Bab 29 - Era Setelah Bayawira

LANGIT RINJUNG LANGIT — MENUJU BRAHMAYUDHA KARNAKA

Malam hampir mencapai puncaknya. Langit Tirabwana dihiasi api dan asap. Bayang-bayang perang terpantul di langit merah, dan dari kejauhan, BRAHMAYUDHA KARNAKA kembali menyala—bersiap meluncurkan kehancuran keduanya.

[TEPI GARIS DEPAN — PRADIPA KARNA BERTITAH]

Pradipa Karna, berdiri di tengah kobaran sihir dan siulan panah sihir. Tubuhnya mulai bertransformasi. Sayap-sayap besar dari sisik kehijauan merekah dari punggungnya, mata hitamnya berubah menjadi kilap emas reptil, dan tubuhnya membesar—berubah menjadi wujud Hybrida Wyvern.

Dengan suara berat namun tegas:

Pradipa Karna:

“Kapten Kirana! Ambil alih komando di garis depan! Aku akan menghancurkan senjata itu… sebelum kota kita jadi abu!”

Kirana Wismadanta mengangguk, segera memimpin pasukan Bayu Geni Bersama Barisan Tentara Kerajaan Mandalagiri, sementara Pradipa terbang melesat ke arah Bukit Rinjung Langit.

Jasana dan Lutfayana juga muncul dari balik awan dan berniat untuk menghancurkan Senjata Brahmayudha Karnaka, lalu melesat naik menembus langit menuju Bukit Rinjung Langit.

[DI LANGIT, MENUJU BRAHMAYUDHA KARNAKA]

Tiga sosok itu menembus langit seperti anak panah perlawanan:

Wyvern Pradipa dengan sayap berapi aurora

Jasana dengan mantel hijau menyala oleh aura biru dan Sayap Lembuswana.

Lutfayana dengan siluet jubah hitam pekat melayang anggun dengan sayap kelelawar di punggung-nya, sembari kedua matanya menyala merah darah

Pradipa (dengan suara Wyvern bergema):

“Kita tak punya banyak waktu… Peluru sihir itu akan menghantam kota selanjutnya.”

Jasana (tegas):

“Kalau harus mati malam ini, maka biarlah sebagai pelindung Mandalagiri!”

Lutfayana (datar namun tajam):

“Senjata itu meminum jiwa manusia. Aku akan balas dengan sihir darah terkuat.”

Pasukan terbang Bayawira mencoba menghadang mereka di langit. Pradipa menyemburkan asap asam mematikan, Jasana memutar pedang Lungguh Darma dan menebas gelombang musuh, sementara Lutfayana menebar jaring sihir darah tajam yang menyayat para penghalang.

Setelah menembus kawanan udara terakhir, mereka mendekati BRAHMAYUDHA KARNAKA.

Senjata itu kembali menyala, saluran sihir hitam menelan jiwa-jiwa Bayawira yang berguguran seperti daun.

💥 TEKNIK PAMUNGKAS DILUNCURKAN 💥

Pradipa Karna membentangkan sayap, lalu menyemburkan zat asam wyvern pekat langsung ke arah moncong Brahmayudha Karnaka. Logam hitam menguap, menjerit seperti makhluk hidup.

Jasana melonjak di udara, memanggil kekuatan "Wiratmaja" — aura biru ghaib menyelimuti pedangnya, lalu ia meneriakkan:

Jasana:

“GURITNA DARMAAA!!”

Serangan api biru besar—seperti naga lembuswana meluncur dari pedangnya—menyatu bersama asam wyvern.

Lutfayana mengiris lengannya, darahnya memancar ke langit lalu berubah menjadi formasi tombak darah merah pekat.

Silvatira bersinar gelap.

Lutfayana:

“RAJA BATHARA VITRA!”

Tombak darah melesat menembus angin, mengekor serangan Jasana dan Pradipa. Tiga serangan menyatu, membentuk tombak energi maha besar yang menghantam tepat ke dalam moncong senjata.

Namun—

BRAHMAYUDHA KARNAKA telah mengunci peluru sihirnya…

“GRAAAAHHHHH!!!”

PELURU KEGELAPAN meledak keluar dari dalam!

Pertarungan gaya dorong terjadi di udara! Cahaya biru, merah, dan hijau bertabrakan dengan aura ungu kehitaman. Langit pecah oleh retakan petir sihir!

Namun…

BOOMMM!!!

Peluru kegelapan terlalu kuat.

Serangan bertiga berhasil mengalihkan lintasannya dari Kota Tirabwana dan malah terbanting ke kiri —

lalu melesat menghantam HUTAN KECIL di pinggiran Padang Rinjung Langit.

Ledakan maha dahsyat terjadi.

Tanah bergetar.

Langit tersayat oleh kobaran ungu.

Hutan kecil itu kini menjadi lautan api.

[PASCA LEDAKAN — LANGIT BERGETAR, MALAM MENDEKATI PUNCAK]

Pradipa, Jasana, dan Lutfayana terlempar mundur beberapa meter di udara namun segera menstabilkan posisi.

Jasana (terengah):

“Serangan itu… terlalu kuat.”

Lutfayana (berdarah di bibir, tapi tersenyum tipis):

“Setidaknya kita belokkan arahnya…”

Pradipa (kembali ke bentuk manusia perlahan):

“Tapi ini belum berakhir… Brahmayudha Karnaka belum sepenuhnya hancur… dan mereka masih punya prajurit untuk dikorbankan…”

🔥 PENUTUP SCENE

Langit gelap dipenuhi percikan cahaya sihir.

Pasukan Bayawira terlihat semakin lemah,

Korban tumbal untuk senjata itu telah mencapai seratus jiwa.

Namun kota Tirabwana—masih berdiri.

Malam hampir mencapai puncaknya.

Dan pertempuran menuju klimaks tak terhindarkan.

"Tapi malam belum selesai… dan selama langit masih menyala,

pejuang Mandalagiri tak akan berhenti."

LANGIT PADANG RUMPUT RINJUNG LANGIT – TENGAH MALAM

Kilatan petir dan api menari di udara. Langit berubah menjadi panggung pertarungan terakhir antara dua kekuatan agung. Pangeran Maheswara dalam wujud "SAMBARA MAHARDIKA" berhadapan dengan Jagat Arunika yang kini telah menjadi wadah penuh bagi Mahishasura, dalam wujud gabungan mengerikan: “Antaboga-Mahishasura”.

[PERTARUNGAN TERJEDA – KEDUA MAKHLUK MELAYANG DI ANGKASA]

Angin berputar gila. Aura api dan kegelapan beradu saling mendorong. Di antara mereka, tanah di bawah terlihat seperti dunia yang rapuh di ambang kehancuran.

Jagat Arunika / Mahishasura (dengan suara bergema, berat, diselingi tawa dingin):

“Manusia... ternyata bisa menandingi iblis... sungguh mengejutkan.

Setelah 600 tahun aku tersegel, tanah ini tumbuh subur oleh makhluk fana yang keras kepala... dan merepotkan.”

Maheswara / Sambara Mahardika (suaranya menyatu dengan gema Rajawali Api):

“Selama manusia bersatu... bahkan dewa penghancur pun akan kami lawan!

Ini bukan tentang kekuatan, tapi kehendak… kehendak untuk melindungi tempat kami berpijak!”

Jagat Arunika / Mahishasura:

“Kau terlalu sombong untuk makhluk yang bisa mati.

Kekuatanku belum sempurna!

Aku dibangkitkan hanya dengan enam kekuatan purba...

Arunika si bodoh, terlalu cepat... terlalu percaya. Ia tak sadar semua ini sudah kuatur dari awal.”

(Ia mengangkat tangan kirinya. Aura Mahishasura membentuk lingkaran ungu gelap di udara. Di baliknya, bayangan Antaboga berputar seperti naga abadi.)

“Sekarang aku yang menguasai tubuhnya… dan khodamnya.

Antaboga tunduk padaku.

Arunika… adalah masa lalu.”

Maheswara menurunkan wajahnya sejenak, lalu mengangkatnya kembali dengan sorot mata emas menyala.

“Iblis sepertimu memang hanya hidup dari pengkhianatan dan tipu daya.

Tapi kau lupa satu hal…

Arunika masih hidup di sana. Dan aku akan membebaskannya.”

Mahishasura / Arunika:

“Ha! Maka biarlah aku bunuh harapanmu sekarang!”

💥 PERTARUNGAN KEMBALI DIMULAI 💥

Arunika melemparkan semburan racun hitam dari mulut Antaboga, mengarah seperti hujan belati.

Maheswara mengibaskan sayap api, membentuk perisai api spiral yang membakar racun di udara. Ia menerjang maju dengan Arka Wijaya, pedang api membentuk taring cahaya merah membelah langit.

Benturan kembali terjadi.

Pedang hitam Arunika menahan Arka Wijaya. Ledakan energi memekakkan telinga. Di belakang Maheswara, bayangan Sambara Geni mengepakkan sayapnya, membakar langit.

Di belakang Arunika, bayangan Mahishasura dengan tanduk menyala melengking ganas. Kepala ular Antaboga berputar di sekitar tubuhnya seperti bayangan kembar tiga.

[NARASI LUAR]

Sementara mereka bertarung di langit, di bawah—pasukan Bayawira semakin mundur, terdesak. Kobaran api dari ledakan Brahmayudha Karnaka belum padam, dan malam telah benar-benar jatuh ke puncak terdalamnya.

Namun…

Langit menjadi saksi bahwa dua kekuatan terbesar dunia kini sedang bertarung bukan hanya demi menang…

…tapi demi menentukan masa depan Mandalagiri.

Catatan Narator (suara lirih, puitis):

“Dua cahaya menyala di langit gelap.

Satu membakar harapan.

Satu mencoba menyalakan kembali jiwa yang telah padam.

Tapi malam belum selesai.

Dan takdir belum berpihak pada siapa pun.”

Di Sisi Timur – Lodra Wahana, Swandari Pramesti, dan Jagatmarma

Narasi:

Gelombang pasukan Bayawira yang menyerbu dari sisi timur kini kian berantakan. Komando mereka kacau setelah Lodra Wahana dan Swandari—dua tokoh besar yang pernah mengatur barisan mereka—berbalik arah. Di sisi lain, kehadiran Jagatmarma dengan senyumannya yang misterius menjadi penegas bahwa kebenaran sudah memilih tempat berpijak.

Begitupun dengan Rawikara Praba dan Nayati Kirana yang juga mengikuti Lodra Wahana dan Swandari yang berpihak pada Cahaya, Bersama Teksaka Mereka berdua Menyerang Gelombang Bayawira yang Menerobos Arah Timur.

Lodra Wahana (mengayunkan tongkatnya menebas pasukan Bayawira):

"Sudah cukup... Kita terlalu lama menutup mata. Aku pernah percaya pada mereka... tapi ini bukan jalan ksatria."

Swandari Pramesti (suara tenangnya menggema di tengah desingan angin):

"Aku mengikutimu karena kau membela kehormatan. Tapi yang mereka bawa hanyalah kegelapan. Bayawira telah dibakar oleh iblis."

Jagatmarma (tertawa kecil, menyampirkan capingnya ke belakang):

"Heh! Akhirnya kalian buka mata juga. Sudah kubilang, Arunika bukan pemimpin... dia alat Mahishasura! Ayo, kita buka jalan. Jangan beri mereka satu jejak pun ke kota!"

Swandari (matanya bersinar):

"Vayulatri... bantu aku bersihkan langit timur dari sisa-sisa kegelapan."

Di Sisi Barat – Bagas, Nandika, dan Pratiwi Memimpin Garis Depan

Narasi:

Di benteng barat yang sempat retak, tiga pendekar muda berdiri di barisan paling depan. Bayawira yang kelelahan dan kehilangan koordinasi mundur secara brutal di hadapan kekuatan gabungan pasukan Mandalagiri dan Guild Bayu Geni.

Bagas (mengayunkan sarung tangan berapi):

"Hehehe! Nih, buat kalian yang masih berani nyelonong! Rasain Tapak Maruta yang udah lapar!"

Nandika (menusukkan tombaknya ke tanah, aura angin berputar di sekelilingnya):

"Jangan lengah, Bagas! Masih banyak di balik reruntuhan itu. Kirta—eh... bukan dia—Pratiwi, lemparkan keris arah jam dua!"

Pratiwi (menari di antara pasukan, selendangnya seperti ular hijau bersinar):

"Sudah kulempar sebelum kau minta! Hihihi~ Lihat tuh, tiga langsung tumbang!"

Bagas (tertawa keras):

"Wahahaha! Beginilah kalau trio kita turun tangan! Kita jagain barat, biar Jasana dan yang lain urus tengah!"

Nandika (senyumnya tegas):

"Hari ini kita buktikan, Bayu Geni bukan cuma nama... tapi takdir kita."

Jalur Tengah – Kirana Wismadanta, Darsa, dan Wira Raksadana

Narasi:

Di jalur tengah dan padang rumput luas, pasukan gabungan dari Tentara Kerajaan, 80 Tentara Khusus Elite Istana dan Anggota Guild Bayu Geni yang dipimpin langsung oleh Kirana Wismadanta menghantam Bayawira seperti badai. Darsa dan Raksadana menyusup dari sisi dalam, menembus formasi dan menciptakan kekacauan di jantung lawan.

Kirana Wismadanta (tenang, suara dalam penuh kekuatan spiritual):

"Jangan beri mereka kesempatan mundur rapi. Pukul terus. Panembahan Senopati… waktunya kita tunjukkan tangan kosong pun bisa mematahkan sihir kegelapan."

Darsa (bergerak cepat menusuk dan melempar jebakan asap):

"Heh! Mereka terlalu sibuk melihat depan. Arah jam enam—bom kabutku sudah siap, Kapten Kirana!"

Wira Raksadana (menerjang dengan pedangnya):

"Kak Darsa! Tutupi aku sebentar, aku akan terobos ke garis belakang!"

Darsa (senyum penuh api strategi):

"Lakukan, Wira! Aku bakal bersihkan jalanmu pakai 'Aswangga'!"

Kirana (dengan tangan yang mengepal membentuk gelombang tenaga dalam menghantam tanah):

"Bayawira… masa kalian tak lelah? Kota ini bukan milik iblis!"

Penutup Scene

Malam sudah melewati tengah. Langit gelap di atas Tirabwana diselimuti awan hitam, namun di setiap sisi tembok kota, cahaya keberanian menyala. Pasukan Bayawira mulai runtuh satu demi satu.

Namun ancaman terbesar belum usai.

Di kejauhan, Bukit Rinjung Langit, meriam hitam legam Brahmayudha Karnaka bersinar...

dan di atas langit, Jagat Arunika, tubuhnya diselimuti aura iblis Mahishasura, terbang tinggi berhadapan langsung dengan Pangeran Mahkota Maheswara, dua kekuatan besar bersiap saling memusnahkan dalam duel yang akan mengubah sejarah Mandalagiri.

“RUANG JIWA YANG TERKUNCI”

Lokasi: Dalam Kedalaman Jiwa Jagat Arunika

Langit Jiwa berwarna kelam. Hanya kilatan petir ungu dan merah darah yang kadang melintas di kejauhan. Dalam dunia ini, Jagat Arunika terlihat berdiri terikat rantai hitam legam, tertancap pada pilar-pilar raksasa dari tulang dan batu sihir, membelenggu tangan dan kakinya. Wajahnya terluka, tubuhnya tampak remuk oleh tekanan kekuatan iblis.

Arunika (mendesah penuh luka, bergumam lirih):

“Sial... tubuhku... dikendalikan sepenuhnya... oleh Mahishasura…

Aku… benar-benar terjebak… karena dendamku… karena kebodohanku…”

Ia menunduk, darah hitam menetes dari ujung rambutnya.

Dari kegelapan di belakangnya, muncullah Mahishasura, bukan dalam wujud raksasa, melainkan sebagai sosok tinggi berjubah kabut ungu gelap, dengan dua tanduk melengkung dan mata api merah menyala.

Mahishasura (tertawa besar, menggema ke seluruh ruang jiwa):

“Hahahahahaha!

Arunika, Arunika…

Kau contoh sempurna dari makhluk fana yang dikuasai oleh emosi.

Aku hanya menawarkan jalan keluar dari rasa sakitmu, dan kau menerimanya—bodoh, polos, dan sangat mudah dikendalikan.”

Arunika (mendongak, dengan wajah penuh kemarahan dan amarah tertahan):

“Kau… Kau IBLIS LICIK! Kau memanfaatkan aku!

Aku hanya ingin membalas Mandalagiri yang menyebabkan Keluargaku Menderita dan kematian orang tuaku—kau beri aku kekuatan—TAPI KAU YANG MEMBUNUH MEREKA!!”

Mahishasura (senyum kejam di wajahnya, lalu melangkah mendekat):

“Akhirnya kau menyadarinya…

Ya… Akulah yang membunuh Suranegara dan Dewi Pramesti.

Ayahmu terlalu pintar. Ia tahu sejak awal, sejak kau berusia 17 tahun, bahwa aku telah masuk ke dalam jiwamu.

Dia mencoba mengusirku… Tapi aku lebih cepat.

Kukendalikan tanganmu sendiri… Dan dengan tanganku melalui tubuhmu… kau membunuh mereka secara perlahan dan mati seolah-olah jatuh sakit.”

Arunika (gemetar, napasnya tercekat, suaranya pecah):

“…T-Tidak… Kau… kau bukan hanya iblis…

Kau perenggut jiwaku… pembunuh keluargaku…Kau Penipu...”

Mahishasura (mendekat ke wajah Arunika yang terbelenggu):

“Dan sekarang… kau hanyalah wadah.

Sebentar lagi, rantai ini tak hanya mengikatmu… tapi melumatkan jiwamu.

Bahkan Antaboga, khodam kebanggaanmu… kini tunduk padaku.”

Tiba-tiba di belakang Mahishasura muncul bayangan Antaboga — sosok ular raksasa bersisik hitam, matanya kosong, menggelilingi jiwa Arunika seperti naga penjaga neraka.

Arunika (berteriak putus asa, berusaha melawan ikatan):

“TIDAK!! Ini TUBUHKU!! Ini HIDUPKU!! Bukan MILIKMU!!

Lepaskan aku, MAHISHASURA!!

JANGAN GUNAKAN TUBUHKU UNTUK MENGHANCURKAN MANDALAGIRI SUDAH CUKUP!!”

Mahishasura tertawa lagi, namun suaranya kini disusul gema dari luar—suara samar pertarungan Maheswara yang mengguncang lapisan jiwa.

Mahishasura (melirik ke langit ruang jiwa, tampak terganggu):

“…Tsk. Dia masih hidup? Maheswara... Sahabatmu rupanya keras kepala seperti dulu.”

Arunika (dengan sisa tenaga, napas tersengal tapi penuh harap):

“Maheswara…

Jika kau mendengar ini…

Kalahkan dia…

Kalahkan aku…

Bebaskan tubuhku…

SELAMATKAN TIRABWANA…

Maafkan aku… karena aku bodoh... karena tertipu bisikan iblis…

Aku percaya padamu…”

SCENE DITUTUP

Rantai kegelapan menyala ungu dan menyentuh tubuh Arunika dari berbagai arah, menembus ke dalam jiwanya. Ia menjerit panjang, tubuh jiwanya perlahan mulai mencair, terfragmentasi… Namun dari kejauhan, secercah cahaya api—warna merah menyala dari kejauhan—muncul membelah ruang gelap, membawa harapan bahwa Maheswara belum menyerah…

Narator (lirih):

"Kadang kegelapan terbesar tidak datang dari luar…

Tapi dari dalam, saat hati yang murni… ditelan dendam dan tipu daya."

"DUA CAHAYA DI ATAS LANGIT"

Lokasi: Langit di atas Benteng Selatan Tirabwana, tengah malam yang berguncang cahaya sihir dan gelombang energi.

Angin malam terpecah oleh suara ledakan aura yang menggelegar.

Tubuh Maheswara, dalam wujud Sambara Mahardika, terjatuh menghantam tanah, menciptakan kawah membara. Zirah api di tubuhnya masih berpendar, napasnya berat.

Dari langit, terdengar suara rintihan lirih yang melintas melalui lapisan jiwa...

Arunika (suara batin, lirih dan penuh luka):

“Maheswara... jika kau mendengar ini...

Kalahkan dia... kalahkan aku…

Bebaskan tubuhku… selamatkan Tirabwana…

Maafkan aku… karena aku bodoh... karena tertipu bisikan iblis…

Aku percaya padamu…”

Maheswara membuka matanya perlahan. Api di matanya menyala lebih terang. Ia bangkit perlahan. Suaranya menggelegar, namun dalamnya ada luka... dan tekad.

Maheswara (dalam wujud Sambara Mahardika):

“ARUNIKA… AKU AKAN MEMBEBASKANMU!!

MAHISHASURA!! DENGARKAN—AKU AKAN MENGHANCURKANMU!!”

Mahishasura tertawa nyaring dari tubuh Jagat Arunika. Kini wajah Arunika telah berubah—mata emas menyala, lengan bersisik ular dan tangan gelap berkabut, sayap berduri membentang angkuh.

Di belakangnya, bayangan Antaboga menari seperti ilusi ganas—dewa ular hitam berputar melingkar tubuhnya, bersatu dengan kekuatan iblis Mahishasura.

Mahishasura (dengan suara menggema dua lapis—suara Arunika dan suara iblis):

“Dasar keras kepala...

Kau seharusnya menyerah... manusia fana tidak bisa melawan kehendak kegelapan purba...

Tapi entah kenapa... kalian ini berkembang cepat seperti serangga…”

???:

“Dan terkadang… serangga itu bisa menyengat seperti lebah...”

Suara berat namun tajam itu membuat Mahishasura menoleh ke kiri—dari cahaya merah api, muncul sosok Raksadana, terbang menembus langit malam dengan sayap phoenix menyala merah keemasan.

Wujud Garundhala, khodamnya, muncul di belakangnya: setengah manusia, setengah phoenix, dengan bulu api dan mata menyala seperti bintang merah.

Raksadana (bersuara dalam):

“Kau lupa, Mahishasura…

Siapa yang dulu mengusik sarang ini pertama kali.

Sekarang giliran kami menyengat balik.”

Maheswara tersenyum lega, berdiri sejajar dengan Raksadana di langit.

Maheswara:

“Guru Raksadana... Kau datang tepat waktu.”

Raksadana (singkat):

“Maaf terlambat. Aku sudah temukan Aryasatya. Dia masih hidup.

Meski terluka parah... dia sedang dirawat di Lembah Gontor oleh Penyembuh Istana.”

Maheswara (mata membara):

“Kabar baik ini cukup untuk memberiku satu alasan lagi untuk tidak kalah malam ini.”

Mahishasura (mendesis):

“Huh! Dua makhluk fana sok gagah!

Cukup! Akan kutunjukkan bahwa setengah dewa-pun tak mampu menghadapi kehendak iblis!!”

—✨ PERTARUNGAN BABAK KLIMAKS DIMULAI ✨—

Langit terbakar!

Maheswara menyerang lebih dahulu—dengan Arka Wijaya ia meluncur seperti sambaran meteorit, menggores langit dengan jejak api menyala merah. Di sisi lain, Raksadana menebaskan Jatiwisesa, menciptakan ledakan spiral cahaya api phoenix yang melingkar dari kedua lengannya.

Mahishasura-Arunika mengangkat tangan gelapnya—dari telapak kirinya keluar semburan hitam mematikan, di tangan kanan pedang Batara memanjang menjadi bayangan naga ular raksasa, menerjang seperti gelombang gelap.

Serangan bertumbuk di udara—

Ledakan cahaya menyilaukan membelah langit malam!

Gema tumbukan menumbangkan awan, menggetarkan tanah Tirabwana!

Maheswara (berteriak sambil menyerang):

“Arunika!! Aku tidak bertarung untuk membunuhmu!

Aku bertarung untuk membebaskanmu!!”

Raksadana:

“Mahishasura! Kau mungkin menguasai tubuh itu! Tapi kami akan menghancurkan jiwa yang merasuki, bukan raganya!”

Mahishasura (tertawa menggelegar):

“Lalu coba saja, pahlawan-pahlawan kecil!

Lihat… seberapa dalam kalian sanggup menembus kegelapan abadi!!”

—💥—

Di tengah pertempuran, bayangan Sambara Geni dan Garundhala muncul bersisian—dua makhluk khodam raksasa, rajawali dan phoenix, berputar mengelilingi Mahishasura-Arunika, membentuk pusaran cahaya dan nyala api seperti medan segel surgawi.

Langit berubah warna—dari hitam kelam menjadi merah keemasan, menandakan pertarungan tak sekadar fisik, namun pertarungan jiwa, kehendak, dan semangat.

“LORONG JIWA YANG TERBELENGGU”

Lokasi: Ruang Jiwa Jagat Arunika – Sebuah dunia dalam batin, redup dan gelap, diselimuti rantai kegelapan dan kabut ungu yang membungkus setiap sudut kesadaran.

Dalam kehampaan yang nyaris tanpa waktu, Arunika duduk tertunduk, tubuh jiwanya terbelenggu oleh rantai hitam berdenyut—seolah rantai itu hidup, menyerap setiap getar kesadarannya.

Kepalanya terkulai, matanya kosong, napas jiwanya berat dan lambat.

Suara iblis Mahishasura menggema dalam bisikan-bisikan menyakitkan:

“Kau tak akan pernah kembali, Arunika...

Kau hanya butiran jiwa di bawah kakiku.

Semakin kau ingat masa lalu, semakin lemah kau menjadi...”

Namun mendadak... setitik cahaya kecil muncul jauh di ujung kehampaan.

Dan dari cahaya itu—Kenangan pun mulai berkilasan.

🌿 FLASHBACK I — MASA PETUALANGAN USIA 19 TAHUN

Langit biru, padang ilalang tinggi, suara tawa.

Arunika muda, masih mengenakan pakaian petualang sederhana, berlari di bukit bersama Maheswara, Raksadana, Lodra Wahana, Mahadewa Rakunti, Kalandra Wisanggeni, dan Doyantra Puspaloka. Mereka tertawa, mengelak jebakan di reruntuhan kuno sambil bertukar ejekan.

Arunika (muda, dalam hati):

“Hari itu... untuk pertama kalinya aku merasa damai.

Dendamku belum hilang, tapi Maheswara... dia seperti cahaya yang menenangkan...”

Maheswara muda tersenyum padanya, lalu berkata,

“Jika kau tak yakin pada dunia, maka percayalah pada orang yang bertarung bersamamu.”

🏛️ FLASHBACK II — LAHIRNYA GUILD BAYU GENI (14 Tahun Lalu)

Di aula batu tempat peresmian Guild Bayu Geni, Arunika—berdiri dengan gagah, baru saja diangkat menjadi Kapten Mandala Utama. Cahaya lentera menyinari wajah bangganya.

Maheswara menatapnya dari jauh dan mengangguk dalam diam.

Dendam lama perlahan terkikis.

Arunika (jiwa saat ini, lirih):

“Hari itu… aku merasa pantas hidup... pantas untuk melindungi...”

💞 FLASHBACK III — CINTA YANG TERPANCAR (10 Tahun Lalu)

Di halaman pelatihan, Arunika tampak tersenyum lembut—bersama seorang gadis muda penuh semangat bernama Kirana Wismadanta. Mereka berlatih bersama, bercanda, lalu duduk di bawah langit senja.

Kirana (tersenyum lembut):

“Terkadang, kekuatan kita bukan soal seberapa besar dendam yang kita simpan,

tapi seberapa banyak cinta yang sanggup kita berikan pada dunia.”

Arunika mengusap rambut Kirana yang basah oleh peluh.

Saat itu, hatinya terasa penuh cahaya.

⚔️ FLASHBACK IV — PENGKHIANATAN DI LEMBAH GONTOR (8 Tahun Lalu)

Arunika berteriak terluka—terhempas ke dasar Lembah Gontor oleh serangan gabungan Faksi Pangeran Aryasatya.

Darah menetes, dan suara Mahishasura memanggilnya dari kejauhan.

“JANGAN PERCAYA MEREKA—ARUNIKA!!”

Cahaya dalam jiwanya padam seketika.

Dan dalam gelap itulah, Mahishasura berbisik:

“Aku bisa memberimu kekuatan... kekuatan untuk membalas.

Dunia ini tidak butuh pengampunan. Dunia ini butuh... kehancuran.”

🕸️ KEMBALI KE RUANG JIWA — SAAT INI

Arunika terhentak. Matanya kembali bersinar samar.

Ia menggigit bibirnya, meronta dari rantai yang semakin menjerat. Luka di jiwanya berdarah, tapi ia menggertakkan gigi, tak menyerah.

Arunika (berteriak):

“TIDAK...! AKU TIDAK AKAN HILANG!!

MAHISHASURA!! KAU TIDAK MEMILIKIKU!!”

Rantai hitam berderak keras, satu helai mulai retak—

Namun Mahishasura muncul dalam bayangan besar, matanya membara ungu.

“Bodoh! Ini bukan tubuhmu lagi! Ini bukan jiwamu lagi!

Ini adalah istana baruku!”

Arunika (terengah):

“Kalau ini istanamu... maka aku akan membakarnya dari dalam!

Aku... Jagat Arunika...

Mantan Kapten Mandala Utama Bayu Geni…

Aku pernah tersesat...

Tapi aku tidak akan membiarkan tubuhku menjadi jalan kehancuran dunia!!”

Cahaya merah bata menyala samar di balik kabut.

Sosok Panembahan Senopati—khodam milik Kirana—muncul dalam kilasan di belakang Arunika.

“Kau belum sepenuhnya sendirian.”

Arunika menatap kilatan itu—senyum Kirana muncul sekelebat dalam batinnya.

Arunika (menangis, tersenyum):

“Terima kasih... Kirana...

Maheswara… Raksadana… semua…

Aku akan bertahan… walau hanya dalam detak terakhir jiwaku

Jiwa Arunika masih tertambat, namun matanya mulai menyala redup, bukan karena Mahishasura—

Melainkan karena kesadaran yang masih hidup, karena cinta dan kenangan yang belum sepenuhnya padam.

Narator:

"Di tengah lautan gelap, bahkan cahaya terkecil dapat menjadi pelita.

Dan jika jiwa yang nyaris padam masih menyimpan harapan…

Maka iblis pun akan menemukan bahwa tak semua kehendak dapat ditaklukkan."

LANGIT DI ATAS TIRABWANA, PERTARUNGAN MAHISHASURA MEMASUKI FASE PENENTUAN

Ledakan energi kembali mengguncang langit ketika Maheswara dan Raksadana mencoba menahan kekuatan Mahishasura dalam tubuh Jagat Arunika. Aura kegelapan dari Mahishasura semakin menguat, seperti pusaran badai ungu yang membelah langit.

Namun tiba-tiba, dari kejauhan, cahaya merah bata menyala seperti bara yang melayang lembut ke udara—Kapten Kirana Wismandanta datang.

☄️ KIRANA MENDEKAT

Dengan langkah mantap dan sorot mata tajam, Kirana melayang perlahan di antara serpihan api dan cahaya. Di belakangnya, bayangan khodam Panembahan Senopati berjalan tegap, menatap lurus ke arah pusaran kegelapan Mahishasura.

Kirana (tegas, penuh hormat):

“Paduka Pangeran Maheswara… Guru Raksadana…Izinkan aku… ikut bertarung.Jiwa Arunika masih hidup. Aku akan menyelaminya… dan membawanya kembali.”

Maheswara (serius, namun bersyukur):

“Kirana… kau datang di waktu yang tepat.Dia membutuhkanmu… lebih dari yang pernah kau sadari.”

Raksadana (dalam, bijak):

“Kau tahu medan ini bukan sekadar pertarungan fisik.Tapi aku percaya… hanya kau yang bisa menembus kegelapan di dalam dirinya.”

Kirana menggenggam kedua tangan di dada, lalu tubuhnya bersinar.“TEKNIK: NARATMA-SAMPARA”Teknik Penembus Jiwa Paling Dalam.

Aura khodam Panembahan Senopati membungkus tubuhnya, lalu keduanya melebur menjadi satu cahaya—dan Kirana menukik cepat seperti petir, menembus dada Jagat Arunika yang dikuasai Mahishasura.

🌌 SCENE BERPINDAH — RUANG JIWA ARUNIKA

Gelap.Pekat.Angin berbisik dalam bahasa yang tak dapat dimengerti.

Kirana berdiri di tanah kelabu. Di sekelilingnya, sosok-sosok gelap—pecahan aura Mahishasura—berwujud seperti bayangan ular bersisik hitam, berwajah manusia, dengan mata merah. Mereka menggeram dan langsung menyerang.

Kirana bertarung — menghindar, menangkis, memukul. Tangannya bergerak cepat, teknik bela diri spiritual memecah satu demi satu bayangan. Namun jumlah mereka tak habis-habis, terus menyerang tanpa henti. Kirana mulai goyah, darah menetes dari kening jiwanya.

Suara Mahishasura bergema:

“Jiwa ini bukan milikmu, Kirana. Kau hanya bayang-bayang yang tak penting dari masa lalunya. Pergilah… sebelum jiwamu pun kutelan.”

Kirana (terengah, gemetar namun masih berdiri):

“Kau tak mengenal cinta… tak mengenal penyesalan.Tapi aku… aku mengenalnya. Aku mencintai Arunika. Dan karena itu—aku tidak akan mundur!”

Tubuhnya menyala merah terang. Dalam sekejap, Panembahan Senopati muncul kembali di belakangnya, tubuhnya bersinar.

Dia memberi tenaga terakhir, dan Kirana mengeluarkan pukulan spiritual pamungkas.

“PUNCAK TEKNIK: SAMADHI KAPUTRANING JIWA”

Sebuah gelombang tenaga batin menghantam para bayangan Mahishasura. Mereka memekik, lalu hancur seperti debu hitam terbakar cahaya.

Kirana jatuh berlutut, tubuh jiwanya lelah—tapi dia tersenyum…Di depannya, sebuah cahaya samar… seorang pria dengan tubuh lemah, terikat rantai

Itulah Jagat Arunika.

🤍 PENYELAMATAN JIWA

Arunika mengangkat wajahnya. Matanya sayu, luka jiwa tergurat di seluruh tubuhnya, tapi ketika ia melihat Kirana—

Ia tersenyum.

Arunika (lemah):

“Kirana…Aku pikir… aku akan tenggelam selamanya…”

Kirana menahan tangis. Ia berlutut, memeluk Arunika tanpa ragu. Air mata jatuh perlahan di wajah Arunika.

Kirana (lirih):

“Kau bodoh…Tapi aku juga bodoh… karena terlalu lama pergi… dan tidak menyadari bahwa kau masih hidup...”

Dalam diam, Kirana meletakkan telapak tangannya ke rantai kegelapan.

“Panembahan Senopati… beri aku kekuatan.”

Aura merah bata bersinar. Rantai itu retak—lalu pecah.

Arunika terlepas. Ia jatuh ke pelukan Kirana, menangis, bersyukur.

Arunika (lirih):

“Terima kasih…Maaf…Karena kebodohanku, semuanya hancur…”

Kirana:

“Jangan bicara soal masa lalu… Sekarang kita hadapi sisanya. Bersama.”

Mereka saling menatap. Dua jiwa yang pernah patah—kini kembali berdiri.

🔥 PENUTUP SCENE

Tiba-tiba, ruang jiwa bergetar. Sosok Mahishasura murni muncul dari kabut, tinggi, bengis—bayangan Asura dengan mata membara, taring menjuntai, dan suara gemuruh seperti guntur.

“Bodoh! Kalian pikir bisa menyentuh jiwanya tanpa aku tahu?Jika kalian ingin mengusirku…HADAPI AKU!!”

Kirana dan Arunika saling berdiri berdampingan.Saling menggenggam tangan. Aura mereka bersatu.

Kirana (tegas):

“Aku akan melindungimu… sampai akhir.”

Arunika (tersenyum):

“Dan aku… akan menebus semuanya.”

Narator:

"Di dalam gelap yang nyaris tak menyisakan harapan, dua jiwa yang pernah menyala—kini bersatu kembali, bukan untuk membalas…Tapi untuk menyembuhkan. Dan dalam penyatuan itu… akan lahir kekuatan yang bahkan iblis pun tak mampu bayangkan."

PERTARUNGAN PENENTUAN: LANGIT DI ATAS TIRABWANA & RUANG JIWA ARUNIKA

☄️ LANGIT TIRABWANA BERGEGAP-GEMPITA

Sinar merah menyilaukan menyapu langit. Pangeran Mahkota Maheswara dalam wujud Sambara Mahardika, meluncur dengan kecepatan luar biasa—sayap apinya menciptakan semburan energi seperti komet menyambar. Di sisi lain, Raksadana, dengan aura agung dan khodam Garundhala—wujud setengah manusia, setengah phoenix—menyusul, sayap-sayapnya memekarkan bara kemuliaan yang menggetarkan langit.

Jagat Arunika yang dikuasai oleh Mahishasura berdiri di udara, wujudnya kini bagai dewa iblis: Antaboga dan Mahishasura menyatu. Sisik hitam mengeras di tubuhnya, sayap iblis mengembang, mata emas menyala membelah cakrawala.

Maheswara dan Raksadana menyerang bersamaan—**

🔥🔥 “TEKNIK GANDA: SURYAKALA & JATIWINDU”**

—api menyala dari Sambara Geni, dan sabetan pedang Jatiwisesa menciptakan riak petir merah menyayat langit. Tubuh Mahishasura terpental ke menara tua, reruntuhan melayang ke segala arah.

Namun... dia bangkit lagi.

Mahishasura (marah, parau):

“Kalian... mengganggu dari luar. Tapi jiwa kalian lemah di dalam. Di ruang jiwanya… Aku tetap DEWA!”

🌌 DI DALAM RUANG JIWA ARUNIKA

Kabut gelap meledak. Dari dalamnya, Sosok Mahishasura Murni muncul—raksasa bayangan setinggi langit jiwa, bertaring, bertanduk, dan bermata bara neraka. Aura kebencian menjalar seperti ribuan belatung kegelapan.

Arunika dan Kirana berdiri berdampingan.Tubuh spiritual mereka terluka, tapi mata mereka menyala terang.

Arunika (penuh luka, tapi tegak):

“Kau tak lagi menguasai diriku... Mahishasura.”

Kirana (datar, tajam):

“Hari ini, kau akan disingkirkan. Dari tubuhnya. Dan dari dunia ini.”

Teknik Kombinasi Jiwa:“SEMARAK DHARMA-PRANA” — kekuatan cinta, tekad, dan cahaya jiwa menyatu.

Panembahan Senopati dan bayangan jiwa Arunika sendiri bergabung menciptakan serangan pamungkas—gelombang jiwa berwarna emas-bata menembus tubuh Mahishasura Murni, memecah serpih-serpih bayangan kegelapan dari dalam.

☄️ SERANGAN DUA ARAH: LUAR & DALAM

Di langit, Maheswara menukik dari langit selatan, sayapnya menyala bagai meteor yang menembus awan—

“GARIS CAHAYA: ARKA WIJAYA”

Serangan itu tepat menghantam Mahishasura dari luar, pada detik yang sama, dari dalam jiwa Arunika dan Kirana melepaskan serangan gabungan jiwa, menghantam pusat kegelapan Mahishasura dari dalam.

Tiba-tiba, udara menjadi sunyi.Langit terbelah. Sebuah gerbang tua muncul...

🔐 GERBANG RASA BHUWANA

Gerbang batu tua yang diselimuti akar dan ukiran naga purba muncul di belakang tubuh Arunika—Gerbang Rasa Bhuwana, gerbang purba dunia jiwa, hanya terbuka ketika dunia nyata dan dunia rasa bersilangan.

Mahishasura meraung—auranya berguncang, tubuhnya terserap sedikit demi sedikit. Dia menolak, mencakar udara, memekikkan kutukan kuno, tapi kekuatan dari dalam dan luar memaksanya…

Mahishasura (mengguncang):

“Belum selesai! Dunia ini belum selesai! Tanpa kunci itu, kalian hanya menunda KEMATIAN!”

Sosok raksasa itu tersedot perlahan ke dalam pintu hitam retak—Gerbang Bhuwana—dan ketika tubuhnya hampir hilang seluruhnya…

—PINTU ITU MENUTUP.

Namun belum terkunci sepenuhnya.

🗝️ KUNCI PERAK KEEMASAN — DI TANGAN JASANA

Di tempat lain… jauh di bukit Rinjung Langit, Jasana Mandira menggenggam artefak kuno berbentuk kunci perak keemasan, sebesar lengan. Kunci Purba Ke-7—satu-satunya alat untuk mengunci Gerbang Rasa Bhuwana secara permanen.

Namun dia tak sendiri—karena di hadapan mereka…

⚔️ BRAHMAYUDHA KARNAKA AKTIF!

Meriam iblis raksasa itu—berbentuk kepala Asura—bergetar, menyerap aura dari para Bayawira yang kini roboh tak sadarkan diri.

Hanya satu tembakan lagi yang dibutuhkan untuk memusnahkan seluruh kota Tirabwana…

Namun di depannya:

Pradipa Karna, berdiri dengan Dwijanaga,—Lutfayana, membentuk lingkaran pelindung dengan teknik pelengkung langit dari Sihir Darah,—dan Jasana, memandang kunci di tangannya, lalu menatap ke arah Gerbang Rasa Bhuwana di kejauhan—tempat cahaya mulai muncul perlahan dari balik cakrawala.

🧭 EPILOG SINGKAT

Di bawah langit Tirabwana, Arunika terjatuh dan kini selamat, meski tak sadarkan diri. Kirana, Maheswara, dan Raksadana turun dari udara. Wajah mereka penuh kelelahan namun lega.

Di sekeliling mereka, pasukan Bayawira yang dulu mengamuk, kini roboh—seperti boneka kosong kehilangan tali. Kekuasaan Mahishasura telah sirna.

Namun…Pertempuran belum usai.

Masih ada satu ledakan lagi yang bisa menghancurkan segalanya.

Dan Jasana… memegang kunci penentu takdir.

PADANG RINJUNG LANGIT – DETIK MENUJU KEHANCURAN

Langit selatan Tirabwana masih berkabut merah. Di kejauhan, siluet Brahmayudha Karnaka—senjata pemusnah aura jiwa—bergetar, mengisap sisa kekuatan para Bayawira yang sudah tak sadarkan diri.

Moncong iblisnya menganga, siap menembakkan kehancuran terakhir ke arah kota yang mulai merangkak masuk ke fajar.

Di puncak Bukit Rinjung Langit, tiga sosok sudah berdiri siaga:

Jasana Mandira dengan mantel hijau Raka Lelana,– Luthfayana Dra'vetha dengan aura darah pekat menyelimuti mata tajamnya,– Pradipa Karna, berdiri tenang, tangannya menggenggam erat Dwijanaga.

Namun energi Brahmayudha Karnaka tak terhentikan. Detik penembakan semakin dekat.

⚡️KEMUNCULAN JAGATMARMA

Tiba-tiba, cahaya putih keperakan membelah langit, dan dari balik kabut, sosok tinggi mengenakan caping bambu dan pakaian kepala desa mendarat lembut di sisi mereka.

Jagatmarma, mantan Kapten Barat Bayawira, kini berpihak pada cahaya.

Jagatmarma (tersenyum konyol):

“Kalau cuma meriam raksasa yang bisa menghancurkan kota... ya tinggal dihentikan waktunya, kan?”

Ia menghunus pedangnya yang tampak biasa, namun bergetar dengan kekuatan khodam ilahi.

Dari balik tubuhnya, muncul wujud "Rasasita Jnana"—resi bercahaya putih membawa jam pasir bercahaya. Ia memutar jam itu perlahan…

⏳ TEKNIK ILMU WAKTU: "MANDALA RATU KALA"

Dalam sekejap, semua suara lenyap. Angin terhenti. Debu membeku di udara. Burung yang melayang di langit membatu di tempat. Waktu berhenti.

Namun keempat mereka masih bisa bergerak.

Jagatmarma (tegas):

“Kita hanya punya waktu tiga napas. Ayo, hancurkan ini sebelum jam kembali mengalir.”

⚔️ SERANGAN GABUNGAN: PENGHANCURAN BRAHMAYUDHA KARNAKA

Pradipa Karna melompat ke depan, tubuhnya diliputi bayangan Wyvern yang menyatu.– Ia menghantam inti meriam dengan teknik “TEBASAN NAGA KEMBAR”, dua arus energi spiral menembus pelat luar Brahmayudha.

Luthfayana menyebar kabut darah pekat, menciptakan pusaran hemomagik– Dengan sihir darah tingkat tinggi, ia menyusup ke dalam urat-urat sihir gelap meriam dan mengikat sirkuit energinya.

Jasana memanggil Wiratmaja dan Ardhana sekaligus—lembuswana raksasa dan roh penuntun menyatu.

– Jasana mengangkat pedang Lungguh Darma, aura hijau membara menyalak kuat.

– Ia meneriakkan serangan pamungkas:

“GURITNA DARMA – PENYEGEL LANGIT KETUJUH!”

– Gelombang sihir alam dalam bentuk tanduk raksasa menyala biru dan putih menghantam titik pusat Brahmayudha Karnaka bersamaan dengan dua serangan sebelumnya.

💥 BRAHMAYUDHA HANCUR – WAKTU KEMBALI BERJALAN

Dalam ledakan cahaya dan kabut gelap yang tersedot ke dalam pusaran, Brahmayudha Karnaka runtuh. Rantai-rantainya putus, tubuh meriamnya retak dan meledak dalam pusaran energi gaib yang diserap kembali oleh tanah Padang Rinjung Langit.

Waktu kembali mengalir. Ledakan pun tak terjadi. Kota Tirabwana... selamat.

🌄 FAJAR MENYINGSING – PERANG BERAKHIR

Kabut darah sirna.Langit berangsur terang. Mentari pertama muncul di ufuk timur, menghangatkan bayang-bayang kehancuran dan kemenangan.

Perang 4 hari 4 malam—hampir genap 5 hari—berakhir.

Pasukan Bayawira yang masih hidup menyerah.Yang tak sadarkan diri diikat dan dijaga.

Teriakan kemenangan menggema dari Benteng Selatan hingga Istana Tirabwana.

Pasukan Gabungan Mandalagiri menang.

🗝️ JASANA & GERBANG RASA BHUWANA

Di bawah langit terbuka, Gerbang Rasa Bhuwana masih melayang—gerbang retak yang belum sepenuhnya tertutup. Sisa aura Mahishasura masih samar di udara, mencoba menjangkau dari celah sempit pintu purba itu.

Jasana Mandira melangkah maju, membawa artefak Kunci Dimensi Kalathrayakekuatan purba ketujuh—berkilau perak keemasan di tangannya.

Ia berdiri tepat di hadapan gerbang.Mengangkat kunci itu tinggi.

Ardhana (berbisik dari dalam):

“Akhirilah... putra cahaya. Dunia sudah cukup menanggung dendam gelap.”

Jasana menusukkan kunci itu ke pusat retakan gerbang—dan…

🌌 "KLIK."

GERBANG RASA BHUWANA MENGUNCI DIRI. Segel sempurna.Tak ada lagi jalan kembali bagi Mahishasura.

Langit tenang. Dunia selamat.

🌿 PENUTUP SCENE

Jagatmarma, Luthfayana, Pradipa, dan para pendekar lainnya berdiri dalam diam, memandang sang fajar.

Raksadana dan Maheswara di kejauhan mengangguk dengan mata haru. Kapten Kirana menatap Arunika yang tertidur di pangkuannya.

Dan Jasana, berdiri tegak, pedang di punggung dan senyum tenang.

“Hari ini kita menang. Bukan karena kita kuat... tapi karena kita memilih untuk tidak menyerah.”

BABAK BARU: ERA SETELAH BAYAWIRA

— Cahaya Setelah Badai —

Matahari pagi menembus awan tipis, menyinari langit Tirabwana dengan lembut. Cahaya emasnya seakan membersihkan sisa-sisa luka yang masih terhampar di tanah. Perang telah usai. Empat hari empat malam yang mengguncang dunia Mandalagiri telah mencapai akhir—dengan nyawa, darah, dan takdir sebagai saksi.

Di pelataran luar kota Tirabwana, pasukan gabungan Mandalagiri bergerak seperti arus terkoordinasi. Mereka menyapu puing, menurunkan spanduk luka, dan memadamkan bara-bara terakhir yang masih menyala. Kota Bagian Selatan yang sempat dirundung kehancuran kini mulai bernafas kembali.

Namun harga kemenangan tidak ringan.

PADANG RINJUNG LANGIT — LADANG JIWA YANG TELAH PERGI

Di kejauhan, padang Rinjung Langit yang dulunya hijau kini menjadi lautan sunyi. Puluhan ribu tubuh bergelimpangan.

Pasukan Divisi Tentara Kerajaan serta Anggota Guild Bayu Geni dan Panglima Medika memimpin upacara pemakaman massal.

Bendera-bendera Mandalagiri dikibarkan setengah tiang.Tubuh para prajurit gabungan yang gugur dimakamkan dengan kehormatan tinggi, satu per satu dimandikan, dibungkus, dan diiringi doa dan nyanyian langit.

Sementara itu, tubuh-tubuh Bayawira yang masih meninggalkan jejak aura kegelapan—miasma iblis yang samar—dibakar dalam ritual pemurnian. Api suci dari Divisi Rasa Prawira Guild Bayu Geni membersihkan jejak Mahishasura yang membekas.

Asap membumbung ke langit. Seakan langit pun ikut berkabung.

TIRABWANA — KOTA YANG BERNAFAS KEMBALI

Di tengah reruntuhan kota bagian selatan, Jasana Mandira dan Luthfayana Dra'vetha duduk saling bersandar. Tubuh mereka luka, baju mereka koyak, namun mata mereka masih hidup.

Para medis dan tabib mengobati luka mereka. Namun luka di hati dan jiwa masih jauh dari sembuh.

Luthfayana (lirih):

“Kau pikir... ini benar-benar berakhir?”

Jasana (lembut, namun lelah):

“Tidak. Tapi ini... adalah awal yang baru.”

KIRANA & ARUNIKA — DAMAI DI PANGKUAN

Tak jauh dari situ, di bawah naungan pohon yang nyaris hangus, Kapten Kirana Wismandanta duduk bersila. Di pangkuannya, terbaring Jagat Arunika, yang kini tertidur damai—bebas dari kendali Mahishasura.

Kirana tersenyum, menyentuh lembut rambut Arunika yang tenang.Tak ada lagi sisik, tak ada lagi sayap iblis.Yang tersisa hanyalah seorang manusia... yang pernah menggendong iblis dalam raganya.

“Kau kembali,” bisik Kirana. “Dan itu cukup.”

JANJI DI ANTARA DUA PANAH — MAHADARSA & RATRI

Di dekat barak penyembuhan, suasana lebih ringan. Pangeran Mahadarsa, tampak gagah meski pakaiannya masih dilumuri debu perang, berdiri di hadapan Ratri Andini—mantan Wakil Kapten Bayawira yang kini telah memilih jalan baru.

Mahadarsa (tersenyum licik namun tulus):

“Ratri Andini... Kau berjanji menikah denganku setelah perang ini selesai. Nah, aku datang menagih.”

Ratri (tersipu, namun tegas):

“Aku tidak menarik kata-kataku. Tapi... beri aku waktu satu bulan. Aku ingin berlatih Berperilaku seperti seorang Bangsawan... agar pantas mendampingi pangeran.”

Mahadarsa tertawa rendah, mengangguk.

“Satu bulan? Baik. Dan aku akan mengirimkan guru terbaik yang Mandalagiri punya.”

INGGRITA & KALANDRA — DALAM SENYAP DAN DOA

Sementara itu, di dalam barak sunyi, Kapten Kalandra Wisanggeni masih terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya dikelilingi jimat perlindungan dan penyangga roh.

Di sisinya, Inggrita Maranile, istrinya, duduk tanpa suara.Tangannya menggenggam jemari suaminya, dan perutnya yang sedikit membuncit sudah menyimpan kehidupan—anak Kalandra yang belum lahir.

Inggrita berbisik lirih, dengan mata yang berkilau air:

“Bertahanlah. Demi kita. Demi anak kita... yang akan tahu bahwa ayahnya adalah cahaya di dunia penuh bayangan.”

Di luar tenda, angin pagi menyibakkan tirai—seakan membelai wajah Kalandra yang masih tertidur.

PENUTUP SCENE

Langit Mandalagiri kini biru. Duka masih menggantung, namun harapan mulai tumbuh.

Era Bayawira telah berakhir. Namun benih-benih baru telah ditanam—benih perdamaian, cinta, dan pengampunan.

Di kejauhan, lonceng-lonceng kecil kuil berbunyi pelan.Tak merayakan kemenangan, tapi mengenang semua yang telah hilang... dan memanggil jiwa-jiwa baru untuk melanjutkan jalan ini.

"Dunia ini tidak akan sama lagi. Tapi dunia ini... masih ada."

— Hari-Hari Setelah Badai —

Beberapa hari telah berlalu sejak fajar kemenangan menyapu langit Mandalagiri. Kota Tirabwana perlahan berbenah—puing digantikan batu baru, tangis digantikan doa, dan luka mulai mengering. Namun di balik cahaya damai yang mulai tumbuh, masih ada hal-hal yang harus diselesaikan.

RUANG SIDANG AGUNG ISTANA TIRABWANA

Langit-langit tinggi berhias ukiran naga langit dan bunga melati menyambut para bangsawan, pemimpin divisi sementara Dewan Istana Baru, dan saksi peradilan khusus. Di singgasana utama, berdiri tegak Sri Maharaja Darmawijaya, mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Matanya tajam namun teduh.

Empat mantan Bayawira—Lodra Wahana, Swandari Pramesti, Rawikara Praba, dan Nayati Kirana—berdiri tegak di hadapan tahta. Meskipun pakaian mereka kini sederhana, bekas kejayaan dan kekuatan mereka masih terasa dalam sorot mata.

Sri Maharaja Darmawijaya:“Kalian telah menumpahkan darah di tanah kami. Namun di detik-detik terakhir, kalian memilih jalan penebusan. Maka kerajaan memilih jalan bijak, bukan hanya keadilan, tapi juga kesempatan. Kalian akan dikurung… bukan untuk dihukum semata, tapi untuk merenung.”

KURUNGAN "GELUNG DARMA" — PENJARA RENUNGAN PANCA TAHUN

Keempat mantan Bayawira akan menjalani hukuman di Kurungan Gelung Darma, tempat penahanan dalam gunung batu berlubang yang dibentuk khusus sebagai tempat pembinaan jiwa. Setiap tahanan diberikan:

Satu ruang mandiri tanpa besi, namun dijaga oleh mantra spiritual dari Divisi Rasa Prawira Guild Bayu Geni.

Pantulan jiwa: Setiap malam, para tahanan akan diperlihatkan kenangan mereka—baik dosa maupun kebaikan—melalui cermin Darmajiwa.

Hukuman lima tahun tanpa sihir, tanpa senjata, hanya diri mereka sendiri.

Namun mereka tidak disiksa. Mereka dilayani dengan makan cukup, waktu meditasi, dan buku-buku dari perpustakaan kerajaan.

Mereka menerima keputusan itu tanpa protes, bahkan dengan senyuman kecil. Sebab bagi mereka, kesempatan kedua lebih dari cukup.

TAHANAN KHUSUS JAGAT ARUNIKA

Sementara itu, Jagat Arunika, pemimpin utama Bayawira yang masih belum sadar, telah dipindahkan ke ruang tahanan spiritual di dalam Paviliun Penyembuhan Gunung Salaka, tempat yang digunakan hanya bagi penjahat besar yang masih memiliki peluang pulih jiwa.

Tubuhnya terbaring dalam kubah kristal putih, dijaga oleh penghalang jiwa dan penjaga Divisi Panggrahita Aji Guild Bayu Geni Bersama Kapten Kirana Wismadanta. Meski ia dikendalikan Mahishasura, dosa-dosa yang ia lakukan sebagai pemimpin tidak bisa dihapus.

Namun Sri Maharaja Darmawijaya tidak menghukum mati Arunika. Ia berkata dalam sidang:

“Anak dari Suranegara tidak akan kuhilangkan dengan darah. Biar waktu dan kesadaran yang menuntunnya.”

REHABILITASI NAMA DAN DARAH

Jagatmarma, saudara tiri Arunika—yang dulu dicemooh sebagai anak haram dari Suranegara dan Laraswidya—mendapatkan pengampunan penuh Karena telah Berjasa Menghentikan Serangan Brahmayudha Karnaka dengan teknik Henti Waktu. Tak hanya itu, nama Suranegara dipulihkan.

Maharaja secara resmi mengumumkan bahwa Suranegara dulu adalah mantan Pangeran Mahkota Anak dari Sri Maharaja Aghnabumi Darmajaya, dan bahwa fitnah Aryawangsa Kertadarma dulu adalah bagian dari manipulasi dalam istana lama. yang tidak senang dengan Suranegara yang tidak bisa di kendalikan oleh Aryawangsa sendiri.

Bersama Jagatmarma, Teksaka dan Ratri Andini juga mendapatkan pemulihan nama dan hak mereka. Ketiganya kini dipandang sebagai putra-putri Mandalagiri yang telah memilih jalan benar di akhir waktu dan sudah berkonstribusi besar dalam perang besar tirabwana yang berhasil mencegah Bayawira masuk ke dalam Kota Tirabwana, Bahkan Ratri Andini sempat menyelamatkan Anak sang raja yaitu Pangeran Mahadarsa yang hampir terkena tembakan Brahmayudha Karnaka.

PASUKAN BAYAWIRA — DARI MUSUH JADI PEKERJA

Di bagian luar Tirabwana, bekas pasukan Bayawira yang masih hidup dan ditangkap kini ditempatkan dalam Penjara Karya “Rasagama”. Penjara ini bukan tempat penyiksaan, tetapi lokasi kerja keras di bawah pengawasan ketat.

Mereka bekerja siang malam, namun tetap dengan manusiawi mendapatkan makan dan minum serta pakaian yang layak mereka akan bekerja sebagai:

1. Membangun kembali jembatan, tembok kota, dan rumah-rumah warga serta Tempat Lain yang Hancur.

2. Membersihkan reruntuhan dan area suci yang dulu dinodai sihir kegelapan.

Diawasi oleh tentara Mandalagiri dan para penjaga spiritual.

Beberapa mulai merasa bersalah, beberapa mulai berubah. Tidak semua bisa diselamatkan, tapi benih-benih penebusan mulai tumbuh.

PENUTUP — TITIK AWAL KERAJAAN BARU

Di balkon atas istana, Sri Maharaja Darmawijaya berdiri bersama Permaisuri Shandrakirana. Mereka memandang ke arah kota Tirabwana yang perlahan pulih.

“Kerajaan ini telah melewati kegelapan... Tapi tidak semua yang datang dari gelap, adalah musuh. Kadang mereka hanya belum menemukan cahaya.”

Burung-burung kecil kembali terbang.Di bawah mereka, anak-anak mulai bermain di tengah reruntuhan yang kini sedang dibangun kembali.

Era setelah Bayawira bukan hanya soal akhir...Tetapi tentang permulaan baru—yang lebih sadar, lebih matang, dan lebih adil.

"Dari abu dan luka, Mandalagiri berdiri kembali."🕊️🛡️🌸

BAB PENUTUP: "Ziarah Tujuh Kekuatan Purba"— Akhir Sebuah Era, Awal Sebuah Warisan —

Langit Mandalagiri kembali membiru setelah sekian lama diselimuti asap perang. Tapi tugas para pelindung negeri belum usai. Di bawah restu Sri Maharaja Darmawijaya, tiga sosok utama berangkat menjalankan tugas terakhir: mengembalikan enam kekuatan purba yang selama ini berada di tangan Bayawira.

Pangeran Maheswara, Raksadana, dan Jasana Mandira, tiga pilar kekuatan baru Mandalagiri, menunggangi kuda istimewa masing-masing. Mantel mereka berkibar diterpa angin, membawa harapan baru bagi negeri yang mereka cintai.

1. Roh Purba Suralaya – Desa Mati Hidup Kembali

Di timur Mandalagiri, mereka tiba di Desa Suralaya, tempat yang dulu hanya berisi reruntuhan dan ladang kematian. Di tengah alun-alun desa yang telah lama kering pada sebuah altar Desa, mereka meletakkan Batu Ekstraksi Roh Purba Suralaya—sebuah batu hitam bundar yang menguarkan aura gelap pekat.

Saat batu itu ditanam kembali di pusaran tanah, angin mengalir, suara roh bergema... dan tanah yang dulu mati mulai menghijau. Rerumputan muncul dari retakan bumi, dan air mengalir dari batu karang yang pecah.

Raksadana menunduk pelan, “Roh-roh ini akhirnya pulang.”

2. Batu Napas Langit – Udara Kembali Menari

Masih di wilayah timur, mereka melanjutkan perjalanan ke Desa Kalapanunggal. Di sana, badai aneh dan angin berputar telah mengganggu musim tanam selama bertahun-tahun yang mengganggu Desa tersebut.

Di Hutan Kecil dekat Desa Sebuah Altar tempat Batu Napas Langit Bangkit, mereka mengembalikan Batu Napas Langit, batu biru muda bercahaya lembut. Begitu batu itu menyatu kembali dengan lingkaran batu angin kuno, angin berhenti sejenak... lalu menari dengan lembut. Langit menjadi jernih, aroma pinus dan bunga bermekaran memenuhi udara.

Jasana menatap langit sambil tersenyum, “Kini langit kembali menjadi teman, bukan musuh.”

3. Mutiara Samudrantaka – Warisan yang Ditolak

Dari timur, mereka menyeberang ke barat—ke Desa Panundaan, desa nelayan di pesisir Mandalagiri Barat. Di dasar kuil laut kuno, mereka membawa kembali Mutiara Samudrantaka, mutiara putih sebesar kepala manusia, berkilau seperti bulan purnama.

Namun saat hendak mengembalikannya, tiram raksasa ghaib Javarnesa muncul dalam bentuk proyeksi cahaya laut dan berkata:

“Warisan ini tak bisa kembali. Ia memilih pewarisnya: Jagatmarma.”

Mereka bertiga saling berpandangan. Tak lama, mereka menyimpan kembali mutiara itu dalam peti suci. Keputusan pun dibuat: mereka akan menyerahkan Mutiara ini kepada Jagatmarma di Tirabwana. Tapi tak langsung kembali, karena perjalanan mereka masih berlanjut.

4. Permata Manikara Darpa – Amarah Kembali ke Dunia Asal

Di utara, mereka memasuki Hutan Lembayung Dipa, menuju retakan dimensi antara dunia manusia dan alam jin Tiraksara. Di sana, Permata Manikara Darpa—permata merah bergemuruh seperti jantung api—bergetar saat mendekati celah retakan.

Tanpa disentuh, batu itu melayang, mengeluarkan aura panas, lalu menyusup ke dalam celah dimensi yang terbuka perlahan. Seketika, retakan tertutup, dan aura liar di hutan perlahan mereda.

Maheswara berbisik lirih, “Amarah pun punya rumahnya sendiri.”

5. Artefak Manik Suraloka – Kembali ke Langit Ketiga

Perjalanan berlanjut pulang ke kota Tirabwana. Sebelum menuju istana, mereka singgah ke markas Guild Bayu Geni. Di ruang bawah tanah kuno, mereka mengembalikan Manik Suraloka—bola kristal putih keperakan yang terus berdenyut.

Begitu artefak itu diletakkan di singgasananya, lantai menyala dengan simbol-simbol langit. Suara lembut bergema, seolah para leluhur menyapa dari kejauhan.

Jasana menunduk, meletakkan tangan di lantai, “Langit ketiga... tetap tersembunyi, hanya bagi mereka yang layak.”

6. Cakravidya Sangkaraning Rasa – Disegel di Ruang Rahasia Istana

Terakhir, mereka melangkah ke ruang rahasia Istana Tirabwana—di balik dinding-dinding batu yang tak diketahui banyak orang.

Cakravidya Sangkaraning Rasa, artefak oval ungu tua berpola naga kembar, menggetarkan udara sekitarnya. Emosi mengalir, waktu bergetar, dan suara-suara dari masa lalu sempat terdengar di telinga mereka.

Dengan mantra khusus dari Raksadana, dan segel dari Maheswara, mereka menyegel artefak itu kembali di dalam Zona Kosong, tempat waktu tak berjalan dan emosi membeku.

7. KUNCI DIMENSI KALATHRAYA – Warisan Jasana Mandira

Sementara enam kekuatan purba telah kembali ke tempatnya, kekuatan ketujuh tetap berada dalam genggaman Jasana Mandira. Kunci Dimensi Kalathraya—artefak kunci perak keemasan yang mampu membuka ruang antar alam dan menyegel kekuatan terdalam—adalah warisan yang tidak bisa dikembalikan. Ia menyatu dengan takdir Jasana.

Maheswara menepuk pundaknya.“Kunci itu... bukan hanya untuk membuka dunia, tapi juga membuka masa depan Mandalagiri.”

EPILOG: Mutiara yang Tak Diinginkan

Mereka bertiga kembali ke Tirabwana, dan menyerahkan Mutiara Samudrantaka pada Jagatmarma. Namun pria bertubuh besar itu hanya mengangkat tangannya, menolak.

Jagatmarma tersenyum lebar, duduk di bawah pohon sambil memakai capingnya.“Aku sudah terlalu tua untuk jadi penguasa air. Biarlah istana saja yang menyimpannya. Kalau perlu, suruh saja anak-anak muda menjaganya.”

“Aku cuma ingin pulang... jadi kepala desa yang baik.”

SCENE PENUTUP

Sore hari menyapu kota Tirabwana. Tiga tokoh berdiri di balkon tertinggi istana:

Jasana Mandira, sang pewaris dimensi,

Pangeran Maheswara, sang pelindung kerajaan,

Raksadana, sang penjaga kehormatan bangsa.

Mereka menatap cakrawala Mandalagiri.

Jasana berbisik:“Tujuh kekuatan telah kembali... Sekarang waktunya kita menjaga tanah ini dengan hati, bukan hanya dengan kekuatan.”

Burung-burung terbang melintasi langit jingga.Dan bab terakhir ini ditutup bukan dengan peperangan—tetapi dengan perjalanan hati, menuju era baru yang lebih damai.

“Dan dari tujuh yang tersebar, lahirlah satu takdir baru: masa depan Mandalagiri.”🗝️🌌🌿