Kabut pagi menyelimuti Hutan Virellia seperti selimut tipis yang menjaga rahasia dunia. Suara angin berdesir lembut di antara pepohonan tinggi, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus misterius. Di antara suara alam yang merdu itu, langkah kaki ringan memecah kesunyian.
Seorang pemuda berjalan perlahan menapaki jalan setapak penuh lumut. Bajunya lusuh, sepatunya penuh lumpur, dan pedang pendek tergantung di punggungnya. Namanya Hansyah, pemuda desa yang bertekad keluar dari keterbatasannya. Wajahnya menandakan keteguhan, namun juga kehati-hatian.
"Kristal Roh... katanya bisa menyembuhkan penyakit apa pun," gumamnya pelan. "Kalau aku bisa menemukannya, mungkin ayah bisa..."
Suara ledakan kecil memotong lamunannya. Ia segera merunduk, bersembunyi di balik semak. Dari sela dedaunan, tampak cahaya biru berkedip-kedip.
Tiga makhluk aneh menyerupai kabut padat, bertubuh besar dengan mata ungu menyala, mengepung seorang wanita. Namun wanita itu berdiri dengan tenang, tongkat kristal di tangannya menyala terang. Penampilannya tidak seperti pejuang biasa — ia mengenakan mini dress hitam dengan bagian belakang terbuka, dihiasi kilauan sihir, dan sepatu hak tinggi perak. Rambut panjangnya keperakan, matanya biru tajam.
Dyaan — penyihir bebas dari Akademi Langit, tak takut menghadapi bahaya sendirian.
“Crystallis Impacta!” serunya.
Dua makhluk kabut langsung meledak dalam cahaya biru membeku. Namun makhluk ketiga lebih gesit. Ia menyelinap dari sisi lain dan melompat ke arah Dyaan.
Tanpa berpikir, Hansyah melompat keluar.
"Awas!"
Ia menebas makhluk itu dengan pedangnya. Tebasan itu tidak sempurna, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian si makhluk. Dalam detik berikutnya, Dyaan memanfaatkan celah itu untuk menembakkan sihir es ke kepala musuh.
Makhluk itu hancur menjadi uap.
Hansyah terengah-engah, tangannya gemetar memegang pedang.
Dyaan menatapnya dingin. “Kau siapa?”
“Hansyah… dari Desa Torth. Aku… tidak bermaksud mencampuri.”
Dia menghela napas, menurunkan tongkatnya. “Kau bisa saja mati.”
“Tapi kau hampir diserang dari belakang.”
Diam sesaat. Lalu Dyaan mengangguk ringan. “Kalau begitu... terima kasih.”
Hansyah menatap wanita itu, sedikit gugup. “Dan… siapa kau sebenarnya? Aku belum pernah lihat penyihir seperti… ya, seperti kau.”
“Dyaan. Penyihir bebas dari Akademi Langit.”
Hansyah terdiam sejenak. Nama itu berputar di benaknya. Dyaan... Sebuah nama yang terdengar indah. Lembut dan berkelas, tapi penuh kekuatan tersembunyi. Seolah cocok dengan sosok wanita yang berdiri di depannya.
“Nama yang cantik,” gumamnya tanpa sadar.
Dyaan melirik. “Lengkapnya, Dyaan Wonderland.”
Hansyah terkejut. “Wonderland... kau pasti dari keluarga sihir kuno.”
Dyaan tidak menjawab, hanya menatapnya dengan penuh tanya. “Dan kau?”
“Hansyah Pendragon.”
Mata Dyaan membelalak sesaat. “Pendragon?”
Hansyah tersenyum samar. “Aku tahu, itu nama tua. Kakekku bilang kami keturunan darah naga. Tapi semua itu tinggal cerita. Klan kami sudah lama punah.”
Dyaan menatapnya lebih lama, seolah mencoba membaca isi jiwanya. “Mungkin tidak sepenuhnya punah.”
Ia berjalan melewatinya. “Kalau kau mencari Kristal Roh, ikut aku. Aku tahu jalurnya.”
Hansyah ragu sesaat. Tapi ia merasakan sesuatu dari wanita itu kekuatan, misteri, dan... kesepian.
“Aku ikut.”
Dan dari sana, dimulailah perjalanan mereka berdua, di mana sihir dan keberanian akan diuji. Tapi tanpa mereka sadari, di balik kabut dan bahaya... ada kisah yang jauh lebih besar yang sedang menanti mereka.