BEBERAPA HARI KEMUDIAN
PERTAHANAN AWAL KOTA TIRABWANA
LOKASI: GERBANG UTAMA KOTA TIRABWANA – FAJAR HARI PERTAMA
Kabut masih menyelimuti dinding-dinding luar kota. Matahari belum sepenuhnya terbit. Hanya obor-obor yang menyala di sepanjang benteng Kota Tirabwana, menyinari barisan pasukan Guild Bayu Geni dan Tentara Kerajaan Mandalagiri yang telah bersiap di garis depan pertahanan.
Bersama mereka berdiri:
Kapten Kirana Wismadanta, mengenakan Pakaian Setelan Resmi Kapten Divisi Panggrahita Aji Berwarna Merah Bata, Kapten Wanita dengan Teknik Bertarung Tangan Kosong, Ahli Tenaga Dalam yang Hebat, Pengendalian Jiwa & Spiritual yang kuat.
Kapten Kalandra Wisanggeni, berdiri di atas menara pengamatan, matanya bersinar tajam dengan peta intel di tangannya. Menggunakan Setelan Formal Kapten Bayang-bayang Geni Kelabu keunguan.
Kapten Mahadewa Rakunti, bersama puluhan penyihir Divisi Rasa Prawira, tengah menggambar segel perlindungan di tanah.
Kapten Doyantra Puspaloka, memimpin jalur distribusi pasokan, logistik, dan formasi belakang.
Pradipa Karna, pemimpin Guild Bayu Geni, berdiri di depan gerbang kota, tangan kanannya menggenggam Dwijanaga, pedang bermata dua dengan aura hijau efek energi halus dari khodamnya. Matanya menatap jauh ke arah Selatan, arah datangnya musuh.
Pradipa Karna (berpidato singkat di hadapan pasukan):“Hari ini bukan soal siapa terkuat. Ini soal siapa yang melindungi rumahnya.Di balik dinding ini ada rakyat! Ada keluarga! Ada harapan!Kita tak akan menyerah pada bayang-bayang yang dikirim Arunika!Kita adalah Bayu Geni! Kita adalah Cahaya Terakhir!”
Teriakan menyatu membelah fajar.
LOKASI: LAPISAN PERTAHANAN PERTAMA – JALUR GERBANG KOTA
Di antara benteng dan perbukitan, ratusan tentara Kerajaan memasang panah sihir dan mesin pelontar batu sihir, dipimpin langsung oleh Panglima Agung Jayasatya—mengenakan zirah baja biru terang bertatahkan ukiran naga mengilap. Wajahnya tenang dan tegas, mata tajam, senjata pedang khas mandalagiri berwarna biru langit
Panglima Agung Jayasatya:“Tidak ada yang boleh lewat tanpa melewati mayat kita! Siapkan formasi Benteng Naga!”
LOKASI: LANGIT KOTA – PASUKAN UDARA MANDALAGIRI
Dari atas menara-menara tinggi, muncul Nyai Lutfayana dan ratusan Jin Dra'vetha yang sudah tiba di Tirabwana, membentuk formasi udara menyerupai lingkaran. Sayap kelelawar mereka membentang dengan warna kelabu perak. Di tengahnya, Jasana melayang tenang dengan sayap Lembuswana terbentang, mata tajam menatap ke bawah.
Jasana (dalam hati):“Arunika... jika ini jalanmu, maka biarkan aku yang menghentikanmu.”
LOKASI: BARISAN INTI – DIVISI KHUSUS BAYU GENI
Tim-tim elit dari semua divisi telah dibentuk:
Darsa Nagawikrama dan Larasmi memimpin tim Bayang-bayang Geni yang menyusup lewat lorong bawah tanah, menyiapkan jebakan dari balik pasukan musuh.
Bagas Prayoga, Nandika, dan Pratiwi berjaga di sisi kanan dinding luar, siap menyergap gelombang serangan pertama dengan taktik bertahan dan serangan cepat.
Kirta Wangsaputra berada di atas menara tinggi, busur sihirnya sudah membidik dari jarak jauh.
LOKASI: ARAH SELATAN KOTA – AWAN KEGELAPAN MENDATANG
Hening. Lalu gemetar.
Tanah berguncang. Kabut menghitam. Langit perlahan diselimuti oleh awan pekat yang bukan berasal dari cuaca, melainkan dari kekuatan gelap yang bangkit.
Di kejauhan, terlihat ratusan—bahkan ribuan pasukan Bayawira mulai muncul dari hutan selatan dan lereng-lereng gunung dan hutan-hutan bergerak kearah kota tirabwana.
Mereka diam. Berjalan seperti rombongan pasukan perang. Tapi aura hitam menyelimuti tubuh mereka seperti asap pekat yang hidup. Di barisan depan, tampak Jagat Arunika, berdiri membawa pedang Batara—yang kini sepenuhnya hitam dan menyala redup di tepinya.
Jagat Arunika (dalam suara batin yang menggema ke seluruh medan):“Tirabwana… tempat yang merampas segalanya… hari ini kau akan menyaksikan pengadilan dari takdir yang kalian abaikan.”
DUA KUBU SIAP BERTEMU
Langit kian gelap. Angin menari liar. Aura sihir saling menekan di udara seperti badai yang menunggu meledak.
“Dan di sinilah segalanya dimulai...Cahaya terakhir Mandalagiri berdiri menghadang badai dendam yang datang dari masa lalu…Dalam hitungan hari, benturan dua zaman akan terjadi…Ini bukan sekadar perang… ini adalah takdir yang dipertaruhkan.”
HUTAN LEMBAYUNG DIPA – TENGAH MALAM,
BEBERAPA MINGGU SEBELUM SERANGAN BAYAWIRA
Langit malam tak berbintang. Kabut menggantung di antara pohon-pohon tinggi raksasa yang menjulang bisu. Hutan Lembayung Dipa malam ini tampak hidup—daun-daun gemetar, tanah berdenyut pelan seperti jantung, dan suara gaib merambat dari balik pepohonan.
Di tengahnya, berdiri sebuah gerbang batu tua, tak tampak oleh mata biasa. Gerbang itu muncul hanya di saat waktu dan kehendak dunia tak nyata saling bersilangan.
Gerbang itu—Gerbang Rasa Bhuwana—diselimuti akar dan ukiran naga purba, dengan pintu gelap retak yang terasa hidup.
Di hadapannya, berdiri Jagat Arunika, Lodra Wahana, Swandari Pramesti, dan 100 elite Bayawira berpakaian ritual hitam membentuk lingkaran ghaib.
RITUAL PEMBUKAAN – 6 DARI 7 KUNCI PURBA
Jagat Arunika mengangkat tinggi 6 artefak purba ke udara. Setiap artefak memancarkan aura berbeda: angin, air, emosi, cahaya langit, roh, dan waktu.
Jagat Arunika (dalam mantra kuno):"Enam Cahaya Terlarang dari Purba, Bangkitkan gerbang di antara batas nyata dan bayang, Biarkan kehendakku mengganti takdir."
Tanah bergetar. Aura hitam dari langit terhisap ke bawah. Lingkaran energi mengalir dari elite Bayawira ke dasar pintu. Namun—gerbang masih setengah terbuka.
Lodra Wahana (memperingatkan):“Arunika… belum cukup. Kita hanya punya enam.”
Jagat Arunika (mata menyala):“Tidak ada waktu. Aku yang akan jadi kunci ketujuhnya!”
PEMBUKAAN PINTU TERLARANG
Jagat Arunika memotong telapak tangannya, darahnya menetes ke Artefak “Cakravidya Sangkaraning Rasa”. Dalam satu hentakan aura:
BOOM!!
Pintu retak itu pecah. Aura kegelapan pekat seperti badai keluar dari dalamnya, menyelimuti pepohonan dan langit malam.
Pohon-pohon bergemuruh, sebagian tumbang. Tanah terbelah.
Jagat Arunika berdiri di tengah pusaran itu, tubuhnya menyerap energi gelap secara langsung. Para Bayawira terlempar mundur, namun Arunika tetap berdiri.
Dari dalam gerbang, **muncul sosok raksasa bercahaya ungu gelap—berwajah Asura, bertanduk dan bersayap api—**itulah Mahishasura, makhluk legenda yang pernah menggulingkan dewa-dewa langit.
Mahishasura (suara dalam kepala Arunika):“Kau... penuh dendam dan amarah. Aku memilihmu.Jadilah tubuh baruku. Jadilah kehendakku di dunia ini.”
Arunika menjerit, tubuhnya terbakar aura hitam. Tapi ia tidak terbakar—ia menyatu.
KEBANGKITAN: JAGAT ARUNIKA & MAHISHASURA
Saat cahaya reda, Arunika berdiri dengan tenang, tubuhnya kini menampakkan lapisan aura Mahishasura di balik kulitnya. Matanya menyala emas dan hitam. Suaranya lebih berat dan bergema.
Arunika (dengan dua suara):“Kekuatan... adalah takdir. Dan aku adalah takdir baru Mandalagiri.”
MENCIPTAKAN PASUKAN BAYAWIRA KECIL MENJADI PASUKAN KELAM
Setelah menyatu dengan Mahishasura, Arunika kembali ke kamp utama Bayawira di Gunung Mandalgraha. Ia berdiri di depan ribuan pasukan bayawira—mantan bandit, pendekar buangan, dan rakyat terpinggirkan.
Dengan sihir baru, ia mengangkat Pedang Batara-nya ke langit. Aura hitam keluar seperti gelombang dan menyelimuti ribuan prajurit Bayawira yang berlutut.
Tubuh mereka menggigil, berteriak…...lalu berubah. Mata mereka menjadi hitam dan Kosong. Nafas mereka menjadi dingin.Mereka bukan zombie. Mereka tetap hidup—namun dipenuhi energi terkutuk.
Lodra Wahana (dalam hati):“Apa yang kau lakukan, Arunika… kau sudah tak kembali, kau sudah terlalu jauh tenggelam dalam Kegelapan.”
FLASHBACK: KERAGUAN DI BALIK BAYANG-BAYANG — LODRA WAHANA & SWANDARI PRAMESTI
LOKASI: Lereng Timur Gunung Mandalgraha — Malam Hari
Langit diselimuti kabut ungu, tak ada bintang. Di balik semak lebat dan bebatuan berlumut, jauh dari pusat kamp Bayawira, dua sosok berdiri dalam diam. Bayangan pohon-pohon besar menggantung seperti hantu.
Lodra Wahana bersandar di sebuah batu besar, pandangannya menembus kabut ke arah pusat markas, tempat Jagat Arunika tengah bermeditasi dikelilingi aura kegelapan. Di sampingnya, Swandari Pramesti berdiri tenang, angin berputar pelan di sekelilingnya, menggerakkan ujung rambutnya.
Suasana di antara mereka sunyi… terlalu sunyi untuk sebuah medan perang yang sebentar lagi akan bergemuruh.
Swandari (pelan, berbisik):“Kau juga merasakannya… kan, Kapten?”
Lodra (tak menoleh):“Apa?”
Swandari (nada pelan, tapi jelas):“Bahwa… ini semua sudah melewati batas. Arunika... bukan lagi Arunika yang kita kenal.”
Lodra (menutup mata, menarik napas panjang):“...Dia sudah jadi wadah Mahishasura. Kita melihatnya saat gerbang Rasa Bhuwana terbuka. Matanya... bukan lagi milik manusia.”
Swandari (menatap tanah, tangan mengepal):“Dulu dia bicara tentang keadilan, membela desa-desa yang diinjak para bangsawan…Tapi sekarang? Dia membakar rumah-rumah yang tak bersalah. Menyerap roh hidup jadi senjata. Bahkan... membuat pasukan mayat hidup dari orang-orang yang dulu percaya padanya.”
Lodra (nada berat):“Aku tahu. Tapi kita sudah terlalu dalam, Swandari... Kita berdiri tepat di tengah lautan kegelapan. Kalau kita balik arah sekarang... bahkan aku, dengan kekuatan Khodam Raja Kera, tak yakin bisa melindungi kita berdua dari pasukan hitam itu.”
Swandari:“Bahkan pasukan ini... lebih gelap dari saat Kandhara Mangkara buat dulu... Pasukan Arunika dua kali lebih kuat. Tidak ada sihir atau teknik yang bisa melawan mereka......kecuali Maheswara dan sebuah keajaiban dari Pasukan Gabungannya.”
Lodra (menatap Swandari, serius):“Dengarkan aku... Kita tetap di sini. Kita diam. Kita mainkan peran kita.Tapi... jika nanti kesempatan itu datang—satu celah untuk memperbaiki semua ini, untuk menjatuhkan Mahishasura dari dalam... maka kita ambil.”
Swandari (menunduk, lirih):“Aku tak ingin melawan Arunika... dia pernah jadi simbol harapan. Tapi sekarang... dia adalah awal kehancuran Mandalagiri.”
Lodra:“Dia sudah bukan lagi manusia, Swandari... Dia hanya tubuh.Yang bicara dari balik matanya sekarang... adalah iblis.”
Angin makin dingin. Dari kejauhan, terdengar pekik pasukan bayawira yang berlatih tengah malam—suara logam membentur logam, suara lolongan makhluk kegelapan, dan gema mantra-mantra dari Arunika sendiri.
Lodra (mendongak ke langit):“Mandalagiri akan tenggelam dalam malam abadi... jika kita tak berbuat apa-apa.”Lalu ia menatap Swandari dan menyatakan pelan:“Kalau saatnya tiba... aku akan berpihak pada cahaya. Sekalipun nyawaku taruhan.”
Swandari (menatap Lodra dengan mata penuh tekad):“Maka aku akan bersamamu.”
Dedaunan kembali bergetar. Mereka kembali ke barak seolah tak terjadi apa-apa. Tapi malam itu, dua hati di tengah kegelapan mulai menyala—dengan keraguan... dan harapan akan perubahan.
“Mereka adalah bayangan di dalam bayang. Mereka yang tahu bahwa iblis tak selalu datang dari luar...Kadang, iblis lahir dari harapan yang dikhianati.”
✨ KEMBALIKAN KE MASA KINI
“Dan sejak malam itu… Bayawira bukan lagi sekumpulan pemberontak. Mereka adalah pasukan gelap yang dihidupkan oleh kekuatan Mahishasura, dipimpin oleh manusia yang telah menjadi wadah kutukan itu sendiri—Jagat Arunika. Dan kini... mereka bergerak ke Tirabwana.”
FLASHBACK SCENE – RUANG DIVISI RASA PRAWIRA, GUILD BAYU GENI
Beberapa Minggu Sebelum Pergerakan Pasukan Bayawira ke Tirabwana Setelah Arunika Bersatu dengan Mahishasura.
LOKASI: Ruang Konsultasi Spiritualitas Divisi Rasa Prawira – Guild Bayu Geni Suasana tenang, dinding ruangan terukir mantra-mantra kuno dan dilapisi aura peredam energi. Lampu gantung berisi api biru berkelap-kelip menyinari ruangan. Aroma dupa rempah tipis melayang di udara.
Di tengah ruangan, duduk bersila Kapten Mahadewa Rakunti—sosok teduh namun dalam, dengan tongkat Kalaweda berdiri di sisinya. Di hadapannya, berdiri Sekar Yudhawati, mantan mata-mata Bayawira yang kini menjadi tangan kanan sekaligus informan penting.
💬 Dialog Mahadewa & Sekar Yudhawati
Mahadewa Rakunti (dengan suara dalam dan lembut):“Katakan padaku, Sekar. Apa yang sebenarnya disiapkan Arunika… Kami tahu dia telah membuka segel, tapi belum tahu seutuhnya yang ia lepaskan.”
Sekar Yudhawati (menunduk perlahan, lalu angkat wajah, suaranya pelan tapi tajam):“Jagat Arunika… tidak lagi manusia seperti yang dikenal oleh Mandalagiri.Ia telah membuka Gerbang Rasa Bhuwana, meski hanya dengan enam kekuatan purba. Gerbang itu... adalah celah antara dunia kita dan sesuatu yang seharusnya tetap tersegel.”
Mahadewa (mata menyipit):“Enam kekuatan? Tanpa kunci ketujuh... ia seharusnya tidak bisa membukanya.”
Sekar:“Dia... menggunakan dirinya sendiri sebagai pengganti.Tubuh dan jiwanya jadi wadah kekuatan itu. Dan dari balik gerbang, yang muncul adalah sosok yang hanya dikenal dalam legenda: Mahishasura.”
Mahadewa (mendadak hening):“...Asura yang menggulingkan para dewa langit. Aku pikir itu hanya dongeng.”
Sekar:“Bukan dongeng, Kapten. Aku melihatnya melalui mata batin-ku yang masih terhubung dengan Bayawira.Saat aura ungu gelap itu meluap keluar, ratusan elite Bayawira terhempas, tapi Arunika......ia menyerapnya. Mahishasura tak mengambil alih tubuhnya. Ia menyatu.”(Sekar menggenggam pedangnya dengan gugup)“Dia sekarang... wadah kekuatan iblis itu. Dengan kesadaran penuh.”
Mahadewa (menghela napas panjang, menunduk):“...Mandalagiri dalam ancaman yang belum pernah kami hadapi.”(Ia mengangkat kepala, mata kemerahan menatap tajam)“Dan bagaimana dengan khodam pertamanya? Kala Naga Murka... yang dulu hanya khodam lapisan hewan?”
Sekar (menatap Mahadewa dalam-dalam):“Itu telah... berevolusi. Kala Naga Murka telah berubah menjadi Raja Ular Antaboga—Khodam Lapisan Dewa-Dwaya.Kini Arunika memiliki dua kekuatan supradivine: Mahishasura... dan Antaboga.”
(Suasana menjadi sangat berat, aura di ruangan terasa menegang)
Mahadewa (dalam hati):“Dua kekuatan yang bisa membengkokkan hukum sihir dan alam... dipakai oleh satu manusia.”
🌊 Sekar Memberi Harapan
Sekar (lebih tenang):“Tapi... meski ia tampak tak terkalahkan, semua kekuatan—bahkan yang tampak abadi—selalu punya lawan. Jagat Arunika mengambil jalan pintas. Ia memaksa sesuatu yang belum siap. Itu akan menjadi celahnya.”
Mahadewa (menatapnya, dengan nada harapan):“Kau yakin?”
Sekar (mengangguk):“Ritual yang ia paksa... meninggalkan retakan. Mahishasura belum sepenuhnya stabil dalam tubuhnya. Dan aura Antaboga terlalu besar bagi tubuh manusia biasa... bahkan tubuh Arunika yang terlatih.”
(Sekar mendekat, suaranya lebih serius)“Jika kita temukan cara untuk memutus salah satu...baik Mahishasura atau Antaboga… Maka Arunika akan goyah. Dan itu saatnya kita menyerang.”
🙏 Mahadewa Menghargai Sekar
Mahadewa (menghela napas, lalu berdiri, menyentuh pundak Sekar dengan ringan):“Informasimu... menyelamatkan Bayu Geni, Sekar. Dan mungkin Mandalagiri. Aku tahu kau datang dari sisi kegelapan... tapi yang kau lakukan hari ini…...adalah jalan menuju cahaya.”
Sekar (tersenyum samar, matanya berkilau dingin):“Dulu aku percaya pada kekuatan Arunika... tapi setelah melihat dia jadi wadah iblis... aku tahu itu bukan lagi harapan, tapi kehancuran.”
Mahadewa:“Mulai hari ini... kau adalah cahaya di antara bayang. Kita siapkan semua. Kita hadapi kegelapan... dari inti terdalamnya.”
🎬 SCENE PENUTUP:
Mahadewa berbalik dan melangkah keluar ruangan, tongkat Kalaweda mengetuk lantai dengan gema sihir halus. Sekar menatap nyala api biru di sudut ruangan. Wajahnya masih muda, tapi matanya menyimpan luka sejarah yang dalam.
“Perang belum datang. Tapi bayangannya sudah menggantung di langit Mandalagiri.Dan para pelindungnya... mulai bangkit dari ketakutan.”
MISI KHUSUS RAKA LELANA — PENEMUAN KEKUATAN PURBA KETUJUH.
(Setelah Informasi Lengkap yang di dapatkan Mahadewa Rakunti dari Percakapan dengan Sekar)
Lokasi: Kuil Tersembunyi di Pegunungan Utara Mandalagiri, Lalu Berlanjut ke Pulau Nelayan Dra’vetha
Waktu: Beberapa Minggu Sebelum Bayawira Bergerak Menuju Tirabwana
Pelaksana Utama:
Jasana Mandira (Kapten Divisi Raka Lelana)
Sundra Mahendra (Ahli navigasi & tombak Langkara)
Zadran (Pendekar muda bertangan kidal)
Senopati Wiraindra (Veteran tangguh, 14 tahun di Guild)
Adinata Fajarendra (Ahli strategi muda dan tenang)
(Suasana Kuil Tersembunyi di antara tebing dan pepohonan tinggi, atmosfer sepi, hanya suara burung liar dan desir angin. Ruangan di dalam kuil terasa sunyi, namun penuh energi kuno.)
💬 Percakapan Dalam Misi
Sundra Mahendra(menyeka peluh, memandangi ukiran dinding kuil)“Ini bukan kuil biasa… Ukiran ini… pola spiral kalathraya. Ini pengetahuan dimensi. Kita sudah dekat, Kapten.”
Zadran(membungkuk melihat lantai berpola emas yang menyala lembut)“Ada tulisan tua di sini... bahasa gaib. ‘Hanya pemegang waris Kalathraya terpilih yang bisa melihat kunci...’”
Senopati Wiraindra(menyilangkan tangan, menghela napas panjang)“Artinya... hanya waris Kalathraya terpilih, Apa Maksudnya.”
Adinata Fajarendra(tenang, tajam membaca peta tua yang mereka bawa)“Kunci... bukan hanya simbol. Bisa jadi artefak... benda fisik yang kita anggap biasa, tapi menyimpan kekuatan.”(melirik ke Jasana)“Kapten… Anda mewarisi sesuatu dari Alam Jin Kalathraya untuk membuka portal menuju alam ghaib, bukan?”
Jasana(diam sejenak, matanya mengingat masa lalu...)“...Ya. Sebuah kunci logam seukuran lengan, perak keemasan, dengan ukiran naga dan pusaran. Raja Svalamba Yudhapraya memberikannya padaku karena aku memenangkan kompetisi pedang dan sihir di alam jin kalathraya 3 tahun lalu.”(menatap timnya, agak ragu)“Selama ini aku kira itu hanya kunci portal ke alam lain...”
Zadran(setengah berbisik)“Atau mungkin... itu adalah artefak purba ketujuh yang selama ini dicari Jagat Arunika.”
⚡️Realisasi Penting
Sundra (bergegas mendekat)“Jika benar, dan jika kita memilikinya—kita lebih duluan dari Arunika.”(penuh semangat)
Senopati Wiraindra (senyum tipis, tenang seperti biasa):“Untuk pertama kalinya setelah sekian misi panjang... kita punya satu langkah di depan kegelapan.”
(Scene transisi cepat, mereka menunggangi tunggangan ghaib dan menyeberang lautan dalam waktu semalam ke Pulau Nelayan—rumah keluarga Dra’vetha. Suasana sore, langit kemerahan. Mereka menuju ruang bawah tanah yang tersegel dan dijaga mantra penjaga darah.)
💬 Di Depan Ruang Bawah Tanah, Pulau Nelayan
Jasana (berdiri di depan segel batu kuno):“Ini tempatnya... Aku yang memasang segel ini sendiri tiga tahun lalu, hanya aku dan kedua Istriku yang bisa membuka segel tersebut.”
(Jasana mengangkat tangan, aura hijau dari sihir alamnya menyelimuti ukiran naga di pintu batu. Kunci ditarik dari balik jubahnya. Kunci Kalathraya itu bergetar dan mengeluarkan cahaya keemasan.)
Zadran (tercengang):“Kunci itu hidup... itu bukan logam biasa.”
Adinata:“Tidak hanya kunci ruang. Tapi... penyimpan dimensi. Artefak ini adalah kekuatan purba.”
Sundra (menatap Jasana penuh keyakinan):“Kau, Kapten... adalah pemilik kekuatan ketujuh itu. Yang bisa membuka... dan mungkin juga... menutup kembali gerbang kegelapan Arunika.”
🔓 Kunci Aktif
(Saat kunci dimasukkan ke lubang batu segel, cahaya melingkar terbuka. Di dalamnya ada pilar energi vertikal yang berkilau putih keemasan. Aura ruangan terasa bersih, menenangkan, seakan menolak semua bentuk kegelapan.)
Senopati Wiraindra:“Dengan ini, kita punya penyeimbang kekuatan Mahishasura dan Antaboga kekuatan Arunika yang kita dapatkan dari Informasi Kapten Mahadewa Rakunti dari Informasi lengkap yang diberikan Sekar...Dan kau, Kapten... jadi poros harapan Mandalagiri.”
🎬 Penutup Scene
Jasana menggenggam erat kunci Kalathraya. Aura hijau dari tubuhnya menyatu dengan cahaya kunci. Angin lembut berhembus, sayap khodam Lembuswana muncul samar di punggungnya.
“Kegelapan boleh datang,Tapi terang sudah siap menyambutnya. Perang belum dimulai… tapi Mandalagiri tidak akan jatuh dalam sunyi.”
FLASHBACK — GUILD BAYU GENI, RUANG PERTEMUAN TERTUTUP
(Setelah Jasana dan Tim Kembali dari Misi untuk Mencari Artefak Ke-7)
Waktu: Beberapa Minggu Sebelum Perang Tirabwana
Lokasi: Ruang Dalam Divisi Rasa Prawira — Hangat, penuh aura sihir, dikelilingi rak kitab, lilin ungu menyala tenang di sudut ruangan.
(Mahadewa Rakunti duduk bersila di atas permadani, tongkat Kalaweda bersandar di sampingnya. Di hadapannya, berdiri tegak dan mantap, Jasana Mandira dengan mantel hijau khas Raka Lelana yang masih kotor debu perjalanan.)(Di tangan Jasana tergenggam Kunci Dimensi Kalathraya, berkilau perak keemasan, membisikkan kekuatan yang dalam.)
💬 Percakapan: Mahadewa Rakunti dan Jasana Mandira
Mahadewa Rakunti (melirik kunci dengan tenang)“Jadi… inilah bentuknya.”(menyentuh udara di sekitarnya, merasakan getaran magis dari artefak tersebut)“Aku bisa merasakan... aliran waktu di sekelilingmu sempat retak saat kau membawanya ke sini, Jasana. Ini bukan sekadar kunci antar dimensi—ini pengatur jalur nasib.”
Jasana Mandira (menatap artefak di tangannya, perlahan mengangguk)“Tiga tahun lalu, aku kira ini hanya simbol kemenangan. Saat Raja Svalamba memberikannya… dia bilang, ‘Suatu hari, kau akan tahu mengapa kunci ini memilihmu.’”(mengangkat wajahnya mantap)“Kini aku tahu. Ini bukan sekadar pembuka portal, tapi pemurni. Penyegel. Penyeimbang kegelapan Arunika.”
Mahadewa (terdiam sejenak, lalu tersenyum perlahan)“Jagat Arunika menyatu dengan Mahishasura—kegelapan yang bahkan membuat langit menunduk. Tapi semesta tidak pernah membiarkan satu sisi tumbuh tanpa lawan.”(menatap Jasana dalam-dalam)“Kau, Jasana... adalah antitesis itu. Kunci ini hanya hidup di tangan yang sanggup menanggung cahaya dan bayangannya sekaligus.”
Jasana (menunduk hormat)“Aku bukan cahaya, Kapten. Tapi... aku takkan membiarkan kegelapan menguasai Mandalagiri.”(menatap Mahadewa teguh)“Karena itu, aku ingin kembali ke Pulau Nelayan. Pasukan Jin Dra'vetha siap. Lutfayana sudah bersiap sejak beberapa hari lalu. Kami akan bergerak... sebagai pelindung dari langit untuk Tirabwana.”
Mahadewa (tertawa kecil, santai namun sarat makna)“Ah, Lutfayana... istrimu jin dari darah bangsawan merah ketujuh, wanita berbahaya.”(lalu kembali serius)“Jin darah merah sepertinya tidak akan tunduk pada panggilan siapa pun... kecuali orang yang mereka percaya sebagai pusat takdir.”(menatap tajam ke Jasana)“Itu kau, Jasana. Kau bukan hanya kapten sekarang. Kau sudah menjadi penyeimbang garis sejarah.”
Jasana (pelan, namun mantap)“Aku akan melindungi Mandalagiri. Bukan demi kejayaan... tapi demi anak-anak di pengungsian, keluarga-keluarga yang tak tahu perang sedang datang, dan semua yang percaya bahwa langit masih bisa biru esok hari.”
Mahadewa (mengangguk pelan, lalu berdiri, tongkat Kalaweda mengeluarkan aura ungu lembut)“Pergilah. Kunci itu akan menyatu denganmu saat saatnya tiba. Tapi ingat, kekuatan tidak cukup.Yang menyegel kegelapan… bukan kekuatan, tapi kehendak yang tidak goyah.”(tangannya menyentuh pundak Jasana dengan ringan)“Dan kau, Jasana... adalah kehendak itu.”
KEMBALI KE TIMELINE UTAMA — LANGIT DAN DARATAN MANDALAGIRI BERGETAR MENUJU PERANG BESAR
(Beberapa hari kemudian ketika semua pasukan Gabungan Mandalagiri berkumpul dan Pasukan Kegelapan Bayawira semakin mendekati Kota Tirabwana).
Narasi Latar (Overvoice / Narrator)
"Langit mulai memerah. Angin kian berat, membawa aroma besi dan darah dari arah selatan. Kegelapan tak lagi menunggu di batas cakrawala—ia bergerak. Dan seluruh kekuatan Mandalagiri kini bersatu untuk menghadangnya. Inilah hari-hari menjelang Perang Besar di Tirabwana."
📍 Padang Rumput Rinjung Langit — Selatan Tirabwana
Ribuan tentara Kerajaan Mandalagiri mulai menyebar dalam barisan disiplin. Komandan-komandan muda meneriakkan aba-aba dari atas kuda mereka, panji-panji kerajaan berkibar di antara kabut rumput yang tertiup kencang. Barisan mereka memanjang dari kaki bukit hingga ke batas hutan.
Komandan Muda:
“Formasi perisai maju! Jangan beri celah satu jengkal pun! Perang ini bukan untuk kita... tapi untuk generasi selanjutnya!”
Di kejauhan, terlihat gerakan bayangan hitam... Pasukan Bayawira yang mulai menuruni lereng perlahan, seperti ombak hitam yang membawa maut.
🛡️ Benteng dan Perbukitan Sekitar Tirabwana
Di puncak benteng, Panglima Agung Jayasatya berdiri gagah, zirah birunya menyilaukan cahaya langit. Di belakangnya, deretan panah sihir, mesin pelontar batu sihir, dan mantra penjaga benteng telah disiapkan.
Panglima Jayasatya (serius, tegas):
“Formasi Benteng Naga! Tidak boleh ada yang lolos ke dalam kota. Kita bertahan, bukan untuk menyerah... tapi untuk mengakhiri!”
⚔️ Tim Elit Guild Bayu Geni & Tentara Mandalagiri
Sisi Bawah Tanah — Lorong Rahasia
Darsa Nagawikrama dan Larasmi memimpin tim Bayang-bayang Geni, menyusup lewat lorong-lorong gelap bawah tanah. Tentara intel Mandalagiri menyebar bersama mereka, mempersiapkan jebakan sihir, bom roh, dan perangkap kabut ilusi.
Darsa (kepada Larasmi):
“Saat mereka masuk ke kota... mereka akan disambut oleh bayangan, dan saat malam kita habisi mereka diam-diam.”
Tembok Timur — Sisi Pertahanan Cepat
Bagas Prayoga, Nandika, dan Pratiwi berdiri memimpin pasukan cepat. Nandika menanam perangkap tombak runtuh, Pratiwi memasang jalur penyamaran dan taktik pelolosan, dan Bagas memimpin peleton tangan kosong siaga.
Bagas (menyeringai):
“Ayo, gelombang pertama datang. Jangan kasih nafas!”
Menara Atas — Penembak Jarak Jauh
Di atas menara tertinggi, Kirta Wangsaputra memegang busur sihir biru, dikelilingi oleh pemanah elit Mandalagiri. Matanya tajam, menghitung arah angin dan pergerakan musuh.
Kirta (dalam hati):
"Satu panah... untuk satu kegelapan. Aku takkan meleset."
🌌 Langit Tirabwana — Garis Depan Udara
Dari langit, formasi udara Dra'vetha membentuk lingkaran sempurna. Sayap kelelawar raksasa milik para Jin terbentang seperti awan malam yang menggulung. Lutfayana, mengapung di tengah dengan jubah hitamnya berkibar hebat, sihir darahnya berdenyut seperti urat merah di udara.
Di pusat formasi...
Jasana Mandira melayang, sayap Lembuswana-nya terbuka penuh — bercahaya biru api ghaib, memancarkan kekuatan purba yang menyeimbangkan langit itu sendiri. Di tangannya, tergenggam Lungguh Darma, dan di balik sabuknya tersimpan Kunci Kalathraya—senjata penentu takdir perang ini.
Jasana (mata menatap ke barisan hitam musuh di kejauhan)
“Mahishasura... Arunika... aku membawa cahaya dari dunia yang kalian tolak.”“Dan kali ini, kalian takkan kembali.”
Puncak Lereng — Bayawira Bergerak
Gelombang hitam mulai menuruni lereng. Ribuan pasukan Bayawira, tubuh mereka tak lagi tampak manusiawi—kulit mereka dipenuhi garis-garis sihir gelap, mata bersinar merah dan mulut-mulut bersenandung mantra keabadian.
Di barisan paling depan...Jagat Arunika, berdiri tenang, pedang Batara kini menyala hitam kelam. Aura Mahishasura perlahan memancar dari punggungnya, bentuk kabut iblis bersayap api mulai membayang samar di langit suram.
🎬 Scene ditutup dengan narasi megah
"Dan ketika siang menahan napasnya… ketika tanah tak lagi percaya pada bayangannya… Perang Besar Tirabwana tak lagi bisa dicegah.Cahaya dan gelap kini telah siap beradu.Hanya satu kehendak... yang akan menutup gerbang nasib Mandalagiri."
Hari Pertama Perang Besar Mandalagiri
Lokasi: Lereng dan Kaki Bukit Rinjung Langit, Selatan Tirabwana
Waktu: Pagi Menjelang Siang
[Narasi Pembuka]
"Langit Tirabwana dipenuhi kabut dan kilatan sihir. Di kaki Bukit Rinjung Langit, dua kekuatan besar akhirnya bertemu—raungan tanduk perang bergema, menandai dimulainya bentrokan pertama antara dunia terang dan kegelapan."
📍 Garis Depan Mandalagiri — Lereng Bukit Rinjung Langit
Panji-panji Kerajaan Mandalagiri berkibar gagah—biru air dengan lambang Naga Tirta, melambai keras tertiup angin pertempuran. Di sisi seberang, dari balik kabut lereng, muncul barisan panjang pasukan Bayawira.
Mereka diam saat berjalan menuruni bukit, tubuh-tubuh mereka dipenuhi aura hitam seperti asap hidup, mata hitam seperti menatap kekosongan. Panji Ular Berkepala Dua Merah berkibar dari barisan mereka.
Teriakan perang terdengar.
Komandan Muda Mandalagiri (berteriak):“Tahan posisi! Lindungi gerbang selatan Tirabwana! Siap panah sihir!!”
Ratusan prajurit sihir menarik busur berisi panah aura, sementara pasukan darat mengangkat perisai bertatahkan mantra perlindungan.
Dentuman keras meledak saat dua kekuatan bertabrakan di kaki bukit.Benturan pedang, tombak, dan ledakan sihir memenuhi udara.
⚔️ Pertarungan Awal — Kaki Bukit Rinjung Langit
Pasukan kerajaan Mandalagiri bertahan di garis datar, mencoba menahan gelombang pasukan Bayawira yang menuruni lereng. Namun, para Bayawira bukan manusia biasa—gerakan mereka liar dan tidak bisa diprediksi, tubuh-tubuh mereka seperti tidak merasakan luka. Banyak prajurit Mandalagiri terpental, meski telah mengenakan zirah sihir.
Prajurit Mandalagiri (berteriak panik):“Mereka tak bisa mati! Tusukannya tak menembus! Itu… itu bukan manusia lagi!!”
Beberapa Bayawira bertaring dan bersayap muncul dari lereng, menyambar ke udara, mengarah ke langit tempat formasi udara Jin Dra'vetha melayang.
🌪️ Pertempuran Udara — Langit Tirabwana
Formasi udara Jin Dra'vetha menyusun lingkaran perisai. Sayap kelelawar mereka melebarkan gelombang suara yang menggetarkan udara.
Lutfayana melayang di tengah formasi, rambut peraknya berkibar liar, tangannya menari memanggil darah dari udara—membentuk panah-panah tajam merah tua.
Lutfayana (dengan tenang tapi mematikan):“Yang terbang... akan jatuh.”
Dia mengayunkan pedangnya Silvatira dan panah darah melesat menghantam Bayawira bersayap yang menyusup dari balik awan. Ledakan darah bertebaran di udara.
💫 Jasana — Sayap Lembuswana Membelah Langit
Di tengah formasi udara, Jasana Mandira melayang gagah. Sayap Wiratmaja-nya menyala dengan api ghaib biru.Tatapannya tajam menelusuri medan pertempuran di bawah.
Di tangannya, Lungguh Darma bersinar merah darah, dan dari balik sabuknya, Kunci Kalathraya memancarkan energi samar.
Ia memandang ke arah barisan pasukan Bayawira yang terus menuruni lereng dari balik kabut.
Jasana (pada Lutfayana, suara tenang di tengah badai):“Kita belum melihat Arunika. Ini baru kulitnya…”
Lutfayana (tersenyum tipis, lirih):“Tapi kulit bisa dibakar… asal apinya cukup dalam.”
Jasana mengangkat tangan—dan pusaran aura hijau menyala dari telapak tangannya. Dia meneriakkan mantra:
Jasana:“GURITNA DARMA!”
Dari langit, pusaran sihir alam menghantam barisan Bayawira yang sedang menuruni lereng—menghempaskan puluhan dari mereka ke dasar jurang, akar-akar raksasa mencuat dari tanah dan melilit mereka dalam badai dedaunan yang tajam.
⚔️ Penutupan Scene — Darah, Api, dan Bayangan
Kabut perang makin tebal.
Tubuh-tubuh berserakan, suara ledakan sihir dan benturan logam bergema. Namun pasukan Mandalagiri mulai terdesak—jumlah dan kekuatan Bayawira terlalu besar, dan belum satu pun pemimpin utama mereka muncul.
Narasi Penutup (Voiceover)
“Hari pertama perang telah dimulai. Dan meskipun cahaya masih menari di langit… bayangan dari selatan belum memperlihatkan seluruh wajahnya. Tirabwana akan menanti… malam yang lebih pekat.”
Senja Perang Hari Pertama di Rinjung Langit
Lokasi: Lereng dan Kaki Bukit Rinjung Langit, Selatan Tirabwana
Waktu: Menjelang malam — Matahari tenggelam perlahan di balik kabut perang.
[Narasi Pembuka]
"Langit mulai berwarna tembaga, aroma darah dan tanah terbakar menyelimuti udara. Tubuh-tubuh berserakan, beberapa masih bergerak, sebagian tak akan pernah bangkit lagi. Perang hari pertama belum selesai, tapi semua pihak tahu—ini baru pembuka dari malam yang panjang."
🔥 Di Tengah Pertempuran Senja — Lereng Rinjung Langit
Jasana melayang cepat di antara celah-celah tebing, sayap lembuswana-nya mengepak kuat, menyapu tiga Bayawira bersayap ke dalam jurang dengan sihir angin yang menggulung. Napasnya berat, wajahnya dilumuri debu dan percikan darah, namun matanya tetap tajam.
Dari atas, Lutfayana mendarat sebentar di sebuah batu tinggi, tubuhnya diselimuti kabut darah tipis. Ia memandang ke arah medan perang, ratusan jin Dra'vetha turun satu per satu, sebagian terluka, sebagian menjaga udara.
Lutfayana (berbicara lantang, suaranya menggema ke Jasana di udara):“Bayawira menahan diri. Ini bukan karena mereka lemah… tapi karena mereka menunggu.”
Jasana mendarat di dekatnya, Lungguh Darma ditanamkan di tanah, masih menyala merah dari aura sihir yang membakar.
Jasana (menatap langit yang mulai gelap):“Aku tahu. Mereka tidak memperlihatkan kekuatan penuhnya hari ini. Tapi cukup untuk membuat separuh pasukan kita terseok.”
Lutfayana (merunduk, mengusap luka di lengan kiri, darah jin mengalir perlahan):“Jin-jin Dra’vetha kehabisan darah untuk sihir. Kami perlu makan. Istirahat.”
Jasana mengangguk. Ia menatap ke arah kaki bukit, di mana pasukan Mandalagiri mulai membangun tenda-tenda perkemahan seadanya, suara perisai dan dentang logam terdengar lemah namun terus bekerja.
Jasana (pada dirinya sendiri, lirih):“Ini baru hari pertama… dan sudah terasa seperti pekan terakhir hidup.”
⚔️ Barisan Depan Mandalagiri — Kaki Bukit
Komandan-komandan muda tengah mendirikan barikade sihir dari kayu dan batu, sebagian lainnya mengatur ulang formasi pasukan untuk jaga malam.
Seorang komandan muda, penuh darah dan debu, berbicara kepada rekannya:
Komandan A (lelah, mengatur napas):“Kita berhasil menjatuhkan banyak dari mereka ke jurang… tapi tiap kita bunuh sepuluh, muncul lima puluh lagi dari kabut.”
Komandan B (mengencangkan pelindung lengan):“Itu bukan perang… itu seperti melawan badai yang tak mau berhenti.”
Komandan A (memandang ke langit):“Tapi kita punya jasana… dan langit belum gelap sepenuhnya.”
🌌 Tenda Strategi Darurat — Lereng Bawah
Jasana dan Lutfayana kini berada di dalam tenda darurat—dari luar tampak kecil, tapi bagian dalam diperluas dengan sihir Jin Dra’vetha. Cahaya biru redup memantul dari obor kristal.
Peta besar Rinjung Langit terbentang di atas meja, ditandai dengan peniti sihir—garis merah menunjukkan gerakan Bayawira, garis biru posisi Mandalagiri dan Dra’vetha.
Lutfayana (menunjuk bagian peta lereng timur):“Mereka memusat di sini… lereng ini sempit, tapi bisa jadi tempat keluarnya Arunika. Mereka menahan serangan untuk membuka jalur yang lebih luas.”
Jasana (mengangguk, memandang peta):“Kita harus pasang jebakan tambahan di sini. Besok pagi… aku ingin kita patahkan laju mereka sebelum mencapai padang rumput.”
Jasana berdiri, wajahnya mulai lebih tenang—meski pundaknya memikul beban berat. Lutfayana mendekat dan menyentuh dada jasana perlahan, di mana Kunci Kalathraya tergantung di balik mantel.
Lutfayana (berbisik):“Kalathraya telah memilihmu, suamiku… Tapi malam ini, izinkan kami bertempur untukmu. Istirahatlah sebentar.”
Jasana (menatap mata merah Lutfayana):“Tak ada waktu istirahat untuk penjaga dunia… tapi jika kau bersamaku, aku tak akan jatuh.”
🌌 Penutupan Scene — Malam Pertama di Perkemahan Rinjung Langit
Suara jangkrik dan deru angin mengisi langit malam. Obor-obor sihir menyala redup di sekitar kaki bukit.Beberapa prajurit mulai tertidur dengan pedang di pangkuan. Jin-jin Dra’vetha duduk bersila, mengisi kekuatan lewat ritual api darah.
Di puncak bukit, terlihat titik-titik cahaya merah dari barak Bayawira—diam, gelap, dan menunggu.
“Besok, darah akan kembali tumpah. Tapi malam ini… langit Tirabwana menyimpan napas terakhir damainya.”
Penyerbuan Senyap Malam Hari di Lereng Rinjung Langit
Lokasi: Lereng Selatan dan Puncak Bukit Rinjung Langit
Waktu: Tengah Malam
Misi: Operasi penyusupan dan eliminasi diam-diam pasukan Bayawira yang sedang memulihkan diri
Pimpinan: Darsa Nagawikrama dan Larasmi Dwiputra — Divisi Bayang-Bayang Geni
Pendukung: Puluhan tentara khusus Mandalagiri, unit intelijen malam bersenjata ringan dan bergerak senyap
🌑 Narasi Pembuka
"Malam di Rinjung Langit turun seperti kabut bisu. Bulan tertutup awan. Obor-obor pasukan Bayawira di kejauhan berkedip seperti mata iblis yang tertidur. Tapi malam ini bukan milik mereka."
⚔️ Titik Awal Operasi - Lereng Tengah, Belakang Batu Raksasa
Darsa, berjongkok di balik batu besar, menyentuh tanah dengan ujung jari—merasakan getaran langkah-langkah di kejauhan. Di sekitarnya, puluhan intel tentara Mandalagiri berjongkok senyap, wajah mereka dilumuri lumpur hitam pekat.
Larasmi duduk bersila di belakangnya, meneteskan cairan biru kehijauan ke jarum-jarumnya.
Darsa (berbisik, nada tegas tenang):“Kita punya waktu satu jam. Tiga titik: barak logistik lereng barat, pos penjaga timur puncak, dan tempat istirahat elite di lereng dalam. Hantam cepat, senyap, tidak perlu heroik.”
Larasmi (senyum tipis, matanya tajam seperti jarumnya):“Kita bukan datang untuk menang… kita datang untuk menghapus mereka tanpa jejak.”
Komandan Intel Mandalagiri (menunduk hormat pada Darsa):“Prajurit siap, Darsa. Kami sudah hafal jalur perbukitan ini sejak remaja.”
Darsa:“Baik. Tim satu dan dua ikut aku ke barak dan pos penjaga. Larasmi, kau pimpin sisanya ke lereng dalam. Gunakan asap racunmu. Begitu selesai, tarik mundur ke titik pertemuan batu kelam.”
☠️ Penyusupan - Titik Pertama: Barak Logistik Bayawira
Darsa bergerak seperti bayangan, diikuti dua tim kecil. Mereka menyelinap di antara semak dan bebatuan. Tak ada suara. Hanya desiran rumput malam. Kucing hitam keunguan muncul dari balik kabut, Aswangga, khodam Darsa, melompat cepat mendahului.
Darsa menyusup ke dalam barak logistik—sebuah tenda lebar dengan tumpukan makanan dan senjata. Tiga Bayawira berjaga, tertidur lelap.
Darsa (mendesah pelan, menarik napas, lalu berbisik ke pedangnya):“Sahya, iring aku malam ini…”
Tiga lemparan — senjata lempar tipis terbang ke arah tiga leher sekaligus. Satu tebasan senyap dari Sahya — dan tidak ada teriakan.
Prajurit Mandalagiri (berbisik):“Selesai, Kapten Bayang-bayang…”
Darsa (membakar sebagian stok senjata dengan bom kecil asap gelap):“Biarkan terlihat kecelakaan… tidak perlu bangunkan yang lain.”
🐍 Titik Kedua: Lereng Dalam - Pos Tidur Elite Bayawira
Larasmi dan timnya menuruni lereng curam. Dia membuka botol kecil dan meniupkan racun asap hijau, yang segera menyebar seperti kabut lumut di hutan.
Para Bayawira di tenda-tenda kecil terlelap… tapi mendadak batuk, menggeliat, dan… diam. Napas mereka berhenti.
Larasmi mendekat, jarumnya meluncur cepat pada dua Bayawira bersenjata yang tersisa.
Larasmi (dingin, pada prajurit di belakangnya):“Jangan sentuh tubuh mereka. Racun ini menyerap ke kulit. Kita sudah selesai di sini.”
🐾 Titik Ketiga: Menara Penjaga Timur Puncak
Darsa naik cepat dengan cakar sihir Aswangga, yang mencengkeram dinding batu dan membawanya melompat ke atas menara. Dua penjaga Bayawira berdiri dengan tombak, setengah sadar.
Darsa mengayunkan tubuhnya ke arah mereka dan menjatuhkan keduanya tanpa suara, satu tebasan menyilang, satu lemparan kecil ke dada.
Ia turun dan memberi sinyal dengan api ungu kecil ke tim yang menunggu di bawah.
✅ Penutupan Operasi - Titik Kembali: Batu Kelam
Semua tim telah kembali. Darsa dan Larasmi berdiri saling berhadapan dalam bayangan.
Darsa (senyum samar):“Lima belas tenda… ratusan musuh. Tanpa bunyi. Tanpa ledakan.”
Larasmi (menyeka racun dari tangannya dengan kain ungu):“Itu bukan kekuatan. Itu kesunyian.”
Prajurit Mandalagiri (menghormat pada keduanya):“Kita berhasil, Kapten. Mereka masih tidur… untuk selamanya.”
🌘 Narasi Penutup
"Pagi belum tiba, tapi malam ini… malam adalah milik Bayang-Bayang Geni. Ratusan pasukan Bayawira telah menghilang dari perbukitan, tak seorang pun tahu mengapa. Tapi angin malam Rinjung Langit menghembuskan bau darah yang tidak terdengar."
Hari Kedua Perang – Subuh di Lereng Rinjung Langit 🌄 Subuh Dingin, Langit Kelabu – Pagi Kedua Dimulai
Kabut tipis menyelimuti kaki bukit Rinjung Langit. Aroma tanah lembab dan darah malam sebelumnya masih menggantung. Langit belum sepenuhnya terang. Di balik benteng pertahanan tentara Mandalagiri, para prajurit bangkit dari sisa istirahat mereka, memegang erat senjata, dan menyantap makanan kering dengan tangan gemetar namun mata penuh tekad.
🛡️ Taktik Mandalagiri – Perangkap & Penjebakan
Komandan-komandan muda Mandalagiri yang masih selamat dari hari pertama mulai menyusun perangkap jebakan di jalur-jalur batu, akar, dan celah sempit yang pasti dilewati pasukan Bayawira jika kembali turun.
Komandan Muda (berteriak rendah ke anak buahnya):“Tanam jebakan duri sihir di balik semak itu! Lemparan pertama mereka pasti dari sana! Jangan beri mereka ruang turun ke padang rumput!”
Ratusan jebakan berupa:
Lingkaran sihir tanah yang bisa menarik musuh ke dalam lubang lumpur gelap
Tali gaib tipis yang bila terinjak akan meledak jadi jaring energi
Anak panah terpicu suara tersembunyi di balik batu besar
🦇 Taktik Dra’vetha – Serangan dari Ketinggian
Jasana dan Lutfayana memimpin pasukan udara Jin Dra’vetha, menyebar di pepohonan dan tebing-tebing tinggi. Mereka membentuk formasi berjajar di celah tebing, siap menembakkan sihir terfokus dari atas.
Lutfayana (suara tajam memimpin barisan sihir darah):“Tunggu sampai tiga puluh Bayawira turun... lalu hujan darah dari atas. Buat mereka menyesal menyentuh tanah Mandalagiri!”
Jasana (mengamati lereng dari langit dengan mata hitamnya yang tajam):“Jika mereka memaksa lewat, kita yang akan memaksa langit menolak mereka.”
Dengan aura Wiratmaja di belakangnya dan sayap api biru yang membentang, Jasana menyatu dengan langit, menjadi ancaman yang tak terlihat, tapi selalu terasa.
☠️ Di Puncak – Tenda Hitam Pemimpin Bayawira
Sementara itu, di puncak Rinjung Langit, di sebuah tenda gelap berhiaskan tulang dan simbol ular berkepala dua, Jagat Arunika duduk diam, wajahnya berubah—setengah manusia, setengah Mahishasura.
Tubuhnya lebih besar dari sebelumnya, kulitnya terlihat retak oleh energi hitam keunguan. Pedang Batara tergeletak di pangkuannya, menjalar aura gelap seperti sungai racun mengalir.
Di hadapannya berdiri tiga sosok yang semalam telah dibangkitkan:
Galang Wrahatama, duduk seperti patung batu dengan mata kosong merah api.
Sanjaya Reksamurti, berdiri tegap, tetapi tubuhnya tampak bergetar menahan kekuatan di dalamnya.
Prayogi Mahadipa, sosok paling diam, dengan aura gelap pekat mengelilinginya seperti pusaran roh neraka.
🧪 Percakapan Suram di Tenda Kegelapan
Jagat Arunika (suara dalam dan parau seperti dua suara bertumpuk):“Kalian... bukan sekadar bayangan masa lalu. Kalian kini adalah murka Mandalagiri yang kubangkitkan dari kematian. Hari ini... kita bangunkan kengerian.”
Lodra Wahana, berdiri di sisi kanan tenda, tak berkata, hanya menunduk. Matanya penuh keraguan, tapi tubuhnya tak bergerak.
Swandari Pramesti (pelan pada Lodra, dengan suara hampir berbisik):“Aku tidak mengenalmu lagi Arunika, dan Lodra... Kau tahu ini salah... Tapi kau masih memilih tetap di sini.”
Lodra (suara berat, tak menoleh):“Kita sudah terlalu jauh, Swandari... Bertahan hidup... itu satu-satunya pilihan.”
Swandari (memandang Prayogi Mahadipa yang kini hanya bayang kelam):“Tapi kalau harga hidup adalah menjual jiwa kita... maka kita sudah mati sejak kemarin.”
Jagat Arunika (tiba-tiba menoleh, suara seperti petir yang membungkam):“Cukup. Kalian adalah perisai di garis depan. Buktikan, atau kalian akan kupecah bersama siang yang akan terbakar.”
⚔️ Matahari Naik, Perang Siap Dimulai
Saat matahari akhirnya menyingsing, kabut mulai mengangkat dari lereng. Dari bawah, terlihat pergerakan. Pasukan Bayawira mulai menuruni lereng kembali... tapi kali ini, mereka membawa tiga sosok yang bukan lagi hidup, namun juga bukan sepenuhnya mati.
Sementara itu, di balik batu, di belakang jebakan dan sihir langit...
Jasana (berdiri di atas pohon tinggi, tangan menggenggam Lungguh Darma, berbisik pada Lutfayana):“Hari ini bukan sekadar perang... ini ujian siapa yang pantas hidup di tanah Mandalagiri.”
Hari Kedua Perang – Bentrokan Subuh hingga Tengah Hari
Padang Rumput Rinjung Langit
Kabut pagi masih menggantung ketika suara gendang perang Bayawira kembali menggema dari atas lereng. Ribuan pasukan kegelapan kembali menuruni Rinjung Langit, derap kaki mereka mengguncang tanah, dan aura hitam mengepul di antara pepohonan.
Namun kali ini, tentara Mandalagiri telah bersiap. Jebakan demi jebakan aktif—jerat sihir, tanah runtuh, ledakan sihir akar, hingga panah-panah terpicu yang meledak begitu diinjak. Puluhan Bayawira langsung tumbang di barisan depan.
💥 Serangan dari Ketinggian
Dari atas pepohonan tinggi dan tebing-tebing curam, Jin Dra'vetha memulai serangan sihir udara.
Lutfayana (menyerukan mantra dengan suara menggema):"Tetes darah, jadilah panah kematian… Silvatira, lepaskan badai—DARAH JATUH!"
Ratusan tombak sihir merah melesat ke bawah, menghantam formasi Bayawira dari atas. Sementara Jasana memimpin kelompok dari sayap kiri udara, menyatu dengan energi langit.
Jasana (mengangkat tangan, aura hijau menyala):“GURITNA DARMA—Tumbuh dan telan kejahatan!”
Akar-akar raksasa meledak dari tanah dan memukul balik barisan Bayawira, menjatuhkan mereka ke jurang dan celah bebatuan. Namun…
👁️ Ancaman Tak Terduga: Tiga Mayat Hidup
Dari sisi kanan lereng, muncul tiga sosok tanpa suara—berjalan pelan tapi aura mereka sangat pekat, menggetarkan jiwa pasukan Mandalagiri yang melihatnya. Sosok pertama menebas dua prajurit sekaligus dengan satu gerakan cepat.
Jasana (dari udara, pupil matanya menyempit):“…Tidak… itu… Galang? Sanjaya...? Dan—Prayogi…?”
Jantung Jasana berdetak lebih keras. Ia mengenali ketiganya. Dulu lawan berat, kini… hanya tubuh kosong yang dikendalikan aura gelap Mahishasura.
Jasana (berbisik sendiri, pedangnya bergetar):“Bagaimana Arunika… bisa…”
⚰️ Aksi Tiga Mayat Hidup
Galang Wrahatama melompat ke tengah formasi pasukan Mandalagiri, mengayunkan goloknya yang masih panas, membelah perisai dan tombak seketika. Tato api hitam di lengannya menyala, menciptakan gelombang panas pendek.
Sanjaya Reksamurti menghilang di balik asap, lalu muncul di tengah barisan pemanah. Dalam hitungan detik, lima tentara terbunuh dengan tusukan-tusukan halus di bagian vital. Licin, cepat, dan kejam.
Dark Prayogi Mahadipa, yang dulunya dihormati sebagai perwira, kini menjadi simbol kematian. Ia menebas dengan keris panjang hitam legam, setiap ayunan meninggalkan luka bakar gelap di tubuh para prajurit.
🌀 Jasana Menghadapi Kenyataan
Jasana mendarat keras di tepi tebing, tubuhnya bergetar—bukan karena takut, tapi karena amarah dan keterkejutan. Ia menatap sosok Prayogi di kejauhan.
Jasana (berbisik):“Kau mati dalam Koma… tiga tahun lalu… aku lihat sendiri tubuhmu terbakar oleh Khodam Milik Kapten Raksadana. Kenapa kau… bisa…”
Lutfayana (muncul di sampingnya, suaranya dingin):“Mereka bukan lagi manusia. Mereka adalah boneka… berjiwa kegelapan. Yang harus kita hancurkan adalah sumber auranya.”
Jasana (menggenggam Lungguh Darma, tenang tapi mata membara):“Kalau itu yang harus kulakukan, maka akan kulakukan. Tapi mereka… pernah jadi saudara tanah ini…”
⚠️ Kondisi Semakin Kritis
Jebakan-jebakan kini mulai tak efektif, karena Bayawira belajar dari hari pertama.
Banyak pasukan berhasil lolos dari celah dan menginjak Padang Rinjung Langit, memukul mundur formasi depan Mandalagiri.
Bentrokan jarak dekat mulai terjadi.
Tiga mayat hidup itu tak hanya menewaskan banyak tentara, tapi memecah fokus formasi Mandalagiri.
🎬 Penutupan Scene
Langit mulai terik. Kabut pagi telah sirna. Jeritan dan denting senjata memenuhi udara.
Jasana (berdiri di ujung tebing, memanggil khodamnya):“Wiratmaja… terbanglah bersamaku. Hari ini… kebenaran harus lebih buas dari kegelapan!”
Aura api ghaib biru menyembur dari punggung Lembuswana, menyelimuti Jasana yang kembali terbang meluncur ke garis depan.
Hari kedua perang... baru dimulai. Dan bayangan Arunika... belum juga terlihat.