Pagi hari itu, Hansyah dan Dyaan melanjutkan perjalanan mereka di hutan yang masih diselimuti kabut. Setiap langkah mereka terasa semakin dalam ke dalam dunia yang tidak mereka kenal — dunia yang penuh dengan rahasia, makhluk-makhluk ajaib, dan sihir yang kuat. Kabut seolah menyembunyikan segalanya, namun Dyaan berjalan dengan percaya diri, seolah hutan ini sudah menjadi rumahnya.
“Dyaan, bagaimana kamu tahu jalan ini?” tanya Hansyah, berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Mereka sudah berjalan berjam-jam, dan semakin jauh mereka pergi, semakin asing tempat ini.
Dyaan tidak menoleh, hanya menjawab dengan suara datar. “Aku sudah banyak berkelana, Hansyah. Dunia ini punya banyak jalur tersembunyi, dan kadang kita hanya perlu mengikuti aliran sihir yang ada.”
Hansyah menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Aku hanya seorang pemuda biasa dari desa. Semua ini terlalu baru untukku.”
Dyaan berhenti sejenak dan menatap ke arah Hansyah. “Kau bukan pemuda biasa. Hanya saja, kau belum menyadari kekuatanmu.”
Hansyah tercengang. “Kekuatan? Apa maksudmu?”
Dyaan mengangkat bahu dan kembali melangkah. “Semua orang memiliki potensi tersembunyi. Kekuatan terpendam yang menunggu saat yang tepat untuk muncul. Kau hanya perlu belajar bagaimana membangunkannya.”
Hansyah mengikuti langkah Dyaan, pikirannya dipenuhi kebingungan. Ia merasa dirinya biasa saja — tidak lebih dari seorang petani yang berjuang mencari cara untuk mengubah nasib keluarganya. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata Dyaan yang membuatnya merasa bahwa dirinya mungkin lebih dari yang ia kira.
Perjalanan mereka berlanjut lebih dalam ke hutan. Pohon-pohon tinggi yang menjulang seakan menutup langit, membuat mereka berjalan dalam bayang-bayang. Udara semakin lembab, dan suara langkah kaki mereka terdengar serupa dengan langkah-langkah makhluk lain yang tampaknya mengikuti.
Tiba-tiba, sebuah suara bergema di udara.
“Siapa yang berani masuk ke wilayahku?”
Suara itu datang dari dalam kabut, keras dan menakutkan. Hansyah segera memegang pedangnya, sementara Dyaan menatap dengan tajam ke arah suara itu.
Dua mata merah menyala muncul dari dalam kabut, diikuti oleh sosok besar yang muncul perlahan. Itu adalah seekor serigala raksasa dengan bulu hitam mengkilap dan taring yang tajam, seakan siap menerkam. Tubuhnya hampir sebesar pohon, dan langkahnya mengguncang tanah.
“Makhluk itu… sangat kuat,” kata Dyaan dengan tenang, meskipun dalam hatinya, ia merasakan ancaman besar. “Ini bukan musuh yang bisa kita hadapi begitu saja.”
Hansyah melangkah maju dengan tekad. “Aku tidak akan mundur begitu saja.”
Dyaan menarik napas panjang. “Kau tidak bisa melawannya dengan kekuatan biasa. Sihirku sudah lemah setelah tadi. Tapi kau… kau harus melindungi dirimu.”
Serigala raksasa itu mendekat dengan kecepatan luar biasa, taringnya mengarah ke arah mereka. Hansyah melompat ke samping, menghindari serangan pertama yang begitu cepat.
Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat pedangnya dan menyerang makhluk itu, berharap bisa menahan serangannya. Namun, pedangnya hanya membentur lapisan tebal kulit serigala itu tanpa memberi efek berarti.
Dyaan melangkah maju dengan gerakan anggun, tangan kanannya memegang tongkat kristal. “Aether Storm!” teriaknya, melepaskan serangan sihir angin yang kuat ke arah serigala.
Namun serangan itu hanya membuat makhluk itu sedikit terhuyung. Hansyah merasa kekuatan sihir Dyaan mulai menipis, dan ia tahu mereka harus bertindak cepat.
Dyaan menatap Hansyah dan memberi isyarat untuk mundur. “Kita tidak bisa mengalahkannya dengan cara ini. Kita harus mencari cara untuk memanfaatkan kelemahannya.”
Mereka mundur perlahan, menuju sebuah celah kecil di antara pepohonan, sementara serigala itu mengikuti mereka dengan langkah penuh ancaman. Hansyah mulai merasa panik. Ia tidak pernah merasa begitu tidak berdaya sebelumnya.
Namun, saat itulah sebuah ide muncul di benaknya. “Dyaan, apa kau bisa memanipulasi sihir angin untuk… menghentikan gerakannya?”
Dyaan mengangguk. “Aku bisa, tapi itu akan membutuhkan kekuatan yang lebih besar. Kita harus memanfaatkan medan ini.”
Hansyah mengangkat pedangnya lagi, dan kali ini, dengan tekad yang lebih kuat, ia menghadapi serigala raksasa itu. “Berikan aku kesempatan, Dyaan.”
Dyaan melihat Hansyah sejenak, dan dalam matanya, ada sesuatu yang sulit dijelaskan — keyakinan.
Serigala itu menyerang lagi, kali ini lebih cepat. Hansyah mengayunkan pedangnya dengan gerakan yang lebih terarah, memotong udara dan menciptakan aliran energi yang menambah kekuatan serangannya. Tiba-tiba, pedangnya mengeluarkan cahaya merah, sebuah kekuatan yang tidak ia sadari sebelumnya, mengarah langsung ke serigala.
Makhluk itu terhuyung mundur, berteriak kesakitan. Dyaan segera menggunakan sihir anginnya untuk menambah kekuatan serangan Hansyah, memaksa serigala itu mundur sepenuhnya.
Serigala raksasa itu, yang sebelumnya tampak tak terkalahkan, akhirnya melarikan diri ke dalam kabut, menghilang begitu saja.
Hansyah terengah-engah, merasa lelah dan bingung. “Apa yang terjadi? Kenapa pedangku bisa…”
Dyaan menatap pedang Hansyah dengan mata penuh keheranan. “Itu… bukan kekuatan biasa. Itu kekuatan yang terpendam dalam dirimu. Sesuatu yang lebih besar daripada yang kau sadari.”
Hansyah menurunkan pedangnya, masih kebingungan. “Apa yang maksudmu? Aku tidak mengerti.”
Dyaan hanya tersenyum samar, namun dalam senyumnya, ada sesuatu yang memberi harapan. “Kau belum siap untuk tahu lebih banyak, Hansyah. Tapi kita akan menemukannya bersama.”
Mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka, tetapi Hansyah kini tidak hanya membawa pedangnya — ia membawa harapan baru, dan rasa ingin tahu yang membara akan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya.