Bab 30 - Epilog Baja Tanpa Takdir

SEBULAN SETELAH PERANG TIRABWANA

Satu bulan telah berlalu sejak peperangan besar melawan kekuatan Bayawira dan iblis Mahishasura di kota Tirabwana. Kerajaan Mandalagiri kini perlahan kembali pulih di bawah kepemimpinan bijak Sri Maharaja Darmawijaya. Hari kemenangan pun ditetapkan sebagai hari besar baru: "Hari Cahaya Mandalagiri", sebagai penanda kemenangan melawan kegelapan.

RUANG TAHANAN SPIRITUAL – PAVILIUN PENYEMBUHAN GUNUNG SAKALA

Di sebuah bangunan terpencil bernama Paviliun Gunung Sakala, yang terletak tak jauh dari kota Tirabwana, Jagat Arunika kini dirawat di ruang tahanan spiritual. Paviliun itu dijaga oleh pasukan khusus dari tentara Mandalagiri dan Divisi Panggrahita Aji Guild Bayu Geni, dipimpin langsung oleh Kapten Kirana Wismadanta.

Jagat Arunika selamat dari peristiwa pengusiran Mahishasura, namun kini dalam kondisi melemah. Ia kehilangan khodamnya, kekuatan spiritualnya, dan sebagian besar ingatannya. Bahkan kemampuan bicaranya pun terenggut. Ia hanya bisa duduk atau berbaring di atas pembaringan dari kayu wangi dan kain halus. Sorot matanya kadang kosong, kadang basah mengingat sesuatu yang samar, Semua itu adalah Efek dari Kerusakan Jiwa Jagat Arunika.

Kapten Kirana Wismadanta merawatnya dengan sabar. Setiap pagi, siang, dan malam ia sendiri yang menyuapi makanan, mengganti pakaiannya, dan membersihkan tubuhnya. Ia melakukannya bukan karena perintah—tapi karena cinta yang belum mati. Meski Arunika kini hanya bayangan dari kekuatan besar yang pernah mengguncang mandalagiri, bagi Kirana, ia tetap seseorang yang berarti. Dan Arunika—dalam senyap dan lumpuh—mulai mengingat wajah itu dalam hatinya, meski tak bisa mengucap sepatah kata.

KEDIAMAN BANGSAWAN DRA'VETHA – PULAU NELAYAN

Jasana Mandira kini kembali bertugas sebagai Kapten Divisi Raka Lelana di Guild Bayu Geni. Namun tiap kali malam tiba, pikirannya melayang ke pulau nelayan tempat keluarganya tinggal.

Di rumah bangsawan Dra'vetha yang berada di sisi Selatan Pulau Nelayan dan Masuk Wilayah Administratif Kota Pelabuhan Adiyaksa, dua istrinya—Cathrine van der Lindt dan Nyai Lutfayana Dra'vetha—menyambutnya ketika ia sesekali pulang. Dua anak mereka, Raviendra dan Ishvara, tumbuh dalam kasih sayang dan kemegahan sederhana yang dilayani oleh dua puluh lima pelayan, dipimpin oleh Morzhan dan Velyra dari kaum Jin Dra'vetha.

Cathrine dikenal sebagai sosok bijak dan lembut, sedangkan Lutfayana—dengan sihir darah dan aura bangsawan—menjadi benteng pelindung rumah. Kedua perempuan itu saling memahami, menjalani kehidupan bersama dalam ikatan yang unik namun harmonis.

ISTANA TIRABWANA – MENUJU PESTA PERNIKAHAN

Di jantung istana Tirabwana, Pangeran Maheswara menolak pengangkatan dirinya sebagai Raja Mandalagiri dan memilih menunda dulu. Ia lebih memilih mendukung kakaknya, Pangeran Mahadarsa, yang akan segera menikahi Ratri Andini—mantan Wakil Kapten Bayawira Barat yang telah berbalik arah dan berjuang untuk Mandalagiri.

Selama satu bulan terakhir, Ratri tinggal dan belajar di dalam istana, mendalami etika dan tata krama bangsawan. Ia berhasil menyesuaikan diri dengan baik. Permaisuri Shandrakirana menyukai kejujuran dan keberaniannya, dan bersama Sri Maharaja, mereka memberikan restu penuh pada pernikahan itu.

“Asal hatimu kuat, darah bangsawan tak selalu harus mengalir dari lahir,” ujar sang permaisuri.

Maheswara tertawa bahagia, dan Mahadarsa—meski sedikit malu—menyambut masa depan barunya dengan bangga. Rakyat pun bersuka cita atas kabar itu.

KALANDRA DAN INGGRITA – KEHENINGAN SETELAH PERTEMPURAN

Sementara itu, Kapten Kalandra Wisanggeni masih dalam masa pemulihan. Cedera hebat yang ia dapatkan dalam duel brutal melawan Jagat Arunika membuatnya harus cuti panjang. Ia kini tinggal di sebuah rumah sederhana di kota Tirabwana bersama istrinya, Inggrita Maranile, yang tengah mengandung tiga bulan.

Mereka menjalani hari-hari dengan tenang, jauh dari bayang-bayang intrik dan senjata. Namun keduanya tahu, ketenangan ini tak akan lama. Dunia selalu berubah, dan mereka—sebagai penjaga bayangan—harus siap kapan pun dipanggil kembali.

“Mimpi-mimpi kita… masih panjang, bukan?” ujar Inggrita lembut, sembari menaruh tangan di perutnya.

Kalandra hanya menatap mata istrinya dan menjawab lirih, “Dan aku akan menjagamu... dalam terang dan dalam gelap.”

AKHIR SEMENTARA

Mandala telah berganti arah. Para prajurit kembali ke pelatihan, para pemimpin kembali ke rencana, dan para bayangan menunggu panggilan berikutnya. Tapi bagi mereka yang telah melewati malam panjang Tirabwana, bulan pertama setelah perang terasa seperti musim semi pertama setelah musim dingin yang tak berkesudahan.

Dan jauh di ruang sunyi Paviliun Gunung Sakala, Jagat Arunika duduk dalam diam, tubuh lemah… tapi hatinya mulai berdenyut pelan.

Sebuah harapan.

Sebuah penebusan.

Dan mungkin… awal dari sebuah perjalanan baru.

Sementara keadaan Mandalagiri perlahan pulih, keluarga Pangeran Aryasatya kini kembali tinggal di distrik pusat yang dikhususkan bagi keluarga kerajaan. Aryasatya, sang mantan pangeran mahkota yang jatuh ke dalam jurang Lembah Gontor akibat serangan Jagat Arunika, kini menjalani kehidupan yang lebih sederhana dan bijak. Usaha ramuan dan sihir penyembuh yang ia jalankan mulai dikenal di kalangan rakyat. Ia tak lagi menyombongkan darah birunya, melainkan menyatu dengan rakyat seperti bangsawan biasa. Bersama istrinya, Raden Ayu Sitalaksmi, dan anak laki-laki mereka Aditya Yudhanagara yang sebentar lagi akan bersekolah di Akademi Militer Tirabwana, mereka menikmati hari-hari damai.

Aditya, calon penerus yang baru, akan mengenyam pendidikan selama sepuluh tahun di akademi elite itu—tempat para keturunan bangsawan dan rakyat biasa yang cerdas dilatih untuk menjadi pemimpin Mandalagiri masa depan.

Di sisi lain, Jagatmarma dan Teksaka dipanggil menghadap Sri Maharaja Darmawijaya di Istana Tirabwana. Di hadapan raja, keduanya menerima tawaran yang mengejutkan—bergabung ke dalam jajaran Dewan Istana baru sebagai Penasihat, dengan Raksadana sebagai ketua dewan. Sang raja menjelaskan, Jagatmarma dianggap memiliki kapasitas tak hanya sebagai pendekar, tapi juga seorang pemikir taktis yang unggul, lulusan terbaik Akademi Militer Tirabwana, dan punya pengalaman politik yang dibutuhkan dalam era baru.

Teksaka, meski hanya pendekar rakyat, telah membuktikan kesetiaan dan keteguhan hatinya selama perang besar. Raksadana sendiri merekomendasikan mereka berdua secara pribadi. Setelah berdiskusi singkat, Jagatmarma dan Teksaka menyetujui tawaran tersebut dan disambut hangat oleh Maheswara serta Raksadana ke dalam formasi Dewan Istana Baru—sebuah tim yang dibentuk untuk mendampingi calon raja masa depan.

Usai penunjukan itu, Jagatmarma dan Teksaka melakukan perjalanan ke Paviliun Penyembuhan Gunung Sakala, tempat saudara Jagatmarma, Jagat Arunika dirawat dalam tahanan spiritual. Mereka disambut oleh Kapten Kirana Wismandanta yang dengan setia menjaga dan merawat Jagat Arunika sejak ia pulih dari pengaruh Mahishasura.

Ruangan itu dijaga ketat oleh pasukan khusus Mandalagiri serta anggota Divisi Panggrahita Aji dari Guild Bayu Geni. Di dalam, Jagat Arunika duduk diam di tempat tidurnya. Wajahnya tampak tirus, matanya kosong, tubuhnya melemah dan kehilangan semua kekuatan serta kemampuan bicaranya. Meskipun begitu, ketika Jagatmarma memeluknya, seolah ada satu cahaya kecil di dalam hatinya yang menyala samar. Jagat Arunika mungkin tidak mengingat dengan jelas, tapi ia tahu pelukan itu datang dari seseorang yang berarti.

Kirana berdiri diam memperhatikan dengan mata yang nyaris berkaca-kaca. Hatinya terhimpit antara tugas, cinta, dan harapan. Teksaka menunduk pelan, memberi penghormatan, lalu ikut membungkuk di depan Arunika—sebuah tanda damai yang tulus.

Beberapa jam setelahnya, Jagatmarma dan Teksaka berpamitan. Mereka menuruni Paviliun Gunung Sakala perlahan, langit senja menggantung di atas horizon Kota Tirabwana. Kini mereka kembali ke rumah sederhana yang dulu Jagatmarma tempati bersama mendiang Kirwana, ayah angkat Jagatmarma. Rumah yang kecil, namun penuh kenangan dan cita-cita besar.

Dewan baru telah dibentuk. Masa depan Mandalagiri bersiap menyongsong era baru. Dan di balik segala luka dan kehilangan, semesta mulai menjahit kembali harapannya yang sempat robek oleh perang.

Pernikahan Agung Pangeran Mahadarsa dan Ratri Andini

Hari itu, langit Tirabwana seolah turut merayakan. Awan putih bergulung ringan, dan matahari menggantung ramah di angkasa. Alun-alun istana Tirabwana, jantung kehidupan Mandalagiri, disulap menjadi panggung megah pesta kerajaan. Gerbang istana terbuka lebar, mengundang rakyat untuk ikut merayakan hari bersejarah: Pernikahan Pangeran Mahadarsa dan Ratri Andini.

Ribuan rakyat berkumpul. Tenda-tenda besar berwarna emas dan ungu dibentangkan. Harum dupa dan bunga menggema di seluruh penjuru. Di langit, burung-burung pembawa pesan kerajaan dilepaskan, menandakan dimulainya Upacara Agung Rasa dan Janji — ritual sakral kerajaan Mandalagiri yang hanya digunakan dalam pernikahan bangsawan tinggi.

Prosesi Ritual Pernikahan

Prosesi dimulai saat Ratri Andini berjalan dari sisi barat alun-alun, didampingi lima wanita bangsawan muda berpakaian lembut, melambangkan lima arah rasa: kasih, kesetiaan, keberanian, keikhlasan, dan pengorbanan. Ia tampak anggun, mengenakan Kain Gagrak Kencana, pakaian istana berwarna putih gading keemasan, dengan rambut panjangnya dihiasi untaian bunga mawar ungu, lambang cinta dan pengampunan.

Di sisi lain, Pangeran Mahadarsa berjalan dengan iringan pasukan dagang kehormatan, membawa Busur Sembrani di punggungnya, mengenakan jubah hitam emas dengan lambang Roda Kereta Kencana menyala di dada kiri. Ia tampak gagah, penuh percaya diri, namun senyum di wajahnya menunjukkan cinta yang tulus.

Mereka bertemu di tengah altar suci berbentuk lingkaran emas dengan relief simbol tiga alam (langit–bumi–jiwa), dikelilingi nyala lilin sihir warna-warni.

Kemudian, Sri Maharaja Darmawijaya naik ke panggung utama dan memimpin doa agung. Di hadapan rakyat dan para dewa langit, beliau membacakan kutukan masa lalu Mahadarsa—yang sempat menyombongkan darah bangsawan—dan mengangkatnya kembali sebagai lelaki yang kini memilih cinta, bukan garis keturunan. Suara beliau menggema:

“Hari ini bukan hanya penyatuan dua insan, tapi penyatuan keberanian dan pengampunan… penyatuan darah dan tanah…”

Setelah itu, ritual Panah Janji dimulai. Mahadarsa dan Ratri secara bersamaan menarik tali busur dan melepaskan dua anak panah ke langit. Anak panah itu meledak menjadi bunga api berwarna hijau dan merah muda, menandakan kesatuan takdir mereka diterima oleh Langit Mandalagiri.

Lalu, Ratri menyematkan gelang perunggu berukir nama Mahadarsa di lengan kiri sang Pangeran, dan Mahadarsa menyematkan kalung akar sihir Suraksa Wangi ke leher Ratri—pengikat energi yang akan melindungi jiwa pasangannya seumur hidup.

Para Tamu Kehormatan

Di barisan kehormatan, para anggota Guild Bayu Geni hadir dengan pakaian resmi kebesaran, dihiasi jubah tipis khas divisi mereka di pimpin oleh pemimpin guild Pradipa Karna. Jasana Mandira duduk berdampingan dengan Doyantra Puspaloka, Mahadewa Rakunti, Kirana Wismandanta, dan Kalandra Wisanggeni.

Pratiwi, Darsa, Nandika, Bagas, Surya, Brahma, dan anggota muda lain tampak tersenyum gembira. Bahkan Wigra dan Zadran berdiskusi ringan soal jalannya ritual, sementara Kirta dan Rakha sibuk mengamati formasi simbol di altar sihir.

Maheswara, berdiri bersama Permaisuri Kirana Anindita dan putri kecil mereka Puteri Lintang Jayaswari, tampak anggun dan tenang. Di sisi keluarga raja, hadir pula Pangeran Aryasatya, Raden Ayu Sitalaksmi, dan Aditya Yudhanagara. Di antara mereka, Cathrine van der Lindt dan Lutfayana Dra'vetha tampak memukau. Dua istri Jasana berdiri anggun dengan anak-anak kecil mereka, Raviendra dan Ishvara, menyaksikan upacara dengan penuh rasa haru.

Sementara itu, Raksadana, Jagatmarma, dan Teksaka tampak berdiri di sisi dewan istana. Teksaka, yang menganggap Ratri seperti adik sendiri, menunduk dengan mata berkaca-kaca, dan berbisik padanya saat momen selamat:

“Dulu Kalian saling tikam. Sekarang… kau tikam hati-nya dengan Cinta.”

Jagatmarma tertawa lebar, “Akhirnya ada juga bangsawan bodoh yang cukup waras untuk memilih perempuan pemberani.”

Pesta Rakyat Mandalagiri

Usai prosesi, lonceng kemenangan berdentang sembilan kali, menandakan berakhirnya upacara sakral. Pintu gerbang istana dibuka sepenuhnya, rakyat berduyun-duyun masuk menikmati pesta terbuka. Makanan berlimpah disediakan: nasi rempah surya, sup akar langit, ikan bakar dari Laut Selatan, hingga manisan buah langka Sundhala.

Hiburan digelar: tari roh dari suku Wulu, pertunjukan cahaya oleh para penyihir muda, musik bambu ghaib dari tanah Pawana, serta parade Burung Agni hasil sihir Mahadewa Rakunti.

Di sudut panggung, Ratri Andini dan Pangeran Mahadarsa menari bersama. Tak ada lagi dendam. Tak ada lagi darah. Hanya cinta yang tumbuh dari medan perang dan mekar dalam damai.

Penutup Bab

Sementara malam mulai turun, dan lentera langit dinyalakan oleh anak-anak kecil Mandalagiri, suara narator terdengar lirih:

“Dan malam itu… sejarah Mandalagiri mencatat satu hari di mana cinta tak memandang derajat, keberanian tak lahir dari darah, dan masa depan disulam bersama dari luka-luka lama. Pangeran Mahadarsa dan Ratri Andini, dua jiwa yang dahulu saling membunuh, kini berdiri dalam satu ikrar… dan Mandalagiri bersorak dalam bahagia.”

Bab ditutup dengan gambar Pangeran Mahadarsa dan Ratri berdiri di altar, diiringi nyala lentera yang naik ke langit, membawa harapan baru bagi kerajaan Mandalagiri.

Jejak Langkah Para Pewaris

Setelah kemeriahan pernikahan Pangeran Mahadarsa dan Ratri Andini usai, suasana Mandalagiri perlahan kembali normal. Namun, bagi sebagian keluarga bangsawan dan petinggi kerajaan, lembaran baru telah terbuka—dan bukan di medan perang atau ruang dewan istana... melainkan di halaman pendidikan.

Hari itu, langit di atas Distrik Pendidikan Tirabwana begitu cerah. Burung-burung terbang rendah menyambut pagi, dan denting lonceng dari menara pusat Akademi Militer Tirabwana menggema di seluruh wilayah.

Akademi ini kini berdiri megah pasca renovasi besar-besaran. Bentuknya menyerupai tapak naga lima jari, berdiri kokoh dengan lima lantai dan aula pusat di tengah. Di sisi barat, asrama perempuan, elegan namun tegas. Di sisi timur, asrama laki-laki, kokoh dan maskulin. Di sekelilingnya tumbuh hutan-hutan kecil, lapangan latihan berundak, kolam refleksi jiwa, serta ruang baca berdinding kaca tempat anak-anak belajar sejarah Mandalagiri dan filosofi para leluhur.

Hari itu adalah hari pertama masuk bagi murid baru usia 7–8 tahun.

Kereta kencana dari arah utara mendekat dengan pengawalan simbolik pasukan istana. Di dalamnya, Pangeran Aryasatya duduk berdampingan dengan Raden Ayu Sitalaksmi. Di antara mereka, duduk tenang namun gugup, Aditya Yudhanagara—anak laki-laki yang akan memulai babak baru dalam hidupnya.

“Kau siap, Yudha?” tanya Aryasatya lembut.

Anak itu mengangguk kecil, menatap akademi yang menjulang di depan matanya.

“Aku tidak akan membuat malu Ayah dan Ibu,” jawabnya lirih tapi mantap.

Kereta mereka berhenti di pelataran masuk. Denting genderang kehormatan berbunyi, dan para pengajar akademi berdiri berbaris menyambut. Para murid dan orang tua yang lain ikut menunduk memberi hormat—karena yang tiba adalah keluarga bangsawan kerajaan.

Tidak lama berselang, kereta kencana kedua berhenti. Dari dalamnya turun Pangeran Mahkota Maheswara, didampingi Ratu Kirana Anindita—istrinya yang anggun berselendang merah keemasaan. Di tengah mereka menggandeng Puteri Lintang Jayaswari, seorang gadis kecil dengan rambut hitam keperakan dan mata tajam seperti ayahnya.

Jayaswari dan Aditya berpapasan di tangga utama akademi. Mereka saling menatap, lalu tersenyum kecil. Keduanya belum mengerti benar arti nama besar di belakang mereka, namun hati mereka saling tahu: mereka adalah dua anak bangsawan yang akan memulai jejak langkah di dunia yang keras ini.

Di sisi aula utama, dua pria berdiri bersebelahan—Aryasatya dan Maheswara. Dahulu mereka dipisahkan oleh warisan takhta dan kebanggaan, kini mereka berbincang ringan seperti saudara kandung.

“Kukira Jayaswari akan menangis,” canda Aryasatya.“Justru dia yang menenangkan kami berdua semalam,” jawab Maheswara sambil tertawa.“Aditya sedikit gugup tadi. Tapi anak itu... punya mata seperti ibunya. Kuat.”“Dan hati seperti ayahnya. Tulus.”

Di kejauhan, Ratu Kirana dan Raden Ayu Sitalaksmi berdiri bersama, berbicara hangat tentang anak-anak mereka, membahas makanan asrama, jadwal pelatihan, dan pelajaran filsafat yang akan diajarkan minggu pertama.

Pembukaan tahun ajaran baru dimulai di aula utama. Kepala Akademi—Mpu Ranjayana, pria tua dengan jubah biru kebiruan dan suara berat berwibawa—membacakan sambutan.

“Anak-anak Mandalagiri...Hari ini kalian bukan lagi sekadar putra-putri keluarga kalian.Mulai hari ini, darah kalian akan diuji.Jiwa kalian akan dibentuk.Dan tekad kalian... akan memahat nasib negeri ini.”

Dari barisan depan, Aditya Yudhanagara dan Lintang Jayaswari mendengarkan dengan khusyuk. Sekeliling mereka, ratusan anak-anak dari berbagai penjuru Mandalagiri—anak bangsawan, prajurit, pedagang, hingga rakyat biasa—berdiri dalam barisan yang sama. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, semua duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Malam pertama di asrama, Aditya duduk di atas tempat tidurnya. Ia memandang langit-langit batu yang dihiasi pola naga emas. Di kamar asrama putra, suara kecil mulai terdengar: bisikan rindu, tawa gugup, dan harapan.

Di sisi lain, di asrama putri, Lintang Jayaswari tengah menulis catatan kecil di buku hariannya.

“Hari ini aku mulai petualangan baruku.Ayah dan Ibu bilang, aku harus kuat dan tidak boleh menangis.Tapi aku rasa… aku tidak sendiri.Ada Aditya juga.”

Di luar bangunan, angin lembut berhembus dari sisi timur. Matahari mulai tenggelam, dan sinar terakhirnya menyinari patung naga besar di pelataran akademi.

Dan di tengah bayang-bayang malam pertama itu, lahirlah harapan baru untuk masa depan Mandalagiri.Harapan itu bernama generasi baru.

Ruang Riset Divisi Rasa Prawira – Guild Bayu Geni

Sore di Guild Bayu Geni mulai merayap senyap, namun ruang riset Divisi Rasa Prawira tetap terang oleh nyala lampu kristal sihir berwarna ungu kebiruan yang menggantung di langit-langit. Tumpukan manuskrip tua, gulungan sihir, dan cawan batu penuh tinta mistik memenuhi meja kerja utama. Di baliknya, Kapten Mahadewa Rakunti berdiri sambil menelusuri sebuah kitab kuno bertuliskan mantra pemurnian jiwa dalam bahasa purba.

Sementara itu, di sebelahnya, Sekar Yudhawati dengan wajah serius mengaduk cairan biru di dalam bejana kaca menggunakan tongkat rune kecil. Uap air menari pelan dari cairan tersebut, membentuk simbol-simbol sihir yang samar.

Mahadewa meliriknya sesekali, namun Sekar tetap fokus. Ia mengagumi ketenangan gadis muda itu. Mata tajamnya seperti membaca seluruh ruangan, dan jemarinya seolah menari bersama sihir air.

Mahadewa (tersenyum ringan):“Kau tahu... sebagian besar penyihir muda akan panik jika bereksperimen dengan uap astral tanpa pelindung. Tapi kau tampak tenang seperti danau yang tak terusik.”

Sekar (masih menatap bejana, tanpa melihat):“Air tak menyukai kegelisahan. Ia akan memantulkan apa yang ada di dalam hati kita. Kalau aku panik... cairan ini bisa berubah jadi racun.”

Mahadewa (menarik napas):“Jawaban yang indah. Kadang aku lupa, bahwa ilmu sihir bukan sekadar penguasaan elemen, tapi juga pengendalian diri.”

Sekar mengangguk pelan, lalu menatapnya.

Sekar:“Kapten... mengapa sihir-sihir di Divisi Rasa Prawira terasa berbeda dibanding yang diajarkan di tempat lain?”

Mahadewa (berjalan mendekat, mengarahkan jari ke simbol-simbol di udara):“Karena di sini, sihir bukan alat. Ia adalah sahabat. Roh-roh di sekitar kita tidak bisa diperintah—mereka hanya mau bekerja sama jika kita bersedia mendengar.”

Sekar (pelan):“Maka tak heran... kau selalu mendengarkan semua anggota dengan sabar... bahkan aku... meski aku pernah menjadi mata-mata.”

Mahadewa menatap Sekar lama. Sorot matanya tak menghakimi—melainkan lembut, seperti sedang membaca isi hati gadis itu. Ia perlahan duduk di sebelah Sekar, bahunya menyentuh sedikit sisi lengan gadis muda itu.

Mahadewa:“Kau tidak hanya pernah menjadi mata-mata. Kau juga kini jadi salah satu penyihir paling menjanjikan di divisi ini. Aku tak menyesal menerimamu.”

Sekar (suara sedikit bergetar, namun tak menatap):“Lalu... kalau aku suatu hari hilang kendali, kau masih akan tetap mempercayai aku...?”

Mahadewa (dengan suara rendah dan dalam):“Aku akan tetap di sini. Seperti air dan kelelawar. Berbeda, tapi bisa menyatu dalam kabut.”

Sekar akhirnya menatapnya. Wajahnya tampak sedikit bergetar—bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih halus dan membingungkan. Sesuatu yang menari-nari di antara keheningan mereka. Senyumnya muncul perlahan, tak begitu lebar, tapi cukup untuk membuat Mahadewa membisu.

Beberapa detik berlalu dalam diam.

Di luar ruangan, suara anak-anak divisi rasa prawira terdengar tertawa—namun di dalam ruangan riset itu, waktu seolah melambat.

Sekar:“Apa... kau selalu memandang semua anggotamu seperti ini...?”

Mahadewa (menoleh perlahan):“Tidak. Hanya kau, Sekar.”

Keduanya saling bertatapan. Di antara gulungan mantra dan aroma tinta sihir, benih cinta itu tak lagi sekadar ilusi—ia menjadi nyata, walau belum terucap sepenuhnya.

Dan di tengah hening, sekelompok kelelawar ungu berputar lembut di langit-langit... seperti tahu bahwa sang tuan hatinya mulai takluk—bukan oleh sihir, tapi oleh perasaan yang tumbuh diam-diam.

“Senja di Rinjung Langit dan Fajar di Tirabwana”

Makam Pahlawan Rinjung Langit, Senja Mendung

Langit berwarna kelabu tua saat rombongan Guild Bayu Geni tiba di kompleks Makam Pahlawan Rinjung Langit, sebuah tempat yang dijadikan kawasan suci sebagai pengingat para pahlawan yang gugur dalam perang besar tirabwana yang terletak di puncak bukit kecil berhutan pinus, menghadap ke Arah Tirabwana. Angin berhembus pelan, membawa aroma dupa dan bunga kamandalu.

Semua anggota guild mengenakan pakaian hitam berkabung, termasuk para kapten divisi dan pemimpin utama. Deretan nama yang terpahat di batu nisan batu obsidian bersinar samar oleh cahaya lilin-lilin sihir yang ditempatkan rapi di sepanjang jalan masuk.

Pradipa Karna, pemimpin guild, berdiri di tengah barisan. Ia tak lagi mengenakan mantel megah Raka Lelana, hanya pakaian gelap sederhana dan sebuah pedang tua di punggungnya. Wajahnya menyimpan luka yang tak terlihat: 40 anggota Guild Bayu Geni gugur dalam perang besar Tirabwana.

Ia memulai doa dengan suara tegas namun penuh haru:

“Wahai jiwa-jiwa yang beristirahat di bawah Rinjung Langit... kami datang bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk mengucap terima kasih atas keberanian yang tak dapat dibayar oleh dunia.”

Semua kepala menunduk.Terdengar isakan pelan dari beberapa anggota. Di antara barisan, Darsa Nagawikrama menggenggam sabuk kemenangan turnamen tahun lalu, mengenangnya sebagai pengingat bahwa gelar juara tahun ini tak akan diperebutkan, demi menghormati yang gugur.

Bagas, Nandika, Kirta, Brahma, Surya, Rakha, Pratiwi, Larasmi, Wigra, Zadran, Nenden Ayu, Wira Raksadana, hingga Sekar Yudhawati berdiri dengan khidmat. Mereka semua menyadari: kemenangan sejati bukan hanya di medan laga, tapi saat seseorang mengorbankan dirinya demi terang bagi yang lain.

Kapten Mahadewa Rakunti memejamkan mata, membisikkan mantra pemurnian jiwa. Di sebelahnya, Kirana Wismadanta merapal doa perlindungan arwah. Kalandra Wisanggeni berdiri tanpa berkata-kata, matanya tajam memandang jauh ke nisan-nisan berjajar begitupun dengan Doyantra Puspaloka dan Jasana Mandira yang berada di barisan para Kapten.

Seluruh prosesi berlangsung hening, sampai kemudian Pradipa Karna mengakhiri dengan kalimat:

“Dan untuk mereka yang tertinggal... teruskanlah cahaya. Karena hanya cahaya yang bisa menghancurkan sisa-sisa bayangan.”

Istana Tirabwana, Menjelang Fajar

Sementara itu, di Istana Tirabwana, suasana kontras terasa. Kehidupan bangkit kembali. Persiapan penobatan Pangeran Mahkota Maheswara sebagai Sri Maharaja Maheswara tengah mencapai puncaknya.

Pelayan istana berlari-lari kecil, menyiapkan peralatan upacara, merapikan karpet kain sutra merah darah, dan menggantungkan ribuan bendera kerajaan Mandalagiri di seluruh penjuru kota.

Ratu Kirana Anindita, calon permaisuri, memeriksa pakaian penobatan suaminya yang penuh dengan sulaman rajawali api — simbol Khodam “Sambara Geni” yang menemani Maheswara sejak muda. Di luar balkon, penduduk Kota Tirabwana bersorak, menanti pemimpin baru mereka dengan harapan yang menyala-nyala.

“Mandala yang gelap telah berlalu,” bisik seorang pedagang tua di pasar besar.“Kini saatnya Mandalagiri punya Raja Muda yang tegas... tapi berhati rakyat,” jawab seorang wanita tua menjual bunga upacara.

Scene Penutup

Kamera imajiner cerita melayang dari hiruk pikuk Tirabwana, naik ke langit, lalu kembali turun ke Makam Pahlawan Rinjung Langit.

Di sana, batu-batu nisan masih berdiri diam.

Namun di ujung barisan, seorang anggota Guild Bayu Geni muda, anggota baru dari Divisi Panggrahita Aji, menancapkan sebilah pedang kayu ke tanah di depan nisan tak bernama. Di gagangnya tertulis:

“Untuk Yang Gugur, Tapi Tidak Pernah Padam.”

Narasi Penutup:

“Delapan tahun bayang-bayang telah berlalu.Kini, terang mulai menyapu tirai langit Mandalagiri.Namun cahaya sejati bukan hanya di takhta...Tapi di dada setiap jiwa yang memilih berdiri,meski harus kehilangan segalanya.”

PENOBATAN CAHAYA BARU — SRI MAHARAJA MAHESWARA & PERMAISURI RATU KIRANA ANINDITA

Sudut Pandang: Jasana MandiraLokasi: Istana Tirabwana, Aula Agung Adyaguna Mandalagiri

Langkah-langkah perlahan menggema di lorong utama Istana Tirabwana. Aku berjalan berdampingan dengan Cathrine dan Lutfayana, istriku, yang masing-masing menggandeng Raviendra dan Ishvara. Kami melangkah perlahan menuju Aula Agung Adyaguna, tempat upacara penobatan Raja Mandalagiri akan dilaksanakan. Bangunan itu megah, beratap emas kehitaman dan dihiasi pilar-pilar batu pualam berukir lambang naga bersayap api.

Hari ini bukan hanya hari sejarah bagi negeri, tapi juga bagiku sebagai bagian dari keluarga kerajaan—menantu tidak resmi Sri Maharaja Darmawijaya, melalui darah Cathrine.

Cathrine, anggun dalam gaun formal bangsawan Mandalagiri dengan untaian kristal berkilau di rambut putih keperakannya, menatapku sebentar lalu tersenyum.Lutfayana, dengan gaun beludru hitam khas Dra'vetha yang menyatu dengan keanggunan istana, melirik lembut ke arah Mahkota Suci yang bersinar di altar utama.Raviendra, dalam balutan pakaian anak bangsawan, menggenggam tongkat kecilnya dengan wajah penasaran.Dan Ishvara, bayi perempuan mungil dalam pelukan ibunya, tampak tenang meski di tengah keramaian.

Prosesi Adat Penobatan Raja Mandalagiri

Dalam upacara resmi yang sakral ini, Mahkota Dwi-Cahya akan dipasangkan di kepala Maheswara oleh Sri Maharaja Darmawijaya sendiri. Para tamu kehormatan telah duduk di kursi barisan depan:

Raksadana, Ketua Dewan Istana Baru

Jagatmarma dan Teksaka, dua penasihat baru dari Jajaran Dewan Istana

Para Kapten Divisi Guild Bayu Geni, termasuk aku sendiri

Pradipa Karna, Pemimpin Guild

serta Seluruh Anggota Guild Bayu Geni,

Dan para anggota bangsawan, menteri, jenderal, dan rakyat terpilih

Di sisi barat aula, duduk Pangeran Aryasatya bersama istrinya, Raden Ayu Sitalaksmi bersama Anak Mereka Aditya Yudhanagara, yang menatap prosesi dengan bangga.Di sisi timur, Pangeran Mahadarsa dan istrinya Ratri Andini yang menggandeng Anak Maheswara Puteri Lintang Jayaswari tersenyum lebar — rasa damai kini menggantikan persaingan lama.

Musik gamelan megah dari Orkestra Istana Mandalagiri menggema perlahan, menandai awal prosesi. Lalu, pintu utama terbuka lebar.

Masuknya Pangeran Mahkota Maheswara dan Ratu Kirana Anindita

Maheswara, tampak gagah dalam balutan jubah putih emas dengan sabuk naga api menyala samar, melangkah perlahan menuju altar. Di punggungnya tergantung Pedang Arka Wijaya dan Keris Aswanir Lodra, dua lambang kekuatan dan penderitaan.

Di sampingnya, Ratu Kirana Anindita melangkah anggun. Gaun permaisurinya berwarna merah darah dengan sulaman emas berbentuk bunga api. Mahkota kecil menghiasi rambutnya yang tersanggul elegan. Mata mereka berdua tenang dan tegas—pasangan yang siap memimpin.

Langkah mereka disambut dengan tabuhan gong agung tiga kali, dilanjutkan oleh suara tinggi Pendeta Istana, memulai mantra dan doa kerajaan.

Pendeta:"Dengan Cahaya Agung yang turun dari Arunika Langit, dengan restu Para Leluhur Mandalagiri dan Suara Hati Rakyat... Maka hari ini, kita saksikan lahirnya Cahaya Baru untuk Negeri ini."

Sri Maharaja Darmawijaya, tampak lebih tua namun tetap gagah, berdiri dari singgasananya, berjalan mendekati Maheswara.

Ia memegang Mahkota Dwi-Cahya, simbol kekuasaan Mandalagiri yang dahulu hanya dikenakan oleh Raja tertinggi. Mahkota itu terbuat dari logam suci merah keemasan, dihiasi mata naga biru yang menyala dari dalam.

Dengan kedua tangan, Sri Maharaja meletakkan mahkota itu perlahan di atas kepala Maheswara.

Sri Maharaja Darmawijaya:"Wahai putraku Maheswara, mulai hari ini... dengan ini aku nobatkan kau sebagai Sri Maharaja Maheswara, Penguasa Mandalagiri yang Sah. Bimbinglah negeri ini dengan Cahaya, bukan dengan Bayangan.”

Maheswara menunduk, lalu berlutut, bersumpah di depan altar naga bersayap:

Sri Maharaja Maheswara:"Demi Negeri Mandalagiri, demi rakyat, demi seluruh ras yang bernaung di bawah langit ini... Aku bersumpah akan menegakkan keadilan, menyayangi tanah ini seperti ibu sendiri, dan tidak akan tunduk pada kegelapan, seberapapun besar kekuatannya.”

Suara tabuh bertalu. Rakyat dan bangsawan berdiri. Sri Maharaja Maheswara pun berdiri gagah dan memalingkan wajah ke arah seluruh rakyatnya.

Penobatan Ratu Kirana Anindita

Pendeta Istana menyerahkan Mahkota Permaisuri Cahaya, kemudian diserahkan oleh Maheswara sendiri ke kepala Kirana Anindita.

"Dan kau, Ratu Kirana Anindita, hari ini resmi bergelar Permaisuri Mandalagiri, pendamping cahaya kerajaan ini, penjaga hati rakyat, dan penuntun generasi berikutnya.”

Sontak aula bergemuruh tepuk tangan. Bahkan Raviendra pun ikut bertepuk tangan meski belum mengerti apa yang terjadi.

Aku menoleh pada Cathrine dan Lutfayana yang keduanya tampak haru. Ishvara tertidur di pelukan ibunya. Di hatiku, aku tahu: ini adalah awal dari babak baru Mandalagiri.

Penutupan: Pesta Malam Mandalagiri

Setelah upacara penobatan, Pelataran Istana dibuka untuk umum. Ribuan warga Mandalagiri datang dari penjuru negeri, mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa makanan, lilin-lilin doa, dan suara sorak penuh harapan.

Pesta malam dipenuhi:

Tarian suku-suku selatan dan utara

Penampilan sihir cahaya oleh anggota Divisi Rasa Prawira

Duel silat oleh murid-murid Panggrahita Aji

Parade naga api dan kilatan cahaya

Di sudut istana, aku berdiri bersama keluargaku menyaksikan kembang api spiritual meledak perlahan di langit Mandalagiri, membentuk naga emas dan rajawali api — simbol dari kerajaan baru.

Narasi Penutup Bab:

"Dulu langit Mandalagiri dipenuhi kabut dan bayangan,Kini, satu cahaya bangkit dari tengah rakyatnya...Sri Maharaja Maheswara dan Permaisuri Ratu Kirana Anindita,menjadi harapan baru dari tanah yang pernah berdarah."

EPILOG – BAJA TANPA TAKDIR

Angin malam Tirabwana bertiup lembut dari arah utara, membawa harum dupa dan rempah pesta dari pelataran istana. Aku berdiri di atas balkon timur, mengenakan jubah panjang bangsawan, memeluk Raviendra yang tertidur di dadaku, sementara Cathrine dan Lutfayana berdiri di sampingku, Lutfayana menggendong Ishvara dan saling bersandar dalam keheningan yang damai.

Langit di atas Mandalagiri meledak dengan warna-warna—kembang api sihir menjulur seperti cabang cahaya, membentuk rajawali api, naga bersayap, dan simbol matahari bersinar. Tiap letupan seolah menuliskan puisi di langit—tentang perjuangan, pengorbanan, dan harapan baru yang kini mekar di bawah bintang-bintang.

Aku memandang ke bawah, ke hamparan rakyat yang bersorak dan menari, lalu ke langit yang dulu hanya bisa kupandangi dari balik pohon Kalabumi saat aku hanyalah bocah tanpa nama, tanpa takdir, tanpa guru.

Kini aku berdiri di sini—bukan karena darah, bukan karena ramalan. Tapi karena pilihan.

Aku bukan anak takdir. Aku adalah baja.Dibakar oleh kehendak.Ditempa oleh luka.Dibentuk oleh waktu.Dan diasah oleh keyakinan.

Segala yang kupijak hari ini bukan hadiah, tapi hasil.Dan jika dunia ini mencoba menuliskan takdir untukku—maka aku telah mencoretnya, dan menuliskannya ulang dengan pedangku sendiri.

Aku menatap langit sekali lagi, lalu berbisik lirih pada diriku sendiri:

“Aku adalah baja… tanpa takdir. Dan karena itulah, aku bisa menciptakannya sendiri.”

— TAMAT —BAJA TANPA TAKDIR