SUBPLOT LIBURAN — JASANA & KELUARGA DRA’VETHA
Lokasi: Dra’vetha Manor, Pulau Nelayan – Wilayah Adiyaksa, Mandalagiri Barat Daya
[NARATOR]
"Di saat sebagian pendekar Bayu Geni kembali ke desa dan kampung halaman mereka,
Seorang pemimpin kembali ke singgasananya yang tersembunyi...
Sebuah rumah keluarga yang menyimpan darah bangsawan dan rahasia Jin purba."
GERBANG UTAMA DRA’VETHA MANOR
Di bagian selatan Pulau Nelayan, berdiri megah Dra’vetha Manor, bangunan gothic dengan menara dan lengkung-lengkung tinggi berlapis batu hitam obsidian. Di halaman depannya, terbentang taman bunga eksotis yang mekar dalam warna ungu, merah darah, dan hitam. Di tengah taman, berdiri sebuah air mancur batu—dari mulut kelelawar bersayap lebar mengalir air jernih, dan di atasnya terpampang jelas lambang Dra’vetha: bulan sabit merah tergigit dengan siluet kelelawar.
Pelayan-pelayan bersayap tipis membungkuk ketika Jasana Mandira menunggang kudanya melewati gerbang. Mantel dan pakaian pendekarnya kini diganti pakaian bangsawan—serba gelap dengan aksen hijau, dan pedang "Lungguh Darma" tergantung di punggung.
Di belakangnya, Zadran, kini berpakaian kasual, membawa dua tas besar dan disambut oleh pelayan muda lain.
HALAMAN BELAKANG – TEMPAT PANDAI BESI PRIBADI
Di bagian belakang manor, suara logam beradu terdengar mantap. Jasana berdiri di depan tungku besar, memegang palu dan sepenggal logam panas di atas landasan besi. Api berkilauan menghiasi kulitnya yang mengilap oleh keringat. Tangan kirinya tetap cekatan, seolah mengenang masa kecil—masa bersama ayahnya di Desa Kalabumi.
“Desa para pandai besi… kini hanya tinggal abu.”
“Tapi warisannya tetap hidup dalam setiap ketukan ini.”
Palu menghantam, logam membentuk. Di rak-rak tergantung hasil karya: pedang, perkakas, pisau berburu—semuanya buatan tangan Jasana sendiri.
INTERAKSI KELUARGA – RAVIENDRA & CATHRINE
Tiba-tiba, suara kecil terdengar dari belakang.
Raviendra (kecil, polos):
“Ayah! Pedang… besar!”
Anak laki-laki dua tahun lebih itu berjalan cepat dengan langkah goyah, dan Cathrine, dengan gaun bangsawan Tribe Dra'vetha dan tongkat sihir di tangan, mengikutinya dari belakang.
Cathrine (tersenyum lembut):
“Hati-hati, Ravi... itu bukan mainan.”
Jasana berjongkok, mengangkat anaknya ke udara, lalu menempelkan telapak tangan ke dada kecil Raviendra. Terlihat samar, aura ungu muda berkedip di tubuh anak itu.
Jasana (tercengang):
“Kau punya sihir... dan cukup kuat untuk usiamu.”
Cathrine (menatap tajam sambil menyisir rambutnya):
“Dia anakku, Jesse. Jangan meremehkan penyihir.”
Jasana (tertawa kecil):
“Aku tidak meremehkan... Aku hanya berharap dia tidak terlalu mirip ibunya saat marah.”
Cathrine mengangkat alis, lalu keduanya tertawa. Raviendra memegang potongan besi kecil, mencoba meniru gerakan ayahnya.
DI DALAM RUMAH – LUTFAYANA & ISHVARA
Di ruang dalam yang remang dan penuh ukiran akar berkilauan, Lutfayana duduk anggun di kursi kayu obsidian. Bayi Ishvara tertidur dalam pelukannya, senyuman tipis menghiasi bibir bayi mungil itu. Velyra duduk di sampingnya, memijat pelan punggung Lutfayana, sementara Morzhan berdiri di balik pilar menjaga diam-diam.
Lutfayana (berbisik pada Velyra):
“Lihatlah dia… Rambut hitam seperti ayahnya, tapi kulitku tetap menang.”
Velyra (lembut):
“Anak ini akan menjadi sesuatu yang langka, Nyai. Seorang darah campuran… tapi tubuhnya selaras. Bukan celah… tapi kekuatan.”
Lutfayana memejamkan mata, lalu mencium kening Ishvara.
Lutfayana:
“Semoga dia tidak perlu bertempur seperti kami.”
ZADRAN – KEMBALI KE POSISI TANGAN KANAN
Sementara itu, Zadran berdiri di sisi luar balkon lantai dua, mengenakan pakaian pelayan militer Dra’vetha. Ia memandang lautan dan kapal-kapal dagang yang berlalu-lalang, wajahnya tanpa senyum, tapi matanya mantap.
Zadran (dalam hati):
“Dulu aku anak nelayan yang cuma bisa menatap kapal lewat…”
“Sekarang aku... berdiri menjaga rumah pemilik pulau ini.”
Cathrine datang menghampirinya.
Cathrine:
“Kau sudah lebih dari sekadar pelayan, Zadran.”
Zadran (menunduk hormat):
“Saya hanya melindungi apa yang penting bagi Tuan Jasana.”
Cathrine (senyum samar):
“Dan itu… lebih dari cukup.”
PERLUASAN BISNIS DRA’VETHA
Di ruang rapat besar dengan meja bundar dari batu kristal, Cathrine, Lutfayana, Velyra, dan beberapa duta bisnis sedang memantau peta perdagangan. Jalur ekspor ke kerajaan-kerajaan Utara dan Timur telah terbuka. Produk-produk logam, rempah, dan permata dari Pulau Nelayan merambah jauh hingga Kerajaan Nyrval dan Tanah Es Salju Luar Mandalagiri.
Lutfayana (datar, mengamati):
“Kami tidak hanya menyatu dengan manusia… kami menaklukkan dunia dengan cara mereka.”
PENUTUP – KELUARGA PENUH RAHASIA
Di malam hari, Jasana berdiri di balkon kamar atas, memandang bulan sabit yang tergantung tinggi. Di belakangnya, Cathrine menyandarkan kepala di bahunya. Di dalam kamar, Lutfayana menidurkan Ishvara. Raviendra sudah tertidur dalam pelukan Velyra.
Cathrine (pelan):
“Jika dunia tahu kita ini campuran manusia dan jin… Mereka akan memusnahkan kita.”
Jasana (tenang):
“Karena itu, kita tidak perlu memperlihatkan segalanya. Cukup tunjukkan kekuatan… saat waktunya tiba.”
Cathrine:
“Kau masih Jesse bagiku… Tapi dunia akan mengenalmu sebagai…”
Jasana (menyambung, mata tajam):
“...pemimpin yang tak bisa dikalahkan, dari darah manusia dan bayangan.”
SUBPLOT: PERTEMUAN DI DANAU SEPI — JAGAT ARUNIKA & KIRANA WISMADANTA
Lokasi: Danau Sunyi di Kota Tirabwana — Senja Hari
[NARATOR]
"Ada kenangan yang tak bisa dibunuh oleh waktu, meski diwarnai oleh pengkhianatan dan darah. Dan pada suatu senja… dua takdir yang dulu menyatu dalam cahaya, kini bertemu kembali dalam bayangan."
[SUASANA DANAU — SENJA MERAH]
Danau itu terletak jauh dari pusat kota Tirabwana. Airnya tenang memantulkan langit jingga, danau ini dikelilingi pepohonan tua dan batu-batu lumut. Tak ada suara, kecuali desir angin yang melintas lembut.
Jagat Arunika berdiri di pinggir danau. Jubah hitamnya berkibar tertiup angin senja. Bekas luka di wajahnya samar tertimpa cahaya lembut. Ia menatap permukaan danau, seolah melihat bayangan masa lalu.
Jagat Arunika (gumam pelan):
“Sepuluh tahun lalu... kau berdiri di tempat itu, dan aku di sini.”
Ia menutup mata. Sekejap wajah Kirana Wismadanta muda muncul dalam bayangannya—tertawa, bercanda, berlatih teknik tangan kosong di rerumputan basah. Masa lalu manis sebelum segalanya berubah.
[KEHADIRAN KIRANA]
Langkah kaki ringan menghentikan keheningan. Kirana muncul dari arah semak, mengenakan setelan merah bata Divisi Panggrahita Aji. Rambut panjangnya tersanggul, matanya langsung menangkap sosok berjubah hitam itu.
Kirana (terkejut, tapi waspada):
“Berani sekali... Pemimpin Bayawira masuk ke jantung Tirabwana tanpa penyamaran.”
Jagat menoleh perlahan. Ia tersenyum tenang.
Jagat Arunika:
“Aku tak datang untuk bertarung, Kirana. Ini... hanya kunjungan nostalgia.”
Kirana tetap berdiri tegak, sikapnya tetap seperti seorang kapten.
Jagat Arunika (melanjutkan):
“Pertempuran di Reruntuhan Watu Geni… Kami kalah. Resi Wighna Laksa gugur. Bayawira kehilangan kekuatan besar.”
[KENANGAN & PENYESALAN]
Kirana (masih menatap tajam):
“Lantas untuk apa kau di sini? Untuk mengingat masa lalu yang kau rusak sendiri?”
Jagat:
“Apakah kau lupa? Kita selalu datang ke danau ini setiap liburan Guild dulu.”
Kirana terdiam. Pandangannya melunak. Ia menatap danau, lalu seolah terbawa dalam pusaran kenangan. Ia tersenyum getir.
Kirana:
“Aku ingat... kau suka membawa makanan kering dan teh pahit buatan sendiri.”
Jagat (tertawa kecil):
“Dan kau selalu mengeluh kenapa aku tak pernah belajar menyeduh teh dengan benar.”
Sunyi sejenak. Angin kembali berhembus.
Kirana:
“Mengapa kau tenggelam ke dalam kegelapan, Arunika?
Kalau kau masih hidup waktu itu, mengapa tak kembali? Mengapa tak membongkar kejahatan Aryasatya?”
Jagat menghela napas panjang. Mata kuningnya bersinar redup, seperti menahan kemarahan lama.
Jagat:
“Karena waktu itu... Guild Bayu Geni belum cukup kuat.
Karena jika aku mengungkap semuanya, Maheswara—yang baru menjadi Pemimpin Guild—akan disingkirkan oleh Dewan Istana. Bayu Geni akan dibubarkan,
Karena... kami semua dianggap bukan siapa-siapa, Hanya Pendekar Kampung yang Kebetulan bisa Bela diri.”
[KIRANA MULAI MENGERTI]
Kirana (pelan):
“Berarti... kau menghilang untuk melindungi kami?”
Jagat (menatap langit):
“Terserah bagaimana kau menafsirkan. Tapi sistem itu, Kirana… Sistem busuk Istana itu yang membunuh harapan.”
Jagat:
“Dulu aku Kapten Mandala Utama, penghubung Istana dan Guild.
Aku tahu terlalu banyak. Rahasia yang tak bisa aku biarkan tetap tertutup.”
[PELUKAN & PERASAAN TERPENDAM]
Kirana mendekat. Ia berdiri tepat di belakang Jagat Arunika.
Tangan kirinya terangkat… lalu memeluk pinggang Jagat dari belakang.
Kirana (bergetar):
“Aku… aku tak pernah berhenti mencintaimu, Arunika.
Tapi aku juga membencimu karena memilih jalan ini.”
Air matanya jatuh. Jagat tetap diam, tak bergerak.
Jagat (berbisik):
“Cinta yang tumbuh dari luka… tidak pernah bisa utuh, Kirana.”
Ia berbalik. Tangannya menghapus air mata Kirana yang mengalir deras di pipi. Mata mereka saling bertemu—dua hati yang pernah bersatu, kini berada di sisi berbeda medan perang.
[PERPISAHAN YANG PAHIT]
Jagat Arunika:
“Jika hubungan kita terendus, kau akan jadi sasaran. Aku tak bisa membiarkan itu.”
Jagat:
“Aku sudah memilih jalanku. Mungkin gelap. Tapi aku tak bisa kembali.”
Jagat (melembut):
“Maafkan aku… Aku juga masih mencintaimu.”
Kilatan aura hitam menyelimuti tubuh Jagat. Dalam sekejap, ia menghilang. Sihir teleportasi membawanya entah ke mana.
Kirana berlutut. Tangannya menekan tanah. Air mata tak tertahan.
Kirana (menangis):
“Arunika… mengapa dunia ini selalu memisahkan cinta dengan keadilan…”
[SCENE DITUTUP – NARATOR]
“Di balik perang, dendam, dan siasat—tersimpan luka yang tak pernah sembuh…
Dan cinta yang tak pernah benar-benar mati.”
SUBPLOT: PERTEMUAN RAHASIA DI ISTANA TIRABWANA
Lokasi: Ruang Rahasia Istana Tirabwana, Malam Hari
Tokoh: Maheswara & Sri Maharaja Darmawijaya
[NARATOR]
"Ada ruang-ruang yang tak tertulis dalam protokol istana. Tempat di mana seorang raja tak lagi memerintah… dan seorang anak tak lagi tunduk. Hanya percakapan hati, yang tersisa dari masa lalu."
[RUANG RAHASIA DALAM ISTANA TIRABWANA]
Ruang itu gelap, hanya diterangi lentera minyak yang digantung di empat sudut. Dindingnya dari batu-batu tua, ditumbuhi sulur tanaman merambat yang tumbuh dari balik celah. Tidak ada lambang kerajaan, tidak ada penjaga.
Maheswara berjalan masuk perlahan, langkahnya mantap namun penuh rasa hormat. Di depannya, tampak Sri Maharaja Darmawijaya berdiri membelakanginya, menatap jendela kecil tempat cahaya bulan menyusup masuk.
Maheswara (membungkuk):
“Hormat hamba, Sri Maharaja.”
Darmawijaya mengangkat tangan pelan.
Darmawijaya:
“Di sini… aku bukan raja. Aku hanya seorang ayah, Maheswara.”
Maheswara mengangguk, dan senyum kecil muncul di wajahnya. Keheningan itu hangat, bukan canggung.
[PERTANYAAN MENGENAI ANAK GELAP]
Sang Raja berbalik, wajahnya serius namun ada rasa rindu tergambar jelas.
Darmawijaya:
“Sudah lama aku menunggu malam seperti ini. Ceritakan padaku… tentang gadis itu—putriku. Anak dari masa laluku yang penuh dosa.”
Maheswara menghela napas dalam, lalu duduk bersila di depan ayahnya.
Maheswara (tersenyum kecil):
“Namanya kini Cathrine. Ia tinggal di Pulau Nelayan, bagian selatan Pulau itu, wilayah Adiyaksa. Ia… bahagia, Ayah. Dia telah membangun keluarga dengan seorang pendekar muda yang luar biasa: Jasana Mandira.”
Darmawijaya (kaget):
“Jasana...? Bukankah dia yang mengalahkan Kandhara Mangkara di utara?”
Maheswara:
“Benar. Dia kini Kapten Divisi Raka Lelana—dan juga menantumu.”
Sang Raja tertawa kecil, tapi matanya berkaca-kaca.
Darmawijaya:
“Tak kusangka… nasib mempertemukan gadisku dengan salah satu pendekar terbaik yang lahir dari rakyat. Takdir memang aneh.”
[KECEMBURUAN SEORANG AYAH]
Namun kebahagiaan sang raja mendadak terguncang.
Darmawijaya (dahi berkerut):
“Tunggu. Bukankah Jasana memiliki dua istri? Apa anak gadisku... diduakan?!”
Maheswara tak bisa menahan tawanya.
Maheswara (menyindir santai):
“Bukankah Ayah juga dulu punya dua istri? Bahkan... lebih dari dua perempuan yang kau rayu di masa mudamu.”
Sang Raja tampak terdiam. Malu.
Darmawijaya (batuk kecil):
“Itu... zaman berbeda.”
Maheswara (tersenyum lebar):
“Begitu pun sekarang. Catherine tidak lemah, Ayah. Ia penyihir hebat, bahkan anaknya—cucu Ayah—sudah menunjukkan bakat magis sejak usia dua tahun.”
Darmawijaya tampak bangga dan terharu. Seketika sikap rajanya luruh, berganti menjadi ayah yang merindukan darah dagingnya.
[PERMINTAAN TULUS DARI SEORANG AYAH]
Darmawijaya berdiri, menatap dinding batu seolah menatap masa lalu yang tak bisa ia ubah.
Darmawijaya:
“Aku ingin... menemuinya. Bukan sebagai Raja. Tapi sebagai ayahnya. Aku ingin meminta maaf atas segalanya.”
Maheswara menatapnya dengan ragu.
Maheswara:
“Ayah yakin? Itu bisa berisiko. Dewan Istana selalu mengawasi. Bila mereka tahu identitas Catherine…”
Darmawijaya (mantap):
“Aku akan menyamar. Hanya kau yang akan tahu. Bantu aku, Maheswara.”
Sunyi. Hanya suara detakan api dari lentera. Maheswara akhirnya berdiri, menghampiri sang ayah. Ia mengangguk dengan hormat.
Maheswara (penuh hormat):
“Kalau begitu... izinkan aku yang menyiapkan segalanya. Biarlah kehadiran Ayah menjadi hadiah bagi putrimu—dan untuk hati yang selama ini menunggu jawaban.”
[PENUTUP SCENE]
Keduanya saling memandang.
Bukan Raja dan Putra Mahkota. Tapi Ayah dan Anak.
Cahaya bulan menerangi wajah mereka, yang kini tampak tenang.
[NARATOR]
“Di ruang yang tak terjamah politik dan kekuasaan, cinta seorang ayah mencari jalan untuk pulang… Dan di luar sana, seorang gadis yang pernah ditinggalkan… akan segera menerima pelukan yang dulu tak sempat datang.”
SUBPLOT: PERJALANAN MENUJU PENGAMPUNAN
Lokasi: Jalur Rahasia dari Tirabwana ke Adiyaksa, Malam Hari – Hutan Mandalagiri Utara
Tokoh: Raja Darmawijaya & Pangeran Maheswara
[NARATOR]
"Ketika seorang Raja melepas mahkotanya, dan seorang Pangeran menanggalkan lambang kuasanya, maka perjalanan ini bukan lagi tentang kerajaan—melainkan tentang pengampunan dan penebusan."
[SUBUH: AWAL PERJALANAN]
Kota Tirabwana, Istana bagian belakang, saat fajar baru menyingsing.
Maheswara menunggu dengan kudanya, lengkap dengan tenda lipat, logistik perjalanan, dan perlengkapan menyamar. Di sampingnya, sang Raja muncul mengenakan jubah pengelana sederhana, rambutnya ditutupi ikat kepala kain gelap.
Darmawijaya:
“Sudah lama aku tak merasa se-ringan ini. Tanpa mahkota, tanpa penjaga, tanpa Dewan Istana di telingaku.”
Maheswara (tersenyum):
“Maka nikmatilah, Ayah. Ini hanya perjalanan antara dua lelaki biasa.”
Keduanya menunggang kuda, keluar dari jalur rahasia istana menuju arah barat daya, menghindari jalan utama.
[MALAM DI HUTAN KECIL – MANDALAGIRI UTARA]
Malam turun. Suasana di hutan sunyi. Maheswara mendirikan tenda kecil di bawah pohon besar, sementara Raja Darmawijaya duduk di dekat api unggun. Angin malam bertiup pelan.
Sang Raja menatap api, lalu bicara perlahan.
Darmawijaya:
“Maheswara… kau tahu, hidupku tak seperti dongeng para bangsawan. Aku dulu hanyalah panglima. Lalu menikahi anak Raja demi tatanan politik. Semua kujalani karena skenario Dewan Istana.”
Maheswara:
“Aku tahu, Ayah. Tapi malam ini… ceritakan padaku sesuatu yang belum pernah kau bagi.”
Darmawijaya tersenyum getir. Matanya menerawang, menembus api unggun seakan melihat masa lalu.
[PENGAKUAN SANG RAJA]
Darmawijaya:
“25 tahun lalu, aku mempelajari sihir dari Bangsawan luar negeri, Aku Menyamar dan Tujuan Awalku sebagai Pengawas Bangsawan itu dengan Dalih Tukar Ilmu. Aku tinggal di rumah bangsawan asing yang menetap di Hutan Hargagiri Beberapa Tahun. Baron Willem dan Madam Elsbeth Van der Lindt… pasangan baik hati dari Kerajaan Windmills di Utara. Mereka punya seorang anak perempuan—Cornelia.”
Sang Raja berhenti, suaranya bergetar.
Darmawijaya:
“Cornelia adalah cahaya di tengah gelapnya politik. Kami jatuh cinta. Aku… bodoh. Aku tahu hubungan itu tak akan pernah diterima. Tapi cinta tak bisa dibendung.”
Maheswara (lirih):
“Cornelia… ibu dari Cathrine?”
Raja mengangguk.
Darmawijaya:
“Kami memiliki seorang anak. Gadis kecil berambut putih keperakan. Tapi kebahagiaan itu tak lama. Dewan Istana tahu. Mereka menghabisi seluruh keluarga Van der Lindt malam itu, menciptakan narasi palsu: kecelakaan sihir.”
Maheswara (geram):
“Biadab…”
Darmawijaya:
“Aku hanya bisa menyelamatkan anakku, menyerahkannya diam-diam pada tentara muda setiaku. Sayangnya… aku lupa nama prajurit itu.”
Maheswara (menatapnya):
“Jagara Kalagni. Ayah, Cathrine telah memberitahuku. Ia dibesarkan oleh Keluarganya di Kalindratama.”
Sang Raja terdiam. Mata tuanya basah. Ia mengepalkan tangan.
[KEBENARAN YANG TERKUBUR & KEPUTUSAN BESAR]
Darmawijaya:
“Aku adalah Raja Boneka. Dewan punya banyak rahasiaku. Termasuk pengkhianatan pada Suranegara, adik Permaisuri. Dia yang seharusnya naik takhta… tapi dijegal oleh Dewan, agar aku bisa dinikahkan demi stabilitas semu.”
Maheswara (serius):
“Ayah, saat aku menjadi Raja kelak, aku tak akan menjadi bayangan siapa pun. Dewan Istana akan direformasi. Dan Aryawangsa Kertadarma, bila ia menyentuh keluargaku—akan kucari sampai ke lubang semut sekalipun.”
Sang Raja menatap Maheswara, matanya tajam—namun penuh rasa bangga.
Darmawijaya:
“Kau… tidak seperti aku, Kau tidak Memiliki Celah dan Bersih serta Kau bukan anak yang lemah. Aku… bangga padamu, Maheswara.”
Sunyi mengendap bersama api yang meredup. Angin malam meniupkan daun-daun gugur.
[PENUTUP SCENE]
Kamera perlahan menyorot kedua pria itu: satu tua, satu muda—duduk berdampingan di bawah langit Mandalagiri.
"Malam itu, tak ada raja. Tak ada takhta. Hanya seorang ayah yang mencoba menebus masa lalunya… dan seorang anak yang bersiap menantang masa depan."
“PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA”
Lokasi: Pulau Nelayan – Dra'vetha Manor, Ruang Tamu Kehormatan
Waktu: Siang Hari
[PENYAMBUTAN DI DRA’VETHA MANOR]
Udara sejuk dari laut membawa aroma asin yang samar. Di dermaga, Maheswara dan Darmawijaya telah tiba. Para penjaga Manor sempat mencurigai kedua pengelana, namun saat Maheswara menyapa:
Maheswara (tersenyum tenang):
“Kuharap aku tidak perlu memperkenalkan diri untuk kedua kalinya.”
Para penjaga langsung bersimpuh.
Penjaga:
“Ampun, Pangeran Mahkota! Mohon maaf atas kelancangan kami…!”
Mereka segera memberi hormat dan memanggil pelayan utama Morzhan, sosok jin tinggi besar yang mengenakan jubah formal bangsawan Dra’vetha. Tatapannya tajam namun bersahabat. Ia segera mengenali Maheswara.
Morzhan (membungkuk hormat):
“Pangeran Mahkota… Kehadiran Anda selalu kami sambut dengan kehormatan. Mari, silakan masuk. Nyonya Catherine tengah berada di ruang dalam.”
Mata Morzhan menatap tajam Darmawijaya, namun ia tidak menunjukkan tanda mengenali identitas sejati lelaki tua itu.
[RUANG TAMU KEHORMATAN – DRA’VETHA MANOR]
Ruang tamu luas dan elegan. Dinding kayu berukir motif salju dan naga kelelawar, perpaduan estetika luar negeri dan Mandalagiri. Aroma teh herbal dan kayu manis menyelimuti ruangan.
Para pelayan menyajikan teh hangat dan kue kering.
Darmawijaya (berbisik pada Maheswara):
“Manor ini… indah sekali. Terasa seperti rumah yang tak pernah bisa kudapatkan.”
Maheswara (tersenyum):
“Dibangun oleh rakyat kita. Dari tangan para tukang pelabuhan Adiyaksa. Mereka hanya bermodal sketsa, tapi mampu menghidupkan istana.”
Darmawijaya tersenyum bangga.
[KEMUNCULAN CATHRINE, JASANA, DAN RAVIENDRA]
Langkah kaki terdengar. Pintu terbuka pelan.
Cathrine, anggun dalam pakaian bangsawan Dra’vetha, berjalan bersama Jasana dan menggendong Raviendra yang menguap pelan.
Cathrine (tersenyum hangat):
“Kakanda Maheswara… senang kau datang. Tapi siapa yang bersamamu?”
Maheswara bangkit, lalu mengisyaratkan untuk duduk bersama.
Maheswara (perlahan):
“Adikku… ini bukan kunjungan biasa.Yang bersamaku… adalah Ayahmu.”
Suasana mendadak hening. Cathrine memandang lelaki tua di sebelah Maheswara. Matanya membesar.
Cathrine (terkejut, bergetar):
“Ayahku…?”
Jasana langsung memberi hormat dalam posisi resmi pendekar.
Jasana:
“Sri Maharaja… terima kasih telah berkenan datang ke tempat ini.”
Cathrine tak bergeming. Tangannya bergetar, memeluk Raviendra lebih erat.
Cathrine:
“Aku… tahu dari Kakanda Maheswara. Tapi aku tidak pernah menyangka… Sri Maharaja akan benar-benar datang.”
[PENYESALAN SEORANG RAJA]
Darmawijaya bangkit perlahan. Ia menatap putrinya dengan mata penuh rasa bersalah.
Darmawijaya:
“Tidak ada anak haram di dunia ini, anakku. Yang ada hanyalah ayah yang berdosa. Aku… berdosa padamu… pada ibumu… pada Keluarganya... pada semua yang telah kulukai karena kelemahanku.”
Suara sang Raja pecah pelan. Ia menunduk. Suaranya rendah, bergetar.
Darmawijaya:
“Aku tidak datang sebagai Raja. Aku datang… sebagai ayah. Jika kau izinkan, hari ini… izinkan aku menebus dosa itu. Walau hanya dengan maaf darimu.”
Cathrine menatap dalam diam. Matanya berkaca. Perlahan, ia meletakkan Raviendra ke pelukan Jasana, lalu berjalan ke arah Darmawijaya.
Cathrine:
“Aku telah berdamai dengan masa lalu… Aku tahu yang terjadi bukan karena keinginanmu. Aku tahu… Dewan Istana-lah yang menghancurkan segalanya.”
Cathrine (tersenyum samar):
“Tapi aku hidup, Ayah. Aku bahagia. Aku punya keluarga… suami… dan anak yang kucintai. Jadi, jika kau ingin memulai… maka datangmu hari ini sudah cukup bagiku.”
Ia merangkul Darmawijaya pelan. Sang Raja memejamkan mata, menggenggam tangan putrinya dengan lembut, seakan tak ingin dilepas.
[PENUTUP SCENE – MENUJU FLASHBACK]
Darmawijaya (lirih):
“Dulu… sebelum semua ini, aku hanyalah lelaki bodoh yang jatuh cinta. Cinta itu bermula… di Hutan Hargagiri. Dari seorang gadis luar negeri bernama Cornelia.”
Kamera bergerak lambat, memperbesar mata Darmawijaya yang kini basah oleh air mata.
[NARATOR]:
“Dan malam itu, di ruang tamu sebuah manor kecil di pulau nelayan, seorang raja untuk pertama kalinya… menjadi ayah yang sebenarnya.”
FLASHBACK 25 TAHUN LALU
Lokasi: Hutan Hargagiri, Selatan Mandalagiri
Waktu: Musim Pancaroba — Senja Kuning Emas
[PROLOG – SANG RAJA YANG MENYAMAR]
Narasi mengalun:
“Enam tahun telah berlalu sejak Darmawijaya diangkat menjadi Raja Mandalagiri — bukan karena garis darah, tapi karena pernikahan politik. Ia menikahi Permaisuri Shandrakirana, putri mendiang Raja Aghnabumi Darmajaya, untuk menggulingkan Dominasi Adipati Suranegara, pewaris sah yang tidak disukai Dewan Istana…”
Darmawijaya muda (35 tahun) tampak gagah di atas kuda hitam, mengenakan jubah sederhana warna kelabu. Rambut panjangnya diikat ke belakang. Di bawah matanya yang tajam, ia menyembunyikan statusnya sebagai Raja Mandalagiri. Kini ia hanya seorang "penjelajah bernama Wijaya".
“Dan seperti kebiasaan lamanya yang belum sirna… sang Raja kembali meninggalkan istana. Kali ini, untuk ‘mengamati’ dan belajar dari keluarga bangsawan asing yang tinggal di pedalaman Hargagiri…”
[KEDIAMAN BANGSAWAN ASING – RUMAH VAN DER LINDT]
Bangunan megah bergaya Windmills berdiri anggun di tengah hutan. Dikelilingi taman herbal dan kristal salju buatan. Di depan rumah berdiri tiga sosok bangsawan:
Baron Willem Van der Lindt, penuh wibawa namun bersahabat.
Madam Elsbeth, anggun dan tajam mata memeriksa tamu mereka.
Dan seorang gadis muda dengan rambut putih panjang, Cornelia.
Darmawijaya turun dari kudanya, membungkuk sopan.
Darmawijaya:
“Salam damai dari Istana Tirabwana. Aku… Wijaya, utusan kerajaan. Tujuanku adalah studi dan pertukaran ilmu, serta... menilai apakah keluarga Anda mengancam stabilitas Mandalagiri.”
Baron Willem tertawa kecil.
Baron Willem:
“Kami hanya pengasingan sukarela, Tuan Wijaya. Kami lebih tertarik pada ramuan dan sihir dibanding politik.”
Cornelia mengintip dari balik bahu ibunya. Tatapannya bertemu dengan Darmawijaya. Ia tersipu. Darmawijaya menoleh, dan untuk sesaat dunia terasa diam.
[HARI-HARI BERSAMA – ILMU, SENJATA, DAN PANDANGAN YANG TERTANGKAP]
Montase singkat:
Darmawijaya memamerkan teknik berpedang Mandalagiri, disambut tepuk tangan pelayan rumah.
Ia memanggil bayangan samar Kartikeya, Khodam dewa perang, muncul dalam wujud sosok muda berkulit perunggu, bersenjata tombak dan bersayap merak api.
Baron Willem menunjukkan Tongkat Sihir berintikan kristal beku dari Windmills.
Cornelia diam-diam mengamati Darmawijaya berlatih.
Di malam hari, Darmawijaya menatap langit dari beranda, sementara Cornelia dari jendela kamarnya, menatap lelaki yang perlahan mengisi hatinya.
[SENJA DI TEPI SUNGAI – MULA CINTA TERLARANG]
Senja menguning, angin membawa harum bunga-bunga liar. Darmawijaya duduk di batu tepi sungai, menyeruput teh herbal hangat dari cangkir tanah liat.
Suara lembut mendekat.
Cornelia (lembut):
“Boleh aku duduk di sini?”
Darmawijaya menoleh dan mengangguk. Cornelia duduk di sisinya. Sejenak, hanya suara air sungai dan burung-burung yang terdengar.
Cornelia:
“Hari ini… kau mengalahkan Ayahku dalam adu sihir dan ilmu pedang. Tidak banyak yang bisa melakukan itu.”
Darmawijaya (merendah):
“Aku hanya tangan kanan Raja. Terkadang bertugas di medan perang. Tidak lebih.”
Cornelia (tersenyum):
“Dan kau Apakah menyamar.”
Darmawijaya terdiam. Cornelia tersenyum penuh arti.
Cornelia:
“Aku tahu matamu bukan mata seorang prajurit biasa. Dan… para burung di hutan ini punya cerita mereka sendiri.”
Darmawijaya tertawa kecil. Mereka saling menatap.
Cornelia (pelan):
“Aku dulu tinggal di Windmills. Negeri Angin Dingin dan Bersalju Ketika Mendekati Akhir Tahun. Tapi hatiku merasa… pulang di sini.”
Darmawijaya:
“Dan aku merasa… kehilangan arah di istana, tapi menemukan diriku di sini.”
Angin mengelus rambut panjang Cornelia yang terpapar cahaya senja.
Darmawijaya menggenggam tangannya perlahan.
Darmawijaya (lirih):
“Aku tahu ini salah… Tapi aku jatuh cinta sejak pertama melihatmu, Cornelia.”
Cornelia (menatap dalam):
“Aku juga. Tapi jika ini salah… maka biarlah kita berdosa malam ini.”
Mereka berciuman. Lembut, penuh rasa dan kerinduan yang selama ini tertahan.
Narasi berakhir:
“Dan di tengah senja yang bersaksi… cinta yang seharusnya tak boleh tumbuh, mulai menyemai akar-akar yang kelak akan mengguncang tahta.”
“MALAM PENCULIKAN HATI”
Lokasi: Hutan Hargagiri – Area Tengah, Beberapa Kilometer dari Manor Van der Lindt
Waktu: Malam hari, bulan purnama di langit Hargagiri
[PENGANTAR – KEHIDUPAN BARU SANG RAJA]
Narasi perlahan mengalun:
“Hari-hari berlalu bagaikan mimpi. Darmawijaya — sang Raja yang menyamar sebagai seorang perwakilan kerajaan — kini lebih dikenal oleh warga Desa Saptadarma sebagai guru pedang dan pembuat ramuan bersama Baron Willem. Ia tertawa, belajar, bahkan bermain dengan anak-anak desa... namun satu hal tak pernah ia abaikan: bayang mata biru Cornelia yang tak pernah hilang dari benaknya.”
[MALAM ITU – SEBATU RINDU DI JENDELA CINTA]
Suasana sunyi. Crik-crik serangga malam terdengar samar. Darmawijaya berdiri di bawah jendela lantai dua Cornelia. Di tangannya, sebutir batu kecil ia lemparkan — tok! mengenai bingkai jendela.
Jendela terbuka perlahan. Cornelia muncul. Rambut putihnya sedikit berantakan karena baru bangun.
Cornelia (mengantuk namun tersenyum):
“Kau ini... malam-malam...”
Darmawijaya (dari bawah, tersenyum menggoda):
“Malam ini terlalu indah untuk dilewatkan di balik dinding. Ikutlah denganku. Kita... berkemah.”
Cornelia tertawa kecil, lalu mengangkat tongkat sihirnya. Kilatan es membentuk pijakan transparan di udara. Dengan gerakan anggun, ia melompat turun dari jendela, dan mendarat ringan di samping Darmawijaya.
“Kau akan bertanggung jawab kalau aku ketahuan...”
[DI TENGAH HUTAN – NYALA API DAN BISIKAN RASA]
Tenda telah dipasang. Api unggun menyala tenang. Di atasnya, Darmawijaya merebus teh herbal dari ramuan yang ia pelajari bersama Baron.
Cornelia duduk di sampingnya, menyandarkan kepala di pundak Darmawijaya.
Cornelia (lirih):
“Di sinilah aku merasa damai. Tidak ada aturan. Tidak ada pandangan aneh tentang darah bangsawan asing. Hanya kita… dan bintang-bintang.”
Darmawijaya:
“Dan hati yang mulai tak bisa dikendalikan oleh protokol kerajaan…”
Ia mencium kening Carolina perlahan. Kemudian bibir mereka bersentuhan. Lembut. Jujur. Hangat.
Cornelia (berbisik di sela tawa kecil):
“Kalau Ayahku tahu, kau bisa diusir…”
Darmawijaya (sambil membalas dengan senyum nakal):
“Maka akulah yang akan menuntut Baron Willem. Karena putrinya telah mencuri hatiku saat pertama bertemu.”
Mereka tertawa bersama. Angin malam membelai mereka. Nyala api menciptakan tarian bayangan di wajah-wajah mereka yang penuh bahagia.
[PENUTUP – MALAM YANG TAK AKAN TERULANG]
Narasi pelan menggema:
“Dan di malam itulah, dua jiwa dari dua dunia yang berbeda berpadu. Tak ada perjanjian, tak ada sumpah. Hanya keinginan. Hasrat. Dan cinta. Mereka bermalam di bawah kanopi bintang, diapit keheningan dan nyala cinta yang tak mengenal batas darah atau takhta… Malam itu Hubungan terlarang itu terjadi.”
Kamera menjauh. Bayangan tenda kecil tampak dari kejauhan, nyala api terus menyala. Hutan Hargagiri menjadi saksi bisu peristiwa yang kelak memantik tragedi dalam sejarah panjang Mandalagiri.
“KABAR DALAM RAHIM, JANJI DALAM MALAM”
Lokasi: Rumah Bangsawan Van der Lindt – Kamar Cornelia, Kemudian Halaman Dalam Malam Hari
Waktu: Siang hingga malam hari, 25 tahun lalu
[KEGELISAHAN SEORANG RAJA YANG LUPA DIRI]
Narasi lembut mengalun:
“Ketika seseorang benar-benar jatuh cinta, ia tidak lagi memikirkan takhta, pedang, ataupun batas-batas darah. Ia hanya takut kehilangan satu hal: orang yang ia cintai. Darmawijaya, Raja Mandalagiri, kini hanya seorang pria biasa — gelisah di balik pintu kayu tua kamar Cornelia.”
Di balik pintu tertutup kamar Cornelia, terdengar bisik-bisik tegang.
Darmawijaya menunduk gelisah. Tangannya mengepal. Nafasnya pendek.
Lalu pintu terbuka. Baron Willem keluar. Wajahnya datar tapi matanya menyimpan gejolak.
Baron Willem (pelan, tajam):
“Dia tidak sakit, Wijaya… Dia sedang mengandung.”
(hening)
“Dan hanya ada satu pria yang bisa menjadi ayahnya.”
Darmawijaya menunduk. Tak menyangkal. Tak mengelak.
Darmawijaya:
“Ya... itu salahku. Tapi juga cintaku yang paling jujur.”
(menatap langsung)
“Aku... mencintai putrimu.”
Dari dalam, Cornelia bangkit. Pucat. Tapi senyumnya ada. Ia membuka pintu dan bersandar pada kusen.
Cornelia (lemah tapi tegas):
“Aku yang jatuh cinta lebih dulu. Aku yang... mengajaknya ke dalam malam itu.”
[KEPUTUSAN SEORANG IBU, UJIAN SEORANG AYAH]
Madam Elsbeth mendekat. Ia menghela napas dalam, lalu menatap putrinya.
Elsbeth (lembut):
“Cornelia… sejak pertama kau melihat pria itu, mata indahmu tak pernah lepas. Aku tahu suatu hari hal ini akan terjadi.”
Lalu ia menatap Darmawijaya:
Elsbeth:
“Di tanah kami… tidak ada anak yang lahir tanpa perlindungan doa. Maka aku ingin tahu — apakah kau bersedia menikahi putriku? Mungkin bukan dengan hukummu, tapi dengan adat kami. Di bawah langit, di hadapan para leluhur.”
Darmawijaya mendekat, lalu menunduk penuh hormat.
Darmawijaya:
“Dengan segenap jiwaku… aku bersedia.”
[KERAGUAN SEORANG AYAH, JANJI SEORANG RAJA]
Baron Willem meletakkan tangannya di pundak Darmawijaya. Kini lebih sebagai ayah, bukan bangsawan.
Baron:
“Kau pria terhormat… Tapi bisakah istanamu menerima anak ini? Darah campuran. Bangsawan asing.”
“Kau bilang kau hanya tangan kanan Raja. Tapi hatiku berkata… kau lebih dari itu.”
Darmawijaya terdiam sejenak. Lalu menjawab dengan penuh api tekad:
Darmawijaya:
“Jika seluruh dunia menolak darah ini, maka akulah yang akan berdiri paling depan melindunginya.”
“Aku akan melindungi Cornelia... dan anak kami. Walau itu berarti melawan istanaku sendiri.”
[MALAM PERNIKAHAN SIMBOLIK – JANJI CINTA YANG TERLARANG]
Malam itu di halaman dalam, di bawah cahaya bulan dan lentera angin.
Tuan Baron memimpin ritual pernikahan kecil dengan adat Windmills. Cornelia mengenakan gaun putih sederhana dengan selendang biru es di bahunya. Darmawijaya mengenakan pakaian formal hasil tenun Desa Saptadarma, sederhana namun gagah.
Para pelayan berdiri berjajar membentuk setengah lingkaran.
“Dengan restu angin utara, salju leluhur, dan api cinta dari bumi jauh… kami satukan Cornelia Van der Lindt dan Wijaya dalam ikatan suci di bawah langit.”
Cornelia dan Darmawijaya saling memakaikan cincin ukiran es dan batu lava merah — simbol pertemuan dua dunia.
Baron Willem (mengakhiri):
“Dengan ini... kalian adalah pasangan di hadapan keluarga, leluhur, dan langit. Meskipun dunia tidak mengetahuinya.”
Tepuk tangan pelan. Cornelia tersenyum kecil, berlinang air mata. Darmawijaya mencium tangan istrinya. Dunia terasa hening. Tapi waktu tetap berjalan.
SCENE DITUTUP
Narasi penutup:
“Cinta yang disatukan malam itu adalah bunga yang mekar di lembah rahasia. Indah. Rapuh. Dan ditakdirkan untuk dijatuhkan oleh badai kekuasaan yang datang dari utara…”
“JANJI TERAKHIR DI HARGAGIRI”
Lokasi: Windmills Manor, Hutan Hargagiri – Mandalagiri Selatan
Waktu: Siang hingga pagi hari berikutnya
[NARASI PEMBUKA – DUA TAHUN SETELAH CINTA]
“Waktu bergerak seperti aliran air hutan. Diam-diam ia menghapus tepi misimu, dan menggantinya dengan keluarga yang tak pernah direncanakan…”
Dalam rumah bergaya Windmills, Darmawijaya—atau yang kini dikenal hanya sebagai “Wijaya”—sedang bermain bersama putri kecilnya, Catharine, di pelataran batu berhias bunga liar.
Catharine tertawa kecil saat Darmawijaya membuat bayangan Khodamnya 'Kartikeya' menjelma dalam bentuk cahaya lembut di udara. Cornelia menyaksikan mereka sambil duduk tenang, tersenyum lembut.
Cornelia (20 tahun, lembut):
“Aku kadang lupa... kau adalah lelaki yang datang dari istana. Bagiku, kau ayah dari anakku… dan pria yang membuat hutan ini terasa seperti kerajaan kecil kita.”
Darmawijaya hanya memandangi Cornelia dan Catharine dengan mata berkaca. Ada rasa takut kehilangan di balik bahagia.
[KABAR DARI ISTANA – AWAL PERPISAHAN]
Sore itu, seekor kuda mendekat cepat dari arah utara. Seorang prajurit berpakaian resmi turun dan menyerahkan gulungan penting kepada Wijaya. Wajah Darmawijaya berubah tegang saat membaca.
Prajurit Istana (resmi):
“Raja Darmawijaya… eh... Tuan Wijaya. Mandalagiri terancam. Mantan perwira Kandhara Mangkara telah membentuk pasukan manusia raksasa. Dewan memanggilmu kembali. Hanya paduka yang sanggup menghentikan kudeta.”
Darmawijaya mengangguk berat. Menyimpan gulungan itu.
[PAMITAN YANG MENGHARUKAN]
Keesokan paginya. Langit Hargagiri redup, kabut tipis menggantung. Wijaya telah berkemas dalam pakaian tempurnya. Pedang Argasunya disarungkan di punggung. Di hadapannya: Baron, Elsbeth, Cornelia, dan sikecil Catharine dalam gendongan.
Cornelia (lembut tapi mantap):
“Aku tahu hari ini akan datang… Sejak kau bilang kau orang kepercayaan raja… aku tahu, kau akan kembali ke medan perang.”
(mengusap mata kecil Catherine)
“Tapi kembalilah, untukku… untuknya.”
Darmawijaya (berbisik di telinga Cornelia):
“Namaku bukan Wijaya… tapi Darmawijaya. Aku adalah Raja Mandalagiri.”
(Cornelia terpaku, matanya membelalak, tapi ia tidak kaget—lebih kepada perasaan diterangi kebenaran yang selama ini ia rasa.)
“Tapi saat bersamamu… aku hanyalah pria yang mencintaimu.”
Baron hanya memejamkan mata sejenak. Lalu mengangguk mantap.
Baron Willem:
“Kau pernah mencuri anakku dari kami. Tapi hari ini... kau bawa pula doa kami bersamamu. Hati-hati, Darmawijaya.”
Darmawijaya memeluk Catharine erat-erat. Mengecup kening kecilnya.
Darmawijaya (lirih):
“Catherine... Ayah akan kembali. Aku akan ceritakan tentang langit Mandalagiri, tentang gagahnya seekor merak yang terbang bersama tombak... dan tentang cinta yang membawamu lahir ke dunia.”
[KEGAGAHAN YANG MENJAUH]
Pasukan penjemput mulai bergerak. Darmawijaya naik ke kudanya. Sekali lagi ia menatap ke belakang. Di sana berdiri keluarganya—Baron, Elsbeth, Cornelia, dan sikecil Catharine. Semuanya melambaikan tangan.
Ia membalas dengan senyum tipis… lalu menoleh ke depan dan memacu kudanya. Kabut menelannya.
“Ia tidak tahu… bahwa langkah hari itu adalah langkah terakhir sebagai ayah, suami, dan manusia biasa. Sebab takdir adalah cambuk kejam bagi mereka yang menyembunyikan cinta dari istana.”
SCENE DITUTUP
Narasi penutup:
“Empat tahun kemudian… Windmills Manor akan tinggal nama. Abu dan darah akan menggantikan tawa dan nyanyian. Tapi kenangan ini—kenangan seorang Raja yang menjadi ayah—akan hidup selamanya dalam bayangan api…”
“Kemenangan yang Dibayar Mahal”
Lokasi: Dataran Terbuka Utara Mandalagiri – Senja Berdarah
[NARASI PEMBUKA]
“Kadang kemenangan bukanlah akhir, tapi pintu menuju kehilangan yang lebih dalam. Pada senja itu, langit Mandalagiri menyala oleh pertempuran, bukan oleh kebanggaan…”
Di sebuah dataran tandus terbuka di utara Mandalagiri, medan pertempuran berkecamuk. Tiga sosok gagah berdiri di antara kepungan pasukan Ras Manusia Raksasa pimpinan Kandhara Mangkara.
Sri Maharaja Darmawijaya, dengan pedang Argasunya, dan aura Khodam Kartikeya yang mulai membentuk siluet ksatria bersayap dan tombak cahaya.
Raksadana muda, mengenakan zirah hitam-merah, memegang pedang besar bermata dua Jatiwisesa—dari ujungnya menyembur lidah api Phoenix.
Panglima Durgantara, perwira tua tangguh, ayah dari Pradipa Karna. Ia memegang pedang Besar bermata dua Dwijanaga, bilah berkilau, dan dari balik punggungnya mengintai bayangan Khodam Naga Wyvern yang menyemburkan kabut asam kehijauan dari udara.
[PERTARUNGAN DENGAN KANDHARA MANGKARA]
Kandhara Mangkara, Dulu Perwira Muda Mandalagiri, Pemimpin Pasukan Mandalagiri Utara kini Berkhianat dia Masih Memakai Setelan Baju Tempur Mandalagiri dengan Senjata Dua Kapak dan Khodam Gelap Leak, memimpin ras manusia raksasa yang tidak Puas atas Perlakuan Dewan Istana dan Berniat Mengkudeta Kekuasaan. Tubuh Ras Manusia Raksasa dua kali lipat manusia biasa, tangan kanannya seperti taring baja.
Kandhara (mengaum):
“Mandalaaaaaaaaagiri akan runtuh di tangan mereka yang dibuang oleh istana kalian!”
Darmawijaya berteriak keras, seruan perang yang menggema dengan suara Kartikeya di baliknya.
Darmawijaya:
“Takkan kubiarkan pengkhianat mencemari tanah leluhurku!”
Pertarungan pecah. Raksadana memanggil burung Phoenix-nya yang menyapu musuh dari udara dengan kobaran api.
Durgantara dan Wyvern menyergap dari kiri, menghancurkan barisan musuh dengan semburan asam dan sabetan Dwijanaga yang mengoyak baja.
Sementara Darmawijaya, menebas dan mengayun pedangnya dalam lingkaran tajam. Di belakangnya, Kartikeya muncul setengah transparan, tombaknya menembus lapisan dimensi, mencabik barisan raksasa.
Kandhara Mangkara terdesak Kekuatan Mereka Bertiga Bukan tandingan dirinya dan Ras Manusia Raksasa saat ini. Sebelum dia ditumbangkan, ia merapal mantra gaib kuno dan menyelamatkan sisa Ras Manusia Raksasa membuka Gerbang Tiraksara, Memerintahkan Ras Manusia Raksasa yang tersisa Kabur Kedalamnya. Sementara Kandhara yang terlambat Karena Pintu Tiraksara tertutup Lari Menyelamatkan diri dan Menjadi Buronan Mandalagiri.
Pertempuran selesai. Darmawijaya berdiri tegak di atas reruntuhan pertempuran. Namun kemenangan itu membawa awan gelap baru.
SCENE: RAPAT ISTANA RAHASIA
Lokasi: Ruang Dalam Istana Tirabwana – Malam Hari
Aryawangsa Kertadarma, Kepala Dewan Istana, memimpin rapat tertutup bersama para bangsawan tertua dan paling konservatif.
Aryawangsa (dingin dan lantang):
“Sudah cukup. Kami tahu kebenarannya, Sri Maharaja.”
“Seorang Raja Mandalagiri tidak pantas memiliki keturunan dari ras luar. Itu adalah ancaman terhadap tatanan darah murni. Kau harus memilih: kerajaan... atau keluarga haram yang kau sembunyikan di Hargagiri.”
Para bangsawan mengangguk. Beberapa menunjukkan wajah puas. Yang lain, terdiam—setia tapi tak berani bersuara.
Darmawijaya tertunduk.
Darmawijaya (pelan, lirih):
“Kalian mengancam untuk mengembalikan Suranegara. Kalian tahu dia akan menghancurkan stabilitas. Tapi kalian lebih takut pada cinta seorang manusia pada wanita dari ras asing... dari pada kehancuran politik.”
Aryawangsa menjawab tanpa ragu.
Aryawangsa:
“Ya. Karena darah adalah warisan. Tapi cinta... hanyalah kelemahan.”
Darmawijaya akhirnya terpaksa setuju. Namun diam-diam Mengirimkan Surat Peringatan Kepada Cornelia tentang tindakan Dewan Istana yang akan dilakukan terhadap Keluarganya atas nama Wijaya. Aryawangsa hanya menanggapi dengan senyuman dingin dan perasaan puas.
SCENE: AGENDA PENGKHIANATAN
Lokasi: Ruang Rahasia Dewan – Beberapa Hari Kemudian
Skema pembantaian dirancang rapi. Dikatakan Rencana itu bahwa keluarga Windmills diduga menggunakan sihir terlarang dalam wilayah Mandalagiri. Tuduhan palsu tentang penciptaan homunculus dan eksperimen sihir berbahaya dijadikan alasan resmi.
Pasukan elit dikirim. Beberapa dari mereka tidak tahu kebenarannya.
“Dan ketika bulan naik di atas pepohonan Hargagiri… sejarah Mandalagiri mencatat malam itu sebagai ‘Insiden Hutan Hargagiri’. Tapi di antara arwah yang terbakar… ada janin dendam yang kelak tumbuh menjadi badai.”
Narasi penutup:
“Dan sang Raja—yang memilih tahta… mengubur air mata, dan membiarkan cinta menjadi abu. Tapi abu tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu angin yang tepat…”
"Api di Tengah Angin – Malam Pembantaian Windmills Manor 19 Tahun Lalu.”
Lokasi: Windmills Manor, Tengah Hutan Hargagiri – Malam Hari
[PEMBUKA – LANGIT GELAP & GELOMBANG PENYUSUP]
Langit malam mendung. Petir menyambar di kejauhan. Windmills Manor berdiri megah namun sunyi di tengah hutan Hargagiri.
Tiba-tiba—
DENTUM!
Ledakan sihir menghantam gerbang utama.
Gelombang pasukan bayangan berseragam gelap menyusup dari balik pepohonan. Beberapa dari mereka bertopeng, membawa pedang, panah, dan tongkat sihir gelap—tentara rahasia dari Divisi Bayangan Istana.
Api mulai melahap taman depan. Para pelayan berlarian. Teriakan dan tangisan memenuhi udara.
[DI DALAM RUMAH – PANIK DAN PERLAWANAN]
Cornelia (24 Tahun), memeluk Catharina (5 Tahun) erat, menuruni tangga marmer dalam kepanikan. Rambut putih Cornelia beterbangan diterpa angin dan panas.
Cornelia (panik):
“Pegang Ibu erat-erat, Catharina! Jangan lepaskan! Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan!”
Catharina, kecil, meneteskan air mata, memeluk ibunya tanpa suara.
[DI HALAMAN DEPAN – KEGIGIHAN YANG BERDARAH]
Baron Willem dan Madam Elsbeth berdiri berdampingan. Keduanya telah bersiap. Elsbeth memanggil angin, menciptakan pusaran pelindung. Baron menghujani lawan dengan sihir tanah dan api sekaligus, tongkatnya menyala.
Namun jumlah musuh terlalu banyak.
Peluru sihir gelap menembus pertahanan Elsbeth. Tubuhnya terlempar menghantam pilar batu. Darah mengalir dari sudut bibirnya.
Baron menjerit marah dan meledakkan seisi halaman dengan sihir api terakhirnya—namun dari balik asap, panah hitam menancap di dadanya.
Keduanya jatuh. Tak bernyawa.
[KORBAN-KORBAN DAN KESADARAN]
Cornelia keluar dari dalam manor yang sudah setengah runtuh. Matanya menangkap tubuh kedua orang tuanya di halaman.
Tangis tertahan. Lututnya gemetar. Tapi ia tetap memeluk putrinya.
Cornelia (berbisik pada Catharina):
“Maafkan Ibu... Tapi kau harus selamat... Kau harus hidup... walau tanpa kami…”
[SAAT TERAKHIR – TELEPORTASI DAN PENGORBANAN]
Cornelia berdiri di tengah kobaran api, menggambar simbol teleportasi di udara dengan ujung tongkat sihirnya. Simbol itu memancarkan cahaya biru keperakan.
Ia mencium kening Catharina, air matanya menetes di pipi sang anak.
Cornelia (menangis, berbisik):
“Hiduplah... suatu saat... akan ada yang menjagamu... dunia ini masih punya cinta… meski malam ini hanya ada api...”
Ledakan cahaya.
Catharina menghilang dalam sekejap cahaya teleportasi—dilemparkan jauh dari tempat pembantaian itu… ke takdir yang belum dituliskan.
[PENUTUP – AKHIR MANOR DAN DUSTA ISTANA]
Cornelia tersenyum kecil, berdiri di antara api yang menelan reruntuhan rumah dan masa lalunya.
Dari balik bayangan, sosok-sosok bertopeng menarik busur, lalu—
SUARA PANAH MELUNCUR.
Cornelia jatuh. Tanpa suara. Masih dengan senyum tipis terakhirnya.
Keesokan paginya, di ruang rapat Istana Tirabwana—
Aryawangsa Kertadarma (datar):
“Insiden sihir terlarang. Rumah meledak karena eksperimen sihir asing. Semua saksi tewas. Tidak ditemukan jasad anak perempuan. Laporan ditutup.”
Para bangsawan mengangguk. Sri Maharaja Darmawijaya tidak hadir di ruang rapat itu.
Ia berada di kamarnya. Diam. Terpejam. Tapi wajahnya pucat.
Dalam hatinya… dia tahu. Cinta yang ia kubur… kini sudah menjadi abu namun ia tahu Cathrine Berhasil ia Selamatkan secara diam-diam lewat tangan seorang prajurit muda.
FLASHBACK BERAKHIR
"Dan dari abu itu… seorang anak akan bangkit.
Dengan darah dua dunia,
dan nyala dendam yang tak dapat diredam…”
“Pertemuan Berdarah dan Pengampunan”
Lokasi: Manor Dra'vetha, Pulau Nelayan Selatan – Ruang Tamu Kehormatan
Waktu: Senja Hari
Hening menyelimuti ruang tamu kehormatan di Manor megah nan asing itu. Cahaya lentera gantung memantul lembut di dinding-dinding ukiran kuno khas Campuran Mandalagiri dan Kerajaan Asing. Aroma rempah dan dupa samar menggantung di udara.
Sri Maharaja Darmawijaya dalam balutan pakaian pengelana sederhana, wajahnya lebih tua dan berat, namun tetap membawa aura kebesaran raja.
Pangeran Maheswara bersandar di sisinya, tubuh tinggi tegapnya siaga namun tenang, matanya awas menatap sekeliling.
Jasana, duduk dengan Raviendra kecil di pangkuannya, wajahnya tenang namun waspada.
Dan Cathrine Van der Lindt, kini Rinjana Nirnawa, yang sudah berdiri mematung—tangis masih membekas di matanya yang berwarna ungu.
[DIALOG - PENGAKUAN SEORANG AYAH]
Darmawijaya perlahan berdiri dari duduknya. Langkahnya mendekati Cathrine. Tangannya sedikit gemetar. Butuh waktu baginya untuk mengucapkan kalimat itu.
Darmawijaya (suara parau):
“Maafkan aku, anakku… Ayah memilih tahta… dan mengubur kebahagiaan kita bersama ibumu. Itu adalah kesalahan terbesarku.”
Cathrine menunduk, air matanya mengalir lagi. Tapi ia mengangkat wajah dan melihat ayahnya—bukan sebagai Raja, tapi sebagai pria yang pernah mencintai ibunya dan ditelan oleh dunia yang kejam.
Cathrine (lembut, lirih):
“Ibu selalu berkata… kau pria yang lembut… Tapi dunia tak pernah mengizinkanmu hidup dengan cara yang lembut.”
Darmawijaya tak mampu berkata-kata lagi. Ia merengkuh Cathrine dalam pelukan.
Tangis senyap meledak di bahunya.
[JANJI DI ANTARA DARAH DAN BAYANGAN]
Pelukan perlahan dilepaskan. Raja Mandalagiri menatap putrinya dalam-dalam. Sorot matanya penuh keputusan.
Darmawijaya:
“Kejadian seperti malam itu… tak akan pernah terjadi lagi. Aku berjanji, atas nama tahta dan darahku—keluargamu akan aman. Akan kulindungi… meski dunia menentangnya.”
Jasana berdiri. Dengan Raviendra yang sudah tertidur di gendongannya, ia menatap langsung ke mata sang Raja.
Jasana (tegas, tulus):
“Aku… Jasana Mandira, Kapten Raka Lelana… bersumpah atas nama Khodam dan darahku, akan menjaga Cathrine dan Raviendra sampai hembusan nafasku yang terakhir.”
Maheswara menyilangkan tangan di dada. Ia menyaksikan momen itu tanpa berkata, namun dalam sorot matanya ada persetujuan. Ia tahu, janji yang terucap malam ini… adalah sumpah suci.
[AKHIR MALAM – KETENANGAN SEJENAK]
Darmawijaya menghela napas berat, lalu kembali ke tempat duduk. Ia menatap api tungku yang tenang, seolah mencari bayangan Cornelia di balik kobaran lembut itu.
Darmawijaya (pelan):
“Malam ini aku akan tinggal di sini… Besok, aku dan Maheswara kembali ke Tirabwana.”
Cathrine mengangguk.
Jasana menunduk dalam hormat.
[SCENE PENUTUP]
Morzhan, pelayan utama Manor Dra'vetha, muncul dari lorong membawa anggur herbal dan selimut hangat. Di luar jendela, bulan sabit menggantung rendah di langit selatan, menyinari keluarga yang akhirnya… bertemu kembali dalam luka, namun utuh dalam harapan.
“Dari api kehancuran dan darah pengkhianatan,
bangkitlah harapan baru yang lahir dari dua dunia—
dan malam itu, dunia menjadi sedikit lebih jujur…”
“Makan Malam di Dra’vetha Manor”
Lokasi: Ruang Makan Utama, Dra’vetha Manor – Pulau Nelayan Selatan
Waktu: Malam Hari, setelah pertemuan emosional keluarga
Ruang makan utama Dra’vetha Manor diterangi cahaya lilin-lilin tinggi yang ditaruh di dudukan perak. Tirai beludru merah marun tergantung megah di jendela tinggi, angin laut menghembus pelan dari celah-celah kisi kayu jati hitam. Meja makan panjang dari kayu langka berdetail ukiran kalathraya menjadi pusat ruangan, telah ditata rapi dengan alas makan tenunan khas Tribe Dra’vetha.
Jasana berdiri di ujung meja, berdampingan dengan Cathrine dan Lutfayana. Di seberang mereka, Sri Maharaja Darmawijaya dan Pangeran Maheswara duduk tenang, menatap hidangan yang mulai dihidangkan oleh pelayan-pelayan Tribe Dra’vetha.
[Dialog Pembuka – Perkenalan Lutfayana]
Sebelum hidangan utama disajikan, Jasana melangkah ke tengah, menatap kedua tamunya dengan penuh hormat namun tulus.
Jasana (suara tenang):
“Sebelum kita menikmati jamuan malam ini… perkenankan aku memperkenalkan satu hal yang selama ini belum pernah kusebutkan secara langsung.”
Ia menggenggam lembut tangan Lutfayana, lalu menatap ke arah sang Raja dan Maheswara.
Jasana:
“Istri keduaku, Lutfayana… bukan hanya bagian dari bangsawan Dra’vetha. Dia adalah keturunan langsung Kalathraya—darah bangsawan Jin darah merah ketujuh. Aku menyembunyikan ini, bukan karena malu, tapi karena dunia ini belum siap. Terutama… istana Mandalagiri.”
Hening sejenak mengisi ruangan. Namun Raja tidak tampak terguncang.
Darmawijaya menatap Lutfayana lama, lalu perlahan berdiri. Ia melangkah menghampiri Lutfayana yang berdiri anggun dalam jubah hitam beludru, wajahnya tenang, mata merah darahnya bersinar lembut.
Darmawijaya (suara dalam):
“Aku sudah lama tahu… bahwa kekuatan Jin dan manusia—jika dipadukan oleh cinta dan kepercayaan—bukanlah bahaya. Tapi berkah.”
Darmawijaya (lanjut, menatap Jasana):
“Dan jika kau sudah dikaruniai anak darinya, maka itu… adalah masa depan Mandalagiri. Anak itu harus dibimbing. Dilindungi.”
Jasana menunduk dalam, penuh hormat.
Jasana:
“Anak itu kami beri nama Ishvara Elvardhra Dra’vetha… dan aku bersumpah akan membesarkannya seperti aku menjaga Raviendra. Dengan cinta, dan dengan mata yang selalu terbuka.”
Lutfayana menunduk hormat.
Lutfayana (suara tenang):
“Sri Maharaja… terima kasih telah melihat kami bukan dari ras kami, tapi dari keikhlasan kami.”
Darmawijaya:
“Justru aku yang berterima kasih. Karena putriku… kini dikelilingi oleh mereka yang kuat. Bukan hanya dalam kekuatan… tapi dalam hati.”
[Jamuan Dimulai – Hidangan Laut & Obrolan Hangat]
Para pelayan datang membawa makanan:
Gurita Hitam Panggang dalam saus tinta khas Mandalagiri (kesukaan Raja)
Ikan Laut Bakar sirip merah dari perairan Mandanagara
Kerang Laut Kukus dengan sambal kelapa putih
Udang Harimau Goreng Rempah
Disajikan dengan nasi hangat kemangi khas Mandalagiri
Minuman: Air pandan jeruk dingin & Teh Dra’vetha herbal
Mereka mulai menyantap dengan santai. Suasana mencair dengan cepat.
[Obrolan Ringan – Tawa Tanpa Pangkat]
Maheswara menggigit udang besar dengan lahap, lalu menunjuk piring Jasana.
Maheswara (tersenyum geli):
“Jasana, kau masih makan seperti anak Akademi. Tidak pernah pelan, selalu seperti sedang lomba makan siang.”
Jasana tertawa.
Jasana:
“Dulu di Kalabumi, kalau telat makan, makanannya sudah dikerubungi semut… atau ular.” (semua tertawa)
Cathrine tertawa kecil, lalu memandang Maheswara.
Cathrine:
“Tapi aku yakin Kakanda Maheswara yang dulu juga tidak segagah ini saat masih di Akademi Militer. Mungkin sering nyasar di hutan?”
Maheswara (mengangguk dramatik):
“Benar. Tapi bedanya… aku nyasar dengan gaya.”
Darmawijaya tertawa ringan, hal yang jarang dilihat. Ia menatap anak-anak muda itu penuh kebanggaan.
Darmawijaya (hangat):
“Inilah saat-saat yang membuatku percaya… Mandalagiri akan baik-baik saja. Selama kalian masih duduk bersama, tertawa… bukan karena pangkat, tapi karena saling percaya.”
Lutfayana hanya tersenyum. Ia menyuapkan sepotong ikan ke piring Cathrine, seperti seorang kakak.
Lutfayana (lembut):
“Makanlah, Cathrine. Kau butuh kekuatan, karena dunia di luar manor ini... tidak selembut malam ini.”
[Penutup Jamuan – Menuju Istirahat]
Setelah makanan tandas dan gelas terakhir teh herbal diminum, para pelayan pelan-pelan membersihkan meja.
Jasana dan Cathrine mengantar Sri Maharaja dan Maheswara menuju kamar istimewa di sayap timur manor. Lorong-lorong diterangi lentera batu berisi api biru lembut, khas Dra’vetha.
Sebelum berpisah, sang Raja menepuk pundak Jasana.
Darmawijaya:
“Kau bukan hanya pendekar, Jasana… kau ayah, suami, dan pemimpin. Suatu saat… kau akan memikul beban yang jauh lebih besar. Dan aku percaya kau sanggup.”
Jasana mengangguk.
Jasana (serius):
“Dan jika saat itu tiba… aku akan berdiri. Untuk Mandalagiri, untuk keluarga kecilku… dan untuk mereka yang percaya bahwa dunia ini bisa berubah.”
Scene ditutup dengan pintu kamar Raja ditutup perlahan.
Di luar jendela, bulan sabit masih menggantung—tenang dan menyimpan rahasia langit malam.