Bab 19 - Akhir Pertempuran Bayawira VS Bayu Geni

“DUEL LANGIT DAN LAUT: JAGATMARMA VS PRADIPA KARNA”

Tengah malam di atas cakrawala Mandalagiri, langit tertutup kabut tebal yang bersinar hijau dan ungu oleh reaksi zat asam dari napas naga. Awan berputar seperti pusaran bencana. Di tengah-tengah itu, dua kekuatan spiritual terbesar zaman ini bertabrakan.

✦ BAGIAN I — PERBURUAN DI LANGIT

Pradipa Karna, kini tak lagi manusia, telah menyatu dengan khodam Wyvern-nya. Tubuhnya menjadi naga raksasa bersisik perak legam dengan mata kuning membara, dua tanduk melengkung, dan sayap lebar seperti jubah malam.Namun ini bukan kebangkitan sempurna—melainkan liarnya khodam yang menelan tuannya.

“GRAAAARRGGHHH!!!”

Dari mulut naga itu, keluar asap hijau tipis... zat asam mematikan yang menyerap kesuburan tanah, membunuh pepohonan, dan menghancurkan udara.

Jagatmarma, melesat di udara di atas selendang ghaib, dengan jubah putihnya berkibar, tampak seperti resi dari langit. Wajahnya tetap tenang meski tubuhnya penuh tekanan.

Jagatmarma (serius):“Pradipa... kau telah tenggelam dalam kekuatanmu sendiri.”“Aku harus memancingmu keluar sebelum dunia ini ikut musnah.”

✦ BAGIAN II — PERGERAKAN TAKTIS

Jagatmarma terbang menjauh, memancing naga itu keluar dari daratan.Ia menyusuri lembah, hutan, dan pegunungan, hingga sampai di atas Samudra Timur Mandalagiri.

Di bawahnya, laut tenang dan mengilap.

Jagatmarma (berbisik):“Laut ini... akan jadi kuburannya malam ini.”

Naga Wyvern menyusul cepat, namun setiap kepakan sayapnya menumpahkan zat asam yang jatuh membakar air laut, danau-danau kecil pun mengering seketika di jalur yang telah dilewati. Udara berubah bau busuk, langit menjadi abu-abu kehijauan.

✦ BAGIAN III — PENGHENTI WAKTU

Jagatmarma berdiri di udara, jam pasir perak di tangannya kini mengapung di depannya, mengalirkan pasir bercahaya yang mengalir naik dan turun secara bersamaan. Aura putih membentuk lingkaran cahaya di sekitarnya.

“Rasasita Jnana… Berikan aku waktu satu napas.”

Ia menutup mata, dan seketika waktu membeku.

Air laut diam. Kabut berhenti. Naga Pradipa membeku di udara seperti patung dewa kejatuhan murka.

Jagatmarma mengerahkan semua aura khodam miliknya ke dua telapak tangannya, membentuk tamparan cahaya yang memijar seperti sinar matahari pagi. Lalu—ia menerjang lurus ke arah dada naga.

DOOOOMMMM!!!

Tamparan spiritual itu menembus dada naga dan mendorongnya keras ke bawah, menembus kabut zat asam dan jatuh seperti bintang jatuh ke lautan.

✦ BAGIAN IV — JATUH KE LAUT & DAMPAK

Waktu kembali berjalan.

“GRUUAAAAAGHHHH!!”Pradipa Wyvern mengaum saat tersadar, tapi tubuhnya telah terjun bebas ke laut.

SPLAAAAAASSSHHH!!!

Air laut meledak ke segala arah, menciptakan gelombang raksasa.Ikan-ikan mati, permukaan laut berubah kehijauan, racun menyebar ke mana-mana. Karang hancur, dan pantai Mandalagiri Timur berubah menjadi daerah bencana alam.

✦ BAGIAN V — DUA KESADARAN YANG RUNTUH

Jagatmarma, yang kini kembali ke wujud manusianya, jatuh ke bibir pantai, tubuhnya penuh luka, terutama di tangan yang terpapar zat asam. Ia memuntahkan darah, lalu tersenyum lemah.

Jagatmarma (lirih):“Kau masih hidup… Pradipa… tapi kali ini kau kalah…”

Sementara itu, di dasar laut, Pradipa Karna berubah kembali ke wujud manusia. Tubuhnya tenggelam. Ia tersadar dalam kesakitan luar biasa. Napasnya terhenti sesaat karena tekanan air laut, dan dadanya seolah dihantam badai.

Pradipa (teriak dalam air):“SIAL! DIA MEMERANGKAPKU DALAM KEGILAANKU SENDIRI! JAGATMARMA!!!”

Namun ia masih bertahan, meski tubuhnya berat dan kesadarannya kabur. Busa dan darah mulai muncul di permukaan laut.

✦ PENUTUP SCENE

Kamera mengarah ke pantai.Jagatmarma telentang di pasir basah, langit di atasnya mulai cerah.Siluet jubah putihnya robek, tubuhnya terbakar oleh zat asam. Tapi ia masih hidup.

“Pradipa Karna… kau kuat. Tapi bukan berarti tak bisa ditundukkan.”

PUNCAK PERTARUNGAN MAHADEWA vs WIGHNA

Lokasi: Langit Malam di Atas Reruntuhan Benteng Watu Geni, kini tinggal puing-puing dan asap kabut gaib mengambang ke segala arah. Guntur tak berbunyi, namun langit membara ungu dan merah tua seperti menyaksikan duel antar dua resi tertinggi: Cahaya dan Kegelapan.

✦ BAGIAN I — DUA WUJUD AKHIR

Wighna Laksa, dalam bentuk Kebangkitan Spiritual Khodam, melayang tenang. Matanya putih total, wajahnya seperti kosong, jiwanya ditelan oleh Nalak. Kabut hitam menyelimuti tubuhnya, menyatu dengan jubahnya yang berkibar seperti kabut pekat.Tongkatnya memanjang menjadi Tongkat Kegelapan Tiga Tengkorak yang kini bersinar merah darah.

Wighna (suara gaib dan menggema):“Tak ada cahaya di akhir segalanya. Hanya kegelapan, dan kehampaan…”

Di hadapannya, Mahadewa Rakunti, juga telah bangkit penuh.Rambut hitamnya berubah menjadi ungu kelam, memanjang seperti asap malam.Mahkota kelelawar berputar di atas kepalanya, aura mistik memancar dari jubah siluman ungunya.Tongkat Kalaweda kini menyala hijau bercampur ungu, dikelilingi kelelawar-kelelawar mini yang menggigil menunggu perintah.

Mahadewa (senyumnya tipis):“Aku tahu isi hatimu, Resi Wighna… Tapi jalan yang kau tempuh telah memakan dirimu sendiri.”

✦ BAGIAN II — AWAL PERTARUNGAN LANGIT

Langit menjadi medan.Petir ungu dan merah menyambar. Kabut dan energi beradu.

Wighna menyerang lebih dulu — tongkatnya menghentak udara, tiga tengkorak menyemburkan kutukan api roh, mengarah ke Mahadewa.Namun Kalaweda memutar aura pelindung, kelelawar-kelelawar spiritual menyerap kutukan itu lalu meledak jadi kabut balik yang menghantam Wighna.

Tubuh Wighna terpental mundur, tapi ia tak gentar. Dia mengangkat tangannya dan memanggil bayangan besar NALAK, sosok resi berkepala burung dan jubah berjari seribu, yang muncul di belakangnya, menatap Mahadewa dengan tatapan membunuh.

Mahadewa juga memanggil Bayungkara, lautan kelelawar bersinar ungu, membentuk perisai sayap dan terbang berputar menyelimuti Mahadewa seperti spiral pelindung.

✦ BAGIAN III — TUBRUKAN ILMU PAMUNGKAS

Keduanya melayang tinggi ke puncak langit. Benteng Watu Geni di bawah meledak akibat efek sihir keduanya.

Wighna (teriak keras):“NALAK! LELAPKAN DUNIA DALAM KEMATIAN!”

Seketika langit diselimuti bayangan kepala Nalak. Waktu seolah melambat, semua energi di sekitar diserap, tumbuhan layu, roh-roh lemah memekik dari bawah.

Mahadewa (tenang, mata merah menyala):“Bayungkara… Ciptakan Cahaya di Balik Malam.”

Kelelawar-kelelawar Mahadewa membentuk matahari ungu, lalu menyatu ke dalam Kalaweda.Mahadewa mengangkat tongkatnya ke langit, dan mengayunkannya ke depan—

ZRRRRAAAAKKKKHHH!!!

Dua arus sihir: Kegelapan & Cahaya, menghantam satu sama lain.Langit seperti membelah. Bayangan besar Nalak menjerit… sementara kelelawar-kelelawar Mahadewa menembus tubuh bayangan itu dan meledak dari dalamnya.

BLAARRR!!!

Ledakan besar mengguncang langit. Mahadewa menghilang dari pandangan, muncul di belakang Wighna dalam sekejap dan—

DOR!menusukkan Kalaweda ke punggung sang resi kegelapan.

Wighna memekik. Aura hitamnya pecah seperti kaca retak.

✦ BAGIAN IV — DETIK KEMATIAN & KILAS BALIK

Wighna jatuh perlahan ke puing reruntuhan Watu Geni, tubuhnya mulai hancur menjadi abu hitam.

Namun sebelum mati, matanya yang putih perlahan kembali menjadi mata manusia.Suaranya tak sekuat tadi, kini lirih… penuh sesal.

Wighna (dalam batin):“Dulu… aku hanyalah seorang resi… mengabdi demi negeri… demi pangeran-pangeran muda…”

✦ KILAS BALIK (17 TAHUN LALU)

Lokasi: Istana Tirabwana. Langit sore yang hangat.

Seorang Wighna muda (usia 33) mengenakan pakaian resi biru bersih, memegang gulungan kitab sihir, tersenyum bijak saat mengajar.

Tiga anak remaja duduk bersila:

Pangeran Aryasatya, tegas dan cerdas.

Pangeran Mahadarsa, serius, tenang dan berbakat sihir putih.

Pangeran Maheswara, penuh semangat dan petualang.

Wighna muda (tersenyum):“Sihir bukanlah kekuatan mutlak. Ia adalah cermin jiwa kalian. Jika kalian belajar mengenali diri sendiri... kalian akan menguasai dunia tanpa harus menaklukkannya.”

Tawa para pangeran menggema. Suasana hangat. Harapan ada di mana-mana.

✦ PENUTUP

Kembali ke masa kini.

Wighna, tersenyum kecil sebelum tubuhnya berubah menjadi abu dan kabut lenyap dari langit. Mahadewa menutup mata. Ia tak berkata apa-apa.Ia hanya berdiri sendiri… di tengah reruntuhan… di bawah langit malam yang kini kembali hening.

“Selamat jalan… Guru kami.”

✦ TRANSISI

Selanjutnya akan dimulai kisah 17 tahun lalu, masa ketika Wighna masih menjadi penasihat spiritual kerajaan… dan bagaimana benih kejatuhannya perlahan tumbuh dari balik senyumnya yang teduh.

SCENE FLASHBACK — 17 Tahun Lalu

Lokasi: Taman Belakang Sayap Timur Istana Tirabwana, senja kemerahan menghiasi langit Mandalagiri.

Burung-burung kecil masih berkicau, aroma rempah dan bunga merambat pelan ditiup angin. Di bawah pohon kelor tua yang rindang, duduk bersila Pangeran Aryasatya (19 tahun), mengenakan pakaian pelatihan berwarna putih kebesaran Akademi Militer Tirabwana. Di hadapannya, Resi Wighna Laksa (33 tahun), menata botol-botol kecil berisi cairan berwarna hijau, ungu, dan kuning keemasan.

✦ OBROLAN PANGERAN ARYASATYA & RESI WIGHNA LAKSA

Aryasatya (berbisik pelan, menatap botol ungu):“Yang ini… racikan dari akar sulanjana dan sari daun anggrek darah, kan? Untuk memperkuat fokus jiwa?”

Resi Wighna (tersenyum tipis, menutup satu mata dengan jari):“Kau mengingatnya dengan baik, Pangeran. Tapi jangan menghirupnya terlalu dalam—yang ini membuat pikiran melayang terlalu bebas.

Sangat tidak cocok saat sidang istana.”

Keduanya tertawa kecil. Aryasatya menulis sesuatu dengan cepat di jurnal kulitnya yang lusuh, penuh dengan tulisan tangan dan sketsa herbal.

Aryasatya:“Jika aku bukan seorang pangeran, mungkin aku akan tinggal di Padepokan Prabayan dan membuat ratusan ramuan untuk rakyat. Ramuan untuk penyembuh luka… penguat sihir… bahkan mungkin ramuan cinta.”

Wighna (menatap lembut, lalu menunduk sedikit):“Kau adalah pangeran, Arya. Tapi bukan berarti jiwa seorang peracik tak bisa hidup bersamamu. Ramuan dan sihir… itu juga bagian dari kebijaksanaan seorang raja, jika digunakan untuk melindungi.”

Aryasatya (menahan senyum, lalu mendongak ke langit senja):“Tapi ayahku tak akan pernah mengerti…”

Wighna (lirih, namun tegas):“Mungkin bukan sekarang. Tapi suatu hari nanti, siapa tahu… dunia ini berubah.”

✦ PERGOKI OLEH SANG RAJA

Tiba-tiba terdengar suara langkah berat dari belakang semak-semak taman.

Sri Maharaja Darmawijaya (43 tahun), dengan sorot mata tajam dan jubah kerajaan bersulam naga emas, berdiri di antara cahaya senja yang membentuk siluet mengintimidasi. Di belakangnya, dua pengawal istana menyusul.

Darmawijaya (dengan nada menahan murka):“Apa yang sedang kau lakukan di sini, Aryasatya?”

Aryasatya refleks berdiri dan menyembunyikan jurnalnya, namun terlambat. Seorang pengawal menyambar buku itu dan menyerahkannya pada sang raja.

Darmawijaya (membuka halaman-halaman jurnal, nadanya naik):“Ramuan sihir? Racikan mistik? Jurnal penelitian? KAU ADALAH PANGERAN MAHKOTA! Bukan tabib jalanan atau peracik jamu!”

Resi Wighna berdiri perlahan, membungkukkan tubuh, mencoba menenangkan.

Resi Wighna (pelan dan penuh hormat):“Paduka… maafkan hamba. Ini semua kesalahan hamba, bukan kehendak Pangeran Aryasatya.”

Darmawijaya (tajam dan dingin):“Kau terlalu memanjakannya, Wighna. Kau penasihat istana. Tidak seharusnya menanamkan khayalan di kepala pewaris takhta.”

Darmawijaya melempar jurnal Aryasatya ke tanah.

Darmawijaya (lantang):“BAKAR SEMUA BUKUNYA.”

Pengawal bergerak cepat. Dalam hitungan detik, tumpukan buku yang tersembunyi di bawah akar pohon tua itu—hasil catatan bertahun-tahun Aryasatya—dilempar ke halaman dan disulut api.

Aryasatya (menatap api, namun tetap diam. Mata berkaca-kaca, tangan mengepal)

Darmawijaya (mengakhiri):“Mulai besok, kau belajar langsung dari Dewan Politik. Tidak ada lagi waktu untuk bermain sebagai peracik. Kau calon raja, Arya. Jadilah seperti itu.”

Sang raja berbalik pergi, langkahnya berat dan penuh otoritas.

✦ PENUTUP SCENE

Senja mulai gelap. Hanya sisa bara api dan aroma abu dari jurnal yang kini jadi arang.

Aryasatya masih berdiri di tempatnya, diam, mulutnya rapat, dadanya sesak.

Resi Wighna mendekat, tapi tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tahu luka kali ini tak bisa disembuhkan dengan ramuan manapun.

“Mungkin seorang pangeran bisa memilih jalannya sendiri… Tapi malam ini, langit pun tak mampu membela keinginannya.”

FLASHBACK — ISTANA TIRABWANA, 17 TAHUN LALU

Lokasi: Koridor dalam Sayap Barat Istana, menjelang malam.

Angin membawa aroma dupa dan bunga cempaka dari altar kerajaan. Di ujung lorong panjang berlapis karpet merah tua, Resi Wighna Laksa (33 tahun) melangkah perlahan, matanya mengamati sekeliling.

Jubah biru bersih yang ia kenakan hampir menyentuh lantai batu, dan tongkatnya disandarkan ke dinding saat ia menyelinap diam-diam.

Di hadapannya, sebuah pintu kayu jati dengan lambang Garuda Mandalagiri tertutup rapat. Dari celah kecil di ukiran pintunya, terdengar suara-suara dari dalam. Resi Wighna merapat ke sisi pintu dan mulai menguping.

✦ SCENE DI DALAM RUANG DEWAN ISTANA

Di tengah ruangan yang megah, Pangeran Aryasatya (19 tahun) duduk tegak, mengenakan pakaian kebesaran remaja pewaris. Ia berada di hadapan seorang lelaki tua berwibawa, Aryawangsa Kertadarma (67 tahun) — Kepala Dewan Istana. Dinding ruangan dipenuhi lukisan leluhur dan buku-buku tua berlapis kulit naga.

Aryawangsa (berbicara tenang tapi tajam, matanya menembus Aryasatya):“Pangeran Aryasatya… mulai hari ini, pelajaran yang akan Anda terima bukan lagi dari para resi atau pendekar. Tapi dari kami—Dewan Istana. Kau akan diajarkan tentang kebenaran dunia, bukan ilusi ramuan dan khayalan sihir.”

Aryasatya (menjawab hati-hati):“Apa maksudmu, Aryawangsa?”

Aryawangsa (melangkah perlahan):“Sebagai calon pewaris, kau harus tahu… bahwa tatanan lama Mandalagiri adalah kekuatan utama yang menjaga negeri ini tetap kokoh. Negeri ini tidak bisa dipimpin oleh darah campuran, oleh kaum luar, atau oleh idealisme rapuh. Ras murni harus tetap di atas.”

Aryasatya (kaget dan bingung):“Mengapa harus dibatasi? Bukankah keberagaman membuat kerajaan lebih kuat? Ras lain bisa membawa kekuatan baru…”

Aryawangsa (tegas, memotong):“Kau masih muda, dan belum mengerti betapa rapuhnya politik luar Mandalagiri. Dewan hanya meneruskan titah masa lalu. Kau tahu kakekmu, Raja Agnabhumi Darmajaya, mengatur pemisahan darah untuk menjaga garis warisan tetap jernih. Dan itu… harus dilestarikan.”

Aryasatya (menunduk, ragu-ragu):“Ayahku juga menginginkan aku menjadi pewaris yang kuat. Jika memang begitu jalannya… aku akan belajar dari kalian.”

Aryawangsa (tersenyum puas):“Bagus. Maka mulai hari ini, singkirkan sifat lembek dan keraguan. Dalam empat tahun, saat usiamu dua puluh tiga, kau akan dinobatkan sebagai Pangeran Mahkota. Dan Mandalagiri akan punya pemimpin yang tak tergoyahkan.”

✦ REAKSI RESI WIGHNA LAKSA

Dari balik pintu, Resi Wighna menggigit bibirnya, matanya meredup. Dadanya sesak menahan amarah yang dalam.

(Dalam hati, bergumam pelan)“Aryawangsa… racun tua dari masa silam. Kau lah dalang dari pengusiran Ras Manusia Raksasa di Lembayung Dipa… yang kau putar balikkan menjadi kudeta. Dan rumah bangsawan Windmills yang habis terbakar… kau manipulasi menjadi ‘kecelakaan sihir’.”

Matanya berkaca, tangan kanannya menggenggam jubahnya erat.

(Lirih, seakan bersumpah)“Jika kau berhasil meracuni Aryasatya… maka tak lama lagi tatanan ini akan runtuh dari dalam. Tapi aku… tak akan tinggal diam.”

Resi Wighna perlahan berbalik, meninggalkan lorong itu. Langkahnya perlahan, namun matanya kini mengandung kegelapan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

(Monolog dalam hati, sebelum fade out)“Jika istana mengubur kebenaran demi warisan kosong… maka kebenaran itu akan bangkit dengan bentuknya sendiri. Bahkan jika itu dari kegelapan.”

PADEPOKAN PRABAYAN, WILAYAH SELATAN MANDALAGIRI

Waktu: Beberapa hari setelah pertemuan rahasia di istana

Langit senja kemerahan membentang di atas perbukitan Prabayan. Angin membelai lembut dedaunan dan dupa harum rempah-rempah terapung di udara. Seekor burung bangau melintas senyap, memberi tanda bahwa malam akan segera turun.

Padepokan milik Resi Wighna Laksa berdiri megah namun sederhana, dengan atap jerami rapi dan tiang kayu jati berukir aksara suci. Di depannya menghampar ladang herbal dan bunga-bunga obat yang ditanam oleh para muridnya. Setelah bertahun-tahun menjadi penasihat istana, Resi Wighna kini kembali ke tempat ini—tempat yang memberinya kedamaian dan akar pengetahuan sejati.

Ia duduk bersila di pendopo utama bersama tiga tetua desa sekitar: Kaki Warka, Nini Sampar, dan Rangga Satmaka, tokoh-tokoh bijak yang telah lama mengenal Resi Wighna sejak ia remaja membuka padepokan pada usia 20 tahun.

✦ DIALOG & REFLEKSI

Kaki Warka (menyeruput teh hangat):“Jadi, kau kembali dari istana, Wighna? Wajahmu masih tenang, tapi matamu... membawa beban.”

Resi Wighna (menghela napas panjang):“Aku lelah, Kaki… Istana tak lagi jadi tempat bagi mereka yang mencari pencerahan. Aku melihat bagaimana Aryawangsa Kertadarma meracuni pemikiran Pangeran Aryasatya dengan tatanan lama… mengajarkan ketakutan dan penolakan terhadap ras lain. Bukan cinta, bukan kebijaksanaan.”

Nini Sampar (menggeleng pelan):“Aryawangsa itu akar keras dari zaman kuno. Tapi kau… kau Resi. Kau bukan prajurit, bukan politikus. Jalanmu adalah cahaya dan doa. Jangan biarkan kemarahanmu menggelapkan dharma.”

Rangga Satmaka (mengangguk menyetujui):“Kami mengerti kegelisahanmu, Nak Wighna. Tapi kerajaan tetaplah kerajaan. Kau tidak bisa menyelamatkan semuanya. Fokuslah pada peranmu. Bahkan cahaya kecil bisa menuntun jalan dalam gelap.”

Resi Wighna (tersenyum, sedikit lega):“Kalian benar... Terima kasih. Aku hanya ingin Aryasatya tidak menjadi boneka tahta, tapi—ya... aku terlalu ikut campur. Mungkin aku butuh waktu untuk kembali ke jalanku.”

✦ PERCAKAPAN MENGENAI MURIDNYA

Nini Sampar (berdehem, mencoba mengubah suasana):“Ngomong-ngomong, Wighna… ada kabar dari muridmu yang dulu, si bocah petualang itu.”

Resi Wighna (menoleh, alis terangkat):“Bocah petualang? Jangan bilang—”

Kaki Warka (menimpali cepat):“Betul. Lodra Wahana. Sudah dua bulan jadi perbincangan di desa-desa sekitar Mandalagiri Selatan. Katanya… ia mencuri artefak dari kuil tua di Tanah Purba Pawana dan juga kuil kecil di dalam hutan Bayuran.”

Rangga Satmaka (berbisik dengan senyum getir):“Ada yang menyebutnya ‘Perampok Peninggalan Leluhur’.”

Resi Wighna (menepuk jidat, geleng-geleng kepala dengan napas dalam):“Astaga, Lodra… dasar bocah liar itu. Sudah kubilang jangan terlalu menyentuh kuil-kuil tua tanpa izin. Itu tempat sakral, bukan taman mainan.”

(Ia menatap ke arah cakrawala merah keemasan)

Resi Wighna (menghela napas panjang, lalu berkata datar):“Biarkan saja… cepat atau lambat dia akan merasakannya sendiri. Kalau dia ditangkap tentara kerajaan… semoga cukup jadi pelajaran.”

(Namun di balik nada tegasnya, tampak kekhawatiran samar di sorot matanya.)

✦ PENUTUP SCENE

Senja berganti malam. Lentera-lentera minyak menyala di sekeliling padepokan. Resi Wighna berdiri di beranda, memandangi langit berbintang. Hatinya masih bergelombang, tapi percakapan malam ini telah menenangkan batinnya.

(Monolog Resi Wighna, lirih namun dalam)“Kadang dunia tidak memberi tempat bagi kebenaran… tapi bukan berarti kita harus membakarnya. Biarlah aku tetap jadi penjaga cahaya kecil ini.”

Camera perlahan zoom out, menampilkan padepokan kecil di bukit yang sunyi, dikelilingi hutan dan semilir angin yang membawa aroma tanah, akar, dan masa lalu.

UPACARA PENGANGKATAN PANGERAN MAHKOTA – ISTANA TIRABWANA, BALAI RAKSA MANDALAGIRI

Langit pagi membelah dengan cahaya keemasan, dentang lonceng istana bersahutan dengan suara gamelan sakral. Ribuan warga berkumpul di alun-alun luar, sementara di dalam Balai Raksa—bangunan suci peninggalan leluhur kerajaan—upacara sakral berlangsung.

Pangeran Aryasatya (23) berdiri tegap di hadapan singgasana leluhur, mengenakan busana adat penuh lambang naga tirta dan mahkota emas kecil sebagai simbol mahkota pewaris. Sorot matanya kini lebih tajam dan kaku dibanding masa remajanya.

Di sisinya berdiri adiknya, Pangeran Mahadarsa (22)—gagah, namun menyimpan kesombongan dalam gestur tubuhnya.

Duduk di singgasana utama:

Sri Maharaja Darmawijaya

Permaisuri Shandrakirana

Mahamentri Palindrasuta

Panglima Agung Jayasatya

Aryawangsa Kertadarma yang duduk dengan kepala sedikit membungkuk penuh simbol kesakralan namun dengan senyum tipis penuh kelicikan.

Hadir pula para bangsawan dan tokoh penting lainnya, termasuk:

Adipati Maheswara (21 Tahun), pemuda tenang berwibawa, sudah menjadi Pemimpin Guild Bayu Geni yang baru berusia satu tahun Anak dari Dewi Laksmiwara (Istri Ke-2 Raja) yang Meninggal beberapa Tahun Lalu.

Para Kapten Divisi Guild generasi pertama:

Jagat Arunika

Raksadana

Lodra Wahana

Mahadewa Rakunti

Kalandra Wisanggeni

Doyantra Puspaloka

Resi Wighna Laksa (37 Tahun) berdiri jauh di barisan belakang, mengenakan jubah biru simbol penasihat spiritual kerajaan. Sorot matanya tajam memperhatikan perubahan sikap murid lamanya. Ia menundukkan kepala… berdoa dalam hati.

Resi Wighna (gumam doa)"Semoga langkahmu, Aryasatya… tidak diracuni ambisi tatanan tua. Jangan kau menjadi boneka doktrin yang membusuk di dalam kemegahan istana ini."

BEKALANGAN HARI SETELAH PENGANGKATAN

Aryasatya berubah.Wibawanya kini menjadi dinding dingin, tutur katanya mulai tajam, ekspresinya semakin kaku. Ia mulai mempercayakan semua urusan dalam istana pada Dewan, dan mengangkat Sangbra Witanta—putra bungsu Aryawangsa—sebagai tangan kanannya.

Aryasatya masih mempertahankan Resi Wighna Laksa sebagai penasihat spiritual, namun...

Aryasatya (dingin, kepada Wighna di dalam ruang pribadi)"Aku ingin orang ini… hilang. Tak perlu darah tumpah di istana. Gunakan apa yang perlu. Aku tahu khodammu tak lemah."

Resi Wighna (terdiam, muram)“Yang Mulia... Ini di luar batas...”

Aryasatya (tajam, menghardik)“Kau pikir aku tak tahu padepokanmu? Tetuamu... murid-murid kecilmu? Mereka tak kebal terhadap hukum kerajaan. Jika kau menolak, maka aku hanya perlu mengirim pasukan ke Bukit Prabayan.”

Resi Wighna menggenggam tongkatnya erat. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk perlahan. Air mukanya tenang, namun dalam dadanya, badai batin menggulung keras.

PERUBAHAN SPIRITUAL & KEBANGKITAN NALAK

Selama beberapa tahun ke depan, Resi Wighna melakukan tugas-tugas gelap atas perintah Pangeran Aryasatya dan Dewan Istana.

Ia merapal kutukan pada bangsawan yang menentang proyek perluasan wilayah.

Ia meracik racun gaib untuk melenyapkan pemimpin klan luar yang bersikap netral.

Ia bahkan mengacaukan mimpi para prajurit dari ras campuran yang hendak membentuk aliansi independen.

Setiap kali ia melanggar dharma… cahaya dalam jiwanya redup.

Khodamnya—dulunya seorang sosok Resi suci dari Lapisan Roh-Pawaka—perlahan mulai tercemar.

(Dalam sebuah ruangan meditasi tersembunyi di istana, Resi Wighna gemetar. Ia duduk di tengah lingkaran doa, tapi hawa ruangan berubah dingin dan berat.)

Suara misterius (dari dalam pikirannya):“Mengapa kau berkhianat pada cahaya?”

Resi Wighna:“Aku... aku hanya ingin melindungi... mereka...”

Suara itu berubah... menjadi parau... kelam...“Tidak. Kau ingin bertahan. Bukan untuk dharma. Tapi demi rasa takutmu...”

KHODAM itu kini berubah.Dari sosok Resi Suci berpakaian putih… menjadi sosok berjubah hitam dan emas, wajahnya tersembunyi dalam bayang kabut, matanya bercahaya merah, dan ia menyebut dirinya:

“Nalak.”

✦ AKHIR SCENE

Resi Wighna berdiri di altar pribadi, tubuhnya gemetar, rambutnya sedikit memutih, matanya bagaikan menyimpan ribuan bayangan kematian.

Monolog lirihnya:“Aku telah mencoreng sumpah resi. Tapi di balik dosa ini... aku akan terus mencari jawaban: apakah benar ini jalanku? Atau hanya permainan takdir yang menjadikan aku alat mereka?”

Angin malam menerpa jendela ruangan. Bayangan Nalak bergetar di belakangnya, namun Resi Wighna tak lagi menoleh. Ia telah berjalan terlalu jauh… terlalu dalam.

MALAM PEMBUNUHAN BERLAPIS – BAYANGAN DI BALIK ISTANA

Flashback Delapan tahun Lalu,

Aryasatya menjadi Pangeran Mahkota.

Langit Mandalagiri tampak mendung, seolah menyimpan firasat buruk. Di dalam istana, Pangeran Aryasatya (31 Tahun) duduk bersilang kaki, Sangbra Witanta berdiri di belakangnya dengan wajah tenang.

Aryasatya (datar, kepada Resi Wighna):“Anaknya… Ardika. Ayahnya terlalu cerewet di sidang dewan. Berikan pelajaran, biar ia tahu batas mulutnya.”

Resi Wighna (42 Tahun) diam. Matanya menatap ke arah jendela. Hatinya sudah remuk oleh dosa-dosa sebelumnya. Tapi ancaman masih membayangi: murid-muridnya, padepokan, dan tetuanya.

Aryasatya:“Cepat… atau aku yang akan bertindak dengan cara yang lebih kasar.”

SCENE: RITUAL GELAP RESI WIGHNA

Di dalam kamarnya, Resi Wighna menggambar lingkaran sihir menggunakan darah ayam hitam. Di tengahnya, lilin ungu menyala. Sebuah boneka jerami mungil bertuliskan nama: ARDIKA.

Suara khodam Nalak terdengar samar dari balik cermin kabut:

Nalak:“Dosa yang satu ini... lebih berat dari sebelumnya, Wighna. Tapi aku sudah tak heran lagi.”

Resi Wighna menangis dalam hening. Tapi dia tetap menyelesaikan teluh itu.

SCENE: KAMBING HITAM

Beberapa hari setelah kematian Ardika, Prayogi Mahadipa—perwira muda berbakat, idealis dan setia pada rakyat—dituduh sebagai pelaku konspirasi.

Sangbra Witanta (tepat di depan rakyat):“Bukti sihir kegelapan ditemukan di kediamannya! Dia yang membunuh anak bangsawan dengan ilmu hitam!”

Prayogi diseret ke penjara. Tanpa pengadilan. Tanpa kesempatan membela diri.

SCENE: INVESTIGASI RAHASIA JAGAT ARUNIKA

Jagat Arunika (26 Tahun)—Kapten Divisi Mandala Utama, sahabat Maheswara, dan penjembatan antara Guild & Istana—menyelidiki kasus itu secara diam-diam. Ia menemukan sisa sihir teluh di lokasi kejadian. Bau khasnya... Ramuan spiritual Wighna.

Namun ia tak menuduh langsung. Karena Jagat Arunika tahu...

Jagat Arunika (bermonolog):“Ini bukan Wighna... ini tekanan... ini jebakan. Dan Prayogi... dia korban…”

SCENE: PENGKHIANATAN MURNI

Sangbra Witanta yang mengetahui bahwa Jagat Arunika telah mengetahui terlalu banyak memutar rencana cepat.

Sangbra:“Yang Mulia, jika Maheswara tahu, maka jalur pewarisan akan terancam. Izinkan saya urus dia… dengan cara yang bersih.”

Aryasatya mengangguk. Maka disusunlah “misi mulia”.

SCENE: MISI TIPUAN

Pangeran Aryasatya (kepada Jagat Arunika):“Aku butuh kepercayaanmu. Ada misi penting di perbatasan barat. Bawa pasukan, dan lakukan dengan tenang. Hanya kau yang bisa.”

Adipati Maheswara tak curiga, dan memberi restu.

Jagat Arunika, setia, menerima tugas.

SCENE: PENGKHIANATAN DI PUNCAK GUNUNG

Di tengah pegunungan sunyi, malam pekat menyelimuti, dan hujan ringan turun seperti abu. Rombongan “pasukan Aryasatya” tiba-tiba berbalik arah.

Jagat Arunika dikepung.Ia belum sempat bertarung.

Prajurit palsu:“Maaf, Kapten. Perintah dari Pangeran.”

Jagat Arunika dilempar ke jurang. Suara tubuhnya menghantam bebatuan… menghilang ke dalam kegelapan.

SCENE: PENYELAMATAN DI TEPI KEMATIAN

Beberapa jam kemudian...

Resi Wighna muncul, terengah-engah. Ia menyusul setelah mendapat firasat gelap dari khodamnya.Menyusuri tebing, ia menemukan Jagat Arunika tergantung di akar pohon besar, penuh luka dan darah.

Resi Wighna:“Arunika… bertahanlah…”

Ia mengangkat tubuhnya, menyeretnya ke sebuah gua rahasia. Di sana telah menunggu seorang pria misterius…

Jagatmarma (32 Tahun), pria bertopi caping, tampak santai, namun sorot matanya menyala seperti bara tertutup.

SCENE: RAHASIA DI GUA TERSEMBUNYI

Jagat Arunika terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan penyembuh.

Resi Wighna bercerita:Tentang teluh.Tentang Prayogi.Tentang Aryasatya.Tentang Dewan Istana.

Jagatmarma tidak berkata apa-apa. Tapi senyum tipis muncul di bibirnya.

Jagatmarma (datar):“Jadi... mereka ingin membungkam kebenaran. Aku paham.”(Ia menatap ke luar gua)“Kalau begitu… biarkan badai mendidih dari dalam diam.”(Ia menatap Wighna)“Kau masih punya jalan… Resi. Tapi jangan berharap istana akan membiarkanmu bernapas lama.”

AKHIR SCENE

Jagat Arunika akhirnya tertidur dengan luka belum pulih. Jagatmarma menatap api unggun dengan tatapan kelam. Resi Wighna duduk bersila, memejamkan mata, dan......untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun terakhir, air mata mengalir di pipinya.

“Maafkan aku, muridku… aku telah mengubur banyak jiwa.”

6 BULAN SETELAH KEJADIAN JURANG – GUA TERSEMBUNYI

Gua berbatu di lembah Gontar.

Suara air menetes dari langit-langit batu. Api unggun menyala di tengah. Jagat Arunika duduk diam di hadapan nyala api. Separuh wajahnya kini tertutup topeng hitam separuh kanan, menyembunyikan luka besar dari pelipis ke pipi.

Resi Wighna Laksa memandangnya dalam-dalam.

Resi Wighna:“Luka itu... bukan aib. Itu tanda... bahwa kau telah mengalahkan kematian.”

Jagat Arunika tersenyum samar. Jagatmarma berdiri di belakang mereka, menancapkan tongkat ke tanah, lalu berkata ringan:

Jagatmarma:“Mati satu, bangkit seribu. Saatnya kita bangkit, tapi bukan sebagai bayangan dari istana…Tapi sebagai badai yang tak bisa mereka tahan.”

Mereka bertiga bersumpah malam itu. Dengan api, dengan darah, dan dengan khodam yang mengamuk dalam Resi Wighna, mereka menuliskan satu nama ke batu gua:

BAYAWIRA

“Bayangan yang berjalan di antara Wira. Bukan pengkhianat… tapi penuntut kebenaran yang disembunyikan.”

SCENE: PENJARA TIRABWANA – PEMBEBASAN PRAYOGI

Malam sunyi. Sebuah menara penjagaan diam membisu.

Jagat Arunika, kini bertopeng penuh, melompat dari atap. Dalam hitungan menit, ia mengalahkan penjaga tanpa suara.Di bawah tanah, Prayogi Mahadipa, kini, kurus, namun matanya masih menyala.

Jagat Arunika (dengan suara serak):“Namaku tak penting. Tapi aku tahu kau tidak bersalah.”

Prayogi (lemah):“Siapa… kau…?”

Jagat Arunika:“Yang membawamu… pada kebenaran yang telah mereka kubur.”

Malam itu, Bayawira mendapat senjata barunya—Prayogi Mahadipa, ahli strategi, pejuang setia, dan saksi hidup pengkhianatan istana.

MANDALAGIRI TIMUR – DESA KALINDRATAMA

Resi Wighna Laksa menyamar sebagai pengembara dan tiba di sebuah rumah kayu sederhana. Di sana tinggal Jagara Kalaghni (30 Tahun) dan Rinjana Nirnawa (17 Tahun).

Jagara:“Aku ingat wajahmu… Resi Wighna. Aku pernah jadi penjaga gerbang saat kau masih penasihat.”

Resi Wighna:“Waktu telah mengubah segalanya, Jagara… Dan mungkin sekarang waktumu juga akan berubah.”

Rinjana masuk ke ruangan. Gadis muda bermata ungu dan rambut perak panjang itu membawa teko air.

Resi Wighna (menatap Rinjana, pelan):“Apakah benar… kau dari keluarga Windmills?”

Rinjana menunduk. Suaranya tenang, namun getir.

Rinjana:“Itu nama yang tak pernah ingin kuingat. Tapi benar. Ibuku berkata, kami berasal dari Windmills. Tapi mereka semua... Sudah Mati.”

Resi Wighna mengeluarkan catatan tua berisi lambang keluarga Windmills, surat rahasia yang ia simpan sejak masa pengasingannya. Ia menyerahkannya kepada Rinjana.

Resi Wighna:“Yang menyerang keluargamu... bukan bandit. Tapi tangan dalam istana. Atas nama tatanan lama. Karena mereka takut… darah bangsawan luar akan merusak dominasi yang telah mereka jaga.”

Rinjana gemetar. Tubuhnya bergetar, tangan meremas surat itu.

Rinjana:“Jadi... ibuku... kakek dan nenekku... dibunuh oleh para penjaga keadilan palsu itu?”

Air matanya jatuh.

Rinjana (berbisik, dingin):“Mereka akan membayar.”

Jagara (murka):“Aku mengabdi pada istana… dan mereka membunuh Keluarga Adikku.”

Resi Wighna berdiri. Cahaya ungu samar dari kristal tongkatnya menyala.

Resi Wighna:“Kalau begitu, bergabunglah bersama kami… Bayawira. Di sanalah, mereka yang dihancurkan oleh Mandalagiri… akan membangun ulang kebenaran dari puing-puingnya.”

Jagara dan Rinjana bersumpah di bawah bintang malam. Mereka menjadi Wakil Bayawira untuk wilayah timur dan selatan.

KEMBALI KE SAAT INI – BENTENG WATU GENI

Mahadewa Rakunti berdiri di atas tanah yang hangus. Asap hitam menyelimuti reruntuhan benteng tua.

Resi Wighna Laksa, tubuhnya retak seperti batu tua. Kabut hitam keluar dari pori-porinya. Khodam Nalak mengamuk di dalam.

Resi Wighna (lemah):“Mahadewa… kau belum tahu apa pun tentang istana yang kau bela. Tapi suatu hari…suatu hari nanti… racun yang mereka tanam… akan tumbuh di atas singgasana.”

Tubuhnya meledak menjadi kabut dan debu hitam. Mahadewa Rakunti diam. Genggaman tangannya pada tongkatnya menguat.

HUTAN TIMUR GANTARA – LOKASI BENTENG SEMENTARA BAYU GENI

Angin menggulung, pohon-pohon besar bergetar oleh tekanan kekuatan spiritual yang menggetarkan langit.

KIRANA WISMANDANTA, Kapten Divisi Panggrahita Aji, berdiri di tengah medan, tubuhnya telah bertransformasi:Khodam “Panembahan Senopati” bangkit seutuhnya, menyatu dengan raganya. Sosoknya kini tinggi, auranya agung dan menakutkan, tangan kosongnya mengalirkan gelombang tenaga dalam murni berlapis kekuatan spiritual.

Di hadapannya, JAGAT ARUNIKA berdiri tenang dalam jubah hitam Bayawira. Pedang Batara tergenggam di tangan, tapi belum berubah. Ia masih menggunakan kekuatan biasa Khodam Antaboga tanpa membangkitkan wujud sejatinya.Di tempat lain berjarak ratusan meter, Lodra Wahana dan Swandari tergeletak tak sadarkan diri.

Kirana (berteriak, amarah mengguncang):“Kau pengkhianat! Kau membunuh harapan banyak orang! Kau—!!!”

Jagat hanya menunduk. Diam. Namun kemudian mendongak dengan senyum tipis menyeringai.

Jagat Arunika (tenang, sinis):“Kau masih marah karena politik… atau karena hatimu yang dulu pernah mencintaiku?”

Tatapan Kirana berubah tajam.

Kirana:“Tutup mulutmu!! Semua itu masa lalu!”

Jagat:“Kau ingin menghapus kenangan kita? Yang kau sebut ‘masa lalu’?Tapi kenapa tanganmu masih gemetar setiap kali menatapku, hm?”

Aura “Panembahan Senopati” bergetar. Kirana mengatupkan gigi. Ia maju cepat, menghantam Jagat dengan kombinasi pukulan dan tendangan yang dibalut tenaga dalam. Jagat Arunika menahan dengan satu tangan dan gerakan tubuh gesitnya.

Jagat Arunika (sambil bertahan, pelan):“Kirana… aku tidak datang untuk membunuhmu. Tapi kau terlalu menghalangi jalan.”

Kirana memutar ke belakang, menyiapkan teknik ‘Tamparan Langit’ — sebuah serangan telak yang dapat mematahkan pertahanan spiritual lawan.Jagat Arunika berpura-pura terhuyung, padahal ia sedang memancing...

Jagat:“Masih ingat malam itu di menara Guild Bayu Geni? Kau memandangi langit. Lalu berkata padaku—‘Kalau dunia ini hancur, aku akan bertarung di sisimu.’”

Kirana, yang siap menghantam, terdiam sepersekian detik. Matanya berkaca. Ingatan itu menembus pikirannya. Suara tawanya… senyumnya… tangan hangat Jagat yang dulu menyeka luka di pelipisnya...

Kirana (berbisik):“Mengapa…?”

Dan di saat itulah—

Sraakkk!

Jagat Arunika muncul di hadapan Kirana dengan kecepatan luar biasa, menancapkan pedangnya ke perut Kirana—bukan di titik vital, hanya cukup untuk melumpuhkannya.

Jagat (lembut):“Maafkan aku.”

Kirana terhuyung dan jatuh bersimpuh, tak sadarkan diri. Jagat menatapnya sebentar, wajahnya serius, namun matanya berkaca-kaca.

Ia segera berbalik, melompat ke tempat Lodra dan Swandari yang berjarak ratusan meter dari tempatnya Mereka tak sadarkan diri Kalah dalam pertarungan melawan Jasana lalu Jagat Arunika mendekati tubuh Mereka.

TIMUR MEDAN – DUEL ANTARA RATRI & DARSA, BAGAS & TEKSAKA

Darsa dan Ratri Andini bertarung lincah di antara akar-akar raksasa. Tapi ketika mendengar teriakan Jagat Arunika dari kejauhan—

Jagat (teriak):“RATRI! TEKSAKA! KITA MUNDUR!! SEKARANG!!”

Ratri langsung mencabut gulungan sihir dari pinggangnya. Segel teleportasi terbuka. Cahaya ungu melilit tubuhnya.

Ratri (pada Darsa, mengejek):“Kau boleh cepat... tapi kami selalu satu langkah di depan.”

Cahaya menyala—dan ia lenyap.Teksaka, yang sedang bertarung sengit dengan Bagas, melakukan hal serupa, menciptakan retakan udara lalu melompat ke dalamnya dan menghilang.

Bagas (berteriak):“Heii!! Jangan kabur, pengecut!!”

Darsa dan Bagas lari ke arah medan utama dan menemukan Kapten Kirana tergeletak, luka berdarah di perutnya.

Darsa (tegang):“Kapten Kirana!”

Bagas (menahan tubuh Kirana):“Tenang… dia masih bernapas. Tidak kena titik vital… tapi kita harus cepat bawa dia ke pengobatan!”

KEMBALIKAN KE JAGAT ARUNIKA

Jagat mengangkat tubuh Lodra dan Swandari masing-masing di pundaknya.Sementara medan mulai bergetar karena sihir teleportasi skala tinggi ia buka di bawah kakinya.

Jagat Arunika (pelan):“Bayawira… belum kalah.Dan kenangan… kadang menjadi senjata paling mematikan.”

Ia menghilang bersama dua tubuh itu ke dalam pusaran sihir hitam.

AKHIR PERTARUNGAN DI HUTAN TIMUR GANTARA

Langit Timur Mandalagiri menggelap. Kabut pasca-pertempuran menggulung seperti roh-roh yang belum tenang.

Desiran angin menggoyangkan daun-daun raksasa di Hutan Gantara. Tanah hutan yang tadinya hijau kini dipenuhi jejak-jejak luka: pohon tumbang, lubang-lubang besar bekas ledakan sihir, dan tubuh-tubuh tergeletak tak sadarkan diri.

[TENDA POS BAYU GENI RAKA LELANA]

Jasana Mandira duduk bersila di dalam sebuah tenda besar, tangannya ditempelkan pada dada Zadran, sementara Kirta dan Nandika berbaring di sisi lain, tubuh mereka dibalut perban dan aura penyembuh dari sihir hijau milik Jasana. Ketiganya mengalami luka serius setelah duel keras melawan Lodra Wahana dan Swandari Pramesti.

Jasana (pelan, dengan suara berat):“Kalian sudah cukup. Kalian bertarung melebihi batas... Aku bangga.”

Angin membawa aroma darah, tapi juga harapan.

[POS PENYEMBUHAN – SISI LAIN]

Bagas Prayoga dan Darsa Nagawikrama tengah berjongkok di samping Kapten Kirana Wismandanta, tubuhnya lemah, luka tusukan dari pedang Jagat Arunika membekas di sisi kanan perutnya, namun tidak fatal.

Bagas (geram, suara berat):“Sialan itu Jagat… dia tahu titik yang tidak membunuh, tapi cukup untuk membuat Kirana tak sadar.”

Darsa (datar, namun dalam):“Dia tidak ingin membunuhnya… tapi juga tidak akan menyerahkannya.”

Kirana terbatuk, perlahan membuka matanya.

Kirana (lemah, namun menatap kosong):“Dia... masih seperti dulu... terlalu tahu hatiku…”

Bagas dan Darsa saling melirik. Luka fisik bisa sembuh, tapi luka di hati... masih berdenyut.

[BIBIR HUTAN – MEDAN UTAMA]

25 pasukan cadangan Bayu Geni dan 50 pasukan Bayawira berserakan, terbaring tak sadarkan diri. Aroma sihir terbakar memenuhi udara, campuran dari racun, energi spiritual, dan mantra penghancur.

Tubuh-tubuh mereka masih bernapas, namun kekuatan mereka terkuras.

Di tengah puing-puing itu, Mahadewa Rakunti berdiri tegap, tongkat Kalaweda ditancapkan di tanah. Di depannya—abu dan debu hitam melayang ke langit: Resi Wighna Laksa telah tiada.

Mahadewa (berdoa pelan, sorot matanya teduh):“Ampunilah dosamu, Wighna… meski bayanganmu gelap, kau hanya cermin dari dosa yang lebih besar.”

[LAUT TIMUR – PANTAI TERPENCIL]

Jagatmarma, tubuhnya penuh luka dan menghitam di bagian dada, terbaring di pasir, napasnya berat. Cairan asam dari serangan Khodam Pradipa Karna membakar sebagian tubuhnya. Tapi ia masih hidup.

Sementara itu jauh dari bibir pantai, arus laut bergerak liar.

Dari kedalaman gelap—tangan menjulur. Pradipa Karna, tenggelam oleh hantaman Khodam Jagatmarma, berenang naik dengan segenap tenaganya. Napasnya tertahan, tubuhnya luka-luka, tapi matanya masih menyala—belum kalah.

Pradipa (dalam hati, dengan lirih):“Kita belum selesai... Jagatmarma…”

[MARKAS RAHASIA BAYAWIRA – LOKASI TAK DIKETAHUI]

Jagat Arunika, berselubung aura hitam, menunduk di depan dua tubuh: Lodra Wahana dan Swandari, yang telah ia selamatkan menggunakan sihir teleportasi. Mereka masih tak sadarkan diri, tubuh mereka penuh luka, namun nyawa mereka tetap ada.

Jagat Arunika menghela napas. Kesunyian merayap di sekelilingnya, seolah Bayawira baru saja kehilangan napas hidupnya sendiri.

Jagat (lirih):“Wighna… kau adalah api pertama kita. Kini... Tinggal Aku dan Jagatmarma memimpin kegelapan ini.”

Teksaka (muncul dari bayangan, suara tenang):“Kau Tidak sendirian tuan. Kami masih ada.”

Ratri Andini masuk bersama Teksaka, wajahnya menunduk.

Ratri:“Sepuluh Elite Bayawira... mereka semua hangus dalam Efek sihir, Wighna...”

Diam sejenak. Lalu Jagat mengangkat wajahnya. Mata kekuningannya menatap jauh ke langit malam.

Jagat Arunika (datar, namun tegas):“Kita kehilangan kapten selatan dan kehilangan pasukan elitenya.Tapi kita belum kalah.Kita hanya berubah.Mulai sekarang... Bayawira akan berjalan dalam senyap untuk sementara. Dalam bayang-bayang. Dalam kekosongan yang tak dapat dihancurkan oleh kekuatan mana pun.”

[KEMBALI KE PERKEMAHAN BAYU GENI – PAGI HARI]

Langit pagi menjingga. Jasana Mandira berdiri di tepi bukit kecil, memandang ke reruntuhan pertempuran kemarin.

Kirta, Nandika, dan Zadran masih dirawat.Kirana mulai duduk, bersandar pada Bagas. Mahadewa Rakunti berjalan pelan menuju Jasana.

Mahadewa:“Pertempuran ini bukan kemenangan. Tapi pelajaran.”

Jasana (serius):“Resi Wighna Laksa telah gugur. Tapi Jagat Arunika menyelamatkan dua tokoh pentingnya. Dan aku tahu… mereka akan kembali.”

Mahadewa (memandang langit):“Ya. Dalam bentuk yang lebih kejam.”

Jasana (dalam hati):"Bayawira kehilangan satu kepala... tapi ular itu belum mati. Kini mereka tak punya kendali moral. Hanya dendam murni.""Dan kita harus bersiap..."

SCENE DITUTUP

Pertempuran berakhir. Kematian dan luka tertinggal. Bayawira retak. Bayu Geni pun terluka. Namun kedua sisi tahu, perang ini baru permulaan. Bukan soal benar atau salah…Tapi tentang siapa yang bisa bertahan paling lama dalam kegelapan.

“Mandalagiri belum damai. Dan tidak akan pernah… hingga sejarah yang disembunyikan diungkap dengan darah.”

JEJAK YANG BELUM PADAM

[MARKAS UTAMA BAYAWIRA – GUA MANDALAGRAHA]

Kabut abadi menyelimuti mulut gua besar di puncak Gunung Mandalagraha, rumah rahasia Bayawira. Dinginnya menusuk tulang, bukan karena suhu, tapi karena hawa sihir yang mengendap selama puluhan tahun.

Di dalam gua yang temaram, diterangi obor hitam yang menyala dengan api biru, para pemimpin tersisa Bayawira berkumpul dalam lingkaran doa.

Jagatmarma duduk bersila, tubuhnya penuh perban, sisa luka bakar zat asam dari Khodam Wyvern milik Pradipa Karna.

Wajahnya tetap tersenyum, namun matanya sayu—ada luka yang lebih dalam dari sekadar daging.

Di sisi kanan, Lodra Wahana duduk dengan napas berat, tangannya masih terbungkus balutan hitam. Di sampingnya, Swandari Pramesti, wajah pucat, rambut panjangnya basah oleh keringat dingin. Keduanya masih belum sepenuhnya pulih.

Di belakang mereka, berdiri dua bayangan tegap—Teksaka dan Ratri Andini, wakil kapten dari wilayah barat, menjadi garis pertahanan terakhir sisa kekuatan Bayawira.

Dan di pusat lingkaran, Jagat Arunika berdiri tegak, mengenakan jubah hitam berkibar perlahan meski tanpa angin. Matanya bersinar kekuningan, tangannya menengadah ke atas.

Jagat Arunika (dalam doa, suara berat):“Wahai Dewa Kegelapan…Terimalah Resi Wighna Laksa, saudara kami yang pertama.Ia adalah pilar, penggerak, dan penuntun arah kami.Kini, kami berdiri tanpa arah…Maka beri kami kekuatan… untuk berjalan di jalurmu yang gelap.”

Semua kepala tertunduk. Hening yang menyesakkan.Tiga pendiri Bayawira tinggal dua. Dan kegelapan pun kembali tumbuh dalam diam.

[MARKAS GUILD BAYU GENI – IBU KOTA TIRABWANA]

Angin kota berembus hangat. Di ruang perawatan utama Guild Bayu Geni, Pradipa Karna duduk di bangku kayu, luka-luka di tubuhnya telah dibalut namun belum mengering sepenuhnya. Ia memandangi pedang Dwijanaga yang bersandar di dinding.

Pradipa (lirih):“Dia kabur… tapi lain waktu… dia tak akan seberuntung itu…”

Di dalam ruangan yang sama, empat nama terbaring di atas ranjang putih bersih:Kapten Kirana Wismandanta, Nandika, Kirta, dan Zadran.Napas mereka kini teratur, namun tubuh mereka masih memulihkan diri dari pertempuran panjang.

[RUANG KAPEL TERTINGGI – GUILD BAYU GENI]

Jasana Mandira berdiri di balkon batu, memandang matahari terbenam. Di sampingnya, berdiri tenang, Kapten Mahadewa Rakunti. Suasana di antara mereka sunyi, namun padat makna.

Mahadewa (lembut):“Resi Wighna Laksa telah gugur… Salah satu pilar mereka. Itu pukulan besar.”

Jasana:“Tapi kegelapan yang ia bawa… tidak ikut mati bersamanya.”

Ia menoleh ke Mahadewa.

Jasana (tegas):“Masih ada Lodra Wahana… Swandari… Jagatmarma yang belum tumbang…Dan Jagat Arunika—ia belum mengeluarkan seluruh kekuatannya.”

“Mereka akan datang kembali. Bukan sebagai pasukan. Tapi sebagai bayangan…”

Mahadewa:“Dan bayangan... hanya bisa dikalahkan oleh cahaya yang tak goyah.”

Keduanya mengangguk satu sama lain—tanpa ucapan, tapi sepenuh jiwa.

[GERBANG GUILD BAYU GENI – MALAM HARI]

Bendera-bendera divisi berkibar pelan di tengah malam yang mulai mendingin. Dari kejauhan, terdengar denting suara gamelan kecil dan tabuhan lembut.

“Tradisi Liburan Panjang akan segera dimulai...”

Pengumuman bergema di seluruh markas. Suatu perayaan tahunan, satu bulan penuh untuk merenung, menyembuhkan, dan memperkuat kembali jiwa para pendekar.

“Mulai akhir bulan keenam hingga awal bulan kedelapan, semua aktivitas misi ditangguhkan…”

Tawa-tawa kecil mulai terdengar. Obor dinyalakan. Aroma makanan mulai tercium dari dapur-dapur guild. Tapi di balik senyum para anggota baru, ada ketegangan yang belum sepenuhnya reda.

[NARATOR – PENUTUP BAB]

"Di puncak Mandalagraha, para bayang-bayang berdoa dalam sunyi.Di ibu kota Tirabwana, para pelindung merenung dalam diam.Satu pilar kegelapan telah tumbang…Tapi masih banyak yang berdiri.Dan Mandalagiri belum bebas dari badai yang mendatang."

"Saat liburan tiba, waktu seakan melambat…Tapi musuh sejati tak pernah tidur. Dan ketika bulan kedelapan datang, Bayangan akan kembali—lebih tajam, lebih licik, lebih mematikan."

TRADISI LIBURAN — BAYU GENI PULANG KAMPUNG

Saat musim keenam tahun itu berakhir, dan langit Mandalagiri mulai dipenuhi warna keemasan senja yang menandai tibanya masa tenang, Guild Bayu Geni memulai tradisi tahunan yang telah diwariskan turun-temurun: Liburan Panjang Guild.

Selama satu bulan penuh, seluruh kegiatan pertempuran, ekspedisi, maupun pelatihan resmi dihentikan. Guild membuka gerbangnya, membiarkan para pendekar kembali ke akar, ke rumah, ke pelukan keluarga—sebelum badai berikutnya datang mengetuk.

TRADISI LIBURAN — “PULANG KE ASAL”

[NARATOR]

"Setelah badai pertempuran, saat luka mulai mengering dan napas kembali tenang... datanglah masa yang ditunggu oleh seluruh pendekar Bayu Geni—Tradisi Liburan."

"Satu bulan penuh, dari akhir bulan ke-6 hingga awal bulan ke-8, guild mengistirahatkan seluruh divisi. Tak ada misi, tak ada latihan berat. Hanya waktu... untuk kembali pulang."

[JASANA DAN ZADRAN — PULAU NELAYAN, ADIYAKSA]

Dua ekor kuda berlari perlahan di tepian tebing, dengan angin laut yang menggulung debu dan serpih garam ke udara. Jasana Mandira—mantel Raka Lelana-nya berkibar—menatap cakrawala. Di sampingnya, Zadran menunduk sedikit di pelana, tubuhnya masih dibalut perban, namun matanya tetap awas.

Di kejauhan, Pulau Nelayan bagian selatan mulai terlihat. Rumah bangsawan Tribe Dra’vetha menjulang seperti istana gothic, dengan menara dan jendela kaca berwarna ungu merah. Batu-batu hitam menghiasi gerbang besi runcing, dan di atas gerbang tergantung lambang bulan sabit tergigit dengan kelelawar bersayap lebar.

Zadran (lemah, tapi tersenyum):

“Rumah…”

Jasana (datar, penuh rindu):

“Dan keluarga…”

Saat mereka masuk melalui pelataran rumah, pelayan-pelayan bersayap tipis dan berkulit pucat membungkuk dalam hening. Dari balik pintu utama yang terbuka, Cathrine berlari kecil membawa Raviendra di pelukannya, diikuti oleh Lutfayana yang anggun dengan bayi kecil Ishvara di pelukannya.

Cathrine:

“Jesse…”

Lutfayana (tenang, lembut):

“Kau kembali…”

Jasana (menahan haru):

“Dan akan tetap di sini... sampai waktu menuntutku pergi lagi.”

Raviendra langsung meraih tangan ayahnya, sementara Ishvara merengek pelan dalam pelukan Lutfayana. Dan untuk sesaat… dunia perang dan bayangan lenyap, digantikan oleh cinta, keluarga, dan kehangatan yang tak ternilai.

[BAGAS – DESA DUKUH MARGASANA]

Di atas kereta kuda milik Guild, Bagas Prayoga bersandar di jendela kecil. Ia memandangi sawah yang mulai menguning, rumah-rumah beratap ilalang yang tertata rapi, dan anak-anak kecil yang mengejar ayam di pematang.

Bagas (senyum lebar):

“Ah... desa tercinta.”

Ibunya menyambut di pintu rumah panggung sederhana, dan aroma nasi liwet serta sayur asem langsung menusuk ke hidungnya.

Ibu Bagas (berpelukan):

“Anakku kembali... dan makin tambun rupanya!”

Bagas (tertawa keras):

“Itu tandanya latihan berhasil, Bu!”

[NANDIKA DAN NENDEN – TANAH SELAMPA]

Kereta kuda mereka melintasi jalan besar menuju kota megah Tanah Selampa, kota batu yang hidup dengan pasar ramai dan patung-patung kuno. Di dalam kereta, Nandika duduk bersandar dengan luka yang belum pulih, namun senyumnya merekah.

Nenden:

“Orang-orang kampung pasti heboh lihat kita pulang bareng.”

Nandika (tertawa kecil):

“Biar saja. Sekali-kali pendekar juga butuh disambut kayak pahlawan.”

[KIRTA – DATARAN TINGGI PANAWA]

Kabut tipis menyelimuti padang ilalang yang membentang luas. Kirta, masih dibalut perban, menuntun kudanya menaiki lereng terjal menuju rumah kayu di pinggir jurang. Di kejauhan, langit Timur Mandalagiri memancarkan cahaya keemasan.

Kirta (menepuk pelan kuda):

“Kita di rumah, Panarasa…”

Saat ibunya membuka pintu, Kirta langsung jatuh bersimpuh di pelukannya—air mata perlahan membasahi pipinya.

[DARSA & PRATIWI – DESA MARGAHAYU]

Di atas satu kuda, Darsa dan Pratiwi berkendara di jalanan desa Margahayu, saling berpelukan erat, seperti sepasang kekasih yang menolak terpisah.

Pratiwi (berbisik):

“Kau yakin mau pulang ke rumahku, bukan ke rumah bangsawanmu?”

Darsa (serius, namun lembut):

“Rumahku adalah tempat kau berada, Tiwi…

Aku bukan siapa-siapa lagi di sana.”

Desa Margahayu menyambut mereka dengan kembang dan nyanyian. Di bawah langit malam yang berbintang, Darsa dan Pratiwi menari bersama warga, tangan saling menggenggam, mata saling menyala.

[KALANDRA & INGGRITA – KOTA TIRABWANA]

Di rumah sederhana berarsitektur kayu tua, jauh dari pusat kota Tirabwana, Kalandra Wisanggeni menaruh katana gagang hitamnya di dinding. Ia mencium kening Inggrita, yang menyambutnya dengan senyuman misterius.

Inggrita:

“Kau tahu… aku menyimpan kejutan.”

Kalandra (mengangkat alis):

“Jangan bilang... kau simpan musuh di lemari?”

Inggrita (tertawa pelan):

“Lebih berbahaya dari itu… Aku hamil.”

Sunyi. Kalandra terpaku. Matanya menatap mata Inggrita. Kemudian, perlahan, ia menunduk dan menyentuh perut Inggrita.

Kalandra (senyum samar):

“Maka bayang-bayang tak lagi hanya milik Guild... tapi juga darahku.”

Di luar, burung gagak melintas langit, tapi tak ada tanda ilusi. Hanya kenyataan... bahwa di balik perang dan rahasia, cinta tetap tumbuh diam-diam.

[NARATOR – PENUTUP SCENE]

“Di saat langit Mandalagiri bersih dari petir, dan tanahnya hangat oleh surya…

Para pelindungnya pulang—pada tanah, keluarga, dan takdir mereka masing-masing.

Tapi di dalam jiwa mereka, tak satu pun melupakan—bayang-bayang masih menanti.

Dan saat bulan kedelapan tiba… suara genderang perang akan terdengar kembali.”