Maheswara dan Aryawangsa
Lokasi: Istana Tirabwana – Kota Tirabwana, Kerajaan Mandalagiri
Waktu: Siang Hari, Cuaca Cerah Namun Berangin
Langit Tirabwana cerah, namun angin berhembus tajam seperti firasat yang menyelinap masuk dari celah-celah menara batu. Di dalam Istana Tirabwana, di balik dinding marmer megah dan ukiran naga emas, ruang kerja Pangeran Mahkota Maheswara terasa sunyi namun penuh ketegangan yang ditahan.
Maheswara, mengenakan pakaian resmi Pangeran Mahkota berwarna hitam dan merah api, berdiri membelakangi jendela lebar yang menghadap ke taman istana. Di tangannya, secangkir teh herbal masih mengepul. Namun tatapannya jauh, menembus waktu dan kepalsuan.
Pintu kayu ukir terbuka.
Masuklah sosok tua berpakaian jubah formal dewan istana. Aryawangsa Kertadarma, dengan rambut putih tersisir rapi dan tongkat perak, berjalan pelan namun tegak. Wajahnya tetap angkuh, sorot matanya licik namun dibalut dengan senyum formal.
Aryawangsa (dengan suara halus namun menusuk):
“Yang Mulia Pangeran Mahkota... izinkan hamba mengucapkan selamat atas kelanjutan kedudukan paduka yang—tentu saja—memerlukan dukungan kuat dari kalangan bangsawan.”
Maheswara menoleh perlahan. Ia tersenyum tipis—tapi tatapannya dingin seperti ujung mata pedangnya.
Maheswara:
“Kau selalu datang dengan ‘ucapan selamat’, Tuan Aryawangsa. Tapi di dalamnya... selalu terselip tali pengikat.”
Mereka duduk.
Percakapan 4 mata pun dimulai. Dan seperti yang Maheswara duga, Aryawangsa mulai menyusupkan narasi lamanya: tentang garis keturunan, legitimasi, dan ketidaklayakan seorang anak selir untuk memimpin Mandalagiri.
Aryawangsa:
“...Paduka tahu, di antara bangsawan, suara-suara miring tak bisa dibungkam selamanya. Mereka mempertanyakan darah dari Dewi Laksmiwara. Bagaimana bila... kekuasaan dikembalikan ke tangan Pangeran Mahadarsa atau Aryasatya?”
Maheswara diam sesaat. Wajahnya tenang. Namun dalam dadanya, bara mulai menyala.
Ia lalu menatap Aryawangsa dengan senyum dingin.
Maheswara:
“Kau ingin aku turun tahta? Silakan. Kirim keduanya ke sini. Jika mereka bisa menjatuhkanku, tahta ini akan kuserahkan dengan tangan terbuka.”
Aryawangsa terdiam. Sesaat dia kaget. Maheswara tidak bisa dikendalikan seperti Aryasatya dulu. Tapi ia segera mengganti pendekatan.
Aryawangsa:
“Bukan begitu maksud kami. Kami—para loyalis dewan—hanya ingin membantu paduka mengamankan posisi dengan... dukungan politik penuh. Kami akan mengubah pandangan para bangsawan... asal paduka mendukung kebijakan kami kelak.”
Ia mengeluarkan selembar kertas perjanjian.
Tinta hitam mengkilap di atas lambang kerajaan dan stempel dewan.
Aryawangsa:
“Tanda tangan saja, paduka. Dan paduka akan mendapat seluruh kekuatan kami... tanpa perlu darah tertumpah.”
Maheswara berdiri. Tertawa.
Tawa kerasnya memenuhi ruangan, menggema hingga ke langit-langit berukir naga.
Maheswara (sambil merobek surat itu):
“Kau pikir aku butuh tanganmu yang penuh racun untuk berdiri? Aku punya dua hal yang tak kau miliki, Aryawangsa: kehormatan dan kekuatan.”
Aura menggelegar keluar dari tubuh Maheswara.
Bayangan samar Sambara Geni, rajawali api raksasa, muncul di belakangnya. Udara terasa panas, dan tekanan spiritualnya membuat Aryawangsa menggigil. Kemudian, aura berubah—dingin, menekan, sunyi.
Sosok bayangan tinggi berselimut asap, Bayulodra, muncul perlahan di balik tubuh Maheswara—diam, tapi mengintai seperti kematian yang berjalan.
Aryawangsa tak bisa bicara. Keringatnya menetes meski ruangan itu berlapis sihir pengatur suhu.
Maheswara (dengan suara berat dan dingin):
“Cobalah kendalikan aku, ganggu hidupku, atau sentuh keluargaku... Maka aku bersumpah: kau, para loyalismu, dan Dewan Istana akan kupadamkan seperti api kecil di tengah badai.”
Ia melangkah pergi. Tapi sebelum keluar dari ruangan, ia menoleh satu kali lagi.
Maheswara (senyum tajam):
“Dan jika kau ingin menggantikanku dengan Mahadarsa atau Aryasatya... silakan. Tapi jangan harap Guild Bayu Geni akan melindungi Mandalagiri dari Bayawira. Kalian akan melihat kerajaan ini jatuh... sementara aku dan para petarungku hanya akan menonton dari kejauhan.”
Pintu terbanting.
Aryawangsa terduduk.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang panjang... ia merasakan ketakutan yang tak bisa dilawan dengan politik, siasat, atau kata-kata manis.
Narator (suara batin):
“Di balik ambisi dan intrik istana... muncul satu sosok pewaris tak resmi yang tak bisa dibungkam oleh garis darah.
Ia bukan hanya Pangeran Mahkota...
Ia adalah bara dalam bayangan yang bersiap menjadi api besar di sejarah Mandalagiri.”
“Kebenaran Tersembunyi di Balik Takhta”
Lokasi: Istana Tirabwana, Ruang Pribadi Sri Maharaja Darmawijaya – Siang Hari
Langit Tirabwana kembali tenang setelah beberapa hari memanas oleh benturan siasat dan gengsi istana. Di balik kemegahan istana utama, Sri Maharaja Darmawijaya duduk seorang diri di ruang pribadinya yang tenang namun penuh simbol kekuasaan—lukisan para raja terdahulu tergantung bisu, seolah menjadi saksi bisu sejarah yang berulang.
Pintu ruangan terbuka pelan.
Maheswara masuk perlahan, melangkah pasti, memberi salam penuh hormat—meskipun hatinya telah siap untuk diserang. Ia tahu, Aryawangsa Kertadarma telah lebih dulu mengadu.
Darmawijaya (datar namun menyimpan amarah):
“Apa yang kau lakukan terhadap Aryawangsa sungguh memalukan. Tak pantas untuk seorang Pangeran Mahkota.”
Tanpa peringatan, tangan sang Raja menampar wajah Maheswara.
Suara tamparan menggema di ruangan sunyi itu.
Namun Maheswara hanya tertawa pelan… lalu tertawa keras.
Sang Raja mencoba menampar lagi, tapi kali ini tangannya dihentikan dengan satu cengkeraman kuat.
Maheswara (dingin):
“Apa aku juga akan disingkirkan seperti Adipati Suranegara, adik dari Permaisuri Shandrakirana, Ayah?”
“Atau… aku akan dibakar hidup-hidup bersama keluargaku… seperti yang kau lakukan setelah hubungan gelapmu dengan bangsawan asing?”
Darmawijaya membeku.
Tangannya gemetar. Pandangannya menurun. Ia sadar, rahasia tergelap masa lalunya telah terbongkar. Maheswara… sudah tahu.
Maheswara (nada sinis, datar):
“Aku pernah tanpa sengaja mendengar percakapanmu dengan Aryawangsa Beberapa Hari yang Lalu di Ruang Pribadi-mu. Dan Aku Mengetahui Semua Kebenaran Masalalu Gelap-mu.”
Hening.
Maheswara (menahan air mata):
“Dan satu hal lagi, Ayah… kematian Ibuku—Dewi Laksmiwara. Kau bilang dia meninggal mendadak saat bertapa di Gunung Waja. Tapi… apakah itu juga bagian dari konspirasi dewan, karena ia hanyalah selir, bukan darah bangsawan murni?”
Sang Raja memalingkan wajah.
Matanya mulai berkaca. Kenangan lama menghantam seperti badai.
Darmawijaya (lembut, lirih):
“Ibumu... bukan korban konspirasi, Maheswara... Dia terkena kutukan jiwa saat bertarung di Perang Selatan. Kami hanya bisa memperlambat kehancuran jiwanya, bukan menyelamatkannya… Ia menyembunyikan sakitnya demi dirimu. Ia bahkan tak ingin kau melihatnya melemah.”
“Aku... mencintainya. Ia cinta pertamaku, bahkan sebelum Shandrakirana. Tapi aku adalah boneka dari politik. Aku harus menikahi sang Permaisuri demi menjadi Raja. Baru setelah itu… aku menikahi ibumu. Tak ada niat mengkhianatinya.”
Maheswara terdiam.
Seluruh arogansi dan kemarahan yang ia bawa… luruh seketika.
Matanya basah. Ia menunduk.
Sang Raja memeluknya.
Pelukan yang lama tak pernah terjadi.
Darmawijaya (tenang, lirih):
“Tentang Adipati Suranegara dan bangsawan asing itu... semuanya benar. Tapi bukan aku yang memerintahkan pembantaian itu. Dewan Istana... mereka menciptakan ketakutan untuk menjaga darah murni tetap berkuasa. Dan aku—aku hanya seorang Raja boneka... waktu itu.”
Ia menatap putranya, perlahan… tegas.
Darmawijaya:
“Waktuku sudah dekat. Dalam waktu dekat mungkin, aku akan turun takhta. Kau akan menjadi Raja. Dan jika kau tahu kebenaran busuk itu, maka bersihkan istana dari racun lama.”
“Dan… satu lagi.”
Ia membuka laci meja, mengeluarkan gulungan surat usang dengan stempel Kerajaan.
“Anak dari hubungan gelap itu… tidak terbunuh. Ibunya sempat memberiku kabar. Aku mengirim seorang tentara muda untuk menyelamatkannya diam-diam. Anak perempuan itu… kini mungkin telah dewasa jika Masih Hidup. Kau bisa mencarinya… namanya tak pernah dicatat, tapi kau mungkin langsung mengenalinya.”
“Dia tinggal di Desa Kalindratama. Jika kau menemukannya… anggaplah dia adikmu. Dia korban kebencian tatanan lama…”
Maheswara tidak berkata sepatah kata pun.
Ia hanya berdiri membatu. Wajahnya campur aduk—kemarahan, kesedihan, dan rasa kasihan pada ayahnya.
Sang Raja pergi meninggalkannya sendirian.
Di ruangan itu, Maheswara menatap lukisan ibunya—Dewi Laksmiwara, dengan rambut terurai dan sorot mata lembut namun kuat.
Narator (batin Maheswara):
“Dewan Istana telah menciptakan neraka… dalam istana sendiri. Tapi waktu mereka akan segera habis.”
“Jalan ke Kalindratama”
Lokasi: Istana Tirabwana – Pagi Menjelang Siang
Langit Kota Tirabwana diselimuti awan tipis, sementara angin membawa aroma musim kemarau yang mulai mengeringkan dedaunan. Di salah satu lorong istana, langkah Jasana Mandira terdengar tenang namun pasti, menyusuri lorong megah menuju ruangan pribadi Pangeran Mahkota Maheswara.
Pintu dibuka oleh pengawal kepercayaan sang Pangeran. Maheswara telah menunggu, berdiri di balik meja besar dengan jendela terbuka menghadap taman istana.
Maheswara:
“Kapten Jasana Mandira… Terima kasih sudah datang. Hari ini, aku ingin kau menemaniku dalam perjalanan—sebuah misi pribadi, sangat rahasia.”
Jasana (menunduk hormat):
“Saya siap, Paduka.”
Maheswara (tenang):
“Kita hanya berdua. Tidak ada pengawal. Tidak ada pendamping. Tidak ada yang tahu. Tujuan kita adalah Desa Kalindratama, di wilayah timur Mandalagiri.”
Jasana sempat terdiam, namun ia hanya mengangguk dengan wajah tenang. Ia tahu, jika sang Pangeran memintanya secara langsung, maka ini bukan misi biasa.
Jasana:
“Saya akan menjaga kepercayaan ini dengan seluruh jiwa saya, Paduka.”
Transition Scene
Lokasi: Kandang Kuda Pribadi Maheswara – Siang Hari
Tanpa seremoni. Tanpa pengawalan. Hanya dua sosok berkuda melaju meninggalkan istana melalui jalur rahasia di sisi barat tembok Tirabwana. Maheswara mengenakan jubah kelana kelabu, menyembunyikan pakaian kebangsawanannya. Jasana mengenakan mantel Raka Lelana yang tertutup sebagian oleh pelindung bahu kulit hitam.
Mereka menembus hutan, lembah, dan jalur berbatu, hingga langit mulai meredup.
Scene Malam – Hutan Gantarawati
Api unggun menyala. Kabut tipis mulai turun dari puncak pohon. Suara burung malam dan hewan hutan menciptakan suasana yang hening namun hidup. Jasana dengan cekatan mendirikan tenda dan membuat pagar sihir tipis untuk perlindungan spiritual.
Keduanya duduk bersila di dekat api, berbagi makanan dan minuman hangat.
Maheswara (diam sejenak, lalu berbicara):
“Aku tahu… kau pasti penasaran kenapa misi ini begitu tertutup. Aku akan jujur, Jasana. Ini tentang… masa lalu ayahku.”
Jasana (mengangkat wajah):
“Tentang Sri Maharaja Darmawijaya?”
Maheswara (nada dalam):
“Ayahku… punya anak dari hubungan gelap dengan bangsawan asing. Dan… 19 tahun lalu, Dewan Istana membantai seluruh keluarga itu, membakar kediamannya. Tapi… Ayahku menyelamatkan sang anak—diam-diam.”
“Anak itu—seorang perempuan. Jika masih hidup, kini mungkin sudah seumuran denganmu. Ia tinggal… atau pernah tinggal, di Desa Kalindratama.”
Jasana memandang dalam api unggun, menyadari betapa gelapnya rahasia yang disimpan para penguasa.
Jasana (perlahan):
“Pantas… perjalanan ini begitu rahasia. Tapi mengapa kau memberitahuku, Pangeran? Rahasia seperti ini bisa menghancurkan kerajaan…”
Maheswara (menatap lurus ke arahnya):
“Karena aku percaya padamu, Jasana. Kau bukan sekadar prajurit atau kapten. Kau… pewaris keberanian sejati dari rakyat Mandalagiri. Dan… jika sesuatu terjadi padaku—kau harus tahu kebenaran ini.”
Jasana menunduk, lalu mengepalkan tangan.
Jasana:
“Baiklah… Jika ini untuk kebenaran, dan untuk keadilan yang selama ini dikubur oleh istana, aku akan membantumu sampai akhir, Pangeran.”
Maheswara (tersenyum tipis):
“Tidak perlu formal, Jasana. Malam ini, aku bukan Pangeran. Anggap saja aku adalah teman seperjalananmu… seorang lelaki biasa, yang mencari bagian dari keluarganya yang hilang.”
Jasana (tersenyum kecil, namun tetap tenang):
“Aku… tetap akan menghargai darah bangsawanmu, Pangeran. Tapi baiklah… malam ini, aku akan melupakan tahta, dan menemanimu sebagai rekan dalam sebuah perjalanan rahasia.”
Angin malam berhembus membawa harum kayu bakar dan rasa persaudaraan yang mulai tumbuh di antara dua jiwa pejuang.
Narator (suara dalam):
“Dua hati dari dua dunia berbeda—bangsawan dan rakyat, pemimpin dan prajurit—melangkah menuju Kalindratama. Bukan hanya untuk menemukan seseorang… tetapi untuk menemukan kebenaran yang selama ini disembunyikan oleh sejarah.”
"Jejak di Kalindratama"
Lokasi: Desa Kalindratama, Mandalagiri Timur – Senja Hari
Langit keemasan menggantung di ufuk timur, mewarnai pucuk-pucuk pohon dan ladang yang tenang. Dua sosok berkuda menyusuri jalan tanah berkerikil menuju Desa Kalindratama, sebuah desa kecil di wilayah timur Mandalagiri yang tampak damai, seolah tak pernah tersentuh sejarah kelam.
Maheswara, menyamar dalam jubah kelana kelabu, menatap sekeliling dengan mata yang tajam namun tenang. Di sebelahnya, Jasana Mandira, dalam setelan Raka Lelana yang sederhana, menjaga kewaspadaan.
Maheswara (menahan kendali kudanya):
“Kita berhenti di sini dulu. Lihat, ada penginapan di ujung jalan itu. Kita istirahat malam ini.”
Jasana mengangguk. Mereka memarkir kuda di pelataran penginapan, sebuah bangunan dua lantai dengan lampu minyak di setiap sudutnya. Di lantai bawah, tampak ruangan makan sederhana dengan beberapa warga desa yang tengah menyantap malam.
Maheswara dan Jasana duduk di sudut ruangan—jauh dari perhatian, wajah Maheswara sedikit tertutup tudung jubah. Mereka memesan makanan khas desa: nasi rempah, sup akar pahit, dan daging panggang asap.
Suasana hangat, api obor berpendar di dinding batu.
Maheswara (sambil mengunyah perlahan):
“Bagaimana kabar istri-istrimu, Jasana?”
Jasana tersenyum kecil.
Jasana:
“Catherine dan Lutfayana sehat, Paduka. Raviendra, anak sulungku, sudah bisa berjalan dan bicara meski masih terbata… kadang mengejutkanku dengan pertanyaannya yang aneh-aneh.”
(tersenyum lebih lebar)
“Ishvara, anak keduaku, masih dua bulan. Cantik seperti ibunya… Dia hanya tahu tidur, menangis, lalu tertawa.”
Maheswara tertawa ringan. Sorot matanya melunak.
Maheswara:
“Pasti berat meninggalkan mereka di Adiyaksa. Sementara kau harus tinggal di Tirabwana…”
Jasana (menatap dalam):
“Aku sudah bersumpah, Paduka. Untuk Bayu Geni… dan untuk Mandalagiri. Keluargaku tahu itu. Mereka juga ingin negeri ini aman dari kegelapan Bayawira.”
Maheswara mengangguk pelan, ada rasa hormat yang tumbuh lebih dalam di balik matanya.
Maheswara:
“Aku juga… punya seorang putri. Lintang Jayaswari. Tujuh tahun… sebentar lagi masuk Akademi Militer.”
(wajahnya sedikit sendu)
“Aku ingin bersamanya lebih lama. Tapi istana ini seperti perang lain yang tiada henti… politik… pengkhianatan… semua menyita waktuku.”
Jasana meletakkan cangkir airnya.
Jasana:
“Mungkin… kita sama-sama menanggung perang yang tak kelihatan. Tapi jika kita bisa menangkan ini… masa depan mereka akan lebih damai.”
Maheswara tersenyum lebar.
Maheswara:
“Kau benar. Tekadmu sekuat baja, Jasana. Aku akan bantu Bayu Geni… meski dari balik dinding istana. Dan malam ini… kita hanya dua lelaki, ayah dan pendekar, yang sama-sama bertarung untuk yang kita cintai.”
Mereka menghabiskan makan malam dalam keheningan damai.
SCENE – "Penginapan, Kamar Atas"
Malam menjelang, penginapan mulai sepi. Di lantai atas, Maheswara dan Jasana masuk ke kamar sederhana berisi dua tempat tidur kayu, jendela kecil, dan lentera gantung.
Jasana mengecek senjatanya. Maheswara melepas jubahnya perlahan, menggantungnya di dekat pintu.
Maheswara (sebelum berbaring):
“Besok… kita mulai menyusuri jejak. Tanya warga satu per satu. Jika gadis itu masih hidup… dia mungkin sudah seusiamu.”
Jasana mengangguk pelan.
Jasana:
“Aku siap, Paduka.”
Maheswara (tersenyum):
“Panggil aku… Maheswara saja. Untuk perjalanan ini, aku bukan Pangeran. Hanya seseorang yang mencari adik kandungnya… yang direnggut oleh kejamnya kekuasaan.”
Lampu dipadamkan perlahan. Malam di Desa Kalindratama terasa tenang, namun riak sejarah mulai menggeliat dari dalam tanahnya yang diam.
Narator (suara dalam):
“Keesokan harinya, langkah mereka akan menyibak masa lalu. Jejak seorang gadis yang selamat dari pembantaian… Jejak yang akan membuka bab baru dalam takdir Mandalagiri.”
“Jejak yang Terkuak”
Lokasi: Desa Kalindratama, Pagi Hari
Langit pagi mendung tipis saat Maheswara dan Jasana menyusuri jalanan desa berbatu. Keduanya berpencar, bertanya ke warga satu per satu. Namun, tak satu pun yang mengenali nama atau sosok yang mereka cari.
Ciri-ciri terlalu samar. Tidak ada nama. Tidak ada jejak.
Sampai akhirnya...
LOKASI: Balai Desa Kalindratama
Seorang pria tua dengan janggut tipis dan suara berat menyapa mereka. Namanya: Ki Arwani, Kepala Desa Kalindratama. Pakaiannya sederhana, namun sorot matanya tajam penuh pengalaman.
Ki Arwani (dengan tenang):
“Barangkali, aku tahu siapa yang kalian cari…”
Mata Maheswara langsung menatap tajam. Jasana pun menegakkan tubuhnya.
Jasana:
“Perkenalkan, saya Jesse, dan ini sahabat saya, Mahesa. Kami hanya pelancong… mencari jejak keluarga lama.”
Ki Arwani tersenyum samar, lalu mengajak mereka masuk ke dalam balai desa. Di dalam ruangan, beralas tikar bambu dan dinding kayu tua, kisah pun dimulai.
Ki Arwani:
“Dulu… ada pasangan tua di desa ini. Anaknya—seorang tentara muda dari Tirabwana, Jagara Kalagni—membawa seorang gadis kecil. Kulitnya putih terang, rambutnya keperakan… jelas bukan dari darah murni Mandalagiri. Tapi elok… elok sekali. Namanya: Rinjana Nirnawa.”
Maheswara menoleh cepat ke arah Jasana. Wajah Jasana membeku.
Ki Arwani (melanjutkan):
“Anak itu dibesarkan di sini sampai remaja. Tapi tujuh tahun lalu… Jagara dan gadis itu pergi. Tak pernah kembali. Orangtua angkatnya meninggal delapan tahun lalu. Sejak itu… tak ada kabar.”
Sejenak ruangan sunyi.
Maheswara (perlahan):
“Apa kau yakin… namanya Rinjana Nirnawa?”
Ki Arwani (mengangguk):
“Yakin. Gadis itu… istimewa.”
Maheswara dan Jasana saling pandang.
Nama itu menghantam kesadaran mereka seperti petir di langit cerah.
Rinjana Nirnawa. Catherine. Istri Jasana.
Jagara Kalagni. Wakil Kapten Bayawira Selatan—pengkhianat, tewas tiga tahun lalu di tangan Darsa.
Jasana terdiam. Wajahnya pucat. Dalam diamnya, ingatan tentang Catherine melintas: rambut peraknya yang indah, kulitnya yang pucat memesona—selalu ia kira itu warisan asing dari garis ibu. Tapi kini…
Maheswara meletakkan tangan di bahu Jasana.
Maheswara (datar, menahan keterkejutan):
“Terima kasih, Ki Arwani. Cerita ini… sangat berarti.”
Mereka berdua menunduk hormat lalu keluar dari balai desa. Langkah mereka cepat menjauh, melewati gang sepi, dan berhenti di area lapang di pinggir desa—sebuah kebun bambu kecil. Sunyi dan jauh dari telinga siapa pun.
SCENE – “Pengakuan”
Maheswara dan Jasana berdiri saling berhadapan.
Maheswara (menghela napas panjang):
“Dunia ini ternyata kecil sekali… Aku tak menyangka… Adikku… adalah istrimu sendiri, Jasana.”
Jasana mengatupkan rahangnya, matanya merah.
Jasana (suara berat):
“Catherine… tidak pernah tahu siapa ayahnya. Dia bilang… ibunya hanya berkata ayahnya bekerja di istana… Tapi ternyata—ayahnya adalah Sri Maharaja Darmawijaya.”
Maheswara (menatap lurus):
“Dan kau, Jasana… adalah adik iparku.”
(ia tertawa kecil, getir)
“Hanya Dewa yang bisa menulis skenario serumit ini.”
Jasana tak bisa ikut tertawa. Ia masih gemetar, mencoba mencerna kenyataan yang menabrak jiwanya.
Maheswara (dengan suara dalam):
“Rahasia ini… harus tetap rahasia. Jangan biarkan Dewan Istana tahu. Jika mereka tahu Catherine masih hidup… mereka akan mencarinya. Akan membunuhnya, seperti yang mereka lakukan pada keluarganya.”
Jasana mengangguk perlahan.
Jasana:
“Dia… anak sah Raja… tapi mereka pasti tak peduli. Karena darahnya bercampur.”
Maheswara:
“Dan karena dia tahu… dan pernah jadi bagian dari Bayawira. Itu membuatnya dua kali berbahaya di mata mereka.”
Maheswara melangkah maju, memegang pundak Jasana.
Maheswara:
“Mari kita ke Pulau Nelayan. Aku ingin bertemu adikku. Aku ingin… meminta maaf… atas nama ayahku… dan menyampaikan padanya: dia bukan kutukan dari masa lalu. Dia adalah Cahaya yang tertunda.”
Jasana mengangguk. Perlahan senyuman mulai tumbuh di wajahnya yang masih campur aduk.
Jasana:
“Aku akan membawamu ke rumahku, Pangeran—eh… Maheswara. Tapi maaf… rumahku tidak siap menyambut seorang calon Raja.”
Maheswara menepuk bahunya, tertawa lebar.
Maheswara:
“Hari ini aku hanya kakak iparmu, bukan Pangeran Mahkota Mandalagiri. Jadi… jangan pakai formalitas. Aku ingin melihat rumah tempat adikku tumbuh. Dan… keponakanku juga.”
SCENE DITUTUP
Langit mendung di atas Kalindratama mulai memudar. Dua sosok penunggang kuda meninggalkan desa menuju arah barat daya—menuju Pulau Nelayan Kota Pelabuhan Adiyaksa.
Narator (suara dalam):
“Di balik darah bangsawan, tersimpan luka. Dan di balik luka, tersimpan takdir yang menanti untuk dipulihkan…”
PERTEMUAN DI PULAU NELAYAN – “Sang Adik Ditemukan”
Lokasi: Kediaman Dra'vetha, Kota Pelabuhan Adiyaksa, Mandalagiri Barat Daya
Tiga hari setelah meninggalkan Kalindratama.
Angin laut menyapu halus di sepanjang dermaga Kota Pelabuhan Adiyaksa. Dari balik perahu-perahu dagang yang bersandar, dua penunggang kuda tiba di pelataran rumah bangsawan—kediaman keluarga Jasana Mandira, rumah yang juga dikenal sebagai Dra'vetha Manor.
Gerbang berornamen batu hitam terbuka perlahan. Pelayan-pelayan berdiri rapi, membungkuk dalam diam.
Di ambang pintu utama, tampak Catherine dan Lutfayana—berhenti langkahnya begitu melihat Jasana muncul bersama seorang pria berjubah kelabu misterius.
Catherine (terkesiap):
“Jasana… siapa orang ini?”
Jasana hanya tersenyum, memberi anggukan hormat.
“Seorang teman lama. Kita bicara di dalam.”
LOKASI: RUANG TAMU KEHORMATAN – DRA’VETHA MANOR
Dinding tinggi dengan langit-langit ukiran perak. Di salah satu sisi tergantung lukisan keluarga besar—Jasana, Catherine, dan anak pertama mereka Raviendra, serta Lutfayana menggendong bayi Ishvara. Di belakangnya berdiri Morzhan dan Velyra, dua pelayan setia.
Lambang Dra'vetha—bulan sabit merah dan kelelawar hitam—menggantung sebagai latar belakang, simbol rahasia darah jin kalathraya.
Maheswara, meski dalam jubah kelananya, berjalan anggun dan karismatik. Pelayan-pelayan mempersilakan mereka duduk.
Raviendra berlari kecil menuju ayahnya sebelum digendong oleh Velyra. Bayi Ishvara tertidur di pelukan Lutfayana. Kehangatan keluarga terasa… sebelum keheningan dipecahkan.
Maheswara (duduk, memandang Catherine):
“Izinkan aku bertanya… apakah kau pernah kehilangan seluruh keluargamu… sembilan belas tahun lalu?”
Catherine perlahan menunduk.
“Ya… rumah kami dibakar… aku melihat semuanya. Ibuku menyelamatkanku di detik terakhir. Dia menggunakan sihir teleportasi dan menyelamatkan ku ke tempat asing… lalu aku ditemukan oleh seorang tentara muda, Bernama Jagara Kalagni…”
Maheswara mengangguk lirih.
“Kami tahu… Jagara tewas tiga tahun lalu, di tangan pendekar Bayu Geni bernama Darsa. Tapi dia menyelamatkanmu—dan membesarkanmu. Itu… layak dihormati.”
Maheswara (perlahan):
“Tapi… apakah kau tahu siapa ayahmu?”
Catherine menggeleng.
“Ibu hanya berkata, dia bekerja di Istana Tirabwana. Dia membela tanah air. Tapi dia tak pernah datang. Aku tidak peduli siapa dia.”
Jasana menggenggam tangannya, tapi masih diam. Maheswara menarik napas panjang.
Maheswara:
“Dengar baik-baik. Aku datang membawa kebenaran—tentang dirimu. Aku sudah menyelidiki masa lalu ayahku, Sri Maharaja Darmawijaya. Ia punya sisi gelap… dan Memiliki Hubungan Gelap dengan wanita bangsawan asing. Yang Bernama—Cornelia van der Lindt.”
Maheswara (menatap tajam):
“Dan anak dari hubungan itu adalah kau, Rinjana Nirnawa… sekarang dikenal sebagai Catherine.”
Suasana membeku. Mata Catherine membelalak.
“T-tidak… Jasana? Katakan… ini lelucon…”
Jasana menunduk. Dengan suara berat:
“Maafkan aku… aku baru tahu… saat kami mencari jejak masa lalumu. Semua petunjuk… cocok. Rambutmu, kulitmu, sihir ibumu, nama kecilmu. Catherine… kau adalah anak dari Raja Mandalagiri…”
Lutfayana menggenggam tangan Catherine, tapi diam.
Catherine berdiri. Nafasnya tercekat.
Catherine (menangis tertahan):
“Kalau itu benar… kenapa dia tak pernah datang? Kenapa semua harus dibantai? Kenapa aku harus hidup… dalam kebencian dan dendam?”
Maheswara bangkit dari tempat duduknya, menghampiri perlahan. Wajahnya teduh namun dalam.
Maheswara:
“Karena Dewan Istana takut. Mereka ingin darah campuran musnah. Mereka menciptakan tragedi itu, bukan ayah kita. Dan aku tahu itu… karena aku juga anak dari wanita yang bukan permaisuri. Tapi aku beruntung lahir di dalam tembok. Kau tidak.”
Catherine menangis keras. Maheswara memeluknya pelan.
Maheswara (berbisik):
“Maafkan ayah kita. Aku kakakmu… dan mulai sekarang, aku akan melindungimu, Catherine. Kau adalah darah Mandalagiri… dan kau bukan kutukan.”
SCENE BERGESER – KE KURSI TAMU SAMPING
Jasana duduk di sebelah Lutfayana yang diam-diam tampak murung. Maheswara menatapnya, lalu tersenyum kecil.
Maheswara:
“Dan kau… Nyonya Dra'vetha. Bangsawan Kalathraya dari darah ketujuh. Ras Jin. Apa aku keliru?”
Lutfayana terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan tenang.
Lutfayana:
“Benar, Pangeran. Aku tidak Menyangka Kau Mengetahui sampai sedetail itu, Aku tidak menyembunyikannya darimu… hanya dari dunia luar. Aku hanya ingin hidup tenang bersama suamiku dan anak-anakku.”
Maheswara (tersenyum):
“Bayulodra—khodamku—bisa mencium asal darahmu sejak pertama. Tapi aku tidak datang sebagai hakim. Aku datang sebagai saudara ipar. Dan aku bersyukur… karena adikku dijaga oleh wanita sekuat dirimu.”
SCENE PENUTUP – RUANG TAMU, SORE HARI
Raviendra digendong Maheswara, tertawa ceria. Catherine dan Lutfayana duduk berdampingan, saling tersenyum hangat. Jasana berdiri di belakang mereka, tangan memegang gagang Lungguh Darma dengan mantap, matanya teduh memandang keluarganya.
Maheswara (berdiri):
“Hari ini, aku melihat cahaya yang nyaris hilang. Tapi aku bersumpah, sebagai calon Raja Mandalagiri, keluarga ini… akan aman. Akan hidup dengan kehormatan, tanpa bayang-bayang pembantaian masa lalu.”
Narator (suara dalam):
“Takdir akhirnya membawa mereka kembali… bukan untuk memecah belah, tapi menyatukan yang retak oleh kebencian. Dan dalam pelukan yang tulus… seorang adik akhirnya ditemukan.”
MALAM HARI DI BALKON KEDIAMAN DRA’VETHA
Lokasi: Kamar Tamu Istimewa Lantai 2 – Menghadap Laut Selatan Pulau Adiyaksa
Angin malam membelai lembut tirai balkon yang setengah terbuka. Di kejauhan, lampu-lampu pelabuhan membentuk garis cahaya kekuningan di permukaan laut. Suara ombak kecil terdengar samar, mengiringi sebotol arak rempah tua yang setengah kosong di atas meja kecil dari kayu hitam Dra’vetha.
Pangeran Mahkota Maheswara, dalam jubah kelabu lusuhnya, bersandar pada pagar balkon batu sambil menatap laut. Rambut hitam panjangnya sedikit berantakan, matanya merah oleh minuman.
Suara ketukan pelan.
Maheswara (tanpa menoleh):
“Masuk saja, Jasana. Angin malam terlalu tenang untuk ditunda.”
Jasana masuk perlahan. Ia mengenakan pakaian santai khas pendekar Raka Lelana—tanpa lambang, tanpa gelar. Ia melangkah ke balkon, melihat sang pangeran dengan satu senyum ringan.
Jasana:
“Pangeran—eh, maksudku, Kakak ipar. Ada apa malam-malam begini mabuk sendirian?”
Maheswara tertawa pelan, menawarkan satu gelas.
Maheswara:
“Karena takdir ini… terlalu lucu untuk dihadapi dalam keadaan sadar.”
Jasana duduk di kursi rotan, menuang arak ke gelasnya sendiri. Keduanya menyesap diam-diam. Hening.
Maheswara (lirih):
“Kau sadar, Jasana… dari sekian banyak lelaki di dunia ini… justru kau yang menjadi suami adikku. Dunia ini kecil sekali ya?”
Jasana (menghela napas, mengangkat gelas):
“Kecil dan rumit. Dan mabuk ini... adalah penawar terbaiknya.”
Mereka bersulang. Gelas berdenting pelan. Malam terus bergulir. Wajah mereka kini memerah. Lidah mulai longgar.
Maheswara (setengah tertawa):
“Kau beruntung, punya dua istri. Dua perempuan cantik. Tapi dengar, Jasana… jangan pernah kau sakiti adikku, atau aku akan memburumu bahkan sampai ke neraka.”
Jasana (tertawa keras, goyang sedikit):
“Tenang, Kakak ipar… aku lelaki adil. Catherine itu, harta paling berharga di hidupku. Lutfayana juga begitu. Dua-duanya perempuan luar biasa. Aku tak sebodoh itu untuk menyia-nyiakan keduanya…”
Maheswara mengangkat botol araknya, menenggak seteguk panjang.
Maheswara:
“Kalau Raviendra nanti udah umur delapan… bawa dia ke Akademi Militer Tirabwana. Anakmu… cucu dari Sri Maharaja Darmawijaya! Tempatnya di sana.”
Jasana (menahan tawa, mabuk):
“Tentu, tentu! Tapi… kau yakin para dewan tua itu nggak akan keberatan? Anakku darah campuran, tahu sendiri… mereka alergi sama ras dari luar.”
Maheswara (serius walau mabuk):
“Aryawangsa Kertadarma dan para penidur istana itu… akan aku singkirkan satu-satu. Kalau aku naik takhta… tak ada lagi sistem kotor yang memuja ras murni. Akademi akan terbuka untuk semua darah yang layak berjuang. Termasuk anak-anakmu.”
Jasana (mengangkat gelas tinggi-tinggi):
“Kau Raja masa depan, Mahesa! Eh… Kakak ipar! Hidup reformasi kerajaan!”
Mereka tertawa keras, mabuk, saling bersulang berkali-kali.
Lalu diam. Kepalanya mulai berat. Maheswara bersandar ke pilar balkon. Jasana terhuyung, lalu duduk di lantai bersila.
Maheswara (setengah mengantuk):
“Kau tahu, Jasana… mungkin, kau bukan hanya adik ipar… mungkin kau satu-satunya lelaki yang bisa kupercaya kalau aku tak kembali dari pertempuran kelak.”
Jasana (mata mulai terpejam):
“Jangan ngomong gitu… Kakak ipar. Tapi kalau… kalau itu takdir… anak-anak kita… akan besar bersama.”
Mereka terdiam. Angin malam terus meniup pelan. Arak habis. Cahaya bulan menerpa wajah dua lelaki mabuk itu yang kini tertidur di balkon… bersandar pada tiang dan kursi, dengan senyum samar dalam tidur mereka.
Narator (suara dalam, lirih):
“Malam itu, dua pria dari dunia yang berbeda… terikat oleh darah, oleh takdir, dan oleh keluarga yang mereka cintai. Dan di bawah cahaya bulan… mereka menyusun dunia baru yang belum tentu akan mereka tinggali bersama.”
PAGI MENJELANG SIANG DI KEDIAMAN DRA’VETHA
Lokasi: Pulau Nelayan – Kota Pelabuhan Adiyaksa, Mandalagiri Barat Daya
Langit cerah menyinari halaman depan rumah besar bergaya arsitektur campuran Mandalagiri dan Utara. Aroma laut menyatu dengan harum rempah dari kebun belakang. Pangeran Mahkota Maheswara, kini mengenakan pakaian linen sederhana berwarna krem lembut, tampak segar dan berwibawa walau tanpa simbol bangsawan. Rambut panjangnya tetap diikat rapi.
Di hadapannya, Catherine van der Lindt, dalam balutan gaun perjalanan Tribe Dra’vetha warna ungu pucat, tersenyum menyambut sang kakak. Di belakang mereka, kereta kuda dengan pelapis kulit hitam mengilat sudah siap.
Jasana dan Lutfayana berdiri di beranda atas. Bayangan jas panjang Jasana berkibar pelan tertiup angin. Lutfayana tampak anggun dengan jubah hitamnya, satu tangan menggendong kecil Ishvara, sementara Raviendra digandeng oleh pelayan wanita Velyra.
Catherine (lembut, menunduk sopan):
“Selamat pagi, Kakanda. Kereta sudah disiapkan. Aku ingin menunjukkan pulau ini, agar kau mengenal dunia kecil kami.”
Maheswara (tersenyum tenang):
“Dunia kecil milik adikku, yang kelak harus kulindungi sebesar dunia manapun.”
Kereta meluncur perlahan. Jasana dan Lutfayana melambaikan tangan. Raviendra kecil ikut melambaikan tangan dari pelukan pelayan.
★ Distrik Barat – Kawasan Hiburan
Kereta berhenti di area yang dipenuhi suara musik petik dan aroma daging asap. Paviliun-paviliun bergaya dua lantai berdiri megah, dengan lampion merah dan tirai emas menghias tiap jendela.
Bar dan kedai tuak berjajar di sisi kanan jalan. Aroma anggur dari Utara, dan minuman manis dari kerajaan Selatan tercium kuat.
Catherine (menunjuk bangunan megah):
“Itu Rumah Tuak Haniraja. Dulu hanya gubuk kecil di bawah pohon kelapa. Sekarang, tempat hiburan favorit pedagang luar.”
Maheswara (terkagum):
“Tempat ini seperti versi ringan dari kota Tirabwana… tapi hangat. Tidak angkuh.”
Ia menyapa para penjaga dan penduduk yang menghampiri. Beberapa wanita muda pelayan bar memberikan salam khas Dra’vetha dengan menyilangkan tangan dan menunduk. Maheswara membalas dengan senyum tenang.
★ Distrik Utara – Kawasan Tambak dan Perikanan
Udara asin laut kembali terasa saat kereta mereka berbelok ke utara. Tampak deretan tambak luas: air laut memantulkan cahaya siang seperti cermin. Udang besar dan cumi dipanen oleh para nelayan.
Di sisi sungai kecil, anak-anak desa memancing ikan air tawar. Burung bangau putih berdiri diam di tepi air.
Catherine (duduk di kereta, menjelaskan):
“Sebagian besar bahan pangan Pulau ini berasal dari sini. Bahkan istana Tirabwana pernah memesan ikan emas dari tambak kami.”
Maheswara:
“Aku tahu. Dulu aku pikir tambak itu milik saudagar selatan. Ternyata milik keluarga suamimu…”
Catherine (tertawa pelan):
“Bahkan aku baru tahu setelah menikah dengannya.”
★ Distrik Timur – Peternakan dan Perkebunan
Senja menggantung di langit, menciptakan gradasi jingga keemasan saat kereta berhenti di kawasan timur. Di sini, pohon-pohon kelapa menjulang tinggi. Hamparan perkebunan rempah seperti lada, pala, dan kayu manis membentang di lereng bukit. Terlihat sapi-sapi lokal Mandalagiri berkeliaran bebas di ladang rumput.
Di tengah kawasan, sebuah desa kecil berdiri rapi. Rumah-rumah kayu beratap ilalang dan beberapa sumur air bersih menjadi pusat desa.
Anak-anak kecil dan para wanita pekerja menunduk memberi hormat. Beberapa lelaki pekerja tua mengenali Maheswara dan berseru:
Warga:
“Hormat kami, Yang Mulia Pangeran Mahkota! Terima kasih telah datang!”
Maheswara turun dari kereta. Ia membalas hormat mereka dengan membungkuk ringan. Catherine di sisinya tersenyum haru.
★ SCENE PENUTUP – Jalan Pulang, Dalam Kereta
Langit mulai gelap. Bintang-bintang kecil bermunculan. Angin laut membawa aroma tanah lembab dan bunga liar dari ladang. Maheswara menatap langit melalui jendela kereta, lalu menoleh pada Catherine.
Maheswara (lembut):
“Aku tak pernah punya adik perempuan sebelumnya. Tapi setelah hari ini… aku tak bisa lagi berpura-pura kita asing.”
Catherine (tersenyum, mata berair):
“Aku pun tak pernah punya kakak… apalagi seorang yang tak pernah menilai masa laluku.”
Maheswara:
“Kau adalah darah ayahku… dan karena itu, kau adalah tanggung jawabku.”
Ia menggenggam tangan Catherine sejenak—hangat, penuh makna.
Maheswara (lirih, berjanji):
“Aku akan menjagamu. Bukan sebagai seorang pangeran… tapi sebagai kakak laki-lakimu.”
Catherine tersenyum, lalu bersandar pada bahu Maheswara. Kereta terus melaju pelan kembali ke kediaman Dra’vetha, diiringi cahaya bulan dan angin laut malam.
★ Narasi Penutup:
“Di antara hiruk-pikuk kerajaan, takdir mempertemukan dua anak dari darah yang sama… tapi tak pernah saling tahu. Hari itu, di pulau nelayan yang tenang, sebuah keluarga kecil kembali utuh. Dan dalam kebersamaan itu, terbentuk janji diam yang kelak akan menjadi pilar dalam sejarah Mandalagiri.”
PAGI HARI DI KEDIAMAN DRA’VETHA
Pulau Nelayan – Pelabuhan Adiyaksa, Selatan Mandalagiri
Mentari pagi mulai naik dari balik laut selatan. Sinar keemasan memantul di atap-atap rumah bercorak utara dan di permukaan jalan berbatu putih yang mengelilingi halaman rumah besar milik keluarga Dra'vetha.
Dua ekor kuda perang berdiri gagah di sisi timur halaman. Pelana hitam dan pelindung dada kulit berukir simbol naga dan rajawali. Beberapa pelayan rumah terakhir sedang memeriksa perlengkapan perjalanan.
Di depan tangga utama rumah, Jasana Mandira berdiri tegap. Ia mengenakan pakaian khas pendekar Raka Lelana berwarna hijau gelap, sabuk lebar berlapis kulit mengikat dua senjatanya: Lungguh Darma dan Parangjati. Wajahnya tenang tapi teduh. Ia menatap lembut ke arah dua wanita yang menjadi poros hidupnya.
Cathrine berdiri anggun di sisi kanan, mengenakan gaun bangsawan warna ungu muda. Rambut putih keperakan terurai di bahunya. Ia menggendong kecil Ishvara, sementara Raviendra berdiri memegang ujung jubah ibunya.
Lutfayana, di sisi kiri, mengenakan jubah hitam beludru dengan garis merah darah samar. Matanya yang berkilau merah menatap Jasana dengan kelembutan misterius.
Jasana (lembut, kepada Cathrine):
“Aku harus kembali ke Guild. Ada tanggung jawab besar menunggu sebagai Kapten Divisi Raka Lelana… Tapi aku akan kembali.”
Cathrine (tersenyum samar, menunduk):
“Aku tahu. Dan kali ini… aku tak akan merasa sendirian. Aku punya keluarga.”
Jasana menoleh ke arah Lutfayana, lalu mengangguk.
Jasana (berbisik):
“Jaga mereka… jaga rumah ini.”
Lutfayana (tenang):
“Pulau ini bukan hanya rumah… tapi tempat darah Dra’vetha mengakar. Aku akan menjaganya. Pulanglah jika sudah lelah bertempur, suamiku.”
Maheswara muncul dari pintu depan. Rambut panjangnya diikat rapat, tubuhnya dibalut pakaian penjelajah sederhana, tapi tetap memancarkan aura seorang bangsawan tinggi. Di punggungnya tergantung Pedang Arka Wijaya, dan di pinggang kiri, tersembunyi Keris Aswanir Lodra.
Ia mendekati Catherine, memandang sang adik.
Maheswara (lembut, menatap mata Catherine):
“Darah yang sama mengalir di antara kita. Tapi mulai hari ini… yang mengikat kita bukan hanya darah, tapi kasih dan perlindungan.”
Catherine (bergetar):
“Aku percaya padamu, Kakanda…”
Maheswara lalu menunduk kepada Lutfayana, memberi salam hormat.
Maheswara:
“Nyai Lutfayana… keturunan Kalathraya, aku berterima kasih telah menjadi bagian dari keluarga Jasana. Kau kini bagian dari istana juga, entah dunia mengetahuinya atau tidak.”
Lutfayana hanya menunduk pelan, dengan senyum penuh misteri.
Kemudian Maheswara membungkuk dan menyapa Raviendra serta Ishvara yang digendong oleh Catherine.
Maheswara (menyentuh kepala Raviendra):
“Kau… anak pemberani. Kelak jika kau cukup umur, Tirabwana akan menantimu.”
Raviendra (lucu, polos):
“Aku mau naik kuda besar kayak Ayah…”
Semua tertawa ringan.
★ SCENE PENUTUP – PERPISAHAN
Kuda telah siap. Jasana dan Maheswara menaiki tunggangan mereka masing-masing. Para pelayan berdiri rapi di belakang tuan rumah: Velyra dan Morzhan di barisan depan. Morzhan membawa bendera kecil bergambar bulan sabit dan kelelawar hitam – lambang Dra’vetha.
Catherine mengangkat tangan kecil Ishvara, melambai.
Lutfayana berdiri kokoh di sisi kiri tangga, rambut peraknya ditiup angin.
Raviendra berlari kecil lalu melambaikan tangan sambil berteriak:
Raviendra:
“Hati-hati Ayah! Jangan lawan monster sendirian ya!”
Jasana (tertawa):
“Ayah selalu bawa pedang dua, Nak. Tak ada monster yang bisa lepas!”
Maheswara (tersenyum, menyentuh pelana):
“Dan kalau monster itu datang dari dalam istana, aku akan membakarnya dari dalam.”
Kuda mereka mulai bergerak perlahan menuju jalan utama yang mengarah ke Pelabuhan. Langkah mantap dan mantap.
Narasi Penutup:
“Dua pria itu—seorang pangeran dan seorang kapten, menunggang menuju takdir mereka masing-masing. Di belakang mereka, rumah yang penuh cinta dan darah campuran, kini menjadi benteng rahasia bagi masa depan Mandalagiri.”
MALAM — MARKAS GUILD BAYU GENI
Lorong Dalam Divisi Rasa Prawira – Markas Tengah Guild, Lantai Bawah Tanah
Cahaya biru redup dari lentera sihir berayun pelan di sepanjang lorong batu. Angin gaib samar mengalir pelan seperti napas dari dunia lain. Suara langkah ringan terdengar—teratur, hati-hati, nyaris seperti bayangan.
Sekar Yudhawati, gadis muda berusia 18 tahun, menyusuri lorong sunyi dengan mata tajam waspada. Pakaian longgar Divisi Rasa Prawira menutupi tubuh rampingnya, namun gerak tubuhnya tetap sigap. Di balik jubah, tersembunyi pedang rune kecil berselimut aura sihir air.
Ia berhenti di depan sebuah pintu tua berlapis ukiran sihir. Jemarinya menyentuh pola-pola rune, membisikkan mantra ringan…
Pintu perlahan terbuka.
Di dalam—ruang rahasia perpustakaan sihir kuno. Rak-rak batu menjulang, berisi naskah tua, artefak mungil, dan segel-segel bercahaya redup.
Sekar melangkah cepat. Jemarinya menelusuri deretan buku sebelum menarik satu naskah bertuliskan aksara Mandalakuna. Ia membukanya. Matanya menyipit membaca cepat.
Sekar (gumam pelan):
“Jika artefak itu benar-benar disimpan di Istana Tirabwana… Maka dua kekuatan purba itu kini sudah dalam genggaman Bayawira dan… calon raja.”
Ia nyaris tersenyum kecil… namun tiba-tiba…
seekor kelelawar kecil yang hinggap di langit-langit menggeliat. Matanya menyala… dan dalam sekejap…
✨ RAKUNTI MUNCUL
Sang kelelawar meledak menjadi kabut ungu, dan dari pusaran itu, muncul Kapten Mahadewa Rakunti — berdiri tegak, mengenakan jubah hitam keunguan, tongkat "Kalaweda" menggenggam erat di tangan kanannya.
Rakunti (datar, suara dalam dan tenang):
“Rupanya kau… yang membocorkan keberadaan Manik Suraloka.”
“Tikus kecil dalam gua para naga. Licin… tapi tidak cukup pintar.”
Sekar langsung mundur, terkejut. Bibirnya mencoba mengucapkan mantra, tapi Rakunti sudah mengangkat tongkatnya.
Rakunti:
“Kau pikir tidak ada mata dalam kegelapan? Aku melihatmu. Dari balik mata Bayungkara-ku. Semuanya.”
Sekar mencoba mengelak.
Sekar:
“Aku… hanya meneliti… kekuatan purba untuk peningkatan pribadi… aku tidak—”
Rakunti tersenyum samar. Ia menurunkan tongkatnya. Matanya berubah merah menyala.
Aura Khodam-nya memancar… Bayungkara!
Udara di ruangan menegang. Kelelawar-kelelawar ilusi berputar mengelilingi Sekar, dan dalam satu tatapan mata—
✨ Sekar terpaku.
Tubuhnya gemetar. Matanya kosong. Mantranya lenyap. Ia mulai kehilangan kontrol. Napasnya tercekat.
Rakunti (dingin):
“Kau ingin bermain perang sihir di kandang para naga? Maka bersiaplah dikendalikan oleh mata mereka.”
Sekar terjatuh. Tak sadarkan diri.
—Langkah cepat terdengar dari lorong luar. Dua anggota Rasa Prawira berpenutup wajah masuk dan langsung bersujud.
Anggota 1:
“Kapten, perintah?”
Rakunti (tanpa menoleh):
“Bawa dia ke Penjara Khusus. Kunci seluruh pikirannya dengan segel darah merah. Aku akan mengorek isi kepalanya… sedikit demi sedikit. Lalu… kita umpan Bayawira dengan apa yang ingin mereka dengar.”
Anggota 2:
“Perintah diterima.”
Tubuh Sekar diangkat. Suasana ruangan kembali sunyi. Rakunti menatap rak buku yang tadi disentuh Sekar.
Rakunti (berbisik ke dirinya sendiri):
“Jika mereka ingin permainan bayangan… maka mari kita berikan kabut yang menelan cahaya mereka.”
SCENE DITUTUP
Dengan rak-rak buku bergetar pelan, kelelawar-kelelawar ilusi kembali ke kegelapan.
Dan Kapten Mahadewa Rakunti… mulai menyusun perang pikirannya.
RUANG MANDALA UTAMA – MARKAS GUILD BAYU GENI – MALAM HARI
Langit di luar berselimut awan kelabu. Di dalam ruang Mandala Utama, suasana tegang menyelimuti udara. Meja bundar batu besar dengan ukiran lambang Guild Bayu Geni menjadi pusat pertemuan para kapten divisi. Obor sihir menyala redup di dinding batu.
PRADIPA KARNA, kini secara resmi menjadi pemimpin Guild Bayu Geni, duduk di kursi utama. Jubah hitam dengan aksen emasnya menyerap cahaya, membuat auranya tampak agung dan berwibawa.
Di sekeliling meja, telah duduk kelima kapten utama: Jasana Mandira, Kalandra Wisanggeni, Kirana Wismadanta, Mahadewa Rakunti, dan Doyantra Puspaloka.
Pradipa Karna membuka rapat:
Pradipa (tenang, suara dalam):
“Beberapa hari lalu, Kapten Mahadewa Rakunti telah menggagalkan upaya penyusupan Bayawira… Sekar Yudhawati—gadis muda yang selama ini menyamar sebagai anggota junior kita, kini ada dalam tahanan Rasa Prawira. Terima kasih, Mahadewa.”
Semua mata menoleh pada Mahadewa Rakunti, yang hanya mengangguk pelan, tenang, seperti resi yang baru selesai membaca masa depan.
Mahadewa (datar tapi penuh makna):
“Pikirannya telah aku kuasai. Dan darinya, aku tahu... ia bagian dari lingkaran bawah Gerungga Balaratri. Kini, terhubung langsung dengan Resi Wighna Laksa, Kapten Bayawira Selatan, dan… Lodra Wahana.”
Terdengar desahan kecil. Nama Lodra Wahana, si mantan kapten dan pengkhianat, memunculkan tekanan di dada semua yang hadir.
Mahadewa (melanjutkan):
“Kupikir… ini waktu yang tepat untuk memutar umpan. Biarkan mereka mencium ‘keberadaan kekuatan purba’ palsu. Kita pancing. Kita potong satu kepala Bayawira sebelum mereka bisa menyatukannya kembali.”
Pradipa Karna menyilangkan tangan. Tatapannya tajam.
“Kau yakin kita bisa mempercayai manipulasi pikiran Sekar sebagai medium jebakan?”
Mahadewa:
“Pikirannya terkunci. Tak bisa mengirim pesan apapun tanpa melalui jaringanku.”
Jasana Mandira, yang selama ini diam, kini berbicara.
Jasana (serius, tenang):
“Mungkin cara ini licik... tapi jika itu bisa menghindari pertumpahan darah seperti di Lembayung Dipa… Aku mendukung.”
Kalandra Wisanggeni, duduk dengan kaki bersilang, bersandar tenang, menyambung:
Kalandra:
“Menaruh mata-mata adalah seni… tapi membalik mata-mata menjadi senjata balik—itu kejeniusannya. Jika Wighna Laksa dan Lodra termakan umpan, Bayawira Selatan akan goyah. Dan saat mereka goyah, kita akan tahu di mana mereka bersembunyi.”
Kirana Wismadanta, satu-satunya perempuan di meja itu, menatap tajam, nada suaranya tegas dan tak bergetar:
Kirana:
“Dalam perang, keadilan hanyalah mitos. Kegelapan tak bisa dikalahkan hanya dengan cahaya. Aku setuju, strategi pengecut ini… layak dipakai demi tatanan yang lebih bersih.”
Doyantra Puspaloka, sosok besar yang sejak awal hanya mengamati, akhirnya mengangguk dan bersuara dengan suaranya yang berat:
Doyantra:
“Perhitungan matematis sederhana… jika jebakan ini berhasil, kita hemat ratusan nyawa. Pengorbanan satu ilusi… untuk menyelamatkan banyak. Aku setuju.”
Pradipa Karna berdiri, tangan kanannya menggenggam gagang pedang Dwijanaga di sisi kursinya. Ia menatap kelima kapten, satu demi satu.
Pradipa (tegas):
“Baik. Maka… Rencana Pemancingan Bayawira Selatan resmi dijalankan. Mahadewa, kau tangani si Sekar. Kalandra, susun rantai informasi palsu melalui jalur bayangan. Jasana, siapkan satu tim ekspedisi untuk bertindak jika jebakan berhasil. Kirana, latih pasukan cadangan dalam ketahanan mental. Doyantra, siapkan suplai dan pergerakan logistik.”
“Jika ini berhasil, kita tak hanya memperlemah Bayawira… kita juga memenggal kepalanya sebelum ia bisa menyerang balik.”
Rapat ditutup. Para Kapten bangkit perlahan, meninggalkan ruang Mandala dengan langkah-langkah pasti.
Di luar, suara angin menggemuruh… seperti pertanda badai baru akan segera datang.
SCENE DITUTUP.
Awan kegelapan telah disiapkan. Tapi kali ini, Guild Bayu Geni-lah yang memegang petirnya.