Langit Kembali Terbuka
Setelah melalui badai jiwa, setelah cahaya menang melawan kegelapan, akhirnya… tanah manusia kembali menyambut mereka.
Kilatan cahaya putih keperakan menyibak ruang di dalam Kuil Selatan, sebuah lorong batu tua yang tersembunyi di balik tanah dan waktu. Udara di dalamnya dipenuhi aroma dupa dan gemuruh sihir tua yang berdenyut dari dinding batu berukir. Portal bercahaya itu bergemuruh pelan—dan dari sanalah Nandika, Bagas, Kirta, Morzhan, dan Lutfayana keluar, satu per satu, dengan langkah berat namun selamat.
Mereka kembali ke dunia nyata.
Darah mereka masih mendidih karena pertarungan. Nafas mereka masih tersisa dari dunia jiwa. Tapi mata mereka kini menatap terang, bukan bayang.
Di ujung ruangan, berdiri seorang wanita dengan jubah bangsawan ungu gelap, rambut keperakan bersinar di bawah cahaya lentera sihir.
Catherine van der Lindt.
Wanita itu tersenyum lembut, mata ungunya bersinar lega saat melihat kelima pejuang itu keluar dari gerbang.
“Selamat datang kembali… kalian berhasil,” ucap Catherine pelan, namun terasa lebih dalam dari sekadar kata penyambutan.
Tanpa banyak bicara, mereka saling memahami.Waktu tak menunggu. Langkah mereka langsung menuju ruang perawatan bawah tanah yang tersembunyi di bagian paling dalam dari kediaman utama Tribe Dra'vetha.
Saat pintu batu terbuka, ruangan itu diselimuti cahaya lembut dari lampu-lampu sihir, aroma herbal dan uap air bercampur dengan energi penyembuh dari sihir alam jin. Di tengah ruangan itu… Jasana Mandira terbaring dalam kapsul medis kuno berisi kabut penyembuh dan mantra pengikat tubuh.
Namun… di saat mereka semua mendekat, kelopak mata itu bergerak.
Jasana perlahan membuka matanya. Napasnya stabil. Aura gelap yang dulu membungkus tubuhnya kini telah sirna. Dan tak lama, dua aura sakral terasa menyatu kembali ke dalam tubuhnya.
Wiratmaja kembali ke dalam pedang merah Lungguh Darma yang bersandar di sisi tempat tidur.Ardhana menghilang dalam nyala putih dan menyatu kembali dengan keris Parangjati yang tergantung di dinding ruang suci.
Tubuh Jasana kini utuh. Jiwa yang terpecah telah menyatu.Kutukannya telah hilang.
Tatapannya menyapu satu per satu.Bagas, Nandika, Kirta…Lalu Morzhan.Dan kedua istrinya… Lutfayana dan Catherine.
Sunyi sesaat.
Hingga, seperti biasa, Bagas memecah suasana.
“Wah! Jadi akhirnya kamu bangun juga, Jasana… aku hampir pesan batu nisan dari batu meteorit!”
Kirta tertawa tertahan. Nandika memukul pelan bahu Bagas sambil tersenyum geli. Bahkan Catherine dan Lutfayana tak bisa menahan senyum mereka.
Jasana tertawa. Ringan. Bebas. Seperti jiwa yang baru lahir.
Namun ekspresinya perlahan menjadi tenang. Dalam nada lembut namun tegas, ia berkata:
“Aku ingin meminta maaf… karena selama ini aku menyembunyikan siapa diriku yang sebenarnya. Tentang kehidupanku setelah pulang dari Kalathraya… tentang Catherine, tentang Lutfayana… tentang keluarga yang kusembunyikan dari kalian.”
Ia menatap mereka satu per satu, dalam diam yang tulus.
“Aku khawatir… mereka tidak akan diterima di Mandalagiri. Catherine, atau Rinjana Nirnawa… adalah ras luar, dan dulunya Wakil Kapten Bayawira Selatan. Lutfayana adalah bangsawan Jin Kalathraya. Kita tahu, sampai sekarang… Istana dan para petinggi Tirabwana masih memuja kemurnian ras Mandalagiri. Mereka tidak pernah ramah terhadap percampuran. Tidak pada kebenaran yang berbeda dari yang mereka inginkan.”
Jasana menarik napas.
“Tapi aku akan bicara. Pada para Kapten. Pada Pangeran Maheswara sendiri. Dan bila itu membuatku dikeluarkan dari Guild… aku siap. Aku hanya tak ingin mereka yang kucintai, tersakiti.”
Keheningan turun.
Namun kali ini, bukan karena beban… melainkan keteguhan hati yang terpancar dari orang-orang di hadapannya.
Nandika: “Kalau begitu, kami akan bicara juga. Bukan untuk membela. Tapi untuk berdiri di sisi yang benar.”
Kirta: “Jasana… kamu bukan sekadar bagian dari kami. Kamu adalah orang yang bejasa di Hutan Lembayung itu.”
Bagas (serius kali ini): “Kalau mereka berani keluarkan kamu… bilang sama Pangeran Maheswara, aku sendiri yang keluarin isi dapurnya dulu.”
Tawa kecil pecah kembali.
Jasana mengangguk… lalu menoleh kepada Morzhan.
“Terima kasih… sudah membimbing dan melindungi mereka saat aku tak sadar.”
Morzhan menunduk, menjawab dengan nada dalam:
“Saya hanya menjalankan tugas saya, Tuan Jesse.”
Kedua istrinya kini berdiri di sisi kanan dan kiri.Lutfayana hanya menatapnya dengan mata merah darah yang lembut… sementara Catherine menggenggam jemarinya. Tak perlu kata-kata. Senyum mereka cukup menjawab.
Tak lama, para pelayan rumah utama datang menghampiri.Mereka membungkuk sopan, lalu mulai melepaskan peralatan medis sihir dari tubuh Jasana. Kabut penyembuh mulai memudar.
“Tuan, Anda telah koma selama hampir satu minggu. Tubuh Anda kini stabil,” ucap pelayan utama sambil menyiapkan jubah ringan untuk dikenakan.
Setelah berpakaian dan berdiri dengan bantuan Catherine, pelayan yang lain menghampiri ketiga sahabat Jasana.
“Silakan mengikuti kami… ruang kamar istirahat kalian telah disiapkan di lantai atas.”
Bagas, Nandika, dan Kirta pun berjalan pelan mengikuti pelayan ke tangga batu yang menuju ruang utama atas.
Di belakang mereka, Jasana, Lutfayana, Catherine, dan Morzhan menyusul.
Langkah-langkah mereka bergema pelan di sepanjang lorong batu kuno. Dinding-dindingnya berukir simbol kuno Tribe Dra’vetha—bulan sabit tergigit dan siluet kelelawar bersayap.
Di luar—malam sudah jatuh sepenuhnya.Bulan merah membayang dari jendela tinggi.Malam yang tenang… setelah badai panjang yang penuh luka dan pembuktian.
Scene ditutup… dengan langit yang akhirnya kembali terbuka.Dan langkah-langkah mereka… menuju bab berikutnya.Menuju dunia yang akan mereka ubah.Bukan dengan pedang semata, tapi dengan kebenaran.Yang tak bisa lagi disembunyikan.
Pengakuan di Balik Tirai Guild
Markas Guild Bayu Geni – Kota Tirabwana, Ibukota Kerajaan Mandalagiri
Beberapa hari telah berlalu sejak Jasana kembali sadar dari luka kutukannya. Udara pagi Tirabwana masih beraroma dupa dan embun, namun kini terasa lebih berat bagi pemuda itu. Hari ini… bukan tentang pertarungan pedang atau sihir, melainkan pertarungan untuk kebenaran—dan keberanian untuk berdiri dalam bayang-bayang politik.
Langkah-langkah Jasana terdengar tenang namun mantap di koridor utama Menara Mandala, bangunan pusat dari seluruh kompleks Guild Bayu Geni. Di balik pintu besar yang dijaga simbol-simbol kuno Mandalagiri, terletak sebuah ruangan sakral—Ruang Mandala Utama—ruang untuk keputusan besar, rahasia-rahasia penting, dan pertemuan para pemegang kendali.
Ketika pintu kayu berukir terbuka, Jasana disambut oleh tatapan para pemimpin.
Di ujung ruangan berdiri Pangeran Mahkota Maheswara, sosok kharismatik berpakaian gelap dengan pedang Arka Wijaya tergantung di pinggang, menyala samar dalam garis api merah. Di sisi kanan dan kirinya telah hadir seluruh Kapten Divisi:
Pradipa Karna, Divisi Raka Lelana—mata tajam dan tenang.
Kirana Wismandanta, Divisi Panggrahita Aji—tatapan kuat penuh kedisiplinan.
Kalandra Wisanggeni, Divisi Bayang-bayang Geni—wajah tenang tak terbaca.
Mahadewa Rakunti, Divisi Rasa Prawira—santai dan teduh, seperti resi.
Doyantra Puspaloka, Divisi Mandala Dhana—tubuh tambun berotot, karisma kuat.
Langkah Jasana berhenti di tengah lingkaran.
Ia menunduk… dan mulai bicara.
“Yang Mulia Pangeran Maheswara… Para Kapten Divisi yang saya hormati…Saya datang hari ini untuk menyampaikan pengakuan—tentang siapa saya sebenarnya.”
Ruangan sunyi. Tidak ada yang menyela. Jasana bicara dengan suara mantap, tak bergetar.
“Selama ini, saya menyembunyikan kehidupan baru saya pasca tersesat ke Alam Jin Kalathraya. Dulu, saya sebenarnya hanya menghilang lima bulan dari dunia ini… tapi di dunia mereka, waktu berjalan berbeda. Saya menghabiskan lebih dari satu tahun di sana. Dan dalam kurun waktu itu… saya menikah. Bukan dengan satu, tapi dua wanita yang berasal dari luar ras Mandalagiri.”
Ia mengangkat wajahnya. Sorot matanya tajam.
“Saya adalah suami dari Cathrine van der Lindt, atau yang dulu dikenal sebagai Rinjana Nirnawa, mantan Wakil Kapten Bayawira Selatan… dan saya juga suami dari Lutfayana Dra'vetha, bangsawan Jin Kalathraya. Saya tahu, pernikahan antara manusia dan jin masih dianggap tabu oleh tatanan lama di Istana Tirabwana. Dan karena itu… saya memilih diam. Untuk melindungi mereka. Untuk menjaga mereka dari caci, atau pengusiran. Apalagi kini saya telah memiliki dua anak berdarah campuran.”
Ia menunduk lagi, lebih dalam.
“Saya tahu… ini pengkhianatan diam. Tapi bukan karena saya memusuhi Mandalagiri. Saya menyembunyikannya karena cinta… dan karena takut. Tapi saya tak ingin takut lagi. Maka saya berdiri di sini.”
Para kapten saling bertukar pandang. Pangeran Maheswara belum bicara. Tapi tatapannya dalam.
“Saya juga harus mengakui,” lanjut Jasana, “bahwa saya adalah pemilik utama dari usaha dagang Dra’vetha, yang kini berkembang pesat di Pulau Nelayan, wilayah administratif Kota Pelabuhan Adiyaksa. Perusahaan ini telah membantu meningkatkan taraf hidup rakyat pesisir.”
Seketika, suara Maheswara terdengar. Tenang, namun kuat.
“Jasana… yang kamu lakukan untuk melindungi keluargamu… mungkin bisa dimengerti. Tapi kamu menyembunyikan fakta bahwa Rinjana Nirnawa masih hidup. Bagi Dewan Istana, dia adalah Mantan Wakil Kapten Bayawira Selatan yang gugur demi menyelamatkanmu, dan Mungkin Jika Kebenaran ini terungkap Dewan Istana tidak akan tinggal diam dan Mempermasalahkan Hal ini.”
Jasana mengangguk perlahan.
“Saya tahu… dan saya siap menerima hukuman apa pun.”
Sebelum Maheswara bicara lebih lanjut, Kalandra Wisanggeni maju satu langkah. Suaranya datar.
“Maafkan saya, Yang Mulia… tapi istri saya pun adalah Inggrita Maranile… mantan Wakil Kapten Bayawira Utara. Jika para mantan Bayawira bisa berubah arah… maka mereka juga bisa jadi kekuatan untuk Mandalagiri.”
Maheswara menatap Kalandra, dalam diam yang bermakna. Lalu, mengangguk.
“Aku mengerti. Tapi aku juga tahu, Dewan Istana terutama Aryawangsa Kertadarma… tidak akan menerimanya begitu saja. Aku tak bisa mengubah mereka—belum. Namun, demi keamananmu dan keluargamu, biarkan saja dunia menganggap Rinjana Nirnawa telah mati. Dan istrimu kini… adalah Cathrine van der Lindt.”
Ia menambahkan, dengan nada lebih lunak:
“Usaha dagangmu, Dra'vetha, telah menyelamatkan ratusan keluarga pesisir. Aku tahu. Aku melihat sendiri laporan dari Adiyaksa.”
Kini giliran Pradipa Karna yang melangkah maju. Suaranya berat namun jujur.
“Yang kita butuhkan saat ini adalah fokus. Kita harus memberantas Bayawira sepenuhnya. Jasana telah membuktikan pengabdiannya… dalam Perang Lembayung Dipa. Ia terluka parah karena kutukan, tapi tetap memilih bertarung demi Mandalagiri. Ia bukan sekadar prajurit. Ia adalah simbol kekuatan yang kita butuhkan.”
Mahadewa Rakunti mengangguk pelan.Kirana Wismandanta menutup matanya sejenak lalu menghela napas—kemudian ikut mengangguk.Doyantra Puspaloka mengacungkan jempol dan bersuara keras,
“Kalau bukan karena dia, banyak dari kita mungkin tak pulang dari Lembayung Dipa. Sudah cukup bukti.”
Pangeran Maheswara menatap Jasana… lalu berbalik sejenak, menatap simbol naga dan nyala api di dinding belakang—lambang Guild Bayu Geni. Ia kembali menghadap.
“Maka hari ini, aku putuskan. Jasana Mandira akan tetap menjadi bagian dari Guild Bayu Geni. Tapi kau harus berhati-hati. Dunia politik istana penuh duri.”
Jasana menunduk dalam-dalam, hampir menyentuh lantai.
“Terima kasih… Yang Mulia. Terima kasih… para Kapten.”
“Dan satu lagi,” lanjut Maheswara. “Fokus kita tahun ini adalah penyerangan besar-besaran ke kaki Gunung Mandalagraha. Bayawira telah menetap di sana terlalu lama. Kini… waktunya mengakhiri kegelapan itu.”
Suasana tegang mulai mereda. Sorot mata para kapten menjadi tenang.
Rapat ditutup.
Para Kapten satu per satu mendekati Jasana.Kirana hanya memberi isyarat anggukan.Doyantra menepuk punggungnya.Mahadewa membisikkan doa pendek.Kalandra hanya menatap dan berkata:
“Kebenaran yang kau simpan… akhirnya sampai di tempat yang benar.”
Dan Pradipa Karna, sang kapten yang paling dulu mengenal Jasana di medan perang… tersenyum singkat.
“Bersiaplah. Perjalanan kita belum selesai.”
Jasana menatap ke arah pintu keluar. Di luar… cahaya matahari mulai menyelinap dari celah jendela tinggi.
Kini ia tidak lagi hanya membawa senjata dan sihir…Tapi kebenaran, dan keberanian untuk menanggungnya.
Bab ditutup… dengan harapan dan tekad baru di tengah api perlawanan.Langkah Jasana… tak akan lagi ragu.
Bayang-bayang di Mandalagraha
Di salah satu puncak berkabut Gunung Mandalagraha, pegunungan yang menjulang tinggi di barat laut Mandalagiri, tersembunyi sebuah gua raksasa berliku dalam tanah, dijaga kabut tebal abadi dan aura hitam yang membuat siapa pun tersesat dalam ilusi bila mencoba mendekat. Gua inilah yang selama 7 tahun menjadi Markas Utama Bayawira—kelompok pemberontak paling ditakuti di seluruh daratan Mandalagiri.
Di dalam gua, ruang utama berbentuk melingkar dengan langit-langit tinggi dan dinding-dinding alami penuh ukiran ular melingkar. Obor menyala dengan api biru. Di tengah lingkaran, tujuh sosok berdiri dalam bayang-bayang: para pemimpin Bayawira yang tersisa.
Di hadapan mereka berdiri Jagat Arunika, sang pemimpin utama. Wajahnya tampan dan matang, namun keras, ditandai bekas luka yang mencakar dari pelipis kiri hingga pipi. Ia berdiri tegap, jubah hitamnya berkibar, dan pedang Batara berwarna perak gelap tergantung di punggungnya, memancarkan aura hitam samar. Di balik punggungnya... kekuatan besar tersembunyi: Ular Hitam, khodam ilahi berjubah kegelapan.
Di sisi kanannya berdiri Resi Wighna Laksa, kapten selatan, wajah tua namun tegas, tangan menggenggam tongkat bertengkorak dan mata yang tertutup seolah terus berdoa.Di sisi kirinya, Jagatmarma, kapten barat, bertubuh besar dengan topi caping, berdiri santai dengan senyuman lebar namun aura tubuhnya bergetar kuat—tak bisa diremehkan.Di belakang mereka, tiga wakil hadir: Lodra Wahana, mantan kapten Guild Bayu Geni, kini pengkhianat berdarah dingin; Teksaka, pendekar berambut perak dengan dua belati; dan Ratri Andini, wanita muda mematikan dengan tatapan yang bisa menusuk jiwa.
Suasana rapat malam itu sunyi, hanya suara tetesan air dari atap gua dan napas pelan terdengar.
Jagat Arunika membuka rapat.
"Kita kehilangan satu sayap—Bayawira Utara.Kapten Kandhara Mangkara gugur.
Basis kita di Lembayung Dipa... musnah. Pasukan hilang. Darah mengering. Tapi bukan itu yang membuatku marah."
Ia menatap tajam ke tengah.
"Yang membuatku marah… adalah nama satu orang. Jasana Mandira."
Semua kepala menoleh. Wighna Laksa menunduk sejenak, sedangkan Jagatmarma mulai menggoyangkan bahunya, seolah baru tertarik.
Lodra Wahana melangkah ke depan, dengan suara tenang dan penuh analisa:
"Saya mengenalnya… dulu dia hanya seorang anak pandai besi dari Kalabumi. Dalam seleksi Guild Bayu Geni tiga tahun lalu, dialah peringkat pertama—dan anak itu tidak punya latar belakang luar biasa. Tapi… bakatnya luar biasa dalam seni pedang."
Ia berhenti sejenak. Tatapannya menajam.
"Tapi sejak kembali dari Alam Jin Kalathraya, kekuatannya berubah. Medan alam Kalathraya lebih keras dan mistik dibanding Tiraksara. Mungkin... dia memperoleh semacam berkah gaib."
Resi Wighna Laksa bergumam pelan, suara beratnya bergetar dalam lantai batu:
"Kalathraya… bukan tanah sembarang jin. Siapa pun yang kembali dari sana tidak lagi sama. Kandhara menerima berkah dari Tiraksara, tapi Kalathraya… tempat itu milik jin darah purba. Aku percaya Jasana… membawa kekuatan yang jauh lebih tua."
Jagatmarma yang sejak tadi hanya tersenyum, kini bersuara, suara dalam dan santai:
"Aku sudah lihat rekaman sihir dari pertarungan mereka. Jasana... menggunakan dua khodam. Dua, saudara-saudaraku. Dan satu di antaranya... adalah Wiratmaja, si lembuswana bersayap api biru. Itu bukan makhluk biasa."
"Kandhara mangkara kalah karena kalah alam, kalah khodam, dan... kalah takdir."
Teksaka mendecak, bersandar pada dinding gua.
"Kita seharusnya membunuh anak itu waktu dia Ke Giriwasesa 3 Tahun Lalu, Dia Belum Kuat Namun sekarang jadi bintang."
Ratri Andini tersenyum dingin.
"Lucu ya, pria yang kita anggap sudah hancur… justru jadi pahlawan negeri. Romantis sekali."
Jagat Arunika menatap mereka semua satu per satu, lalu melangkah maju. Bayangan tubuhnya menjalar seperti kabut hitam di lantai gua. Aura kekuatan Ular Hitam menggetarkan udara sekitarnya.
"Mungkin... kita terlalu meremehkan bocah itu."
Ia berhenti. Mata kuningnya menyala.
"Dulu… aku mengalahkan Darsa Nagawikrama dengan sangat mudah. Anak itu bahkan tak bisa Menyentuhku Walaupun sudah dalam Mode Kebangkitan Spiritual Khodam. Tapi Jasana... dia membuat Kandhara bertekuk lutut."
"Aku ingin melihatnya sendiri."
Semua diam.
Jagat Arunika mengangkat satu tangan, telapak hitamnya bercahaya ungu gelap.
"Tapi sebelum itu… dengarkan ini. Kita telah memiliki lima kekuatan purba."
Dari balik jubahnya, ia menampilkan sebuah artefak kecil, tampak seperti bola kristal keperakan, di dalamnya kabut berputar perlahan—Manik Suraloka, artefak yang satu bulan lalu berhasil dicuri dari ruang bawah tanah tersembunyi milik Guild Bayu Geni.
"Dua artefak tersisa. Aku tidak tahu di mana… tapi aku punya petunjuk samar yang akan kita kejar. Namun kita tak bisa gegabah. Kerajaan Mandalagiri dan Guild Bayu Geni kini bergerak masif."
Lodra Wahana menyambung cepat:
"Jika mereka bersatu, bahkan Gunung Mandalagraha tak akan bisa selamanya menjadi benteng."
Jagatmarma menjentikkan jarinya.
"Maka, kita harus bergerak duluan."
Resi Wighna Laksa mengangguk, suara beratnya kembali terdengar:
"Kita akan mengaburkan jejak. Mengubah jalur artefak yang kita curi. Dan... awasi Jasana. Dia adalah kunci."
Jagat Arunika menutup pertemuan dengan kalimat terakhir, suaranya seperti mantra kutukan:
"Kalau dia memang mendapat Berkah dari Kalathraya... maka dia juga bisa dibinasakan oleh kegelapan dari dalam Kalathraya. Dan jika tidak bisa... maka akulah yang akan menghabisinya."
Seketika, api obor di ruangan itu bergetar hebat, berubah menjadi hitam selama beberapa detik… sebelum kembali membiru.
Pertemuan usai. Mereka semua satu per satu menghilang ke balik lorong-lorong gua berkabut.
Di ujung ruangan, sisa kabut menari-nari membentuk siluet ular berkepala dua berwarna merah—lambang Bayawira.
Bayang-bayang semakin menebal... dan perburuan telah dimulai kembali.
Tembok Tua di Balik Takhta
Lokasi: Istana Tirabwana – Ruang Pertemuan Tertutup Istana Kerajaan Mandalagiri
Langit siang Tirabwana diselimuti awan tipis, namun di dalam ruang batu megah bertiang tinggi itu, udara terasa jauh lebih berat dari cuaca di luar. Di sebuah ruangan pertemuan tertutup, megah namun sunyi, para tokoh tertinggi istana telah berkumpul.
Tirai merah marun terulur panjang dari langit-langit. Di tengah ruangan, duduk di atas singgasana khusus bertabur ukiran naga emas dan motif awan berkaki delapan, adalah Sri Maharaja Darmawijaya, Raja Mandalagiri, dalam balutan jubah kebesaran kerajaan warna hitam kehijauan berlapis emas. Di samping kanan-kirinya, deretan kursi batu panjang diisi oleh para anggota Dewan Istana dan bangsawan tua—semua pria dan wanita berusia lanjut dengan mata tajam penuh perhitungan.
Namun yang paling mencolok adalah Aryawangsa Kertadarma, Kepala Dewan Istana, yang kini berdiri dengan tongkat ukiran naga putih. Wajah tirusnya tak menyembunyikan kemarahan terselubung. Rambut putihnya tersisir rapi, dan suara parau liciknya memenuhi ruangan:
"Paduka Sri Maharaja... izinkan hamba menyampaikan kegelisahan yang telah lama kami bicarakan di dalam dewan.
Perusahaan dagang dari luar, Dra'vetha, telah menancapkan cengkeramannya di Pulau Nelayan. Mereka... bukan bangsawan Mandalagiri, bukan keturunan darah murni kita. Tapi kini mereka disanjung-sanjung rakyat. Mereka menyusup lewat perut rakyat untuk mencuri pikiran mereka."
Beberapa bangsawan berbisik menyetujui.
Namun Darmawijaya tetap diam. Sorot matanya tajam, menelisik jauh ke dalam batin orang tua di hadapannya.
Aryawangsa melanjutkan:
"Kita tahu taktik licik pedagang luar. Mereka akan memberi makan hari ini... lalu mengambil tanah besok. Rakyat kita akan terlena oleh harga murah dan wajah ramah. Tapi saat sadar, istana ini sudah tak punya wibawa."
Namun sebelum ia melanjutkan, Sri Maharaja Darmawijaya mengangkat tangan. Satu gerakan itu membuat seluruh ruangan senyap.
Suara sang raja akhirnya terdengar, tegas namun dalam:
"Aryawangsa... kau telah duduk di kursi ini lebih lama dari usia sebagian besar bangsawan di sini. Namun sayang, pandanganmu tidak berubah sedari zaman Perang Selatan dulu."
Ia menatap tajam ke bawah, langsung ke mata Aryawangsa.
"Kau menyebut Dra'vetha sebagai ancaman. Tapi rakyat pesisir kota pelabuhan Adiyaksa menyebut mereka: harapan.
Mereka memperbaiki dermaga. Membuka lapangan kerja. Membayar pajak sesuai hukum dagang. Menghidupi nelayan yang selama ini kau biarkan hidup dari ikan asin dan utang tengkulak."
Sorot mata Aryawangsa meredup, namun rahangnya mengeras.
"Dan jangan lupakan satu hal, Aryawangsa... kota Adiyaksa menganut sistem perdagangan bebas—sebuah keputusan sah Dewan dan Raja dua dekade lalu."
Beberapa bangsawan mulai terlihat canggung, sebagian bahkan mulai menunduk. Darmawijaya berdiri dari singgasananya. Sosoknya masih tegap meski rambutnya mulai memutih. Ia menatap seluruh ruangan.
"Mandalagiri bukan milik satu ras. Bukan hanya darah para bangsawan. Ia adalah tanah milik rakyat, dan kita adalah pengurusnya.
Kau menyebut dirimu pelindung tatanan. Tapi aku menyebutmu… pelindung kejumudan."
Lalu ia menatap langsung ke Aryawangsa Kertadarma, suara menjadi lebih tajam dan dalam:
"Kau sudah terlalu tua untuk terus mengatur negeri yang sedang tumbuh. Maka sebagai Raja Mandalagiri…
Aku nyatakan, kau dicopot dari jabatan sebagai Kepala Dewan Istana."
Ruangan seketika membeku. Tak ada yang berani bicara. Para bangsawan tua tampak gemetar, tak tahu harus membela atau berdiam.
Aryawangsa hanya terdiam. Tubuhnya tak bergerak, namun sorot matanya menyala—marah, getir, dan tersinggung. Dalam batinnya, berteriak:
Darmawijaya... kau bukan raja sejati. Kau hanya mantan panglima yang berhasil memikat anak raja.
Kau pemanjat pohon darah biru dengan lidah dan senyum manismu. Raja tukang main perempuan yang kini pura-pura suci. Tapi waktumu akan habis... dan aku akan pastikan itu.
Namun bibirnya hanya mengatup rapat. Ia menunduk, memberi hormat setengah hati, lalu berjalan pelan meninggalkan ruangan. Tongkatnya menghentak lantai batu—setiap hentakan penuh dendam.
Darmawijaya duduk kembali di singgasana. Ia menatap semua yang hadir.
"Sidang ditutup. Kerajaan tidak akan menghalangi kebijakan perdagangan Kota Pelabuhan Adiyaksa... selama mereka membawa manfaat bagi seluruh Mandalagiri."
Tirai ditutup. Sidang berakhir. Namun benih perpecahan dalam istana telah tumbuh lebih dalam.
Rantai yang Mengerat dalam Istana Tirabwana
Lokasi: Ruang Pribadi Raja, Istana Mandalagiri, Kota Tirabwana
Beberapa hari telah berlalu sejak pengumuman pencopotan Aryawangsa Kertadarma dari jabatan Kepala Dewan Istana. Namun istana Tirabwana tetap sunyi seperti biasa—seolah batu-batunya tidak pernah menyimpan dendam, seolah pilar-pilar tinggi tak pernah menjadi saksi ancaman yang membisik di antara tirai.
Di balik pintu besar bertatahkan ukiran naga emas dan burung garuda, di dalam Ruang Pribadi Raja, hanya ada dua orang duduk berhadap-hadapan: Sri Maharaja Darmawijaya, dan lawannya—tua, namun belum runtuh—Aryawangsa Kertadarma.
Cahaya dari lentera minyak yang tergantung bergetar lembut, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding batu yang dingin. Aryawangsa duduk angkuh, tangannya menggenggam tongkatnya dengan erat, bibirnya tertarik pada senyum licik yang tak lagi perlu disembunyikan.
“Kau mencopotku, Darmawijaya... secara sepihak, di hadapan semua bangsawan, seolah aku ini pelayan istana yang tak pernah berjasa.”
Sang Raja tidak menjawab, hanya menatapnya dengan dingin.
“Tapi izinkan aku mengingatkanmu…” Aryawangsa maju sedikit, suaranya lebih rendah, mendesak, “Kau ada di sini... duduk di singgasana itu... karena aku.”
Ia mengetukkan tongkatnya pelan ke lantai, suara tok yang mengiris keheningan.
“Siapa yang dulu membungkam para penentangmu saat kau hanya seorang ksatria berpangkat panglima? Siapa yang merancang legitimasi pernikahanmu dengan Permaisuri Shandrakirana, anak Raja terdahulu—Raja Agnabhumi Darmajaya?”
Nama itu menggantung di udara. Nama raja sebelumnya, yang agung, yang disegani—dan kini hanya menjadi catatan sejarah di balik kejayaan Darmawijaya.
“Siapa yang menyingkirkan Adipati Suranegara, adik Shandrakirana, sang pewaris sah—agar kau tak memiliki saingan?”
Nada Aryawangsa berubah getir, penuh ejekan.
“Dan… apakah kau lupa, 19 tahun lalu?
Bangsawan asing dari Utara, wanita itu… wanita yang kau hamili dan Melahirkan Anak dari Hubungan Gelap di tengah Penelitian-mu tentang Sihir. Anak itu, Darmawijaya. Anak itu hidup… sampai kau perintahkan rumah mereka dibakar, dan seluruh keluarga mereka dihabisi untuk menghapus aibmu.”
Senyumnya berubah menjadi bayangan penuh dendam. Darmawijaya hanya bisa memejamkan mata sejenak. Tubuhnya tampak kaku, rahangnya mengeras.
Di luar ruangan, Pangeran Mahkota Maheswara baru saja melangkah menuju aula pribadi sang ayah—ingin berdiskusi soal persiapan pergerakan militer menuju Mandalagraha. Tapi saat tangannya menyentuh daun pintu kayu berukir, ia mendengar bisikan percakapan dari celah kecil yang tak tertutup rapat.
Dan dia mendengar… segalanya.
“…anak dari hubungan gelap…”
“…pasukanmu membakar rumah mereka…”
“…aku yang membantumu menjadi raja…”
Napas Maheswara tertahan. Matanya membelalak sejenak, tangan di gagang pintu berguncang. Dunia yang ia kenal… mulai bergeser.
Sementara itu, di dalam ruangan, suara Darmawijaya akhirnya terdengar, pelan namun tajam:
“Cukup, Aryawangsa.”
“Kau sudah menang.”
Aryawangsa berdiri, menyeka pakaiannya, lalu berputar pelan ke arah Raja.
“Aku tidak akan bicara ini pada siapapun… termasuk pada Permaisuri Shandrakirana. Tapi kau harus tahu, tak ada yang lebih berbahaya dari rahasia yang disembunyikan terlalu dalam.”
Ia melangkah menuju pintu dengan kepalan tangan di belakang punggung, dan sebelum membuka daun pintu besar itu, ia berkata:
“Kau benar-benar di luar nalar setelah menikahi Shandrakirana, lalu bertahun kemudian menikahi Dewi Laksmiwara, pendekar dari Sinduwaluyo. Dan kau… kau masih juga main perempuan setelahnya. Tapi untung, aibmu sudah terkubur—atau setidaknya, itulah yang kau kira.”
Aryawangsa keluar dengan wajah puas dan senyum licik terselip di bibir tipisnya. Langkahnya mantap, tongkatnya menjejak lantai koridor istana seperti ketukan palu hukuman.
Tak lama setelah itu, Maheswara segera berbalik dan melangkah menjauh dengan cepat dari pintu ruang pribadi sang Raja. Langkahnya berat, pikirannya dipenuhi percakapan yang baru saja ia dengar.
"Anak dari hubungan gelap… dibunuh… demi tahta... Ayahku?…"
Ia tidak sanggup menatap ayahnya hari itu. Perasaan kecewa, marah, dan hampa berkecamuk dalam dadanya.
Darah kebangsawanan yang ia banggakan… ternoda oleh kebusukan yang dibungkam.
Malam yang Menggugah Bayangan
Lokasi: Ruang Pribadi Pangeran Mahkota Maheswara, Istana Tirabwana
Waktu: Malam Hari, Beberapa Hari Setelah Sidang Rahasia Sang Raja
Langit Tirabwana malam itu diselimuti awan pekat. Angin dari timur menembus sela-sela kisi jendela, membawa hawa dingin yang menusuk sampai ke dalam batu-batu istana. Di kamar pribadi Pangeran Mahkota Maheswara, hanya satu lentera menyala redup. Cahaya oranye kecil menari lembut di meja rendah tempat beberapa dokumen militer dan gulungan peta masih terbuka.
Maheswara duduk di kursi panjang berhias ukiran rajawali, tubuhnya membungkuk, tangan menggenggam rambutnya yang panjang diikat rapi. Nafasnya berat, sorot matanya kosong menatap lantai ubin marmer hitam yang membentuk lambang kerajaan: matahari di atas naga berkepala dua.
“Adipati Suranegara…” bisiknya.
“Paman… kau seharusnya menjadi Raja.”
Potongan-potongan informasi yang ia dengar beberapa malam lalu masih terngiang di telinganya—suara sinis Aryawangsa, diam membatu ayahnya, dan kebenaran bahwa jalan menuju tahta ini… dibangun di atas darah keluarga.
Selama ini ia percaya bahwa Adipati Suranegara memang menolak tahta karena ingin hidup sebagai pertapa di luar istana. Itu narasi resmi istana, disebar selama puluhan tahun. Tapi kini Maheswara tahu: itu kebohongan.
“Aryawangsa menyingkirkannya… atas permintaan Ayah…”
Ia memukul meja dengan tangan. Gagang keris Aswanir Lodra yang disandarkan di rak senjata bergetar pelan, seolah merespons kegundahan tuannya. Aura kelam samar keluar dari bilah keris hitam itu—udara terasa lebih dingin.
Bayulodra, khodam dari lapisan Lelangit-Rasa, perlahan muncul dalam pantulan kaca jendela. Sosok berjubah hitam dengan mata biru menyala menatap Maheswara dalam diam, seperti ingin bertanya:
“Apakah kau masih akan diam, wahai Putra Mahkota?”
Lalu pikirannya mengembara lebih jauh… ke peristiwa 19 tahun lalu.
Sang ayah, Sri Maharaja Darmawijaya, memerintahkan pembantaian terhadap keluarga bangsawan asing yang memiliki hubungan gelap dengannya. Bahkan anak darah dagingnya sendiri turut dikorbankan.
"Apa benar... Ayahku mengorbankan darahnya sendiri hanya demi menjaga tahta dan nama baik?”
Maheswara mengepalkan tinjunya.
Kemudian, satu ingatan datang menghantam keras. Suara lantang dan penuh amarah dari masa lalu—Jagat Arunika, yang dulu sahabatnya, dulu saudara seperjuangannya di Guild Bayu Geni. Dulu seorang kesatria setia… sebelum jatuh ke jurang konspirasi dan pengkhianatan.
“Istana Tirabwana penuh kebusukan, Maheswara! Kau pikir aku jatuh karena nasib? Tidak. Karena kakakmu! Karena sistem ini! Karena semua pembohongan dan penindasan yang kau pertahankan tanpa kau sadari!”
Saat itu Maheswara menolak mempercayainya.
Tapi sekarang?
“…apa yang kukatakan dulu… semua benar.”
Matanya beralih ke meja. Di atas permukaan kayu, tergolek dua senjatanya: Pedang Arka Wijaya, dan Keris Aswanir Lodra. Dua lambang dirinya—api yang membakar terang, dan kegelapan yang memeluk diam.
“Ibu…” gumamnya lirih. “Apakah kau juga korban dari kebusukan istana ini?”
Kematian Dewi Laksmiwara—ibunya—14 tahun lalu juga terasa ganjil. Tiba-tiba. Tanpa sakit panjang, tanpa alasan jelas. Hanya disebut sebagai “kematian mendadak saat bertapa di Gunung Waja.”
Namun sekarang Maheswara mulai meragukan segalanya.
“Apakah itu juga rekayasa… karena kau hanya selir, bukan permaisuri? Karena darahmu bukan dari garis utama?”
Tubuhnya goyah. Ia merebahkan diri di tempat tidur besar dengan kelambu emas, dan memejamkan mata—namun pikirannya terus membeku dalam gelombang dendam, pengkhianatan, dan misteri.
Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah lorong istana gelap. Suara bisikan terdengar dari berbagai arah.
“Pilih jalanmu, Maheswara…”
“…jadi singa penjaga tahta… atau pedang pemutus rantai dosa.”
Kenangan yang Membakar Senyap
Lokasi: Pulau Nelayan – Kediaman Bangsawan Dra'vetha, Bagian Selatan Pulau
Waktu: Tengah Malam
Di kamar pribadi yang sunyi, cahaya bulan menembus tirai tipis kain linen, menyapu lembut wajah seorang wanita muda yang tertidur memeluk seorang anak laki-laki kecil yang lelap dalam damai. Dialah Catherine van der Lindt — atau seperti yang dulu ia kenal dalam dunia lama: Rinjana Nirnawa, wakil kapten Bayawira Selatan yang pernah dibesarkan oleh dendam dan kemarahan.
Namun malam ini, dalam keheningan, benaknya kembali membuka pintu-pintu masa lalu.
Mimpi itu datang perlahan, namun sangat hidup.
Catherine kecil — rambutnya yang putih keperakan kotor oleh abu, tubuh mungilnya gemetar dalam gaun pesta yang hangus terbakar di beberapa bagian. Ia berdiri di depan reruntuhan rumah bangsawan megah bergaya utara, apinya menjilat langit. Teriakan, denting senjata, dan suara sihir meledak-ledak mengisi udara.
Ibunya, Carolina, menarik tangannya, membisikkan mantra dalam bahasa kuno. Dalam sekejap, cahaya putih menelannya.
Gelap.
Saat cahaya kembali, ia terduduk sendiri di tengah hutan lebat. Tanah basah, malam pekat, dan angin membawa suara serangga serta burung malam yang menggigilkan. Tangisnya pecah tanpa suara, tubuhnya gemetar, ia memanggil nama ibunya berulang kali.
Langkah kaki kuda terdengar dari kejauhan.
Seorang pemuda 18 tahun, mengenakan seragam tentara Mandalagiri sederhana, muncul dari balik pepohonan. Wajahnya teduh, tubuhnya tegap, dan sorot matanya bersinar tulus.
Jagara Kalagni.
“Kau sendirian?”
“Aku… aku kehilangan semuanya… Rumahku dibakar… ibu menyelamatkanku… lalu aku terlempar ke sini…”
Jagara terdiam, matanya menatap langit sejenak, seolah menahan kebenaran yang berat di tenggorokannya. Ia turun dari kudanya, berlutut, dan mengulurkan tangan.
“Namaku Jagara… Aku akan menjagamu.”
Potongan Kenangan Berganti.
Desa kecil di Mandalagiri Timur — Desa Kalindramata — rumah sederhana keluarga Jagara. Ayah dan ibunya menyambut Catherine dengan kehangatan luar biasa, tidak menanyakan dari mana asalnya, tidak menuntut apapun. Ia diberi tempat tidur, makanan, dan kasih sayang.
Hari demi hari, Catherine mulai tertawa kembali.
Jagara membacakan cerita untuknya, mengajarinya menulis, dan menggambar bintang-bintang di malam hari.
"Catharina terlalu Aneh, Bagaimana kalau aku Berinama Rinjana."
“Kau seperti adikku sendiri.”
Namun kebahagiaan itu hanya ilusi sementara.
Di usia remaja, bersama Jagara, mereka bertemu Resi Wighna Laksa — seorang kapten Bayawira yang membuka mata mereka tentang kebusukan dalam sistem istana. Catherine akhirnya tahu: keluarganya bukan korban pemberontakan, tapi korban eksekusi rahasia atas perintah politik kerajaan.
“Bangsa asing, terutama yang berasal dari ras campuran atau berhubungan dengan dunia jin, dianggap ancaman oleh Istana Tirabwana…”
Catherine mengganti identitasnya. Ia bukan lagi gadis kecil bangsawan dari Kerajaan Windmills.
Ia adalah Rinjana Nirnawa — putri kebangkitan, anak dendam, murid gelap Wighna Laksa dan Adik Jagara Kalagni.
Kenangan itu pecah. Cahaya bulan kembali membasuh wajahnya.
Catherine terbangun, napasnya sedikit berat. Matanya terbuka perlahan, menatap langit-langit kamar bergaya klasik bangsawan Dra'vetha. Di sampingnya, Raviendra, anak kecil berambut gelap dengan kulit putih secerah ibunya, masih terlelap dengan tenang.
Catherine menyentuh pipi Raviendra dengan lembut, senyum tipis menghiasi wajahnya. Tangannya menyentuh kalung kecil di leher — liontin dari Zamrud berwarna Hijau Hadiah Ulang Tahun dari Jasana Ayahnya.
“Aku telah hidup dalam kegelapan terlalu lama, Ravi… tapi kau membawaku kembali.”
Wajah Jasana, atau Tuan Jesse seperti ia menyebutnya di tempat ini, terlintas di benaknya. Sosok yang bukan hanya menyelamatkannya, tapi mengajarkan bahwa masa lalu bukan untuk dilupakan — melainkan untuk dilampaui.
Ia mengusap lembut rambut Raviendra.
“Aku bukan lagi Rinjana Nirnawa, wakil kapten Bayawira. Aku adalah Catherine, istri dari pria yang tidak takut melawan nasib.”
“Aku bukan api dendam yang membakar… tapi pelindung anakku dan keluargaku.”
Luar kamar, suara ombak menghantam karang terdengar lirih. Pulau Nelayan kembali tenang dalam malam yang dalam.
Scene ditutup dengan Catherine memeluk anaknya, mata terpejam penuh damai, sementara lambang Dra’vetha tergantung diam di dinding kamar.
Pagi Hari di Markas Guild Bayu Geni, Kota Tirabwana
Lokasi: Ruang Latihan Umum Divisi Panggrahita Aji
Cahaya pagi yang masuk dari jendela tinggi membentuk garis-garis cahaya pada lantai kayu. Ruangan masih sepi. Hening. Lalu...
Di tengah ruangan luas yang kosong, Jasana Mandira bergerak lincah. Setiap tebasan pedangnya meninggalkan jejak samar di udara, menari bersama hawa hangat tubuhnya yang berkeringat. Pakaian latihannya sederhana, tanpa lengan, membiarkan cahaya menyorot pada otot-otot yang tertempa disiplin dan medan.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari arah pintu. Seorang gadis muda muncul, membawa tombak panjang dengan sarung tombak tambahan di punggungnya.
Nandika Sutasmi.
Ia berhenti sebentar di ambang pintu, tampak ragu. Tatapan matanya sempat bertemu dengan milik Jasana. Ia menyapa dengan cepat.
Nandika: “Pagi, Jasana...”
Jasana (tersenyum, menurunkan pedang): “Pagi juga, Nandika. Mau latihan juga?”
Nandika (sedikit gugup): “Iya… aku pikir ruangannya masih kosong…”
Jasana: “Ternyata kita sama-sama kepagian ya. Silakan, aku nggak ganggu, kan?”
Nandika (tersenyum canggung): “Nggak... sama sekali.”
Ia berjalan ke sisi lain ruangan, mengambil posisi dan mulai memutar tombaknya. Gerakannya tajam dan terkontrol, tubuhnya ringan dan penuh determinasi. Namun saat ia menyadari Jasana memperhatikannya diam-diam dari kejauhan, ia sedikit kikuk dan menghentikan gerakannya.
Jasana (mendekat, mengangkat alis): “Kenapa berhenti?”
Nandika (menunduk): “Nggak apa-apa... cuma... yah… aku sadar teknik tombakku masih membosankan dibanding teknikmu.”
Jasana (tersenyum lebar): “Jangan bilang begitu. Gaya bertarungmu khas dan punya kekuatan. Mau latih tanding?”
Nandika menatapnya sesaat. Ada keraguan kecil. Namun kemudian ia mengangguk pelan.
Nandika: “Aku mau.”
Latihan tanding pun dimulai.
Tombak dan pedang saling bersua. Suara logam beradu memenuhi ruangan. Gerakan Jasana cepat, tapi Nandika tak kalah cekatan. Ia menyerang dengan kombinasi tusukan dan putaran. Tombaknya seolah menari. Aura biru samar kadang menyelimuti tubuhnya — kehadiran Sakalingga, khodam burung merak biru.
Sementara Jasana, dengan Lungguh Darma, mengimbangi dengan tebasan berenergi merah hangat, kadang diselingi jejak aura hijau dari tenaga sihir alam-nya.
Keduanya tidak saling menyerang dengan niat melukai. Tapi setiap gerakan tetap membawa ketegangan dan fokus.
Tiba-tiba, saat Nandika hendak mendorong dengan putaran tubuh penuh, ia kehilangan pijakan. Tumitnya terpeleset di lantai licin oleh keringat—dan ia terjatuh ke belakang.
Namun Jasana langsung bergerak. Ia menangkap tubuh Nandika sebelum menyentuh lantai.
Sunyi.
Wajah mereka sangat dekat. Napas mereka nyaris bertaut. Mata Nandika membesar, jantungnya berdetak sangat cepat. Jasana menatap tanpa prasangka, masih memegangi bahunya.
Nandika (berbisik nyaris tak terdengar): “...Maaf...”
Jasana (tenang): “Nggak apa-apa. Kau nggak apa-apa?”
Nandika (cepat bangkit, menunduk): “I-iya! Aku… aku ke belakang sebentar...!”
Tanpa menunggu respon, Nandika setengah berlari keluar ruangan.
Di luar ruangan latihan, Nandika bersandar pada dinding batu guild. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang. Dadanya masih bergemuruh.
“Bodoh... bodoh... kenapa harus gugup begitu…”
Ia menyentuh dadanya, berusaha meredakan debaran yang tak biasa. Kenangan tentang wajah Jasana yang dekat, perhatian tulusnya... membuat pipinya semakin hangat.
“Dia... sudah punya dua istri… bahkan anak... apa aku harus mengubur perasaan ini?”
Namun meski bibirnya menggumam ragu, matanya bersinar dengan rasa yang belum sempat padam.
Scene ditutup dengan Nandika berdiri di lorong guild, sendirian, angin pagi meniup helaian rambutnya yang basah oleh keringat dan debaran rahasia.
Ruang Mandala Utama – Markas Guild Bayu Geni, Kota Tirabwana
Pagi itu, langit mendung menggantung rendah di atas Kota Tirabwana, namun di dalam Ruang Mandala Utama—balai megah dengan pilar-pilar batu, ukiran naga dan api, serta simbol besar Guild Bayu Geni tergantung di dinding barat—suasana justru hangat namun tegang.
Di tengah ruangan bundar itu, duduk para Kapten Divisi Guild Bayu Geni. Semua mengenakan pakaian resmi formasi mereka. Di kursi utama berdiri Pangeran Mahkota Maheswara, mengenakan pakaian formal Guild berwarna hitam pekat. Aura kepemimpinan terpancar dari sikap tegap dan suara mantapnya.
Maheswara (dengan nada tegas):
“Hari ini, aku menyampaikan keputusan besar. Sebagai Pangeran Mahkota Mandalagiri, tugasku akan lebih banyak di Istana Tirabwana untuk urusan politik dan stabilitas kerajaan. Maka, aku tidak bisa lagi sepenuhnya memimpin Guild Bayu Geni.”
Semua Kapten memperhatikan dengan saksama. Beberapa saling bertukar pandang.
Maheswara (melanjutkan):
“Maka, aku ingin menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan. Sosok yang kupilih haruslah yang kuat, visioner, dan mampu menjaga integritas Guild Bayu Geni. Aku tunjuk... Kapten Kalandra Wisanggeni.”
Kalandra—duduk tenang seperti biasa, tanpa ekspresi—membuka matanya sedikit lebih lebar, namun tetap anggun. Ia menundukkan kepala sebentar sebelum menjawab dengan tenang.
Kalandra:
“Ampun, Tuan Maheswara. Aku tidak layak memimpin. Sifatku terlalu tertutup. Bayang-bayang Geni memerlukan fokus... dan aku ingin tetap di jalur bayangan.”
Maheswara:
“Baik... maka aku ajukan nama berikutnya. Kapten Doyantra Puspaloka.”
Sosok besar bertubuh tambun itu mengangguk pelan, namun senyumnya getir.
Doyantra:
“Terima kasih atas kehormatan ini, Pangeran. Namun... aku masih harus mengelola keluarga Puspaloka dan bisnis dagang kami. Hatiku tetap di Mandala Dhana, bukan di singgasana Guild.”
Maheswara:
“Lalu... bagaimana dengan Mahadewa Rakunti?”
Kapten Rasa Prawira tersenyum lembut, seperti seorang guru yang sudah tahu arah angin.
Mahadewa:
“Generasi kami sudah cukup lama mengawal Guild. Mungkin sudah saatnya memberi ruang kepada generasi baru... Seperti Pradipa Karna... atau Kirana Wismadanta.”
Semua mata kini mengarah pada Kirana, wanita bersanggul rapi dengan mata tajam seperti bilah baja.
Kirana (dengan rendah hati):
“Aku... baru dua tahun menjabat sebagai Kapten. Masih banyak yang harus kupelajari. Kalau boleh berpendapat... Pradipa Karna lebih cocok. Ia pemimpin alami. Dan Dwijanaga—pedangnya—bukan hanya senjata, tapi simbol.”
Maheswara (menatap Pradipa):
“Pradipa Karna. Apa kau bersedia?”
Pradipa yang sejak tadi duduk tenang, menatap semua yang hadir. Mata hitamnya tajam, namun suaranya tenang dan penuh keyakinan.
Pradipa Karna:
“Jika Guild Bayu Geni mempercayaiku... aku bersedia. Aku akan terus bersinergi dengan para Kapten dan menjaga marwah Guild seperti yang sudah dibangun oleh Pangeran Maheswara dan para pendahulu.”
Maheswara (tersenyum puas):
“Keputusan ini akan diumumkan resmi dalam waktu dekat. Pengangkatanmu sebagai Pemimpin Guild Bayu Geni akan dilangsungkan dalam upacara resmi.”
Ia lalu melanjutkan.
Maheswara:
“Namun satu hal... Jika Pradipa Karna memimpin Guild, siapa yang akan menggantikannya sebagai Kapten Raka Lelana?”
Tanpa ragu sedikit pun, Pradipa menoleh ke arah satu nama.
Pradipa Karna (mantap):
“Jasana Mandira. Ia paling layak. Kuat, cepat, bijak. Dan... dia telah membuktikan dirinya.”
Kapten lain tampak mengangguk. Mahadewa Rakunti bahkan mengangkat alis dengan sedikit kagum. Kirana tersenyum tipis.
Maheswara (tegas):
“Baik. Maka dalam waktu bersamaan, akan diumumkan juga pengangkatan Jasana Mandira sebagai Kapten Divisi Raka Lelana. Semoga ia dapat terus membawa semangat eksplorasi dan keberanian untuk Guild kita.”
Scene ditutup dengan sorotan pada wajah Pradipa Karna yang tampak mantap namun dalam, serta Maheswara yang menatap jendela besar Ruang Mandala Utama... seolah ia telah melepaskan sebuah beban besar, dan memberikan obor kepada generasi penerus.
Ruang Utama Divisi Raka Lelana – Markas Guild Bayu Geni, Pagi Hari
Langit Tirabwana masih diselimuti kabut tipis saat matahari baru naik. Di dalam ruang utama Divisi Raka Lelana, suasana begitu hening namun penuh harapan. Ruangan luas yang didekorasi dengan peta dunia kuno, lambang naga mengepak di dinding, dan senjata-senjata tergantung rapi, kini dipenuhi oleh 20 anggota Divisi Raka Lelana. Semuanya hadir lengkap: para pendekar muda, beberapa senior yang masih bertahan, dan nama-nama terbaik seperti Nandika, Kirta, Zadran, serta Nenden Ayu Jalaksana.
Di hadapan mereka, Kapten Pradipa Karna berdiri tegap, mengenakan mantel hijau pekatnya, pedang Dwijanaga tergantung di punggung. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya, namun sinar matanya membawa keyakinan.
Pradipa Karna:
“Saudaraku semua... Divisi ini telah melalui banyak hal. Kita kehilangan tiga rekan dalam serangan Bayawira beberapa bulan lalu. Tapi dari kehilangan, kita tumbuh. Kita tak hanya bertahan—kita bangkit.”
Semua anggota menyimak dalam diam yang dalam. Wajah mereka menegang, mengingat kembali kehilangan para senior mereka.
Pradipa (melanjutkan):
“Hari ini aku menyampaikan kabar penting. Dalam waktu dekat, atas keputusan Pangeran Mahkota Maheswara dan para Kapten, aku... akan diangkat menjadi Pemimpin Guild Bayu Geni.”
Ruangan sejenak terdiam, namun kemudian disambut tepuk tangan dan seruan penuh semangat.
Kirta (tersenyum lebar):
“Hidup Kapten Pradipa!”
Nenden Ayu (tersenyum bangga):
“Akhirnya seseorang yang layak memimpin seluruh Guild!”
Beberapa pendekar muda tampak berseri-seri. Tapi sebelum sorak-sorai itu melambung lebih tinggi, Pradipa mengangkat tangan.
Pradipa:
“Dan karenanya... Aku akan menyerahkan tongkat kepemimpinan Divisi Raka Lelana kepada sosok yang sudah membuktikan keberaniannya, kekuatannya, dan ketulusan hatinya.
Dia yang menghadapi Kandhara Mangkara, kapten Bayawira Utara—seorang manusia raksasa dan mantan perwira istana—dan mengalahkannya.
Dia adalah... Jasana Mandira.”
Suasana ruangan seperti membeku sejenak sebelum seruan sorak dan tepuk tangan kembali meledak.
Zadran (berteriak):
“Itu dia! Jasana!”
Kirta (tersenyum dan menepuk punggung Jasana):
“Kabar baik, Kapten baru!”
Nandika (senyum menunduk, sembari memalingkan wajah sedikit):
“Kau memang pantas, Jasana...” (gumam lirih)
Jasana, yang awalnya hanya berdiri di antara rekan-rekannya, tampak terkejut. Ia maju perlahan ke tengah ruangan, sorot matanya penuh pergolakan. Ia menatap Pradipa sejenak—memahami beban yang akan ditinggalkannya.
Jasana (merendah):
“Aku... bukan siapa-siapa tanpa kalian. Aku hanya melakukan tugasku sebagai pendekar dan anggota Guild ini.
Tapi... jika kepercayaan ini diberikan, dan kalian semua mendukung, maka aku... bersedia menerima tanggung jawab ini.
Untuk Divisi ini. Untuk petualangan kita selanjutnya.”
Sorakan kembali menggema, kali ini lebih hangat, lebih solid.
Pradipa (tersenyum dan meletakkan tangannya di pundak Jasana):
“Mulai hari ini, jasamu tak lagi hanya sebagai pendekar. Kau akan menjadi pemimpin. Dan aku yakin—kau akan melampauiku.”
Scene ditutup dengan Jasana berdiri di depan para anggota Divisi, kini bukan hanya sebagai rekan, tapi sebagai Kapten Baru Divisi Raka Lelana.
Di belakangnya, bendera Divisi berkibar pelan oleh hembusan angin pagi dari jendela batu besar, menandakan lembaran baru dalam perjalanan mereka.
Dalam beberapa hari ke depan, dunia akan menyaksikan dua pemimpin baru lahir dari bara perjuangan dan darah: Pradipa Karna sebagai Pemimpin Guild Bayu Geni, dan Jasana Mandira sebagai Kapten sang petualang—Raka Lelana.
Balairung Utama Guild Bayu Geni – Kota Tirabwana, Pagi Hari
Langit Tirabwana cerah sempurna pagi itu. Mentari menggantung tenang di atas Balairung Utama Guild Bayu Geni, sebuah ruang upacara berbentuk setengah lingkaran dengan tiang-tiang batu besar berukir lambang angin dan api yang menjulang ke langit. Di tengah ruangan, 100 anggota Guild Bayu Geni berdiri rapi, mengenakan seragam divisi masing-masing—mantel hijau pekat, merah bata, ungu kelabu, kuning gading, dan hitam keunguan.
Di hadapan mereka, Pangeran Mahkota Maheswara berdiri di atas panggung utama, mengenakan jubah resmi berwarna hitam legam dengan sulaman emas. Pedang Arka Wijaya tergantung di pinggangnya, bersinar samar di bawah sinar pagi. Di sampingnya berdiri para Kapten Legendaris:
Kirana Wismadanta, mata tajam dan tenang.
Mahadewa Rakunti, penuh wibawa dan kebijaksanaan.
Kalandra Wisanggeni, seperti bayangan, diam tapi mengawasi.
Doyantra Puspaloka, besar dan berwibawa seperti gunung emas.
Pangeran Mahkota mengangkat tangan, dan kerumunan pun hening.
Maheswara (lantang, khidmat):
“Hari ini, di bawah langit yang diberkahi, aku, Maheswara—Pemimpin Guild Bayu Geni dan Pangeran Mahkota Kerajaan Mandalagiri—mengumumkan transisi kepemimpinan.
Sosok yang telah membawa Divisi Raka Lelana melalui badai, telah teruji dalam darah dan kehormatan, kini akan memimpin kita semua.
Maka, aku lantik—Pradipa Karna, sebagai Pemimpin Baru Guild Bayu Geni.”
Pradipa Karna melangkah maju, mengenakan mantel panjang resmi berwarna hijau dan emas, pedang Dwijanaga tergantung tenang di punggungnya. Ia berlutut singkat, dan Maheswara menepukkan tangannya ke bahu kanan Pradipa.
Maheswara:
“Angkat wajahmu, Pradipa. Kini engkau bukan hanya kapten, tapi api yang akan memandu arah Guild ini.”
Sorak sorai menggema dari seluruh ruangan, tak terbendung. Tepuk tangan membahana. Namun Maheswara mengangkat tangan lagi, dan suasana kembali hening.
Maheswara:
“Kini, untuk mengisi posisi yang ia tinggalkan... kita panggil sang pemuda yang telah menorehkan namanya dalam sejarah.
Dia yang tak hanya kuat, tapi juga rendah hati.
Dia yang telah menumbuhkan harapan baru dalam tubuh para pendekar muda.
Jasana Mandira—maju.”
Jasana melangkah ke tengah panggung. Mantelnya—hijau pekat khas Divisi Raka Lelana—berkibar pelan. Rambut panjangnya terikat rapi, wajahnya tegas dan tenang. Di pinggangnya tergantung Parangjati dan Lungguh Darma, dua senjata yang memuat dua khodam besar dalam hidupnya.
Ia berlutut.
Maheswara (dengan nada yang lebih hangat):
“Engkau telah memilih jalan sunyi dan berat, Jasana. Namun jalan itulah yang menuntunmu ke sini.
Hari ini, aku angkat engkau sebagai Kapten Divisi Raka Lelana.”
Tepukan tangan kembali bergemuruh. Sorakan dari Nandika, Kirta, Nenden, dan para anggota Divisi Raka Lelana menggema paling keras.
Pradipa berdiri di sampingnya, menepuk pundak Jasana dengan bangga, lalu menyerahkan lencana naga bersayap emas—simbol resmi Kapten Divisi Raka Lelana—ke tangan Jasana. Jasana menerimanya dan berdiri menghadap seluruh Guild.
Jasana (dengan suara bulat):
“Selama darah ini mengalir dan kaki ini menapak, aku akan memimpin Raka Lelana bukan hanya dengan pedang... tapi dengan kepercayaan kalian semua.”
Scene ditutup dengan seluruh anggota Guild Bayu Geni memberi hormat. Maheswara memandang para pemuda itu—Pradipa Karna dan Jasana Mandira—dengan sorot mata penuh harapan.
Narator (suara batin):
*"Di bawah langit Tirabwana yang kembali terang... generasi baru telah bangkit.
Mereka tak hanya mewarisi pedang dan takhta,
tapi juga beban sejarah, luka yang belum pulih, dan mimpi-mimpi yang belum selesai.
Di tangan merekalah, api dan angin Guild Bayu Geni akan menyala lebih terang dari sebelumnya."*