RUANG SINGGASANA ISTANA TIRABWANA
Beberapa hari setelah insiden penyerangan di Gedung Dewan Dagang
Langit Tirabwana mendung, awan kelabu menutup langit siang. Namun di dalam ruang singgasana, cahaya lentera berlapis kristal tetap memantulkan kemegahan kerajaan Mandalagiri. Singgasana utama yang berdiri megah di atas tangga emas putih, dikelilingi pilar batu hijau giok, menjadi pusat perhatian saat lima sosok penting memasuki ruangan dengan langkah perlahan namun penuh wibawa.
Mereka adalah: Pangeran Mahadarsa, Nyai Luthfayana Dra'vetha, Jasana Mandira, Cathrine van der Lindt, dan Morzhan.
Para penjaga dan bangsawan istana berdiri memberi hormat. Di depan singgasana tampak Sri Maharaja Darmawijaya, duduk tegak dengan sorot mata bijak namun tegas. Di sisi kirinya, Permaisuri Shandrakirana, menatap dengan anggun. Di belakang mereka berdiri Panglima Agung Jayasatya, Raksadana, Mahamentri Palindrasuta, dan Pangeran Mahkota Maheswara yang bersedekap di bawah tangga singgasana.
Maheswara (tersenyum kecil):“Selamat datang... keluarga adikku.”
Pandangan hangat tertuju pada Cathrine, yang menunduk dengan hormat. Sri Maharaja lalu berdiri, menatap putrinya yang lahir dari masa lalu kelam itu.
Sri Maharaja (lembut):“Kau mungkin dilahirkan di luar dinding istana ini... tapi darahku tetap mengalir dalam nadimu. Dan kini, saat kerajaan dalam bahaya, kau berdiri di hadapanku... bukan sebagai kutuk, tapi sebagai cahaya.”
Cathrine menahan air mata yang menggenang, hanya mengangguk pelan sambil menggenggam tangan Jasana yang berdiri di sampingnya.
Permaisuri Shandrakirana, yang biasanya dingin terhadap hal-hal yang menyangkut pengkhianatan dan masa lalu, justru melangkah turun, menyentuh pundak Cathrine dengan lembut.
Shandrakirana (lirih namun tegas):“Jika luka masa lalu ini ditorehkan oleh tangan kerajaanku sendiri, maka biarlah aku sendiri yang membasuhnya hari ini. Kau tidak bersalah, anakku. Dan kau juga, Lutfayana.”
Lutfayana melangkah maju. Sorot matanya tajam namun anggun. Ia berdiri di hadapan Sri Maharaja, lalu menyilangkan tangan di dada.
Lutfayana:“Paduka Maharaja, izinkan hamba menyampaikan kebenaran yang belum terungkap. Hamba adalah Nyai Luthfayana Dra'vetha, keturunan darah ketujuh dari bangsawan tertinggi Jin Kalathraya.
Hamba bukan sekadar istri dari Jasana, tetapi juga pemimpin pasukan Dra'vetha yang tunduk pada prinsip kebaikan dan penyeimbang antara alam Jin dan manusia.
Bila Paduka mengizinkan, hamba dan pasukan Jin Dra’vetha siap bersumpah di hadapan langit Mandalagiri... untuk memihak kerajaan ini, dan menumpas segala ancaman dari Bayawira maupun kekuatan kegelapan yang lebih kelam dari mereka.”
Hening menyelimuti ruangan sejenak. Aura magis dari darah Jin Dra’vetha memancar dari tubuh Lutfayana, membuat udara berdesir dingin namun memikat.
Panglima Jayasatya mengangguk mantap.
Jayasatya (dalam dan mantap):“Jin Kalathraya adalah legenda dalam taktik perang. Jika mereka bersatu dengan kita... maka bahkan jika Bayawira membawa kekuatan dari kegelapan purba, kita tak akan gentar.”
Raksadana, dengan sorot tajam elangnya, menatap Jasana, lalu pada Lutfayana dan Cathrine.
Raksadana:“Selama niat kalian murni untuk Mandalagiri... maka kekuatan kalian adalah bagian dari tameng kami. Dan pada saatnya... mungkin tombak utama kami juga.”
Sri Maharaja Darmawijaya kembali duduk, lalu mengangguk.
Sri Maharaja:“Mandalagiri tidak pernah menolak cahaya yang datang dari arah yang tak terduga. Dan kali ini, cahaya itu datang dalam bentuk yang tidak kami kira: cinta, keberanian, dan pengorbanan.”
Maheswara, yang sejak awal memperhatikan dengan penuh emosi, akhirnya berbicara lagi—kali ini matanya menatap Jasana.
Maheswara (serius):“Tiga nama tersisa: Jagat Arunika, Lodra Wahana, Swandari Pramesti...
Dulu, kita berdiri bersama di bawah lambang Guild Bayu Geni.
Sekarang, jika takdir menempatkan mereka sebagai musuh, maka kita—kau, aku, dan Raksadana—harus menatap mereka sebagai bayang-bayang yang harus dihapuskan.”
Jasana hanya terdiam, menunduk. Di belakangnya, bayangan Ardhana dan Wiratmaja seolah muncul samar, bergetar seperti ikut merenung.
Jasana (pelan):“Jika mereka tersesat... maka tugas kita bukan sekadar membasmi. Tapi menyadarkan... dan jika tak bisa—barulah kita menghentikan mereka dengan cara yang tidak bisa mereka kembalikan lagi.”
Seluruh bangsawan dan tokoh penting Mandalagiri dalam ruang singgasana kini bersatu dalam satu kesepahaman.
Pasukan Jin Dra'vetha kini resmi menyatakan aliansi dengan kerajaan. Ancaman Bayawira makin terasa nyata. Dan para tokoh dari masa lalu mulai membuka lembaran baru untuk pertarungan akhir yang mulai terasa di cakrawala sejarah.
Narator:“Masa lalu menyisakan luka, namun masa depan ditentukan oleh mereka yang berani menatap kegelapan... dan menyalakan nyala terang dari dalam hati yang rapuh.”
KAKI GUNUNG MANDALAGRAHA, TIMUR LAUT MANDALAGIRI (MANDALAGIRI SELATAN)
Beberapa hari setelah rapat istana, langit bergemuruh menggulung awan kelabu di atas barisan gunung Mandalagraha.
Di kaki gunung yang menjulang tinggi, tampak puluhan tenda dan pos komando pasukan Mandalagiri berdiri tegak. Panji-panji kerajaan berkibar garang: simbol “Naga Tirta” yang mengepulkan asap dari mulutnya, berkibar di antara bentangan tanah berbatu dan semak yang terbakar bekas pertempuran.
Bendera merah-biru-baja dengan gambar naga air itu menandakan: Kerajaan masih berdiri. Masih melawan.
Suara terompet berkumandang. Para prajurit bersenjata lengkap berdiri membentuk barisan siaga. Panglima-panglima kecil memeriksa formasi, sementara pengintai kembali membawa kabar.
Prajurit Utama:“Markas utama Bayawira di tiga dusun kecil telah jatuh! Namun beberapa dari mereka kabur ke arah atas... menuju pelataran gua Mandalagraha!”
Perwira Pengintai:“Mereka menyiapkan pertahanan terakhir. Lodra Wahana dan Swandari telah muncul. Arunika... masih hidup. Dan membawa sesuatu yang bukan dari dunia ini.”
CUT TO – DESA-DESA KECIL DI MANDALAGIRI BARAT
Desa Giriwasesa dan sekitarnya
Di sisi lain Mandalagiri, jauh dari medan perang, suasana lebih tenang. Warga desa mengenakan pakaian sederhana. Anak-anak berlarian, namun tentara patroli kerajaan berjaga di titik-titik strategis. Mereka tak bersenjata, hanya mengawasi.
Di lapangan tengah Desa Giriwasesa, tampak lambang-lambang Bayawira ditumpuk: jubah, senjata, dan penanda keanggotaan. Para mantan elite Bayawira Barat—pendekar tua, mantan tentara, bahkan guru desa—secara sukarela menyerahkan segalanya.
Ketua Patroli Mandalagiri Barat:“Atas nama Sri Maharaja Darmawijaya, kalian diampuni. Tidak akan ditangkap. Tapi kami akan mengawasi.”
Para mantan Bayawira Barat menunduk, sebagian menangis. Mereka hanya ingin kembali menjadi rakyat biasa.
Pendekar Tua Mantan Bayawira:“Jagatmarma memilih damai... kami pun mengikuti. Kami tidak ingin perang saudara ini membakar semua yang tersisa.”
CUT TO – PELATARAN GUA MANDALAGRAHA, DI PUNCAK GUNUNG
Asap hitam mengambang tipis. Tanah retak. Batu-batu besar bergetar. Ribuan pasukan bersenjata, semuanya dalam jubah hitam Bayawira dengan lambang ular berkepala dua berwarna merah, berdiri menghadap ke langit.
Di ujung pelataran, berdiri tiga tokoh utama yang tersisa:
Jagat Arunika, rambutnya ditiup angin gunung, mata kekuningannya berkilat.
Lodra Wahana, berdiri tenang dengan tongkat peraknya, mata penuh strategi.
Swandari Pramesti, tampak seperti bayangan angin, jubahnya melayang, wajahnya sunyi namun teguh.
Jagat Arunika mengangkat tangan. Aura hitam menggulung dari tubuhnya, membentuk pusaran.
Jagat Arunika (dalam nada berat, bergema):“Enam kekuatan sudah di tanganku. Mungkin belum sempurna... tapi cukup untuk meruntuhkan istana palsu Darmawijaya.”
“Saatnya Mandalagiri kembali pada darah sah Suranegara! Kebenaran akan dipulihkan... dan kebusukan tatanan lama akan dibakar bersama istananya!”
Pasukan Bayawira berteriak:
“SURANEGARA! SURANEGARA!”
Lodra melirik Swandari, lalu menatap langit.
Lodra:“Hari ini... bukan hanya akhir dari kekuasaan mereka. Tapi juga akhir dari kita... jika gagal.”
CUT TO – RUANG TAHANAN DIPLOMATIK, ISTANA TIRABWANA
Sebuah ruangan seperti penginapan sederhana: lantai batu bersih, rak buku, tempat tidur berseprei putih, meja kayu, serta bilik air pribadi. Tidak ada rantai. Tidak ada jeruji. Tapi dijaga ketat di luar.
Jagatmarma duduk tenang di kursinya, di depan meja. Pandangannya kosong, menatap cahaya matahari dari kisi jendela. Di belakangnya, Teksaka membersihkan belati sambil duduk bersila. Ratri Andini berdiri di depan cermin kecil, menyisir rambutnya.
Teksaka (santai):“Kapten... aku nggak ngerti, kita di sini dikasih makanan enak, tidur enak, tapi... dunia di luar hampir meledak.”
Ratri (dingin):“Dan saudaramu bersiap membunuh semua yang kita coba lindungi.”
Jagatmarma tidak menjawab. Dia hanya menggenggam sebuah buku tua, membuka halaman terakhir, lalu meletakkannya.
Jagatmarma (pelan, lirih):“Kalian tahu... semua ini dimulai... 42 tahun lalu. Dari kesalahan yang tak pernah ditebus. Dari cinta yang ditinggalkan... dan anak yang tidak diakui.”
Ia menatap keluar jendela. Tatapan itu bukan lagi milik Jagatmarma sang pendekar.
Itu tatapan seorang anak... yang merindukan pengakuan.
Kamera perlahan zoom-out dari jendela tahanan diplomatik. Langit Tirabwana mulai gelap. Di kejauhan, suara petir menggulung. Di sisi lain, suara genderang perang mulai terdengar samar dari arah Gunung Mandalagraha...
Narator:“Sebelum perang dimulai, sejarah harus dibuka. Sebelum pedang dihunus, luka lama harus disaksikan. Dan sebelum darah mengalir kembali... masa lalu yang ditinggalkan akan kembali menagih hutangnya.”
Siap untuk Flashback 42 tahun lalu:
Awal mula skandal Adipati Suranegara dan Laraswidya. Lahirnya anak terlarang: Aryasena Dirgantara, sang Jagatmarma.
FLASHBACK – AKADEMI MILITER TIRABWANA, 42 TAHUN LALU
NARATIF LATAR: AKADEMI MILITER TIRABWANA
Di Distrik Timur kota Tirabwana — dikenal luas sebagai Distrik Pendidikan, berdirilah sebuah kompleks megah berlapis dinding batu putih kekuningan dengan ukiran lambang kerajaan: Naga Tirta menggenggam cahaya. Di tengah distrik itu, menjulang bangunan paling besar dan bergengsi di seluruh Mandalagiri: Akademi Militer Tirabwana.
Akademi ini bukan sekadar tempat pendidikan, melainkan tempat pembentukan generasi masa depan Mandalagiri — tempat para bangsawan, anak saudagar kaya, hingga keturunan keluarga elite disiapkan untuk menjadi pemimpin, pendekar, atau tokoh penting kerajaan.
Dibuka untuk siswa usia 6 hingga 8 tahun, mereka akan berstudi selama 10 tahun penuh di bawah asrama yang ketat namun mewah. Kurikulumnya mencakup:
Ilmu Strategi Militer dan Politik
Beladiri Tradisional dan Teknik Pedang
Sihir Klasik, Elemental, dan Mistik Bangsawan
Etika, Sejarah, Taktik Perang, dan Administrasi Negara
Setiap siswa mengenakan seragam akademi berwarna biru tua dengan aksen emas dan lambang naga di dada kiri. Di kompleks inilah banyak tokoh besar lahir dan ditempa—baik dalam hal kekuatan… maupun intrik.
FOKUS: PANGERAN MUDA SURANEGARA (15 TAHUN)
Salah satu nama paling dibicarakan di tahun ini adalah: Suranegara, anak bungsu dari Sri Maharaja Aghnabumi Darmajaya. Ia dikenal tampan, penuh pesona, dan licik dalam bermain hati. Banyak siswi telah menjadi “korban senyumnya”—diperdaya, dipuji, ditinggalkan. Namun… tak ada yang bisa menyaingi bakatnya dalam teknik pedang. Ia unggul dari seluruh angkatan, bahkan beberapa kakak tingkat.
Setiap gerak langkahnya diikuti sorot mata. Para guru memujinya. Para wanita mendambanya. Dan para lelaki… membencinya diam-diam.
Namun Suranegara tidak sendiri. Kakak perempuannya, Shandrakirana, hanya terpaut satu tahun darinya, juga belajar di sini. Ia jauh berbeda. Anggun, tegas, disegani. Jika Suranegara adalah api nakal yang menyala-nyala, Shandrakirana adalah angin dingin yang tak tergoyahkan.
SUASANA: HALAMAN SAMPING PERPUSTAKAAN AKADEMI
Di sela jam makan siang, Suranegara duduk santai di bangku batu berukir, kaki disilangkan, memutar pedangnya di tangan seperti mainan.
Lalu... suara langkah terdengar. Seorang gadis berhenti di hadapannya.
Laraswidya, pendekar wanita seangkatannya. Wajahnya anggun, tatapannya percaya diri. Ia dikenal tenang, namun tajam. Banyak lelaki minder padanya. Tapi tidak Suranegara. Dan tidak juga Laraswidya terhadap Suranegara.
Laraswidya:“Kalau pedangmu diputar terus begitu, mungkin dia bosan dan akan terbang sendiri, Pangeran.”
Suranegara menoleh. Senyum nakalnya terbit seketika. Sorot matanya menyala seperti biasa — mata seorang pemburu yang baru mencium aroma permainan.
Suranegara (menarik senyum, santai):“Kalau dia terbang... aku tinggal pakai senjata lain. Tapi aku rasa… senjata yang satu ini lebih berguna buat meluluhkan hati.”
Ia menepuk dadanya sendiri.
Laraswidya (tersenyum miring):“Sayangnya aku lebih tertarik pada ketajaman pedang... bukan ketajaman lidah.”
Suranegara tertawa kecil. Ia berdiri perlahan. Tingginya lebih menjulang, tetapi Laraswidya tidak gentar. Sorot mata mereka saling mengukur. Sebuah duel... bukan dalam medan laga, tapi medan batin.
Suranegara (melangkah mendekat):“Menarik. Kau beda dari yang lain. Biasanya mereka gugup, mundur, atau langsung ingin jadi dayangku.”
Laraswidya (menatap tegas):“Aku tidak sedang main peran sebagai dayang. Aku sedang menilai... apakah kau pantas jadi raja.”
Sejenak, hening. Suranegara mengangkat alis. Matanya menyipit sedikit.
Suranegara:“Kau... menarik juga. Tapi hati-hati, Laraswidya... main api dengan Suranegara, bisa-bisa kau terbakar.”
Laraswidya (tersenyum tenang):“Kita lihat siapa yang terbakar lebih dulu... Pangeran.”
NARATOR:
"Pertemuan ini—yang tampak ringan—sejatinya adalah awal dari rangkaian kehancuran dan takdir yang membentuk masa depan kerajaan Mandalagiri. Sebab dari percikan kecil inilah, nyala api yang besar akan membakar istana dan darah bangsawan akan tertumpah di jalan takdir."
[KISAH AWAL MULA ASMARA LARASWIDYA & SURANEGARA]
(“Perang Cinta” di Akademi Militer Tirabwana)
Narasi Pembuka:
Hari-hari setelah pertemuan pertama itu terasa lebih… gaduh dari biasanya di Akademi Militer Tirabwana. Tidak ada satu minggu pun berlalu tanpa suara saling sindir, ejekan, atau keusilan yang menyulut tawa seluruh teman seangkatan.
Dua nama mendominasi keramaian itu:Pangeran Suranegara dan Laraswidya.
Mereka adalah api dan es yang terus menyulut satu sama lain. Satu penuh kenakalan, satu lagi penuh ketegasan menusuk.
Namun... siapa sangka, di balik pertikaian kecil dan permainan ego, cinta mulai tumbuh dengan sangat diam-diam.
Episode Pertikaian Kocak 1: Kamar Asrama Basah
Suatu malam, Suranegara terbangun mendapati seluruh pakaiannya basah kuyup. Ember bocor di atas tempat tidurnya. Ketika ia mengumpat dan bangkit, seluruh isi seprei dipenuhi daun kering yang dilempar dari jendela atas.
Suara tawa lirih terdengar dari balkon asrama perempuan.
Laraswidya (berseru):“Mungkin langit tidak suka kau terlalu lama menggoda gadis-gadis di lapangan sore tadi!”
Suranegara (dengan senyum menahan geram):“Tunggu saja... aku balas. Dan balasanku biasanya lebih... berkesan.”
Episode Pertikaian Kocak 2: Surat Cinta Palsu
Keesokan harinya, Laraswidya menerima surat cinta. Katanya dari salah satu kakak tingkat tampan. Isinya manis dan penuh pujian, hingga membuatnya tersenyum di bawah pohon bunga mandhala.
Tapi... saat ia membalas surat itu dan meninggalkannya di bawah pohon, ternyata yang datang membacanya adalah seekor kambing akademi, dengan pita merah dan tulisan:“Kakak tampan tak bisa datang, tapi dia kirim pengganti.”
Tawa Suranegara pecah di balik pagar.
Laraswidya (berteriak, wajah merah):“KAU! SURANEGARA! BERANI-BERANINYA!”
Suranegara (masih tertawa):“Kambing pun pasti jatuh cinta padamu, Laras!”
Dinamika Berubah: Dari Benci Menjadi... Bingung
Namun perlahan... sesuatu berubah.
Hari itu Laraswidya jatuh di medan latihan. Kakinya terkilir saat duel tanding dengan pendekar lain. Semua orang menonton dari kejauhan. Tapi hanya satu orang yang segera berlari, membawa salep, memapahnya ke klinik.
Suranegara.
Dan hari itu... untuk pertama kalinya, ia tidak bercanda. Tidak menggoda. Hanya duduk di samping Laraswidya, diam.
Suranegara (pelan, menatap kaki Laras):“Kalau kau cedera, siapa lagi yang akan menjahili aku setiap hari?”
Laraswidya (tersenyum samar):“Siapa bilang aku menjahilimu... mungkin kau memang menyebalkan dari awal.”
Mereka tertawa kecil bersama. Dan tawa itu... terasa berbeda dari biasanya. Bukan karena keusilan. Tapi karena kenyamanan.
Perang Ego Dimulai: Siapa Jatuh Cinta Duluan
Setelah kejadian itu, mereka semakin sering bersama. Tapi bukan sebagai sepasang kekasih. Belum.
Karena ada satu prinsip tak tertulis di antara mereka:
"Yang menyatakan cinta lebih dulu, berarti kalah dan takluk."
Maka perang baru dimulai. Bukan perang fisik. Tapi perang batin, penuh strategi diam-diam:
Suranegara pura-pura dekat dengan gadis lain, untuk melihat cemburu di mata Laraswidya.
Laraswidya sering memuji pendekar tampan lain di hadapannya, berharap ada kemarahan kecil dari sang pangeran.
Saat mereka berdua duduk di bawah pohon mandhala — tempat biasa mereka membaca — jari mereka sempat bersentuhan, tapi tak ada yang menarik tangan lebih dulu.
Laraswidya membuatkan kalung dari anyaman benang sihir untuk “melindungi Suranegara dari siluman leher panjang”. Tapi tak pernah mengaku itu simbol perhatian.
Suranegara menyelipkan buah kesukaan Laraswidya ke loker mejanya tiap pagi. Tapi ketika ditanya, ia hanya menjawab: “Pasti dari pemujamu. Aku sih nggak punya waktu sebegitunya.”
Narasi Penutup:
"Cinta mereka tumbuh bukan dari pengakuan manis... tapi dari pertikaian dan keusilan yang menjelma perhatian. Dari cemburu yang tersembunyi... hingga kenyamanan yang tak pernah mereka ucapkan. Namun dunia tidak selalu memberi ruang bagi cinta yang tumbuh di tengah ego bangsawan dan tugas negara. Sebab cinta mereka… adalah cinta yang belum sempat selesai."
[FASE SKANDAL — "SEMUANYA BERAWAL DI DALAM GUA"]
Akademi Militer Tirabwana, Tahun ke-8 Masa Studi Suranegara & Laraswidya
Usia mereka: 16 tahun
Narasi Pembuka:
Latihan lapangan diadakan oleh Akademi Tirabwana di lereng selatan Hutan Taruksa. Latihan ini bertujuan untuk menguji kemampuan orientasi, siasat kelompok, dan bertahan hidup di alam liar. Peserta dibagi dalam beberapa tim, termasuk Suranegara dan Laraswidya yang — karena hasil undian takdir — masuk tim yang sama.
Namun, hari itu langit Mandalagiri menunjukkan murka. Awan mendung menggulung, dan petir menyambar dari balik kabut, seolah menandai sebuah titik balik dalam hidup dua remaja bangsawan itu.
Kejadian di Tengah Hutan:
Saat badai mulai turun, kelompok mereka terpecah karena salah jalur. Dalam kericuhan dan hujan deras, hanya Suranegara dan Laraswidya yang terlihat berlari ke arah utara — menjauh dari rute utama.
Mereka berteduh dalam sebuah gua sempit di balik batu besar. Nafas terengah. Pakaian basah kuyup. Rintik hujan menghantam bebatuan. Petir menggelegar.
Suranegara (mendesis pelan):"Kau lihat ini... kita bahkan belum sempat menyelesaikan misi. Dan aku tidak bisa melihat peta dalam kondisi begini."
Laraswidya (menatapnya, dingin namun gemetar):"Salahmu. Kalau saja kau tidak sok jadi pemimpin tim, kita tidak akan tersesat."
Suranegara (tersenyum kecil):"Kau menyalahkanku sambil duduk di sampingku, hangat, di dalam gua yang kubawa masuk?"
Laraswidya:"Berhenti menggoda. Ini bukan saatnya."
Namun... diam-diam mereka saling menatap. Tatapan itu lama. Mata mereka berbicara lebih banyak dari mulut mereka. Sorot cemas Laraswidya. Senyum tipis Suranegara yang akhirnya meredup. Tak ada tawa nakal malam itu. Hanya ketelanjangan perasaan yang selama ini mereka tutupi.
Kondisi Dalam Gua:
Pakaian basah mereka membuat tubuh menggigil. Dalam keheningan, Suranegara melepas jubah luar dan mengeringkannya di api kecil yang ia buat dari teknik dasar sihir panas. Ia menatap Laraswidya, yang memeluk dirinya sendiri, tubuhnya menggigil.
Suranegara:"Kau akan sakit. Pakai ini dulu."(Ia sodorkan jubah luarnya)
Laraswidya (menolak):"Tidak perlu... aku bukan gadis manja."
Suranegara:"Aku tahu. Tapi aku tidak ingin kamu mati kedinginan sebelum mengaku kau menyukaiku duluan."
Laraswidya (menoleh cepat):"APA?!"
Mereka bertengkar — lagi. Tapi malam itu... pertengkaran itu menipis. Yang tertinggal hanyalah dua anak muda, terlindung dari dunia, terisolasi dalam kejujuran tanpa saksi.
Malam Semakin Dalam... dan Perasaan Semakin Jelas
Saat angin makin dingin, mereka duduk berdampingan, saling menyandarkan bahu, saling berbagi kehangatan.
Suranegara (suara pelan):"Kalau aku tidak seorang pangeran... dan kau bukan gadis yang keras kepala... mungkin kita sudah saling mengakui sejak lama."
Laraswidya (suaranya lebih pelan):"Kalau aku bukan gadis biasa... mungkin kau takkan pernah memperhatikanku."
(Senyum kecil mengembang di wajah mereka)
Suranegara (menatap dalam):"Kau salah. Aku justru memperhatikanmu... karena kau satu-satunya yang tak pernah memujaku."(Ia mendekat, menatap matanya dengan serius)"Aku serius, Laras."
Laraswidya (pelan, namun penuh makna):"Aku juga... Suranegara..."
Dan malam itu...perasaan yang selama ini terpendam, pecah dalam keheningan gua. Ciuman pertama. Dekapan pertama. Dan langkah yang tak pernah bisa mereka tarik kembali.
Narasi Lanjutan:
Esok paginya mereka ditemukan oleh tim pengawas akademi. Tidak ada yang curiga, tidak ada yang tahu. Hanya dua remaja yang tampak lelah karena “tersesat semalaman.”
Namun waktu tidak bisa disangkal.
Beberapa bulan kemudian, Laraswidya mulai merasa perubahan dalam tubuhnya. Ia menyembunyikannya sekuat tenaga. Tapi rasa mual, perubahan emosi, dan lambatnya gerak saat latihan — semuanya membuat sahabat dekatnya curiga.
Usia kandungannya 3 bulan saat ia dipanggil ke ruang kepala akademi. Dan disitulah... kebenaran terungkap.
Ayah dari anak itu: Pangeran Suranegara.
PENGASINGAN LARASWIDYA & KELAHIRAN ANAK TERLARANG
Narasi Pembuka:
Dunia Laraswidya runtuh bukan karena perutnya yang membesar……melainkan karena nama baik keluarganya yang tercabik diam-diam.
Setelah kabar kehamilannya mencapai telinga para petinggi istana, keputusan dijatuhkan cepat tanpa diskusi. Atas nama kehormatan kerajaan, dan demi menjaga stabilitas politik Tirabwana, Laraswidya dikeluarkan dari Akademi Militer Tirabwana secara diam-diam, dan diasingkan bersama keluarganya ke sebuah rumah kecil di pinggiran selatan kota.
Tak ada peradilan. Tak ada kata maaf dari Suranegara. Hanya kabar bahwa makanan sehat dan obat-obatan akan dikirim secara rahasia oleh pihak istana hingga hari kelahiran tiba.
INT. RUMAH PENGASINGAN – PINGGIRAN TIRABWANA – MALAM
Hujan turun pelan di luar. Di dalam rumah kayu sederhana itu, Lilin-lilin temaram menerangi wajah pucat Laraswidya yang tengah berjuang melahirkan. Ibunya menggenggam tangan putrinya, air mata mengalir diam-diam. Tak ada bidan bangsawan. Hanya dua perempuan tua desa yang biasa membantu persalinan.
Tangis bayi memecah malam. Suara itu tak disambut sorak gembira……melainkan hening. Tangis haru tertahan.
Laraswidya (lemah, namun tegas):"Aryasena… Dirgantara…"(ia memandangi anak lelaki yang dibedong, wajahnya mirip sang ayah)"Kau akan terbang bebas… meski aku harus kehilangan sayapku…"
NARASI:
Nama itu lahir dari luka. Aryasena Dirgantara. Seorang anak hasil cinta yang tak sempat diucap. Darah seorang pangeran… dan air mata seorang wanita yang tak pernah diakui.
Namun, tak lama setelah kelahirannya, datang dua prajurit berpakaian istana dengan wajah penuh belas kasihan. Tanpa kata, mereka membawa bayi itu — atas perintah langsung Sri Maharaja Aghnabumi Darmajaya.
“Anak ini akan dirawat dan dijauhkan dari sorotan. Keluargamu akan mendapat bekal harta. Tapi kau harus pergi dari Tirabwana... untuk selamanya.”
Laraswidya tak melawan. Ia tahu, kerajaan tidak memberi ruang bagi kesalahan. Bahkan bagi cinta.
INT. ISTANA TIRABWANA – KAMAR PRIBADI SHANDRAKIRANA – MALAM
Shandrakirana murka. Ia melempar gulungan laporan dari Akademi ke meja, wajahnya memerah.
Shandrakirana (berteriak pada ayahnya):"Kau selalu memanjakan Suranegara! Dan lihat sekarang! Dia menghancurkan masa depan seorang gadis—dan kau melindunginya?!"
Sri Maharaja Aghnabumi (dingin dan tajam):"Aku melindungi garis keturunan Mandalagiri. Cinta adalah kelemahan. Ia adalah pewaris, bukan laki-laki biasa."
Shandrakirana:"Itu anak Suranegara! Anak yang tak bersalah!"
Sri Maharaja Aghnabumi:"Dia tak punya tempat di istana. Dia akan dibesarkan… tapi bukan sebagai darahku."
INT. RUMAH KELUARGA KIRWANA – 2 MINGGU KEMUDIAN
Seorang prajurit tua, Kirwana, membuka pintu. Di hadapannya, dua prajurit muda menyerahkan seorang bayi yang dibungkus kain biru lembut.
Prajurit:"Atas perintah Sri Maharaja. Anak ini dititipkan padamu Ibunya memberi nama Aryasena Dirgantara. Rawat dia seperti anakmu sendiri. Kalau bisa Jangan pernah katakan siapa dia sebenarnya."
Kirwana menatap anak itu dengan sorot tajam namun penuh rasa kasihan. Di usia senjanya, ia tak menyangka akan menjadi ayah dari rahasia terbesar kerajaan.
Kirwana (pelan, menyentuh dahi sang bayi):"Aryasena… Anakku mulai malam ini."
Narasi Penutup:
Tahun demi tahun berlalu. Aryasena tumbuh di sudut kota Tirabwana sebagai anak seorang ksatria tua — tak pernah tahu bahwa darah kerajaan mengalir dalam nadinya.
Di sisi lain, Suranegara menamatkan studi militernya dan dinikahkan dengan bangsawan tinggi Tirabwana, Dewi Pramesti, sebagai bagian dari rencana penguatan politik kerajaan. Hidup di distrik pusat keluarga raja, ia mengenakan senyum kemenangan……namun mengubur dalam-dalam luka dari cinta yang ia tinggalkan.
Sementara Aryasena, anak haram tanpa gelar, tumbuh dalam bayang-bayang sejarah yang berusaha dilupakan. Namun sejarah… tidak pernah benar-benar mati.
32 TAHUN LALU “AWAL PERJALANAN ARYASENA DIRGANTARA”
LOKASI: RUMAH KIRWANA, PINGGIRAN KOTA TIRABWANA
Narasi Pembuka:
Ada anak-anak yang lahir dari cinta...Ada pula yang lahir dari skandal...Tapi Aryasena Dirgantara — lahir dari takdir yang tak bisa dibantah. Darah kerajaan dalam tubuh rakyat biasa.
EXT. PINGGIRAN KOTA TIRABWANA – PAGI
Angin sejuk meniup dedaunan yang menguning di halaman rumah kayu besar milik Kirwana, seorang prajurit tua bangsawan ksatria bawah. Di halaman rumah itu, Aryasena kecil berusia 8 tahun sedang berlatih memutar pedang kayu, tubuhnya tinggi dan tegap untuk anak seusianya. Tatapan matanya tajam, namun wajahnya ceria.
Kirwana berdiri di teras, menyeduh teh pahit khas pegunungan. Sesekali ia tersenyum mengamati gerakan Aryasena.
Kirwana (senyum kecil):“Kau bukan hanya cepat, Arya… kau juga tajam. Seperti angin yang mengiris kulit sebelum disadari.”
Aryasena (dengan nada bangga):“Aku akan jadi pendekar hebat, Ayah! Seperti ceritamu dulu di medan perang…”
Kirwana hanya mengangguk, hatinya terasa hangat. Dalam diam, ia menyadari:"Kau bukan darahku… tapi kau adalah putraku."
MONTAGE KENANGAN (DALAM BAYANGAN KIRWANA):
Aryasena kecil (usia 6 tahun) memegang pedang kayu dan tertawa saat berhasil memotong seikat jerami yang digantung.
Kirwana dan Aryasena mendaki bukit kecil untuk mengamati bintang, Kirwana menjelaskan bintang “Naga Timur” adalah pelindung para pemimpin sejati.
Mereka berkemah di hutan kecil, memasak ikan hasil tangkapan dan tertidur di bawah langit terbuka.
Kirwana mengobati luka Aryasena dengan daun herbal sambil menyanyikan lagu prajurit lama.
INT. RUMAH KIRWANA – SIANG
Tiga utusan istana berpakaian biru gelap datang menunggang kuda. Mereka membawa dokumen bertanda segel kerajaan. Kirwana membaca surat itu perlahan, lalu menatap Aryasena dengan wajah tak bisa disembunyikan: bangga dan sedih.
Utusan:“Atas perintah Sri Maharaja, anak ini diperkenankan untuk masuk Akademi Militer Tirabwana. Ia akan menggunakan nama ‘Aryasena Kirwana’, dari garis bangsawan bawah. Bakatnya… tak bisa lagi diabaikan.”
Kirwana menatap Aryasena, yang terlihat bingung.
Aryasena:“Ayah… aku harus pergi?”
Kirwana (menahan haru):“Bukan harus, Nak. Tapi sudah saatnya. Kau bukan hanya anak kampung. Dunia harus tahu siapa dirimu... meski belum tahu siapa asalmu.”
EXT. DEPAN RUMAH KIRWANA – PAGI KEESOKANNYA
Sebuah kereta kencana berlogo Akademi Tirabwana telah menunggu. Aryasena mengenakan seragam awal akademi berwarna biru tua dengan aksen emas dan lambang naga di dada kiri, membawa tas kecil dan pedang kayu warisan Kirwana. Ia berdiri menatap rumah yang telah menjadi dunianya selama 8 tahun.
Aryasena (memeluk Kirwana):“Ayah… aku akan kembali sebagai pendekar hebat. Aku janji.”
Kirwana (dengan air mata yang jatuh perlahan):“Kau tak perlu kembali hebat, Nak… Cukup kembali dengan hati yang baik. Itu lebih penting dari sejuta ilmu.”
Kereta mulai melaju. Aryasena melambaikan tangan. Kirwana tersenyum… lalu menangis. Tangannya menggenggam erat gagang pintu rumah, namun hatinya melepaskan.
NARASI PERALIHAN – EXT. KOTA TIRABWANA – DISTRIK PENDIDIKAN – SIANG
Kereta melintasi gerbang megah Distrik Pendidikan Tirabwana. Bangunan tinggi berjendela kaca, lapangan latihan, menara sihir, dan perpustakaan menjulang di kejauhan. Akademi Militer Tirabwana, bangunan megah berbentuk tapal naga dengan lambang “Naga Tirta” di atas gerbang emasnya, menyambut anak-anak terpilih dari seluruh penjuru Mandalagiri.
Di sinilah perjalanan Aryasena Dirgantara, anak yang tak tahu jati dirinya, akan dimulai.
INT. ASRAMA AWAL – AKADEMI TIRABWANA – MALAM PERTAMA
Aryasena duduk di ranjang kayu, melihat ke luar jendela. Ia membuka gulungan kecil — pesan dari Kirwana.
“Nak, pelajarilah semuanya. Tapi jangan pernah kehilangan siapa dirimu. Dunia bisa salah menilai. Tapi kebenaran... akan memanggilmu pada waktunya.”
Aryasena menatap bintang di langit. Matanya tak tahu, takdir sebesar Mandalagiri telah ditulis dalam nadi-nya.
Scene Ditutup dengan Narasi:
"Nama boleh disamarkan…Tapi darah akan tetap berseru pada garisnya. Aryasena — kelak akan dikenal dengan nama lain: Jagatmarma. Dan Mandalagiri akan bergetar oleh langkahnya."
ISTANA TIRABWANA, WAKTU YANG SAMA “BAYANG-BAYANG PENGKHIANATAN DI BALIK SINGGASANA”
INT. ISTANA TIRABWANA – PAVILIUN UTAMA PANGERAN MAHKOTA SURANEGARA
Di sebuah taman kecil dalam lingkungan pribadi istana, Pangeran Suranegara (usia 26) duduk bersila di atas lantai batu putih, ditemani oleh istri sahnya, Dewi Pramesti, serta putra kecil mereka yang berusia 2 tahun — Indrasuma. Anak itu sedang memainkan pedang kayu kecil, pura-pura bertarung melawan bayangan.
Dewi Pramesti (tersenyum lembut):“Lihatlah, Surana… darahmu mengalir kuat dalam dirinya. Indrasuma akan tumbuh menjadi pendekar hebat sepertimu.”
Suranegara (memandang anaknya dengan tenang):“Ia harus lebih dari sekadar pendekar. Ia harus mengerti takhta… dan kesepian yang datang bersamanya.”
Namun senyum itu menyembunyikan gejolak batin. Di dalam dada Suranegara, masih tersimpan luka lama yang belum kering — cinta yang hilang, rahasia yang dikubur.
Aryasena.
Nama itu tak pernah dia sebutkan. Bahkan dalam doa. Bagi Suranegara, anak dari Laraswidya itu adalah bayang-bayang dosa, wajah dari masa remajanya yang gagal, cinta yang tak bisa dipertahankan, dan aib yang memecah impian menjadi raja agung.
INT. AULA BESAR ISTANA TIRABWANA – DEWAN ISTANA DALAM
Sementara itu, di ruangan lain istana yang diselimuti pilar-pilar gelap dan langit-langit tinggi, berkumpullah para anggota Dewan Istana Dalam. Di tengah duduk seorang pria tua berwibawa namun bermata licik — Aryawangsa Kertadarma, penasihat utama istana dan tokoh kuat dari balik layar.
Aryawangsa (nada tegas dan licik):“Pangeran Suranegara tak layak duduk di atas takhta... bukan karena kekurangannya, tapi karena aib yang telah dia wariskan.”
Anggota Dewan Lain:“Tapi dia masih pewaris sah…”
Aryawangsa:“Apakah darah semata cukup untuk memimpin Mandalagiri? Apakah kita akan membiarkan kerajaan dipimpin oleh pria yang menelantarkan anaknya sendiri dan merusak martabat akademi ketika masih remaja?”
(Hening menyelimuti aula)
Aryawangsa (melanjutkan):“Darmawijaya lebih layak. Dia suami Putri Shandrakirana, panglima perang yang telah menaklukkan Selatan. Dan dia tidak membawa aib.”
INT. DISTRIK KELUARGA KERAJAAN – PAVILIUN SHANDRAKIRANA
Putri Shandrakirana (usia 27) sedang duduk di sebuah ruang tenang, ditemani kedua putranya — Aryasatya (4) dan Mahadarsa (3). Tak jauh darinya, terlihat Dewi Laksmiwara — istri kedua Darmawijaya, memandikan Maheswara (2) sambil bersenandung pelan.
Masuklah Darmawijaya dari pintu belakang. Rambutnya sedikit berdebu, pakaian militernya masih membawa aroma ladang latihan.
Darmawijaya (mencium tangan istrinya):“Kerajaan sedang bergetar dalam diam. Aku bisa merasakannya…”
Shandrakirana (dingin):“Itu karena Suranegara melemah. Dia tenggelam dalam bayangan masa lalunya.”
Darmawijaya:“Dan Dewan mengangkat namaku sebagai gantinya?”
Shandrakirana (menatap tajam):“Aku tahu kau tak menginginkan takhta… tapi jika mereka menyerahkan itu padamu… jangan tolak, Darma.”
Darmawijaya:“Aku hanya ingin melindungi Mandalagiri, bukan menguasainya.”
INT. KAMAR SRI MAHARAJA AGHNABUMI – ISTANA TIRABWANA
Sri Maharaja Aghnabumi Darmajaya terbaring lemah. Sosoknya yang dulu gagah kini rapuh. Di samping tempat tidurnya terdapat lukisan lama dirinya bersama mendiang Permaisuri Daryanegari — wanita bijak yang telah tiada bertahun-tahun lalu karena penyakit langka, meninggalkan dua anak kecil yang kini menjadi pusat perebutan takhta.
Aghnabumi (dalam batin, suara naratif):“Aku menciptakan dua garis…Satu lahir dari warisan, Satu tumbuh dari kehormatan. Tapi keduanya… sedang mengarah pada benturan.”
INT. ISTANA – RUANG SURA DIRAHASIAKAN
Sementara itu… isu lama mulai mengalir ke sudut-sudut kota.
Gosip tentang anak tak diakui mulai diperbincangkan di kalangan bangsawan dan rakyat kelas menengah. Di pasar-pasar ramai, pengrajin dan penjual mulai berbisik-bisik. Di lorong-lorong istana, para pelayan mulai berhati-hati ketika melewati paviliun Suranegara.
Nama Aryasena… mulai kembali terdengar. Tapi bukan sebagai pangeran.Melainkan sebagai anak dari cinta terlarang.
NARASI PENUTUP SCENE:
“Kerajaan yang besar... bukan hanya berdiri di atas kemenangan.Tapi juga diselimuti oleh rahasia yang dikubur dalam-dalam.”
“Dan ketika satu rahasia mulai terkuak…Darah, kekuasaan, dan dendam akan bangkit menagih haknya.”
"Bayangan masa lalu Pangeran Mahkota Suranegara...Telah kembali. Dan ia bernama: Aryasena Dirgantara."
31 TAHUN LALU“PENGASINGAN SANG PEWARIS YANG GUGUR”
📜 Prolog Naratif:
"Satu demi satu cahaya istana padam… bukan oleh waktu,tapi oleh tangan-tangan yang mengatur bayang-bayang."
"Nama Suranegara, putra sang raja, pewaris tahta yang sempat dipuja, kini dicabik oleh fitnah dan dendam istana."
INT. ISTANA TIRABWANA – RUANG DEWAN ISTANA DALAM
Di dalam ruang megah berselimut karpet merah dan tiang batu putih berukir naga, para tetua duduk membentuk lingkaran kecil. Di tengah, berdiri sosok tua penuh tipu daya dan karisma dingin — Aryawangsa Kertadarma, pemimpin Dewan Istana Dalam.
Aryawangsa (nada sinis, perlahan):“Pangeran Suranegara bukan hanya lemah dalam moral…Tapi juga telah menyimpan anak haramnya di balik dinding istana ini. Akademi Tirabwana dulu… tak pernah benar-benar menyembunyikan aibnya.”
Anggota Dewan:“Tapi bukti itu telah disegel raja sendiri.”
Aryawangsa:“Dan kini sang raja telah tiada. Apakah kita akan membiarkan takhta dipegang oleh pria yang menyemai dosa, yang darahnya bercampur kehinaan dan kesenangan duniawi?”
Lalu dibentangkanlah surat palsu, "temuan rahasia", konon berisi laporan penggelapan dana latihan militer akademi oleh orang kepercayaan Suranegara. Disusul kabar rekayasa saksi yang mengatakan Suranegara menyembunyikan anak luar nikah dan mempermainkan beberapa wanita dari kalangan bangsawan saat masa mudanya.
“Fitnah telah menjadi hukum.”
INT. BALAI PERTEMUAN ISTANA – TIGA HARI SETELAH WAFATNYA SRI MAHARAJA
Rakyat menunduk dalam duka. Sri Maharaja Aghnabumi Darmajaya wafat mendadak. Seluruh kota Tirabwana berduka, namun di dalam duka itu, kekuasaan kosong membuat taring-taring politik mulai bermunculan.
Dewan Istana Dalam mengeluarkan pernyataan:
“Sementara waktu, kepemimpinan akan dipegang oleh Dewan Istana Dalam hingga calon pengganti ditentukan secara adil dan tidak tercela.”
Dan dalam waktu hanya dua minggu, semua simbol, lambang, dan wewenang Pangeran Mahkota Suranegara ditangguhkan. Dewi Pramesti dipanggil, wajahnya tenang namun hatinya goyah. Ia tahu, ini bukan sekadar "pengunduran sementara". Ini adalah pengasingan dalam nama kehormatan.
EXT. GERBANG ISTANA TIRABWANA – PAGI KELAM
Kereta kuda hitam berhias lambang naga dicopot. Pasukan berjajar membentuk barisan penghormatan kosong. Suranegara (27 Tahun), Dewi Pramesti (26 Tahun), dan anak mereka Indrasuma (3 Tahun) melangkah keluar paviliun kerajaan dengan wajah menunduk.
Tidak ada rakyat yang bersorak. Tidak ada iring-iringan kebesaran. Hanya tatapan tajam dan bisikan keji dari lorong-lorong batu.
EXT. JALAN MENUJU PELATARAN KOTA TIRABWANA – SAAT ITU JUGA
Di sisi lain jalan, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun berlari dengan sekuat tenaga — Aryasena Dirgantara, mengenakan seragam latihan Akademi Tirabwana.
Aryasena (teriak parau, matanya berkaca-kaca):“AYAH!”
Suranegara berhenti. Dewi Pramesti menunduk dalam kesedihan. Indrasuma kecil tampak bingung melihat bocah yang menyeruak dari kerumunan.
Aryasena berlari, menembus pagar penjagaan. Ia ingin ikut. Ia ingin bersama keluarganya.Tapi yang dia dapat justru...
Suranegara (mendekat, suaranya gemetar penuh emosi tertahan):“Kau… KAU penyebab semua ini!”
Tiba-tiba, pukulan keras mendarat di wajah Aryasena. Disusul tendangan dan tamparan. Anak kecil itu jatuh ke tanah, darah mengalir dari pelipisnya.
Suranegara (berteriak penuh dendam):“Kau bukan anakku! Kau adalah DOSA yang merusak hidupku!”
Aryasena tak berkata. Hanya air mata yang turun, bersatu dengan darah di pipi. Indrasuma kecil mencoba menahan ayahnya, meraih jubah Suranegara sambil menangis.
Indrasuma (dengan suara kecil):“Ayah… jangan sakiti Kakak…”
Suranegara gemetar. Tapi kemudian dia menghela napas, menyentakkan tangan anaknya.
Suranegara (dingin, tajam):“Anakku hanya satu… dan itu bukan dia.”
EXT. PELATARAN KOTA – DETIK-DETIK PERPISAHAN
Suranegara menaiki kereta kuda bersama Dewi Pramesti dan Indrasuma. Kereta perlahan bergerak menjauh, meninggalkan Aryasena yang terduduk lemah di jalan berbatu.
Dari dalam kereta, Indrasuma kecil menoleh ke belakang, menatap sang kakak yang tertinggal di kejauhan…mata mereka bertemu. Tak ada kata, hanya luka yang kelak tumbuh menjadi jurang tak terlihat di masa depan.
📜 Penutup Naratif:
“Dosa masa muda tak pernah benar-benar hilang…hanya menunggu saatnya menuntut kembali apa yang dilupakan.”
“Hari itu… Suranegara kehilangan takhta. Tapi yang paling tragis — ia juga kehilangan anak sulungnya.”
“Dan di tengah jalan berbatu itulah, tumbuh seorang anak yang kelak…akan menjadi badai bagi seluruh Mandalagiri.”
31 Tahun Lalu“Tawa yang Menyembunyikan Luka”
(Lanjutan perjalanan masa kecil Aryasena Dirgantara alias Jagatmarma)
🎬 EXT. HALAMAN DEPAN AKADEMI MILITER TIRABWANA – PAGI HARI, HUJAN DERAS
Aryasena Dirgantara (9 tahun) berdiri sendirian di tengah hujan. Seragam akademinya basah kuyup, rambutnya menempel di dahinya, darah kering masih menempel samar di pelipis kirinya—luka yang belum lama terjadi.
Ia baru saja dihajar oleh ayah kandungnya sendiri.
Tapi kini, dia tidak menampakkan amarah. Tidak juga sedih.
Dia tersenyum.
Aryasena (gumam lirih, memejamkan mata di bawah hujan):“Kalau aku menangis, mereka menang. Tapi kalau aku tersenyum… mereka tak tahu apa-apa.”
🎬 INT. KELAS AKADEMI – SIANG HARI
Seorang pengajar membahas teori sihir defensif. Di antara murid-murid, terdengar bisikan dan lirikan sinis.
Murid A (berbisik):“Itu anak haram katanya… buah dari skandal yang dulu itu…”
Murid B (menertawakan):“Tapi aneh ya… kok dia bisa juara terus tiap ujian? Dasar anak kutukan!”
Aryasena hanya tersenyum. Bahkan ia menoleh dan melambaikan tangan ke arah mereka — dengan ceria, seolah semuanya tidak berarti.
Namun di balik tawa itu, luka batinnya dalam. Dan satu-satunya obat… adalah prestasi.
🎬 MONTAGE: Latihan dan Kehidupan Aryasena di Akademi
Latihan pedang: Aryasena menang melawan dua lawan sekaligus.
Ujian sihir dasar: Ia mampu membentuk perisai energi di usia termuda dalam sejarah akademi.
Latihan fisik: Ia mengangkat beban dua kali lipat dari murid seangkatannya.
Perpustakaan: Ia membaca buku tentang taktik perang dan sejarah raja-raja Mandalagiri, sendirian, di sudut ruangan.
Dia unggul. Dia bersinar. Tapi tak ada yang tahu… sinar itu lahir dari luka yang ia sembunyikan di balik senyum dan tawa jenaka.
🎬 EXT. ISTANA TIRABWANA – WAKTU YANG SAMA
Sri Maharaja Darmawijaya naik takhta. Pakaian kebesaran mengilap membalut tubuhnya. Di sampingnya berdiri Shandrakirana, sang permaisuri agung.
Sorak sorai rakyat menggema. Mereka menyambut pemimpin baru yang gagah dan kharismatik.
"Seorang raja yang kuat dan adil..."
"Yang setia pada dua istrinya..."
"Yang mencintai keluarga dan rakyatnya..."
Tapi di balik tahta emas itu… tersembunyi jerat.
🎬 INT. RUANG RAHASIA ISTANA – MALAM HARI
Di ruangan gelap penuh gulungan dokumen tua, Aryawangsa Kertadarma duduk di balik meja panjang.
Darmawijaya berdiri di hadapannya, wajahnya muram.
Aryawangsa (dingin, tenang):“Kami menjadikanmu raja, Darmawijaya. Jangan lupa… siapa yang membungkam Suranegara. Jangan lupa… siapa yang menghapus masa lalumu di Perang Selatan.”
Darmawijaya menunduk. Matanya menyimpan kegelisahan. Tapi ia tetap diam.
Darmawijaya (pelan):“Aku tak pernah meminta semua ini… Tapi sekarang… aku tak bisa mundur.”
🎬 INT. ASRAMA AKADEMI – MALAM HARI
Aryasena (Jagatmarma) duduk sendirian di atas ranjangnya. Sebuah buku catatan kecil ada di pangkuannya. Di luar, hujan kembali turun.
Ia menulis:
“Hari ini aku dipanggil ke ruangan pelatih utama. Katanya… aku harus ikut latihan khusus minggu depan. Tapi bukan itu yang membuatku gelisah…”
Flash kilat menyambar jendela. Langit bergetar.
Di luar kamar, terdengar denting samar logam…Lalu suara gaib yang memanggil.
Suara Gaib (dalam bisikan lirih):“Putra dari darah terbuang…Engkau akan memanggilku… ketika rasa sakit menjadi kekuatanmu…”
Aryasena mematung. Tangan kirinya bergetar, lalu terasa panas. Saat ia membuka telapak tangan — ada kilau cahaya samar berwarna putih-perak muncul dari kulitnya.
🎬 NARASI PENUTUP
“Di bawah hujan… seorang anak belajar tertawa untuk menutupi luka.”
“Dan di balik tawa itu… kekuatan mulai bangkit, perlahan tapi pasti.”
“Ia tidak tahu siapa dirinya. Tapi darah yang mengalir… tahu ke mana takdir akan membawanya."
28 TAHUN LALU
Judul: “Air Mata di Alam Khayangan”
(Awal bangkitnya khodam Rasasita Jnana – khodam Lapisan Dewa-Dwaya milik Aryasena Dirgantara)
🎬 EXT. AKADEMI MILITER TIRABWANA – SIANG HARI
Terik matahari membakar halaman pelatihan. Siswa-siswa usia belasan tampak berkumpul, berlatih teknik pedang, mantra dasar, dan strategi.
Di pojok lapangan latihan…
Aryasena Dirgantara (12 tahun) berlatih seorang diri. Gerakannya cepat, tajam, dan penuh presisi — seolah ia sudah mengulang ribuan kali. Namun tetap, beberapa tatapan tajam dan lirikan penuh sinisme mengarah padanya.
Murid Bangsawan A (berbisik keras):“Itu anak haram dari pangeran busuk itu… Apa pantas dia di sini?”
Murid Bangsawan B (menyeringai):“Biarpun hebat, darahnya tetap kotor. Dan khodam pun pasti tak mau mendekat padanya.”
Aryasena hanya tersenyum, seperti biasa. Namun di balik mata itu… tampak nyala api yang nyaris padam, menahan luka.
🎬 EXT. PEGUNUNGAN UTARA – MALAM HARI
Tiga hari kemudian, Aryasena meninggalkan akademi secara diam-diam. Ia mendaki menuju sebuah gua kuno di lereng bukit Suraloka — tempat yang hanya diketahui beberapa guru spiritual dan para penjaga ilmu lama.
Di dalam gua…Ia duduk bersila. Lilin menyala, asap dupa mengalir di udara.
Pertapaannya dimulai.
🎬 INT. ALAM KHAYANGAN – DIMENSI LAIN
Cahaya putih menyilaukan muncul. Alam di sekelilingnya tampak bagaikan taman surgawi—pepohonan kristal, sungai melayang, burung-burung cahaya berterbangan.
Aryasena membuka mata… terkejut. Ia tidak lagi berada di gua.
Aryasena (bingung):“Apa ini… mimpi?”
Tiba-tiba, kabut putih terbuka. Dari kejauhan, muncul sosok berjubah putih bersinar lembut, rambut dan janggut panjang putih seperti kapas, mata teduh namun dalam seperti samudera.
Dia adalah Resi Rasasita Jnana.
Rasasita Jnana (tersenyum ramah):“Engkau telah menahan luka terlalu lama, putra dunia. Aku bisa melihat tawamu… tapi juga air matamu yang kau kubur dalam-dalam.”
Aryasena tertegun. Hatinya terguncang… tapi tetap menahan.
Aryasena (memaksakan senyum):“Aku tidak apa-apa. Aku kuat… selalu begitu.”
Rasasita Jnana (melangkah mendekat, menyentuh pundaknya):“Jangan bohong pada langit, Nak. Bahkan angin pun tahu kau menjerit.”
Detik itu juga, benteng hati Aryasena runtuh. Air matanya mengalir deras. Ia menangis… untuk pertama kalinya.
Aryasena (gemetar):“Aku benci mereka…Aku benci ayahku…Aku benci kenyataan bahwa aku selalu sendirian…”
Rasasita Jnana memeluknya. Tak ada kata-kata bijak, hanya pelukan hangat dari sosok yang mengerti rasa kehilangan.
Rasasita Jnana (berbisik):“Maka izinkan aku menjadi penjagamu. Aku tak bisa menghapus masa lalu, tapi aku bisa memberimu kekuatan… untuk melangkah ke masa depan.”
🎬 INT. KUIL PUTIH DI ALAM KHAYANGAN – TAK LAMA KEMUDIAN
Rasasita Jnana menyerahkan sebuah artefak: Jam Pasir Putih — ukurannya sebesar telapak tangan, memancarkan cahaya lembut.
Rasasita Jnana:“Ini bukan hanya alat… ini adalah takdir. Bila hatimu tenang, kau bisa menghentikan waktu… mempercepatnya… atau bahkan mengulang masa lalu.”
“Tapi bila hatimu penuh dendam… waktu akan menolakmu.”
Aryasena mengangguk. Ia menerima jam pasir itu… dan perlahan-lahan tubuhnya bercahaya.
Khodam Rasasita Jnana telah bersatu dengannya.
🎬 INT. GUA – KEMBALI KE DUNIA NYATA
Aryasena terbangun. Air mata masih mengalir di pipinya… namun wajahnya lebih tenang. Lebih damai.
Ia menatap jam pasir putih kecil yang kini tergantung di lehernya—tak terlihat oleh mata biasa, tapi terasa menyatu dalam jiwanya.
Aryasena (berbisik pada diri sendiri):“Terima kasih… Resi.”
🎬 NARASI PENUTUP SCENE
“Di usia 12 tahun, anak haram yang dibenci dunia telah membangkitkan khodam dari langit.”
“Bukan karena amarah… tapi karena air mata.”
“Namanya belum harum, darahnya belum diakui, tapi langkahnya sudah ditetapkan.”
“Aryasena Dirgantara atau kelak akan dikenal dengan nama Jagatmarma… mulai bangkit dalam sunyi.”