Benteng Tirabwana Bergetar
Mentari pagi perlahan merangkak menuju siang, namun cahaya yang menembus langit Mandalagiri tidak membawa harapan—melainkan pertanda bahwa hari keempat perang telah dimulai. Dari dalam gerbang istana Tirabwana, dentang langkah-langkah berat para penjaga elite menggema seperti guntur. Di antara mereka, dua sosok bangsawan berdiri di atas kudanya masing-masing—Pangeran Mahkota Maheswara dan Pangeran Mahadarsa, bersenjata lengkap dan mata menyala oleh dendam yang belum terbalas.
Maheswara diam, namun kemarahannya kentara di genggaman pada pedang Arka Wijaya yang kini sudah menyala kemerahan, menciptakan jejak api setiap kali disentuh angin. Di balik punggungnya, Keris Aswanir Lodra menggantung seperti bayangan kutukan, memancarkan aura sunyi yang mencekam. Di sisinya, Mahadarsa memasang busur Sembrani, dan panah emasnya telah diberi mantra. Keduanya tidak datang sebagai pangeran, tapi sebagai saudara dari korban.
Pangeran Aryasatya—kakak mereka—telah dicelakai. Nasibnya masih belum jelas. Tapi luka itu sudah cukup untuk membuat dua pangeran Mandalagiri turun ke medan perang sendiri.
Di luar gerbang selatan benteng Tirabwana, medan kembali mendidih. Pasukan gabungan Mandalagiri yang tersisa masih menahan, walau napas mereka makin berat. Di atas dinding benteng, Kirta Wangsaputra memimpin pasukan pemanah, anak-anak panah menyambar di udara laksana hujan badai. Di langit, Jasana dan Luthfayana memimpin kembali para jin Dra’vetha, tubuh mereka melayang di antara percikan sihir dan semburan energi. Mereka bertahan, tapi tekanan dari Bayawira terus meningkat.
Di sisi lain kota, Tirabwana kini sunyi. Tak ada pedagang, tak ada anak kecil, tak ada suara tawa. Semua penduduk telah diungsikan. Yang tersisa hanyalah prajurit, dan kematian yang menunggu giliran.
Lalu langit berguncang.
Dari tenda besar pasukan Bayawira, Jagat Arunika melangkah keluar. Tubuhnya masih dibalut jubah hitam Bayawira, matanya menyala kuning, dan pedang perak legendaris di tangannya kini sudah berubah kelam. Antaboga berbisik di balik punggungnya. Aura Mahishasura menyelimuti langkahnya—dan bumi seperti menyusut tiap kali ia bergerak.
Arunika tidak lagi mengomandoi dari jauh.Hari ini… ia turun tangan sendiri.
Ia berlari ke garis depan dengan kecepatan yang membuat tanah terbelah. Satu tebasan, dua tebasan, lima—barisan depan pasukan Mandalagiri terjungkal seperti dedaunan diterjang badai. Jerit prajurit, denting senjata terhempas, dan darah yang tercecer—semua menjadi musik bagi langkah Arunika yang mengamuk.
Dan saat itu juga, dari atas benteng, Kapten Kalandra Wisanggeni melompat turun. Jubah abu-abu keunguan Bayang-bayang Geni berkibar. Matanya dingin, katana hitam telah terhunus. Ia melangkah pelan, mendekati sosok yang pernah ia sebut sahabat. Dahulu mereka berjuang bersama, membangun Guild Bayu Geni bersama tujuh petualang legendaris, empat belas tahun lalu.
Kini, mereka berdiri berhadapan sebagai musuh.
“Kau sudah terlalu jauh tenggelam, Arunika,” ucap Kalandra datar.“Dan kau masih belum bisa melepaskan masa lalu,” jawab Arunika, sembari tersenyum getir.
Suasana menjadi sunyi. Bahkan jerit pertempuran lain terasa menjauh. Waktu seperti berhenti di antara dua sosok ini. Antara kegelapan dendam, dan keteguhan jiwa.
Pertarungan besar pun akan segera dimulai.
Dan saat debu berterbangan dari tanah yang terguncang oleh sihir dan kekuatan, satu kenyataan menjadi jelas:
Hari keempat perang Tirabwana belum mencapai puncaknya. Dan dua jiwa dari masa lalu, kini akan saling menghunuskan pedang—untuk menentukan siapa yang layak melangkah menuju akhir dari peperangan ini.
Benturan Dua Bayang-Bayang Lama
Debu berterbangan. Jerit perang tersapu senyap sesaat, hanya satu suara bergema dari atas benteng luar selatan Tirabwana—Panglima Agung Jayasatya.
“Biarkan mereka lewat! Jangan ada yang menghalangi! Itu bukan pertempuran yang bisa kalian menangkan!”
Suara Jayasatya menggema kuat, serak oleh pengalaman, namun penuh kewibawaan. Ia berdiri tegak di atas gerbang, mata tajamnya menyorot ke bawah, melihat Jagat Arunika terus menerjang ke depan—sendirian, namun seperti pasukan ribuan iblis.
Pasukan kerajaan Mandalagiri dan anggota Guild Bayu Geni perlahan membuka jalan. Sebagian dari mereka bahkan mundur dengan tubuh gemetar, merasakan hawa yang menusuk dari aura gelap Arunika. Kegelapan dan panas seperti membakar udara di sekelilingnya.
Dan di sisi yang lain...
Kalandra Wisanggeni berlari pelan, mantap, seperti bayangan yang menyusup dalam kabut. Dari tubuhnya muncul gemuruh sihir samar. Sambil melangkah ia mengingat masa silam—pertarungan pertamanya dengan Arunika di Desa Puspaloka, saat ia masih menjadi pengawal pribadi Doyantra Puspaloka, si tengkulak sombong yang dulu menguasai jalur logistik utara.
“Aku kalah waktu itu…” gumamnya lirih.“Tapi aku bukan orang yang sama.”
Gagak-gagak—ratusan, ribuan—menyembur keluar dari tubuh Kalandra, beterbangan membentuk pusaran kelam di sekelilingnya. Dalam sekejap, gagak-gagak itu menyatu kembali dengan dirinya… dan tubuhnya berubah.
Zirah kelabu gelap menyelimuti tubuhnya, dengan aksen ungu tua yang menyala seperti luka lama. Bahunya kini bersayap besi. Dada berukir mantra bayangan dan pelindung tengkuk membentuk topeng Menpo menyerupai iblis menyeringai.
Kalandra Wisanggeni telah menjadi Sang Penegak Bayang-Bayang.
Aura ilusi menyelimuti langkahnya, dan kabut hitam menari di antara sayap-sayap gagak yang tak pernah berhenti mengitari tubuhnya.
Jagat Arunika, melihat transformasi itu, tersenyum.
“Kau akhirnya menanggalkannya juga, Kalandra. Topeng ‘Aku masih bisa menyelamatkanmu’ itu.”
Dia merentangkan tangan, dan tubuhnya mulai menyala oleh kekuatan Antaboga. Sisik hitam pekat menjalar di lengan dan dada. Matanya berubah menjadi emas menyala, taring muncul samar di balik senyumnya.
Punggungnya menyembul sepasang sayap iblis berduri dengan ujung-ujung bercahaya ungu—pertanda kekuatan Mahishasura telah menyatu dengannya.
Tubuh Arunika kini tak lagi sepenuhnya manusia.
Perpaduan Antaboga dan Mahishasura menjadikannya sosok setengah dewa, setengah iblis:
Lengan kanannya dilapisi sisik ular berkilau yang bisa membelah tanah.
Tangan kirinya menyala dengan aura gelap Mahishasura.
Dan di belakangnya, bayangan sosok dewa ular menari seperti ilusi—Antaboga hidup dalam dirinya.
Dua sosok itu saling mendekat.
Pedang Katana hitam Kalandra bertemu dengan Pedang Batara Arunika.
“BRAAAKHH!!!”
Ledakan hebat mengguncang tanah. Suara logam bertubrukan memecah udara, menciptakan gelombang kejut yang menghempaskan pasukan sekitar. Dinding benteng bergemuruh, dan tanah retak-retak di antara mereka.
“Kau masih menyimpan semua teknik lamamu, Kal,” ucap Arunika sambil tersenyum kecil.
“Dan kau… masih keras kepala, tak mau bicara dulu sebelum menyerang,” jawab Kalandra, suaranya datar namun terdengar getir.
Mereka berputar, beradu pedang.
Kalandra melesat dengan teknik “Ilusi Bayangan Ganda”, menciptakan tiga duplikat dirinya. Namun Arunika menebas semuanya tanpa ragu, tubuhnya menyelimuti dengan “Racun Nafas Antaboga”—aura gelap yang bisa melumpuhkan semangat bahkan sebelum luka fisik terjadi.
Kalandra menghindar, lalu melemparkan "Cermin Bayang-Bayang", teknik jebakan yang menciptakan ruang ilusi sekejap di mana Arunika terlihat dikelilingi musuhnya sendiri. Tapi sang pemimpin Bayawira tertawa.
“Kau pikir aku masih seperti dulu?”
Dengan satu raungan, dia mengaktifkan "Darah Mahishasura", dan wujud asura raksasa tampak samar berdiri di belakangnya, mengaum dengan suara parau dari neraka kuno. Sekali tebasan, dan ilusi Kalandra runtuh.
Namun Kalandra tidak mundur.
Ia meloncat ke udara, pedangnya berputar dengan teknik “Tebas Cakra Ranti”, memanggil bayangan gagak menjadi proyektil tajam yang menembus pertahanan sihir biasa.
Benturan kedua pun terjadi.
Tubuh mereka berdua saling hantam di udara, menciptakan gelombang tekanan ke segala arah. Prajurit-prajurit yang menyaksikan dari jauh terpana—mereka bukan hanya melihat pertarungan antara dua pendekar, tapi antara dua takdir yang pernah menyatu… kini saling meniadakan.
“Kau selalu bicara soal takdir,” ucap Arunika saat beradu senjata lagi.“Tapi aku tahu… takdir bisa diubah—kalau kau cukup tega menghancurkan masa lalumu.”
Kalandra menatapnya tajam.
“Dan aku tahu, Arunika… kau belum sepenuhnya tega.”
Kedua pedang kembali bertubrukan, menciptakan kilatan cahaya dan ledakan besar yang menyelimuti langit siang itu, mengubahnya menjadi kelabu pekat, seolah langit pun menahan napas, menyaksikan awal dari akhir persahabatan mereka berdua.
Pertarungan mereka... baru dimulai.
PUNCAK HARI KEEMPAT: Bayangan dan Cahaya Memanas di Bawah Matahari Terik
Langit siang menyala terik, tak seberkas awan pun menghalangi sorotan mentari yang seakan menjadi saksi bisu dari peperangan yang terus berkecamuk tanpa henti. Pasir medan berguguran dari benturan kaki-kaki kuda, denting senjata, dan gelombang energi yang merobek udara.
Di luar benteng selatan Tirabwana—dua bayang-bayang masa lalu bertarung bagaikan dewa dan iblis yang saling mengingkari takdirnya.
Kalandra Wisanggeni dan Jagat Arunika telah melebur sempurna dalam kebangkitan spiritual khodam mereka.
Kalandra, diselubungi zirah ilusi kelabu beraksen ungu dan bayangan gagak yang mengelilingi tubuhnya dalam pusaran abadi, menyerang dengan "Tebas Ranti Tanpa Bayang"—serangan berlapis ilusi yang tak bisa diduga arah datangnya.Namun Arunika menahan dengan "Tameng Racun Antaboga", lidah energi hitam yang menyebar seperti gelombang api, menggulung ilusi dan menelannya dalam racun ilahi yang menyesakkan.
“Sudah sejauh ini, Kal,” desis Arunika, napasnya berat namun penuh gairah.“Tak ada jalan kembali untukku.”
“Kau yang menutup jalannya, bukan aku,” jawab Kalandra tajam.
Kedua pedang kembali beradu—Katana hitam lawan Pedang Batara. Tanah bergetar, udara mendesis, dan pasukan di sekeliling mereka terlempar dari pusaran energi pertarungan.
Sementara itu...
Di bawah bayang benteng luar Tirabwana, pasukan Bayawira mulai berhasil merangsek masuk, namun mereka langsung dihadang oleh pasukan gabungan Mandalagiri yang bertahan mati-matian. Teriakan perang bercampur pekikan sihir, panah, dan ledakan energi.
Di tengah kekacauan itu, Dark Prayogi, sosok misterius dari Bayawira, menerobos barisan dengan cepat, tubuhnya seperti bayangan api hitam. Namun langkahnya dihentikan oleh Doyantra Puspaloka yang berdiri tegak, gada emasnya siap terangkat.
“Kau takkan melewati gerbang ini tanpa melewati aku!” bentak Doyantra.
Gelombang aura putih berwujud Airawata, gajah khodamnya, muncul di belakangnya, dan menghentak bumi dengan suara menggelegar.
Pertarungan mereka pun pecah—Dark Prayogi dengan kekuatan hitamnya yang lincah, beradu brutal melawan kekuatan massif Doyantra dan khodamnya yang megah.
Di atas benteng, Pangeran Mahadarsa telah tiba.
Ia turun dari kuda, menyingsingkan jubah bangsawan dagangnya, dan langsung bergabung di antara barisan pemanah kerajaan. Di sana, Kirta Wangsaputra dan para pemanah memberi hormat, namun Mahadarsa hanya mengangguk.
“Tak perlu basa-basi. Tunjukkan padaku sasaran, biar aku ajari mereka cara menyesal datang dari udara,” ujarnya tenang, menyiapkan Busur Sembrani.
Dengan tenang, ia menembakkan panah berlapis sihir angin dan petir ke langit, menumbangkan pasukan Bayawira bersayap yang mencoba menyelinap dari celah udara.
Di angkasa, Jasana dan Nyai Luthfayana Dra’vetha memimpin barisan Jin Dra’vetha, dan walau pasukan Bayawira di udara lebih banyak, mereka tetap unggul.
Lutfayana membelah langit dengan Silvatira, melepaskan "Tarian Darah Keturunan Kalathraya", menyapu udara dengan helai darah tajam yang menebas lawan.
Jasana, terbang bersama bayangan lembuswana biru Wiratmaja, menerjang dari depan, membelah barisan musuh dengan Guritna Darma yang memancarkan aura hijau menyala. Langit menjadi medan api ghaib dan darah, namun para penjaga Tirabwana tetap tak tergoyahkan.
Dan akhirnya, di tanah, garis depan mulai bergetar—sebuah kekuatan besar datang menghampiri.
Pangeran Mahkota Maheswara muncul bersama 80 pasukan elit Istana, berpakaian zirah lengkap, pedangnya—Arka Wijaya—sudah mengeluarkan nyala garis-garis api merah.
Tanpa bicara, ia langsung terjun ke medan tempur, membelah pasukan Bayawira yang mulai kewalahan. Di belakangnya, pasukan elit Istana bertarung seperti gelombang perak dan merah yang tak terbendung.
"Sambara Geni", rajawali api raksasa dari dimensi khodam, melintas di langit, menyapu musuh dengan sayapnya yang membakar.
Scene ditutup dengan gambaran simultan:
Kalandra dan Arunika kembali saling menebas dengan kekuatan maksimal, langit memanas di atas mereka.
Doyantra dan Dark Prayogi saling menghantam, kekuatan bumi dan bayangan saling berbenturan.
Mahadarsa berdiri tegak di atas benteng, melepaskan panah demi panah berselimut angin sakti.
Jasana dan Lutfayana memimpin barisan udara, cahaya hijau dan merah darah berkilat di antara awan.
Dan Maheswara, seperti matahari itu sendiri, berjalan di tengah pertempuran membawa api dan harapan.
Bayawira mulai tertekan.
Tapi perang... masih jauh dari usai. Dan hari keempat belum menunjukkan siapa yang akan berdiri hingga akhir.
“Jagat Arunika!”“Kalandra Wisanggeni!”“Dua nama, dua takdir… dan hanya satu yang akan tetap menyala.”
ISTANA TIRABWANA, SIANG JELANG PETANG — “Tiga Bayangan dari Masa Lalu”
Sementara pertempuran di luar benteng Tirabwana mengamuk semakin liar di bawah langit siang yang memanas, di dalam istana Tirabwana justru senyap dan lengang. Tak ada langkah tergesa. Tak ada suara perundingan. Tak ada suara genderang. Semua bangsawan dan orang-orang penting telah dievakuasi. Istana itu kini seperti rongga hening yang dijaga oleh kekuatan gaib tak kasat mata—perisai berlapis mantra leluhur.
Di balik gerbang perunggu Ruang Tahanan Diplomasi, sebuah tempat yang lebih menyerupai penginapan dari pada penjara, suasana tampak biasa. Jagatmarma duduk santai di kursi rotan menghadap jendela kecil yang disusun dari kisi-kisi kayu putih, sinar matahari jatuh menyilang ke wajahnya. Matanya memandang jauh ke langit Tirabwana, tempat adiknya bertempur.
Teksaka, dengan belati di tangan, menyeka darah kering dari mata pisaunya, diam dan bersila. Sementara Ratri Andini berbaring di tempat tidur sambil memutar rambutnya dengan jari telunjuk—matanya kosong, bosan, dan lelah oleh waktu yang berjalan lambat.
Tiba-tiba suara ketukan ritmis menggema di pintu. Gerbang terbuka. Tiga orang utusan berpakaian resmi istana masuk dengan hormat. “Sri Maharaja Darmawijaya memanggil kalian bertiga,” ucap sang utusan.
Tanpa tanya, Jagatmarma berdiri lebih dulu.
“Sudah waktunya... akhirnya,” gumamnya, senyum tulus tergurat di wajahnya yang mulai menua namun tetap gagah.“Aku harus menyelamatkan adikku… meskipun itu berarti harus menghancurkan sosok yang ia percaya sebagai dirinya kini.”
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga berjalan perlahan memasuki ruang takhta. Hanya ada Sri Maharaja Darmawijaya, duduk tenang dengan Mahamenteri Palindrasuta berdiri di sampingnya, dan beberapa pengawal kerajaan di belakang tiang-tiang pilar.
Ruang itu seperti sunyi tertahan—udara dipenuhi ketegangan sakral, seolah dinding istana sendiri menahan napas.
Sri Maharaja membuka suara, suaranya dalam dan tenang seperti suara petuah leluhur:
“Jagatmarma… atau Dulu kau dipanggil Aryasena Dirgantara. Mandalagiri butuh kekuatanmu. Kami tak punya banyak waktu. Jika kau bersedia… kami akan membebaskanmu dan mengembalikan kehormatanmu.”
Jagatmarma melangkah ke depan, lalu bersimpuh perlahan dengan hormat. Wajahnya serius, namun tetap menyimpan gurat ketulusan:
“Jika ini demi kedamaian Mandalagiri… aku akan melakukannya.Tapi izinkan dua rekanku—Ratri Andini dan Teksaka—ikut bersamaku dan juga ampuni mereka dan bebaskan. Kami tak lagi menjadi Bayawira. Kami tak punya tempat lain selain berdiri di pihak yang ingin menghentikan kegelapan.”
Sang Raja menatap lama, lalu mengangguk. Palindrasuta mencatat tanpa suara. Perintah pun resmi turun.
Di halaman istana, tiga kuda telah disiapkan.
Jagatmarma menaiki kudanya dengan santai, topi caping masih terpasang miring di kepalanya. Pedang peraknya tergantung di pinggang, menyimpan energi khodam “Rasasita Jnana” yang hingga kini tetap sunyi—menanti waktu untuk mengendalikan waktu itu sendiri.
Ratri Andini memutar anak panah di jarinya sambil melompat ke atas pelana, tubuhnya lentur dan seimbang, tatapannya kini tajam seperti mata burung elang yang lapar akan pertempuran.
Teksaka hanya mengangguk, dua belati besar terikat di punggung dan pinggangnya. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, tapi kesunyian adalah caranya menunjukkan kesetiaan.
Tiga sosok itu—tiga bayangan masa lalu—bergegas melesat keluar dari gerbang istana.
Pintu istana yang terbuka perlahan, cahaya sore menyambut mereka. Kamera mengikuti dari belakang, memperlihatkan tiga kuda penunggang harapan berlari cepat menuju medan perang di benteng luar selatan Tirabwana.
Bayangan mereka memanjang di tanah merah…Satu demi satu langkah mereka semakin dekat…
“Mungkin kita bukan pahlawan seperti dulu,Tapi kadang—dunia hanya butuh orang yang memilih bertarung… bukan untuk menang… tapi agar yang tersisa masih bisa hidup.” — Jagatmarma
PUNCAK PERTARUNGAN: KALANDRA VS ARUNIKA
Langit Tirabwana disayat cahaya senja. Warna oranye kelam menyelimuti medan perang saat dua kekuatan raksasa, keduanya tak lagi sepenuhnya manusia, berdiri saling berhadapan di atas tanah penuh reruntuhan.
Di sisi timur, Jagat Arunika, dengan tubuh yang telah melebur dengan Antaboga dan Mahishasura, berdiri menjulang. Sosoknya menggetarkan:
Lengan kanannya bersisik ular hitam berkilau, berdenyut seperti hidup—bisa membelah tanah hanya dengan satu tebasan.
Tangan kirinya memijar dengan aura ungu gelap—energi Mahishasura, iblis peruntuh langit.
Di belakangnya, bayangan Antaboga, dewa ular mitologi Mandalagiri, menari samar, bergelombang seperti ilusi hidup.
Sayap-sayap api pekat mekar dari punggungnya, menciptakan badai gelap di sekitarnya.
Di sisi barat, Kalandra Wisanggeni berdiri dengan zirah kelabu gelap bertatah mantra ilusi.
Topeng Menpo iblis menyeringai di wajahnya, mulai retak di sisi kiri.
Aura ilusi dan gagak-gagak hitam mengepul seperti pusaran asap neraka di sekeliling tubuhnya.
Kabut spiritual menyelimuti setiap gerakannya—ia adalah Sang Penegak Bayang-Bayang.
Keduanya bersiap. Langkah kecil... senyap... lalu—
ARUNIKA MEMBENTAK LANGIT!
“☠ ASTRA DHWAJĀKALA — PANGGILAN NAGA IBLIS!! ☠”
Tanah bergetar. Bayangan Antaboga membesar, menjulur tinggi seperti dewa ular raksasa. Tubuh Arunika berputar cepat, menciptakan pusaran hitam dari tanah, langit, dan nyawa. Di tangannya, Pedang Batara berubah sepenuhnya menjadi hitam legam—memanjang seperti tombak ular menyemburkan racun ghaib dalam bentuk awan pekat.
Mulut Antaboga di belakangnya terbuka... dan—
🌪️ Sebuah semburan energi berwarna ungu-hitam, berbentuk naga berkepala tiga, meluncur secepat kilat ke arah Kalandra.
Nafasnya bisa melumerkan realitas, menghancurkan ruang dan waktu.
KALANDRA MENGHENTAK TANAH!
“☁️ KALA SAMYOGA — MATA BAYANGAN ABADI! ☁️”
Katana bergagang hitamnya terangkat tinggi, gagak-gagak menjerit memekakkan langit. Mereka berputar membentuk lingkaran sihir seperti jam matahari terbalik. Mantra kuno menyala dari tanah, menciptakan medan ilusi tak berujung.
Dari tengah pusaran gagak itu, Kalandra melesat cepat—
💫 Bayangannya membelah menjadi seribu tiruan ilusi, semuanya menebas bersamaan.
Udara dipenuhi tebasan tak kasatmata, jebakan dimensi, dan serangan roh bayangan yang bisa mematahkan kesadaran.
Kedua serangan maha dahsyat itu bertabrakan.
⛈️ LEDAKAN!
Tabrakan “Naga Iblis Mahishasura-Antaboga” dan “Mata Bayangan Abadi” menciptakan badai spiritual luar biasa. Gelombang kejut menggulung pasukan di sekitar, membentuk pusaran angin dan kilatan petir hitam.
Para prajurit di sekitar tersungkur.
Langit berguncang.
“Tahan!! Mundur dari medan benturan!!” — teriak Panglima Jayasatya.
Gelombang tetap berimbang. Tapi hanya sementara.
Serangan Arunika mulai menekan.
Bayangan naga itu semakin kuat.
Energi Mahishasura perlahan mengoyak semua lapisan ilusi Kalandra.
“Kalandra… menyerah saja. Takdir kita berbeda.” — bisik Arunika, aura kemenangan di suaranya.
Kalandra berteriak, darah menetes dari bibirnya:
“Aku... tidak akan... tunduk!”
Zirahnya retak.
Topeng Menpo-nya pecah separuh, menyingkap mata hitam yang menyala.
Tapi itu tidak cukup.
Gelombang naga itu menghantam langsung tubuhnya.
Kalandra terpental.
Tubuhnya melayang... menabrak reruntuhan tembok benteng dengan keras.
Suara dentuman membelah senja.
Kalandra roboh.
Darah mengalir dari pelipisnya.
Ia setengah sadar... dunia seolah menghilang...
Tapi di benaknya… muncul wajah Inggrita—senyum, mata merah bara yang lembut… dan tangan lembut yang mengelus perutnya...
“Kau akan menjadi ayah…”
Kalandra tersenyum pelan... air mata menyusup di sudut matanya yang setengah terbuka.
Para anggota Bayu Geni terpaku.
Medis berlari.
“Kapten Kalandra tumbang!”“Cepat, bawa tandu!”
Arunika, berdiri dalam aura gelap, mengangkat pedangnya, terdiam menatap tubuh Kalandra dari kejauhan, kemudian menoleh ke arah langit senja yang mulai memudar.
Ia menang, tapi tak sepenuhnya puas.
SCENE BERPINDAH — DI PENGUNGSIAN, DI SEKITAR TIRABWANA
Inggrita Maranile berdiri di antara warga yang dievakuasi. Matanya menatap jauh ke arah kota Tirabwana. Angin senja menyapu rambut hitam keunguannya.
Tiba-tiba, sebuah liontin kecil terjatuh dari genggamannya. Ia membungkuk mengambilnya… namun diam.
Dadanya sesak. Napasnya tercekat.
Ia mengelus perutnya dengan penuh kasih—tempat janin kecil, darah dagingnya dan Kalandra, tumbuh di sana.
“Kau merasakannya juga, ya...?” bisiknya pelan.
Inggrita berlutut, memejamkan mata, dan berdoa...
“Tetaplah hidup... meskipun dunia mencoba membunuhmu.”
Langit senja di atas Tirabwana berubah jingga pekat. Angin membawa debu peperangan dan harapan yang belum padam.
Di antara gelap dan terang... ada luka. Dan dari luka itu... lahirlah harapan.
BENTENG LUAR TIRABWANA, SENJA MENUJU MALAM
Langit telah berselimut jingga keunguan saat debu dan asap menyelimuti benteng luar Tirabwana. Kalandra telah tumbang, tubuhnya diseret oleh unit penyembuh melewati reruntuhan dan kobaran api. Jeritan prajurit, denting senjata, dan gemuruh khodam masih menggema di penjuru benteng.
Di tengah medan pertempuran, Maheswara, Pangeran Mahkota Kerajaan Mandalagiri, menatap tajam ke arah musuh yang telah membuatnya murka—Jagat Arunika, dalam wujud penuh kebangkitan spiritualnya, setengah dewa, setengah iblis.
MAHESWARA VS ARUNIKA — GELAGAR PUTRA MAHARAJA
Arunika menyeringai, suara parau dan dalam keluar dari mulutnya yang dipenuhi kekuatan dua dunia:
“Tunjukkan... kekuatan sejatimu, Maheswara! Jangan menahan lagi... atau kau akan seperti Kalandra.”
Maheswara tidak menjawab. Ia hanya mengambil langkah mundur, lalu menancapkan "Arka Wijaya" ke tanah. Aura merah api menjalar dari ujung mata pedangnya ke seluruh tubuhnya.
Langit di atasnya membentuk lingkaran api.
“Sambara Geni... bangkitlah.”
Ledakan api ghaib membubung.
Zirah Mahkota Mandalagiri meleleh menjadi bentuk baru—zirah organik menyatu dengan tubuhnya, menyala merah menyilaukan, sayap api membentang lebar seperti rajawali surga.
Tubuh Maheswara berubah menjadi wujud humanoid dengan mata menyala emas.
Dadanya berlapis bulu api,
Bahunya memiliki tonjolan seperti paruh rajawali,
Di belakangnya: bayangan transparan “Sambara Geni”—Rajawali Api raksasa dengan sorot mata menyala—membentang bersama langit.
WUJUD: "SAMBARA MAHARDIKA" — MANUSIA & RAJAWALI API BERSATU
Arunika tertawa pendek, tidak gentar. Kegelapan di sekitarnya menggulung dan menggetarkan tanah.
“Akhirnya... layak disebut duel.”
KEDUANYA MENERJANG!
Arunika menyabet dengan Pedang Batara Hitam yang menyemburkan api ungu dan racun spiritual.
Maheswara menebas dengan Arka Wijaya yang mengeluarkan gelombang api cerah seperti matahari pecah.
Benturan pertama mengguncang benteng. Gelombang kejut meledak seperti suara guntur dan badai.
Pertarungan berubah menjadi jarak dekat—brutal, cepat, penuh tenaga.
Arunika menyerang dengan kombinasi cakar Mahishasura dan tusukan racun Antaboga.
Maheswara menghindar, lalu membalas dengan panah api dari sayap Sambara Geni dan tebasan kilat dari Keris Aswanir Lodra yang mengoyak ruang kesadaran.
Tanah bergetar. Batuan mencair. Aura terang dan gelap berpadu menghancurkan sekeliling.
DI DALAM BENTENG
Sementara itu, puluhan anggota Bayawira sudah berhasil menjebol sebagian gerbang belakang. Pertempuran kecil meletus di lorong-lorong batu benteng luar. Jeritan dan denting senjata memantul keras.
Kirta Wangsaputra berdiri di atas benteng bersama Pangeran Mahadarsa, memimpin pasukan panah.
“Jangan beri mereka celah!” — teriak Mahadarsa sambil melepaskan panah sihir angin dari Busur Sembrani.
Kirta, fokus dan tenang, memimpin komando ritmis.
“Bidik yang terbang rendah—bakar sayap mereka!”
Panah-panah sihir api dan angin beterbangan dari atas benteng menghujani Bayawira yang menyerbu masuk. Setiap panah membawa mantra peledak kecil, membuat lorong benteng jadi neraka sempit.
MALAM TIBA — LANGIT BERDARAH
Jasana Mandira dan Luthfayana Dra’vetha, bersama Jin Dra'vetha, perlahan mendarat di belakang medan.
Wajah Jasana lelah, bajunya compang-camping, dan Lungguh Darma masih menyala merah di punggungnya. Luthfayana menghela napas dalam, darah segar masih menetes dari luka kecil di pelipisnya.
“Kita butuh waktu. Reruntuhan energi spiritual... membuat langit gelap terlalu cepat.” — kata Jasana sembari duduk di batu besar.
Jin-jin Dra'vetha membentuk formasi penjagaan, menyusun kamp istirahat sederhana di antara reruntuhan.
Luthfayana menatap ke langit.
“Tapi malam ini... belum selesai.”
KEMBALI KE MAHESWARA VS ARUNIKA
Di daratan utama, Maheswara dan Arunika masih bertarung. Napas mereka berat. Tanah sekitarnya telah hancur.
Wujud Maheswara membakar udara dengan terang,
Wujud Arunika menyerap cahaya, menyisakan kegelapan pekat.
Keduanya kini tampak sama-sama luka.
Namun mata Maheswara tidak gentar.
“Kau ingin menghancurkan negeri ini, Arunika?”
“Maka aku akan menghancurkan seluruh kegelapan dalam dirimu!”
Serangan pamungkas akan segera datang.
Namun malam terlalu cepat menutup medan.
Bayangan dua raksasa spiritual itu saling menatap dalam duel takdir.
NARATOR (VO)
“Perang belum usai. Saat malam menyelimuti, yang bertahan bukan hanya mereka yang kuat…Tapi yang tahu untuk siapa mereka berjuang.”
“Dan malam ini, dua kutub Mandalagiri bertabrakan… untuk menentukan masa depan seluruh dunia.”
KEJAUHAN, DI DALAM KOTA TIRABWANA, SENJA BERUBAH MALAM
Gemuruh dari luar benteng masih terdengar, denting senjata dan semburan sihir menyatu dalam badai peperangan. Namun dari sisi kota, tiga sosok berkuda muncul menembus bayangan malam: Jagatmarma, Ratri Andini, dan Teksaka.
Terlihat para tentara kerajaan yang berjaga di dalam kota dan benteng langsung berseru:
“Bantuan datang! Itu... Jagatmarma dan rombongan! Mereka datang!”
Sorak semangat langsung mengalir, menambah nyala harapan di antara pasukan Mandalagiri.
RATRI ANDINI BERGABUNG DI ATAS BENTENG
Tanpa menunggu, Ratri Andini melompat ringan dari kudanya. Rambut panjangnya terayun saat ia berlari menaiki tangga batu menuju ke atas benteng, tempat Pangeran Mahadarsa dan Kirta Wangsaputra tengah memimpin barisan pemanah gabungan dari pasukan Mandalagiri dan pasukan pemanah dataran tinggi Panawa.
Kirta menoleh dan mengangguk singkat, tapi sorotan mata Mahadarsa tampak berubah lebih dalam. Ia menatap sosok Ratri yang kini berdiri di sisinya, anggun namun penuh aura pertempuran.
“Ratri Andini… dulu musuh tangguh di Panundaan. Sekarang… sekutu di benteng ini.”— ujar Mahadarsa sembari tersenyum, mengingat duel mereka tiga tahun lalu, saat panah mereka beradu di atas gelombang laut.
Ratri membalas senyum itu dengan tatapan setengah malu namun percaya diri.
“Kali ini aku akan pastikan... panahku membela kerajaan yang benar.”
Pangeran Mahadarsa menoleh ke arah medan tempur lalu kembali pada Ratri.
“Kau makin memikat dalam perang, gadis panah malam.”
Ratri tersipu ringan, namun segera mengangkat busurnya. Panah energi alam mulai ia siapkan. Aura hijau lembut mulai membalut senjatanya.
JAGATMARMA & TEKSAKA MENYERBU GARIS DEPAN
Sementara itu, Jagatmarma dan Teksaka menerjang ke garis depan.
Jagatmarma tetap dengan senyum khas dan topi capingnya, namun kali ini ia mencabut pedang peraknya, dan aura putih lembut dari Rasasita Jnana mulai memancar dari belakang punggungnya.
Teksaka yang selama ini terlihat santai dan kalem, membuka teknik penuh. Kedua belatinya menyala tajam, aura gelap menari seperti nyala bulan hitam.
Target mereka jelas: dua mayat super Bayawira—Dark Prayogi dan Galang Wrahatama.
Pertarungan berlangsung cepat dan brutal.
Jagatmarma membekukan waktu sesaat dengan jam pasir khodamnya, lalu dalam sekejap menebas Prayogi dari tiga arah sebelum waktu berjalan kembali. Mayat itu terbelah dan meledak dalam debu hitam.
Teksaka melesat seperti bayangan, menari di antara serangan golok Galang, lalu menusuk titik segel di dada Galang dengan dua belatinya sekaligus. Tubuh Galang bergetar, tatonya meleleh, lalu lenyap dengan raungan dari dunia lain.
“Dua iblis itu lenyap!”“Kekuatan Bayawira menurun!” — teriak salah satu prajurit Mandalagiri dengan penuh semangat.
Jagatmarma tersenyum sambil menyarungkan pedangnya.
“Giliran yang lain... mari kita basmi iblis-iblis berikutnya.”
LODRA & SWANDARI MENUJU JAGATMARMA
Dari sisi lain medan, Lodra Wahana, yang tengah bertarung, melirik sekilas dan membeku melihat kehadiran Jagatmarma.
Wajah Lodra mengeras. Ia tahu artinya. Di sisinya, Swandari Pramesti, sosok pendiam namun tajam, langsung merespons perubahan aura.
“Itu dia…” kata Lodra pelan, “Sosok yang bahkan ditakuti Arunika jika dia berpihak pada Mandalagiri…”
Lodra menggenggam tongkat besinya lebih erat, aura khodam "Kera Sakti" mulai bergetar, tubuhnya sedikit membesar.
“Swandari, kita harus bergerak. Sekarang.”
Swandari mengangguk. Tongkat besi kembarnya menyala dengan sihir angin "Vayulatri". Jubahnya berkibar hebat saat keduanya melesat menembus kabut malam menuju Jagatmarma.
MALAM TIBA — HARAPAN BARU
Langit akhirnya berubah kelam. Bintang belum sempat terlihat, hanya awan dan asap perang menari di cakrawala. Tapi semangat pasukan Mandalagiri kembali bangkit.
Kehadiran Jagatmarma, Ratri, dan Teksaka... seperti nyala api di tengah padam.
Para pemanah di atas benteng kembali bersorak, dan panah-panah mulai diluncurkan kembali dengan lebih akurat. Sihir cahaya menari di udara. Bayawira mulai tertekan. Jumlah mereka menyusut. Aura kegelapan mereka melemah. Bahkan tanah mulai bergoyang lebih pelan, seolah tidak lagi menyokong mereka.
Dari belakang, terlihat Ratri Andini menarik panah energi alamnya—mengarah ke musuh yang menyerbu gerbang.
Di kejauhan, Kirta, Mahadarsa, dan pasukan Panawa bersiap untuk gelombang panah selanjutnya.
Sementara Jagatmarma berdiri di atas reruntuhan, mengacungkan pedang peraknya ke arah Lodra dan Swandari yang datang mendekat, siap menyambut duel dari masa lalu.
Langit malam menyelimuti Tirabwana, namun api perlawanan belum padam.
"Gelombang Bayawira telah pecah, namun badai sebenarnya baru dimulai."
GARIS DEPAN BENTENG SELATAN TIRABWANA, MALAM SEMAKIN KELAM
Angin malam berhembus dingin, namun hawa medan pertempuran masih membara. Kabut asap dan kilatan sihir memenuhi garis depan. Di bawah langit yang mulai kelam tanpa bulan, dua pertempuran besar pecah bersamaan…
🔥 Jagatmarma vs Lodra Wahana & Swandari Pramesti
Di antara reruntuhan luar benteng, Jagatmarma berdiri santai dengan capingnya sedikit miring, senyum jahil tersungging di wajahnya. Di hadapannya, Lodra Wahana dan Swandari Pramesti sudah bersiap dengan tongkat mereka.
Namun dari langkah pertama saja, jelas — Jagatmarma bermain-main.
“Masih ingat caraku minum arak di atas menara Benteng Pawitra, Lodra? Waktu itu kau bilang aku terlalu sembrono. Tapi nyatanya... kaulah yang terpeleset ke jurang gelap.”
Lodra menggertakkan gigi, mencoba menjaga fokus, tapi tatapan matanya goyah. Di sampingnya, Swandari tampak ragu sesaat.
Jagatmarma mulai bergerak — cepat, lincah, tak tertebak. Serangannya tidak mengarah langsung mematikan, namun cukup untuk menguji tekanan batin mereka berdua.
“Kau gemetar, Swandari... Bukan karena lelah, tapi karena batinmu menjerit. Kau tahu ini salah. Kalian tahu Arunika telah melangkah terlalu dalam, bukan?”
Lodra berteriak dan menyerang, tongkat besi berkilat petir. Swandari menyusul dengan hembusan angin dari Vayulatri, namun serangan mereka tak seimbang, tak serentak.
Jagatmarma melompat ringan ke atas reruntuhan dan mendarat tepat di antara mereka.Ia mencibir, suaranya seperti cambuk bagi hati mereka.
“Kau kira kau tak bisa kembali, hanya karena sudah terlalu jauh? Yang tak bisa kembali itu hanya mayat, Lodra. Dan kalian belum mati... tapi batin kalian sudah nyaris padam.”
Serangan mereka goyah. Ego dan kebimbangan menciptakan celah. Jagatmarma menebas udara, dan serangan waktu memperlambat gerakan mereka sesaat—cukup untuk menyadarkan, tapi tidak melukai.
“Kalian bukan musuh. Kalian cuma orang-orang hilang… yang belum mau pulang.”
⚔️ Teksaka vs Rawikara Praba & Nayati Kirana
Di sisi lain, Teksaka bergerak seperti bayangan yang melesat dalam kegelapan. Dua belati besar menari ganas, mengarah ke titik-titik vital.
Rawikara Praba, dengan pedang bermata dua, mencoba menahan, sementara Nayati Kirana memanggil sihir api untuk mengunci ruang geraknya.
Namun Teksaka terlalu cepat.
“Kau pikir aku tetap sama seperti dulu, Rawikara? Dulu aku memegang pedang untuk mengikuti... sekarang aku bertarung karena memilih.”
Teksaka melompat, membentuk lingkaran pukulan yang mengalihkan perhatian Rawikara, lalu menghindari semburan api Nayati hanya dengan berputar setengah langkah.
“Nayati... apimu masih hangat. Tapi niatmu sudah dingin.”
Serangannya menyusup ke celah, membuat mereka berdua saling bertabrakan saat mencoba menyerangnya bersamaan.
Satu tusukan menghantam bahu Rawikara, membuatnya terdorong mundur, sementara Nayati tersentak karena serangan baliknya diredam energi angin tipis dari pukulan Teksaka.
“Kau bisa dua lawan satu, tapi tak bisa kalau kalian sendiri pun tak satu hati.”
🏹 Atas Benteng — Ratri & Mahadarsa
Dengan Serangan dari atas benteng Luar Kota Tirabwana dari Barisan Pemanah, Para Pemanah Bayawira di Garis Belakang mulai goyah. Barisan yang mencoba menembus dari belakang kini selalu gagal karena duet mematikan:
Ratri Andini, mantan Bayawira yang kini berdiri tegar di atas ketinggian, panah alamnya menembus gelap malam dengan presisi surgawi.
Pangeran Mahadarsa, dengan busur Sembrani, menghujani barisan musuh dengan panah angin bertubi-tubi, menghempas lawan seakan badai dari langit.
Dua mantan rival kini berdiri berdampingan — dan tak satupun musuh di belakang bisa bertahan dari gabungan keahlian mereka.
Langit makin pekat. Api-api pertempuran berkobar di kejauhan. Namun... barisan Bayawira mulai berkurang. Sedikit demi sedikit, kekuatan gelap mereka melemah.
Jagatmarma masih berdiri di tengah dua mantan rekannya. Teksaka berdiri tegak, tubuhnya tak terluka, napasnya tenang, tatapannya menusuk.
Lodra dan Swandari... mulai goyah. Tapi belum jatuh. Belum juga bangkit. Mereka berdiri di tengah badai, namun badai ini tak akan menunggu pilihan.
“Malam masih panjang... Tapi kalian harus memutuskan sekarang...”— kata Jagatmarma lirih, jam pasir Rasasita Jnana perlahan berputar dalam cahaya putih.
Dan dari kejauhan... langit mulai berkedip—sebuah tanda dari pergerakan Arunika dan Maheswara yang masih bertarung di jantung medan.
Pertarungan belum selesai. Tapi bayangan sudah mulai bergetar... karena cahaya mulai menyusup dari retakan-retakan hati.
PADANG RINJUNG LANGIT, TENGAH MALAM YANG BERGELORA
Langit menghitam seperti ditelan kabut gelap abadi. Petir menyambar dalam kilatan ungu dan merah, menerangi bentangan Padang Rinjung Langit yang kini berubah menjadi medan pertempuran para makhluk setengah dewa—sebuah panggung kosmis antara cahaya dan kegelapan.
Di tengah pusaran energi, dua sosok raksasa melayang di udara:
Di satu sisi, SAMBARA MAHARDIKA — wujud suci dari Pangeran Mahkota Maheswara
Di sisi lain, Perpaduan Antaboga & Mahishasura — wujud mengerikan dari Jagat Arunika
✨ MAHESWARA – SAMBARA MAHARDIKA
Zirah emas kerajaan telah meleleh, menyatu menjadi zirah organik berkilau merah menyala. Tubuh Maheswara menyala seperti bara, dengan sayap api membentang seperti rajawali surga.
Mata emasnya menatap tajam ke depan, dan di belakangnya — bayangan raksasa Sambara Geni, rajawali api setengah transparan, mengepakkan sayapnya, menyulut langit menjadi kobaran.
Tangannya menggenggam Arka Wijaya yang menyala dengan goresan api, dan di pinggangnya, Aswanir Lodra — keris hitam penuh aura sunyi—bergetar seperti terhubung dengan lapisan terdalam jiwanya.
☠️ ARUNIKA – PERPADUAN ANTABOGA & MAHISHASURA
Sosoknya menjulang dengan sisik hitam pekat yang menjalar dari dada ke lengan.Sayap iblis berduri membentang dari punggungnya, menyala ungu tua seperti racun dari neraka.
Matanya—emas menyala.Taring samar muncul di balik senyum menakutkan.Di belakangnya, ilusi ular dewa Antaboga berputar seperti naga dari kegelapan, dan aura Mahishasura menyelimuti tanah di bawahnya menjadi retakan ungu membara.
⚔️ AWAL BENTURAN
Mereka melesat—dari darat ke udara.
Maheswara menerjang lebih dulu—sayap api menembus malam, memotong udara seperti hujan meteor. Arunika menyambutnya dengan gelombang aura racun dari tangan bersisik, menabrakkan tanah yang membelah udara.
“Arunika!”teriak Maheswara, “Bayangmu sudah terlalu gelap, tapi aku tak akan biarkan kau menelan dunia ini!”
“Kau datang terlambat, Maheswara.”balas Arunika, “Aku sudah menjadi sesuatu yang tak bisa lagi dibendung oleh langit ataupun neraka.”
Kedua pedang bertabrakan — api merah dan aura hitam bertumbukan, menciptakan gelombang kejut yang membuat bumi Padang Rinjung retak hingga ke kaki bukit.
💥 PERTARUNGAN DI LANGIT
Mereka saling menerjang ke atas. Sayap Maheswara mengepak dan menciptakan badai api, membuat awan malam terbakar. Arunika berputar dengan kekuatan Mahishasura, menebas udara dengan pedang Batara yang berubah bentuk menjadi ular hitam menyemburkan racun.
Keduanya menari dalam kehancuran, bergerak terlalu cepat untuk mata manusia, hanya cahaya dan bayangan yang saling membelah malam.
Maheswara membuka jurus: “Gelora Arka Jatiningrat!”Serangan api suci membentuk rajawali menyala emas yang menerkam Arunika dari depan.
Arunika membalas: “Kala Mantrayana Gagaksura!”Bayangan Mahishasura membesar dan membuka mulutnya — menyerap serangan itu, lalu memuntahkan racun ungu yang melelehkan tanah.
⚔️ DI TANAH — BARISAN TERAKHIR
Sementara langit bergemuruh, di tanah, pasukan Bayawira mulai kacau dan tertekan.
Pradipa Karna, kini memimpin langsung pasukan Guild Bayu Geni, berjalan dengan Dwijanaga — pedangnya yang bersinar biru, membelah barisan lawan.
Di sampingnya:
Kirana Wismandanta menciptakan ilusi medan untuk mengacaukan taktik Bayawira.
Doyantra Puspaloka mengatur pasokan dan alur pasukan seperti ahli strategi perang.
Mahadewa Rakunti berdiri tenang dengan tongkat Sihir Kaladewa, menurunkan mantra-mantra penghancur dari langit.
Pasukan elit Bayu Geni — barisan jarak dekat terbaik — kini mendorong maju ke jantung pertahanan Bayawira.
Gelombang demi gelombang musuh dilumpuhkan, dan aura gelap di medan mulai menipis.
🌌 PENUTUP SCENE
Di langit, Maheswara dan Arunika bertabrakan lagi, ledakan besar menyala seperti dua bintang pecah.
Tanah bergetar. Langit terbelah. Pasukan di bawah menghentikan langkah mereka sejenak, menengadah pada dua raksasa di udara yang kini seperti ilusi dewa dan iblis bertarung demi nasib dunia.
Jagat Arunika tertawa dalam kegilaan. Maheswara mengerang dalam nyala tekad.
Dan malam masih panjang…
Namun langit mulai membelah cahaya…Dan gelombang kegelapan—mulai surut satu demi satu.
PADANG RINJUNG LANGIT & BENTENG SELATAN TIRABWANA
Langit masih menyala oleh pertarungan Jagat Arunika vs Maheswara, namun dari kejauhan—dari balik bukit Rinjung Langit—muncul gemuruh yang menggetarkan bumi. Tanah retak… batu-batu terbelah.
Dari balik kabut pekat dan aura hitam, sebuah bentuk raksasa perlahan muncul.
🌑 "BRAHMAYUDHA KARNAKA"
(Senjata Penghancur Aura Jiwa)
Sebuah meriam kuno raksasa, hitam legam, terbuat dari logam tak dikenal yang dipenuhi urat-urat sihir kegelapan.Bentuknya seperti gabungan antara meriam zaman kuno dan arca asura, dengan moncong berukir kepala iblis bertaring yang menganga ke arah Benteng Selatan Tirabwana.
Dari bagian belakangnya, ratusan saluran hitam menyerap aura pasukan Bayawira secara brutal—pasukan yang jatuh mendadak, tubuh mereka menghitam dan runtuh bagai boneka kosong.
“BRAHMAYUDHA KARNAKA sudah aktif, Paduka!” teriak salah satu ajudan Bayawira.
Jagat Arunika tersenyum, wajahnya diterangi sinar kematian.“Kita akan jebol pertahanan Mandalagiri malam ini, sekaligus... memberikan pelajaran bahwa kegelapan tak pernah butuh ampun.”
💥 KEJUTAN DI GARIS DEPAN
Di atas Benteng Selatan, barisan pemanah — Kirta, Ratri Andini, dan Pangeran Mahadarsa — masih terus menahan gelombang Bayawira dari kejauhan.
Tiba-tiba — sebuah suara dentuman gaib memecah langit.
Kirta menghentikan gerakan.Mahadarsa menoleh ke langit.Ratri mengangkat wajah… dan melihat cahaya hitam berkumpul di ujung bukit jauh di sana.
*“Apa itu…?” bisik Kirta.
BRAHMAYUDHA KARNAKA menyalakan lingkaran sihir ungu besar di langit, lalu—Dalam sekejap—tembakan energi hitam meluncur bagai petir terkutuk, menerobos udara menuju benteng!
“LONCAT!!” teriak Mahadarsa.
Para pemanah melompat turun, Kirta juga ikut meloncat gesit.Mahadarsa nyaris terlambat…
Namun…
Ratri Andini menarik tangannya!“Cepat…!”Mereka berdua melompat dari atas benteng… tepat saat cahaya hitam itu menghantam!
🔥 LEDAKAN & KEHANCURAN
Benteng Selatan meledak hebat, serpihan batu dan baja mental ke segala arah.Energi hitam menyapu habis tembok luar dan menembus ke kota bagian selatan. Api langsung menjalar cepat, membakar bangunan, namun beruntung tenda-tenda pengungsian masih selamat.
Suara dentuman itu membuat seluruh medan perang terdiam sejenak.
BRAHMAYUDHA KARNAKA mengeluarkan asap ungu dari ujung larasnya—diam, menunggu pengorbanan berikutnya.
💞 PANGERAN MAHADARSA & RATRI
Ratri terhempas ke bawah… tubuhnya melayang.Namun di udara, Mahadarsa memeluk tubuhnya—melindunginya dari benturan.
Mereka jatuh keras di rerumputan bawah.Ratri berada di atas tubuh Mahadarsa, wajahnya merah dan terkejut. Napasnya tersengal, tetapi dia tak terluka.
“Kau menyelamatkanku…” bisik Ratri.
Mahadarsa tersenyum, napasnya berat namun tenang.“Itu baru setengah dari niatku… yang setengah lagi… mungkin karena kau terlalu cantik untuk dibiarkan terbakar.”
Tatapan mereka bertemu.Mata Mahadarsa yang santai namun hangat bertemu dengan mata Ratri yang bening dan lembut.
Sesaat dunia di sekitar mereka hening… hanya suara api membakar kejauhan.
Tapi begitu tim medis mendekat, mereka buru-buru bangkit—berpura-pura tak terjadi apa-apa.
Namun dalam hati mereka berdua…Benih cinta itu telah tumbuh dalam gelapnya peperangan.
Dan dari kejauhan, BRAHMAYUDHA KARNAKA masih berdiri…Seperti lidah neraka yang haus akan jiwa berikutnya.
🌌 Langit Terkoyak: Pertarungan Dua Wujud Langit dan Kegelapan
Di tengah langit malam yang diselimuti kabut perang dan sisa-sisa ledakan, Maheswara dalam wujud Sambara Mahardika melayang menatap tajam lawannya: Jagat Arunika, yang kini bukan lagi manusia, melainkan wadah dari Mahishasura—setengah dewa, setengah iblis, berselimut sisik, aura ungu gelap, dan sorot mata tanpa nurani.
Maheswara (murka, lirih namun menggema di angkasa):
“Apa kau benar-benar sudah kehilangan akal, Arunika?Bahkan kau rela menumbalkan pasukanmu sendiri demi menembakkan Brahmayudha Karnaka? Mereka… setia padamu.”
Arunika (tertawa iblis, menggema tajam):
“Hahaha… Kau salah, Maheswara! Arunika telah mati…Yang berdiri di hadapanmu sekarang adalah kehendak Mahishasura yang bangkit kembali!Mereka bukan dikorbankan… tapi diberi kehormatan untuk menjadi bahan bakar kebangkitan neraka!”
Maheswara menatapnya pilu, lalu menggenggam Pedang Arka Wijaya dan Keris Aswanir Lodra bersamaan.Sayap api membentang, matanya bersinar tajam.
Maheswara (dengan semangat membara):
“Kalau begitu, aku akan mengalahkanmu…entah kau Arunika…atau iblis Mahishasura sekalipun.”
Kedua wujud itu lalu MELUNCUR SALING MENERJANG.Langit pecah oleh benturan dua kekuatan besar — Sambara Geni vs Bayangan Antaboga — semburan api dan kabut ungu gelap saling menghantam, menciptakan petir menyilang dan angin tajam memotong langit.
🔥 Di Medan Lain: Kesadaran yang Tumbuh
Sementara itu, di medan tanah berbatu tempat Jagatmarma melawan Lodra Wahana dan Swandari, pertarungan seketika terhenti.
Jagatmarma (dengan nada tenang namun dalam):
“Apakah kalian… ingin melihat Mandalagiri tenggelam dalam kegelapan, Lodra? Swandari?Kalian tahu legenda Mahishasura bukan sekadar dongeng.Enam abad lalu, tanah ini dibersihkan dari miasma iblis oleh tujuh kekuatan purba, dan Arunika...dia bukan lagi dirinya. Aku menyadarinya sejak ia berusia 17 tahun, saat ia tiba-tiba menghilang dan dilatih oleh pendekar yang tak pernah bisa kulacak...‘Purnama Kelam.’”
Lodra menggertakkan giginya. Swandari menunduk.Tatapan mereka berubah — dari keyakinan menjadi kegamangan.
Jagatmarma (tegas):
“Masih ada jalan kembali…Kalian bukan iblis. Kalian manusia.Jika ada niat, masih ada cahaya.”
Senjata Lodra dan Swandari terjatuh.Keduanya berlutut.
Lodra (lirih):
“Apakah… masih ada ampun untuk kami?”
Jagatmarma mengulurkan tangan.
“Selalu ada. Tapi sekarang, kita harus menyegel Mahishasura… sekali lagi. Seperti dahulu kala.”
Lodra dan Swandari bangkit, dan kini berdiri di sisi Jagatmarma.Tiga mantan Bayawira… kini berbalik melawan kegelapan yang dulu mereka ikuti.
💔 Di Balik Tenda: Sebuah Cinta Tumbuh
Di tenda penyembuhan, Ratri Andini duduk dengan luka ringan, perban di bahunya.Pangeran Mahadarsa di ranjang sebelah, napasnya berat tapi wajahnya tetap teduh.
Ratri (tersenyum):
“Terima kasih sudah menyelamatkanku…”
Mahadarsa (menggeleng pelan):
“Kalau kau tak menarik tanganku… aku mungkin sudah jadi arang. Jadi, terima kasih juga.”
Mereka tertawa pelan. Ada keheningan yang berbeda kini menyelimuti keduanya.
Mahadarsa (menatap dalam):
“Ratri… apakah kau punya kekasih?”“Yang berambut putih itu… si Teksaka, kekasihmu?”
Ratri tertawa jujur.
“Hah?! Tidak… dia seperti kakak bagiku. Itu saja.”
Mahadarsa menghela napas lega.Lalu dengan nada lembut tapi penuh ketegasan:
“Setelah perang ini selesai…Jika kita masih hidup…Maukah kau menjadi istriku, Ratri Andini?”
Ratri terdiam. Terpaku.
“Pangeran… kau bercanda?”
Mahadarsa (lembut menyentuh wajahnya):
“Aku tidak sedang berdagang hatiku, Ratri. Aku serius.Selain wajahmu… aku takluk oleh keteguhanmu.Bahkan dulu saat kau menantangku di Panundaan, aku tahu… hatiku telah tertancap panahmu.”
Ratri tersenyum malu, matanya berkilat lembut.
“Kalau itu yang kau inginkan…Maka aku bersedia berada di sisimu…Tapi janji dulu… kita harus menang dulu.”
Ia berlari meninggalkan tenda… wajahnya merah berbunga-bunga.
Mahadarsa melihat ke langit, tersenyum lebar.
“Yah… tampaknya aku butuh menang dua kali. Satu untuk Mandalagiri… satu lagi untuk hatinya.”
✨ PENUTUP SCENE
Di tengah kobaran perang…Brahmayudha Karnaka masih berdiri diam seperti raksasa, siap ditembakkan lagi.Langit masih dilanda gemuruh dua wujud langit dan iblis.
Namun di antara kehancuran…Benih cinta muncul seperti bunga yang tumbuh di antara retakan batu.
Dan mungkin, cinta… adalah cahaya kecil yang bisa mengalahkan malam tergelap.Karena ketika panah-panah sudah ditembakkan, dan darah sudah mengalir,yang tersisa hanyalah pilihan… untuk mencintai… atau binasa.