Bab 17 - Misi Pemacingan Bayawira Selatan

EKSEKUSI MISI "PEMANCINGAN BAYAWIRA SELATAN"

Lokasi: Markas Guild Bayu Geni dan beberapa titik lapangan operasi. Beberapa hari kemudian Malam menjelang dini hari. Langit berawan, udara menegang. Rencana besar sedang bergerak secara senyap.

1. KALANDRA WISANGGENI – JALUR BAYANGAN

Lorong bawah tanah Divisi Bayang-bayang Geni. Cahaya ungu dari lentera ilusi menyinari peta-peta rahasia dan skema pergerakan musuh.

Kalandra Wisanggeni berdiri di depan Meja Bayangan, mengatur jalur-jalur komunikasi gelap. Di sampingnya, tiga agen bayangan dengan topeng hitam mendengarkan dengan saksama.

Kalandra (dingin dan datar):“Target kita adalah lokasi perbukitan mati di Timur Hutan Gantara, bekas reruntuhan benteng kuno. Di tempat itu akan kita ‘tanamkan’ ilusi artefak purba peninggalan kerajaan pertama. Tersembunyi. Dijaga sihir pelindung. Sangat menggoda.”

Ia meletakkan jimat sihir ungu ke tengah meja, memunculkan hologram ilusi struktur reruntuhan dan jalan masuknya.

“Buat jalur informasi melalui saluran komunikasi Bayawira. Biar ‘tikus’ kita mengendus umpan itu dan mengabarkannya.”

2. MAHADEWA RAKUNTI – PENJARA RASA PRAWIRA

Di bawah tanah Divisi Rasa Prawira. Penjara sunyi berdinding obsidian gelap. Aura dingin menekan. Di dalam sel berlapis segel mantra, terbaring Sekar Yudhawati.

Mahadewa Rakunti berdiri di depan sel, tongkat Kalaweda bersinar redup hijau. Matanya memancarkan cahaya kemerahan. Ia menggumamkan mantra pengendali batin, dan tubuh Sekar mulai gemetar.

Mahadewa (tenang):“Sekarang... bicaralah, tikus kecil. Tapi kali ini… dengan kata-kataku.”

Sekar perlahan membuka mata, kini seperti boneka. Ia mengangkat tangan dan mengaktifkan Kristal Komunikasi Rahasia Bayawira di gelang hitamnya. Cahaya merah redup menyala.

Sekar (suara datar, mata kosong):“Telah kutemukan. Salah satu artefak purba tertinggal… di reruntuhan Benteng Watu Geni di Timur Gantara. Dilindungi segel kerajaan kuno. Kutemukan melalui penggalian di catatan istana lama…”

Pesan dikirim. Jebakan dimulai.

3. KIRANA WISMADANTA – PELATIHAN PASUKAN MENTAL DAN SPIRITUAL

Halaman terbuka Divisi Panggrahita Aji. Sinar fajar menyinari para prajurit duduk bersila dalam lingkaran besar. Wajah mereka tenang, tubuh mereka berkeringat.

Kirana Wismadanta berdiri di tengah lingkaran, tubuh tegap, matanya tajam. Tangan kanannya melambai lembut, mengalirkan aura penenang.

Kirana (tegas dan berwibawa):“Dalam perang, bukan kekuatan fisik yang pertama hancur… tapi batin. Hari ini kita latih untuk tidak terguncang. Jika Bayawira menyerang, kalian harus menjadi tembok jiwa.”

Suara mantra terdengar samar. Mereka berlatih teknik perlindungan mental, menghadapi teror, dan ilusi kegelapan.

4. JASANA MANDIRA – TIM EKSPEDISI KHUSUS

Ruang logistik Raka Lelana. Senjata disiapkan. Ransel ekspedisi dikemas. Peta strategi digelar di meja kayu tua.

Jasana Mandira, mengenakan jubah tempur hijaunya, memandang tiga orang terpilih yang berdiri di hadapannya: Zadran, Kirta, dan Nandika.

Jasana (serius dan tenang):“Kita tidak hanya menghadapi musuh… kita menghadapi masa lalu. Lodra Wahana. Mantan kapten kita. Dia tahu cara kita berpikir. Tapi kita tahu bagaimana dia bernafas.”

Ia menunjuk lokasi jebakan di peta.

“Kita tak akan berperang. Kita akan mengakhiri pengkhianatan. Zadran, jaga sisi timur. Kirta, pantau arah angin. Nandika… kau tahu apa yang harus kau lakukan kalau jebakan pecah.”

Ketiganya mengangguk mantap.

5. DOYANTRA PUSPALOKA – LOGISTIK DAN SUPLAI

Gudang logistik Mandala Dhana. Deretan peti pasokan, jatah makanan, ramuan penyembuh, dan senjata tambahan disusun sistematis.

Doyantra Puspaloka, dengan dada lapang dan suara keras, memberi instruksi ke para penjaga dan pekerja logistik.

Doyantra:“Paket medis, ramuan, dan sihir bantuan siapkan untuk beberapa hari. Pasukan cadangan standby di jalur barat. Gerobak logistik tersembunyi… jangan biarkan satu pun terlihat.”

Ia menandatangani dokumen terakhir. Lalu menatap ke langit.

“Kalau jebakan ini pecah… kita akan jadi tulang punggung para pejuang.”

6. PRADIPA KARNA – MENGESAHKAN MISI

Di ruang komando utama. Pradipa Karna berdiri seorang diri, memandangi bendera Guild Bayu Geni. Lambang api dan angin melingkar.

Tangannya mengangkat sebuah gulungan tugas resmi, dicap dengan segel emas Guild. Ia mengumumkan pada anggota dan para kapten:

Pradipa (lantang):“Mulai malam ini, misi ini kita sebut: "Misi Pemancingan Bayawira Selatan." Siapkan diri. Siapkan hati. Dan jika perang terjadi... pastikan mereka tidak bisa kembali ke bayangan.”

SCENE DITUTUP DENGAN VISUAL:

Seekor kelelawar ungu melintas di langit malam. Di kejauhan, reruntuhan Benteng Watu Geni mulai diselimuti kabut tipis. Sesuatu… sedang menunggu untuk datang.

EKSEKUSI MISI "PEMANCINGAN BAYAWIRA SELATAN"

MARKAS RAHASIA BAYAWIRA SELATAN — MALAM

Di ruang tengah markas tersembunyi yang terpahat dari dinding batu pegunungan, berhiaskan lambang Bayawira berukir api hitam dan dua kepala ular melingkar, dua sosok penting duduk menghadap bola kristal komunikasi. Aura merah gelap menyala redup dari dalam kristal itu.

Sekar Yudhawati — dengan sorot mata kosong namun kata-kata tajam — menyampaikan laporan:

Sekar (melalui kristal, suara tenang): “Telah kutemukan. Salah satu artefak purba tertinggal… di reruntuhan Benteng Watu Geni di Timur Gantara. Dilindungi segel kerajaan kuno. Kutemukan melalui penggalian di catatan istana lama…”

Lodra Wahana, yang berdiri di sisi meja dengan tangan bersilang, mendengus pelan. Matanya menyala dengan antusiasme menahan.

Lodra (senyum licik): “Akhirnya… tak perlu menyelinap ke Istana Tirabwana. Terlalu berisiko dan penuh mata. Tapi ini—” (menunjuk peta lokasi Watu Geni) “—ini peluang emas. Terlantar, kosong, dan siap dipanen.”

Resi Wighna Laksa menatap bola kristal dengan dalam. Kedua tangannya memegang tongkat bertengkorak. Sorot matanya sejenak curiga… tapi akhirnya mengangguk perlahan, yakin pada ‘Sekar’.

Wighna (datar, berat): “Sekar tak pernah gagal. Dia anak buah Gerungga, darahnya Bayawira sejati. Kalau ini informasi dari dia… kita bertindak.”

Lodra: “Kita bentuk regu kecil. Aku pimpin dari depan. Kau jaga jalur sihir jika jebakan muncul.”

Wighna: “Nalak siap. Dia akan mendeteksi sihir pemalsuan apapun.”

Lalu, mereka berdiri. Di belakang mereka, sepuluh pasukan elit Bayawira berpakaian gelap dengan simbol-simbol klan terlarang mulai berdiri tegak—siap berangkat. Langkah mereka mantap, tidak tahu bahwa mereka sedang masuk ke dalam jaring laba-laba.

RUANG BAYANG-BAYANG GUILD BAYU GENI — SEKITAR SAAT YANG SAMA

Kapten Kalandra Wisanggeni berdiri di depan peta mantra kabut. Sebuah titik merah menyala bergerak dari arah selatan menuju timur Hutan Gantara.

Kalandra (pelan namun tegas): “Mereka bergerak… sesuai rencana. Dua kepala ular sudah masuk ke jalur jebakan.”

Seorang agen bayangan menunduk menghormat.

Agen: “Instruksi selanjutnya, Kapten?”

Kalandra: “Kirim sinyal ke Jasana. Perangkap siap ditutup… bila mereka melewati lingkar ilusi ketiga.”

POS EKSPEDISI JASANA — PERBATASAN HUTAN GANTARA

Jasana berdiri di atas tebing kecil, mengenakan jubah tempur Raka Lelana. Di sampingnya, Kirta sedang membaca arah angin, Nandika menyiapkan tombak sihir, dan Zadran berdiri tegak dengan wajah penuh semangat.

Sebuah sinyal cahaya keunguan berkedip dari langit — pertanda dari tim bayangan.

Jasana (tegas): “Sinyal turun. Mereka mendekat. Pastikan perimeter siap. Kita tunggu mereka masuk perangkap penuh… baru kita tutup jalur keluar mereka.”

Nandika: “Kau pikir Lodra akan sadar ini jebakan?”

Jasana (datar): “Dia terlalu percaya pada masa lalunya di Guild ini. Itu kelemahannya.”

DIVISI PANGGRAHITA AJI — HALAMAN LATIHAN

Kirana Wismadanta berjalan perlahan menyusuri barisan pasukan cadangan yang duduk bersila dengan mata tertutup. Aura mereka membentuk lingkar pelindung tipis merah terang di sekeliling area latihan.

Kirana (lantang): “Bayang-bayang menyerang dari kegelapan. Tapi mereka tak akan bisa menembus hati yang bersinar. Siapkan roh kalian… perang bisa datang kapan saja.”

Seorang Anggota guild mendekat dan membisikkan informasi gerakan Bayawira.

Anggota: “Mereka keluar dari sarang. Sesuai Rencana Kapten Mahadewa.”

Kirana: “Kita siaga. Jika medan terbuka pecah… kita bergerak.”

SCENE PENUTUP

Langit kelam menyelimuti timur Hutan Gantara. Di kejauhan, tampak barisan gelap pasukan Bayawira Selatan, dipimpin Lodra Wahana dan Resi Wighna Laksa, berjalan melewati akar-akar pohon raksasa dan reruntuhan batu.

Reruntuhan Benteng Watu Geni mulai terlihat di antara kabut—hening, seolah menanti pengorbanan.

Wighna (berbisik, kepada Lodra): “Kau merasakan itu? Aura... seperti bisikan.”

Lodra (tenang): “Itu kekuatan purba... atau mungkin hanya bayangan masa lalu.”

Tanpa curiga… mereka melangkah masuk ke wilayah yang telah dipagari ilusi dan jebakan.

TWIST: DETEKSI OLEH NALAK

RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI – TIMUR HUTAN GANTARA – MALAM

Kabut tebal menggulung tanah di antara pohon-pohon tua. Reruntuhan benteng kuno berdiri seperti tulang belulang batu dalam diam yang menyesatkan. Udara di sekitar terasa menggantung dan dingin, seolah menanti sesuatu pecah.

Lodra Wahana melangkah dengan tenang di barisan depan, matanya tajam mengawasi setiap celah batu. Di sampingnya, Resi Wighna Laksa berjalan lebih lambat, tongkatnya menekan tanah setiap tiga langkah, seakan menghitung detak waktu.

Sepuluh pasukan elite Bayawira Selatan menyebar rapi dalam formasi setengah lingkaran. Mereka semua adalah prajurit terpilih: pengguna racun sunyi, pemanah bayangan, hingga ahli sihir pembungkam.

Lodra (berbisik): “Tempat ini terlalu sunyi. Bahkan burung malam tak berbunyi.”

Wighna: “Diam... biarkan yang tak kasat mata berbicara.”

Ia menghentikan langkah. Kedua mata tuanya menatap batu besar di depan, lalu dengan gerakan perlahan ia menancapkan tongkat bertengkorak ke tanah dan merapal mantra rendah:

“Nalak... bangkitlah dari bayangan. Tunjukkan kebenaran dari kebohongan.”

Kabut di sekitarnya tampak bergetar. Dari bayangan reruntuhan, sesosok siluet tinggi muncul perlahan... NALAK, sang khodam, berdiri menjulang. Sosok berjubah hitam kelam, bertudung, matanya bersinar biru terang. Aura keheningan dan kesedihan menguar dari tubuhnya.

Nalak (suara dalam, bergema): “Tuan... ini bukan tempat yang sunyi... ini tempat yang dibuat untuk seolah-olah sunyi.”

Seketika, aura ilusi di sekitar mulai meretakkan diri. Batu-batu yang terlihat lapuk mulai mengabur, sebagian berubah bentuk... hingga terbuka sebentuk ruang ilusi perangkap — lingkaran sihir besar di bawah tanah dengan pola cahaya yang baru mulai menyala samar.

Wighna (matanya menyipit): “Kalandra... kau menyelimuti kami dengan selimut keheningan. Tapi kau lupa, selimut pun bisa bolong.”

Lodra Wahana, yang kini menyadari jebakan di sekeliling mereka, segera menggenggam tongkatnya erat. Aura putih keperakan meletup di sekitarnya. Mata Kera Sakti-nya mulai bersinar.

Lodra (dingin):“Mereka mengira kita akan masuk seperti domba...”

Wighna:“Tapi mereka lupa. Aku membawa mata dari kegelapan.”

MARKAS GUILD BAYU GENI – RUANG BAYANG-BAYANG – SAAT YANG SAMA

Kalandra Wisanggeni sedang mengawasi pergerakan dari peta cahaya, ketika tiba-tiba garis sihir jebakan yang seharusnya menyatu terputus. Sebuah sinyal terpantul balik — pertanda ilusi mereka telah terbongkar sebagian.

Kalandra (datar, sedikit cemas):“...Wighna mendeteksi kita. Khodamnya... sudah turun tangan.”

Ia memencet kristal sinyal — mengirim perintah darurat ke tim Jasana.

POS EKSPEDISI JASANA – DETIK YANG SAMA

Jasana, yang tengah bersiap dengan Kirta, Nandika, dan Zadran, menerima sinyal darurat dari batu kristal komunikasi.

Jasana (membaca kristal, suaranya serius):“Perangkap terbaca. Mereka bersiap. Tapi belum keluar dari perimeter.”

Kirta mengecek ulang busur dan anak panahnya. Nandika menggenggam tombaknya lebih erat.

Zadran (bersemangat):“Kalau mereka sadar, artinya... kita akan bertarung langsung?”

Jasana (mengangguk pelan):“Ya... tapi sekarang bukan perang satu sisi. Kita tetap punya keuntungan.”

KEMBALI KE BENTENG WATU GENI

Lodra mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, dan dari udara terbentuk lingkaran pelindung semi-transparan. Para pasukan elite Bayawira mulai membentuk barisan tempur.

Lodra (lantang):“Pasukan! Reruntuhan ini sudah dicemari! Siapkan diri untuk pertarungan! Kita akan robek mulut si pengecut dari balik kabut!”

Wighna menunjuk ke arah salah satu jalur keluar reruntuhan — sihir ilusi kabut mulai diganti dengan sihir pertahanan.

Wighna:“Kita menunggu... dan menjebak mereka balik.”

SCENE DITUTUP dengan shot NALAK berdiri tegak di belakang Resi Wighna, matanya membelah kabut, menembus bayangan, sambil berbisik dengan suara bergema:

“Mereka mengira membawa terang... tapi mereka datang ke altar kegelapan.”

MENUJU PERTEMPURAN DI RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI

RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI – BEBERAPA SAAT SETELAH DETEKSI JEBAKAN

Kabut mulai menipis, tergeser oleh aura-aura kuat yang mulai bermunculan. Tanah bergemuruh halus, udara mengalir dengan tekanan aneh—pertanda pertempuran besar akan segera pecah.

Jasana Mandira melangkah keluar dari semak tinggi, diikuti Nandika, Kirta, dan Zadran. Mereka berdiri di atas dataran batuan runtuh, memandang ke arah sekelompok siluet yang sudah menanti.

Salah satunya berdiri tenang di tengah: Lodra Wahana, mantan kapten Raka Lelana.

Lodra (menyeringai tipis):“Jasana Mandira... Dulu kau hanya anak tukang besi. Sekarang berdiri sebagai Kapten Raka Lelana... Dunia memang lucu.”

Jasana (tegas, tenang):“ Yang Lucu itu Kau, karena kau memilih jadi pengkhianat. Tapi aku di sini bukan untuk nostalgia.”

Tiba-tiba, seekor kelelawar besar hitam berputar cepat di atas Jasana, lalu turun melingkar. Dalam sekejap, sayapnya mengembang lalu pecah menjadi kabut sihir — dari dalamnya muncul Mahadewa Rakunti, berdiri tegak dengan tongkat Kalaweda menggenggam aura kelam.

Mahadewa:“Resi Wighna Laksa... Akhirnya. Aku ingin melihat seperti apa sihir roh yang kau banggakan itu.”

Resi Wighna, yang berdiri beberapa meter di belakang pasukan elite Bayawira, mengangkat tongkat bertengkoraknya dan perlahan melangkah ke depan.

Wighna (senyum tipis):“Mahadewa Rakunti... Kau keluar dari sarangmu sendiri. Sungguh penghargaan.”“Khodamku sudah siap menari. Mari kita lihat... siapa yang masih layak disebut pengendali roh.”

Aura hitam dan ungu mulai berputar di sekitar keduanya. Kalaweda dan tongkat tengkorak Wighna mulai bersinar samar.

ARENA PERTEMPURAN – PASUKAN ELITE BAYAWIRA VS TIM JASANA

Nandika memutar tombaknya, napasnya tenang. Cahaya biru lembut membentuk wujud Sakalingga di belakang punggungnya, burung merak dengan ekor bergemerlap dan aura angin yang tajam.

Kirta menyiapkan Panarasa, busurnya bergetar oleh kekuatan dalam, sementara Zadran berdiri dengan posisi miring, pedangnya terhunus ke bawah — gaya khas pendekar tangan kiri.

Sepuluh pasukan elite Bayawira mulai maju, wajah-wajah mereka penuh keyakinan dan kelicikan. Di antara mereka terlihat:

Seorang wanita bertato ular dengan cambuk angin.

Seorang pemanah bertopeng dengan panah sihir gelap.

Seorang pria bertubuh besar dengan palu sihir.

Dan lainnya, yang masing-masing tampak bukan sekadar prajurit biasa.

Nandika (menegakkan tubuh):“Lima untukku.”

Zadran (datar):“Aku ambil tiga.”

Kirta (senyum kecil):“Sisanya buat latihan.”

SAAT YANG SAMA – DI JALUR UTARA MENUJU BENTENG

Kirana Wismandanta memimpin barisan cadangan. Rambutnya tersanggul rapi, mata fokus tajam. Di sampingnya Bagas Prayoga, tampak membawa sarung tangan besi Tapak Maruta, berkilau merah menyala.

Pasukan yang ia bawa terdiri dari gabungan setiap divisi, lengkap dengan sihir dukungan, penyembuh, dan pelempar berat. Langkah mereka cepat namun teratur, menyusuri hutan Gantara menuju medan pertempuran.

Kirana (pada Bagas):“Kita tidak datang untuk jadi penyelamat. Kita datang untuk menutup kisah.”

Bagas (senyum lebar):“Kita bawa api. Mari bersihkan ular-ular tua itu.”

PENUTUP SCENE – SUASANA MENEGANG

Kedua sisi sudah saling berhadapan. Aura sihir, khodam, dan kekuatan dalam menyelimuti reruntuhan benteng yang kini menjadi medan laga.

Jasana berdiri melawan Lodra Wahana, pertarungan dua generasi, mentor dan murid yang terbelah.

Mahadewa Rakunti dan Resi Wighna bersiap untuk duel khodam dan kekuatan sihir roh.

Nandika, Kirta, dan Zadran bersiap menghadapi elite Bayawira Selatan.

Dan Kirana bersama Bagas serta pasukan gabungan mulai mendekat.

Narator:“Di bawah langit malam yang kian merah, pertempuran akan dimulai.Di tanah kuno Watu Geni, masa lalu dan masa depan saling menghantam dalam kobaran takdir...”

LEDAKAN AWAL PERTEMPURAN DI RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI

EXT. RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI – MALAM, DI BAWAH BULAN MERAH

Kamera sinematik melayang pelan di atas reruntuhan batu besar, kabut tipis bergerak menyapu dataran hening. Pohon-pohon tua di sekitaran hutan Gantara gemetar oleh desiran aura dan tekanan spiritual.

Langkah-langkah para pendekar membelah senyap. Dua barisan kini saling berhadapan, dan dunia seakan menahan napas.

1. LEDAKAN: JASANA MANDIRA VS LODRA WAHANA

Lodra Wahana melangkah maju, tongkat besinya menghantam tanah — dari ujungnya, cahaya putih keperakan menyala.

Lodra (sinis):“Kalau kau pikir aku bangga melihatmu berdiri di hadapanku, Jasana... Kau salah. Yang kulihat hanya cerminan murid yang akhirnya harus kulenyapkan.”

Jasana menghunus Parangjati, cahaya aura putih meletup sesaat — lalu Lungguh Darma ikut ditarik, bergetar merah menyala, aura api berputar menyelimuti tubuhnya.

Jasana (tenang, tatap tajam):“Yang kau lihat bukan muridmu. Tapi kapten yang akan mengakhiri pengkhianatanmu.”

KRAKK! – Tanah terbelah saat Kera Sakti, khodam Lodra, muncul dari balik portal — wujud manusia kera raksasa, berotot, matanya merah menyala. Teriakannya menggetarkan langit malam.

FWOOOSHH! — Api biru terbakar, Wiratmaja muncul dari balik bayang sihir Jasana. Sayap lembuswana mengembang, mata ketiganya bersinar biru pekat!

Dua khodam langsung saling menghantam di udara, suaranya seperti dua gunung bertabrakan.

Di bawah, Jasana dan Lodra mulai berduel pedang vs tongkat — serangan beruntun, ledakan sihir, dan gaya bertarung yang dahulu mereka pelajari bersama kini saling menghancurkan.

2. LEDAKAN: MAHADEWA RAKUNTI VS RESI WIGHNA LAKSA

Mahadewa berdiri angkuh di tengah lingkaran sihir, tongkat Kalaweda menciptakan bayang kelelawar melayang.

Resi Wighna menggenggam tongkat tengkoraknya. Aura kelam berkabut mulai naik... dari bayangannya, muncul sosok NALAK — roh gelap bertubuh resi berjubah hitam pekat, melayang dengan tangan menyilang, matanya hitam menyala ungu.

Resi Wighna (berdoa lirih):“Dengan gelap aku terlahir, dan dalam gelap pula aku akan mengakhiri lawan.”

Mahadewa (senyum lembut):“Dan aku? Aku bermain di batas terang dan bayang. Mari menari.”

WUUUMMMM!!! — Lingkaran sihir meledak. Kalaweda mengayun, menciptakan gelombang kejut sihir kehijauan. NALAK menyebar ribuan mata hitam, mengepung Mahadewa dalam ilusi.

Sementara dua sosok itu melayang, berganti serangan sihir tingkat tinggi — tanah di bawah mereka mulai retak dan membara ungu.

3. LEDAKAN: NANDIKA, KIRTA, ZADRAN VS 10 ELITE BAYAWIRA

Barisan pasukan elite Bayawira mengangkat senjata. Yang terdepan, wanita bertato ular, memutar cambuk angin hingga menciptakan spiral badai. Di sampingnya, pemanah bertopeng menarik anak panah gelap yang menyerap cahaya sekitar.

Zadran (tenang):“Kalau mereka datang dengan niat membunuh... kita beri sambutan hangat.”

Kirta melompat mundur, menyiapkan posisi penembak — panahnya bersinar hijau. Nandika melesat ke depan, aura biru membungkus tubuhnya.

Nandika (teriak):“Sakalingga... TERBANG!”

Burung merak Sakalingga muncul di atas punggungnya, terbang tinggi melepaskan angin tajam berputar memukul tiga elite sekaligus!

Kirta menembak — panah pertamanya menancap tepat ke jantung pria berpalu dan, meledakkan kabut hitam dari dalam tubuhnya.

Zadran menangkis palu raksasa milik musuh — tubuhnya terpental, tapi ia berputar di udara dan menusuk dari atas ke bahu musuhnya dengan kecepatan tak terduga.

Cambuk badai menghantam Nandika, tapi ia berputar, menancapkan tombak cadangannya ke tanah, menciptakan dinding angin spiral — perlindungan sempurna!

MONTAGE: PERTEMPURAN MEMBARA

Kera Sakti menghantam tanah, membuat kawah, tapi Wiratmaja menyapu balik dengan sayap perunggunya yang mengeluarkan api biru membakar langit!

NALAK menyihir bayangan Mahadewa menjadi rantai kegelapan, namun Mahadewa mengubahnya jadi ledakan cahaya keunguan, membuat NALAK menjerit.

Zadran menari dengan gaya pedang tangan kiri — dua elite roboh, darah dan sihir menyatu.

Kirta melompat ke reruntuhan menara, menembakkan panah yang meledak menjadi petir hijau.

Nandika menusuk dada elite wanita bertato ular dengan teriakan penuh semangat — aura Sakalingga membentuk tornado kecil di belakangnya.

CAMERA ZOOM OUT — LANGIT DARI ATAS BENTENG

Pertempuran kini jadi lautan api, sihir, khodam, dan darah.

Jauh di tempat lain, kilatan cahaya merah tampak mendekat cepat — Kirana dan Bagas dengan pasukan cadangan mendekat.

Narator (lirih, tegang):“Reruntuhan Watu Geni... menjadi tempat benturan dendam, takdir, dan kehormatan. Tapi malam belum berakhir... karena kobaran sejati baru saja dimulai.”

DUEL SATU PER SATU – RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI, MALAM

INT. RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI – ARENA TERBUKA – MALAM

Hujan ringan mulai turun, menambah nuansa gelap dan menggigilkan udara. Cahaya dari sihir dan pertarungan menyala seperti kilat di tengah reruntuhan purba.

Nandika, Kirta, dan Zadran berdiri dalam formasi segitiga. Di sekeliling mereka, tubuh sepuluh elite Bayawira Selatan berserakan, terluka berat… namun tak mati.

Tiba-tiba, tanah di sekitar tubuh-tubuh itu berdenyut dengan aura hitam. Uap kabut pekat berhembus naik. Nalak, khodam Resi Wighna Laksa, memekik dari langit, dan bayangan hitam merambat ke tubuh para elite.

WHOOSH!

Satu per satu, tubuh mereka kembali berdiri. Luka-luka mereka perlahan menutup dengan daging hitam berurat—mata mereka kini bersinar merah gelap.

Nandika (mendesis kesal):“Mereka bangkit lagi… seperti boneka mayat yang dipelihara si dukun tua.”

Zadran (berputar menggenggam pedang):“Tiga lawan sepuluh, yang bisa hidup dua kali? Ini mulai menyebalkan.”

DUEL BERLANJUT

Nandika menyerbu dengan Sakalingga di punggungnya — tombaknya memancarkan angin biru berputar.

CLANG! — Ia menangkis cambuk angin wanita bertato ular, lalu menusuk ke arah dadanya. Tapi sang elite berputar dan balas menyerang dari atas.

Zadran mengayun pedangnya dengan satu tangan ke arah pria bertubuh besar, menyarangkan tebasan cepat ke sisi rusuk. Tapi lawan menahan dengan palu sihir — menimbulkan dentuman logam berat dan semburan api hitam.

Kirta memanjat reruntuhan. Dari atas pilar batu, ia menarik anak panah dan membidik pemanah bertopeng.

Kirta (mengerutkan alis):“…kenapa… aura panarasa berubah warna?”

Busur Panarasa di tangannya berdenyut — mengeluarkan aura coklat tanah, bukan hijau seperti biasa. Panah yang ia tarik seolah berat… tapi saat dilepas—

TWANG!

Panah itu menghantam tubuh musuh dan meledak seperti batu longsor kecil!

Kirta (kaget, bergumam):“Apa itu…?”

Samar, di belakang tubuhnya, muncul bayangan dedaunan besar — bentuk awal Sente Coklat mulai mengitari dirinya.

SERANGAN BALIK MENGEJUTKAN

Saat Kirta membidik lagi—CRASH! — salah satu elite Bayawira muncul dari balik reruntuhan, menyergap dari belakang!

SHRAKK!! — Sebilah pedang menyayat bahu dan dada Kirta, membuat tubuhnya terhempas jatuh dari atas reruntuhan ke tanah berbatu.

Zadran (teriak):“Kirta!!”

Tubuh Kirta terguling keras. Darah mengucur. Namun...

TANAH DI BAWAHNYA BERGETAR.

Dari sela bebatuan dan rerumputan, akar-akar tanaman coklat melilit tubuhnya. Sebuah daun besar muncul dari punggungnya, membentuk semacam perisai organik.

Tubuhnya dilindungi.

AURA COKLAT MENGELILINGI KIRTA.

Bayangan utuh Sente Coklat kini muncul di belakangnya — sosok khodam tumbuhan mistis, seperti Alocasia raksasa dengan wajah tenang, dan energi tanah yang kokoh.

Kirta membuka matanya, terengah.

Kirta (pelan):“…kau… sudah lama menunggu, ya?”

Sente Coklat bergetar pelan — seperti mengangguk.

Nandika, yang melihat dari kejauhan, menyeringai.

Nandika:“Akhirnya bangkit juga, pemanah dataran tinggi.”

Zadran menghajar musuh dengan tendangan kiri kuat, lalu menoleh.

Zadran (nyengir):“Jadi... panahmu sekarang bisa tumbuhin hutan?”

KIRTA BANGKIT – POWER UNLOCKED

Kirta bangkit berdiri, tubuhnya dikelilingi aura tanah. Ia menarik panah baru dari tabungnya. Kali ini, panah itu menyatu dengan akar dan batu kecil, seperti anak panah alam.

Kirta (serius):“Sente Coklat… ayo. Kita mulai ulang.”

TWANG!!

Ia menembakkan panah ke arah musuh, dan dari tanah muncullah dinding-dinding akar, mengikat kaki dan senjata elite Bayawira, memaksa mereka berhenti bergerak.

Elite pemanah yang tadi menyerangnya kini tak bisa melompat menghindar — panah Kirta menghantam dada dan menciptakan ledakan debu!

CUT TO:

INT. LANGIT DI ATAS RERUNTUHAN – KAMERA MENAIK

Suara benturan senjata, sihir angin dari Nandika, ledakan tanah dari Kirta, dan dentingan pedang cepat dari Zadran mengisi malam. Mereka bertiga, meski terkepung, kini berdiri lebih kuat dari sebelumnya.

Nandika (teriak):

“Satu persatu, kita tumbangkan mereka!”

Kirta (serius, mengangkat busur):

“Kita tidak akan tumbang di tanah ini!”

Zadran (menunduk sedikit, pedang terarah):

“Saatnya giliran kita menyerang.”

SCENE DITUTUP dengan Sente Coklat mengembang, daunnya berkibar seperti bendera perang — pertempuran belum selesai, tapi kekuatan mereka tak lagi sama.

Narator (lirih):“Di atas tanah leluhur, khodam yang tersembunyi mulai bangkit. Karena pertarungan ini bukan hanya ujian kekuatan... tapi kebangkitan yang telah ditunggu oleh para penjaga sejati dunia.”

MAHADEWA RAKUNTI vs RESI WIGHNA LAKSA

Langit di atas Reruntuhan Benteng Watu Geni – Malam menjelang tengah malam

INT. LANGIT DI ATAS RERUNTUHAN – MALAM GELAP BERKABUT

Kirta baru saja bangkit dengan Sente Coklat melingkar di belakangnya. Aura tanah yang kental menyatu dengan tubuhnya. Cahaya coklat samar terlihat dari busurnya.

Resi Wighna Laksa, yang melayang perlahan di udara ditemani NALAK, menatapnya tajam. Wajahnya murung, namun menyiratkan kekesalan.

Resi Wighna (berbisik dingin):“Anak-anak ini… terlalu cepat berkembang. Mereka akan jadi duri.”

Tangannya terangkat, menggenggam tongkat sihir besar berhias tengkorak. Ia mengucapkan mantra rahasia, terdengar seperti bisikan dari dasar dunia.

"Sakti Wijayadiroh, Sugra Bhayangkara..."

BRUAKK! – Tanah di belakangnya merekah. Dari retakan-retakan hitam menguap asap kegelapan. Dua puluh pasukan tengkorak muncul, mengenakan zirah besi tua, memegang pedang, tombak, dan kapak. Mata mereka menyala merah darah.

Resi Wighna (tegas dan lantang):“Majulah. Runtuhkan keturunan cahaya.”

CUT TO: MAHADEWA RAKUNTI

Di sisi lain reruntuhan, Mahadewa Rakunti berdiri tenang di atas tumpukan batu. Angin berputar di sekelilingnya. Ia menyaksikan gerombolan tengkorak itu muncul — namun tidak terguncang.

Ia tersenyum tipis, lalu mengangkat Kalaweda, tongkat tengkorak kelelawarnya.

Mahadewa:“Wighna Laksa… yang bisa bermain dengan kegelapan bukan cuma engkau.”

Fwuusshh!

Dari tongkatnya, terbang ratusan kelelawar ungu gelap ke langit malam. Mereka terbang membentuk pusaran, seperti kabut gelap yang berputar.

Mahadewa mengucap mantra:

"Bayungkara... Wujudkan Diri, Terbit dari Sayap Malam..."

Dan... WHOOMMM!

Kelelawar-kelelawar itu menyatu menjadi dua puluh sosok bayangan—pasukan siluman kelam berpakaian hitam pekat dengan topeng samar dan senjata berkilat ungu. Mata mereka menyala lembayung tua.

PERTEMPURAN DIMULAI.

PASUKAN TENGKORAK vs PASUKAN BAYANGAN

Benturan pertama — suara tulang bertabrakan dengan bayangan berlapis sihir. Senjata-senjata mengayun, teriakan magis dan erangan kuno memenuhi malam.

Pasukan tengkorak menyerbu dengan brutal, membabi buta, namun pasukan bayangan Mahadewa lebih cepat dan lincah, menghilang dan muncul di belakang musuh seperti bayangan yang berpikir.

Cahaya merah dan ungu berkedip-kedip di bawah, diiringi suara dentingan keras, sihir yang saling membatalkan, dan tubuh-tubuh tak bernyawa yang kembali tumbang lalu bangkit lagi.

PERTARUNGAN DI LANGIT

Mahadewa perlahan terangkat ke udara. Dari punggungnya, dua sayap kelelawar hitam ungu terbentang, menjadikannya sosok malam yang agung.

Resi Wighna, dibantu NALAK, juga terangkat. Khodam resi tua itu menyelimuti tubuhnya dalam kabut hitam, dengan dua tangan bayangan panjang muncul dari tubuh Nalak — siap bertarung.

Mereka melayang mengitari satu sama lain — dua raksasa sihir.

Mahadewa:“Sudah lama aku ingin mengujimu, Resi Wighna.”

Wighna (dingin):“Dan sudah lama aku tahu kau menyimpan kehendak sendiri, Mahadewa. Terlalu banyak bermain di garis abu.”

Mahadewa (menyeringai):“Tapi di medan gelap inilah cahaya dan bayangan menari paling indah…”

ZRRRAAAKKK!!!

Pertukaran pertama — gelombang petir ungu dari Mahadewa menembak ke arah Wighna. Nalak membentuk perisai kegelapan dan memantulkan sihir itu ke langit.

Resi Wighna membalas dengan tusukan sihir merah kehitaman, melesat dari tongkatnya seperti tombak.

Mahadewa memutar tubuh, sayapnya melipat menahan sihir, lalu membalas dengan gerakan seperti menabur racun, membuat ratusan kelelawar keluar dari tongkatnya dan menyerbu seperti badai kecil.

Langit seperti robek.

Dua kapten sihir itu bertarung di udara — saling menembakkan gelombang sihir, membentuk runa, dan menciptakan pusaran energi raksasa yang menyedot awan.

Di bawah, pasukan mereka masih saling membantai. Tulang berserakan, bayangan terpotong, namun jumlah mereka terus seimbang.

CUT TO – KIRTA, NANDIKA, ZADRAN

Ketiganya melirik ke atas.

Nandika (serius):“Kekuatan mereka… gila. Itu bukan duel biasa.”

Zadran:“Bukan. Itu duel dua raksasa sihir. Dan kita... masih harus selamat di bawahnya.”

SCENE DITUTUP Dengan Mahadewa dan Resi Wighna saling terbang melingkar di langit kelam, sihir mereka menciptakan cahaya ungu dan merah yang bersinar di awan, seperti dua dewa perang yang saling menghancurkan.

Pertarungan belum selesai. Tapi dunia mulai berguncang.

Narator:“Malam itu, langit tak lagi diam. Karena dua kutub ilmu telah bertemu—dan di antara dentuman sihir dan bayangan, nasib banyak jiwa mulai berubah.”

RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI – MALAM

Suasana kacau.

Sihir terbang, tanah berguncang. Di tengah kehancuran itu, Jasana Mandira dan Lodra Wahana saling tatap. Mereka tak berkata sepatah kata pun—tatapan mereka sudah cukup menunjukkan bahwa pertarungan ini tak sekadar duel. Ini pertarungan harga diri. Sejarah. Perpisahan.

Lodra menunjuk ke kejauhan.

Lodra (serius, datar):“Kita tak bisa bertarung di tengah keributan ini. Mari pindah. Seperti dulu... kita berdua butuh ruang.”

Jasana (dingin):

“Kau tahu aku akan mengejarmu ke ujung dunia, Lodra.”

EXT. PERBUKITAN MATI – AREA LUAS DI ANTARA POHON KERING – MALAM

Langit kelam. Kabut tipis menyelimuti tanah retak. Di bawah cahaya bulan pucat, mereka berdiri berhadapan.

Lodra memutar tongkat putih keperakannya. Tongkat itu memanjang, mengembang, lalu membesar jadi seukuran tiang, menciptakan dentuman berat saat menghantam ke tanah—mengguncang sekeliling.

Jasana tidak gentar. Ia mencabut Lungguh Darma, bilah merah darah mengeluarkan aura api biru ghaib, disatu padukan oleh kekuatan Wiratmaja.

Parangjati, keris berpola naga, melayang sendiri di sampingnya. Aura putih terang melingkari tubuh Jasana seperti tameng hidup.

PERTARUNGAN DIMULAI

Lodra menghantam dengan tongkat raksasa dari atas.

BRAAAKKK!!!

Tanah retak, debu melayang, namun Jasana menahannya dengan satu tangan, Lungguh Darma menyala, seolah energi ghaib dari lembuswana mendesak kekuatan Lodra mundur.

Mereka terus bertukar serangan.

Lodra memutar tongkat, menyerang dari berbagai arah—kecepatan luar biasa untuk senjata sebesar itu. Namun Jasana seperti angin, melompat, memutar tubuh, dan setiap serangannya tajam serta menekan.

Parangjati melayang dan menyapu udara, menciptakan dinding perlindungan dari energi sihir Lodra yang menyusup di balik hantaman.

PERCIKAN API terjadi setiap senjata bersinggungan. Cahaya merah dan putih menari liar di langit gelap.

Lodra (bernapas berat):“Kau bukan bocah bengkel yang dulu.”

Jasana (menatap tajam):“Dan kau bukan pemimpin yang patut dikenang.”

DUAR!!!

Lodra membesarkan tongkatnya sepenuhnya, sebesar tiang menara, dan mengayunkannya seperti palu raksasa.

Jasana menyeruak ke udara, kedua senjatanya berputar seperti pusaran. Aura api biru dan cahaya putih bertubrukan—serangan mereka menciptakan retakan besar di tanah.

CUT TO: PERBATASAN HUTAN – PASUKAN KIRANA & BAGAS HADIR

Di sisi lain perbukitan, Kirana Wismandanta dan Bagas Prayoga muncul bersama 25 anggota gabungan dari seluruh divisi Bayu Geni.

Teriakan terdengar.

Pasukan Bayawira Selatan (sekitar 50 orang) telah siap, menunggu dalam formasi. Mereka mengenakan lambang ular merah berkepala dua.

Kirana (dingin, tajam):“Lodra membaca gerakan kita.”

Bagas (senyum lebar tapi wajah serius):“Tebakan bagus. Tapi kita datang bukan buat main catur.”

Kirana menarik napas panjang. Aura spiritual merah bata menyelimuti tubuhnya. Dalam diam, Panembahan Senopati, sosok roh kapten silat bayangan, terlihat samar berdiri di belakangnya.

Bagas menggenggam Tapak Maruta, sarung tangan berdenyut kemerahan, aura api perlahan menjalar di bahunya.

Bagas: “25 lawan 50… Bukan pertandingan adil.”

Kirana: “Kau khawatir?”

Bagas (senyum puas): “Bukan. Aku hanya berharap mereka sudah siap dicambuk balik.”

Pasukan Bayu Geni bergerak maju.

Pasukan Bayawira Selatan menunggu, senjata terhunus.

Dua kekuatan besar akan berbenturan.

CUT BACK TO – JASANA VS LODRA

Darah menetes di pipi Jasana. Serangan terakhir Lodra nyaris menembus pertahanannya.

Namun Jasana pun sempat menebas mantel Lodra, menciptakan luka di dada sang pengkhianat.

Mereka berdiri, saling tatap—napas berat, aura mereka menggelegak.

Jasana (lirih tapi tegas):“Kau tidak hanya mengkhianati guild. Kau mengkhianati kami semua.”

Lodra (pahit):“Karena aku tahu… yang kau bela itu palsu.”

Scene ditutup dengan kedua pendekar itu melesat ke arah satu sama lain, bilah api dan tongkat raksasa kembali bertemu dalam hantaman maut—

Cahaya menyilaukan membelah malam.

Narator (lirih, puitis):“Di atas tanah leluhur yang berkeping, dua bayangan masa lalu kini saling mengukur. Dan dari percikan dendam itu... api takdir kembali menyala.”

BEBERAPA TAHUN LALU

Lokasi: Ruang Divisi Raka Lelana, Guild Bayu Geni – Senja Mewarnai Langit

Suasana tenang. Sinar matahari sore masuk dari jendela-jendela batu besar yang menghadap ke barat. Di ruang luas penuh peta, artefak, dan senjata tergantung, dua sosok berdiri: Lodra Wahana, waktu itu masih mengenakan mantel hijau pekat Raka Lelana dengan simbol naga mengepak di dada kirinya, dan Jasana Mandira, yang masih muda dan penuh semangat.

Di atas meja kayu jati tua, terdapat artefak berupa belati berukir naga, batu kristal tembus pandang, dan selembar perkamen tua bertuliskan aksara kuno Mandalagiri.

Lodra Wahana (tenang, mengajar):

“Lihat ini, Jasana. Ini namanya Peta Tersirat Ranu Geni. Tidak semua bisa membacanya. Tapi setiap titik di sini... adalah pintu sejarah.”

Jasana (penuh rasa ingin tahu):

“Pintu sejarah?”

Lodra (tersenyum):

“Ya. Di setiap reruntuhan, di setiap lembah, hutan, dan gua… tersembunyi bukan hanya artefak, tapi juga ingatan tentang siapa kita. Itulah yang kita kejar sebagai Raka Lelana: bukan cuma kekuatan, tapi makna.”

CUT TO: LODRA MEMANDANG SIMBOL NAGA DI MANTELNYA

“Simbol naga mengepak ini, bukan cuma lambang gagah-gagahan. Ini filosofi... naga adalah makhluk bijak penjaga harta. Tapi ketika mengepakkan sayapnya, itu tandanya dia hendak membagikan pengetahuannya. Itu... yang dulu ingin kita lakukan.”

“Kau tahu mimpiku, Jasana?”

Jasana (mengangguk pelan):

“Musium Tirabwana. Tempat anak-anak bisa belajar sejarah dari artefak asli, bukan dari cerita bohong.”

Lodra (tersenyum lebar):

“Bayangkan... satu aula penuh tombak dari Tanah Selampa, panah dari Pegunungan Pawana, batu perunggu dari zaman Resi Arkadanta, dan bahkan pecahan pedang dari Perang Lima Gerbang. Semuanya... tersusun rapi, bisa disentuh, dilihat. Disaksikan oleh generasi baru.”

CUT TO: DI AREA LATIHAN GUILD, HUTAN KECIL

Lodra dan Jasana sedang berlatih bersama.

Lodra menunjukkan teknik membaca arah angin dengan lemparan dedaunan.

Lodra:“Jangan paksa medan untuk mengikuti langkahmu. Biarkan dirimu mengikuti irama alam.”

Jasana (masih canggung):

“Seperti air?”

Lodra (mengetuk dada Jasana):“Seperti hati yang terbuka. Jika kau bisa membaca bisikan tanah, kau akan tahu kapan musuh melangkah… bahkan sebelum mereka tiba.”

KEMBALI KE PERTARUNGAN DI MASA KINI

Lodra dan Jasana berdiri berhadapan, napas mereka berat, tubuh terluka, namun mata masih menyala penuh bara.

Jasana (lirih, penuh luka batin):“Kau pernah mengajariku arti naga mengepak. Tapi sekarang, kau menjadi ular yang membelit.”

Lodra (pahit):“Karena naga sudah tak bisa terbang lagi... saat langit dikuasai kebohongan.”

Mereka kembali melompat dan saling serang—

Lungguh Darma terbakar dengan api biru ghaibTongkat Lodra menyambar seperti tiang petir, dihantam oleh kekuatan kera sakti

Narator (lirih, tajam):

“Dulu mereka bertarung bersama demi perdamaian. Kini mereka bertarung untuk membuktikan… siapa yang masih layak menyebut dirinya penjaga kebenaran.”

DI GERBANG TIMUR RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI

Malam telah turun. Kilatan cahaya pertempuran masih membelah langit. Debu dan angin dingin mengusap wajah para pendekar. Suara ledakan dan sihir dari kejauhan masih menggema dari arah pertarungan utama.

25 Pendekar Cadangan Bayu Geni, dipimpin oleh Kapten Kirana Wismandanta dan Bagas Prayoga, telah tiba. Formasi mereka solid. Mata mereka menyala semangat. Dari kejauhan, terlihat 50 pasukan Bayawira Selatan telah menunggu, mengenakan berbagai perlengkapan tempur acak-adut—beberapa mengenakan baju besi lusuh, beberapa hanya rompi kulit penuh tambalan.

Bagas (sambil terkekeh, suara lantang):

“Ini... musuhnya? Hahaha! Sumpah, Kirana... satu ronde saja cukup. Aku yang maju sendiri juga tak apa!”

Kirana (geleng kepala, tenang, tatapannya tajam):

“Jangan terlalu angkuh, Bagas. Tapi… kalau pasukan Bayawira Selatan cuma begini… mereka bahkan lebih buruk dari para penjaga pasar malam di Rawasinga.”

Bagas (sambil mengepalkan tangan dengan sarung tangan Tapak Maruta menyala merah):

“Aku malah kangen berantem sama preman sungai. Mereka setidaknya bisa lempar batu dengan tepat.”

Salah satu Bayawira Selatan berteriak memimpin serangan:

“Hancurkan mereka! Demi Bayawira!”

Teriakan itu justru ditanggapi dengan tawa keras Bagas.

PERTEMPURAN DIMULAI

Bagas melesat duluan. Tubuh tambunnya justru ringan melompat ke tengah kerumunan. Dengan satu pukulan ke tanah — Tapak Maruta menghantam keras — tanah berguncang. Tiga orang musuh terpental ke udara, terbakar aura api.

Bagas (menjerit geli):“Wah ini kayak latihan pemanasan pagi!”

Pasukan Bayu Geni bergerak lincah. Dari segala arah, mereka menyergap musuh dengan koordinasi disiplin lintas divisi — teknik sihir, senjata jarak jauh, jebakan, dan tenaga dalam berpadu dalam harmoni seperti gerakan tari pertempuran.

Kirana melangkah maju tanpa tergesa. Beberapa musuh mencoba menghadangnya — gagal total.

Satu tendangan, satu gerakan lengan, satu putaran tubuh — semua membuat musuh tumbang seperti boneka kayu. Suara siulan pendek dari Kirana mengiringi setiap gerakannya. Tenaga dalamnya murni, terkendali.

Kirana (dingin, sambil menatap sisa musuh yang ketakutan):

“Bayawira Selatan? Kalian ini pasukan atau kumpulan bandit dari warung tuak?”

Bagas (mendorong dua musuh hingga menabrak pohon):

“Mereka mabuk, Kapten. Lihat itu… masih ada yang jalannya oleng. Mungkin sempat minum sebelum perang.”

Lima menit. Seluruh pasukan Bayawira Selatan tumbang. Ada yang pingsan, ada yang menyerah dengan tangan terangkat, sisanya hanya menggeliat kesakitan.

Pasukan cadangan Bayu Geni berdiri gagah, nyaris tanpa luka. Beberapa hanya terkena debu dan goresan ringan. Mereka saling memberi hormat satu sama lain, tidak ada sorakan berlebihan — hanya ketegasan yang sunyi.

Bagas menepuk-nepuk sarung tangannya yang masih berasap:

“Selesai lebih cepat dari waktu aku bikin teh pagi.”

Kirana berjalan ke batu besar di sisi reruntuhan, duduk tenang, menyeka sedikit debu dari lengannya. Ia menatap medan, lalu mengangkat tangan memberi aba-aba istirahat.

Kirana (datar, tapi jelas):“Kita tunggu aba-aba dari Jasana. Tapi satu hal sudah pasti: Bayawira Selatan… Masih ada Lodra dan Wighna.”

SCENE DITUTUP 25 Pasukan Cadangan Bayu Geni berdiri gagah dalam formasi setengah lingkaran, dengan Kirana dan Bagas di depan. 50 pasukan Bayawira Selatan… tergeletak tanpa bisa bangkit.

AREAL LUAS DI SEKITAR RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI

Angin malam menghembus kencang. Tanah berguncang. Langit memanas oleh kilatan aura. Pepohonan retak, akar terangkat, dan tanah mulai terbelah oleh energi dua kekuatan besar yang tengah naik ke puncaknya…

✦ Pertarungan Jasana vs Lodra Wahana: Tahap Menengah — Kebangkitan Spiritual

Lodra Wahana menjejakkan tongkatnya ke tanah. Segel-segel gaib pada tongkat besi putih keperakan miliknya menyala satu per satu. Suaranya rendah, namun menghentak:

Lodra:“Kau sudah tumbuh, Jasana. Tapi kau belum melihat… siapa aku yang sebenarnya.”

Aura hitam keperakan menyelimuti tubuh Lodra. Tubuhnya berguncang keras—bayangan Kera Sakti di belakangnya mengaum. Dalam sekejap, keduanya menyatu dalam Kebangkitan Spiritual Khodam.

Ledakan energi meledak ke segala arah.

Tubuh Lodra kini telah berubah menjadi siluman kera raksasa, tinggi menjulang dengan kulit keabu-abuan, zirah hitam membungkus tubuhnya. Matanya menyala merah darah, dan tongkat besi bersegel gaib digenggam di tangan besarnya.

Setiap ayunan tongkat itu menghentak tanah dan menciptakan gelombang yang mematahkan tanah. Rerumputan hancur, udara berdesing.

Jasana berdiri diam, tenang. Matanya terpejam. Aura hijau mulai menyebar dari tubuhnya. Bayangan Lembuswana perlahan muncul di belakangnya — Wiratmaja.

Tiba-tiba mata Jasana terbuka—mata ketiga muncul di dahinya. Api biru menari di sekeliling tubuhnya.

Jasana (berbisik):“Mari, Wiratmaja… satukan napasmu dengan jiwaku.”

Pijar langit berubah membiru. Angin menggila. Tanah membelah. Dari pusaran aura hijau-biru itu, lahirlah sosok raksasa setinggi Lodra, manusia yang telah menyatu dengan Wiratmaja. Tubuh Jasana membesar, bersayap perunggu membara api ghaib biru. Tanduk Lembuswana melengkung di kepalanya. Pedang Lungguh Darma membesar, menyala merah darah.

Dua raksasa saling tatap.

Dan…

⚔ Pertarungan Dua Sosok Raksasa Dimulai

Benturan pertama.Tongkat besi Lodra menyambar ke kiri — Jasana menahan dengan Lungguh Darma. Ledakan energi! Tanah retak. Burung-burung melarikan diri.

Benturan kedua. Jasana berputar, membalas dengan tebasan diagonal — Lodra mengangkat tongkat, blok keras! Percikan api, aura merah dan biru meledak bertabrakan di udara.

📍Di Kejauhan, Tempat Istirahat Pasukan Cadangan Bayu Geni

Bagas dan Kirana bersama 25 pendekar lainnya melihat langit menyala terang.

Bagas (berdiri perlahan, suara pelan):“Itu dia… Lodra berubah lagi… seperti dulu di Hargagiri.”

Kirana (mata menyipit):

“Tapi sekarang dia tak menghadapi tiga anak muda… dia berhadapan dengan Kapten Divisi Raka Lelana.”

Salah satu pasukan cadangan (berbisik kaget):

“Itu… Itu Kapten Jasana?! Dia… menyatu dengan… Khodam-nya?”

Bagas (tertawa miris):“Dulu waktu aku, Kirta, dan Nandika lawan dia… rasanya seperti dihajar gunung hidup. Tapi lihat sekarang… Jasana seimbang.”

Benturan demi benturan. Pedang dan tongkat menari dalam ukuran raksasa. Setiap hentakan menciptakan kawah kecil. Hutan di sekitar mulai roboh. Bebatuan terpecah. Akar-akar terangkat dari tanah.

Aura merah dan biru saling menerjang.Langit malam berpendar merah, ungu, dan biru kehijauan.

Jasana (berteriak keras, suara bergetar):

“Lodra! Dulu kau ajari aku tentang kehormatan! Tentang tanah ini! Kenapa kau memilih jalan ini?!”

Lodra (membalas serangan, suara dalam dan menggema):

“Karena aku melihat kebenaran, Jasana! Kau belum tahu setengahnya!”

Benturan terakhir dalam scene — tongkat dan pedang saling hantam di udara — menciptakan ledakan energi horizontal yang menyapu pepohonan, menumbangkan segalanya dalam radius puluhan meter.

SCENE DITUTUP

Langit terbakar oleh dua kekuatan.Di bawah sana, para pasukan Bayu Geni hanya bisa menyaksikan dengan bisu.Satu pihak mantan mentor, satu pihak murid terbaik.Dua raksasa, satu takdir.

Pertarungan belum selesai.Tapi Mandalagiri… sedang berguncang.

LANGIT MALAM MANDALAGIRI BERGUNCANG

Langit di atas Benteng Watu Geni seperti dipisah dua kutub sihir: sisi timur menyala merah darah dan api biru, sisi barat berkabut ungu pekat dan gelap pekat seperti jurang malam.

Di udara, dua sosok masih melayang, berhadapan.

Di bawah mereka, pasukan tengkorak bermata merah ciptaan Resi Wighna Laksa terus beradu dengan pasukan bayangan pasukan siluman kelam berpakaian hitam pekat dengan topeng samar dan senjata berkilat ungu. Mata mereka menyala lembayung tua Milik Mahadewa.

Resi Wighna Laksa menghentikan mantranya sejenak. Tubuhnya masih melayang, jubah biru gelapnya berkibar pelan. Ia menoleh ke kejauhan...

Matanya membelalak.

Di antara reruntuhan dan hutan patah, dua raksasa bertarung.

Lodra Wahana dalam wujud Kera Sakti Raksasa,melawan Jasana Mandira yang telah menyatu dengan Wiratmaja, Lembuswana Api Biru.

Wighna (lirih, geram):“...Anak itu… Masih menyimpan kekuatan sebesar itu?”

Mahadewa Rakunti, berdiri tegak melayang di hadapan Wighna, hanya tersenyum santai seperti biasa. Dua sayap kelelawar di punggungnya mengepak ringan. Suaranya datar, tenang, menusuk:

Mahadewa:“Itu akibat ulahmu sendiri, Resi... Tiga tahun lalu. Kau lempar dia ke lubang kehancuran… tapi yang kembali, bukan sekadar manusia.”

Wighna menatap tajam.

Mahadewa (melanjutkan):“Ia jatuh ke Kalathraya… Alam Jin tingkat dua.Tempat para Bangsawan Jin... yang menyerupai manusia.Tapi tidak semua manusia bisa kembali dari sana…Jasana pulang, membawa darah jin di dalam tubuhnya.”

Wighna mencengkeram tongkatnya lebih keras. Raut wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kilatan frustrasi dan kegelisahan.

Wighna (pelan):“...Kalathraya… Alam Jin yang hanya disebut dalam naskah-naskah larangan...Bahkan lebih kuat dari Tiraksara...Anak itu… telah melewati batas manusia…”

Tapi ia segera menarik napas. Lalu menengadah ke langit.

Wighna:“Kalau begitu, Mahadewa… Sudah waktunya kita bertarung sebagai sejati pemanggil kekuatan agung…”

Mahadewa tersenyum miring.

Mahadewa:“Tentu. Aku sudah menunggumu di sini bukan untuk bicara saja.”

KEBANGKITAN SPIRITUAL — RESI WIGHNA LAKSA VS MAHADEWA RAKUNTI

Langit menggelap seketika.

Resi Wighna mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Segel sihir meledak dari tubuhnya. Aura hitam pekat menyelimuti langit. NALAK, sosok roh gelap berjubah kabut dan wajah samar, muncul di belakang Wighna, lalu menyatu dalam satu dentuman aura spiritual.

Tubuh Wighna berubah. Matanya menjadi putih total, jubahnya menyatu dengan kabut sihir hitam, dan tongkatnya kini memanjang menjadi tongkat sihir kegelapan dengan tiga tengkorak menyatu di ujungnya, berpendar merah menyala.

Sementara Mahadewa…

Ia memejamkan mata.

Gerombolan kelelawar yang berputar di sekitarnya mulai menusuk tubuhnya satu per satu, menyatu seperti aliran tinta hitam.

Aura ungu meledak.

Wujudnya berubah:

Rambut hitamnya menjadi ungu kelam, panjang seperti bayangan malam.

Matanya merah menyala, berpendar mistik.

Taring tajam muncul di mulutnya.

Jubah silumannya berkibar seperti kabut malam, bersinar lembut ungu.

Di atas kepalanya, kelelawar-kelelawar kecil membentuk mahkota hitam.

Kalaweda, tongkat tengkorak kelelawar, membesar dan kini mengeluarkan nyala hijau gelap bercampur ungu.

DUEL DUA SPIRITUALIS TERTINGGI DIMULAI

Langit merespons.

Kilatan sihir berwarna hitam dan ungu menghantam satu sama lain di udara. Suara gaung mantra-mantra kuno memenuhi cakrawala. Dari tongkat Resi Wighna, muncul segel-segel hitam memutar membentuk lingkaran setan. Dari Kalaweda Mahadewa, keluar mantra pusaran energi bayangan yang mengguncang ruang dan waktu.

Dari bawah, pasukan mereka berhenti bertarung sejenak, seakan menyadari bahwa apa yang terjadi di langit bukan pertarungan biasa… tapi adu nasib para pemanggil Khodam tertinggi Mandalagiri.

Mahadewa (suara menggema):“Bayungkara, gelapkan malam ini dengan kutuk cahaya…”

Wighna (berteriak penuh murka):“NALAK!! Bangkitkan bayanganku yang tertua!!”

Dua serangan maha dahsyat terlepas di langit.

Langit pecah. Tanah bergetar.

Dan—

⚫ SCENE DITUTUP

Dalam bentrokan sihir itu, langit Mandalagiri seakan sobek.Satu dari kegelapan.Satu dari bayangan.Namun yang akan bertahan, adalah kehendak paling dalam.

Pertarungan para pemanggil Khodam tertinggi baru saja dimulai.Bab ini berakhir… tapi Mandalagiri belum selesai menangis.