📜 FLASHBACK: 24 TAHUN LALU
Judul: “Adik Kecil yang Menghapus Luka”
(Pertemuan pertama Aryasena Dirgantara dengan Ratu Kirana Anindita dan generasi muda pewaris istana)
🎬 EXT. HALAMAN UTAMA AKADEMI MILITER TIRABWANA – PAGI HARI
Kabut tipis masih menyelimuti bangunan megah berbatu putih di distrik timur Kota Tirabwana. Bendera Akademi berkibar tinggi, melambangkan kebanggaan kaum ksatria dan pemimpin masa depan Mandalagiri.
Di halaman utama, para murid baru usia 7–8 tahun berbaris dengan seragam mini mereka, didampingi wali dan guru pengawas. Tahun ajaran baru dimulai—dan semua mata kini tertuju pada seorang gadis kecil bermata jernih dan rambut hitam tersisir rapi ke belakang: Ratu Kirana Anindita.
Ia berdiri tenang. Meski masih kecil, ada aura lembut namun kuat di wajah mungilnya. Putri dari keluarga bangsawan tinggi, keponakan jauh dari Sri Maharaja Agnabumi Darmajaya—garis darah yang sangat dihormati di Tirabwana.
🎬 INT. AULA PENDAFTARAN MURID BARU – PAGI
Aryasena Dirgantara (16 Tahun) berjalan melewati aula, mengenakan seragam Biru-emas lengkap. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan tenang, walau masih menyimpan jejak luka masa lalu yang tak terlihat. Beberapa guru muda membicarakannya pelan:
Guru A (berbisik):“Itu dia... anak dari masa lalu kelam istana... tapi lihat betapa cemerlangnya dia…”
Guru B:“Dia jenius… melebihi ekspektasi siapapun. Tapi tetap penyendiri…”
Saat Aryasena berjalan melintasi barisan murid baru, tiba-tiba seseorang menarik ujung seragamnya.
Ia berhenti… menoleh.
Seorang gadis kecil menatapnya dengan senyum cerah dan mata bulat berbinar. Dialah Ratu Kirana Anindita (8 tahun).
Ratu Kirana (ceria):“Kakak tinggi sekali! Kakak Aryasena, ya?”
Aryasena (terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil):“Iya. Kamu siapa?”
Ratu Kirana:“Namaku Kirana! Aku murid baru. Katanya kakak jago sekali… semua guru cerita tentang Kak Aryasena.”
Aryasena hampir terpaku. Untuk pertama kalinya sejak masuk akademi, seseorang menyapanya bukan karena rasa takut, hinaan, atau bisik-bisik.
Aryasena (tersenyum hangat):“Selamat datang di neraka… eh, maksudku… di Akademi Tirabwana.”
Kirana tertawa geli. Gelak tawanya murni, jujur, dan penuh kehangatan—membuat Aryasena sejenak melupakan luka yang selama ini dia sembunyikan di balik senyum.
🎬 INT. RUANG MAKAN ASRAMA – SORE
Di meja makan besar yang panjang, Mahadarsa (11 Tahun) dan Aryasatya (12 Tahun) sedang berdebat soal strategi pasar dan sihir ramuan. Sedangkan Maheswara (10 Tahun) duduk menyendiri, menajamkan pedangnya sendiri—menolak bantuan orang lain.
Kirana berlari kecil menghampiri Aryasena yang duduk di ujung meja, membuka buku strategi perang sendirian.
Ratu Kirana (menyodorkan apel):“Kakak belum makan, kan? Nih!”
Aryasena (menerima, tersenyum tipis):“Kamu selalu perhatikan orang ya, Kirana?”
Ratu Kirana (duduk santai):“Iya. Soalnya banyak yang sendirian di sini. Tapi Kak Aryasena paling sering keliatan sendiri… padahal keren.”
Aryasena hanya menatap gadis itu. Di balik segala kebisingan akademi, ada suara kecil yang memperhatikannya tanpa beban, tanpa syarat, tanpa masa lalu.
🎬 EXT. HALAMAN LATIHAN – MALAM HARI
Cahaya bulan menyinari halaman kosong. Aryasena berlatih teknik pedangnya sendirian, tubuhnya basah oleh peluh. Tiba-tiba, Kirana muncul membawa kain lap kecil.
Ratu Kirana:“Kalau latihan terus malam-malam, nanti jatuh sakit loh.”
Aryasena (menoleh, tersenyum):“Kamu belum tidur?”
Ratu Kirana:“Belum. Aku mau pastikan Kak Aryasena baik-baik aja.”
Aryasena mematung. Kata-kata itu sederhana. Tapi seperti menembus ke dalam hatinya. Ia menggenggam jam pasir putih kecil di lehernya—khodamnya bergetar pelan.
Aryasena (dalam hati):“Terima kasih… kau mengingatkanku bahwa aku bukan bayangan dosa…”
🎬 NARASI PENUTUP
“Saat semua orang menjauhi Aryasena karena masa lalu yang tak ia pilih…”
“…seorang gadis kecil bernama Kirana hadir membawa senyum hangat…”
“…dan untuk pertama kalinya, dia merasa… tidak sendirian.”
Waktu yang Membeku, Dendam yang Belum Usai
(Pertarungan pertama Maheswara kecil melawan Aryasena Dirgantara yang memperlihatkan secuil kekuatan tersembunyi sang jenius)
🎬 EXT. PELATARAN TERBUKA – SIANG HARI
Langit Tirabwana cerah. Di pelataran akademi militer, suara benturan kayu dan sorakan murid mulai terdengar—membentuk lingkaran besar di sekitar dua sosok berbeda usia.
Maheswara (10 tahun), si bocah ajaib dari garis raja, berdiri dengan pedang latihan khas Mandalagiri. Sorot matanya tajam, tubuh kecilnya tegang, dan raut wajahnya menyimpan campuran cemburu dan obsesi.
Di hadapannya, berdiri Aryasena Dirgantara (16 tahun). Wajahnya santai, postur gagah, satu tangan menahan pedang kayu di pundaknya, tangan lain berada di saku. Senyum tipis terukir di bibirnya.
Maheswara (tegas dan lantang):“Kak Aryasena! Ayo kita duel. Kau terlalu banyak menarik perhatian orang!”
Aryasena (tenang):“Aku tidak sedang mencari perhatian, Maheswara... Tapi kalau kau perlu membuktikan sesuatu, aku tak keberatan.”
Sorakan meledak di antara para murid. Aryasatya (12 tahun) dan Mahadarsa (11 tahun) yang menonton dari kejauhan menggeleng.
Aryasatya:“Itu bocah maniak pedang lagi… selalu cari ribut.”
Mahadarsa:“Dia memang jenius di teknik pedang… tapi terlalu liar. Aryasena bakal capek ngadepin bocah segila itu.”
🎬 PERTARUNGAN DIMULAI
Maheswara menyerang cepat dan agresif. Gerakannya tajam, menyilang, menusuk, dan menghantam. Tekniknya rumit untuk ukuran bocah, menunjukkan bakat alamiah darah Darmawijaya dan Dewi Laksmiwara.
Aryasena hanya menangkis dengan satu tangan, memutar tubuh santai, dan sesekali menghindar dengan gerakan minimal.
Aryasena (sambil tersenyum):“Langkahmu indah… tapi terlalu mudah ditebak.”
Para murid bergemuruh. Gadis-gadis bersorak menyebut nama Aryasena, membuat Maheswara makin naik darah.
Sementara di tepi kerumunan, Ratu Kirana Anindita (8 tahun) menonton dengan gelisah.
Ratu Kirana (berteriak):“Berhenti! Kalian berdua akan terluka!”
Tapi mereka tak mendengarkan.
🎬 MENDADAK — SEMUA MEMBEKU
Di tengah pertarungan, ketika Maheswara meluncurkan tebasan cepat ke arah Aryasena…
WAKTU BERHENTI. Segalanya membeku. Sorakan sunyi. Angin berhenti. Mata para penonton membelalak diam.
Hanya satu sosok yang masih bergerak: Aryasena.
Khodam Rasasita Jnana muncul samar di belakangnya, menjelma seperti bayangan cahaya putih. Jam pasir bersinar menggantung di udara, berputar perlahan mundur dan berhenti.
Rasasita Jnana (suara bergema lembut):“Bahkan waktu pun tunduk pada hatimu yang damai, wahai anak luka…”
Aryasena berjalan perlahan ke belakang Maheswara yang membeku di udara, lalu…
DOR! Ia memukul lembut belakang kepala Maheswara dengan gagang pedang kayunya.
Aryasena (pelan, sendu):“Tidurlah sebentar, bocah keras kepala…”
Ia kembali ke posisi semula. Jam pasir berputar cepat. Waktu kembali mengalir.
🎬 SEMUA TERKEJUT
Maheswara tiba-tiba jatuh tersungkur, tak sadarkan diri. Semua murid terdiam, tak mengerti apa yang terjadi.
Aryasatya:“Eh?! Apa yang barusan terjadi?!”
Mahadarsa:“Aku… bahkan tidak melihat Aryasena bergerak…”
Aryasena membalikkan badan perlahan. Tatapannya datar namun tersenyum samar. Ia melangkah meninggalkan kerumunan tanpa berkata apa-apa.
Ratu Kirana segera berlari menghampiri Maheswara, memeluknya panik. Aryasatya dan Mahadarsa menyusul.
🎬 INT. KORIDOR AKADEMI – SESAAT KEMUDIAN
Aryasena berjalan sendirian. Suara murid masih bergema di kejauhan.
Aryasena (dalam hati):“Kekuatan ini… bukan untuk pamer. Tapi terkadang aku harus menyudahi hal yang sia-sia. Maafkan aku, Maheswara… Kau terlalu muda untuk dendam.”
Rasasita Jnana muncul samar di kaca jendela, tersenyum tenang melihat sosok yang ia lindungi terus tumbuh dengan caranya sendiri.
📜 FLASHBACK – 22 TAHUN LALU
Judul: “Panah Kayu Pertama”
(Momen hangat yang menandai kedekatan Aryasena Dirgantara dan Ratu Kirana Anindita kecil—dan awal dari perpisahan menuju jalan besar sang jenius.)
🎬 EXT. HALAMAN BELAKANG AKADEMI – SORE HARI
Langit senja menguning. Di balik bangunan Akademi Militer Tirabwana, di sudut taman latihan sunyi, Ratu Kirana Anindita (10 tahun) duduk menangis diam-diam. Wajah kecilnya yang biasanya ceria kini tertunduk, pipinya basah. Buku catatan di pangkuannya sobek—dirusak teman seangkatannya.
Beberapa anak gadis dari keluarga bangsawan tinggi mengejek dari kejauhan, suara mereka menyakitkan.
Anak Bangsawan (berbisik):“Si anak emas Akademi lagi-lagi menang lomba. Pasti karena manja dan sok dekat dengan Aryasena…”
Anak lainnya:“Dasar si pintar-pintaran. Padahal cuma anak tunggal yang kesepian.”
Kirana meringkuk, memeluk lututnya. Tapi langkah tenang seseorang terdengar mendekat…
Aryasena Dirgantara (18 tahun) datang, mengenakan seragam resmi akademi dengan lambang kehormatan tertinggi.
Wajahnya tersenyum seperti biasa, namun matanya tajam memperhatikan situasi.
Aryasena (lembut):“Ratu kecil sepertimu tidak pantas menangis seperti ini…”
Kirana langsung mengangkat wajahnya. Ia cepat menyeka air mata dan mencoba tersenyum, namun gagal.
Ratu Kirana (lirih):“Aku… hanya ingin jadi kuat… tapi kenapa mereka membenciku…”
Aryasena tidak menjawab. Ia duduk di samping Kirana dan mengambil kantong kecil dari ikat pinggangnya. Dari dalamnya ia mengeluarkan sebuah panah kayu kecil yang terukir halus.
Aryasena (menyerahkan):“Ini… panah kayu pertamaku dulu. Aku membuatnya sendiri waktu usiaku sepertimu. Simpan baik-baik. Itu bukan sekadar senjata, tapi simbol niat.”
Kirana memeluk panah itu dengan penuh haru.
Aryasena (melanjutkan, tenang):“Kau tahu, Kirana… menjadi kuat itu bukan soal siapa yang paling keras memukul. Tapi siapa yang paling sabar dalam menahan luka. Mereka membencimu… karena kau bersinar terlalu terang.”
Aryasena (tersenyum):“Dan kau tidak sendiri. Kau adikku sekarang. Dan adikku harus belajar teknik rahasia pertama…”
Ia pun berdiri, mengatur napas dalam—menunjukkan teknik pernapasan dalam khas meditasi prajurit Mandalagiri. Kirana menirukan perlahan. Tangannya masih memegang erat panah kayu itu.
Aryasena (bercanda):“Kalau terlalu sering menangis, nanti pipimu tembem. Dan pipi tembem tidak cocok dengan panah elegan.”
Kirana tertawa di tengah isak tangisnya. Untuk pertama kali, senyumnya kembali.
🎬 INT. GERBANG UTAMA AKADEMI – PAGI HARINYA
Hari kelulusan. Semua siswa dan guru berkumpul. Aryasena Dirgantara berdiri gagah di pelataran utama, siap meninggalkan akademi setelah 10 tahun studi.
Bendera Akademi Tirabwana berkibar, dan di hadapan gerbang, berdiri Kirana (masih 10 tahun), bersama Maheswara (12 tahun), Aryasatya (14 tahun), dan Mahadarsa (13 tahun).
Aryasena (berdiri di depan mereka):“Aku pamit… Dunia luar tidak lebih ramah dari tembok akademi. Tapi semua pelajaran di sini cukup untuk menghadapinya.”
Ia menoleh pada Maheswara, yang kini tidak lagi berseteru dengannya, hanya menatapnya dengan mata tajam penuh kebingungan.
Aryasena:“Maheswara… jaga dia. Ratu kecil itu… terlalu berani untuk usianya.”
Lalu ia membungkuk pada semua, memberi hormat. Ratu Kirana menggenggam panah kayu yang dulu diberi. Wajahnya sedih namun bangga.
🎬 EXT. PERBATASAN KOTA TIRABWANA – MALAM HARINYA
Kereta kayu kecil bergerak menembus kabut. Di dalamnya, Aryasena duduk sendiri, mengenakan pakaian biasa. Di tangannya, tergenggam sebuah dokumen: Nama baru: Jagatmarma.
Narator:“Tak seorang pun tahu ke mana Aryasena Dirgantara pergi setelah kelulusannya. Ia menghapus nama lamanya… dan dengan nama baru 'Jagatmarma', ia menyusup ke dalam sistem yang selama ini menghancurkan keluarganya.”
🎬 MONTAGE – JAGATMARMA BERAKSI DALAM BAYANGAN
Menjadi pegawai rendah di kantor administrasi istana.
Menyusup sebagai pencatat logistik di gudang senjata.
Menjadi pengurus arsip tua istana.
Menggali jejak keuangan rahasia dewan istana dalam.
Menemukan dokumen lama tentang manipulasi skandal Suranegara.
Narator (lanjut):“Dia tidak ingin membalas. Dia ingin membersihkan. Meskipun ayahnya tidak mengakuinya, Jagatmarma tetap membawa beban nama Suranegara… dengan tekad untuk menebusnya dengan kebenaran.”
20 TAHUN LALU
“Bayangan Masa Lalu”
(Ketika Jagatmarma muda mulai mengguncang fondasi kebusukan istana, dan diam-diam mencari kepingan keluarganya yang tercerai.)
🎬 INT. RUANG DOKUMEN RAHASIA ISTANA TIRABWANA – MALAM HARI
Cahaya obor temaram menari di antara rak-rak kayu raksasa. Di dalam ruang penyimpanan rahasia Dewan Istana Dalam, Jagatmarma (20 tahun) berdiri tenang, mengenakan jubah staf administrasi istana. Tapi waktu tak bergerak.
Semuanya membeku. Lembaran dokumen melayang diam di udara, jam pasir putih di tangannya bersinar perlahan—Rasasita Jnana sedang aktif. Dia menyusup dalam keheningan waktu.
Narator:“Dengan kekuatan penghenti waktu dari khodam Rasasita Jnana, tak satu pun penjaga atau mata-mata istana menyadari keberadaannya. Jagatmarma menyelinap bukan untuk mencuri… tetapi untuk membongkar kebenaran.”
Jagatmarma membuka gulungan demi gulungan:
Bukti penyingkiran Suranegara dengan rekayasa skandal masa lalu.
Dokumen persetujuan rahasia pembantaian klan bangsawan asing.
Catatan penindasan ras manusia raksasa.
Surat penolakan pengangkatan Suranegara sebagai pewaris karena “sulit dikendalikan”.
Jagatmarma (dalam hati):“Ayah… bukan karena skandalmu. Mereka takut padamu… Karena kau tak bisa mereka jinakkan.”
Ia menyalin semuanya secara rinci. Begitu selesai, ia mengembalikan dokumen ke tempat asalnya, dan waktu berjalan kembali.
Jagatmarma menarik napas panjang dan kembali mengenakan topeng kesehariannya: pegawai administrasi yang ramah, lugu, dan tak menonjol.
🎬 INT. KANTOR ADMINISTRASI ISTANA – PAGI HARI
Jagatmarma duduk tenang di mejanya. Mencatat laporan logistik, memeriksa daftar barang istana. Wajahnya berseri, seperti tak pernah menyusup malam sebelumnya.
Rekan Kerja (bercanda):“Jagatmarma, semalam lembur lagi? Kau seperti tak pernah tidur.”
Jagatmarma (tersenyum konyol):“Mimpi burukku adalah tidur terlalu lama.”
🎬 EXT. DESA LAWANGPITU – MANDALAGIRI TIMUR – SIANG HARI
Dengan menyamar sebagai pelancong, Jagatmarma tiba di desa Lawangpitu. Desa yang tenang, dipenuhi ladang dan rumah sederhana. Di tengah padang terbuka, ia mengintip dari balik pohon besar.
Tampak Suranegara—ayahnya, kini tampak lebih tua dan tenang—melatih seorang anak laki-laki berusia 12 tahun.
Narator:“Di sana… Indrasuma. Adik yang tak pernah ia kenal. Mereka kini hidup sebagai keluarga pendekar sederhana—jauh dari istana dan jauh dari fitnah.”
Jagatmarma hampir melangkah keluar, ingin menyapa. Namun, bayangan masa lalu menghantam:
[FLASHBACK: Suranegara menghajarnya saat kecil, wajah sang ayah penuh amarah dan hinaan.]
Jagatmarma mengurungkan niat. Ia hanya tersenyum tipis dari kejauhan, melihat Indrasuma berlatih.
Jagatmarma (lirih):“Kau tumbuh baik… tanpa tahu siapa aku.”
🎬 EXT. DESA GIRIWASESA – MANDALAGIRI BARAT – BEBERAPA HARI KEMUDIAN
Desa di barat penuh aroma rumput liar dan tanah segar. Di pinggir lapangan pelatihan kecil, sekelompok anak-anak desa belajar seni bela diri dari seorang wanita muda dan tangguh: Laraswidya (36 tahun).
Jagatmarma mengamati dari kejauhan. Wajah wanita itu masih cantik, tegas, dan penuh wibawa.
Narator:“Ibu… wanita yang bahkan namamu tidak boleh disebut di istana. Laraswidya—pelatih pendekar muda, dan satu-satunya orang yang pernah mencintai Suranegara tanpa pamrih.”
Setelah beberapa lama, Laraswidya menatap ke arahnya. Pandangannya tajam. Ia mendekat, Jagatmarma terkejut, namun tetap tenang.
Laraswidya (ramah):“Kau… dari mana?”
Jagatmarma:“Namaku Jagatmarma. Pegawai istana yang sedang… berlibur.”
Laraswidya mengangguk, lalu menatap lebih lama, seakan mencoba mengingat sesuatu yang terlupa.
Laraswidya:“Aneh… suaramu. Wajahmu… mengingatkanku pada seseorang.”
Jagatmarma tersenyum samar, menunduk hormat.
Jagatmarma:“Mungkin hanya perasaan, Ibu… maksud saya, Bu Laras.”
Laraswidya:“Kau mengamati latihan anak-anak sejak tadi. Mau bergabung?”
Jagatmarma (menolak halus):“Lain kali… Aku hanya ingin melihat dari jauh. Terima kasih sudah menerima pendatang.”
Laraswidya tersenyum, namun ada bayangan penasaran di matanya. Jagatmarma pun berpaling dan berjalan pergi.
🎬 INT. PENGINAPAN TUA DI GIRIWASESA – MALAM HARI
Jagatmarma duduk di kursi kayu kecil. Di tangannya sebuah potret kecil bergambar Suranegara dan Laraswidya muda yang ia temukan dari dokumen arsip kerajaan.
Jagatmarma (dalam hati):“Kalian tak perlu tahu siapa aku. Yang penting… kalian bahagia. Aku akan menanggung semua beban ini.”
Narator:“Ia belum siap mengungkapkan dirinya. Tapi langkah demi langkah, kebenaran sedang ia rakit. Saat saatnya tiba… dunia akan tahu siapa Aryasena Dirgantara sesungguhnya.”
📜 FLASHBACK – 18 TAHUN LALU
“Jejak Bayangan dan Asap”
(Ketika Jagatmarma menyadari kekuatan besar tumbuh di adik kandungnya, tapi dibimbing oleh bayangan yang belum tentu berpihak pada cahaya...)
🎬 EXT. HUTAN TERPENCIL DI SEKITAR LAWANGPITU – SENJA
Kabut menggulung di antara pepohonan tua. Suasana sunyi mencekam, hanya terdengar suara benturan pedang dan langkah kaki yang kuat menggetarkan tanah.
Jagatmarma (22 tahun) berdiri di balik semak, mengamati Indrasuma (16 tahun) yang sedang bertarung dengan sosok pendekar misterius.
Gerakan Indrasuma tajam, presisi, dan keras. Tubuhnya dipenuhi aura asap hitam samar. Lawannya bukan hanya melatih—tapi menguji seperti menempa senjata perang.
Narator:“Jagatmarma telah mengawasi keluarganya dari kejauhan. Tapi hari ini, ia menyaksikan sesuatu yang lain—adik yang selama ini ia rindukan, kini dilatih oleh sosok penuh aura gelap.”
Tiba-tiba, si pendekar menghentikan latihan. Matanya menoleh tajam ke arah semak tempat Jagatmarma bersembunyi.
Pendekar Misterius (suara berat):“Keluar. Sejak tadi kau berdiri di sana. Jika berniat jahat… kau tak akan pulang utuh.”
Jagatmarma muncul perlahan dari balik semak. Tersenyum tenang, tanpa sedikit pun rasa gentar.
Jagatmarma (santai):“Maaf, aku hanya penasaran. Anak muda itu… hebat.”
Indrasuma menatapnya heran. Aura Jagatmarma terlalu netral untuk dicurigai—bersih dari niat buruk.
Indrasuma:“Kau siapa?”
Jagatmarma:“Seorang pengelana. Namaku Jagatmarma. Aku sedang… mencari arah.”(Ia menunduk sopan pada keduanya.)
Pendekar Misterius (meneliti wajahnya):“Hm… Aura tenang dan ketajaman pengamat. Tapi tak ada hawa sombong. Menarik.”(Ia akhirnya memperkenalkan diri:)“Aku disebut Purnama Kelam. Mereka yang mengenalku lebih baik menjaga jarak.”
Narator:“Purnama Kelam—nama yang tak terdaftar dalam arsip istana. Namun bayangannya menyelimuti banyak konflik dan keruntuhan penguasa kecil di Mandalagiri Timur.”
Purnama Kelam menawarkan:
Purnama Kelam:“Jika kau mau belajar… bergabunglah. Tapi ketahuilah, aku tak membedakan murid dari umpan.”
Jagatmarma tersenyum dan menerima. Ia ingin tetap dekat dengan Indrasuma.
🎬 EXT. LAPANGAN LATIHAN DI HUTAN – MALAM HARI
Di bawah cahaya bulan, tiga sosok berlatih. Purnama Kelam memperagakan teknik pedang berpadu sihir kegelapan, menebas udara dan memunculkan jejak asap hitam. Indrasuma mengikuti dengan sempurna. Jagatmarma menirunya dengan sedikit penyesuaian.
Narator:“Indrasuma telah melampaui banyak pendekar muda, meski tak pernah menginjakkan kaki di Akademi Tirabwana.”
Purnama Kelam menghentikan latihan dan memberi aba-aba:
Purnama Kelam:“Tunjukkan khodammu, Indrasuma.”
Indrasuma menutup matanya, menggenggam Pedang Batara yang warnanya berubah menjadi hitam sepenuhnya. Kabut hitam mengepul dari tubuhnya.
Dari dalam asap itu muncul wujud Khodam Kala Naga Murka—ular raksasa hitam dari asap, bermata merah menyala.
Khodam Kala Naga Murka:“Siapa menghalangi tanahku, akan ditelan berat tubuhku.”
Tanah di sekitar bergetar. Aura dari khodam itu menekan udara.
Jagatmarma sedikit terkejut, tapi tidak panik. Ia mengaktifkan Rasasita Jnana secara halus, memperlambat waktu sedikit untuk menganalisis kekuatan itu dengan tajam.
Jagatmarma (dalam hati):“Ini… bukan kekuatan biasa. Tapi… bukan jahat sepenuhnya. Kekuatan ini dibentuk dari dendam… dan hasrat untuk melindungi.”
Indrasuma menghentikan pemanggilan khodamnya. Asap menghilang. Ia tampak lelah namun bangga.
Indrasuma:“Aku menamainya Kala Naga Murka. Dia datang saat aku pertama kali menyadari... dunia ini tak adil.”
Jagatmarma menatapnya dalam diam, hatinya seperti diremuk pelan. Ia melihat dirinya sendiri—dalam wujud sang adik.
🎬 INT. GUBUK SEMENTARA JAGATMARMA – MALAM
Jagatmarma duduk termenung menatap langit.
Jagatmarma (dalam hati):“Adikku tumbuh… dalam kegelapan yang kupahami. Tapi dia belum terlambat. Aku akan tetap di sisinya… meski tak bisa menyebut diriku kakak.”
“Dan Purnama Kelam… siapapun kau… aku akan pastikan kau bukan ancaman.”
📌 CATATAN KARAKTER PENDUKUNG:
Nama: Purnama Kelam
Asal: Tidak diketahui
Ciri: Tubuh tinggi berjubah hitam, wajah selalu tertutup sebagian, mata tajam kuning cerah.
Gaya Bertarung: Pedang gelap berpadu sihir kabut dan ilusi.
Motif: Tidak jelas—mendidik pendekar muda kuat untuk tujuan pribadi.
Status: Ancaman yang belum diketahui kejelasannya.
Catatan: Kemungkinan bekas pendekar istana yang terusir atau eksil. Mungkin tahu sesuatu tentang konspirasi istana.
📜 FLASHBACK – 16 TAHUN LALU
"Pelukan Terakhir Ibuku"
🎬 EXT. DESA GIRIWASESA – PAGI BERKABUT
Angin lembut meniup dedaunan di Desa Giriwasesa, namun pagi itu terasa muram. Seorang pemuda berlari menuruni jalan berbatu, napasnya berat. Jagatmarma (24 tahun) mengenakan pakaian perjalanan, wajahnya pucat, matanya gelisah.
Narator:
“Kabar itu datang tanpa aba-aba. Laraswidya, wanita yang ia panggil ibu dalam diam… kini terbaring sekarat.”
🎬 INT. RUMAH KELUARGA LARASWIDYA – SIANG REDUP
Di dalam rumah sederhana berdinding kayu bambu, dua tabib desa tengah duduk termenung. Laraswidya (40 tahun) terbaring pucat di atas ranjang, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya berat, tapi matanya masih terbuka.
Jagatmarma langsung berlutut di sisinya.
Jagatmarma (dengan suara gemetar):
“Ibu… ini aku… Aryasena... anakmu... aku yang dulu pergi—yang kau lahirkan dari luka dan aib...”
Tangisnya pecah. Ia genggam tangan ibunya yang dingin.
Jagatmarma:
“Aku takut… aku pikir kau akan membenciku… seperti Ayah yang mengusirku tanpa menganggapku darahnya…”
Laraswidya perlahan tersenyum. Matanya basah, namun bening.
Laraswidya (lemah):
“Anakku... kamu bukan dosa. Kamu adalah anugerah… dari cinta yang dibungkam oleh dunia.”
(Ia mengusap wajah putranya dengan tangan gemetar.)
“Ibu sudah tahu sejak pertama melihatmu... tanda lahirmu di leher kanan itu… seperti bayangan masa lalu yang kembali memelukku…”
Jagatmarma menangis memeluk ibunya.
Jagatmarma:
“Maaf… aku terlalu pengecut… aku seharusnya memelukmu lebih cepat.”
Tabib menggelengkan kepala, memberi isyarat bahwa racun telah menyebar ke seluruh tubuh. Jagatmarma gemetar, bangkit hendak meminta bantuan lagi.
Laraswidya:
“Jangan pergi… tetap di sini…”
Ia menggenggam erat tangan anaknya.
Laraswidya (melemah, lirih):
“Jangan benci Ayahmu… dia hanyalah manusia yang kalah oleh luka...
Dan jangan benci Mandalagiri… walau gelap, kebenaran tak pernah padam...
Kamu... Aryasena... cahaya itu sendiri.”
Dengan senyum lembut, napas terakhir Laraswidya pun terhembus.
🎬 EXT. PEMAKAMAN DESA GIRIWASESA – BEBERAPA HARI KEMUDIAN
Jagatmarma berdiri sendiri di depan makam ibunya, mengenakan pakaian biasa, tanpa lambang istana, tanpa seragam kehormatan.
Narator:
“Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jagatmarma melepaskan semua identitas yang dibentuk oleh rasa sakit. Ia bukan lagi bayangan masa lalu... Ia hanya ingin menjadi anak dari seorang ibu.”
Tangannya memegang sekuntum bunga putih. Ia letakkan pelan di atas nisan sederhana bertuliskan:
Laraswidya – Guru, Pendekar, dan Ibu.
🎬 EXT. LADANG DESA – BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN
Pagi yang baru. Jagatmarma kini tampak berbeda. Mengenakan ikat kepala petani, memanggul cangkul, menyapa para penduduk desa dengan senyum damai.
Narator:
“Ia tak lagi menyusup di koridor istana. Ia kini menanam, menyiram, dan memulai kembali. Tapi… ingatannya tetap bekerja. Ia menunggu waktu yang tepat. Waktu untuk kembali... bukan sebagai bayangan, tapi sebagai kebenaran yang tak bisa disangkal.”
"Dua Bayangan, Satu Darah”
🎬 EXT. PEMAKAMAN DESA LAWANGPITU – SENJA YANG SENDU
Kabut lembut menyelimuti tanah pemakaman desa Lawangpitu. Langit jingga memudar ke abu, angin dingin berhembus lirih seperti menahan tangis. Di depan dua pusara yang masih segar, seorang pemuda tegap berdiri tegak—Indrasuma (18 tahun). Wajahnya keras namun matanya sembab. Di pusaranya tertulis:
Suranegara & Dewi Pramesti – Terbuang oleh fitnah, wafat dalam sunyi.
Dari balik semak dan pohon kamboja tua, Jagatmarma (24 tahun) berdiri dalam diam. Ia menyaksikan momen sunyi itu tanpa suara, seperti bayangan masa lalu yang hanya bisa menatap dari kejauhan.
Narator:
"Nama keluarga Suranegara… telah musnah di mata dunia. Tapi di hati dua putranya, luka itu masih hidup.”
🎬 EXT. PEMAKAMAN – SAAT YANG SAMA
Indrasuma tiba-tiba berbalik. Matanya bersinar kuning redup.
Indrasuma (tegas, tanpa menoleh):
“Keluarlah. Kau tak perlu bersembunyi, Kakak.”
Jagatmarma terkejut. Perlahan ia melangkah ke depan, langkah berat, napas tertahan. Mereka berdua kini berdiri saling menatap—dua keturunan darah Suranegara, yang dipisah oleh nasib.
Mata Indrasuma kembali hitam. Aura hitam yang sempat menguar dari tubuhnya kini lenyap seketika. Tapi Jagatmarma melihatnya—ia tidak salah. Itu bukan sekadar kekuatan… itu adalah kegelapan.
Jagatmarma (pelan):
“Matamu… seperti milik Purnama Kelam…”
Indrasuma (dingin):
“Mungkin memang begitu. Aku dilatihnya. Tapi bukan itu yang penting sekarang.”
Ia mendekat.
Indrasuma:
“Aku tahu siapa kau. Sejak dua tahun lalu. Anak haram dari skandal ayahku. Kau tak perlu menyamar.”
Jagatmarma terdiam. Matanya berkaca-kaca. Ia menunduk.
Jagatmarma:
“Aku tak pernah minta dilahirkan dari dosa... Aku tak pernah ingin menjadi rahasia…”
Indrasuma mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.
Indrasuma:
“Kau tidak salah. Ayah kitalah yang pengecut. Dia mengusirmu saat usia sembilan tahun, seolah kau adalah kutukannya. Padahal... dia sendirilah yang lemah dan menyedihkan.”
Jagatmarma perlahan mengangkat kepala.
Jagatmarma:
“Jangan benci dia, Indrasuma. Kita tidak tahu luka seperti apa yang dia tanggung… Kehilangan takhta, kehormatan, semua karena dewan istana. Mungkin… dia depresi. Hancur. Bukan karena kita.”
Diam. Angin berdesir. Lalu Indrasuma tersenyum kecil, pahit.
Indrasuma:
“Kalau begitu, mulai hari ini, aku tinggalkan nama lamaku.
Jika kau sekarang adalah Jagatmarma…
Maka aku adalah… Jagat Arunika.”
Jagatmarma menatapnya dalam-dalam. Sejenak, ia merasa semua luka masa lalu tak sia-sia. Dua anak buangan, kini memilih nama baru bukan untuk melupakan… tapi untuk melanjutkan.
Narator:
“Dua jagat yang ditinggalkan oleh sejarah, kini bangkit dengan nama baru. Bukan untuk membalas... tapi untuk mengakhiri dendam yang diwariskan.”
“Jagat yang Terpisah, Api yang Menyatu”
🎬 EXT. SAWAH DESA GIRIWASESA – PAGI HARI
Mentari pagi menembus kabut tipis di dataran tinggi Giriwasesa. Jagatmarma (26 tahun) mengenakan ikat kepala sederhana, membajak sawah dengan kerbau putih yang jinak. Tangan kasarnya menggenggam bajak, wajahnya berkeringat namun tenang—seorang petani yang telah memilih damai di atas luka masa lalu.
Tiba-tiba, seorang bocah desa berlari menghampirinya, membawa surat dengan segel kulit sederhana.
Bocah Desa:
“Kakang Jagatmarma! Surat dari Lawangpitu!”
Jagatmarma menghentikan langkah. Ia mengelap keringat dan mengambil surat itu. Setelah membuka dan membaca... senyum perlahan mengembang di wajahnya.
📄 ISI SURAT DARI ADIKNYA, JAGAT ARUNIKA:
*Kakang,
Sudah setahun aku berkelana. Sekarang aku punya teman-teman yang luar biasa. Namanya Adipati Maheswara—putra raja, dan Raksadana—mantan panglima perang. Kami banyak membantu orang, dari utara ke selatan, dari desa ke gunung.
Aku belum berani berkata siapa aku sesungguhnya… tapi aku ingin Kakang tahu, aku tidak lagi menyimpan dendam pada Mandalagiri. Aku sudah belajar… berdamai.
Jagat Arunika.*
🎬 EXT. PEMANDANGAN PADANG RUMPUT – NARASI BERGULIR
Gambaran indah tujuh pendekar berkuda melintasi padang Mandalagiri. Mereka adalah:
Adipati Maheswara – pewaris darah kerajaan dengan pedang warisan dan visi besar.
Raksadana – mantan panglima perang yang memilih jalan rakyat.
Jagat Arunika – pendekar muda dari bayang-bayang sejarah kelam.
Mahadewa Rakunti – ahli ilmu spiritual tinggi.
Lodra Wahana – penjelajah medan tak tertaklukkan.
Doyantra Puspaloka – ahli logistik dan ekonomi dari latar saudagar.
Kalandra Wisanggeni – intelijen jenius dan pengendali bayangan.
Mereka dikenal sebagai Tujuh Petualang Legendaris Mandalagiri.
Mereka mendirikan Guild Bayu Geni.
Narator:
"Sebuah pergerakan baru lahir, bukan dari istana… melainkan dari ketulusan, dari semangat orang-orang terluka yang ingin memperbaiki dunia."
🎬 EXT. SAWAH DESA GIRIWASESA – SAAT SENJA
Jagatmarma duduk di beranda rumah bambunya. Ia menatap cakrawala.
Jagatmarma (tersenyum kecil):
“Kau berhasil, Adikku… Kau menemukan terangmu sendiri.”
Ia menggenggam jam pasir putih kecil di kalungnya—artefak khodam Rasasita Jnana.
Waktu terus berjalan. Tapi baginya, hari ini—waktu terasa berhenti sejenak karena rasa bangga.
Narator:
"Tak semua pahlawan harus berdiri di tengah medan laga.
Beberapa cukup menjadi akar yang kuat…
…agar yang lain bisa tumbuh menjulang menjadi cahaya."
Ujian itu datang Sekali lagi Mandalagiri Mengkhianati Darah Suranegara yang sudah Berdamai.
Bayu Geni Masih Berusia 6 Tahun
PENGKHIANATAN DI PUNCAK GUNUNG
Di tengah pegunungan sunyi, malam pekat menyelimuti, dan hujan ringan turun seperti abu. Rombongan “pasukan Aryasatya” tiba-tiba berbalik arah.
Jagat Arunika dikepung. Ia belum sempat bertarung.
Prajurit palsu:“Maaf, Kapten. Perintah dari Pangeran.”
Jagat Arunika dilempar ke jurang. Suara tubuhnya menghantam bebatuan… menghilang ke dalam kegelapan.
PENYELAMATAN DI TEPI KEMATIAN
Beberapa jam kemudian...
Resi Wighna Laksa muncul, terengah-engah. Ia menyusul setelah mendapat firasat gelap dari khodamnya. Menyusuri tebing, ia menemukan Jagat Arunika tergantung di akar pohon besar, penuh luka dan darah.
Resi Wighna:“Arunika… bertahanlah…”
Ia mengangkat tubuhnya, menyeretnya ke sebuah gua rahasia. Di sana telah menunggu seorang pria misterius…
Jagatmarma (32 Tahun), pria bertopi caping, tampak santai, namun sorot matanya menyala seperti bara tertutup.
RAHASIA DI GUA TERSEMBUNYI
Jagat Arunika terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan penyembuh.
Resi Wighna bercerita:Tentang teluh. Tentang Prayogi. Tentang Aryasatya. Tentang Dewan Istana.
Jagatmarma tidak berkata apa-apa. Tapi senyum tipis muncul di bibirnya.
Jagatmarma (datar):“Jadi... mereka ingin membungkam kebenaran. Aku paham.”(Ia menatap ke luar gua)“Kalau begitu… biarkan badai mendidih dari dalam diam.”(Ia menatap Wighna)“Kau masih punya jalan… Resi. Tapi jangan berharap istana akan membiarkanmu bernapas lama.”
AKHIR SCENE
Jagat Arunika akhirnya tertidur dengan luka belum pulih. Jagatmarma menatap api unggun dengan tatapan kelam. Resi Wighna duduk bersila, memejamkan mata.
6 BULAN SETELAH KEJADIAN JURANG – GUA TERSEMBUNYI
Gua berbatu di lembah Gontar.
Suara air menetes dari langit-langit batu. Api unggun menyala di tengah. Jagat Arunika duduk diam di hadapan nyala api. Separuh wajahnya kini tertutup topeng hitam separuh kanan, menyembunyikan luka besar dari pelipis ke pipi.
Resi Wighna Laksa memandangnya dalam-dalam.
Resi Wighna:“Luka itu... bukan aib. Itu tanda... bahwa kau telah mengalahkan kematian.”
Jagat Arunika tersenyum samar. Jagatmarma berdiri di belakang mereka, menancapkan tongkat ke tanah, lalu berkata ringan:
Jagatmarma:“Mati satu, bangkit seribu. Saatnya kita bangkit, tapi bukan sebagai bayangan dari istana…Tapi sebagai badai yang tak bisa mereka tahan.”
Mereka bertiga bersumpah malam itu. Dengan api, dengan darah, dan dengan khodam yang mengamuk dalam Resi Wighna, mereka menuliskan satu nama ke batu gua:
BAYAWIRA
“Bayangan yang berjalan di antara Wira. Bukan pengkhianat… tapi penuntut kebenaran yang disembunyikan.
KEMBALI KE TIMELINE SAAT INI
RUANG TAHANAN DIPLOMATIK, ISTANA TIRABWANA
🎬 INT. RUANG TAHANAN DIPLOMATIK – MALAM
Cahaya remang dari lentera kuning menggantung di langit-langit. Udara hening. Tak ada jeruji besi, tapi penjagaan di luar begitu ketat. Di dalam, ruangan itu tampak lebih seperti penginapan sederhana:
Lantai batu bersih, tempat tidur berseprei putih, rak buku dengan beberapa manuskrip tua, meja kayu, dan bilik air pribadi di pojok ruangan. Namun aura tekanan tetap terasa.
Jagatmarma (40 tahun) duduk bersila di atas tikar pandan, mengenakan pakaian desa dan caping yang tergeletak di sebelahnya. Di hadapannya, duduk dua sosok yang dia kenal lebih dari sekadar murid.
Jagatmarma (dengan nada tenang):
“Adikku... sudah tenggelam terlalu dalam. Bukan hanya dendam... ada sesuatu lagi di dalam dirinya. Sesuatu yang lebih gelap dari sekadar amarah.”
Teksaka (26 tahun) menyilangkan tangan, punggungnya bersandar di dinding batu, wajahnya tampak serius meski rambut peraknya berantakan seperti biasa.
Teksaka:
“Kami tahu, Kapten. Tapi satu hal yang kami tahu lebih jelas:
Engkau bukan orang yang akan membiarkan dia tenggelam sendirian.”
Ratri Andini (24 tahun) duduk bersimpuh, busurnya diletakkan di samping, matanya yang besar dan tajam menatap lembut ke arah Jagatmarma.
Ratri:
“Kalau bukan karena Kapten... aku dan Teksaka mungkin sudah jadi mayat saat itu.
Kapten yang menyelamatkan kami dari bajingan perampok,
Kapten yang mengajari kami bela diri, bahkan sebelum Bayawira lahir.”
Hening sejenak. Suasana menjadi dalam.
Jagatmarma menunduk, suaranya bergetar namun penuh keteguhan.
Jagatmarma:
“Terima kasih… karena kalian masih percaya pada orang yang pernah jadi pengecut.
Dulu aku lari dari segalanya—dari ayahku, dari takdirku, bahkan dari ibuku…
Tapi sekarang, kalau negeri ini butuh,
...kalau Arunika butuh—aku akan berdiri.”
Ia menatap mereka berdua, sorot matanya kembali kuat.
Jagatmarma (tegas):
“Kalau satu-satunya jalan menyadarkannya adalah bertarung…
Maka aku akan bertarung. Dengan nyawa sekalipun.”
Ratri Andini dan Teksaka saling berpandangan, lalu mengangguk perlahan. Tak ada lagi keraguan.
Teksaka (tersenyum miring):
“Kalau Kapten maju… maka aku akan berdiri di belakangmu.”
Ratri:
“Atau di sampingmu, Kapten… kalau kau lengah.”
Mereka bertiga saling tersenyum. Bukan senyum ringan—tapi senyum para pejuang yang telah saling menyelamatkan lebih dari satu kali.
🎬 EXT. KORIDOR PENJAGAAN LUAR – MALAM
Dua penjaga berdiri di depan pintu. Di kejauhan, terdengar denting angin malam menggoyang lonceng-lonceng kecil.
Narator:
"Di dalam sebuah ruangan tanpa jeruji,
…tiga jiwa memantapkan langkah untuk menghadapi badai yang lebih besar.
Di luar sana, dunia sedang terbakar oleh rahasia dan dendam.
Tapi mereka tahu:
Jika cahaya tak datang dari atas, maka harus dimulai dari bawah."
📜DUNIA MANDALAGIRI MEMASUKI BAYANG-BAYANG KELAM
MARKAS GUILD BAYU GENI, RUANG TAHANAN RASA PRAWIRA
INT. RUANG TAHANAN RASA PRAWIRA – MALAM
Sebuah ruang bawah tanah dengan pencahayaan ungu remang dari kristal energi. Tenang namun penuh tekanan gaib. Aroma dupa menyelimuti udara. Dinding dihiasi jaring mantra segel transparan.
Sekar Yudhawati duduk bersandar lemah di pojok ruangan. Rambutnya kusut, tapi tatapannya tetap tajam. Seragam santai Divisi Rasa Prawira-nya masih melekat, walau kini tampak lusuh.
Pintu batu terbuka pelan. Langkah-langkah berat bergema. Masuklah Kapten Mahadewa Rakunti, ditemani dua anggota Rasa Prawira berbaju ritual ungu tua.
Mahadewa Rakunti (lembut namun mengancam):
“Sekar Yudhawati… hari ini nasibmu ditentukan.”
“Bantu kami… Beri tahu semua yang kau tahu tentang kegelapan yang menyelubungi Jagat Arunika. Maka kau akan bebas. Dan… bekerja sebagai tanganku.”
Sekar menunduk sesaat. Wajahnya kelam. Lalu mendongak pelan.
Sekar (lirih):
“Kau bahkan… bisa mengalahkan Resi Wighna Laksa… aku tak bisa melawanmu, Kapten.
Ruang ini… membuatku berpikir.”
“Aku kalah. Aku sadar. Aku akan beri semua yang kalian perlu tahu.”
Mahadewa mengangguk kecil, bibirnya melengkung tipis.
Mahadewa:
“Bijaklah kau, Sekar.”
Tanpa berkata banyak lagi, Mahadewa berbalik. Mereka semua keluar meninggalkan ruangan. Segel mantra menghilang perlahan.
LERENG GONTOR,
EXT. LERENG BERBATU, BERANGIN – MALAM
Di tepi jurang sunyi yang ditumbuhi semak berduri, Pangeran Aryasatya tersandar lemah. Tubuhnya babak belur, darah mengering di bibirnya. Jubah bangsawan koyak. Di hadapannya berdiri Jagat Arunika, wajah gelap penuh murka.
Tangan Arunika mencengkeram kerah Aryasatya, menghentakkannya maju, hampir melewati tebing.
Jagat Arunika (penuh dendam):
“Kau tahu tempat apa ini, Aryasatya?”
“Jurang ini… tempat kalian dulu menjebakku. Kau, dan anjing-anjing dewan istana.”
“Aku sudah melupakan masa lalu Suranegara. Tapi kalian… membuat dendam itu bangkit kembali.”
Aryasatya batuk darah. Matanya tetap tenang.
Aryasatya (lemah tapi tegas):
“Aku… memang berdosa… Arunika… atau Indrasuma…
Tapi aku bertobat. Aku tinggalkan semua—bahkan takhta.”
“Kalau harus mati untuk menebus dosa... lakukanlah.”
Arunika terdiam. Matanya berkedip. Emosi di matanya bergumul: dendam, luka, dan kehampaan. Lalu—
Jagat Arunika (pahit):
“Kenapa kau ikhlas? Harusnya kau takut!”
“Tapi baiklah…”
Ia melemparkan tubuh Aryasatya ke jurang.
Aryasatya (tersenyum samar, suaranya memudar):
“Semoga… ini cukup… untuk menebusku…”
Tubuh Aryasatya menghilang dalam kegelapan. Tak terdengar suara jatuh. Hanya hening.
DESA SAPTADARMA, MANDALAGIRI SELATAN
EXT. RUMAH BANGSAWAN – MALAM
Api melalap bangunan besar bergaya klasik Mandalagiri. Atapnya runtuh, patung-patung jatuh hancur. Di antara kobaran, bendera keluarga Aryasatya berkibar dalam kehancuran.
Bayawira telah meninggalkan tempat. Tak jelas siapa yang selamat. Warga hanya bisa menyaksikan dari kejauhan dengan wajah murung dan takut.
Narator:
“Kebencian yang tak pernah disembuhkan akan menyebar seperti api.
Membakar sejarah, membakar rumah, membakar masa depan.”
🔥 END SCENE
(Beralih ke keheningan malam di markas Guild Bayu Geni... suara langkah Mahadewa Rakunti terdengar lagi di lorong...)
📜 ISTANA TIRABWANA, PUSAT KEKUASAAN MANDALAGIRI
INT. RUANG SINGGASANA – SIANG, TEGANG DAN BERGEMURUH
Langit Tirabwana diliputi awan kelabu. Di dalam ruang singgasana, suasana tegang menyelimuti para petinggi Kerajaan Mandalagiri.
Ruang besar dengan dinding marmer putih berhias relief sejarah Mandalagiri. Di atas singgasana utama, Sri Maharaja Darmawijaya duduk dengan wajah berat. Di sisinya, Permaisuri Shandrakirana menahan tangis. Di sisi bawah tangga, Mahamentri Palindrasuta, Panglima Agung Jayasatya, Ketua Dewan Istana Dalam Raksadana, serta Pangeran Mahkota Maheswara berdiri sejajar bersama para bangsawan dan utusan militer.
📜 LAPORAN BERUNTUN
Perwira Utama Pengawas Medan:
“Hamba melaporkan, kelompok Bayawira dari atas Gunung Mandalgraha telah melakukan serangan balik besar-besaran, menghancurkan semua pos militer di kaki gunung. Hawa kegelapan menyelimuti mereka. Kekuatan mereka... tidak wajar.
Diperkirakan mereka sudah menyebar ke punggung dan lembah Mandalgraha. Jumlah mereka... bisa mencapai ribuan.”
Bisik-bisik dan kegaduhan para bangsawan mulai terdengar.
Utusan Guild Bayu Geni datang terburu-buru. Ia membungkuk dalam-dalam di hadapan Maharaja.
Utusan Guild Bayu Geni:
“Kami bawa laporan tambahan, Paduka.
Malam lalu, kediaman Pangeran Aryasatya diserang dan dibakar oleh Bayawira. Dipimpin langsung oleh Jagat Arunika.”
“Namun... Tim lintas divisi Guild Bayu Geni yang dipimpin oleh Darsa Nagawikrama berhasil menyelamatkan Raden Ayu Sitalaksmi dan putra Aryasatya, Aditya Yudhanagara.
Tapi... nasib Pangeran Aryasatya sendiri belum diketahui.”
😢 PERMAISURI SHANDRAKIRANA MENANGIS
Permaisuri Shandrakirana tidak kuasa menahan air mata. Ia memalingkan wajah dan memeluk lengan suaminya. Sri Maharaja Darmawijaya menggenggam tangannya dengan erat, wajahnya muram dan penuh beban sebagai Raja dan Ayah.
Sri Maharaja (pelan namun tegas):
“Cari... temukan Aryasatya. Hidup atau mati. Aku ingin kepastian.”
😡 MAHESWARA INGIN BERTINDAK
Pangeran Mahkota Maheswara melangkah maju dengan mata berapi-api.
Maheswara:
“Cukup! Aku takkan diam! Dia sudah menyentuh darah kerajaan. Aku akan pergi sendiri dan menghadapi Arunika!”
Namun Raksadana langsung maju dan menghalangi, tangannya mengangkat perlahan.
Raksadana (tenang namun keras):
“Pikirkan peranmu, Maheswara. Kau bukan lagi seorang petualang. Kau adalah calon raja.”
“Kalau kau pergi... dan sesuatu menimpamu... siapa yang memegang tongkat warisan?”
Sri Maharaja ikut bicara. Suaranya dalam dan penuh wibawa.
Sri Maharaja:
“Maheswara... kau adalah harapan rakyat. Jangan gegabah. Aryasatya sudah... cukup menjadi pelajaran.”
💀 MAYAT INTEL & SURAT BAYANGAN MAUT
Pasukan penjaga istana masuk terburu-buru membawa gulungan kain. Mereka membuka dengan perlahan. Semua terdiam.
Dua mayat intel istana digantung di gerbang barat Tirabwana. Wajah mereka membiru, di dada mereka tertusuk jarum logam berukir lambang Bayawira: ular berkepala dua berwarna merah.
Di tangan salah satu mayat tergenggam surat hitam yang ditulis dengan tinta merah darah:
“Bayawira telah bangkit. Kami adalah keadilan yang diingkari. Tirabwana akan menjadi abu.
Kami menantang kekuasaan Mandalagiri. Kami datang dari gelap... membawa terang bagi kebenaran.”
~ Jagat Arunika
💥 KEMARAHAN MELEDAK
Panglima Agung Jayasatya menghentak tongkat komando.
Panglima Jayasatya:
“Hina! Ini bukan lagi pemberontakan. Ini perang!”
Raksadana mengangkat tangan untuk menenangkan suasana.
Raksadana:
“Kita tidak boleh menyerang tanpa arah. Kita harus memetakan kekuatan Arunika. Dia bukan musuh biasa.”
Sri Maharaja berdiri dari singgasananya. Semua langsung diam.
Sri Maharaja Darmawijaya:
“Mulai hari ini... Mandalagiri dalam keadaan Siaga Tertinggi.
Semua Divisi Guild, Dewan, Pasukan Kerajaan, dan Jaringan Intel harus bekerjasama.
Jagat Arunika akan kita hadapi... tidak hanya sebagai musuh kerajaan,
Tapi sebagai bayangan kelam dari masa lalu kita sendiri.”
✨ PENUTUP SCENE
Kamera mengarah ke langit di atas Istana Tirabwana. Awan gelap berputar. Petir menyambar jauh di kejauhan. Sebuah bayangan besar melintas di atas langit Mandalgraha...
Narator (suara dalam):
“Perang tidak selalu dimulai dengan senjata. Kadang, dimulai dengan luka yang tak pernah sembuh... dan kebenaran yang tak pernah diucapkan.”
📜 MENUJU PERANG BESAR DI TIRABWANA
PULAU NELAYAN, WILAYAH ADMINISTRATIF KOTA PELABUHAN ADIYAKSA – SIANG HARI
Langit cerah di atas pulau nelayan yang tenang mulai bergemuruh. Angin laut membawa aroma garam bercampur dengan hawa ketegangan. Di tepi dermaga batu, ratusan Jin Dra’vetha berdiri berbaris dengan rapi—tubuh mereka menyerupai manusia, namun kulit pucat dan taring kecil di bibir menunjukkan asal muasal mereka dari dunia lain. Beberapa membawa pedang kristal, tongkat sihir, atau staf energi hitam keunguan.
Nyai Lutfayana, sang komandan perempuan yang tegas dan tenang, berdiri di depan pasukan. Di sisinya, Jasana Mandira dengan sayap perunggu biru Lembuswana membentang dari punggungnya. Di belakang mereka, Catherine, wanita anggun berdarah bangsawan, menggendong anak kecil dan berdiri bersama para pelayan serta penjaga rumah bangsawan.
Jasana (tegas):
“Catherine... lindungi pulau ini. Rumah kita, anak-anak kita. Jika Tirabwana jatuh, tempat ini akan menjadi garis pertahanan terakhir.”
Catherine (penuh percaya diri):
“Aku bersumpah, tidak akan ada satu pun musuh menyentuh tempat ini selama aku masih bernapas.”
Lutfayana memberi aba-aba. Sayap-sayap kelelawar hitam terbentang dari ratusan punggung Jin Dra'vetha. Dalam satu hentakan sihir, mereka semua terbang bersama Jasana, meninggalkan jejak magis di langit biru menuju kota Tirabwana.
MARKAS GUILD BAYU GENI, KOTA TIRABWANA – HARI YANG SAMA
Ratusan anggota Guild Bayu Geni berkumpul di halaman utama. Di podium batu besar, berdiri Kapten-Kapten Divisi:
Kirana Wismadanta (Panggrahita Aji)
Mahadewa Rakunti (Rasa Prawira)
Doyantra Puspaloka (Mandhala Dhana)
Kalandra Wisanggeni (Bayang-bayang Geni)
Dan di tengah mereka, sang pemimpin baru Guild: Pradipa Karna, dengan pedang Dwijanaga yang disampirkan di punggungnya.
Pradipa Karna (menggelegar):
“Arunika... datang membawa kegelapan dari dalam dirinya sendiri!
Ini bukan lagi pemberontakan! Ini adalah kutukan masa lalu yang menjelma menjadi badai yang akan menghantam ibu kota kita!”
“Pasukan Bayawira dibawah Arunika saat ini bukan manusia biasa. Mereka seperti dikendalikan oleh kekuatan gelap yang tak kita pahami. Tapi kita adalah Bayu Geni! Kita berdiri sebagai harapan terakhir Mandalagiri!”
Teriakan membahana membalas pidato itu. Para pendekar, penyihir, pemburu, dan intel Guild Bayu Geni mengangkat senjata ke udara. Persatuan itu bergetar hingga ke menara sihir tertinggi kota.
JALAN-JALAN KOTA TIRABWANA – SIANG KE PETANG
Rakyat sipil mulai diungsikan. Kafilah pengungsian mengalir ke luar kota: para bangsawan, pedagang, keluarga petani, hingga seniman dan anak-anak kecil. Prajurit penjaga kota membantu menuntun arus pengungsi dengan formasi rapi.
Di kejauhan, langit mulai menghitam—bukan karena awan, tapi karena kehadiran sesuatu yang tak terlihat namun terasa di dada.
KAKI GUNUNG MANDALGRAHA
Sisa-sisa pos tentara Mandalagiri hancur. Ribuan jasad berserakan. Di antara kabut dan bau darah, pasukan Bayawira muncul perlahan dari celah-celah hutan.
Mereka adalah manusia—namun tak lagi seperti manusia biasa. Mata mereka kosong, kulit mereka kusam bercahaya redup, dan tubuh mereka menyatu dengan Aura Kegelapan Misterius yang berkedip seperti nyala lilin yang hampir padam.
Jagat Arunika memimpin dari depan, diikuti oleh panglima-panglima gelapnya. Mereka tak berteriak. Mereka hanya berjalan—hening dan tak terhentikan.
Arah mereka hanya satu: Tirabwana.
✨ PENUTUP SCENE:
“Perang Besar tak lagi sekadar wacana…
Dalam hitungan minggu, kegelapan akan menguji terang…
Dan Tirabwana akan menjadi medan di mana sejarah baru ditulis… dengan darah, sihir, dan takdir.”