PERTARUNGAN DI LUAR PUSARAN KEKUATAN
Langit di atas reruntuhan Benteng Watu Geni terus bergemuruh. Dua kekuatan supranatural—Mahadewa Rakunti dan Resi Wighna Laksa—telah membelah langit dengan pertarungan yang memutar ruang dan sihir.
Petir gaib dan pusaran energi spiritual menyambar tak terkendali.
✦ Reaksi Kirta, Nandika, dan Zadran
Kirta menoleh cepat saat semburan energi sihir hitam dari langit nyaris menghantam tempatnya berdiri. Ia melompat mundur, lalu berteriak,
Kirta:
“Mundur! Jangan ada yang dekat-dekat dengan pertempuran itu!”
Nandika, dengan napas masih terengah, segera menarik Zadran.
Nandika:
“Cepat! Tempat ini terlalu berbahaya!”
Zadran hanya mengangguk, dengan wajah tetap dingin, tapi langkahnya cepat. Mereka bertiga menyelinap menjauhi area utama benteng, memasuki celah bebatuan dan reruntuhan, mencari lokasi yang lebih aman.
✦ Sepuluh Elite Bayawira Selatan Mengejar
Namun mereka tak sendiri.
Sepuluh Elite Bayawira Selatan melesat mengejar. Dengan gerak cepat dan tubuh diselimuti sihir gelap, mereka seperti bayangan pemburu.
Wanita bertato ular mengayunkan cambuk anginnya, menciptakan celah jalan lewat udara.
Pemanah bertopeng menyiapkan panah hitam berdenyut aura kutukan.
Pria bertubuh besar mengangkat palu sihirnya, setiap langkah mengguncang tanah.
✦ Pertarungan Dimulai
Begitu sampai di area datar di sisi utara perbukitan kecil, Nandika, Kirta, dan Zadran segera berbalik.
Nandika (tegas):
“Cukup. Kita selesaikan di sini.”
Kirta mengangkat busur Panarasa, dan aura tanaman hitam (Sente Coklat) menjalar di tanah di bawah kakinya.
Zadran mencabut pedangnya, tubuhnya condong ke depan, tangan kiri memegang gagang dengan mantap—tatapannya seperti mengabaikan dunia.
Sepuluh Elite menyebar membentuk formasi setengah lingkaran. Aura sihir gelap membungkus tubuh mereka—tapi tidak sepekat tadi. Perlahan tapi pasti... aura itu mulai menipis.
✦ 3 VS 10 Dimulai
Zadran menari lebih dulu. Pedangnya bergerak cepat seperti bayangan hutan. Setiap tebasan menarget titik lemah. Tubuhnya tipis, tapi jurusnya mematikan.
Nandika melesat dari sisi lain, tombaknya berputar menciptakan pusaran angin berwarna biru, burung merak Sakalingga muncul dari punggungnya melayang dan menari di atasnya, memperkuat serangan. Ia menghantam lawan dengan kekuatan gabungan antara tombak dan hembusan angin khodam.
Kirta tetap menjaga jarak. Ia melompat ke atas bebatuan, lalu menarik panah energi. Sente Coklat muncul di belakangnya, menciptakan akar-akar tanah yang membelit kaki para musuh. Ia melepaskan panah satu per satu, masing-masing berpadu dengan energi alam: panah petir, panah racun, panah tanah.
✦ Kekuatan Sihir Gelap Mulai Melemah
Salah satu elite: wanita bertato ular, terpental jauh setelah terkena lemparan tombak energi angin Nandika.
Seorang pemanah kegelapan tertancap panah tanah Kirta dan terjerembab.
Namun...
Mereka bangkit kembali.
Tubuh mereka tampak robek, tapi kembali pulih. Aura sihir hitam dari tubuh mereka membentuk benang-benang seperti tali spiritual yang menarik mereka kembali berdiri.
Kirta memperhatikan pola itu.
Kirta (berteriak):
“Mereka terikat langsung ke Resi Wighna! Kalau kita terus bertarung, energi Wighna yang ada di tubuh mereka harus dikuras! Mereka tak akan benar-benar mati sebelum itu!”
Nandika (membalas):
“Kalau begitu—serang terus! Kita buat Mereka kehabisan bahan bakar!”
✦ Tabrakan Akhir — Energi Tertinggi 3 vs 10
Zadran melesat ke depan, tubuhnya seperti tarian angin. Jurus-jurusnya menebas ke kiri dan kanan.
Nandika berputar di udara, menghantam pusat formasi dengan tombaknya, diikuti semburan cahaya biru dari Sakalingga.
Kirta berdiri di atas bebatuan, menarik tiga panah sekaligus, masing-masing berisi: api, racun, dan tanah—Panah Tri-Elemen—lalu melepaskannya ke langit.
Panah melesat dan—
BOOM!
Menghantam tanah tempat sepuluh elite berkumpul.
Debu tebal membumbung.
Tanah retak.
Batu beterbangan.
✦ SCENE DITUTUP
Dalam debu dan api, Nandika, Zadran, dan Kirta berdiri berdampingan, napas terengah, tombak, pedang, dan busur tetap di tangan.
Sepuluh elite Bayawira Selatan terpental ke segala arah.
Beberapa dari mereka mulai tak mampu bangkit.
Kirta (pelan):
“Tinggal tunggu waktu… Sihir Wighna ditubuh mereka akan habis. Dan mereka… akan runtuh.”
Sementara di kejauhan, langit masih bergetar.
Pertarungan para raksasa—Jasana vs Lodra.
Dan duel spiritual abadi—Wighna vs Mahadewa—masih berlanjut.
Bab ini belum berakhir. Tapi kemenangan mulai menunjukkan sisi yang baru.
Pasukan Bayu Geni… mulai mengungguli kegelapan.
HUTAN TIMUR GANTARA, LOKASI BENTENG PERTAHANAN SEMENTARA BAYU GENI
Kabut tipis merayap di antara pepohonan besar. Langit di atas memerah kelam. Cahaya dari api obor dan aura sihir saling bersilangan. Di tengah medan terbuka, Kapten Kirana Wismandanta berdiri bersama Bagas dan 25 Pasukan Cadangan Bayu Geni dalam formasi bertahan.
Dari balik kabut, empat sosok berkuda muncul seperti raja-raja bayangan. Mereka turun perlahan.
Jagat Arunika melangkah ke depan, diikuti Jagatmarma, lalu Teksaka dan Ratri Andini menyebar menyamping.
Kirana (pelan, serius):
“Mereka datang…”
✦ AWAL PERTEMPURAN: PASUKAN BAYU GENI VS JAGATMARMA & ARUNIKA
Kirana:
“Formasi! Segel silang! Fokus pada pertahanan dulu!”
25 Pasukan Bayu Geni yang sudah dilatih Kirana membentuk pola formasi silang. Mereka menyerang bersamaan dengan energi gabungan dari berbagai divisi: sihir pendukung, senjata jarak jauh, dan tenaga dalam.
Namun...
Jagatmarma, dengan wajah santainya, bertepuk tangan kecil.
Jagatmarma (senyum lebar):
“Wah... ini menyenangkan. Kalian seperti latihan bela diri Malam hari.”
BOOOM!
Dengan satu ayunan pedangnya, gelombang waktu melambat bagi sebagian pasukan. Gerakan mereka membeku setengah detik—cukup bagi Jagatmarma untuk menyelinap dan menjatuhkan mereka satu demi satu dengan tekanan tangan dan kaki. Beberapa tersungkur tak sadarkan diri.
Di sisi lain, Jagat Arunika berjalan santai. Aura hitam dari tubuhnya menebar seperti kabut maut. Beberapa serangan pasukan melewatinya tanpa menyentuh. Dengan kedipan mata, aura racunnya menyebar—beberapa pasukan yang terlalu dekat langsung ambruk, sesak napas.
Jagat Arunika (pelan):
“Kalian masih terlalu hijau.”
✦ BAGAS VS TEKSAKA & RATRI ANDINI
Bagas melangkah maju. Sarung tangan besi "Tapak Maruta" di tangannya mulai berdenyut merah api.
Bagas (tegas):
“Kalau kalian dua lawan satu, adilnya aku ngambek dulu, ya.”
Ratri (menarik busur sambil tersenyum):
“Lucu juga kau. Gendut, kami bukan sedang bermain.”
Teksaka (mengayun belati):
“Jangan mati terlalu cepat, bocah tambun.”
SRAAAKK!
Pertarungan pecah! Teksaka menyerang dari samping dengan dua belati besar, sementara Ratri menembakkan panah energi dari jarak jauh, membentuk sudut mematikan.
Bagas menghindar dengan lincah tak terduga untuk tubuhnya. Ia melompat dan menghantam tanah—gelombang api meledak ke segala arah, membuat Teksaka terlempar dan Ratri melompat mundur.
Bagas (tertawa):
“Aku memang tambun. Tapi isinya bukan lemak— tapi tenaga dalam!”
✦ KIRANA VS JAGAT ARUNIKA
Kirana melesat. Dengan dua telapak terbuka, aura tubuhnya menyala merah terang. Ia langsung menyerang Jagat Arunika tanpa basa-basi.
Duaaaar!
Benturan pertama mereka mengguncang udara.
Jagat Arunika (sambil menahan serangan):
“Ah... Kirana. Gadis kecil yang dulu diam-diam memandangi aku dari jauh.”
Kirana (mendesak maju):
“Diam! Aku tidak mau dengar ocehanmu!”
Jagat Arunika (tersenyum miring):
“Dulu... kau menangis saat aku dikabarkan mati di jurang, bukan?”
Kirana menghentikan serangannya sejenak. Sorot matanya penuh luka.
Kirana:
“Ya... aku menangis. Karena aku pikir kau pejuang yang layak dihormati. Tapi begitu tahu kau dalang Bayawira—aku menyesal pernah peduli.”
Jagat Arunika (berjalan perlahan mendekat):
“Aku dibuang oleh istana, Kirana. Pangeran Aryasatya sendiri yang melemparku ke jurang. Aku tahu rahasia kelam mereka.”
Kirana:
“Mungkin mereka salah. Tapi Bayawira tetaplah gelap. Kau membunuh terlalu banyak!”
Jagat Arunika (dingin):
“Kegelapan hanya butuh satu hal untuk tumbuh… ketidakpedulian. Dan kalian semua terlalu sibuk jadi pahlawan.”
BRAAAKKK!!
Kirana melesat kembali dan menghantam Arunika dengan kombinasi pukulan silat khas Panggrahita Aji. Jagat Arunika menahan dengan pedang Batara—pertarungan sengit kembali meledak.
✦ JAGATMARMA MASIH “BERMAIN”
Sementara itu, Jagatmarma tetap tersenyum santai di antara pasukan cadangan yang tersisa. Dengan pedangnya, ia hanya menyentuh bahu atau dada lawan—dan mereka langsung roboh. Bukan karena luka... karena waktu mereka dihentikan sejenak.
Jagatmarma (bersenandung):
“Waktu itu aneh. Bisa jadi senjata, bisa jadi penghibur…”
Satu demi satu, sisa pasukan cadangan Bayu Geni tumbang.
✦ DI LANGIT — PRADIPA & DARSA DATANG
Langit malam yang kelam mendadak bergetar.
WUSSSHHH!!!
Siluet Pradipa Karna dalam wujud Hybrid Wyvern muncul dari balik awan. Sayap raksasa berkilau perak membentang, matanya bersinar merah. Angin berputar di belakangnya.
Bagas (berteriak):
“ITU PEMIMPIN GUILD PRADIPAAAA!!”
Jauh di belakang, bayangan hitam kecil melesat cepat di antara dahan dan bayangan tanah—itu adalah Darsa, dalam wujud Siluman Kucing Hitam Keunguan. Ia bergerak nyaris tak terlihat, matanya menyala ungu.
Pradipa menukik turun.
Aura Wyvern-nya menggelegar.
Langit menyala perak dan biru kehijauan.
Pradipa (berseru keras):
“JAGATMARMA! HADAPILAH AKU!”
Langit bersinar, tanah bergetar, dan bentrokan kekuatan besar akan meledak di medan pertempuran.
Pertempuran sejati baru dimulai.
Malam ini… nasib Bayu Geni dipertaruhkan.
HUTAN TERPENCIL TIMUR GANTARA | LANGIT GELAP, UDARA BERGETAR
Langit menghitam, hanya cahaya rembulan remang-remang yang menyelinap di balik awan. Di kejauhan, terlihat siluet dua sosok melesat menjauh dari pusat pertempuran.
Pradipa Karna dalam wujud Hybrida Wyvern, tubuhnya setengah manusia setengah naga bersayap, terbang cepat ke timur laut. Sayap peraknya membentang besar, mengaduk udara. Di bawahnya, Jagatmarma berlari cepat, lincah bagai harimau gunung, mengikuti jejak tanpa suara.
Pradipa (sambil terbang di atas):
“Jagatmarma… kita tidak bisa bertarung di tengah-tengah mereka. Aku tak ingin teman-temanku ikut meleleh.”
Jagatmarma (tetap tersenyum):
“Sudah kuduga… khodammu bukan sembarangan. Baiklah. Ajak aku ke tempat yang tak ada siapa-siapa… dan kuanggap ini sebagai duel kehormatan.”
Pradipa hanya mengangguk. Mereka melesat melewati hutan, jurang, dan tebing, hingga akhirnya tiba di sebuah dataran tinggi tandus yang dikelilingi batu-batu cadas dan pepohonan mati—terasing, sunyi, dan tandus. Tempat yang sempurna untuk melepaskan kekuatan penuh.
✦ MULAI BENTROKAN — PERTEMUAN DUA MONSTER
Pradipa melayang dan mendarat di atas salah satu batu besar. Sayap Wyvern-nya mengepak, menyebar aura panas dan tekanan mencekam.
Jagatmarma berdiri di bawah, lalu dengan tenang mengangkat Pedang Rasasita Miliknya, dan dengan kemampuan khodamnya tubuh Jagatmarma terangkat ke udara, berdiri sejajar.
Jagatmarma (menatap serius):
“Aku belum pernah melihat khodam seperti punyamu... seperti naga dari luar Mandalagiri.”
Pradipa (suaranya dalam, bergema karena resonansi Wyvern):
“Kau benar. Khodamku… berasal dari legenda asing. Makhluk yang disebut ‘Wyvern’—dalam kebangkitan penuhnya, ia memuntahkan Zat Asam yang tak kenal arah. Lawan dan kawan akan musnah jika lengah.”
Jagatmarma:
“Menarik. Tapi kau lupa… aku punya waktu.”
Pradipa (tersenyum dingin):
“Kita lihat seberapa lama waktu bisa bertahan… di tengah kehancuran mutlak.”
✦ PRADIPA MELEPASKAN ZAT ASAM
Dari sela-sela sisik dan celah kulit Wyvern, mulai mengalir uap tipis kehijauan… makin lama makin tebal… lalu "SSSSHHHHK!"
Ledakan senyap!
Kabut Zat Asam menyembur dari tubuh Pradipa ke sekeliling dengan radius yang terus melebar.
Pohon-pohon terdekat meleleh, batu-batu mencair, dan tanah mendidih seperti lumpur cair.
Jagatmarma (wajahnya mulai serius):
“Celaka…”
Ia segera melapisi tubuhnya dengan aura putih bersinar, lapisan spiritual Khodam Rasasita Jnana, membentuk pelindung dari partikel waktu. Namun tetap… batuk kecil terdengar dari tenggorokannya. Zat Asam sudah menguap ke udara, tak hanya permukaan.
Jagatmarma (dalam hati):
"Zat ini tidak hanya melukai... tapi juga mencemari udara. Aku butuh fokus penuh... bahkan waktu pun bisa jadi lumpuh..."
✦ PEDANG MELAWAN PEDANG — DWIJANAGA VS PEDANG RASASITA
CLAAANGG!!
Benturan pedang mereka terjadi di udara. Pradipa menyabet dari atas dengan Dwijanaga, pedang bermata dua yang kini berpendar dengan aura naga.
Jagatmarma menangkis dengan Pedang Rasasita yang tampak sederhana, namun tiap tebasannya membawa resonansi waktu—memperlambat gerak lawan dalam sepersekian detik.
Namun… di tengah udara beracun dan tekanan zat asam yang terus merambat, konsentrasinya pecah-pecah.
Jagatmarma (peluh menetes):
“Kekuatanmu memang gila, Pradipa… Ini bahkan lebih liar dari Kalandra atau Mahadewa Rakunti…”
Pradipa (menyerang terus, aura Wyvern membara):
“Kau seharusnya tidak datang ke sini. Tapi karena kau memilih perang… maka bersiaplah jadi abu.”
✦ JAGATMARMA KEWALAHAN
Jagatmarma terpaksa bertahan. Ia menggandeng waktu untuk memperlambat jatuhnya asam, menambah ketebalan pelindung spiritual, sekaligus menghindari serangan Pradipa. Tapi itu terlalu banyak fungsi dalam satu waktu—sesuatu yang bahkan Rasasita Jnana pun mulai kewalahan atasi.
Narasi (batin Jagatmarma):
"Jika aku aktifkan 'pengembalian waktu' sekarang... aku mungkin bisa menarik semuanya ke 5 menit sebelumnya. Tapi zat ini bukan bagian dari waktu alam. Ia asing. Ia tidak tunduk pada hukum Mandalagiri…”
✦ SCENE DITUTUP
Dataran tinggi tempat mereka bertarung kini sudah berubah menjadi kubangan neraka. Pohon runtuh, batu-batu mencair jadi danau lumpur asam.
Di langit, dua sosok melayang—satu bagai dewa naga, satu bagai resi abadi yang terancam tenggelam.
Jagatmarma tak lagi tersenyum. Wajahnya serius, matanya mengunci pada Pradipa.
Pradipa Karna mengepakkan sayapnya… tubuhnya memanas… Zat Asam makin kental menyebar… pertarungan ini tak lagi bisa ditunda.
TEPI HUTAN GANTARA | ARENA PERBURUAN BAYANGAN | MALAM MENEGANG
Langkah kaki menggetarkan tanah, suara benturan sarung tangan besi dan tebasan belati memenuhi udara. Bagas Prayoga, napasnya terengah, tubuhnya penuh luka sayatan ringan, berdiri melindungi sisi utara formasi pasukan yang sudah tumbang.
Di hadapannya, Teksaka dengan dua belati besar dan Ratri Andini yang menari di antara bayangan, masih tenang, bahkan tersenyum anggun. Aura tekanan mereka membuat udara menegang.
Tiba-tiba—dari balik rerimbun pohon—sesosok siluman kucing hitam keunguan berkelebat dan mendarat di sisi Bagas.
Bagas (mata melebar, senang):
“Darsa… Akhirnya kau datang juga.”
Darsa Nagawikrama perlahan menghentikan transformasi spiritualnya. Aura kucing keunguan yang menyelimuti tubuhnya meredup, menghilang, menyisakan tubuh manusia biasa. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri sejajar dengan Bagas, memandang kedua lawan di hadapan.
Tiba-tiba…
Ratri tersenyum tipis. Teksaka mengerutkan dahi.
Ratri:
“Darsa Nagawikrama… Sudah lama. Terakhir kita bertemu… di serambi penginapan Desa Giriwasesa, bukan?”
Darsa mengernyit, tatapannya bingung namun perlahan berubah menjadi waspada.
Darsa:
“Desa Giriwasesa…? Tiga tahun lalu… Kau… dan dia… kalian…”
Teksaka (mendengus sambil memutar belatinya):
“Dulu kau cuma mengenal kami pendekar kampung. Dan dia hanya penari jalanan.”
Darsa (matanya membelalak):
“Jadi… kalian… wakil kapten Bayawira Barat…? Apa—semua itu… penyamaran?”
Ratri tertawa lembut, namun nadanya tajam.
Ratri:
“Lebih dari itu. Semua yang kalian alami di Giriwasesa… Semua interaksi, penyelidikan, petunjuk, hilang, bukan? Itu karena… ajian dari Kapten kami.”
Darsa (tegang):
“Ajian…?”
Ratri (serius, menatap tajam):
“Nirmanasmara. Ajian untuk menghapus, menambah, dan mengganti memori. Ajian permanen. Hanya satu cara untuk mencabutnya—bunuh Jagatmarma. Tapi… kau pikir itu mungkin?”
Darsa terdiam. Wajahnya mengeras. Ingatan samar tentang desa itu… perasaan aneh selama ini… segalanya kini terasa seperti benang kusut yang akhirnya dijelaskan. Ia mengepalkan pedangnya Sahya.
Darsa (datar):
“Jadi kalian bermain di belakang kami selama ini. Memanipulasi ingatan kami seperti wayang di tangan dalang…”
Bagas (meninju tangannya sendiri, Tapak Maruta menyala merah):
“Kalau begitu… ayo kita sobek naskah sandiwaranya sekarang.”
✦ AWAL DUAL BATTLE: 2 VS 2
Teksaka bergerak duluan, dua belati berputar, meluncur ke arah Bagas. Bagas menyambutnya dengan pukulan api, menciptakan gelombang ledakan mini di tanah.
Darsa melangkah maju ke arah Ratri.
Ratri (tersenyum):
“Masih suka jebakan? Atau sekarang sudah cukup jantan untuk duel langsung?”
Darsa (dingin):
“Aku akan buat kau menyesal sudah menghapus masa lalu kami.”
**Serangan Ratri dimulai—**panah energi hijau melesat, namun Darsa melompat dan menepis dengan bilah pendeknya, lalu meluncur ke arah bayangannya. Tubuhnya bergerak cepat, khas gaya siluman kucing yang lincah.
Panah demi panah beterbangan, tapi Darsa menari di antaranya, matanya hanya fokus pada satu target: Ratri.
✦ SEMENTARA ITU...
Di tempat lain, Kapten Kirana dan Jagat Arunika masih bertarung hebat. Tubuh mereka sama-sama berdarah, namun semangat mereka tak surut. Jagat Arunika masih dengan senyumnya yang menyesakkan, dan Kirana dengan amarah penuh luka masa lalu.
Seluruh 25 pasukan cadangan Bayu Geni kini sudah tumbang, tak sadarkan diri di medan.
Langit malam di atas mereka membara. Di kejauhan, zat asam dari duel Pradipa vs Jagatmarma mulai menyebar ke langit. Namun di sini… pertarungan batin dan fisik dua pasang pejuang baru saja dimulai.
Scene ditutup dengan:
Darsa dan Ratri mulai bertarung cepat dan dekat—mata saling terkunci, siluet mereka berputar di tengah kilau energi.
Bagas dan Teksaka bertarung brutal—pukulan-pukulan berat bertabrakan dengan tebasan kilat dua belati.
Narasi pelan menyayat:
“Masa lalu yang dihapus… kini bangkit dalam pertarungan berdarah. Dan satu demi satu… topeng pun mulai runtuh.”
DATARAN UTARA PERBUKITAN KECIL | PASCA PERTARUNGAN PANJANG
Langit telah berubah kelabu. Angin membawa aroma darah dan sihir yang masih membekas di udara. Di atas hamparan tanah keras yang dipenuhi bekas pertempuran dan jejak ledakan energi, tiga sosok pendekar dari Divisi Raka Lelana tengah terengah, duduk bersandar pada batu dan batang pohon.
Nandika Sutasmi, tombaknya tertancap di tanah, rambutnya berantakan, napas beratnya menghempas pori-pori.
Kirta Wangsaputra, masih memegang busur Panarasa yang kini mulai meredup auranya, duduk bersila sambil memijit pundaknya sendiri yang memar.
Zadran, diam, hanya menghela napas pelan, darah mengalir dari pelipisnya, namun sorot matanya tetap tenang, menatap tiga tubuh elite Bayawira Selatan yang tergeletak tak berdaya.
✦ FLASHBACK CEPAT – PERTARUNGAN TADI
Kirta, berdiri kokoh, menarik busurnya hingga penuh. Di belakangnya, sosok Sente Coklat, khodam daun hitam raksasa, mengembang bagai tameng hidup.
Kirta:
“Untuk Panawa… dan untuk kebenaran!”
Panah dilepaskan — meledak menjadi semburan akar hitam yang menancap dan mengikat pemanah bertopeng, lalu menjebaknya dalam pusaran tanah yang menghimpit.
Zadran, dengan teknik pedangnya yang lincah, melompat dari batu ke batu, lalu menerjang pria bertubuh besar. Palu sihir sempat menghantam tanah dan menciptakan gelombang kejut, tapi Zadran menyelinap dari kiri, menyabet urat nadi dengan presisi kilat dari tangan kidalnya. Tubuh besar itu ambruk setelah beberapa gerakan terakhirnya tak lagi terarah.
Nandika, bersama Sakalingga, khodam burung meraknya, melesat seperti badai biru. Cambuk angin wanita bertato ular sempat menyambar ke segala arah, namun Nandika melompat, membelok di udara dengan bantuan angin dari khodamnya, lalu menusukkan tombaknya ke bahu lawan, melemparkannya ke tanah keras.
✦ KEMBALI KE SAAT INI
Ketiganya terdiam. Angin mengibarkan ujung jubah mereka. Tak ada suara kecuali desah napas dan pekikan kelelawar jauh di langit selatan.
Nandika (pelan):
“Tujuh sudah kita tumbangkan. Dan ini tiga terakhir… kalau hitunganku tidak salah.”
Kirta (senyum kecut):
“Syukurlah… aku masih bisa hitung.”
Zadran (datar, sambil mengatur napas):
“Masih ada yang lebih berat dari ini...”
Mereka semua terdiam. Seakan menyadari sesuatu...
✦ CUT TO – RERUNTUHAN BENTENG WATU GENI
Langit di atas Benteng Watu Geni bergetar. Dua sosok bertarung di udara bagai dua kutub kekuatan mistik yang saling berbenturan.
Mahadewa Rakunti kini dalam bentuk kebangkitan spiritualnya. Jubah silumannya bergulung seperti asap ungu yang berkilau. Rambutnya melayang, dan tongkat Kalaweda bersinar nyala hijau-ungu yang menggelegar. Gerombolan kelelawar yang menjadi pasukan bayangannya terus menyerbu dari balik awan gelap.
Resi Wighna Laksa, tak kalah mencekam, berdiri di udara yang diselimuti kabut hitam. Matanya putih penuh, tongkatnya berubah menjadi trisula tengkorak bertiga yang menyalakan cahaya merah seperti bara neraka. Di bawahnya, pasukan tengkorak bersenjata menghantam pasukan bayangan Mahadewa.
Langit menjadi medan perang para roh.
Mahadewa Rakunti (dengan suara tenang namun tegas):
“Nalak adalah kutukan yang kau ciptakan sendiri, Resi Wighna. Dan malam ini… kau akan tidur bersamanya!”
Resi Wighna (dengan suara berat dan mendalam):
“Bayangmu terang, Mahadewa… tapi tetap saja bayang-bayang. Dan malam ini, bayang akan lenyap ditelan malam kekal.”
Keduanya menerjang! Kalaweda dan tongkat Wighna saling bertumbukan — menciptakan dentuman energi yang membuat reruntuhan batu beterbangan!
Sementara di bawah mereka, pasukan mistik dari kedua belah pihak saling mengoyak. pasukan bayangan vs tengkorak. Kabut ungu melawan semburan darah hitam.
✦ SCENE PENUTUP
Kamera kembali menyorot Nandika, Kirta, dan Zadran yang duduk tenang, mengatur napas. Dari kejauhan, mereka melihat langit benteng yang bercahaya ungu dan merah. Mereka tahu… pertempuran belum berakhir.
Kirta (menatap langit):
“Kita belum menang. Belum sekarang.”
Nandika (mengangkat tombaknya, bangkit perlahan):
“Tapi kita belum kalah juga.”
Zadran berdiri terakhir, menatap lurus ke arah pertarungan di kejauhan.
Zadran:
“Ayo. Kita ke sana.”
Mereka bertiga mulai berjalan pelan—terluka, lelah, tapi belum menyerah.
DATARAN LEPAS DI TIMUR RERUNTUHAN WATU GENI | PERTARUNGAN PUNCAK
Langit tampak terbelah. Petir menyambar di kejauhan. Tanah retak, bebatuan tercerabut dari akar bumi, dan pepohonan tumbang tanpa bentuk. Tanah pertempuran ini kini tak lebih dari padang tandus dan hangus.
Dua sosok raksasa berdiri saling berhadapan di tengah medan kehancuran.
✦ LODRA WAHANA — WUJUD SILUMAN KERA RAKSASA
Tinggi menjulang. Kulitnya abu-abu keras seperti baja. Zirah hitam menutupi dada dan lengan. Matanya menyala merah darah. Tongkat besi besar di tangannya kini bersinar dengan segel-segel gaib yang terus berdenyut, menyatu dengan kekuatan Kera Sakti, khodam Satwa-Mistara yang menggelegak dalam raganya.
Dengan geraman keras, ia menghentakkan tongkatnya ke tanah, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan bukit kecil di belakang Jasana.
✦ JASANA — WUJUD MANUSIA-LEMBUSWANA YANG TELAH MENYATU DENGAN WIRATMAJA
Tinggi sejajar dengan Lodra. Sayap perunggu membara dengan api ghaib biru berkibar di punggungnya. Tanduk Lembuswana melengkung dari pelipis. Pedang Lungguh Darma membesar, menyala merah darah seperti bara abadi. Mata ketiga di dahinya menyala tajam, membaca gerakan dan energi lawan hingga ke titik terdalam.
Wajah Jasana serius, penuh kemauan dan luka.
Keduanya berlari saling menerjang, tongkat besi dan pedang merah darah bertabrakan di udara. Dentumannya menggema sejauh lembah. Tanah di bawah mereka merekah lagi dan lagi. Percikan api ghaib dan serpihan sihir beterbangan seperti hujan bintang.
Mereka telah bertarung lama. Napas berat. Luka di sana-sini. Namun semangat tak kunjung padam.
✦ DI ATAS POHON BESAR, JARAK AMAN DARI PERTEMPURAN
Seorang wanita muda, usia sekitar 28 tahun, berdiri di atas cabang pohon setebal tubuh manusia. Jubah hitam berkibar ditiup angin dari pertarungan dahsyat itu. Di dada kirinya tersemat lambang Bayawira: ular berkepala dua melingkar merah menyala.
Wajahnya tenang, dingin. Matanya tajam mengamati. Di pinggangnya tergantung tongkat besi serupa milik Lodra, meski lebih ramping.
Dialah:
Nama: Swandari Pramesti
Jabatan: Wakil Kapten Bayawira Selatan (diangkat awal tahun ini)
Dulu: Anggota Raka Lelana — Guild Bayu Geni,
Dikenal: Pendiam, analitis, dan sangat loyal pada Lodra Wahana. Ia mengikuti jejak sang mantan kapten tanpa ragu.
Senjata: Tongkat Besi Kembar, teknik bertarung jarak dekat dan medium, kombinasi antara sihir angin dan kekuatan fisik murni.
Khurastra: Khodam angin "Vayulatri", sosok wanita setengah angin yang bisa mempercepat gerak tubuh dan menajamkan serangan berlapis angin tajam.
Swandari menatap Lodra yang tersungkur — dihantam oleh serangan beruntun Jasana, tubuh raksasanya terpental dan menghantam tanah, menciptakan kawah besar di sisi bukit.
Dia tak berpikir panjang.
Dengan gerakan cepat dan ringan seperti embusan angin, ia melompat turun dari pohon.
✦ LODRA BERJALAN TERHENGGAP
Darah hitam mengalir dari pelipis siluman kera raksasa itu. Ia bersandar dengan tongkat, mendongak — dan Swandari telah mendarat di sisinya.
Lodra (geram, tapi tenang):“Kau datang… Swandari.”
Swandari (datang mendekat tanpa bicara banyak):“Aku takkan biarkan kau bertarung sendirian.”
Dia berdiri di depan Lodra — tongkatnya kini bersinar samar, angin mulai berputar di sekelilingnya, membentuk lapisan tipis yang menyelimuti tubuhnya.
Jasana (berdiri tegak, mata ketiganya menyala tajam):“Swandari Pramesti… kau dulu pengintai terbaik di Divisi Raka Lelana.”
Swandari (datar):“Dan kau… adalah murid dari Raksadana. Sayang, aku tak sependapat dengan jalanmu.”
Jasana:“Kau dulu menyebut Lodra sebagai cahaya jalur para petualang. Tapi sekarang dia hanya... bayangan dari dirinya yang dulu.”
Swandari (dingin):“Bayangan masih lebih nyata… dari pada terang palsu dari istana.”
Dia berdiri di samping Lodra. Dua lawan satu.
Angin berputar semakin kencang.
Jasana (mengangkat Lungguh Darma):“Kalau begitu, mari kita akhiri perhitungan ini. Kalian berdua… atau aku sendiri.”
✦ SCENE DITUTUP
Angin meraung. Tanah kembali bergetar.
Pertarungan baru dimulai.
Jasana Mandira harus menghadapi dua mantan tokoh besar Raka Lelana:
Lodra Wahana, mantan kaptennya yang kini menjadi raksasa siluman kera pemukul kehancuran.
Swandari Pramesti, mantan rekan seperjuangan yang kini menjadi penyihir angin pembelah batas.
Langit semakin kelam.
DATARAN GELAP DEKAT RERUNTUHAN WATU GENI | MALAM MENJELANG TENGAH MALAM
Awan menggulung pekat, bulan tertutup kabut. Angin menderu pelan. Di dataran hancur itu, dua sosok berdiri bagaikan mimpi buruk bagi siapapun yang menyaksikannya.
✦ LODRA WAHANA
Masih dalam wujud kebangkitan spiritual penuh — Siluman Kera Raksasa, tubuhnya menjulang setinggi pohon raksasa, memegang tongkat besi putih keperakan penuh segel gaib. Nafasnya berat, namun matanya membara semangat.
Di sampingnya, berdiri Swandari Pramesti, perlahan menaikkan tongkat besinya ke atas, dan angin berputar hebat di sekelilingnya.
Swandari (lirih, mata menatap tajam):“Vayulatri… mari kita bicara dengan angin malam.”
Tongkat besinya menyala ungu muda, lalu meledak menjadi kristal kabut angin yang menyelimuti tubuhnya.
✦ KEBANGKITAN SPIRITUAL SWANDARI — PENGLING & MEMATIKAN
Tubuhnya tetap ramping dan anggun, namun sekarang:
Rambut hitamnya berubah menjadi perak bening, melayang bebas seperti asap yang mengikuti irama badai.
Matanya bersinar biru pucat, tak berkelopak layaknya mata roh angin.
Pakaiannya menjelma menjadi gaun tempur transparan berlapis energi angin, menyerupai bulu-bulu lembut yang mengalir saat ia bergerak.
Di belakang punggungnya, sayap-sayap angin transparan muncul dalam bentuk pusaran udara, membuat setiap langkahnya tampak mengambang.
Ia adalah perpaduan wanita dan angin, manusia dan Khodam Vayulatri, dan sekarang: senjata pembunuh paling tajam di sisi Lodra Wahana.
✦ SERANGAN GABUNGAN DIMULAI
Lodra berteriak, melompat dan menghantam tanah dengan tongkat besi. Jasana, yang masih dalam wujud raksasa Lembuswana, mengangkat pedang Lungguh Darma untuk bertahan.
Swandari muncul di sisi Jasana dalam sekejap, menyerang dari sisi lain dengan tongkat besi bersalut badai.
“HUUP!”
Serangan itu menghempaskan Jasana sejauh lima tombak, melintasi reruntuhan pohon.
Jasana bangkit. Tubuhnya terluka. Aura biru Lembuswana mulai pudar. Energi Khodamnya telah banyak terkuras. Ia masih memegang Lungguh Darma, namun napasnya berat.
Jasana (gumam, menatap kedua lawannya):“Bayawira harus dihentikan… meski aku jatuh di sini.”
Pertarungan makin menggila.
Jasana menyerang balik dengan “Guritna Darma”, menghempaskan pilar aura hijau menyala ke arah Swandari — tapi Swandari menghindar di udara seperti bayangan tertiup angin, kemudian membalas dengan serangkaian pukulan tongkat yang dibalut lapisan badai tajam.
Lodra dari belakang menghantam kepala Jasana.
DOOOOMM!
Jasana terpental jauh menabrak pepohonan dan batu besar, hingga menghancurkan tiga batang pohon raksasa sekaligus.
Ia berlutut, mata ketiganya mulai meredup. Sayap perunggunya runtuh, terbakar perlahan-lahan. Wiratmaja tak lagi mampu menopangnya.
Swandari dan Lodra berdiri berdampingan.
Swandari (dengan suara mengambang):“Sudah selesai.”
Lodra (mengangkat tongkat):“Ini akhir darimu, Jasana.”
✦ KEMUNCULAN PENOLONG — REUNI RAKA LELANA
Tiba-tiba...
Tiga bayangan meluncur dari balik semak dan reruntuhan.
Tombak bersinar biru menghantam tanah tepat di depan Swandari.
Busur tegang mengarah pada kepala Lodra.
Cahaya kilat dari pedang perak berkelebat di antara mereka.
Nandika (teriak marah):“LODRA! SWANDARI! Kalian... PENGKHIANAT!”
Swandari (tersenyum dingin):“Oh… kita seperti sedang reuni rupanya.”
Kirta (menarik tali busurnya):“Lodra... Aku tak percaya padamu lagi.”
Zadran (tenang, tapi mengangkat pedangnya dengan gaya kidalnya):“Terlalu banyak darah yang kalian biarkan mengering di Mandalagiri.”
Lodra menatap mereka. Tersenyum.
Lodra:“Kalian anak-anak yang hebat. Aku bangga. Tapi kalian masih membela cahaya palsu...Istana itu—tempat yang kalian sebut pelindung—adalah sisi tergelap dari Mandalagiri. Bayawira hanyalah bayangan dari kebenaran yang tak kalian sanggup terima.”
Nandika (keras):“Bayawira adalah kegelapan yang mencuri masa depan kami! Kami bertarung bukan untuk istana, tapi untuk mereka yang tak mampu melawan kalian!”
Kirta:“Dan untuk semua jejak kaki yang kalian injak demi ambisi gelap.”
Zadran:“Kami bukan pewaris... Kami adalah penghancur rantai lama.”
✦ JASANA — DI BAWAH POHON BESAR
Sementara itu, Jasana, kembali dalam sosok manusianya, terbaring di bawah pohon besar. Tubuhnya luka. Napasnya berat. Tapi matanya masih menyala.
Jasana (dalam hati, sambil melihat teman-temannya berdiri menggantikannya):“Raka Lelana… telah bangkit.”
✦ SCENE DITUTUP
Angin berputar. Daun-daun beterbangan.
Tiga murid Raka Lelana berdiri menghadapi dua pengkhianat besar.Satu guru, satu kakak angkatan, kini jadi lawan.
Pertarungan 3 vs 2 akan dimulai.
Langit Mandalagiri belum memutuskan siapa yang akan tetap berdiri.Tapi malam itu… angin mulai berhembus ke arah harapan.
DUEL GENERASI BARU VS SENIOR RAKA LELANA
Lokasi: Reruntuhan Dataran Watu Geni | Malam menjelang tengah malam, angin menderu, aura magis memenuhi langit.
✦ BAGIAN I — NANDIKA VS SWANDARI PRAMESTI
Angin mendesis. Kilatan cahaya sihir menari di udara.
Nandika berdiri dengan wajah serius. Sakalingga, sosok burung merak biru bersayap angin, melayang perlahan di belakangnya, mengeluarkan kilau aura biru terang.
Nandika (gumam dalam hati):“Aku belum mampu memanggil kekuatan penuh Sakalingga... tapi aku tidak boleh kalah darinya. Aku anggota Raka Lelana.”
Di udara, Swandari Pramesti melayang anggun, namun mematikan. Wujudnya tak sepenuhnya lagi manusia—ia kini roh angin bertubuh wanita, dan setiap gerakannya menebar pusaran tajam.
Swandari (datang dari atas, tersenyum dingin):“Kau belum matang, Nandika.”
Serangan angin tajam membentuk sabit-sabit tak kasat mata menghujani arah Nandika.Namun Nandika meluncur cepat ke kiri, melompat di atas batu, dan melemparkan tombak cadangannya ke udara — meledak menjadi badai aura biru.
Sakalingga mengepakkan sayapnya, membelokkan arah serangan Swandari dengan angin balik, menciptakan ruang bagi Nandika untuk melompat ke udara dan menyerang balik dengan Tombak Sakalingga di tangan utama.
CLANGG!!
Tongkat besi Swandari menahan serangan itu, dan dua wanita itu bertarung di udara, bayangan mereka menari cepat di langit seperti dua roh badai yang saling memakan.
✦ BAGIAN II — KIRTA & ZADRAN VS LODRA WAHANA
Di tanah, Lodra Wahana masih dalam wujud Siluman Kera Raksasa, tapi kini napasnya berat. Aura merahnya mulai retak. Gerakannya melambat.
Kirta dan Zadran terus menggempur dari dua sisi.
Kirta menembakkan panah-panah energi angin dan tanah, dikombinasikan dengan refleks khodam “Sente Coklat”.
Zadran seperti bayangan di tanah, berlari zig-zag dengan gaya pedang tangan kidalnya, menciptakan celah luka-luka kecil di tubuh Lodra.
Kirta (teriak):“Dia mulai goyah! Sekarang, Zadran!”
Zadran memutar tubuhnya, meluncur di bawah kaki Lodra dan menebas tendon pergelangan kakinya. Sementara itu, Kirta menembakkan panah terakhir dengan konsentrasi penuh, menggabungkan tenaga dalam dan energi khodamnya.
TUUUNG!
Panah itu menghantam dada Lodra, meledakkan sebagian zirah hitamnya.
Lodra berteriak keras, lalu tubuhnya terhuyung dan jatuh berlutut, mengerang.
Lodra (bernapas berat):“Kalian... luar biasa...”
Aura khodam raksasanya menghilang perlahan. Tubuhnya kembali ke ukuran normal. Ia terbatuk, memegangi dadanya yang berdarah ringan, namun wajahnya masih tegar.
Kirta dan Zadran mendekat dengan waspada.
Zadran (mengejek):“Kehabisan napas, Kapten?”
Kirta (datar):“Itu harga dari mengkhianati kami.”
Lodra tersenyum miris, tapi tidak menjawab.
✦ BAGIAN III — LANJUTAN NANDIKA VS SWANDARI
Di langit, Swandari bergerak seperti kabut badai, tak bisa ditangkap oleh serangan biasa. Namun Sakalingga mulai bersinar lebih terang.
Nandika (berteriak):“Sakalingga! Bersatu denganku!”
Aura biru dari Sakalingga masuk ke dalam tombaknya, lalu muncul sebagai lingkaran angin di sekitar Nandika.
Serangan Swandari datang seperti panah badai, tapi Nandika kini berputar di udara, seperti angin pusaran balik, menangkis tiap serangan dengan tombaknya.
CLANG! FWHOOSH! BAM!
Pertarungan menjadi duel kecepatan tinggi. Nandika semakin menyatu dengan gaya angin Sakalingga—belum mencapai kebangkitan spiritual, namun cukup untuk mendobrak batas manusia biasa.
✦ BAGIAN PENUTUP — JASANA & KEHENINGAN AURA
Di bawah bayangan pohon tinggi, Jasana Mandira duduk bersila, darah mengering di pelipisnya. Tubuhnya dikelilingi aura hitam pekat.
Udara di sekelilingnya menjadi berat. Rerumputan di tanah perlahan layu, namun daun-daun di pohon justru bergetar seolah mendengar sesuatu.
Narator:“Jasana tidak sedang pulih… ia sedang membuka gerbang yang lebih dalam.”
Energi alam masuk ke tubuhnya... tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih tua dari semua sihir kerajaan.
✦ SCENE DITUTUP
Di langit — dua wanita menguasai angin saling bertarung dalam tarian badai.Di tanah — dua pendekar muda menundukkan raksasa dari masa lalu.Di bawah pohon — seorang kapten menarik kekuatan dari kedalaman bumi dan jiwa.
"DOSA-DOSA MASA LALU"
Lokasi: Dataran Watu Geni – Langit pekat, angin liar menari di antara reruntuhan dan hawa sihir bergulung di setiap hembusan napas pertarungan.
✦ BAGIAN I – KIRTA & ZADRAN VS LODRA WAHANA (TANPA KHODAM)
Lodra Wahana berdiri di tengah medan laga. Meski energi khodamnya telah sirna, tubuhnya masih perkasa, nafasnya tetap ritmis, dan tongkat besi putih keperakan di tangannya berputar cepat seperti senjata seorang dewa perang.
Lodra (sinis, ke Zadran dan Kirta):“Tanpa Kera Sakti pun aku bisa meremukkan tulang kalian.”
Ia melompat rendah, lalu memutar tongkatnya dengan gaya bertarung liar khas aliran ‘Gaya Kera’ yang dikuasainya.
Zadran menyambutnya dari depan, pedang peraknya ditepis keras—CLANG!!—namun dia mampu melangkah mundur, menjaga posisi.Sementara itu, Kirta mencoba menembakkan panah, tapi serangan Lodra terlalu cepat. Sebuah pukulan angin dari tongkatnya hampir saja menghantam wajah Kirta.
Lodra (menoleh ke Kirta, mengejek):“Masih ingat pertemuan kita yang lalu, bocah? Kau tergeletak dengan tulang rusuk retak, nyaris mati! Seandainya bukan karena Maheswara membawamu ke tabib istana, kau sudah jadi debu.”
Kirta terdiam sejenak. Matanya berkilat. Luka itu memang nyata, tapi bukan alasan untuk tunduk.
Kirta (tegas):“Waktu itu aku memang belum punya apa-apa... Tapi sekarang aku punya Sente Coklat. Aku bukan Kirta yang dulu.”
Ia menarik busur Panarasa. Aura tanah yang lembut namun kokoh mulai mengalir di panahnya. Dari belakang Kirta, muncul siluet khodam: daun hitam besar membentuk formasi, menyerupai pelindung dan pendorong energi.
Lodra (tertawa kasar):“Hah! Khodam tumbuhan? Lapisan Ardha-Bhumi? Itu cuma makhluk lemah.”
Kirta hampir terpancing, tapi Zadran tiba-tiba berseru sambil menangkis serangan Lodra:
Zadran:“Jangan biarkan dia mengacak pikiranmu! Khodam bukan soal kekuatan mentah... tapi soal bagaimana kau menggunakannya!”
Kirta mengangguk. Ia mengganti taktik, memanfaatkan kekuatan khodamnya bukan untuk menyerang langsung, tapi untuk menyatu dengan medan, membuat pergerakannya nyaris tak terdengar, dan panahnya tak bisa dilacak arah datangnya.
Lodra kini kewalahan. Dia harus menghadapi Zadran dari depan dengan teknik pedang tangan kiri yang unik dan Kirta dari belakang, serangan panah tak terduga dan terus menerus.
Lodra (geram, namun tersenyum getir):“Pendekar kampung dan bocah pemanah rupanya sudah tumbuh.”
Zadran menyeringai, menyerang dengan tusukan dari bawah.
Zadran (datar):“Jangan sampai kau kalah dari kami, bisa rusak nama baikmu... Wahai Kapten Liar.”
Lodra mendesis, matanya memerah, ia mulai menyerang secara brutal, tongkatnya bergerak seperti cakar dan kaki hewan liar. Serangan gaya Kera kembali menghujani.
Namun Kirta menembakkan tiga panah bertubi-tubi, lalu Zadran menebas dalam posisi silang.
DUSHHH!
Lodra mundur—terhuyung, dadanya sobek tipis.
✦ BAGIAN II – NANDIKA VS SWANDARI
Di udara, Swandari Pramesti seperti roh badai. Ia melayang anggun dengan rambut perak bening menjuntai dan mata tanpa kelopak yang bersinar biru dingin.
Swandari (dalam senyuman samar):“Aku pernah bertarung bersamamu, Nandika. Tapi sekarang kita berbeda jalan.”
Nandika terengah-engah. Sakalingga, khodam merak biru, tetap menyatu dengannya, namun ia belum bisa membangkitkan wujud spiritual penuh.
Nandika (berbisik):“Sakalingga... bantu aku menembus badai ini...”
Ia memutar tombaknya, menciptakan pusaran balik angin, dan meloncat ke atas, berusaha mengejar Swandari di langit.
Serangan terjadi cepat, hampir tak terlihat. Tongkat Swandari menciptakan tebasan udara tajam, Nandika menghindar dengan rotasi angin, tombaknya memotong serangan udara secara paksa.
Tapi Swandari tetap lebih dominan, satu tendangan berbalut angin menghantam dada Nandika. Ia terpental, namun dengan bantuan Sakalingga, tubuhnya berhenti melayang dan mendarat dengan satu lutut.
Nandika (napas berat):“Aku belum menyerah.”
✦ BAGIAN III – DARK JASANA — KEHENINGAN MENYELUBUNGI
Di bawah reruntuhan pohon tua, Jasana Mandira masih bermeditasi.
Aura hitam telah menyelimuti tubuhnya sepenuhnya. Rambutnya melayang seperti tak tersentuh gravitasi, dan matanya masih terpejam, namun garis wajahnya mulai berubah.
Narator:“Beberapa minggu lalu, saat tubuhnya terpenjara di Alam Jin Tiraksara, sisi gelapnya bangkit. Ia bertarung dengan dirinya sendiri... dan menang.”
Aura itu perlahan menyatu ke dalam tubuhnya—tidak meledak liar, namun terkonsentrasi, terkendali. Tidak ada lagi kebimbangan.
Wujudnya berubah. Rambutnya menjuntai ke bawah seperti lautan hitam. Di dadanya muncul simbol tiraksara, berdenyut lambat namun dalam. Jubah kegelapan mengganti mantel hijaunya.
Dark Jasana akan segera bangkit.
✦ PENUTUP SCENE
Zadran dan Kirta masih berusaha menahan serangan brutal Lodra yang mengamuk tanpa khodam.
Nandika masih bertarung di udara, semakin tertekan melawan Swandari dalam bentuk roh angin.
Jasana duduk seperti raja yang akan bangkit kembali. Aura gelap menyelimuti medan, menandai bahwa malam ini... sesuatu akan berubah.
“KEBANGKITAN GELAP”Lokasi: Dataran Watu Geni – Tanah retak, langit menggulung pekat, aura pertarungan membakar dunia.
✦ BAGIAN I – KEJATUHAN NANDIKA
Di udara, Swandari Pramesti melayang dengan anggun mematikan, tubuhnya masih dalam wujud Kebangkitan Spiritual Vayulatri, dikelilingi pusaran angin tajam tak kasat mata.Nandika, yang sudah kelelahan, terhuyung di langit, tubuhnya penuh luka dan napasnya memburu.
Swandari (dingin, getir):“Kau belum layak, Khodam-mu belum bangkit sepenuhnya Nandika…”
Satu serangan terakhir dilepaskan—pusaran angin seperti bilah gergaji melesat, menghantam dada Nandika keras.Tombaknya terlepas, Sakalingga menghilang dalam kilatan biru, kembali ke tombak utama.
Nandika terhempas, tubuhnya menghantam tanah keras—BRUKK!—meninggalkan jejak debu dan darah.Ia tak sadarkan diri, wajahnya memar, darah menetes dari pelipis, dan pakaiannya robek di banyak tempat. Namun napasnya masih ada—lemah, namun bertahan.
Swandari tertawa.
Swandari (senyum gelap):“Satu sudah tumbang.”
Ia mengangkat tongkatnya, siap mengakhiri Nandika.
✦ BAGIAN II – DARK JASANA MUNCUL
Tiba-tiba…
Cahaya hitam menembus udara dari kejauhan—cepat, brutal, dan dingin.Sebuah sosok melesat menangkis serangan Swandari dengan satu tebasan horizontal, menghasilkan gelombang kegelapan yang membuat udara sekitarnya membeku.
Swandari terpental jauh ke belakang, tubuhnya berputar beberapa kali di udara sebelum menahan diri dengan pusaran angin. Ia menatap tajam ke arah penyerangnya.
Lalu, ia melihatnya.
Swandari (terbelalak):“Ja... sana…?”
Sosok itu berdiri di antara Nandika dan Swandari—tinggi, berjubah gelap dengan tiraksara membara, rambut panjangnya melayang, dan mata kuning bercahaya seperti mata iblis.Tangannya menggenggam pedang besar hitam, bermata dua: "Dark Sword", terbuat dari pecahan senjata kutukan Kandhara.
Dark Jasana (suara dalam, tenang tapi menghantam):“Kau menyentuh anggotaku. Sekarang, aku akan menyentuh jiwamu.”
✦ BAGIAN III – KEKALAHAN ZADRAN & KIRTA
Di sisi lain medan, Zadran sudah terkapar. Lodra Wahana, meski tanpa khodam, berhasil menghantam perut Zadran dengan ujung tongkat besinya. Zadran muntah darah, tubuhnya terguling beberapa kali dan terdiam.
Kirta, panik, memanah berkali-kali. Namun Lodra bergerak cepat seperti bayangan.
Kirta:“Celaka…”
Satu hentakan, Lodra sudah berada di belakangnya. Pukulan keras ke tengkuk Kirta—DUGHH!
Kirta terhempas, darah mengalir dari kepalanya, dan ia juga tumbang, tak sadarkan diri.
Lodra berjalan pelan ke arah Zadran. Tongkatnya terangkat tinggi, siap menyelesaikan nyawa pendekar muda itu.
Lodra (dingin):“Hanya satu ketukan lagi…”
ZRAAKK!!!
Dari balik kabut debu, Dark Jasana muncul dan menghantam tongkat Lodra dari belakang. Dentuman sihir hitam meledak!
Lodra terpental! Ia menghentikan gerakannya di udara, mengayun satu putaran dan berdiri. Matanya tajam menatap sosok yang muncul.
Lodra (gumam):“…itu Jasana… tapi… bukan Jasana.”
Dark Jasana melangkah perlahan, suara tawanya rendah dan menggema seperti suara dari balik nisan.
Dark Jasana: “Lodra. Sudah lama aku ingin melihat wajahmu ketika kau tahu... aku bisa lebih liar daripada dirimu.”
✦ BAGIAN IV – MENUJU PERTARUNGAN AKHIR
Swandari, yang telah kembali ke wujud manusianya, berdiri tak jauh di belakang. Pakaiannya koyak, wajahnya penuh debu, tapi aura dendam membara dalam dirinya.
Ia menggenggam tongkat besi kembar dengan erat.Khodam Vayulatri telah kembali ke pengikatnya, dan kini ia hanya mengandalkan kekuatan asli serta sihirnya.
Swandari (pelan):“Apa pun kau sekarang… Jasana atau iblis, kau harus dilenyapkan.”
Lodra maju sejajar dengan Swandari. Keduanya menatap satu sosok di hadapan mereka.
Jasana Mandira… bukan lagi manusia biasa. Tapi wujud kegelapan yang dikendalikan oleh tekad.
Dark Jasana (menebarkan aura gelap):“Kalian telah menyentuh teman-temanku… sekarang, biar aku menyentuh akhir kalian.”
Langit menggelap total.
Angin berhenti. Suara alam membisu. Dataran Watu Geni kini menjadi panggung pertarungan terakhir antara Dark Jasana melawan dua mantan rekan yang kini menjadi pengkhianat: Lodra dan Swandari.
“PERTARUNGAN TERAKHIR DI DATARAN WATU GENI”
Tengah malam. Angin berhenti. Bumi mematung. Langit terbelah oleh cahaya petir ungu kehitaman. Aura sihir dan kegelapan melingkupi dataran.Lokasi: Dataran Watu Geni — Tanah sakral yang kini berubah menjadi ladang takdir.
✦ BAGIAN I — AWAL PERTARUNGAN
Dark Jasana berdiri mematung di antara tubuh-tubuh terkapar Kirta, Zadran, dan Nandika.
Di hadapannya, Lodra Wahana dan Swandari Pramesti, berdiri bersisian. Lodra menancapkan tongkat besinya ke tanah, tubuhnya tegak, sorot matanya tajam.
Swandari berdiri menyamping, rambut panjangnya melayang pelan. Di sekeliling tubuhnya, angin mulai berputar liar. Tongkat kembar di tangannya berkilat, aura angin murni berderak.
Dark Jasana (tenang, dingin):“Tak perlu berdiri. Aku bisa menjatuhkan kalian sambil duduk.”
Lodra (geram):“Aku tak tahu wujud apalagi kau ini Jasana, Tapi kalau kau takkan memanggil kami ke medan kematian, justru kau yang akan mati.”
Dark Jasana (tersenyum miring):“Siapa bilang? kita lihat saja Kapten LODRA....”
Lodra dan Swandari menyerbu bersamaan.
✦ BAGIAN II — TEKNIK & TAKTIK
Lodra melesat ke sisi kanan, tongkat besinya menebas secara diagonal, menggunakan Gaya Kera Cakrawala, teknik penuh keacakan dan rotasi tubuh aneh yang tak bisa diprediksi.
Swandari menari di udara, tubuhnya bergerak seperti bayangan burung angin. Dia membentuk tiga pusaran angin tajam yang melesat ke arah Dark Jasana dari berbagai sisi, menyerang titik buta.
Dark Jasana hanya mengangkat satu tangan.
SHRAKK!
Dari balik tanah, muncul dinding-dinding bayangan keras seperti batu hitam, membentuk benteng berlapis yang memblokir semua serangan secara presisi.
Lodra menyerbu dari atas, melompat dan berputar.
Swandari datang dari belakang, menyilangkan tongkatnya yang kini berubah menjadi cambuk angin. Mereka menyerang secara simultan.
Dark Jasana tersenyum dan mengayunkan Dark Sword—satu putaran memotong udara, dan menciptakan gelombang gelap yang menelan keduanya.
BOOOMMM!!
Ledakan gelap menghantam keduanya, mereka terpental beberapa meter, tapi kembali berdiri. Luka mulai terlihat di lengan Swandari, dan napas Lodra mulai tak stabil.
Lodra (bernapas berat):“Kau bukan lagi manusia.”
Dark Jasana (lirih):“Aku hanya menyentuh sisi gelap yang SUDAH KU KUASI KAPTEN LODRA....”
✦ BAGIAN III — KILAS BALIK (FLASHBACK)
Gambar memudar.
Terlihat Jasana, Swandari, dan Lodra duduk di atap markas Guild Bayu Geni. Langit senja, mereka tertawa sambil menikmati akar langit panggang dan wedang jahe.
Swandari (dulu):“Aku ingin punya sayap angin sendiri. Terbang ke mana saja, bebas…”
Lodra (tersenyum):“Kalau aku… mungkin akan mendirikan markas di gunung. Tempat para pendekar belajar tanpa tekanan.”
Jasana (tertawa):“Dan aku? Mungkin tetap begini. Duduk di antara kalian, selama dunia mengizinkan.”
Kamera bergerak pelan. Senja perlahan berubah jadi gelap. Tawa mereka memudar, tersapu angin malam.
✦ BAGIAN IV — KLIMAKS
Kembali ke medan. Lodra dan Swandari menyerang terakhir kalinya, dengan sisa tenaga.
Lodra memanggil kekuatan penuh: tubuhnya membesar sedikit, efek sisa khodam Kera Sakti yang ia paksakan keluar tanpa stabilitas.
Swandari menyatukan dua tongkatnya menjadi pusaran tombak angin, dan menerjang dalam bentuk spiral menembus langit malam.
Dark Jasana menutup mata.
Tangannya merentang.
“KegelapanKU bukan untuk menghancurkan… tapi untuk memurnikan.”
Ia mengayunkan Dark Sword dalam gerakan memutar, memunculkan sihir jiwa yang menarik dua serangan mereka dalam satu titik, dan—BRUUUUMMMMM!!!
Dentuman seperti badai menelan medan.
Lodra dan Swandari terhempas keras, tubuh mereka jatuh berdampingan. Terluka parah, tak sadarkan diri… tapi masih bernapas.
✦ BAGIAN V — AKHIR PERTARUNGAN
Dark Jasana berdiri, tubuhnya berdarah, namun masih tegak.
Ia melangkah pelan ke arah mereka yang terkapar. Dark Sword-nya meneteskan darah sihir.
Ia mengangkat pedangnya—siap mengakhiri semuanya.
Namun... ia berhenti.
Tangannya gemetar.
Wajah kerasnya retak oleh kenangan yang muncul kembali. Kenangan tawa. Senyum. Momen tenang di atap Guild.
Matanya kembali hitam.
Pedangnya ia turunkan perlahan.
Dark Jasana (pelan, lirih):“Aku bisa Saja membunuh kalian... tapi aku masih Jasana.”
Ia berbalik, berjalan menjauh. Langkahnya dalam dan berat.
Narator (monolog):
Malam itu, kegelapan Jasana menang. Tapi bukan untuk menghancurkan. Untuk mengingatkan, bahwa manusia bukan hanya cahaya… tapi juga bayangan yang belajar menahan tangan saat dendam bisa dituntaskan.