Bab 22 - Kembali Bertugas Pasca Libur Panjang

“Bayang-Bayang di Bawah Cahaya Fajar”

Beberapa minggu telah berlalu sejak langit Mandalagiri dihentak oleh kabar yang mengguncang segala sendi kekuasaan: Kepala Dewan Istana, Aryawangsa Kertadarma, terjerat dalam jaring kejahatannya sendiri. selain Aryawangsa para Bangsawan atau Para Loyalis yang menerima manfaat dari kejahatan Aryawangsa mendapatkan porsi hukuman yang setimpal.

Ratu Kirana Anindita dan Puteri Lintang Jayaswari yang sempat menghilang, kini kembali dalam pelukan kerajaan. Dewan Istana dibubarkan. Kasta tua yang selama ini bersembunyi di balik lambang kemurnian darah… runtuh dalam satu hentakan sejarah.

Berita itu menjalar seperti api di padang ilalang — cepat, panas, dan tak terbendung.

Pulau Nelayan Bagian Selatan — Dra’vetha Manor

(Wilayah Administratif Kota Pelabuhan Adiyaksa - Mandalagiri Barat Daya)

Di tepi laut tenang, angin asin membawa kabar jauh dari jantung ibu kota.Dalam sebuah rumah bangsawan Dra'vetah, Jasana, Cathrine, dan Lutfayana duduk di ruang tengah, cahaya pagi menyinari meja tempat surat kabar baru saja dibuka.

Tangan Cathrine bergetar kecil ketika membaca nama yang selama ini menghantui bayang tidur dan ingatan masa kecilnya, Dalang Peristiwa Pembantaian Keluarganya yang akhirnya ia ketahui beberapa hari lalu tentang masalalu kelamnya, bahwa Cathrine adalah Anak dari Sri Maharaja Darmawijaya Hasil Hubungan Gelap dengan Bangsawan Asing Windmills Ibunya Cornelia Van der Lindt. Aryawangsa Kertadarma — Pengkhianat, Pembantai, Dalang Politik Gelap serta kejahatan lain selama menjadi Ketua Dewan Istana.

Ia tak menangis.Hanya mengembuskan napas panjang, lalu menunduk.“Sudah selesai…” bisiknya. Jasana meraih tangannya, mengangguk pelan. Tak perlu kata-kata. Luka itu telah lama menganga, tapi pagi ini… perlahan mulai mengering.

Tanah Selampa — Lembah Pelatihan Tombak

Di antara pekikan kayu beradu dan debu yang menari bersama gerakan, Nandika meletakkan tombaknya ketika seseorang menyerahkan padanya lembaran berita. Dia membaca cepat — satu alisnya terangkat."Jadi... begini wajah asli istana yang kusegani?" gumamnya.

Pelatihnya hanya tertawa hambar."Kita hanya tahu panggung depan, Nandika. Tapi belakang panggung… penuh tali dan bayangan."

Kampung Halaman Pratiwi Desa Margahayu — Rumah di Tengah Ladang

Darsa bersandar di jendela kayu, mata menatap ke kejauhan sembari membaca surat kabar yang sama. Ia tidak bereaksi berlebihan. Hanya anggukan kecil, seperti sudah tahu apa yang dibacanya sejak lama. Putri bangsawan akan tahu aroma busuk kekuasaan dari kecil.

"Sudah waktunya babak baru dimulai," katanya pelan.

Pratiwi datang membawa teh hangat.“Sudah siap kembali ke ibu kota?”

Darsa tersenyum tipis. “Belum. Tapi dunia tak akan menunggu.”

Dataran Tinggi Panawa — Lapangan Pelatihan Pemanah

Kirta duduk di atas batu besar, dikelilingi para pemanah muda yang tertawa setelah latihan pagi.Tangannya menggenggam lembaran berita, matanya mengamati judulnya sekali, lalu menatap langit yang bersih.

"Generasi kita akan datang," bisiknya.

Angin tinggi Panawa mengibarkan rambutnya. Sebentar lagi… panah akan dilepaskan, tapi bukan untuk buruan — melainkan untuk masa depan.

Pegunungan Bertapa — Kuil Senyap di Lereng Timur

Kabut turun perlahan ketika suara kaki menghentak tangga batu. Dari dalam kuil tua yang dikelilingi cemara abadi, sosok tinggi besar berjalan keluar. Rambutnya putih, matanya menyorotkan tajam cahaya seperti bara.

Raksadana. Mantan Panglima Perang Kerajaan Mandalagiri.

Mantan Kapten Divisi Panggrahita Aji.

Mantan Pemimpin Guild Bayu Geni. Tapi darahnya… belum selesai bergejolak.

Pelayan kuil memberikan selembar surat kabar beserta sebuah surat bersegel kerajaan mandalagiri. Ia membaca, lalu menatap ke arah barat—arah Tirabwana.

"Maheswara… kau akan menghadapi badai," gumamnya.

Tangan kirinya menyentuh gagang pedang Jatiwisesa. Dan di atas langit, seekor Phoenix Suci, burung api raksasa—Garundhala—muncul dalam cahaya kabut, mengepakkan sayapnya perlahan.

"Aku akan kembali."

“Ketika satu zaman berakhir, bukan damai yang datang…Tapi waktu untuk para warisan yang terlupakan untuk memilih: Akan menjadi penjaga fajar, Atau bayangan di bawah sinarnya.”

"Darah, Dendam, dan Cahaya Terakhir"

Lokasi: Gua Mandalagraha — Gunung Mandalagraha, Barat Laut Mandalagiri

Gua Mandalagraha sunyi. Hanya tetesan air dari stalaktit dan desiran angin yang menyusup dari celah-celah batu. Di kedalaman ruang rahasia itu, dua sosok duduk bersilang kaki di hadapan satu sama lain, hanya diterangi cahaya obor yang samar.

Jagatmarma, dengan topi caping khasnya yang diletakkan di samping, menunduk menatap tanah. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menyimpan keraguan. Sementara Jagat Arunika berdiri di depan, berbalut jubah hitam dengan lambang dua ular merah melingkar di dadanya. Sorot matanya tajam, seolah menembus jauh ke dalam masa lalu.

Jagat Arunika membuka pembicaraan dengan suara datar namun sarat luka:"Sepertinya jatidirmu akan segera terbongkar, Kakanda..."

Jagatmarma mengangkat pandangannya, angin lembut dari gua meniup rambutnya yang sedikit beruban. Ia tersenyum getir."Ya… aku lupa kalau Ratu Kirana Anindita memiliki khodam Apsari Manikmaya. Cermin kabutnya... tak bisa dibohongi. Semua ilusi, semua samaran, semua... ingatan yang kusimpan rapi... hancur di hadapannya."

Hening sejenak.

Jagat Arunika melangkah lebih dekat, nada suaranya kini melunak, seperti menuturkan dongeng pahit:"Kau tahu, Kak... Dulu kau menderita karena ditinggal Ayah—Adipati Suranegara—dan Ibuku, Dewi Pramestri, saat usiamu baru 9 tahun. Saat itu aku baru 3 tahun. Kita terpisah..."

Jagatmarma hanya diam. Sorot matanya berubah muram.

"Kau adalah anak dari hubungan ayah ketika masih di Akademi Tirabwana. Ia menghamili seorang gadis petarung—teman seangkatannya—namanya Laraswidya. Tapi karena itu aib bagi keluarga, Kakek kita, Raja Aghnabumi Darmajaya, menutupi semuanya. Setelah kau lahir... ayah dinikahkan dengan ibuku. Tapi... dia tak pernah mencintaimu." Suara Arunika mulai menegang.

"Kau dibuang, Kakanda. Dibesarkan dalam diam walau masih menyandang nama dari Adipati Suranegara, tinggal di sudut kota Tirabwana. Diurus oleh prajurit tua bernama Kirwana, kepercayaan Kakek. Kau hidup sebagai anak yang tak diakui, sementara saat aku berusia 3 tahun dan Kakek Wafat Keluarga kami diasingkan karena Ayah tidak disukai Dewan Istana. Dan yang naik tahta... suami dari Permaisuri Shandrakirana—Darmawijaya."

Jagatmarma menutup mata. Napasnya berat. Tapi ia tetap tenang.

"Aku tahu kau terluka dan dendam. Tapi kau tetap melanjutkan pendidikanmu di Akademi. Walau dihina, dicemooh... kau selalu tersenyum." Suara Arunika mengendur. Ada rasa hormat dan getir dalam nadanya.

Akhirnya, Jagatmarma bicara. Suaranya dalam dan tenang, seperti air yang mengalir dalam gua:"Aku tahu... kau marah setelah mendengar semuanya Delapan tahun lalu. Tapi aku... tidak pernah menyimpan benci. Meski kita berbeda ibu, kau tetap adikku. Aku tak punya siapa-siapa... tapi ketika melihatmu tumbuh... aku punya harapan."

Ia menatap mata adiknya."Ayah tidak menginginkanku. Ibuku... meninggal saat aku kecil. Tapi aku tidak membenci mereka. Hidupku memang jalan sepi. Tapi bukan berarti hatiku harus gelap."

Jagat Arunika mengepalkan tangannya."Mereka sudah mati... ayah dan ibuku juga. Mati Sakit dan menderita dalam pengasingan akibat Dewan Istana! Aryawangsa sudah jatuh, tapi aku belum puas, Kak. Darmawijaya masih hidup—masih duduk di atas tahta yang bukan haknya. Hanya satu kekuatan purba tersisa. Saat kita mendapatkannya... Dinasti Darmawijaya akan hancur. Mandalagiri akan kembali ke tangan garis darah yang sah—darah Suranegara!"

Jagatmarma menunduk. Hatinya berkecamuk. Ia tahu jalan Arunika telah jauh menapaki kegelapan. Kebencian telah menjadi bara dalam darahnya. Tapi…

Saat ia menatap kembali ke wajah adiknya, yang kini penuh tekad dan luka masa silam, ia bertanya-tanya—Mampukah cahaya kecil dalam dirinya menahan badai dendam yang akan datang?

Dalam keheningan gua, hanya suara langkah Arunika menjauh yang terdengar, meninggalkan Jagatmarma duduk seorang diri, ditemani bayangan dan cahaya obor yang mulai mengecil.

“Darah bisa mengikat tubuh. Tapi hanya pilihan yang bisa mengikat jiwa.Satu di antara mereka mulai meragukan jalannya.Satu lagi… telah memeluk kegelapan sepenuhnya.Dan ketika kekuatan terakhir ditemukan,Bayang-bayang dari masa lalu akan menentukan nasib Mandalagiri.”

"Kembali ke Bayu Geni"

Lokasi: Pulau Nelayan, Wilayah Adiyaksa – Halaman Dra'vetha Manor → Markas Guild Bayu Geni, Kota Tirabwana

Mentari pagi menghangatkan pekarangan depan Dra'vetha Manor. Embun laut masih menggantung di dedaunan palem yang melambai perlahan oleh angin pantai. Di halaman yang luas dan rapi, dua sosok pendekar tampak berdiri bersiap di samping kuda-kuda mereka. Jasana Mandira dalam mantel hijau Divisi Raka Lelana tampak tegap dan gagah, sementara Zadran berdiri di sisinya dengan pedang ramping tergantung di pinggang.

Cathrine dan Lutfayana berdiri di beranda bersama dua anak mereka—Reviendra dan bayi Ishvara yang digendong Nyai Lutfayana dengan lembut.Reviendra kecil berlari-lari kecil di dekat ibunya, lalu melambaikan tangan kecilnya."Ayah hati-hati!" serunya dengan tawa ceria.

Jasana tersenyum, membungkuk menyamakan tinggi, dan mengecup kening putranya. Ia menatap Cathrine—matanya menyiratkan kelembutan, lalu menatap Lutfayana dan si kecil Ishvara dalam gendongan."Jagalah rumah ini. Aku akan kembali secepatnya."

Lutfayana mengangguk anggun, jubah beludrunya berkibar pelan."Kami akan menantimu, Sayang..."

Sementara itu, Zadran menunduk penuh hormat kepada kedua istri Jasana dan pelayan utama mereka, Morzhan dan Velyra."Saya berpamitan, Nyonya."

Morzhan memberi anggukan tegas."Bawalah kehormatan rumah ini ke mana pun kau pergi, Zadran."

Pelayan menuntun kuda, perlengkapan telah siap. Suara derap perlahan menggantikan bisikan angin saat Jasana dan Zadran mulai berkuda meninggalkan manor, meninggalkan jejak ringan di tanah lembut halaman—menuju perjalanan panjang kembali ke Tirabwana.

TRANSISI: Beberapa hari kemudian – Kota Tirabwana

Markas Guild Bayu Geni – Halaman Utama

Langit cerah menyambut pagi. Bendera Guild Bayu Geni berkibar anggun di puncak menara, melambai-lambai menyambut para pendekar yang kembali dari masa libur panjang. Halaman guild yang luas kembali hidup, dipenuhi tawa dan suara langkah para anggota yang berdatangan dari segala penjuru Mandalagiri.

Jasana dan Zadran turun dari kuda mereka di gerbang depan. Para penjaga memberi hormat, sementara pelayan guild segera menjemput perlengkapan mereka. Jasana menoleh pada Zadran dan tersenyum."Kita kembali sebagai sesama pendekar, bukan tuan dan pelayan. Di sini, kau tetap Zadran, anggota Raka Lelana. Anggap aku kaptenmu seperti biasa."

Zadran mengangguk tegas."Perintah diterima, Kapten Jasana."

Tak lama, suara tawa terdengar dari sisi lain halaman.

"Wah! Lihat siapa yang akhirnya muncul juga!"Bagas Prayoga dengan tubuh tambunnya datang sambil menggamit Kirta. Kirta yang ceria melambaikan tangan."Akhirnya kembali juga, Kapten! Siap disuruh keliling hutan lagi!"

Jasana menyambut mereka dengan pelukan ringan dan tawa."Sudah cukup liburannya? Aku punya firasat Divisi Raka Lelana takkan diberi waktu santai lama-lama."

Bagas tertawa."Kalau perlu, biar aku jadi tukang masak ekspedisi selanjutnya!"

Mereka bercanda sebentar sebelum kembali ke jalur masing-masing.

Zadran, Bagas, dan Kirta berjalan bersama menuju asrama pria. Sementara itu, Jasana melangkah tenang menuju Ruang utama Divisi Raka Lelana. Beberapa staff telah menunggu di pintu masuk.

"Selamat datang kembali, Kapten," ucap mereka serempak, memberi hormat.

Peti-peti barang, koper, dan gulungan perlengkapan pribadi dibawa masuk ke ruang kerja Kapten Raka Lelana. Sebuah ruangan besar berisi peta, senjata, artefak, Dokumen dan terdapat Kamar tidur Pribadi Kapten. Jasana berdiri sejenak di tengah ruangan, menghirup udara dalam-dalam, lalu menepuk pundaknya sendiri pelan.

"Baik. Saatnya bekerja kembali."

“Setelah satu bulan penuh masa tenang, Guild Bayu Geni kembali berdetak.Para pendekar telah kembali dari liburan—dengan hati yang lebih kuat, dan tekad yang diperbarui.Namun di balik dinding batu dan tawa yang kembali terdengar…Angin perubahan telah berhembus ke jantung guild.Misi, siasat, dan takdir kembali menanti.Dan Mandalagiri… belum selesai dengan rahasianya.”

“Tanda dari Selatan — Ekspedisi Baru Dimulai”

Lokasi: Ruang Khusus Divisi Raka Lelana – Markas Guild Bayu Geni, Pagi Hari

Mentari pagi menerobos jendela kaca patri ruang utama Divisi Raka Lelana, menebarkan semburat cahaya hangat ke atas peta-peta dunia yang tergantung di dinding batu. Di tengah ruangan, meja bulat besar dikelilingi dua puluh anggota aktif Divisi Raka Lelana, duduk dengan postur siaga dan wajah serius.

Kapten Jasana Mandira berdiri di ujung meja, mantel hijau pekatnya berkibar lembut, tangan kirinya menekuk di belakang pinggang sementara tangan kanannya menunjuk ke peta besar yang dibentangkan. Suaranya tegas, namun tenang.

"Mulai hari ini, kita resmi kembali aktif. Misi pertama telah tiba."

Ia menatap ke arah tiga pendekar yang duduk berseberangan: Sundra Mahendra, Nandika Sutasmi, dan Nenden Ayu Jalaksana. Tiga nama yang telah dipercaya dalam misi pemantauan yang tak biasa.

"Sundra, kau akan memimpin misi ini. Kau dan dua rekan lain akan menuju Desa Daranapati di pesisir selatan. Tugas kalian: memantau pergerakan Lodra Wahana dan Swandari Pramesti. Ada indikasi kuat mereka kembali aktif, dan serangkaian kehilangan artefak di wilayah selatan mungkin berkaitan dengan mereka."

Peta Mandalagiri Selatan ditusuk pin merah oleh jari Jasana.

"Misi ini tingkat B. Tidak ada konfrontasi kecuali terpaksa. Prioritas kita adalah informasi dan identifikasi gerakan Bayawira Selatan yang tersisa. Laporan harus dikirim lewat alat komunikasi sihir setiap dua hari. Kode darurat jika terjadi bahaya tetap seperti biasa: Dua kali bunyi Gemuruh Hijau."

Sundra mengangguk. Wajahnya tetap tenang meski tampak lelah seperti biasa. Ia berdiri dan menghormat.

"Dimengerti, Kapten. Kami akan berangkat segera."

Nandika—dengan rambut diikat rapat dan tombak tergantung di punggung—tersenyum tipis. Di sisinya, Nenden Ayu mengangguk dengan mantap, senyumnya tetap manis namun matanya menyiratkan kesiapan bertarung.

TRANSISI KE HALAMAN GUILD – PAGI HARI YANG SAMA

Tiga kuda gagah telah dipersiapkan di pelataran Guild. Peti logistik, kantong air, peta, gulungan sihir, dan obat-obatan telah disusun rapi di sisi pelana oleh para staff administrasi. Beberapa pendekar lainnya mengamati dari kejauhan, menaruh hormat pada misi pertama setelah libur panjang.

Sundra, Nandika, dan Nenden melangkah keluar dari gedung Divisi. Mantel Raka Lelana berkibar anggun. Mereka menaiki kuda masing-masing. Nandika menarik napas dalam-dalam, lalu berseru ringan ke arah Nenden.

“Siap untuk jalan-jalan ke Selatan lagi, adikku?”

Nenden tertawa kecil.

“Selama ada tombak, aku siap.”

Sundra menaikkan tombaknya, Langkara, dan menatap langit.

“Ayo. Sebelum bayangan kita tertinggal oleh matahari.”

Dan ketiganya pun melesat meninggalkan halaman guild, menuju Mandalagiri Selatan dan misteri Daranapati.

KEMBALI KE RUANGAN RAKA LELANA – SESUDAH PEMBERANGKATAN

Setelah pengumuman misi utama, Jasana melanjutkan arahkan tatapannya pada dua nama lain.

“Zadran. Kirta. Kalian ditugaskan ke wilayah tenggara, ke kaki Gunung Tapal Trita. Beberapa desa melaporkan gangguan di sana—suara gemuruh aneh, tanaman membusuk, dan penduduk yang hilang. Jangan anggap remeh. Wilayah itu rawan retakan energi spiritual.”

Kirta langsung berdiri, menyilangkan lengan sambil tersenyum percaya diri.

“Sudah lama tak mencium bau belerang dan petualangan.”

Zadran, dengan ekspresi lesu khasnya, mengangguk.

“Aku siap. Sepertinya tombak dan panah akan lebih berguna dari pada obrolan pagi ini.”

Semua yang ada di ruangan tertawa ringan. Jasana memberi mereka dua gulungan logistik dan akses ke alat komunikasi sihir.

“Kalian berangkat sore ini. Siapkan segala perlengkapan sebelum tengah hari.”

RUANG GUILD — SEGERA SETELAHNYA

Para anggota lain pun mulai bubar. Ada yang menuju papan misi umum yang dipenuhi gulungan tugas dari divisi lain—pengawalan, investigasi, pembasmian monster lokal. Sebagian memilih ke ruang latihan atau langsung beristirahat, karena baru saja kembali dari perjalanan libur panjang.

Divisi Raka Lelana hidup kembali. Tugas kembali mengalir. Dan dunia luar kembali menantang untuk dijelajahi.

PENUTUP NARATIF:

"Mandalagiri tak pernah benar-benar tidur.Sementara langit di atas Tirabwana cerah, bayangan di selatan mulai bergerak.Sundra, Nandika, dan Nenden membawa harapan untuk jawaban,sementara Zadran dan Kirta menapaki jejak di tanah yang mendidih oleh misteri.Guild Bayu Geni tak lagi berlibur—dan roda nasib pun berputar kembali."

“Bayangan di Daranapati” — Hari Pertama Misi, Hutan Gantarawati, Malam Hari

Langit malam membentang gelap pekat di atas Hutan Gantarawati. Suara dedaunan yang bergoyang ditiup angin malam dan sesekali lolongan hewan hutan menjadi latar alami perjalanan panjang menuju pesisir selatan Mandalagiri. Di antara pepohonan besar dan akar raksasa yang menjuntai seperti tali naga, seberkas cahaya hangat tampak memancar dari sebuah titik kecil—api unggun di kaki dua tenda.

Tenda pertama berukuran kecil, cukup untuk satu orang, berdiri rapi tak jauh dari nyala api. Sementara tenda kedua sedikit lebih besar, diperuntukkan bagi dua pendekar perempuan dari Tanah Selampa. Sundra Mahendra berdiri sambil membersihkan ujung tombaknya Langkara, matanya memantau sekeliling meski tubuhnya sudah lelah.

Tak jauh darinya, Nandika tengah mengaduk rebusan rimpang dan daging kering dalam panci kecil yang digantungkan di atas api unggun. Di sampingnya, Nenden Ayu mengatur perbekalan sambil sesekali menguap kecil.

Setelah semuanya siap, mereka bertiga duduk mengelilingi api, menyantap makanan malam dalam kehangatan yang sederhana.

Sundra (sambil meniup uap dari mangkuknya):

“Kita sudah melewati setengah perjalanan. Kalau tidak ada rintangan, besok sore sudah bisa menuruni lereng terakhir menuju wilayah pesisir.”

Nandika (menyesap pelan, lalu mendongak):

“Dua minggu terakhir... ada empat kuil yang dilaporkan kehilangan artefak. Tiga di antaranya terletak di jalur perdagangan pesisir selatan. Dan yang terakhir, di puncak bukit Batu Nagasari, tak jauh dari Daranapati.”

Nenden (pelan, dengan dahi berkerut):

“Kebetulan yang terlalu rapi, Kak. Semua kuil itu menyimpan barang-barang suci yang jarang diketahui orang luar.”

Sundra (mengangguk pelan):

“Dan semua petunjuk terakhir berakhir di satu nama... Lodra Wahana. Mantan Kapten kita. Kini wakil Bayawira Selatan.”

Angin malam menyusup pelan ke sela-sela tenda dan pepohonan. Api unggun berkerlap-kerlip, bayangannya menari di wajah-wajah mereka.

Nandika (mengatupkan rahang):

“Aku pernah melihat cara bertarung Lodra... dan aku takkan lupa tatapan matanya saat pertempuran di Benteng Watu Geni. Penuh siasat dan... tanpa keraguan. Tapi apakah benar dia yang mencuri artefak? Untuk apa?”

Nenden (memeluk lutut, suara lirih):

“Mungkin untuk membangkitkan sesuatu? Kekuatan kuno? Atau... hanya sekadar untuk memperkuat barisan Bayawira Selatan yang tersisa?”

Sundra (menatap api, dalam):

“Atau mungkin... mereka hanya pion dari sesuatu yang lebih besar. Resi Wighna Laksa sudah tiada. Tapi Swandari Pramesti... masih belum tertangkap. Dan jika mereka kembali bergerak, kita bisa menghadapi sesuatu yang lebih buruk dari sekadar pencurian.”

Sejenak, ketiganya terdiam. Hanya suara api dan angin yang bicara.

Nandika (menengadah menatap langit malam):

“Daranapati mungkin cuma permulaan. Tapi kita harus tahu. Kebenaran harus diungkap.”

Sundra (berdiri, tubuhnya tegap meski bayang lelah masih terpahat di wajahnya):

“Kita selesaikan makan, lalu beristirahat. Besok perjalanan dilanjutkan saat fajar. Di Daranapati... kita tak boleh lengah.”

TRANSISI — KEMUDIAN

Tenda kecil Sundra sudah redup, hanya diterangi satu batu cahaya kecil di ujung dalamnya. Di tenda besar, Nandika dan Nenden telah terlelap, perlengkapan mereka disusun rapi di sisi kepala. Hutan Gantarawati pun terlelap dalam keheningan, hanya sesekali diiringi suara burung malam atau desiran angin yang menyapu semak.

Di atas pohon tinggi, sesosok elang brontok khodam Sundra mengamati dari kejauhan—sayapnya terbentang dalam bisu, mata tajamnya menatap arah selatan.

“Bayangan gelap belum menampakkan wajahnya,Tapi langkah-langkah menuju rahasia sudah dimulai.Esok, tiga pendekar akan menapaki tanah yang menanti jawaban.Dan di ujung Daranapati...Sesuatu telah bangkit dari bayang-bayang.”

“Menuju Daranapati — Hari Kedua, Kalabumi & Desa Sanggamandala”

Mentari pagi menyorot lembut dari balik pegunungan saat Sundra, Nandika, dan Nenden kembali melanjutkan perjalanan mereka. Kuda-kuda mereka melangkah mantap menyusuri jalur selatan Mandalagiri, menyusup melewati padang rumput dan pohon-pohon pinus kecil yang tumbuh liar. Sekitar tengah hari, mereka sampai di sebuah desa yang masih tampak dalam suasana pemulihan: Desa Kalabumi.

Batu-batu runtuhan dan bangunan yang setengah selesai menyisakan luka masa lalu. Beberapa penduduk tampak tengah bekerja memperbaiki tembok rumah atau membersihkan sisa reruntuhan kuil kecil. Namun semangat itu nyata—kalabumi perlahan bangkit kembali.

Di tengah desa, berdiri sebuah monumen batu berukir—Tugu Ingatan Kalabumi, tempat para korban tragedi penyerangan Bayawira dimakamkan secara massal. Jasana, sang kapten mereka, berasal dari sini. Dan di sinilah, ia kehilangan kedua orangtuanya.

Sundra, Nandika, dan Nenden turun dari kudanya, berdiri diam di depan monumen. Ketiganya menunduk, memberi doa dan penghormatan.

Sundra (lirih, penuh hormat):

“Semoga damai menyertai roh mereka. Dan semoga keturunan Kalabumi kembali tumbuh kuat.”

Nenden (suara pelan, matanya menatap nama-nama yang terukir):

“Tempat ini... terasa berat. Tapi juga kuat. Aku mengerti sekarang kenapa Kapten Jasana seperti baja.”

Nandika (menatap kosong sejenak):

“Dia kehilangan banyak, tapi tidak membalas dengan kebencian. Tak semua orang bisa begitu.”

Setelah satu jam beristirahat dan memberi penghormatan, mereka pamit pada para tetua desa Kalabumi. Matahari mulai menurun saat mereka melanjutkan perjalanan menuju pesisir.

SENJA — Desa Sanggamandala, Gerbang Pesisir Selatan

Langit berubah jingga saat mereka akhirnya tiba di Desa Sanggamandala, sebuah desa yang berada di jalur pesisir selatan terakhir sebelum mencapai Daranapati. Terkenal akan penginapan para pelaut dan pedagang, desa ini cukup ramai dan terasa hidup meski terletak jauh dari pusat kota.

Mereka memasuki sebuah penginapan yang cukup besar dan bersih bernama “Balairung Samodra.” Di dalamnya, para pelayan ramah menyambut mereka dan segera menyajikan makan malam berupa nasi rempah, ikan bakar saus kelapa, serta teh rempah hangat.

Ketiganya duduk di meja kayu bundar di dekat jendela, menikmati suasana yang nyaman.

Nenden (sambil memotong ikan di piringnya):

“Desa Kalabumi tadi... aku masih belum bisa lupa. Ternyata rasa kehilangan bisa meninggalkan jejak kuat dalam diri seseorang.”

Sundra (mengangguk perlahan):

“Tapi Kapten Jasana tak membiarkan luka itu menjadi bara dendam. Dia tetap berdiri, tetap tersenyum pada anggotanya. Tak banyak orang bisa melakukannya.”

Nandika (sambil menyeruput teh hangatnya, matanya menatap keluar jendela):

“Ia bisa saja membalas dendam pada Bayawira dengan kekejaman. Tapi yang ia lakukan malah memperkuat Guild Bayu Geni. Menyatukan kita. Itu pemimpin sejati.”

Nenden (tersenyum kecil):

“Semoga suatu hari aku bisa sekuat dia.”

Sundra (menaruh sendoknya, suara mantap):

“Kita semua bisa. Karena kita berjalan di jalan yang sama. Dengan tujuan yang sama. Melindungi.”

Setelah makan malam selesai, mereka memesan kamar.

Sundra mendapat 1 kamar kecil di lantai dua dengan jendela menghadap ke arah dermaga.

Nandika dan Nenden berbagi kamar besar dengan dua ranjang masing-masing, di lantai pertama.

Mereka bergantian membersihkan diri di kamar mandi umum di dalam penginapan, mengganti pakaian bersih, dan bersiap untuk bermalam. Suara laut mulai terdengar dari kejauhan, menandakan bahwa pesisir sudah semakin dekat.

Narator :

"Hari kedua usai,jejak mereka semakin dekat ke titik kebenaran.Di Daranapati, jawaban menunggu dalam bayang.Dan malam ini, para pendekar beristirahat sejenak—sebelum esok datang membawa cahaya... atau kegelapan.”

Hari Ketiga — “Daranapati, Jejak Artefak yang Hilang”

Pagi hari di Desa Sanggamandala. Kabut tipis masih menggantung rendah saat tiga pendekar dari Guild Bayu Geni menyantap sarapan mereka di penginapan Balairung Samodra. Makanan sederhana berupa bubur ikan rempah, telur asin, dan teh pahit menjadi bekal tenaga mereka sebelum kembali ke jalan.

Setelah selesai makan dan membayar penginapan, Sundra, Nandika, dan Nenden menaiki kuda dan bergerak ke arah timur menyusuri jalur pesisir. Ombak laut selatan menghantam karang dari kejauhan, sementara aroma asin angin laut bercampur debu jalan.

Siang Hari — Desa Daranapati

Sekitar tengah hari, ketiganya akhirnya tiba di Desa Daranapati, desa pesisir yang dikenal tenang dan penuh kebijaksanaan, namun akhir-akhir ini namanya dikaitkan dengan peristiwa kehilangan artefak suci.

Begitu masuk ke gerbang desa, mereka langsung menuju tempat penitipan kuda yang dijaga oleh seorang pemuda lokal. Kuda-kuda ditinggal untuk perawatan dan pengamanan.

Setelah berjalan kaki melintasi jalan utama desa yang dikelilingi rumah-rumah kayu beratap daun sagu, mereka akhirnya sampai di balai desa. Bangunan utama dari kayu kelapa dan dinding anyaman bambu, tampak sederhana namun terawat.

Di dalamnya, mereka disambut oleh kepala desa: Raga Wiradhana. Seorang pria sekitar 32 tahun, mengenakan pakaian pendekar desa dengan golok besar tergantung di punggung. Tubuhnya tegap, wajahnya bersih dengan mata waspada namun ramah.

Raga (sambil menyalami Sundra dan rombongan):

“Selamat datang di Daranapati. Kami sudah menerima surat dari Guild Bayu Geni. Terima kasih telah datang.”

Sundra (dengan senyum sopan):

“Kami datang untuk menyelidiki kasus artefak yang hilang. Bisakah Anda menjelaskan lebih rinci?”

Raga lalu mengajak mereka duduk di dalam ruang tamu balai desa yang sejuk dan sederhana. Ia membuka gulungan kain yang berisi catatan insiden.

Raga:

“Dalam dua minggu terakhir, empat artefak suci dilaporkan hilang. Tiga di antaranya berasal dari kuil-kuil di jalur perdagangan pesisir selatan:

Arca Sagara Banyu,

Tongkat Taksaka,

Cermin Brahmanda.

Dan satu lagi, Batu Matahari Nagasari, berasal dari kuil di puncak Bukit Batu Nagasari, tak jauh dari desa ini. Semua lenyap tanpa jejak. Jejak terakhir para pelaku... mengarah ke desa kami.”

Nandika (mencondongkan tubuh):

“Ada saksi mata atau ciri khusus dari pencuri?”

Raga:

“Sayangnya, tidak ada yang melihat langsung. Tapi... dua minggu terakhir, banyak warga melapor melihat dua orang asing. Mereka tinggal di rumah sewaan, mengaku sebagai pasangan suami istri.”

Nenden:

“Orang luar?”

Raga mengangguk pelan.

“Mereka sopan, sering membantu warga. Tapi sejak artefak mulai hilang, gelagat mereka berubah. Pernah tertangkap mata berkumpul dengan sekelompok orang di hutan kecil utara desa—tengah malam. Tapi karena tak ada bukti, dan mereka tak pernah membuat keributan… kami tak bisa menuduh sembarangan.”

Sundra kemudian memejamkan mata, mengaktifkan Khodam Elang Brontok. Aura alam terangkat ringan dari tubuhnya, dan dari kejauhan langit terdengar desir sayap kuat. Di matanya yang terbuka kembali, cahaya samar menandakan ia tengah melihat melalui mata khodamnya.

Sundra:

“Saya akan pantau pergerakan langit malam ini. Dan kami akan awasi pasangan itu. Jika mereka memang pelakunya, pasti ada jejak yang bisa kami tangkap.”

Raga:

“Kalian boleh beristirahat dulu di balai desa ini. Kami akan bantu semampunya.”

Narator :

Matahari bergeser menuju barat. Di bawah ketenangan desa pesisir ini, bayangan masa lalu dan langkah kaki mencurigakan mulai bergulir.

Malam ini, akan jadi penentu. Daranapati… menyimpan rahasia dalam bisunya angin laut.

Malam Hari — “Bayang Pasangan Misterius di Hutan Utara”

Langit Desa Daranapati menggelap sepenuhnya. Angin malam menyapu dedaunan hutan kecil di utara desa, membuat bayang-bayang pepohonan meliuk seperti roh kuno yang menari dalam bisikan rahasia.

Di balik semak rimbun di lereng kecil yang menghadap ke celah hutan, Sundra Mahendra, Nandika Sutasmi, dan Nenden Ayu Jalaksana berjongkok tenang. Wajah mereka diselimuti keseriusan. Di atas langit, seekor elang brontok khodam milik Sundra melayang tinggi, namun matanya menembus gelap, terhubung langsung ke kesadaran tuannya.

Sundra (pelan, mata setengah tertutup):

“Ada sepuluh orang… berkumpul di tengah celah hutan. Fokus pada dua orang di tengah, mereka sedang berbicara.”

Dengan kesadaran terhubung ke khodamnya, pandangan mata Sundra memperlihatkan pemandangan dari atas. Dua sosok berdiri mencolok di tengah kelompok:

Seorang pria tegap, mengenakan mantel gelap dengan simbol naga merah samar di kerahnya. Rambut hitam panjang diikat ke belakang.

Seorang wanita anggun bersenjata dua belati melengkung, mengenakan selendang merah dan mantel hitam dengan pola angin tersembunyi.

Nandika (berbisik, dari balik semak):

“Itu... bukan wajah asing.”

Nenden (berbisik tegang):

“Mereka... pasangan itu! Tapi mereka bukan suami-istri biasa…”

Sundra menegaskan:

“Benar. Mereka adalah Rawikara Praba dan Nayati Kirana… mantan Anggota Guild Bayu Geni di Divisi Raka Lelana. Mereka pernah jadi tangan kanan Lodra Wahana, dan salah satu Loyalis Lodra Wahana di Guild Bayu Geni Kala itu.”

Cuplikan Percakapan dari Tengah Perkumpulan (Via Mata Khodam Elang)

Rawikara Praba (dengan nada tegas):

“Empat artefak sudah dalam penguasaan. Sesuai rencana, besok malam kafilah dari bangsawan Lelapranata akan datang melalui jalur pesisir timur. Artefak akan kita jual sebelum pasukan kerajaan mencium pergerakan.”

Nayati Kirana:

“Lodra Wahana mempercayakan kita menjaga keamanan transaksi ini. Jika berjalan lancar, jalur pesisir selatan akan kita kuasai sebagai jalur pasar hitam baru.”

Salah satu anak buah mereka bertanya ragu:

“Tapi... jika Guild Bayu Geni tahu…”

Rawikara:

“Kita tak meninggalkan jejak. Dan kalau pun mereka tahu… tak akan cukup cepat untuk menghentikan kita.”

Kembali ke Posisi Pemantauan

Nandika mengepalkan tangannya, wajahnya tegang.

“Berani sekali mereka… menjual warisan suci lewat tangan para bangsawan kotor itu.”

Nenden (pelan, tapi penuh keyakinan):

“Kita harus tahu di mana artefak itu disimpan.”

Sundra mengangguk perlahan, lalu memberi aba-aba tangan.

“Kita tak boleh bertindak sekarang. Kita ikuti mereka secara diam-diam… sampai tahu di mana artefak itu disembunyikan. Setelah itu, kita bisa bertindak — dan mengungkap siapa bangsawan yang terlibat.”

Ia kemudian menutup matanya sejenak, menyatu dengan elangnya, lalu membuka kembali dengan tenang.

“Mereka akan segera bubar. Rawikara dan Nayati akan kembali ke tempat persembunyian mereka. Aku akan ikuti dari atas, kalian dari darat. Jangan kehilangan jejak.”

Pergeseran ke Wilayah Penyimpanan

Beberapa menit kemudian, setelah kelompok itu bubar menyebar dalam kelompok kecil, dua sosok — Rawikara dan Nayati — berjalan menyusuri jalur tersembunyi di balik semak dan akar pepohonan.

Sundra melompat ringan dari batu ke pohon kecil, memimpin dari atas. Di belakangnya, Nandika dan Nenden bergerak gesit di bawah naungan gelap. Nafas mereka tenang, kaki-kaki mereka seolah sudah dilatih untuk tidak menyentuh dahan rapuh ataupun daun kering.

Mereka mengikuti dari kejauhan, hingga akhirnya…

Di ujung hutan kecil, berdiri sebuah gubuk tua, hampir tertutup tanaman liar dan semak tinggi. Bangunannya reyot, tapi terlihat kuat. Dua penjaga bersenjata ringan terlihat berjaga di sekitar pintu.

Sundra memberi isyarat tangan: berhenti dan amati.

Narator :

Langkah para penyelundup telah terpantau. Rahasia telah mulai terkuak. Tapi teka-teki terbesar belum tiba: siapa bangsawan yang akan datang malam esok… dan apakah benar hanya empat artefak yang akan diperdagangkan?

Di balik sunyinya gubuk tua, sejarah suci Mandalagiri menanti untuk diselamatkan… atau dicuri selamanya.

Malam Hari — “Kembalinya Sang Penjaga Api”

Lokasi: Ruang Kerja Pangeran Mahkota Maheswara, Istana Tirabwana

Udara malam di Istana Tirabwana terasa tenang namun berat. Obor-obor batu giok menyala lembut di sepanjang koridor, menggambarkan bayangan-bayangan panjang di dinding ukiran kerajaan. Di balik pintu kayu jati bercorak emas naga, terdapat sebuah ruang kerja megah—tenang, sunyi, namun sarat makna.

Pangeran Mahkota Maheswara berdiri di dekat jendela terbuka, memandang jauh ke arah taman kerajaan yang diterangi cahaya bulan. Ketika langkah berat namun tenang terdengar dari lorong, ia berbalik.

Raksadana melangkah masuk. Sosoknya menjulang, rambut putih sebahu bergoyang tertiup angin malam. Di punggungnya tersandang Jatiwisesa, pedang merah tua yang masih bersinar meski tak tertarik dari sarungnya. Matanya tajam, namun malam ini tampak lebih tenang… seolah pertapa yang kembali dari gua sunyi.

Maheswara (tersenyum tipis):

“Sudah lama… Raksadana.”

Raksadana (menunduk dalam salam hormat):

“Dan akhirnya aku kembali... setelah menerima suratmu.”

Maheswara berjalan mendekat. Tatapannya jujur, tanpa topeng.

“Aku ingin kau tahu… surat itu bukan sekadar permintaan bantuan. Tapi juga… permohonan maaf. Lebih dari setahun lalu, saat aku memaksakan aturan-aturan kaku kepada Guild Bayu Geni, aku telah menyakitimu. Dan aku menyesalinya.”

Raksadana terdiam sejenak. Angin malam masuk melalui kisi jendela. Ia menatap Maheswara dalam.

“Waktu itu… aku pikir kau telah menjadi boneka Aryawangsa dan Dewan Istana. Tapi sekarang aku paham. Kau terpaksa. Kau muda, baru diangkat menggantikan Aryasatya. Mereka ingin mengendalikanmu — dan Guild Bayu Geni adalah alat yang mereka takuti.”

Maheswara menunduk dalam-dalam.

“Dan kau menolak jadi alat mereka… karena itu kita berselisih. Tapi sejak saat itu, aku bergerak. Perlahan, satu per satu pengaruh mereka disingkirkan dari istana. Termasuk Seluruh Bukti Kejahatan Aryawangsa Kertadarma yang sudah ditemukan beberapa minggu lalu dan menjatuhkannya.”

Ia menatap lurus pada Raksadana.

“Sekarang… aku membutuhkanmu. Sebulan lagi aku akan naik takhta menggantikan ayahanda. Dan aku tak ingin Dewan Istana kembali diisi oleh mereka yang hanya tahu mengabdi pada kekuasaan. Aku ingin kau memimpinnya.”

Raksadana mengangkat kepalanya, sedikit terkejut.

“Dewan Istana?”

Maheswara mengangguk mantap.

“Kursi Ketua Dewan Istana kosong. Aku ingin kau isi. Dan kau bebas menyusun ulang strukturnya. Bangsawan, rakyat biasa, siapa pun… asal cerdas, bersih, dan punya nyali.”

Raksadana menghela napas panjang, lalu tersenyum pelan—senyum yang sangat jarang terlihat.

“Kau benar-benar berubah, Maheswara… bukan lagi pemuda yang dulu kubantah di aula guild.”

“Baiklah. Aku terima tugas itu. Tapi ingat… aku tidak akan membiarkan dewan ini kembali jadi bayang-bayang kekuasaan.”

Maheswara tersenyum lebih lebar.

“Justru itu sebabnya aku memilihmu. Mandalagiri akan berubah… di bawah api keberanian dan kebenaran.”

Mereka berdua saling menatap — dua generasi pejuang, dua ujung sejarah yang kini bersatu. Di balik keduanya, bayangan Garundhala, burung api raksasa, mengepakkan sayap perlahan… seolah merestui kebangkitan baru negeri ini. Dan di balik punggung Maheswara, samar-samar aura Bayulodra dan Sambara Geni berpendar dalam bisu — menyatu dalam takdir sang calon raja.

Mandalagiri tengah menghela napas perubahan. Dan malam itu, dua api lama dan baru menyatu untuk mengawal masa depan.

“Jejak Asap di Tapal Trita” – Malam Hari, Wilayah Tenggara Mandalagiri

Lokasi: Lereng bawah Gunung Tapal Trita

Kabut pekat menyelimuti kaki Gunung Tapal Trita. Udara di sekitarnya berat, mengandung aroma hangus dan busuk yang menusuk hidung. Kirta Wangsaputra dan Zadran, dua pendekar muda dari Divisi Raka Lelana, berdiri di tepi jalur pendakian tua yang dipenuhi semak menghitam dan pohon-pohon yang layu meski musim belum berubah.

Kirta berjongkok, mengusap daun busuk yang berubah warna menjadi keunguan gelap.

“Tanaman-tanaman di sini… seperti kehisap energinya dari dalam tanah.”

Zadran, berdiri tak jauh di belakang, memperhatikan tanah retak dan gumpalan asap tipis yang merembes dari celah-celah batu.

“Dan suara itu. Sejak dua jam lalu terus terdengar.”

Di kejauhan terdengar suara gemuruh rendah, seperti raungan binatang namun bercampur desis, seolah bumi sedang memuntahkan sesuatu dari kedalaman. Gemetar halus terasa di telapak kaki mereka.

Kirta memejamkan mata dan menyalurkan energi dalam ke khodamnya — Sente Coklat — seketika aura khodam berbentuk tanaman besar dengan siluet daun hitam mencuat dari tanah, membentuk jejaring yang merambat ke bawah permukaan.

“Ada yang bergerak di bawah sana… makhluk besar. Tapi bukan hewan. Auranya seperti… pecahan jiwa yang terbelah.”

Zadran menghunus pedang peraknya, postur tubuhnya menegang.

“Aku tidak suka suara ini. Seolah ada yang mengeram menunggu.”

Beberapa menit kemudian—dari balik lereng berbatu, muncul makhluk aneh. Tubuhnya besar, namun tampak tidak utuh. Kulitnya seperti campuran tanah hangus dan kabut hitam yang menggumpal, dengan mata merah menyala seperti bara. Kakinya tak menapak, melainkan melayang, mengalir seperti kabut gelap beracun. Makhluk itu disebut dalam naskah-naskah tua: "Woragan", hasil dari retakan energi spiritual tanah yang terbuka terlalu lama tanpa penjinakan. Ia terbentuk dari energi trauma dan kematian—mungkin dari para penduduk yang hilang.

Zadran berbisik pelan:

“Itu… bukan sekadar monster. Itu adalah energi yang menyerap jiwa orang yang hilang. Lihat di dadanya.”

Di tengah dada makhluk itu, terlihat bekas wajah-wajah samar manusia, membentuk pola spiral — wajah-wajah penduduk desa yang hilang.

Kirta segera menarik Panarasa, menyiapkan panah energi yang ditanamkan dengan kekuatan tanah murni.

“Kalau kita serang langsung, bisa membahayakan jiwa-jiwa yang terjebak di dalamnya. Kita harus pecahkannya secara bertahap.”

Zadran mengangguk.

“Aku akan ganggu pergerakannya. Kau fokus pada titik retakan energi di bawah tanahnya.”

Zadran melesat dengan cepat menggunakan gaya bertarung tangan kiri unik miliknya. Ia menebas gerakan makhluk itu dari sisi kiri, menciptakan celah. Kirta memusatkan energi dan menembakkan panah khusus “Rasa Bhuwana”, panah yang bisa memanggil energi alam di bawah tanah untuk menyerap dan menstabilkan gejolak spiritual.

Makhluk itu meraung keras, kabutnya tersibak, dan beberapa wajah mulai memudar dari tubuhnya — jiwa-jiwa itu terlepas perlahan.

Namun, serangan mereka belum cukup. Makhluk itu kini berubah lebih agresif, meledakkan pusaran angin bercampur kabut hitam ke arah Zadran.

Zadran terguncang dan terdorong, tapi dengan satu gerakan balik, ia menancapkan pedangnya ke tanah dan menyalurkan tenaga dalam. Retakan tanah menyala samar, membuat kabut makhluk itu menjadi lebih padat dan lambat — memberi kesempatan Kirta untuk melepaskan panah kedua yang mengikat makhluk itu pada tanah spiritual di sekitarnya.

Akhirnya, Woragan mengeluarkan jeritan panjang, tubuhnya retak seperti kaca hitam, lalu meledak dalam semburan kabut tipis yang menghilang ke langit malam.

Sunyi.

Tanah di sekitar mereka mulai menghangat kembali, dan suara gemuruh menghilang. Hanya tersisa hawa lembab dan tubuh mereka yang berkeringat.

Kirta menunduk, menaruh tangannya ke tanah.

“Tanah di sini… belum sembuh. Tapi untuk sementara, retakannya sudah ditutup.”

Zadran memutar pedangnya ke sarungnya, lalu duduk di batu besar.

“Makhluk dari dalam tanah… Apakah masih banyak seperti itu di Mandalagiri?”

Kirta mengangguk pelan.

“Selama tanah tetap menangis dan tak ada yang mendengar… akan selalu ada yang bangkit.”

Dengan kabut mulai menghilang, dan bintang-bintang terlihat kembali di langit Gunung Tapal Trita.Mereka berdua tahu, ini baru awal dari bahaya yang lebih dalam — dan lebih gelap.

“Retakan di Tanah Sunyi” – Setelah Pertempuran Melawan Woragan

Lokasi: Lereng Bawah Gunung Tapal Trita, Malam Beranjak Tengah Malam

Langit gelap seperti diselimuti jubah kelam. Kabut sisa kehancuran Woragan belum sepenuhnya hilang. Aroma hangus dan tanah basah masih membekas, mengiringi kesunyian pasca pertempuran.

Zadran berdiri dengan napas teratur, pedangnya sudah kembali ke sarungnya. Ia menatap ke arah tanah retak yang masih memancarkan sisa getaran spiritual. Kirta berdiri di sampingnya, tangan masih menyentuh permukaan bumi, mencoba mendengar suara-suara alam melalui khodamnya.

Kirta (pelan):

“Retakan energi spiritual… bukan hanya membuat makhluk seperti itu muncul, tapi juga membuat jiwa-jiwa orang hilang terjebak di antara lapisan alam dan dunia kita.”

Zadran menyipitkan mata, suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran.

“Suara-suara aneh, tanaman busuk, dan penduduk hilang… semuanya berasal dari retakan ini.”

Kirta mengangguk. Aura khodam Sente Coklat bergetar samar di belakang punggungnya, seperti memberi peringatan bahwa retakan itu belum sepenuhnya tertutup. Dan itu hanya salah satu dari kemungkinan banyak titik serupa di sekitar Tapal Trita.

Zadran menarik napas dalam.

“Untuk malam ini, kita tidak bisa lebih jauh. Tenaga dalam kita terkuras. Lebih baik kita kembali ke desa terdekat.”

Kirta menatapnya, ragu sesaat, lalu mengangguk mantap.

“Setuju. Kita atur ulang strategi… dan cari cara untuk menutup retakan ini sepenuhnya besok malam.”

Zadran menoleh ke arah barat daya.

“Kita kembali ke Desa Padewara. Letaknya tidak jauh, dan aku yakin mereka mau membantu.”

Kirta membantu Zadran berdiri lebih tegak dan memapahnya sedikit. Langkah mereka menyusuri jalur menurun yang mulai ditumbuhi kembali oleh tanaman kecil—pertanda bahwa bumi mulai pulih walau perlahan.

Tak lama setelah mereka berjalan, dari kejauhan terlihat cahaya lentera dan obor. Sejumlah warga desa Padewara datang membawa tandu dan peralatan sederhana. Di antara mereka ada tetua desa dan beberapa anak muda berpakaian pendekar kampung.

“Mereka datang…” ucap Kirta dengan nada lega.

Para warga membantu mengangkat tubuh orang-orang yang berhasil mereka selamatkan—orang-orang yang sebelumnya hilang kini ditemukan dalam keadaan lemas, sebagian setengah sadar, namun hidup. Jiwa mereka belum sepenuhnya pulih, tapi bukan lagi milik Woragan.

Zadran menatap ke arah Gunung Tapal Trita yang menjulang angkuh di balik bayangan malam.

“Masih banyak jiwa yang belum bebas… dan masih banyak Woragan yang menahan mereka.”

Kirta menunduk khidmat.

“Dan kita akan membebaskan mereka… satu per satu.”

Obor-obor mulai padam perlahan saat iring-iringan warga dan dua pendekar muda itu berjalan kembali ke desa Padewara. Di belakang mereka, kabut tipis menggantung, dan tanah yang retak masih berdenyut seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Malam yang sunyi di kaki Tapal Trita menyimpan banyak rahasia, dan dua cahaya kecil kini berjalan ke arah harapan.

“Awal dari Arus Baru”

Musim libur panjang telah usai. Di balik gerbang batu perkasa Guild Bayu Geni, kehidupan kembali bergelora. Suara dentang senjata, sorak latihan, dan cahaya khodam yang bangkit satu per satu menandai bahwa para pendekar muda kembali bersiap menghadapi dunia yang belum usai menebar tantangan. Guild ini, warisan api dan angin, kembali berdiri tegak untuk melindungi Mandalagiri.

Namun jauh di selatan, angin membawa kabar lain—Bayawira Selatan kembali aktif. Mereka bangkit dari reruntuhan, dipimpin oleh wajah lama yang kini berbalik arah: Lodra Wahana, mantan kapten Divisi Raka Lelana, dan Swandari Pramesti, bekas pendekar yang pernah mengabdi pada kebaikan. Kini mereka menjelma sebagai sosok bayangan, menyusun kekuatan dalam diam, menyebar pengaruh lewat jalur bawah tanah.

Dan di antara mereka yang kini berdiri di garis depan adalah Sundra Mahendra, bersama Nandika Sutasmi dan Nenden Ayu Jalaksana. Mereka bertiga siap berkonfrontasi. Bukan sekadar melawan musuh lama, tapi menghadapi masa lalu yang kembali menghantui dalam rupa pengkhianatan dan ambisi.

Di tenggara, di kaki Gunung Tapal Trita, Kirta Wangsaputra dan Zadran menghadapi mimpi buruk yang berwujud nyata: anomali Woragan yang meretakkan batas antara dunia fisik dan spiritual. Gangguan yang tak hanya merenggut nyawa, tapi menahan jiwa dalam siksaan gaib yang membusukkan tanah dan meresahkan warga. Sebuah perang yang tak kasat mata, tapi menguji iman dan keberanian.

Sementara itu, di jantung kekuasaan Kerajaan Mandalagiri, istana Tirabwana bersiap membuka babak baru. Sang pangeran mahkota Maheswara akhirnya menepikan beban dendam lama dan mengulurkan tangan pada seorang yang ia segani sekaligus pernah berseberangan: Raksadana. Mantan panglima perang itu, kini kembali bukan sebagai pendekar, tapi sebagai Ketua Dewan Istana, menyongsong era baru bersama sang calon raja—sebuah ikrar bahwa kekuatan dan kebijaksanaan akan bersatu demi negeri.

Langit Mandalagiri tak lagi tenang.Namun api yang menyala di dalam dada para penjaga kebenaran juga belum padam.Dan babak baru pun dimulai...

Scene ditutup.—di bawah langit yang menyimpan rahasia dan takdir.