.

Lorong Darah dan Sayap Api— Kebangkitan Khodam dan Kebenaran yang Mengerikan —

Lorong bawah Penjara Jiwa Tiraksara tidak berbentuk biasa. Ia memutar seperti ular raksasa yang membelit bumi, berdinding daging jiwa yang merintih, dan langitnya berupa aliran darah yang mengalir terbalik. Setiap langkah menuruni lorong tersebut seperti menjejak waktu yang dibekukan, menyelam ke kedalaman pikiran tergelap seseorang.

Kirta, Bagas, dan Morzhan berjalan hati-hati, hingga akhirnya langkah mereka terhenti oleh makhluk penjaga. Sosok itu bertubuh raksasa bersayap robek, berwajah seperti topeng batu yang terus menangis darah, dan tubuhnya berselimut belenggu berapi biru.

Makhluk Penjaga:“Kalian membawa cahaya ke tempat di mana hanya kegelapan yang boleh tumbuh… Mati.”

Tanpa aba-aba, makhluk itu menyerang.

Kirta langsung bergerak ke sisi kanan, menarik busurnya Panarasa. Tiga anak panah bercahaya hijau menyatu dengan angin dilepaskan beruntun, meledak di pundak dan dada makhluk, namun tidak cukup menjatuhkannya.

Bagas maju ke depan, sarung tangan Tapak Maruta menyala merah. Ia menghantam tanah, menciptakan gelombang api yang mendorong makhluk itu mundur.

Bagas:“Kirta! Tembak dari belakang, aku ganggu depannya!”

Kirta:“Sip! Jangan mati!”

Morzhan tak tinggal diam. Ia menciptakan celah dimensi di atas makhluk itu—portal ke tekanan sihir gravitasi Kalathraya. Tubuh penjaga tertarik ke atas sesaat, cukup bagi Bagas menghantam perutnya, lalu Kirta menembak titik luka yang terbuka.

Makhluk itu meraung, tubuhnya mulai retak seperti patung kaca dihantam palu.

Bagas: (tersenyum)“Tendangan Dewa Banteng!”

Satu hantaman penuh tenaga dalam dan sihir api menghantam dada makhluk. Tubuh raksasa itu meledak dalam cahaya merah kebiruan, meninggalkan abu bercahaya yang perlahan lenyap.

Keheningan turun. Di ujung lorong, dua sosok muncul dari lingkaran sihir di tanah.

Ardhana—sosok tetua berjubah putih bersinar, dan Wiratmaja—Lembuswana humanoid tinggi dengan tanduk menyala dan mata tiga yang menyala api ghaib biru.

Namun mereka terbelenggu rantai kutukan yang melilit tubuh mereka dengan lambang-lambang Tiraksara yang menyala. Rantai itu mulai meleleh saat Kirta, Bagas, dan Morzhan mendekat.

Ardhana:“Kalian datang… cahaya harapan akhirnya menyentuh penjara ini…”

Wiratmaja:“Belenggu ini bukan dari makhluk luar… tapi dari dia yang pernah kami lindungi…”

Morzhan: (mengernyit)“Apa maksudmu?”

Ardhana: (menatap mereka dengan mata yang lelah)“Yang membelenggu kami… adalah Jasana itu sendiri… atau tepatnya, sisi tergelap dirinya… yang kini menjadi penguasa penjara ini.”

Suasana menegang. Bahkan Bagas yang biasanya ceria kini menunduk diam.

Wiratmaja:“Kegelapan itu… adalah bagian dari jiwa Jasana yang direnggut oleh kapak Kandhara Mangkara… wujud penuh kebencian, dendam, dan rasa bersalah yang tak bisa ia lawan…”

Ardhana:“Kami tak bisa mengalahkannya. Jika kalian ingin menyelamatkan Jasana… kalian harus menantang dirinya sendiri… sisi gelap yang bahkan lebih kuat dari kami.”

Kirta, Bagas, dan Morzhan saling berpandangan. Wajah mereka tak menyiratkan ketakutan—hanya tekad.

Bagas:“Jadi… untuk menyelamatkan Jasana… kami harus mengalahkan Jasana juga?”

Kirta: (tersenyum tegang)“Kacau… tapi itu berarti kita masih bisa menyelamatkannya, kan?”

Morzhan:“Ya. Tapi kita harus menyusul yang lain. Jika Nandika dan Nyai Lutfayana lebih dulu bertemu ‘Dark Jasana’... mereka bisa…”

Ardhana:“—tidak selamat.”

Wiratmaja membuka sayapnya yang kini sudah pulih. Tubuhnya menyusut ke bentuk manusia normal berperawakan gagah dan bertanduk pendek. Ardhana pun berubah menjadi kakek bijak berjubah putih bersinar.

Wiratmaja:“Kami akan ikut. Jasana adalah tuan kami, dan kami akan menuntun kalian ke tempatnya.”

Kirta:“Ayo, sebelum semuanya terlambat.”

Dengan napas berat tapi langkah pasti, kelima sosok itu bergegas naik, meninggalkan lorong darah, menuju tingkat atas tempat takdir dan kegelapan sejati menanti.

Rantai Jiwa dan Singgasana Dosa— Tangga Terakhir Sebelum Cahaya atau Kegelapan —

Tangga menuju puncak menara Penjara Jiwa itu sunyi. Hanya desiran aura gelap dan gema suara hati terdalam yang menemani dua perempuan tangguh di dalam langkah berat mereka.

Di salah satu sudut yang lapang namun remang, Nandika dan Lutfayana berhenti. Lantai bercahaya merah samar, dinding penuh ukiran kutukan dan nama-nama jiwa yang telah lenyap dalam keabadian.

Lutfayana duduk terlebih dahulu di atas batu bersimbah cahaya biru. Ia menunduk, menghela napas, lalu bicara dalam nada yang tenang namun dalam:

Lutfayana:“Kau mencintainya… bukan?”

Nandika yang tengah memeriksa tombaknya, berhenti sejenak. Bahunya menegang, lalu pelan-pelan ia angguk.

Nandika:“Maafkan aku… Aku tahu kau istrinya… Bahkan aku sendiri tak tahu sejak kapan mulai merasa begitu.”

Lutfayana tersenyum kecil. Matanya menatap cahaya samar dari celah dinding.

Lutfayana:“Tak perlu meminta maaf. Cinta bukan sesuatu yang bisa dikendalikan. Aku pun… jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Bukan karena kehendakku, tapi karena kutukan darah Mahacandra.”

Nandika menoleh cepat, heran.

Nandika:“Kutukan?”

Lutfayana:“Kutukan cinta dari bangsa kami. Jika tak disambut, cinta itu bisa menjadi racun yang perlahan menghabisi jiwa. Saat aku mengaku pada Jasana, dia tidak tega. Dia tidak bisa membiarkan seseorang mati karena dirinya. Dan Catherine… dialah yang menyelamatkanku. Ia mengizinkanku menjadi bagian dari keluarganya. Aku berhutang nyawa pada mereka.”

Nandika menunduk. Wajahnya bergetar menahan emosi.

Nandika:“Tapi aku ini cuma pendekar biasa. Bukan bangsawan, bukan siapa-siapa. Tidak seperti kalian…”

Lutfayana bangkit, duduk di hadapan Nandika. Ia menggenggam tangan pendekar muda itu.

Lutfayana:“Kau salah. Jasana tak pernah mencintai karena gelar atau darah. Ia mencintai karena jiwa. Dan aku tahu… dalam jiwamu, ada cinta dan kesetiaan yang murni. Jika kelak dia pulih, jangan ragu mengatakannya. Jika hatimu terpanggil, mengapa tidak membagi cinta? Ia cukup besar untuk mencintai lebih dari satu, dan tetap adil.”

Air mata Nandika mengalir tanpa bisa dicegah. Ia tersenyum sambil mengangguk pelan. Kedua perempuan itu kemudian berpelukan, erat—bukan sebagai rival, tapi sebagai dua hati yang sama-sama mencinta dan sama-sama ingin menyelamatkan jiwa yang satu.

Langkah mereka akhirnya membawa mereka ke pintu terakhir. Sebuah gerbang raksasa dari batu obsidian hitam dengan ukiran lidah-lidah api dan rantai yang bergerak pelan. Pintu itu terbuka dengan sendirinya saat mereka mendekat, seolah tahu siapa yang datang.

Dan di balik pintu…

Ruangan tak berdinding. Langitnya kosong, hanya ada lorong waktu yang berputar. Di tengah ruangan, sebuah singgasana dari tulang dan darah berdiri menjulang. Di atasnya, seseorang duduk dengan satu kaki disilangkan, satu tangan menopang dagunya.

Wajahnya familiar.

Rambut panjangnya hitam dan melayang, matanya kuning menyala. Senyumnya menyeringai nakal dan menyeramkan sekaligus memikat.

Dark Jasana:“Ah… Istriku yang manis, dan… sahabat kecilku dari guild. Senang sekali kalian datang…”

Lutfayana dan Nandika terhentak sejenak. Sosok itu… adalah Jasana, namun tidak seperti yang mereka kenal. Ia penuh dengan aura kekuasaan dan kesombongan.

Dark Jasana:“Kalian mengira aku butuh diselamatkan? Tidak… Aku telah lahir kembali. Aku adalah penguasa penjara ini. Aku adalah semua luka, dendam, dan kelemahan yang kalian buang ke dalam kegelapan…”

Dark Jasana (berdiri):“Kalian ingin menyelamatkan Jasana? Maka kalahkan aku dulu…”

Cahaya merah menyala di balik singgasananya, menandai bahwa pertarungan melawan bayangan terdalam baru saja dimulai.

Cahaya Terakhir dalam Kegelapan— Langkah Terakhir Menuju Jiwa Jasana —

Cahaya samar menyinari ruang tak berdinding. Aura gelap menyelubungi singgasana dari tulang dan bayangan. Di hadapan takhta, Dark Jasana duduk angkuh, mata kuningnya menyala penuh ejekan.

Lutfayana bergerak lebih dahulu, berdiri tegap di sisi Nandika. Suaranya terdengar tegas namun penuh peringatan:

Lutfayana:“Yang di hadapan kita bukanlah Jasana yang kita kenal. Itu… hanya sisi tergelap dari jiwanya. Jangan ragu, Nandika. Dia akan menghancurkan segalanya jika tak dihentikan.”

Nandika mengangguk. Matanya menyala penuh tekad. Tombak utamanya, Tombak Selampa, mulai bersinar kebiruan. Aura khodam Sakalingga membentuk siluet merak di belakangnya.

Tanpa aba-aba, mereka meluncur serentak ke arah Dark Jasana. Suara tebasan pedang Silvatira dan gemuruh angin dari tombak Nandika mengguncang ruang kosong itu.

Dark Jasana menyambut mereka dengan “Dark Sword”, pedang gelap yang terbentuk dari pecahan kutukan Kandhara. Setiap tebasannya memuntahkan gelombang kegelapan. Serangan Lutfayana yang dibalut sihir darah ditangkis dengan perisai bayangan yang muncul dari udara. Darah berubah menjadi kabut merah, namun terserap oleh kegelapan.

Nandika memanggil Sakalingga, dan badai angin biru menerjang. Burung merak cahaya itu menyambar dari atas, namun Jasana hanya mengangkat tangannya, dan gelombang kegelapan menghempas aura Sakalingga hingga nyaris buyar.

Mereka kembali beradu senjata. Tebasan tombak dan pedang saling bentur, menciptakan percikan energi. Namun, Jasana hanya menyeringai:

Dark Jasana:“Lembut sekali tanganmu, istri manisku… Dan kau, pendekar kecil, kau semakin menarik saja.”

Tiba-tiba, Jasana melompat mundur. Ia mengangkat kedua tangannya, dan dari lantai, rantai-rantai jiwa mencuat, lalu menyusun pasukan kegelapan. Bayangan-bayangan jiwa yang terbelenggu bangkit dengan wajah kosong, tubuh patah-patah seperti boneka, dan mata menyala merah gelap.

Dark Jasana (tertawa):“Nikmati hiburan ini. Aku ingin melihat seberapa jauh kalian bisa bertahan!”

Lutfayana menggigit bibir. Silvatira bersinar terang, dan dari tubuhnya, duri darah melesat, menembus beberapa pasukan kegelapan. Nandika melesat, melempar tombak cadangan ke satu titik, dan memanggil Sakalingga untuk menyerang dari atas.

Namun jumlah musuh terlalu banyak.

Gelombang demi gelombang pasukan menyerbu. Dua pendekar perempuan itu saling melindungi, menyerang bergantian dalam sinkronisasi indah. Tombak menari, darah membelah, tapi musuh terus datang.

Dark Jasana hanya duduk, satu kaki menumpang di sandaran singgasananya. Tangannya menopang dagu, mata kuning itu menatap Lutfayana dengan sinis.

Dark Jasana:“Apa kau rindu pelukanku, Lutfayana?”

Lutfayana (mendesis):“Yang duduk di sana bukan Jasana. Kau hanya kegelapan yang menempel pada cahaya jiwanya. Kami datang untuk menghancurkanmu.”

Dark Jasana (terkekeh):“Silakan, gadis-gadis manis. Tapi kalahkan dulu pasukanku…”

Tiba-tiba, Nandika melemparkan salah satu tombak cadangannya ke arah singgasana.

Clak!Tombak itu nyaris mengenai dada Jasana, namun ia menangkapnya dengan dua jari. Senyumnya makin lebar, dan seketika, tombak itu meleleh seperti lilin, hancur menjadi abu hitam.

Dark Jasana:“Ah, Nandika… Kau juga mencintaiku, bukan? Maka cepatlah, kalahkan aku… sebelum seluruh jiwa Jasana melebur dalam diriku.”

Nandika menggertakkan gigi, lalu melompat kembali ke barisan. Bersama Lutfayana, mereka terus bertarung, melawan kegelapan yang tak ada habisnya.

— Scene ditutup dengan dua cahaya kecil, satu biru dan satu merah, masih menyala di tengah lautan kegelapan. Pertarungan belum berakhir.

Singgasana Dosa dan Bayangan Terakhir— Saat Semua Terungkap, dan Jiwa Menjadi Medan Perang —

Suara langkah deras bergema di lorong-lorong penjara jiwa yang berselimut kegelapan abadi. Lima sosok — Bagas, Kirta, Morzhan, Ardhana, dan Wiratmaja — melesat ke atas, menuju sumber kekuatan gelap yang mereka rasakan menggelegar dari puncak menara. Mereka tahu... terlambat sedetik saja bisa merenggut jiwa Jasana selamanya.

Ketika mereka tiba di ruang puncak, pintu raksasa telah terbuka… dan pandangan mereka langsung membeku.

Di dalamnya —Nandika dan Lutfayana tengah dikepung oleh puluhan pasukan kegelapan, makhluk bayangan dengan mata merah, tubuh melengkung seperti kabut hitam yang memadat. Mereka bergerak liar, buas, menghujani kedua pendekar perempuan itu dari segala arah.

Dan di atas singgasana dari tulang dan bayangan... duduk Dark Jasana.

Mata kuningnya bersinar, rambut panjangnya melayang tanpa angin. Pedang hitam Dark Sword disandarkan ke lututnya, dan bibirnya melengkung dalam senyum miring penuh sinisme.

Dark Jasana (menyeringai):“Lihatlah... akhirnya semua datang. Ah, betapa mengharukannya. Sahabat, istri, dan... para makhluk roh. Apakah kalian semua datang untuk... memelukku, atau... membunuhku?”

Tanpa aba-aba, kelima sosok itu menerjang masuk.

Lutfayana (cepat memberi perintah):“Jangan pikirkan dia dulu! Habisi dulu pasukan gelapnya! Jasana itu... hanyalah bagian gelap dari jiwanya—kita harus mengalahkannya untuk mengembalikan yang sejati!”

Bagas menghentakkan kakinya. Tanah retak. Dengan teriakan keras, ia meluncur ke depan, "Tapak Maruta!" menyala merah, memukul dua bayangan hingga hancur menjadi abu.

Kirta menarik tiga panah sekaligus dari tabungnya, Panarasa bersinar kehijauan. Ia menembakkan rentetan panah ke sisi kiri pasukan. Bayangan meledak satu per satu — presisi dan ritme khas Dataran Panawa.

Ardhana, dengan jubah putihnya, menebas dengan pedang Ardhajaya, setiap tebasan memancarkan mantra cahaya, melumpuhkan musuh yang tersentuh seketika.

Wiratmaja, dengan wujud humanoidnya, mengangkat tangan. Dari telapaknya, api ghaib biru meledak ke langit-langit, lalu jatuh seperti hujan suci, membakar makhluk-makhluk kegelapan dari atas.

Morzhan, berdiri sebagai penjaga belakang, membentangkan tangan. Perisai cahaya abu muncul di hadapan para pejuang, menghalau serangan-serangan tak kasatmata dari makhluk-makhluk kegelapan yang menyusup dari bayangan.

Nandika dan Lutfayana tersenyum lega sejenak melihat bala bantuan tiba, lalu kembali menebas, menusuk, dan menari di antara gelombang musuh.

Di atas sana, Dark Jasana tertawa lebar, lalu matanya menatap Bagas:

Dark Jasana:“Kau masih suka makan banyak, Bagas? Atau kau lebih suka tertelan oleh kegelapan?”

Bagas mengepalkan tinjunya, matanya membara.

Bagas (geram):“Jasana… Jangan bercanda saat—”

Nandika (memotong tegas):“Itu bukan Jasana yang kau kenal! Jangan terpancing! Dia hanya bayangan—penuh racun, bukan hati!”

Bagas menghela napas dalam, lalu melompat lagi ke tengah kegelapan, berteriak, memukul tanpa ragu.

Kirta mengincar puncak singgasana. Ia menarik panah terkuatnya, menyatu dengan energi angin. Panah itu melesat…

Namun...

Dark Jasana menangkapnya dengan dua jari.Panah itu perlahan retak… dan meleleh dalam genggamannya seperti es.

Dark Jasana (menyindir):“Ah, Kirta... sahabat paling setia… tapi juga paling lemah. Belum punya khodam juga ya? Hm?”

Kirta menggertakkan gigi, namun menahan diri.

Nandika (tegas):“Jangan dengarkan dia, Kirta! Kau kuat, dengan atau tanpa khodam! Jangan biarkan dia membuatmu ragu!”

Kirta menarik napas panjang, mengangguk, lalu kembali menyiapkan panah lain dengan tekad yang lebih jernih.

Pertempuran terus berlangsung.Bayangan demi bayangan jatuh, namun jumlah mereka luar biasa. Kegelapan terasa seperti laut tak berujung. Namun cahaya... selalu menyala dalam tekad tujuh sosok yang bertarung demi jiwa seorang sahabat.

Dark Jasana (duduk santai, tertawa pelan):“Lanjutkanlah... Mari lihat… apakah kalian bisa menembus lautan dosa ini, demi seorang pria bernama Jasana Mandira.”

—Scene ditutup dengan tujuh cahaya dari para pejuang yang terus bertarung melawan pasukan kegelapan, dengan tekad menyelamatkan satu jiwa... sebelum semuanya terlambat.

Singgasana Dosa dan Bayangan Terakhir (Bagian II)— Pertempuran Tujuh Cahaya Melawan Lautan Bayangan —

Deru pertempuran memekakkan lorong dimensi jiwa. Ratusan pasukan kegelapan berhamburan dari dinding, lantai, dan bayang-bayang — menggulung ke arah tujuh sosok pejuang cahaya yang bertahan mati-matian.

Di tengah kekacauan itu, Wiratmaja, dalam wujud manusia bersayap api biru, menjelma seperti petir suci di tengah badai kegelapan.

Wiratmaja (berteriak):“Dari langit dan lautan roh, terbakar kalian semua!”

Ia mengayunkan kedua tangannya ke depan, dan gelombang api ghaib biru meluncur seperti badai. Pasukan kegelapan yang terkena langsung menguap, jeritan mereka terhempas dalam gema tiada.

Di sisi lain, Ardhana — sang Roh Penuntun — menari dengan Pedang Ardhajaya, tebasannya menyayat udara dan menuliskan mantra suci yang membungkus makhluk gelap sebelum meledak jadi cahaya.

Ardhana (tenang, pada Wiratmaja):“Sudah lama kita tidak bertempur bersama... siapa sangka kita akan menari di medan jiwa manusia.”

Wiratmaja (tersenyum datar):“Manusia ini luar biasa. Bahkan sisi gelapnya pun layak disebut raja kegelapan.”

Mereka saling mengangguk, dan kembali menyerbu barisan musuh.

Sementara itu, Bagas menerjang ke depan. Tubuh tambunnya menari seperti guntur. Sarung tangan Tapak Maruta merah menyala—dan di belakangnya, sang Khodam Banteng Berapi melayang dan meraung keras, menerjang bersamanya.

Bagas (mengayun pukulan):“MAJU AJA LAGI, HAH!? INI BUAT JASANA!!!”

Di sisi lain, Kirta memanah cepat, satu per satu panahnya disusupi energi angin, menghantam musuh yang mencoba menyergap Bagas dari sisi samping.

Kirta (berteriak pada Bagas):“Kau main pukul aja! Gimana kalau mereka nyergap dari kiri?”

Bagas (sambil memukul lagi):“Makanya ada kau, Kirta! Kita duet maut dari hutan dan api! Hehe!”

Kirta (tertawa kecil):“Dasar badak panas kepala…”

Keduanya bertarung dengan paduan aneh tapi efektif — kekuatan besar dan kelincahan penuh perhitungan.

Di belakang, Morzhan berdiri tegak, tangan terangkat. Kubus-kubus pelindung bercahaya muncul, melindungi mereka satu per satu dari serangan gelombang kegelapan acak.

Morzhan (serius):“Kalian bertarung… biar aku pastikan kalian pulang hidup.”

Dalam badai yang semakin gila, Nandika dan Lutfayana berputar seperti angin dan darah.

Lutfayana melompat, Silvatira bersinar merah darah. Rantai darah muncul dari tanah, membelit tubuh pasukan kegelapan lalu meledak dari dalam. Nandika berlari di belakangnya, tombak utama dan tombak lempar melesat bertubi-tubi.

Sakalingga, Khodam burung merak biru, melesat di udara mengirimkan gelombang angin yang memecah serangan dari atas.

Lutfayana (berteriak pada Nandika):“Tombakmu menusuk seperti petir! Jangan beri mereka waktu!”

Nandika (mengelak dan memutar):“Kau pun, Lutfayana! Darahmu seperti naga Kalathraya!”

Lutfayana (tersenyum samar di tengah medan):“Aku hanya istri yang membela suami… dan sahabat barunya.”

Nandika (senyumnya getir):“Dan aku hanya tombak... yang ingin menyentuh langitnya.”

Lalu — langit mendadak sunyi.

Gelombang keheningan seperti mengalir dari satu titik cahaya yang muncul perlahan dari langit-langit ruangan.

Cahaya lembut putih keemasan menetes seperti embun. Pasukan kegelapan berhenti. Mereka mundur, gemetar. Bahkan udara jadi lebih ringan… seakan jiwa-jiwa yang tertindas pun menatap ke langit.

Sosok itu turun perlahan.

White Jasana muncul dari cahaya, tubuhnya bercahaya lembut. Wajahnya tenang, tapi matanya menyala seperti bintang fajar. Jubahnya melambai, dan di tangannya tergenggam sebuah kitab cahaya, lambang kehendak dan pengetahuan.

Nandika (pelan):“Itu… Jasana…”

Bagas:“Bukan… itu…”

Ardhana (membisik kagum):“Itu… sisi jiwanya yang belum ternoda… White Jasana.

Dark Jasana, yang sejak tadi tertawa puas di singgasananya, kini berdiri perlahan.

Senyumnya menghilang, tergantikan dengan ekspresi tidak senang.

Dark Jasana:“Ternyata kau masih hidup… kepingan cahaya yang menyebalkan…

White Jasana (suara tenang):“Aku tidak bisa dibunuh… selama masih ada cinta, harapan, dan sahabat yang percaya padaku…”

Dark Jasana (mendengus):“Kau bebas karena mereka…”

Ia menatap ketujuh orang yang kini berdiri di hadapan dua Jasana. Suasana menegang. Para makhluk kegelapan seolah mundur selangkah, takut akan benturan besar yang akan datang.

Kini dua Jasana berdiri berhadapan. Satu berselimut kegelapan dan keangkuhan.Satu berselimut cahaya dan harapan.Satu membawa pedang dari kapak kegelapan.Satu membawa kitab dari cahaya.

White Jasana:“Jiwa kita terbelah... Tapi sekarang, saatnya mengakhirinya.”

Scene ditutup dengan dua sosok itu saling menatap dalam senyap. Di antara mereka, medan jiwa itu sendiri menahan napas. Pertempuran sejati... akan segera dimulai.

Dua Jiwa, Satu Takdir— Saat Cahaya dan Kegelapan Menyatu di Medan Jiwa —

Cahaya lembut dari tubuh White Jasana seakan menenangkan setiap partikel udara di medan jiwa itu. Pasukan kegelapan sempat mundur, enggan mendekat. Bahkan, nyanyian roh-roh yang sebelumnya merintih kini seperti tertidur tenang.

Dengan langkah mantap, White Jasana menatap sahabat-sahabatnya yang berdiri tegak setelah pertarungan panjang.

White Jasana:“Kalian semua… terima kasih. Tanpa cahaya keberadaan kalian di sini, aku tak akan bisa membebaskan diriku…Di tempat ini, aku tersesat dalam kekosongan—tapi suara kalian, semangat kalian, dan rasa kalian padaku... adalah cahaya yang membuka belenggu itu.”

Bagas, yang masih menggenggam sarung tangan berapi dengan napas tersengal, nyengir.

Bagas:“Kau ini kayak pendeta aja ngomongnya... Tapi, sumpah, aku kangen lihat kau senyum gitu, San.”

Kirta menyela, masih menarik nafas sambil membetulkan busur Panarasa di punggungnya.

Kirta:“Kau beneran Jasana, kan? Bukan mimpi atau sihir tipuan?”

Nandika melangkah mendekat dengan tatapan tenang, tombak masih di tangan.

Nandika:“Itu dia... Jasana yang dulu memimpin kita... yang dulu bilang ‘harapan itu selalu punya jalan pulang’.”

White Jasana tersenyum pada mereka bertiga, lalu menoleh ketika Lutfayana mendekat perlahan. Matanya menatap dalam, dan sejenak waktu seolah membeku.

Tanpa berkata apa pun, White Jasana meraih dan memeluk Lutfayana erat. Ia menutup mata, menyerap aroma dan energi istrinya yang telah lama ia rindukan.

White Jasana (pelan):“Empat bulan... aku terkurung di sisi ini. Tak bisa bergerak, tak bisa menyentuhmu… hanya bisa melihat kegelapan tumbuh.”

Lutfayana (menahan isak):“Aku... aku mencari petunjuk keberadaan-mu setiap malam ketika disini, dan dalam setiap aliran darahku…”

White Jasana:“Jiwaku terpecah. Sisi jahat itu terlalu kuat... Dia membelengguku, bahkan Ardhana dan Wiratmaja ikut tertawan. Tapi… saat kalian datang, terutama saat Lutfayana dan Nandika datang mereka membawa cahaya—dan retakan cahaya mulai muncul...”

Lutfayana menunduk, menyentuh dada Jasana.

Lutfayana:“Kalau begitu... mari kita selesaikan ini bersama. Pulanglah…”

White Jasana menoleh ke medan, melihat Dark Jasana yang kini berdiri tegak, pedang hitamnya siap terhunus, wajahnya tegang namun penuh ejekan.

Dark Jasana:“Mengharukan... sangat mengharukan. Tapi kalian melupakan satu hal…”

White Jasana berjalan ke depan. Sambil membuka kitab di tangannya, ia mengangkat tangan kanannya yang bersinar cahaya suci.

White Jasana:“Kau... adalah bagian dariku. Tapi aku tak akan membiarkanmu mengambil tubuh dan takdir kita.”

Dark Jasana:“Kalau begitu... mari kita selesaikan ini.”

Sementara itu, pasukan kegelapan tersisa mulai bangkit kembali—menggeram, melolong, dan mengepung.

Morzhan, berdiri di belakang, mengangkat tangannya dan menciptakan dinding pelindung dari aura antar dimensi.

Morzhan:“Mereka belum habis… bersiaplah.”

Bagas dan Kirta saling tukar pandang dan kembali mengatur formasi.

Bagas:“Ayo kita bersihkan yang ini dulu, sahabat.”

Kirta:“Dengan senyum dan panah.”

Nandika dan Lutfayana berdiri bersisian. Sakalingga kembali melayang, membentangkan sayap birunya. Sementara darah Lutfayana berputar seperti tombak berantai di udara.

Wiratmaja membuka sayapnya yang kini menyala biru menyala.

Ardhana mengangkat pedang Ardhajaya, sorot matanya bersinar putih menyilaukan.

Ardhana:“Mari kita singkirkan para bayangan ini... biarkan dua jiwa itu menyelesaikan takdirnya.”

Dan saat dua sisi Jasana Mandira berdiri saling berhadapan…

White Jasana mengangkat tangannya — sinar cahaya suci meledak dari kitabnya.

Dark Jasana melesat — pedang kegelapan menyambar bagai kilat hitam.

Sinar dan bayangan bertabrakan.

Ledakan energi menyebar ke segala arah.Tanah jiwa itu bergetar.Waktu seolah berhenti.

Pertarungan dua sisi satu jiwa... telah dimulai.

Pertarungan Tanpa Cermin— Saat Dua Jiwa Mencari Wujud Sejati —

Langit di alam jiwa itu gelap seperti rindu yang tak berbalas. Gumpalan energi hitam dan cahaya suci saling beradu di atas langit seperti dua dewa yang berebut takhta kebenaran.

Dark Jasana melesat lebih dulu, pedang hitam Dark Sword berdenyut pekat, menciptakan gelombang Manipulasi Kegelapan berbentuk bilah-bilah tajam yang berputar liar, meluncur ke arah White Jasana.

Namun White Jasana mengangkat tangannya—Sinar Cahaya memancar, membentuk perisai bercahaya yang membelah gelombang kegelapan.

Ledakan dahsyat mengguncang langit. Dua kekuatan itu saling menolak.

Dark Jasana menggeram. Matanya menyala kuning, dan ia melesat cepat seperti bayangan gelap yang hidup, mengayunkan Dark Sword ke arah dada White Jasana.

Namun, dengan gerakan elegan seperti penari dari khayangan, White Jasana memutar tubuhnya di udara, menghindar ke belakang, lalu menjejak hawa dan melayang lebih tinggi.

Dua Jasana itu bertarung di udara, mengitari medan pertarungan seperti bintang-bintang yang saling berperang di galaksi sunyi.

Sementara itu, di bawahBagas, Kirta, Nandika, Lutfayana, Morzhan, Ardhana, dan Wiratmaja masih melawan sisa makhluk kegelapan yang enggan menyerah.

Bagas menggebrak tanah, mengeluarkan kekuatan Tapak Maruta, meledakkan gelombang api yang menghantam belasan makhluk.

Bagas (teriak):“Hancur kalian! KAMI DI SINI UNTUK JASANA!”

Kirta berdiri di sampingnya, melepaskan panah yang diselimuti energi angin dan tanah, satu demi satu mengenai sasaran dengan presisi.

Kirta:“Ayo Bagas, kita bantu Jasana dari sini! Dia tidak sendiri!”

Lutfayana dan Nandika bertarung saling membelakangi. Sakalingga terbang memutar, menyapu makhluk kegelapan dengan gelombang angin biru, sementara darah dari Lutfayana melilit seperti cambuk maut, menghancurkan tubuh-tubuh bayangan.

Lutfayana:“Dia sedang bertarung bukan hanya untuk kita… tapi untuk dirinya sendiri.”

Nandika:“Dan kita adalah alas yang membuatnya bisa berdiri.”

Ardhana menebas makhluk kegelapan dengan pedang Ardhajaya, aura putih mengikat gerakan lawan. Di sampingnya, Wiratmaja mengayunkan lengan, semburan api ghaib biru membakar makhluk-makhluk yang mendekat.

Morzhan mengangkat tangan ke langit, menciptakan kubah pelindung yang menutupi mereka semua, menangkis semburan energi liar dari pertempuran dua Jasana di langit.

Di udara, White Jasana dan Dark Jasana saling menatap dalam diam. Tak ada kata, hanya niat dan takdir yang berbicara. Dua energi mulai menyatu di tangan mereka masing-masing.

Dark Jasana menciptakan tombak kegelapan besar, mengandung serpihan jiwa rusak, bayangan masa lalu, dan kebencian yang tak pernah terucap.

White Jasana menciptakan tombak cahaya suci, dari harapan, kesetiaan, dan cinta orang-orang yang mempercayainya.

Mereka melesat maju.

DUARRRRR!!!

Tombak gelap dan cahaya bertabrakan! Ledakan sinar membelah dimensi jiwa.

Tapi…

…di detik terakhir, dari bawah, aura tujuh sahabat Jasana terpancar ke udara—cahaya merah api, angin biru, panah alam, darah, pelindung, sihir putih dan api ghaib.

Energi mereka menyatu dalam White Jasana, membuat tubuhnya memancarkan sinar terang bagai dewa turun dari kahyangan.

Dark Jasana sempat membelalak.

Dark Jasana (teriak):“TIDAK!! KALIAN SEMUA ADALAH... LEMAH!!”

Tapi terlambat.

Cahaya menelan kegelapan.

Jeritan Dark Jasana menggema… lalu menghilang.

Seketika, tubuhnya larut dalam kilatan cahaya… dan menyatu kembali dalam White Jasana.

Sunyi.

Makhluk kegelapan lenyap seperti abu tertiup angin.Langit mulai cerah.Tanah jiwa itu kini tenang.

White Jasana perlahan turun dari langit, cahaya di sekitarnya mengecil… hingga akhirnya padam.

Ia berdiri di tengah sahabat-sahabatnya, tersenyum… lelah, namun damai.

White Jasana:“Kegelapan itu bukan untuk dimusnahkan… tapi untuk dipahami, dan dikendalikan. Kini aku… utuh kembali.”

Mereka semua duduk di tanah, kelelahan. Nafas tersengal, tubuh bersandar pada satu sama lain, namun wajah mereka penuh rasa lega.

Kirta:

“Kalau ini bukan mimpi… aku akan minta istirahat seminggu penuh begitu pulang.”

Bagas tertawa terbatuk.Nandika dan Lutfayana saling menepuk bahu.Morzhan menutup matanya sebentar.

Ardhana dan Wiratmaja berdiri di samping White Jasana, memberi hormat.

Ardhana:“Selamat kembali, Tuan.”

White Jasana (tersenyum):“Mari pulang… Sudah cukup gelap untuk hari ini.”

Cahaya melingkupi mereka. Portal antar-jiwa terbuka… membawa mereka perlahan meninggalkan dunia gelap.

Scene ditutup dengan mereka berjalan bersama… perlahan menghilang dalam cahaya lembut… menuju alam manusia.

Cahaya menang.

Dan untuk kali ini—jiwa itu utuh.