"Bayang-Bayang Warisan di Balik Tirai Kekuasaan"
Malam turun lembut di atas langit Tirabwana, namun di dalam ruang pribadi istana, ketegangan menyelinap seperti kabut pekat yang tak bisa disingkirkan dengan obor. Di balik dinding berhias ukiran emas dan lukisan para leluhur, Pangeran Mahkota Maheswara duduk berhadapan dengan sang permaisuri, Ratu Kirana Anindita, di ruang pribadi mereka yang kini menjadi tempat bernaung sementara, setelah insiden penculikan yang hampir merenggut segalanya.
Di pelukannya, Puteri Lintang Jayaswari sudah terlelap, wajahnya damai tak tersentuh kegaduhan dunia dewasa.
Kirana menatap suaminya dengan tenang, namun dalam suaranya mengalir ketegasan:
“Aryawangsa bukan dalang utama. Ia hanya bagian dari rencana besar yang disusun oleh seseorang yang jauh lebih berbahaya… seseorang yang seharusnya tak pernah diabaikan oleh sejarah.”
Maheswara mengernyit, tubuhnya menegang.
“Jagatmarma,” lanjut Kirana. “Atau nama aslinya... Aryasena Dirgantara.”
Suasana ruangan mendadak dingin. Maheswara bersandar perlahan, matanya membelalak, menatap kosong ke arah lentera gantung yang bergoyang perlahan.
“Aryasena... putra dari Mendiang Adipati Suranegara?” gumam Maheswara, setengah tak percaya.
Kirana mengangguk pelan, wajahnya menunduk sejenak, sebelum akhirnya menatap mata suaminya lagi.
“Dia kakak kelasku. Juga kakak kelasmu. Kita semua mengenalnya sebagai pendekar cerdas dan pendiam dari Akademi Tirabwana, yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak setelah kelulusannya. Ternyata… dia anak yang tak diakui, buah dari hubungan rahasia Adipati Suranegara dengan Laraswidya.”
Maheswara berdiri, berjalan perlahan menuju jendela besar, menatap ke arah taman istana yang sunyi, lalu berkata dalam suara berat:
“Dan sekarang dia… pemimpin Bayawira Barat. Di balik semua ini, di balik penculikan, dan konspirasi. Kita baru menyentuh permukaan.”
“Lebih dari itu,” jawab Kirana. “Adipati Suranegara, ayahnya… seharusnya naik takhta menggantikan kakekmu, Raja Aghnabumi Darmajaya. Tapi dewan istana, dipimpin oleh Aryawangsa, menyingkirkan Suranegara karena takut pada perubahan yang ia bawa. Bersama istri sahnya, Dewi Pramesti, dan anak kecil mereka… mereka diusir dari pusat kekuasaan. Anaknya waktu itu baru berusia tiga tahun.”
Maheswara memejamkan mata. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Ia menyadari kini, bahwa garis darahnya, garis keturunan Sri Maharaja Darmawijaya, bukan sekadar warisan tahta—melainkan warisan keputusan yang mungkin merampas hak orang lain.
“Anak usia tiga tahun itu... siapa namanya?” tanya Maheswara pelan.
“Indrasuma,” jawab Kirana. “Dia menghilang sejak itu. Tak ada yang tahu apakah masih hidup atau tidak. Tapi... jika benar Aryasena bangkit membawa dendam lama, maka ini bukan lagi hanya soal pemberontakan, tapi soal... tahta yang diklaim telah direbut.”
Hening sejenak.
Lalu Maheswara menarik napas dalam dan menoleh ke Kirana, kini matanya tajam, penuh beban namun juga keteguhan.
“Besok aku akan berbicara pada ayahku, Sri Maharaja Darmawijaya. Dan bersama Raksadana, yang kini menjadi Ketua Dewan Istana, kita akan menata ulang segalanya. Kebenaran harus dihadapi, bukan disembunyikan di balik lambang kerajaan.”
Kirana tersenyum lelah, namun hangat. Ia tahu Maheswara, seperti biasa, akan memilih jalan terberat… jalan yang benar.
“Roda Dagang yang Bergejolak”
Lokasi: Bangunan Menteri Manggala, Areal Istana Tirabwana – Pagi Hari
Mentari pagi menyelinap masuk melalui jendela-jendela besar bangunan megah Menteri Manggala, memantulkan kilau dari lantai marmer dan ornamen logam kuningan yang tertata rapi. Pelayan-pelayan istana berlarian ringan membawa berkas, menata kursi ukiran, menyusun meja bundar di aula pertemuan utama, serta menggantung lambang Roda Kereta Kencana—simbol Dewan Dagang Mandalagiri—di atas podium kehormatan.
Di halaman depan, kereta emas tua milik Pangeran Mahadarsa berhenti dengan iring-iringan yang sederhana namun berkelas. Turun darinya, Pangeran Mahadarsa—bertubuh tinggi dan tambun, berjubah sutra lembut berhiaskan simbol dagang kerajaan—melangkah santai namun penuh wibawa. Di pundaknya tergantung Busur Sembrani, senjata sekaligus lambang status yang tak pernah ia tinggalkan.
Menteri Mahardika Jayaganta, dengan sabuk emas dan belati panjang di pinggang, menyambutnya di depan tangga utama.
Mahardika: "Selamat pagi, Paduka Mahadarsa. Istana dagang ini selalu terbuka untuk putra sang maharaja yang paling cakap dalam urusan timbangan dan kontrak."
Mahadarsa (tersenyum): "Dan selalu disambut oleh penjaga kekayaan kerajaan yang paling waspada terhadap kebocoran pajak. Sepertinya kita berdua ditakdirkan menjaga perut Mandalagiri tetap kenyang."
Tawa ringan menyertai keduanya, namun aura percakapan tetap dibungkus formalitas politik. Tak lama, Bupati Kota Pelabuhan Adiyaksa, Reksadipa Samaranegara, bergabung. Jubah hijau dan wajah bulatnya tampak mengembang, seperti penuh dengan ide-ide bisnis yang siap meledak.
Reksadipa: "Paduka Mahadarsa, pelabuhan kami menanti solusi dari pusat. Jalur-jalur dagang semakin sepi. Para pedagang mulai memilih lintasan pribadi yang lebih berisiko hanya karena tak ingin berpapasan dengan... Bayawira."
Mahadarsa (mendengus pelan): "Mereka menyebut diri bayangan pembebas. Padahal tak lebih dari perampok berjubah bayangan. Dan sekarang, setelah kerajaan kita diguncang berkali-kali... kepercayaan investor asing mulai merosot."
Ia berjalan pelan menyusuri lorong menuju ruang dalam, disambut oleh pelayan-pelayan yang membungkuk dengan penuh hormat.
Mahadarsa (berhenti sejenak, menoleh): "Lima hari lagi, pertemuan Dewan Dagang ini akan menentukan ulang arah arus harta Mandalagiri. Aku sudah undang para bangsawan asing, termasuk keluarga Dra'Vetha dari Pulau Nelayan. Konon dua Dua istri tuan Bangsawan itu, Nyai Lutfayana dan Nyonya Cathrine yang saat ini mengelola jaringan dagang yang kuat. Jika mereka saja mulai goyah, kita akan sulit menarik emas masuk lagi ke jantung negeri ini."
Mahardika (mengangguk dalam): "Kami siap menjaga agar pertemuan berjalan lancar, Paduka. Bangunan ini dan segala informasi di dalamnya... dalam penjagaan penuh."
Para pelayan melanjutkan persiapan dengan cermat—mengatur tempat duduk berdasarkan kasta dagang, menghidangkan anggur buah langka dari utara untuk jamuan pembuka, serta menyiapkan papan-papan kontrak bagi para wakil bisnis yang hadir nanti.
Langit pagi di atas istana Tirabwana tampak cerah, namun di bawahnya, roda-roda dagang Mandalagiri sedang bersiap menghadapi guncangan besar yang datang dari bayangan kekuasaan dan ambisi tersembunyi.
DI DESA DARANAPATI, KAKI BUKIT BATU NAGASARI
Langit pagi berwarna jingga keemasan, sinar mentari menyusup pelan di antara kabut tipis yang menyelimuti desa Daranapati. Di pelataran depan Balai Desa yang berdiri kokoh dengan atap sirap dan tiang kayu tua penuh ukiran, tampak tiga pendekar muda tengah beristirahat usai menyelesaikan misi penting.
Sundra Mahendra, tubuhnya berbalut mantel hijau khas Divisi Raka Lelana, duduk bersandar pada tombaknya, Langkara. Wajah bersahajanya tampak letih, namun sorot mata hitamnya masih menyala semangat. Di sebelahnya berdiri Nandika Sutasmi, sigap dan waspada, tombak Selampa di genggaman tangan kanan dan beberapa tombak ringan tergantung di punggungnya. Tak jauh darinya, Nenden Ayu Jalaksana, mengenakan mantel pendek modifikasi Divisi Raka Lelana yang disesuaikan dengan postur rampingnya, berdiri tenang dengan senyum anggun, tombak pusaka Jalaksana terselip di punggungnya.
Empat artefak yang mereka amankan—Arca Sagara Banyu, Tongkat Taksaka, Cermin Brahmanda, dan Batu Matahari Nagasari—diletakkan secara hati-hati di atas kain sutra berlapis di meja kayu persembahan, dijaga oleh empat prajurit dari Pasukan Patroli Selatan Mandalagiri.
Kepala Desa Raga, pria gagah bersenjata golok besar, maju dan menunduk penuh hormat. Usianya masih muda, namun sorot matanya menunjukkan pengalaman sebagai pelindung rakyat.
Raga:"Atas nama seluruh warga Daranapati, aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Tanpa kalian, pusaka-pusaka suci ini mungkin sudah berpindah ke tangan gelap... Para leluhur pasti tersenyum melihat keteguhan hati kalian."
Sundra berdiri perlahan, menepuk bahu Raga, dan menjawab dengan suara berat namun hangat.
Sundra:"Kami hanya menjalankan tugas. Tapi penjagaan dari rakyat seperti Tuan Raga lah yang membuat pusaka-pusaka ini tetap punya makna."
Nandika menyisipkan kata dengan nada tajam namun tenang.
Nandika:"Bayawira memang berhasil kabur. Tapi uang sogokan bangsawan Lelapranata sudah jatuh ke tangan mereka. Itu cukup menjadi bukti kuat untuk menyeret siapa pun yang terlibat."
Nenden mengangguk, suaranya lembut namun tegas.
Nenden:"Dan kafilah bangsawan itu telah diciduk oleh pasukan kerajaan. Dalam waktu dekat, tak akan ada tempat bersembunyi bagi si pengkhianat."
Di kejauhan, tampak pasukan Mandalagiri menggiring rombongan kafilah yang tertangkap, wajah mereka murung, tahu bahwa hukuman berat menanti. Kuda-kuda dituntun pelan menuju jalan selatan, sementara peti-peti barang bukti diamankan.
Raga mengangkat kedua tangannya ke langit.
Raga:"Semoga berkat menyertai kalian dalam perjalanan kembali ke Tirabwana. Dan semoga para tetua dan leluhur menjaga langkah kalian, pendekar muda."
Tiga pendekar dari Guild Bayu Geni—Sundra, Nandika, dan Nenden—meninggalkan desa Daranapati, menunggangi kuda masing-masing. Langkara, tombak tiga mata, tergantung di punggung Sundra, dan Sakalingga, sang khodam merak biru, sesekali tampak terbang rendah di langit mengikuti mereka.
Langkah mereka mantap. Misi berhasil. Artefak kembali ke tempatnya. Tapi api perang informasi dan bayang-bayang pengkhianatan baru saja menyala...
Mereka akan kembali ke Tirabwana, membawa bukan hanya kabar keberhasilan—tetapi bukti awal dari konspirasi besar antara bangsawan dan Bayawira.
“Subuh di Padewara, Usai Kegelapan”
Lokasi: Desa Padewara, Kaki Gunung Tapal Trita – Wilayah Tenggara Mandalagiri
Langit mulai terang perlahan. Embun belum hilang dari dedaunan kala asap tipis mengepul dari tungku-tungku darurat di pusat desa Padewara. Di bawah langit pucat pagi, bekas pertempuran semalam masih membekas. Tanah terbakar, pepohonan mencair seperti melelehkan kegelapan, dan hawa dingin spiritual masih menggantung lemah di udara.
Di tengah lapangan desa yang kini menjadi pos penanganan darurat, Kirta Wangsaputra terduduk bersandar pada balok kayu. Bajunya berlumur tanah dan debu gelap. Sementara tak jauh darinya, Zadran meneguk air dari tempayan kecil, wajahnya tetap tenang meski luka-lukanya masih samar terbalut kabut energi spiritual yang tersisa.
Di sekeliling mereka, para warga Padewara—lelaki dan perempuan, tua dan muda—bergerak sigap. Sebagian memanggul korban selamat yang masih lemah, sebagian lain menutupi jenazah dengan kain putih sambil membacakan doa dalam bahasa daerah yang nyaris terlupakan.
Makhluk-makhluk Woragan kini tak lebih dari bayangan kabut hitam yang meleleh dan terserap ke dalam tanah, kembali menjadi bagian dari luka bumi. Namun di beberapa tempat, masih tersisa jejak mereka — retakan halus dengan uap gelap yang menggeliat diam-diam.
Kirta (mengelus dagu, sambil tertawa kecil):“Kalau setiap misi begini, kita bisa buka warung penyembuhan sekalian. Zadran... kau masih hidup?”
Zadran (datar, tapi dengan nada geli):“Setengah. Separuh lagi mungkin tersangkut di dunia kabut.”
Beberapa pemuda pendekar kampung yang turut bertempur semalam duduk melingkar, kelelahan luar biasa. Mereka diberi minuman hangat dan balutan herbal oleh para tetua desa. Salah satu tetua, seorang pria renta berambut putih panjang bernama Pak Saranta, menghampiri Kirta dan Zadran sambil membawa dua mangkuk bubur hangat.
Pak Saranta:“Kalian sudah seperti cahaya pagi untuk desa ini. Apa pun yang kalian butuhkan, Padewara akan membantu.”
Kirta membungkuk hormat. Zadran hanya mengangguk, lalu memandang ke arah kaki gunung Tapal Trita yang masih diselubungi kabut tipis.
Kirta:“Makhluk itu... mereka bukan hanya anomali. Mereka adalah jeritan. Trauma yang tertinggal. Kita harus laporkan ini. Kalau tidak... daerah lain bisa pecah seperti ini juga.”
Zadran menyisipkan pedang peraknya ke sarung. Wajahnya tak lagi sekelam sebelumnya. Ada secercah kemenangan di matanya—walau kecil, tapi cukup.
Zadran (pelan):“Ayo kita pulang. Markas Bayu Geni menunggu... dan aku ingin tidur tiga hari penuh.”
Mereka tertawa bersama, lemah tapi jujur. Misi selesai. Tapi mungkin baru permulaan.
Di balik bukit, matahari terbit sepenuhnya. Desa Padewara, meski dilanda duka, mulai kembali berdetak. Harapan tumbuh perlahan di antara puing-puing kabut dan bau tanah hangus.
Kirta dan Zadran bersiap kembali ke kota Tirabwana. Dalam hati mereka tahu, makhluk seperti Woragan bukan yang terakhir—dan retakan-retakan lain mungkin sedang menunggu terbuka.
SIANG HARI – RUANG SINGGASANA ISTANA TIRABWANA, KERAJAAN MANDALAGIRI
Langit siang menggantung tenang di atas istana Tirabwana. Di dalam ruang singgasana yang megah, dengan tiang-tiang batu berhias ukiran naga dan langit-langit tinggi bergambar kisah para leluhur Mandalagiri, Sri Maharaja Darmawijaya duduk di atas singgasana . Sosok raja tua itu tampak gagah dalam balutan jubah kerajaan biru-emas, meski ada kelelahan yang samar di wajahnya.
Di sisi kanan beliau, berdiri Permaisuri Shandrakirana, anggun dalam balutan busana ungu istimewa, bersanggul tinggi dengan aura tenang yang menekan keangkuhan. Di sisi kiri, tampak Mahamentri Palindrasuta, Panglima Agung Jayasatya, serta jajaran bangsawan istana lainnya berdiri bersisian, menyimak dengan seksama.
Tepat di hadapan mereka, Raksadana, pria bertubuh tinggi besar dengan rambut putih panjang dan sorot mata tajam, kini berdiri gagah sebagai Ketua Dewan Istana Dalam yang baru, menggantikan Aryawangsa yang telah tumbang. Di belakangnya tersampir pedang merah tua “Jatiwisesa”, dan aura dari khodamnya, Garundhala, seperti bayangan api lembut yang menyala tak kasatmata.
Lalu, Pangeran Mahkota Maheswara melangkah maju. Sorot matanya tajam namun muram. Ia berdiri tegap, pakaian kerajaan teratur rapi, pedang Arka Wijaya tergantung di pinggang kanan, keris Aswanir Lodra tersembunyi dalam balutan sabuk hitamnya. Ia menatap ayahandanya, lalu seluruh majelis.
Maheswara (dengan suara tegas namun bernuansa emosional):“Beberapa minggu lalu... istri dan anakku diculik. Kini, pelakunya telah terungkap berkat petunjuk dari istriku, Ratu Kirana Anindita. Dalangnya... adalah Jagatmarma.”
Ruangan seketika hening.
Maheswara (melanjutkan):“Nama aslinya adalah Aryasena Dirgantara. Anak tidak diakui dari Adipati Suranegara, adik kandung dari Permaisuri Shandrakirana. Hasil hubungan gelap dengan Laraswidya, sesama alumni Akademi Tirabwana. Ia lahir dalam bayang-bayang... dan kemudian dilupakan.”
Pandangan para bangsawan saling berpaut. Ada yang tersentak, ada pula yang hanya menunduk dalam bisu. Permaisuri Shandrakirana menatap nanar, terkejut, matanya sedikit berkaca-kaca.
Maheswara (dengan nada dingin):“Semua dari kita... pasti tahu tragedi pengasingan Adipati Suranegara dan istrinya, Dewi Pramesti, bersama putra sah mereka, Indrasuma, tiga puluh satu tahun lalu. Semua itu... adalah hasil konspirasi Aryawangsa Kertadarma dan para anggota dewan istana saat itu.”
Ia mengeluarkan gulungan dokumen dari sakunya, lalu menyerahkannya kepada Mahamentri.
Maheswara:“Ini... adalah bukti skenario busuk mereka. Mereka menjatuhkan Suranegara, membungkamnya dengan aib palsu... dan memisahkan darah bangsawan dari tahtanya.”
Sri Maharaja Darmawijaya menunduk dalam-dalam. Ia menghela napas berat, menggenggam sandaran singgasana.
Sri Maharaja (lembut namun penuh duka):“Aryasena... Jagatmarma... keponakanku. Kini aku mengerti kenapa ia begitu membenci kita.”
Raksadana, yang sejak tadi berdiri seperti tembok, akhirnya maju selangkah. Suaranya dalam, menggema namun damai.
Raksadana:“Sebelum darah kembali tumpah, izinkan aku menyarankan sesuatu, Paduka.”“Undanglah Jagatmarma ke meja perundingan. Bukan sebagai musuh... tapi sebagai darah yang pernah disingkirkan. Sebagai sesama Mandalagiri yang tertusuk oleh dosa masa lalu.”
Permaisuri Shandrakirana, yang selama ini menahan emosi, akhirnya berkata pelan, namun jelas:
Shandrakirana:“Aku... terlalu percaya pada Aryawangsa kala itu. Aku telah berdosa pada adikku sendiri.”
Maheswara menatap ibunya sejenak, lalu kembali berbicara.
Maheswara:“Bayawira... mungkin memang pemberontak. Tapi kita menciptakan mereka. Kita menciptakan kemarahan itu.”
Panglima Jayasatya, dengan jubah zirah biru dan mata setajam pedangnya, akhirnya angkat bicara.
Jayasatya:“Pasukan kami telah menekan basis-basis Bayawira di Mandalagraha. Tapi... aku setuju dengan pendekatan diplomatis. Aku akan kirim utusan resmi kepada Jagatmarma, untuk mengundangnya dalam pertemuan tertutup.”
Semua kepala mengangguk. Bahkan para bangsawan yang biasanya angkuh kini bungkam dalam pengakuan.
Sri Maharaja Darmawijaya (menghela napas panjang):“Mungkin... ini cara kita menebus kesalahan. Aku setuju. Kirim undangan. Bawa dia dengan kehormatan. Kita dengarkan... apa yang sebenarnya ia inginkan.”
Suasana ruang singgasana menjadi sunyi—bukan karena ketakutan, tapi karena kesadaran. Bayawira bukan sekadar musuh... mereka adalah bayangan yang terbuang. Dan Jagatmarma, anak yang tidak diakui, kini menjadi kunci untuk mengakhiri perang delapan tahun yang belum menemukan ujung.
Langkah diplomasi akan dimulai.Langkah yang bisa menyelamatkan... atau justru membuka lembaran baru yang lebih gelap.
BEBERAPA HARI SETELAH UNDANGAN DIPLOMATIS
MARKAS UTAMA BAYAWIRA – GUA MANDALAGRAHA YANG SELALU BERKABUT
Kabut abadi mengalir perlahan di sekitar mulut gua raksasa di Gunung Mandalagraha. Cahaya siang seolah tertahan, membuat area markas Bayawira tampak seperti dunia lain—tenang, tapi menyimpan bahaya yang membeku dalam kesunyian.
Di dalam gua utama, yang dindingnya dipenuhi simbol-simbol rahasia Bayawira, terlihat pertemuan tertutup sedang berlangsung. Cahaya api biru dari obor sihir menerangi wajah-wajah penting para petinggi Bayawira.
Jagatmarma, berdiri tegak dengan capingnya sedikit miring, memegang gulungan surat bermaterai kerajaan. Di sekelilingnya hadir:– Teksaka dan Ratri Andini, dua wakilnya dari wilayah barat,– Lodra Wahana dan Swandari Pramesti, dari selatan,– Dan yang berada di hadapannya, dalam bayang-bayang kekuasaan: Jagat Arunika, Pemimpin Utama Bayawira, saudara beda ibu.
Jagatmarma membuka suara. Suaranya datar, tapi mengandung gelombang yang mengguncang.
Jagatmarma:“Surat dari istana Tirabwana. Mereka mengundang kita... untuk pembicaraan diplomatis. Identitasku sudah terbongkar. Tapi tidak denganmu... Jagat Arunika—atau... Indrasuma.”
Jagat Arunika mengepalkan tangan, sorot matanya seperti petir yang tertahan.
Jagat Arunika (geram):“Kau akan hadiri undangan mereka? Setelah semua ini, kau ingin bicara damai?”
“Kakanda... ingat siapa kita. Kita adalah anak dari keluarga Suranegara—dibinasakan, dikubur dalam aib yang diciptakan oleh istana itu.”
Langkahnya maju satu tapak. Luka menganga dari pelipis ke pipinya tampak lebih jelas.
Jagat Arunika:“Kau tahu bagaimana Ayah kita, Adipati Suranegara... dan Ibuku, Dewi Pramesti... meninggal? Dalam sepi dan hinaan! Saat aku remaja, rakyat bahkan meludah ke tanah ketika mendengar Nama Keluarga Kita, saat itu aku belum mengetahui apapun dan baru mengetahui semua-nya darimu 8 tahun lalu. Tahta yang seharusnya menjadi warisan darah kita—diambil oleh keturunan Darmawijaya, panglima yang hanya bermodal pernikahan dengan bibi kita!”
Ruang gua bergetar perlahan, aura hitam dari tubuh Jagat Arunika membentuk garis samar seekor ular berkepala dua di udara.
Jagat Arunika:“Jika kau tetap bersikeras... datanglah sendiri. Aku akan mengawasi dari jauh. Tapi aku tidak akan menyerahkan idealisme Bayawira kepada kata-kata manis para penguasa busuk.”
Jagatmarma menatap adiknya, dalam diam. Ia tahu dendam itu nyata, luka itu dalam. Tapi hatinya—meski dipenuhi kemarahan yang sama—mencari bentuk keadilan yang lebih... dari sekadar pembalasan.
Jagatmarma (lembut namun tegas):“Aku tidak mengkhianati perjuangan ini, Arunika. Tapi jika... ada jalan untuk memulihkan nama Suranegara tanpa darah yang lebih banyak, maka aku akan coba. Walau sendiri.”
Ia menoleh pada Teksaka dan Ratri Andini.
Jagatmarma:“Bersiaplah. Kita berangkat malam ini.”
Teksaka hanya mengangguk tenang, sementara Ratri Andini mengikuti dengan langkah lembut namun pasti. Ketiganya mulai berjalan meninggalkan gua utama, langkah mereka perlahan ditelan kabut.
SCENE BERLANJUT – DI DALAM GUA, BEBERAPA MENIT SETELAHNYA
Tinggal Jagat Arunika, Lodra Wahana, dan Swandari Pramesti yang diam dalam kegelapan. Aura hitam Jagat Arunika masih berkecamuk di sekelilingnya.
Lodra Wahana (dingin):“Dia mulai melemah. Ragu. Itu bukan lagi Jagatmarma yang dulu.”
Swandari, yang biasanya pendiam, kali ini ikut menyambung.
Swandari:“Jika ia menyerahkan diri pada diplomasi... Bayawira bisa terpecah.”
Jagat Arunika menunduk, namun bahunya bergetar. Entah karena marah, kecewa... atau kesedihan yang mendalam.
Jagat Arunika (pelan, penuh tekanan):“Jika ia gagal... aku akan menjadi bayangan yang menyelesaikan sisanya. Biarlah dia jadi wajah lunak perjuangan ini. Tapi... aku akan jadi ekornya. Ular yang akan tetap menggigit.”
Kabut menebal di dalam gua. Bayawira kini berdiri di persimpangan: diplomasi atau kehancuran. Dan dua bersaudara dari darah Suranegara—Aryasena dan Indrasuma—membawa dua jalan berbeda yang bisa menyelamatkan... atau menenggelamkan semuanya dalam dendam dan sejarah berdarah.
PAGI HARI, KOTA TIRABWANA
LOKASI: BANGUNAN MENTERI MANGGALA, AREAL ISTANA TIRABWANA
Kabut pagi perlahan terangkat, menyingkap keanggunan halaman Bangunan Menteri Manggala yang megah. Ukiran-ukiran batu tua, tiang-tiang marmer keemasan, dan bendera-bendera dagang yang berkibar gagah menandai bahwa Pertemuan Dewan Dagang Mandalagiri tahun ini bukan sekadar forum ekonomi biasa—melainkan panggung politik dan kekuasaan yang sesungguhnya.
Tampak para bangsawan dagang, pengusaha besar, dan delegasi resmi dari seluruh penjuru Mandalagiri mulai berdatangan dengan rombongan dan kereta masing-masing. Bendera-bendera lambang rumah dagang mereka dikibarkan di sepanjang halaman—warna-warni mencolok berpadu dalam suasana serius penuh ekspektasi.
Di antara mereka tampak satu bendera asing yang mencolok—bendera Tribe Dra’vetha: latar putih dengan bulan sabit merah tergigit, dan di tengahnya siluet kelelawar bersayap hitam yang membentang.
Di bawah bendera itu berjalan tiga sosok memikat yang langsung menyita perhatian semua mata:– Lutfayana Dra’vetha: langkahnya anggun, jubah hitam beludru menjuntai, mata merah darah bersinar lembut namun misterius.– Cathrine van der Lindt: wajah imut dan memikat, rambut putih keperakan terurai, mata ungu berkilau penuh teka-teki.– Morzhan, sosok tinggi besar dengan tubuh nyaris tak tergoyahkan, menjadi perisai diam yang membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum mendekat.
Para bangsawan dalam negeri saling berbisik. Sebagian kagum, sebagian khawatir. Namun tak bisa dipungkiri: kehadiran Dra'vetha adalah magnet yang menyedot pusat perhatian pagi itu.
Di bawah tangga megah bangunan, Menteri Manggala Mahardika Jayaganta, didampingi oleh Kapten Doyantra Puspaloka, Bupati Pelabuhan Adiyaksa Reksadipa Samaranegara, serta dua tokoh penting:
Bupati Kota Tanah Selampa: Rangga Adisaputra, pria tua penuh wibawa dengan sorban hijau tua dan mata awas.
Bupati Kota Tirabwana: Gayatri Murdaningrum, wanita paruh baya elegan, dengan jubah ungu dan mahkota kecil, terkenal cerdas dan loyalis istana.
Mereka menyambut para bangsawan satu per satu, namun perlakuan khusus diberikan kepada delegasi Dra'vetha. Pangeran Mahadarsa, Ketua Dewan Dagang, turun sendiri dari kursi kehormatan menyambut langsung mereka.
Mahadarsa (ramah, namun penuh perhitungan):“Selamat datang, para saudara dari seberang samudra... ke jantung peradaban dagang Mandalagiri.”
(menatap Cathrine dan tersenyum lembut)“Cathrine... senang melihatmu. Semoga kau nyaman dalam negeri ini, adikku.”
Cathrine membalas dengan senyum menawan, tatapannya hangat namun waspada. Ia sedikit menunduk, membalas sopan.
Cathrine (pelan dan formal):“Terima kasih, Kakanda. Aku merasa... seperti pulang ke rumah yang asing.”
Mahadarsa hanya tersenyum, tidak menjawab, lalu menoleh pada Lutfayana.
Dan saat itu... waktu seolah berhenti sebentar. Mahadarsa terpaku. Tatapan mereka bertemu—mata merah darah milik Lutfayana dan sorot penuh rasa ingin tahu dari sang pangeran dagang.
Mahadarsa (berbisik pelan):“Luar biasa... Ratu Malam pun kalah anggun darimu.”
Lutfayana (senyum tenang, bersuara lembut seperti sutra):“Dan raja pun bisa tenggelam dalam malam, bila tak waspada, Pangeran.”
Senyum Mahadarsa mengembang. Entah terpikat... atau tertantang.
Para pelayan pun segera mempersilakan ketiganya duduk di kursi istimewa, tak jauh dari kursi utama sang Ketua Dewan Dagang. Bendera Dra'vetha dikibarkan di belakang mereka.
Tak lama, suara gong terdengar dari dalam aula pertemuan.
Ruang Rapat Besar Dewan Dagang kini telah dipenuhi para bangsawan dagang—duduk dalam barisan panjang sesuai wilayah dan perwakilan. Rasa tegang menggantung di udara.
Topik pertemuan telah diumumkan:
Ketidakstabilan ekonomi akibat gangguan Bayawira.
Efek politik dan keuangan dari skandal Aryawangsa Kertadarma.
Gelombang ketidakpercayaan publik terhadap sistem kekuasaan lama.
Beberapa bangsawan sudah mulai berbisik serius satu sama lain—menyusun posisi, membentuk aliansi, menimbang potensi dampak pada bisnis mereka.
Di tengah keramaian terselubung itu, Kapten Doyantra Puspaloka duduk tegap, mewakili Guild Bayu Geni dan keluarga bangsawan Puspaloka. Gada emasnya berdiri tegak di sisi kursi, menjadi pengingat bahwa ekonomi dan kekuatan bukanlah hal yang bisa dipisahkan di Mandalagiri.
Suara gong ketiga menggema.
Pangeran Mahadarsa berdiri perlahan. Jubah kebesarannya berkibar ringan. Tatapannya menyapu seluruh aula, lalu berhenti pada kursi tamu Dra'vetha.
“Dengan berkah langit dan restu rakyat, Rapat Besar Dewan Dagang Mandalagiri tahun ini... KUBUKA!”
(Gema suara mengguncang ruangan. Sejarah baru akan dimulai.)
DALAM AULA RAPAT DEWAN DAGANG MANDALAGIRI
LOKASI: BANGUNAN MENTERI MANGGALA – PAGI MENJELANG SIANG
Gema suara Pangeran Mahadarsa barusan masih menggantung di udara. Meja-meja panjang tempat para bangsawan duduk kini dipenuhi suara debat, pendapat, dan sindiran tajam antar pihak. Di ujung kanan aula, delegasi Dra'vetha duduk dengan anggun dan tenang, meski menjadi pusat perhatian banyak mata—mata yang setengah kagum, setengah curiga.
Salah satu bangsawan lokal dari Tirabwana, berdiri dan bersuara lantang.Namanya Rakean Tirtamarta, seorang bangsawan tua berdarah konservatif.– Usia 61 tahun, jubah merah marun khas Tirabwana, dada dihiasi simbol api berkepala burung.– Dikenal sebagai “penjaga darah murni bangsawan Mandalagiri”.
Rakean Tirtamarta (keras dan menuding):“Kami menghormati kehormatan tamu asing, namun... bangsa Mandalagiri telah berdiri di atas darah murni para leluhur. Apakah kita akan menukar kejayaan itu hanya demi emas dan angka di pasar dagang?”
Beberapa bangsawan tua mengangguk setuju.Namun suara-suara berbisik dari kaum muda dan pedagang progresif mulai terdengar.
Lutfayana perlahan berdiri.Bayangannya memanjang di atas lantai batu—anggun, tenang, namun dingin seperti darah. Sorot matanya menyapu ruangan—bukan dengan emosi, melainkan kepastian. Ia bicara dengan nada datar, tapi mengikat perhatian.
Lutfayana (tegas dan menusuk):“Rakean Tirtamarta... darah bangsawan murni Mandalagiri bukanlah bahan bakar untuk memutar roda zaman.
Jika Kerajaan Mandalagiri ingin maju di bawah kepemimpinan Pangeran Maheswara kelak, maka pikiran lama harus ditinggalkan. Doktrin ras murni? Itu mimpi tua yang menjadi rantai.
Kami, bangsawan asing, tak meminta takhta. Kami membawa stabilitas. Teknologi. Investasi. Dan—yang paling penting—kesempatan.
Bukan semua pengaruh luar itu buruk. Buruk hanya bila pemimpin negeri ini tidak bisa memfilter dengan bijak.”
Suasana ruangan langsung hening. Beberapa bangsawan muda tampak terkesan. Pangeran Mahadarsa menyilangkan tangan, tersenyum kecil di balik jubahnya.
Mahadarsa (pelan ke arah Cathrine):“Keluargamu benar-benar... berbahaya dalam cara yang mengagumkan.”(Cathrine hanya tersenyum tipis, tak menanggapi.)
Doyantra Puspaloka, dari tempat duduknya yang besar, mengetuk meja dengan gagang cangkir. Matanya sempat memicing, tetapi ia tak menyerang.
Doyantra (suara berat):“Aku tak suka gaya Dra'vetha yang... menusuk tanpa bertarung. Tapi kata-katamu ada benarnya, Lutfayana. Bahkan gajah sekuat Airawata pun butuh tanah yang kokoh untuk berdiri—dan ekonomi adalah tanah itu.”
Mahardika Jayaganta, Menteri Manggala, terlihat memutar otak. Sorot matanya mencerminkan kecermatan pedagang kawakan—ia sedang menimbang arah angin.
Sementara itu, Reksadipa Samaranegara, Bupati Pelabuhan, berseru riang:
Reksadipa (tertawa pendek):“Kalau para pembayar pajak bisa membuat kerajaan ini tetap hidup, maka darah mereka—murni atau tidak—harus dihormati. Saya tak peduli mereka datang dari daratan asing atau gunung terdalam, selama uangnya mengalir dan pelabuhan saya ramai!”
Beberapa tawa ringan terdengar. Ketegangan menurun. Lutfayana kembali duduk, anggun seperti sebelumnya, namun aura dominannya tak surut sedikit pun.
Mahadarsa berdiri. Ia mengangkat tangan, menenangkan riuh kecil.
Mahadarsa (diplomatis):“Sudah cukup untuk sesi pertama. Mandalagiri sedang menghadapi masa-masa penuh ujian. Tapi di saat seperti ini, kita butuh kesatuan antara warisan dan kemajuan.
Dewan ini bukan sekadar forum dagang—melainkan benteng awal dari masa depan negeri. Jika kita ingin bangkit... maka kita harus membuka pintu, bukan menyegel dinding.”
Suasana mulai membaik. Meski rapat belum selesai, sebuah jembatan diplomasi telah terbentuk—bukan sekadar antara kerajaan dan bangsawan asing, tapi juga antara masa lalu dan masa depan.
Kamera menjauh perlahan, memperlihatkan aula besar tempat dunia lama dan dunia baru tengah bernegosiasi untuk masa depan Mandalagiri.
RUMAH SEDERHANA JAGATMARMA – TIRABWANA, SIANG HARI, WAKTU YANG SAMA
Di sebuah rumah sederhana berarsitektur desa yang berdiri tenang di pinggiran kota Tirabwana, tampak sebuah kristal hitam berukuran kepala manusia terletak di atas meja batu. Kabut halus berputar dalam bola kristal itu, menampilkan gambaran rapat rahasia antara Jagatmarma dan keluarga kerajaan.
Duduk dalam gelap, seorang pria berjubah hitam dengan ikat kepala dan sorot mata menyala kekuningan menatap layar kristal tersebut tanpa berkedip. Bekas luka memanjang dari pelipis ke pipinya tampak mengeras saat ia menggertakkan gigi. Jagat Arunika, nama lamanya Indrasuma, duduk bersila. Di belakangnya berdiri dua orang kepercayaannya: Lodra Wahana dan Swandari Pramesti.
Jagat Arunika (dingin, penuh dendam):“Kakakku sudah berdamai... dan mereka menyambutnya seolah-olah semua bisa dilupakan. Tapi tidak untukku. Tidak untuk Indrasuma yang pernah ditelantarkan, dihina, diusir, dan dituduh anak haram oleh sistem kerajaan ini...
Mereka pikir cukup dengan membersihkan nama Suranegara... dunia akan baik-baik saja? Mereka salah.”
Lodra Wahana (berdiri tegap):“Rapat Dewan Dagang sedang berlangsung. Di sanalah jantung ekonomi Mandalagiri berdenyut. Jika kita ingin memberi peringatan... pukul mereka di sana. Biarkan mereka tahu bahwa uang dan kekuasaan mereka tidak bisa melindungi semuanya.”
Swandari Pramesti (suara pelan namun tajam):“Dan dengan serangan yang tepat, tanpa membunuh bangsawan penting, kita bisa mengacaukan sistem mereka tanpa menimbulkan perang langsung. Guncang kepercayaan. Tinggalkan pesan. Munculkan kembali rasa takut lama.”
SIASAT KEKACAUAN DI RAPAT DEWAN DAGANG
Target Lokasi: Bangunan Menteri Manggala, Komplek Istana Tirabwana.
Waktu Serangan: Menjelang akhir rapat saat debat memanas.
Rencana Aksi – Diberi nama oleh Jagat Arunika: "Bayang Usang"
Penyusupan Bayangan (Swandari Pramesti):
Swandari akan menyusup ke dalam area rapat menggunakan sihir angin dan jubah ilusi dari Vayulatri untuk berbaur sebagai pelayan istana.
Ia akan menempatkan kristal resonansi udara kecil di empat titik ruangan — benda ini memperkuat gelombang suara dan sihir gelap.
Serangan Simbolik (Jagat Arunika):
Jagat Arunika tidak akan muncul secara langsung, namun akan mengirimkan proyeksi sihir hitam raksasa berbentuk ular berkepala dua merah yang akan muncul dari tengah ruangan pertemuan, menembus atap melalui celah sihir.
Proyeksi itu membawa pesan ancaman dari Bayawira:
"Lupa adalah penyakit bangsawan. Tapi kami adalah ingatan kelam yang tak bisa dibakar sejarah. Ini bukan perang, ini peringatan. Jangan remehkan kami."
Kekacauan Terkendali (Lodra Wahana):
Lodra dan sekelompok kecil infiltrator Bayawira Selatan (yang sudah menyamar sebagai tukang angkut dan pengawal cadangan) akan meledakkan beberapa titik kecil berisi asap hijau pekat, memicu kepanikan namun tidak mematikan.
Beberapa anggota intel kerajaan rahasia yang dikenal anti-ras asing akan diculik secara diam-diam untuk dijadikan bukti korupsi mereka oleh Bayawira.
Pelarian dan Pengalihan:
Saat kekacauan mencapai puncaknya, Swandari menggunakan angin badai palsu untuk mengangkat sebagian tenda dan menutupi pelarian.
Sementara proyeksi ular raksasa meledak menjadi ratusan panah cahaya hitam yang mengenai dinding, membentuk simbol Bayawira.
Jagat Arunika menatap tajam kristal sihir itu sekali lagi, lalu berdiri.
Jagat Arunika (kepada Lodra dan Swandari):“Jika Mandalagiri ingin melupakan darah yang mereka tumpahkan, maka aku akan ingatkan dengan tinta sejarah paling gelap. Kakakku boleh berdamai... tapi aku akan menjadi bayang-bayang yang menghantui singgasana mereka.”
Lodra mengangguk.
Lodra:“Mereka ingin perubahan tanpa luka. Kita tunjukkan bahwa luka itu belum sembuh.”
Swandari menurunkan tudung jubahnya.
Swandari (dingin):“Aku sudah siap.”
Siluet tiga tokoh Bayawira itu menyatu dengan bayangan Siang Tirabwana... menuju kekacauan terencana yang akan mengguncang nadi ekonomi Mandalagiri.
RAPAT DEWAN DAGANG — GEDUNG MENTERI MANGGALA, ISTANA TIRABWANA, SIANG HARI
Langit Tirabwana terang, tetapi suasana dalam Gedung Menteri Manggala terasa panas. Di dalam ruang pertemuan utama berlangit tinggi, dinding-dindingnya dihiasi permadani lambang-lambang dagang tua, dan di tengahnya membentang meja oval besar dari kayu eboni hitam tempat para bangsawan dagang dari seluruh Mandalagiri berkumpul.
Pangeran Mahadarsa duduk di kursi tengah, mengenakan mantel kebesaran dengan lambang roda kereta kencana. Di sisi kiri, berdiri Lutfayana Dra'vetha—bangsawan wanita berdarah jin dari kalangan Tribe Dra’vetha. Di seberangnya, Bangsawan Darma Wasantara dari Tanah Selampa—pria paruh baya berkulit sawo matang, mengenakan jubah dagang merah menyala dengan selendang emas melingkari bahunya.
Darma Wasantara (suaranya lantang):“Tanah ini dibangun dari keringat darah manusia Mandalagiri! Dan sekarang kita biarkan kaum asing dan darah jin mengatur pasar-pasar kita?”
Lutfayana (tegas namun anggun):“Kau bicara seakan-akan kemurnian darah membawa kemakmuran, Paduka Darma. Tapi lihatlah sendiri — berapa banyak kota yang mati karena menutup diri? Mandalagiri akan menuju era baru bersama Maheswara. Dan dalam era baru, nilai bukan ditentukan oleh asal, tetapi oleh manfaat.”
Ruang bergemuruh. Beberapa bangsawan tua mengangguk pelan, beberapa lainnya memalingkan muka. Pangeran Mahadarsa hanya tersenyum sipil sambil menatap gelas anggurnya.
Sementara Itu...
Di antara para pelayan yang menyuguhkan teh rempah dan buah-buahan kering, seorang wanita dengan wajah anggun dan rambut panjang hitam berbaur dengan angin. Swandari Pramesti, mengenakan ilusi sebagai pelayan istana, bergerak halus. Jari-jarinya meletakkan empat kristal kecil tak terlihat di bawah tiang-tiang utama dan dekat ventilasi.
(bisikan angin — suara dari khodam "Vayulatri")“Resonansi siap.”
Di Luar Gedung...
Lodra Wahana berdiri di belakang gerobak pengangkut logistik, bersama tiga pengawal istana palsu lainnya. Mereka sudah menanam tabung asap hijau di balik tong-tong minuman dan tumpukan peti rempah. Ia menggenggam tongkat besinya erat, lalu memberi isyarat tiga jari ke langit.
KEMUDIAN... KETIKA PERDEBATAN MEMUNCAK:
Darma Wasantara (menunjuk Lutfayana):“Kau mungkin punya suara hari ini... Tapi jangan bermimpi bisa mengatur Mandalagiri! Bangsawan sepertimu hanya tamu—dan kami yang asli akan tetap berkuasa!”
Lutfayana (senyum tenang):“Kami bukan tamu. Kami bagian dari dunia ini. Kau hanya belum siap mengakuinya.”
Tiba-tiba... udara mendenting aneh. Kristal-kristal yang diletakkan Swandari bersinar ungu kehitaman. Sebuah gema suara menggema dari langit-langit, seperti bisikan ribuan lidah bercampur menjadi satu.
TARAAAKKK!!!
Atap ruangan bergetar. Sebuah CELAH SIHIR terbuka di langit-langit. Dari dalamnya, muncul proyeksi raksasa hitam berwujud Ular Berkepala Dua Merah, membentang dari lantai hingga menembus atap. Suaranya mengguncang jiwa.
SUARA JAGAT ARUNIKA (menggelegar):“Lupa adalah penyakit bangsawan...Tapi kami adalah ingatan kelam yang tak bisa dibakar sejarah. Ini bukan perang, ini peringatan. Jangan remehkan kami—karena kami datang bukan untuk tunduk, tapi untuk membuka luka lama yang belum sembuh!”
KEPANIKAN MENYEBAR
Tabung-tabung asap meledak—asap hijau pekat mengisi ruang. Para bangsawan batuk-batuk, beberapa roboh dari kursinya. Suara bel keamanan menggema, tetapi para pengawal kerajaan justru bingung—beberapa dari mereka adalah infiltrator Bayawira!
Swandari melompat ke udara, jubahnya berkibar, dan dari tongkatnya terpancar angin badai buatan yang melayangkan permadani-permadani besar, menciptakan kabut tipuan. Ia meluncur melewati meja-meja, menculik dua pejabat intel kerajaan, lalu menghilang bersama arus badai mini.
MAHADARSA berdiri, menghunus Busur Sembrani.
Mahadarsa (menggeram):“JAGAT ARUNIKA! Aku tahu ini ulahmu—Kau pikir dagang tidak bisa perang? Kau keliru!”
Ia menembakkan satu panah emas ke tengah proyeksi ular—namun panahnya menembus udara, membuyarkan sebagian gambar namun tak menghentikan simbolnya terbentuk.
LEDAKAN CAHAYA
Ular berkepala dua meledak menjadi ratusan panah hitam, menancap di dinding-dinding gedung, membentuk lambang Bayawira: Ular Merah Berkepala Dua Melingkar.
Gedung itu porak-poranda namun tidak runtuh. Saat asap mulai menghilang, Swandari, Lodra, dan para penyusup telah lenyap, meninggalkan hanya pesan...
SETELAHNYA
Di balik jendela yang pecah, Doyantra Puspaloka berdiri—wajahnya tegang, matanya menyipit menatap lambang di dinding.
Doyantra (pelan):“Bayang Usang... mereka benar-benar berani.”
Lutfayana menarik napas dalam, darah di pelipisnya mengalir tipis karena terkena serpihan kristal.
Lutfayana (kepada Mahadarsa):“Kita butuh pendekatan baru, Pangeran... Ini bukan lagi soal dagang. Ini soal sejarah yang belum selesai ditulis.”
Mahadarsa menghela napas dalam-dalam, menatap langit-langit yang terbuka.
Mahadarsa:“Mungkin saatnya... aku sendiri yang harus menghadapi masa lalu.”
Suara alarm dan sayup-sayup jeritan di luar masih terdengar. Simbol Bayawira bersinar samar di dinding gedung Menteri Manggala, menjadi tanda bahwa bayangan masa lalu belum selesai membayangi Mandalagiri.
ISTANA TIRABWANA, RUANG PERJUMPAAN DIPLOMATIS RAHASIA
Waktu: Siang hari, bersamaan dengan kerusuhan di Gedung Menteri Manggala
Di dalam ruang pertemuan diplomatik rahasia yang tersembunyi di balik pilar batu hitam dan tirai kain kebesaran ungu, suasana awalnya tenang. Di tengah ruangan bundar yang diterangi cahaya langit dari genting kristal transparan, duduk dua kubu yang saling menimbang kepercayaan: kerajaan Mandalagiri dan perwakilan Bayawira Barat.
Sri Maharaja Darmawijaya duduk di kursi singgasana batu hitam bersandaran kepala naga, diapit oleh Mahamentri Palindrasuta, Panglima Agung Jayasatya, Raksadana, dan sang Permaisuri Shandrakirana.Di seberang meja bulat kayu langka itu duduk Jagatmarma, ditemani Ratri Andini dan Teksaka.
Sebuah hening mulia mengawali dialog yang sedang dibangun dengan hati-hati—langkah berani dari sang Maharaja untuk memberi kesempatan pada suara damai di dalam Bayawira.
Namun tiba-tiba—
BRAAAKHH!!!
Suara dentuman dahsyat mengguncang istana.
Dari kejauhan terdengar gemuruh, jeritan, dan sihir yang mendesing seperti kilat mengoyak udara.
Langit-langit ruangan berguncang. Tirai berkibar. Tanah sedikit bergetar.
Para penjaga istana menerobos masuk dengan panik, membawa kabar:
Pengawal:“Ampun Paduka! Serangan sihir hitam... di Gedung Menteri Manggala! Lambang Bayawira muncul di dinding, proyeksi ular berkepala dua—ini aksi dari Jagat Arunika!”
Seketika itu juga—
Semua pemimpin kerajaan berdiri dan refleks menghunus senjata.
Sri Maharaja Darmawijaya mencabut Argasunya, pedang bermata dua yang langsung bersinar perak, memanggil kehadiran khodam perang Kartikeya, berdiri di belakangnya dalam wujud siluet menyala, bersenjatakan tombak dan mengendarai merak api.
Panglima Jayasatya menghunus pedang langitnya, dan dari punggungnya bangkit Maung Bodas, harimau putih besar, mengaum keras hingga kaca kristal bergetar.
Raksadana berdiri penuh kewaspadaan, tangannya sudah menyentuh gagang Jatiwisesa, dan bayangan Garundhala, burung api suci, mulai mengepak perlahan di balik bahunya.
Mahamentri Palindrasuta mengaktifkan segel pertahanan istana dengan sihir gestural.
Permaisuri Shandrakirana berdiri dengan anggun, namun sorot matanya berubah menjadi tajam. Ia melangkah maju, mendekati Maharaja.
Seketika, semua mata menatap ke arah Jagatmarma, Ratri, dan Teksaka.
Sri Maharaja (dingin dan tegas):“Jadi ini... yang kalian maksud dengan damai?”
Panglima Jayasatya (menunduk ke arah Ratri):“Apakah kalian datang membawa bendera putih... atau ujung senjata tersembunyi?”
Ratri dan Teksaka tertegun, sorot mata mereka memantulkan ketakutan dan keterkejutan nyata.
Namun, Jagatmarma tetap duduk tenang, meletakkan pedangnya ke meja secara perlahan. Wajahnya tidak lagi tersenyum seperti biasanya—melainkan berat, seakan ia memikul sejarah yang pahit.
Jagatmarma (suara tenang tapi berat):“Aku tahu... ini yang akan terjadi.”(ia berdiri perlahan)“Jagat Arunika adalah adikku. Tapi dia bukan lagi yang dulu. Dia telah dikendalikan oleh kegelapan yang tak sanggup ditampung oleh jiwa manusia biasa.”
(menatap langsung pada Sri Maharaja dan Raksadana)“Jika ada yang bisa menyadarkannya... maka itu adalah kalian. Dan aku. Bukan dengan kemarahan, tapi dengan keberanian. Jika ia musuh, biarlah aku yang menghadapinya pertama kali. Jika ia saudaraku... biarlah aku yang membawanya pulang.”
Hening.
Garundhala mengepakkan sayap api perlahan. Maung Bodas menggeram. Bayangan Kartikeya mendekat ke belakang Sri Maharaja.
Tiba-tiba, beberapa pengawal istana masuk dan mengepung ketiganya, tombak diarahkan ke dada Teksaka dan Ratri yang masih duduk dalam ketegangan.
Raksadana (serak namun tenang):“Jagatmarma, kau mungkin berbicara dengan hati. Tapi kerajaan tak bisa hanya hidup dari harapan.”
Jagatmarma (menatap tajam):“Aku tidak minta kepercayaan. Aku minta waktu.”
Teksaka: (pelan ke Jagatmarma)“Apa kita harus... menyerah begitu saja?”
Jagatmarma: (tanpa menoleh)“Ya. Kita di tanah mereka. Jangan lawan. Karena jika kalian melawan, kalian bukan lagi perwakilanku.”
Ratri menunduk dalam. Teksaka menghela napas pasrah.
Permaisuri Shandrakirana menatap dalam ke arah Maharaja. Ia berbisik lembut, namun tegas:
Shandrakirana:“Jangan hukum mereka karena kesalahan Arunika. Bila benar niat damai itu ada, maka beri mereka tempat... meski itu ruang terkunci.”
Sri Maharaja mengangguk.
Sri Maharaja:“Demi Mandalagiri dan kebenaran yang belum terungkap… kalian akan ditahan sementara di ruang peristirahatan dalam istana. Tak satupun luka akan kalian terima. Tapi ingat—kerajaan juga bukan tempat yang bisa dikhianati dua kali.”
Jagatmarma menyerahkan diri. Ratri dan Teksaka mengikuti, dikawal pengawal menuju ruang tahanan diplomatik. Sebuah ruang sederhana namun dijaga ketat, di dalam istana Tirabwana.
Sementara itu, para tokoh utama kerajaan berbalik, bersiap menuju tempat kerusuhan di Gedung Menteri Manggala.
Sri Maharaja, Panglima Jayasatya, Maheswara dan Raksadana memimpin langsung pasukan ke seberang istana, menyusun ulang perisai keamanan dan mengantisipasi serangan lanjutan.
Jagatmarma berdiri dalam ruang tahanan, memandang ke luar jendela kecil dengan pandangan jauh. Di luar, asap hijau dari kerusuhan masih mengepul tipis.
Jagatmarma (dalam hati):“Arunika... kau benar-benar memilih jalan bayangan. Tapi aku... akan jadi cahaya terakhir yang kau kenal, meski harus kulawan darahku sendiri.”
GEDUNG MENTERI MANGGALA, TIRABWANA
Waktu: Beberapa saat setelah ledakan sihir Bayawira
Langkah-langkah tergesa menggema di sepanjang koridor batu putih yang menghubungkan istana utama dengan Gedung Menteri Manggala. Di barisan terdepan, Sri Maharaja Darmawijaya, Raksadana, Panglima Agung Jayasatya, dan Pangeran Mahkota Maheswara berjalan cepat, dikelilingi oleh pengawal elit. Aura para khodam mereka sudah bangkit: Kartikeya, Garundhala, Maung Bodas, dan Sambara Geni muncul sebagai siluet-siluet energi dahsyat yang membayang di langit Tirabwana.
Maheswara yang paling depan, wajahnya menyala kemerahan oleh amarah yang ia kendalikan dengan susah payah. Matanya menatap lurus ke depan, seolah ingin membakar siapa pun yang bertanggung jawab atas kekacauan ini.
Maheswara (tegas, kepada semua):“Jika Arunika mengira ini peringatan... maka balasannya akan jadi sejarah baru.”
Sri Maharaja berjalan lebih lambat, namun sorot matanya menandakan kemarahan dan kekecewaan yang dalam. Ia mencengkram gagang Argasunya erat-erat.
Sri Maharaja (pelan pada Raksadana):“Aku memberi mereka kesempatan... dan adiknya justru menikam dari bayangan.”
Raksadana (datar, tegas):“Bayang-bayang hanya tumbuh di tempat terang, Paduka. Ini bukan pengkhianatan tunggal... ini pesan.”
GEDUNG MENTERI MANGGALA
Kondisi: Porak-poranda. Asap hijau perlahan memudar. Kepanikan masih terasa.
Para bangsawan dagang berhamburan ke segala arah. Beberapa batuk-batuk keras akibat gas racun ringan yang dilepaskan oleh Swandari dan para infiltrator Bayawira. Sebagian lainnya rebah karena lemas, panik, atau terjatuh saat ledakan terjadi.
Pangeran Mahadarsa berdiri di tengah ruangan, membidik panah emas "Sembrani" ke langit-langit dengan sihir angin masih mengelilingi tubuhnya. Ia menahan kepanikan dengan amarah.
Mahadarsa (meneriakkan perintah):“Evakuasi para bangsawan! Jangan biarkan satupun dari mereka menyentuh serpihan kristal sihir itu!”
Luthfayana berdiri dengan wajah berlumur debu dan darah segar dari telapak tangannya yang terluka, namun sorot matanya tajam. "Silvatira" di tangannya menari, siap ditebaskan bila perlu. Ia melindungi Cathrine dan Morzhan, yang bersiaga di sisi utara ruangan.
Cathrine (tenang namun tajam):“Pesan ini bukan sembarang ancaman... ini rekayasa yang terencana. Jagat Arunika ingin mengacaukan kepercayaan internal Mandalagiri.”
Doyantra Puspaloka, dengan tubuh besarnya yang gagah, berdiri menahan sebagian reruntuhan. Dari punggungnya muncul Airawata, bayangan gajah putih raksasa yang mengangkat balok kayu besar agar para bangsawan bisa melarikan diri.
Doyantra (menggeram pelan):“Tindakan pengecut... tapi dilakukan dengan kepala dingin. Ini bukan amarah. Ini strategi.”
Beberapa detik kemudian—pasukan utama kerajaan mendobrak masuk ke dalam aula.
Sri Maharaja, Raksadana, Maheswara, dan Jayasatya masuk hampir bersamaan. Para bangsawan langsung menyingkir, memberi ruang bagi kekuatan terbesar Mandalagiri.
Asap telah menipis. Proyeksi ular raksasa telah lenyap. Yang tersisa hanya simbol Bayawira yang terpahat di dinding belakang: dua kepala ular merah menyala, berputar seperti menggigit dunia.
Maheswara (keras, suara menggema):“ARUNIKA!!!”
Namun hanya keheningan yang menjawab.
Jayasatya (serius):“Sasaran mereka bukan korban jiwa. Mereka ingin menunjukkan taring... dan menyusup ke jantung kepercayaan kita.”
Sri Maharaja menatap simbol Bayawira yang baru terbentuk di dinding. Ia menghunus Argasunya, dan cahaya perak menyapu ruangan—membersihkan sisa racun, memadamkan api ilusi.
Sri Maharaja (lirih):“Anak yang dulu bernama Indrasuma... kini telah menjelma bayang usang masa lalu. Tapi bayangan tak bisa memimpin negeri. Hanya cahaya yang bisa.”
Maheswara mendekati reruntuhan.
Ia melihat jejak sihir angin, pecahan kristal resonansi, dan lubang kecil tempat Swandari meloloskan diri. Dia mengerti ini bukan sekadar serangan... ini simulasi perang informasi.
Maheswara (berdiri di tengah ruangan):“Mereka menguji kita... dan kita gagal mengendusnya. Mulai hari ini, semua Divisi Guild Bayu Geni harus siaga. Semua kota besar harus meningkatkan pengawasan sihir. Dan mulai hari ini... aku sendiri yang akan memimpin pencarian Jagat Arunika.”
Raksadana dan Jayasatya bertukar pandang.
Raksadana:“Jika kau ingin menyelamatkan dia, Maheswara... kau juga harus siap membunuhnya.”
Maheswara: (dingin)“Aku tidak ingin menyelamatkan dia. Aku ingin menyelamatkan Mandalagiri dari dia.”
Seluruh perhatian kini terpusat pada penanggulangan krisis.
Para bangsawan dagang dievakuasi.
Gedung Menteri Manggala dikelilingi perimeter penjagaan sihir dan militer.
Rapat Dewan Dagang resmi dinyatakan gagal.
Sebuah pesan tertinggal di dinding, bersinar merah samar:
“Bayang Usang tidak akan padam sebelum cahaya yang palsu terbakar.”