—
Setelah bel masuk berbunyi, suara obrolan di luar kelas mulai mereda. Murid-murid yang semula berkerumun di koridor kini masuk ke ruang kelas masing-masing. Suasana di depan kelas 1-A—kelas unggulan sementara yang dibentuk secara acak—cukup ramai, namun segera mereda begitu guru mereka masuk ke ruangan.
Di dalam kelas, Hikari duduk di kursinya dengan tubuh tegak namun ekspresi sedikit kesal. Ia masih duduk berdampingan dengan Renji Arata, yang tampak santai bersandar di kursinya.
“Hikari,” panggil Renji dengan nada ringan. “Kelihatannya kau belum berubah, ya?”
Hikari menoleh dengan mata menyipit. “Maksudmu?”
“Cepat tersinggung, tapi tetap ranking dua. Habis manis sepahit galak,” goda Renji sambil nyengir.
“T-tidak lucu!” Hikari memalingkan wajah, pipinya memerah sedikit. “Dan siapa juga yang ranking dua? Itu karena kau selalu curang entah bagaimana caranya!”
“Padahal kau juga belajar sampai larut malam, kan?” Renji menjawab sambil tertawa kecil.
Hikari mengerutkan kening, hendak menjawab, namun percakapan mereka terhenti saat pintu kelas terbuka.
Seorang guru pria berwajah ramah dan mengenakan jas abu-abu masuk sambil membawa map besar. Ia berdiri di depan papan tulis dan tersenyum pada seluruh murid.
“Selamat pagi, semuanya.”
“Selamat pagi!” seluruh siswa langsung berdiri dan menjawab serempak, mengikuti etika khas sekolah Jepang.
Setelah mempersilakan duduk, guru itu membuka mapnya. “Perkenalkan, namaku Fujimoto Kenta. Aku akan menjadi wali kelas kalian untuk hari ini.”
Bisik-bisik langsung terdengar dari bangku belakang.
“Hari ini saja?”
“Kenapa cuma satu hari?”
Pak Fujimoto tersenyum, lalu menjelaskan, “Seperti yang sudah kalian dengar saat orientasi, kelas yang kalian tempati saat ini hanyalah kelas acak. Hari ini kalian akan mengikuti tes pembagian kelas tetap.”
“Eh!? Hari ini langsung tes?” Seisi kelas langsung ribut.
Pak Fujimoto mengangguk. “Betul. Setelah perkenalan ini selesai, kalian akan langsung mengikuti tes akademik. Setelah makan siang nanti, kita lanjut ke tes kemampuan logika dan refleks di gedung olahraga.”
Suasana kelas menjadi gaduh. Beberapa siswa mulai panik, sementara yang lain terdengar mengeluh.
“Gila, nggak dikasih napas dulu?”
“Aku belum siap!”
“Baru aja duduk!”
Renji terkekeh pelan dan melirik Hikari, yang justru duduk dengan tenang dan tampak fokus mendengarkan penjelasan guru.
“Kau serius banget, ya?” bisiknya. “Padahal baru pengumuman.”
Hikari melirik ke arahnya. “Aku sudah baca info ini di brosur masuk. Lagipula, aku tidak ingin membuang waktu di kelas yang bukan seharusnya.”
“Ambisius,” komentar Renji sambil tersenyum tipis. “Kukira kau akan gugup seperti yang lain.”
Hikari mengangkat alis. “Kenapa harus gugup? Tes akademik itu… hanya soal memahami. Bukankah begitu?”
Pak Fujimoto kembali mengangkat suaranya, “Tes akademik ini terdiri dari lima mata pelajaran: Matematika, Bahasa Jepang, Sains, Bahasa Inggris, dan Sejarah. Kalian akan diberi waktu total dua jam. Setelah itu istirahat makan siang. Kemudian kita lanjut ke tes logika dan refleks.”
Seisi kelas langsung mengeluh bersamaan.
“Dua jam?!”
“Lima mapel langsung?!”
“Kejam banget sistemnya!”
Namun di tengah suara keluhan itu, Hikari justru tersenyum tipis. Ia mengambil bolpoin dari tempat pensilnya dengan penuh percaya diri.
Renji yang memperhatikannya menyipitkan mata. “Hikari... kau kelihatan bersemangat banget.”
Hikari menoleh. “Tentu saja. Ini kesempatanku untuk menunjukkan—” ia melirik tajam, “—kalau aku bisa mengalahkanmu.”
Renji tertawa kecil. “Aduh, rival lama masih panas, ya?”
Pak Fujimoto mengetuk papan tulis. “Baiklah, bersiaplah semuanya. Panitia akan datang membagikan lembar soal dan jawaban. Jangan tegang. Anggap ini bagian dari perkenalan diri kalian kepada sekolah ini.”
Hikari menarik napas pelan, membenarkan posisi duduknya. Ini adalah awal dari segalanya—dan dia tidak akan kalah.
—
Ruang kelas 1-A terasa sunyi mendadak. Setelah Pak Fujimoto keluar untuk memanggil panitia ujian, suasana berubah menjadi mencekam. Tak ada satu pun siswa yang berani bersuara lebih dari bisikan. Hanya terdengar helaan napas panik dan bunyi-bunyi kecil seperti pensil jatuh atau kertas yang terlipat.
Beberapa siswa tampak menggigit kuku, menatap ke depan dengan pandangan kosong. Yang lain terlihat membolak-balik buku catatan dengan gerakan gugup, berharap menemukan ringkasan instan di menit-menit terakhir.
Di sisi lain, Hikari duduk dengan tenang. Rambut birunya yang sedikit bergelombang dibiarkan jatuh ke bahu, dan tangannya sibuk menulis ulang poin-poin penting di lembar catatannya. Walau sempat gugup tadi pagi, sekarang wajahnya terlihat fokus dan penuh determinasi.
Pak Fujimoto yang kembali masuk sebentar, sempat melirik ke arah Hikari. Ia tersenyum kecil, seolah mengagumi siswi yang tampaknya sudah mempersiapkan diri dengan matang.
Namun, di kursi sebelah...
“Uaaaahhh…” Renji menguap panjang dan lebar sambil mengusap matanya. Ia menyandarkan siku ke meja, lalu menumpukan kepalanya di atas lengannya seperti orang hendak tidur siang.
Hikari melirik kesal. “Kau serius mau tidur di situasi seperti ini?”
Renji menjawab tanpa membuka mata. “Hm? Ya. Aku mengantuk.”
“Astaga…” Hikari mengembuskan napas pelan sambil terus menulis. “Kenapa kau terlihat begitu santai?”
Renji mengangkat satu alis, masih dengan mata terpejam. “Karena aku sudah menghafal semuanya.”
Hikari langsung berhenti menulis. “Hah!?” serunya setengah berbisik. Ia menatap Renji dengan ekspresi tak percaya. “Kau… sudah hafal semua materi?”
“Yup,” jawab Renji ringan.
“Tidak mungkin! Kau bahkan terlihat tidak belajar sama sekali!” bisik Hikari, setengah membentak.
Renji hanya mengangkat bahu. “Aku tidak butuh catatan.”
“Kau pasti begadang main game lagi, ya?” Hikari menatap curiga. “Itu sebabnya kau mengantuk sekarang!”
Renji akhirnya membuka satu matanya dan tersenyum jail. “Wah, kau benar. Tebakanmu luar biasa, Hikari. Pintar seperti biasa.”
“Ugh!” Hikari mendecak kesal, tapi wajahnya sedikit memerah karena tersipu. “Jangan bilang itu seolah-olah pujian!”
“Kalau begitu,” Renji menutup mata lagi, “Bangunkan aku kalau soalnya sudah dibagikan, ya?”
Ia pun benar-benar tertidur—orang lain mengira begitu. Hikari menatapnya tak percaya. Di tengah tekanan yang membuat sebagian besar siswa nyaris panik, cowok ini malah bisa tidur dengan damai.
“Kenapa… kenapa aku selalu kalah dari pemalas seperti dia…?” gumam Hikari pelan, kembali menulis catatannya dengan gerakan cepat. Alisnya sedikit berkerut, namun mulutnya mengulas senyum kecil yang tak ia sadari sendiri.
Di balik rasa kesalnya, ada perasaan familiar yang muncul. Renji Arata memang… selalu seperti itu sejak dulu.
—
Sebelas menit berlalu. Suara pintu digeser perlahan memecah keheningan.
Dua orang panitia berseragam rapi memasuki kelas 1-A sambil membawa setumpuk map besar berisi kertas ujian. Salah satu dari mereka, pria berkacamata dengan senyum lebar dan rambut sedikit acak, melangkah ke depan kelas.
“Selamat pagi semuanya!” ucapnya ceria.
“Selamat pagi…” balas para murid serempak, meski terdengar kurang bersemangat.
Pria itu tertawa kecil, lalu mencoba mencairkan suasana. “Wah, wajah kalian tegang sekali. Santai, ini cuma... tes penentu masa depan kalian!”
Beberapa murid menatap kaku. Tak ada yang tertawa.
“Eh? Itu… lucu, ‘kan?” Panitia itu tersenyum kikuk.
Sunyi.
Suasana makin canggung. Panitia satunya yang berdiri di sampingnya hanya bisa menepuk dahinya pelan.
Pria berkacamata itu buru-buru mengalihkan topik. “Eh-hehe… baiklah, mari kita bahas peraturan pengerjaan tes dulu, ya!”
Beberapa murid mulai menunduk menahan tawa, terutama saat pria itu membenarkan kacamatanya dengan gaya dramatis layaknya aktor. Bahkan terdengar beberapa cekikikan dari sudut belakang kelas.
Hikari hanya menatap lurus ke depan, wajahnya tetap serius. Ia tampak tak terpengaruh dengan lelucon atau ekspresi canggung panitia. Tangannya sudah siap di atas meja, menunggu instruksi selanjutnya.
“Oke,” lanjut panitia, “pertama, dilarang mencontek. Kedua, semua tas dan ponsel wajib dikumpulkan di depan kelas. Ketiga, jangan ada yang bertanya pada teman sebelah, walau kalian sekadar ingin tahu kapan istirahat.”
Ia tersenyum sendiri. Lagi-lagi, leluconnya tidak mendapat respon.
“Ehehe… ya sudah, langsung saja, ya…”
Setelah selesai memberi penjelasan, panitia mengangguk kepada guru dan mulai membagikan kertas ujian.
Hikari menoleh ke samping, melihat Renji masih tidur dengan kepala tertunduk di atas lengan. Ia menghela napas.
“Oi… Arata, bangun,” bisiknya sambil menyentil lengan baju Renji perlahan.
Renji membuka satu mata dan menguap panjang. “Sudah mulai?”
“Ya, tentu saja! Ayo duduk tegak, nanti dikira kau tidur saat ujian dimulai,” kata Hikari dengan nada sebal.
Guru yang melihat Renji mengangkat kepalanya hanya menggeleng pelan, tampak sudah terbiasa dengan tingkahnya. Renji membalasnya dengan senyum santai, seolah tak ada yang salah.
Satu per satu kertas ujian sampai di meja para murid.
Begitu soal mendarat di meja Hikari, ia langsung membaca cepat dan mulai mengisi dengan percaya diri. Matanya fokus, dan ujung pensilnya menari cepat di atas lembar jawab.
Renji, yang baru saja sepenuhnya sadar, menatap soal-soal tersebut… lalu menyeringai. “Hah, ini mah gampang…” gumamnya pelan sebelum mulai menulis jawaban.
Namun di sisi lain, beberapa murid terlihat frustasi. Salah satu dari mereka bahkan memegangi kepalanya sambil berbisik, “Ini apaan sih... aku cuma hafal rumus volume balok...”
“Eh, ini tadi dijelasin ya waktu SMP?” gumam murid lain sambil melirik kanan-kiri—tapi buru-buru kembali menunduk karena teringat peraturan.
“Sekali lagi,” ujar guru dari depan kelas, “semua ponsel dan tas ditaruh di depan kelas. Jangan ada yang menyimpan barang di bawah meja.”
Satu per satu, para murid pun bangkit dari tempat duduk, berjalan ke depan, dan meletakkan tas serta ponsel mereka dengan tertib. Ada yang wajahnya pasrah, ada juga yang tampak panik karena belum sempat menghapus contekan.
Sebelum keluar, panitia memberi semangat terakhir. “Baiklah, semangat semuanya! Anggap saja ini pemanasan sebelum petualangan kalian di SMA dimulai!”
Setelah itu, pintu ditutup perlahan. Ujian pun dimulai dengan keheningan total.
Hikari tidak menyia-nyiakan waktu. Ia sudah tenggelam dalam lembar soal, matanya menyapu cepat setiap baris pertanyaan. Sementara Renji… masih terlihat santai, menjawab dengan satu tangan sambil menopang dagu.
—
Waktu terus bergulir. Satu jam pertama berlalu.
Hikari masih duduk tegak dengan rambut birunya yang bergerak sedikit saat angin dari jendela bertiup. Tangannya bergerak cepat, penuh keyakinan saat menulis jawaban terakhir di halaman ujian matematika. Tatapannya tajam, penuh konsentrasi. Tak butuh waktu lama, ia merapikan kertas jawabannya, memeriksa ulang sekilas, lalu berdiri perlahan.
Langkah kakinya terdengar lembut saat berjalan ke depan kelas. Ia adalah orang pertama yang mengumpulkan kertas jawaban.
Panitia yang berjaga tampak terkejut. “Eh? Sudah selesai?” bisiknya pelan.
Hikari mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya. Tatapannya tetap tenang, meski beberapa murid memandangnya dengan kagum… dan sedikit cemas.
“Dia itu… manusia, kan?” bisik salah satu murid di belakang.
Beberapa menit kemudian, satu per satu murid mulai menyusul. Sekitar lima menit setelah Hikari, Renji Arata bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah santai dan menguap kecil, ia menyerahkan kertas jawabannya sambil tersenyum.
“Nomor lima terlalu mudah,” katanya pelan kepada panitia.
Panitia hanya bisa menahan senyum bingung.
Renji berjalan kembali ke tempat duduknya dan merebahkan badan lagi seperti biasa. Sementara Hikari hanya melirik sekilas, lalu menghela napas, merasa kesal tapi juga heran bagaimana seseorang bisa santai seperti itu dan tetap selesai cepat.
Tak lama setelahnya, panitia berikutnya masuk ke kelas dengan map berisi soal Bahasa Jepang. Ia menyapa murid dengan singkat, membagikan soal, lalu memberi waktu.
Kelas kembali hening. Namun murid-murid yang belum pulih dari lelah ujian sebelumnya mulai tampak kewalahan. Terutama siswa-siswa yang kurang unggul secara akademik.
“Eh… ini apaan artinya?” gumam salah satu murid.
“Aku baru hafal kanji minggu depan…” desah yang lain.
Hikari kembali fokus. Ia membaca dengan cepat dan mulai menulis. Wajahnya tenang, bahkan ia sempat menuliskan catatan kecil di pinggir soal untuk menandai yang ingin dicek ulang. Lima belas menit berlalu, dan lagi-lagi, ia menjadi yang pertama menyelesaikan ujian.
Panitia yang baru saja berdiri di samping meja langsung mengangkat alis saat Hikari maju lagi. “Kamu lagi?”
Hikari hanya mengangguk dan meletakkan lembar jawabannya.
Renji selesai beberapa menit kemudian, menjadi siswa keempat yang mengumpulkan kertas. Ia sempat melihat ke arah Hikari dan tersenyum.
“Cepat juga, Nao.”
“Diam,” gumam Hikari, “kamu juga cepat, padahal tidur tadi.”
“Aku belajar... sedikit,” bisik Renji sambil tertawa kecil.
Sementara itu, di sisi lain kelas…
“Sisa dua soal lagi! Sialan... waktunya kurang!” teriak salah satu murid pelan sambil memegangi kepala.
“Baru baca soal kedua...”
Setiap kali pergantian mata pelajaran, panitia berbeda masuk dan memberi sedikit pengantar. Salah satunya mencoba memberi motivasi:
“Pelajaran berikutnya: Ilmu Sosial! Ayo semangat, ini pelajaran mengenal dunia!”
Namun semangat murid tak kunjung meningkat. Beberapa bahkan masih mencoret-coret jawaban sebelumnya dengan panik. Ujian baru dimulai, tapi sebagian sudah tampak frustrasi.
“Gila... ini kayak dihantam tsunami pelajaran!” keluh seorang siswa sambil menatap lembar soal.
Namun di tengah keputusasaan itu, Hikari tetap menulis tenang, matanya fokus. Ia tetap jadi yang pertama mengumpulkan, disusul Arata beberapa menit kemudian.
Panitia pun mulai mengenal wajah mereka berdua.
“Kamu lagi-lagi pertama, ya, Hikari-san,” kata salah satu dari mereka.
Renji hanya menyahut sambil mengangkat tangan. “Saya kelima, seperti biasa.”
Kelas seakan punya dua kutub: yang berjuang keras dan belum selesai menulis, dan Hikari serta Renji yang selesai lebih dulu dan duduk tenang seperti tak terjadi apa-apa.
Setelah dua jam berlalu dan semua mapel selesai, suasana kelas terasa seperti medan perang. Banyak murid meregangkan badan, menghela napas berat, dan bahkan ada yang hampir tertidur di meja karena lelah berpikir.
Namun di sisi depan kelas, guru hanya tersenyum melihat semua itu, terutama ke arah Hikari dan Renji.
“Menarik…,” gumamnya pelan.
—
Bel istirahat akhirnya berbunyi nyaring, menandai akhir dari sesi ujian yang melelahkan. Para murid yang sebelumnya tegang dan panik kini terlihat lega, meski sebagian besar dari mereka tampak lemas seperti habis melewati medan perang.
“Terima kasih atas kerja keras kalian,” ucap gurunya sambil tersenyum lelah. “Panitia dan saya akan mengoreksi hasilnya, jadi sekarang silakan istirahat.”
Para panitia pun pamit keluar dari kelas, disambut bisik-bisik penuh keluhan dari beberapa siswa.
“Aku rasa otakku meleleh…” gumam seorang siswa cowok di bangku belakang sambil mengelap keringat.
“Kenapa waktu ngerjain selalu kurang?! Aku bahkan belum jawab soal terakhir di sesi ketiga!” celetuk yang lain dengan ekspresi putus asa.
Di tengah suasana yang mulai cair, beberapa murid pintar terlihat berkumpul dan berdiskusi tenang di sisi kelas. Salah satu dari mereka, seorang murid perempuan berambut lurus dan mengenakan kacamata, melirik sekilas ke arah Hikari. Tatapan tajamnya seperti tengah menganalisis.
Hikari yang sedang memasukkan pulpen ke kotak pensilnya, mendadak merasa ada yang mengamati. Ia menoleh perlahan dan menangkap tatapan itu. Keduanya bertemu pandang, hanya sebentar, namun cukup untuk membuat Hikari merasa seperti sedang diukur. Jantungnya sedikit berdebar.
(…Siapa dia? Tatapannya… aneh.)
Namun belum sempat ia berpikir lebih jauh, suara seorang murid dari kelompok itu terdengar jelas.
“Tes selanjutnya katanya sih kemampuan logika dan refleks, digedung olahraga.”
“Iya, aku juga dengar. Mungkin kayak soal-soal tipe cepat tanggap atau situasi mendadak.”
“Harusnya nggak terlalu susah sih, asal kita tetap fokus.”
Mereka semua terdengar percaya diri, seolah tes tadi hanyalah pemanasan.
Hikari menutup tasnya dan berdiri. Ia menghela napas kecil sambil melirik Arata yang… sudah tertidur lagi. Kepalanya bertumpu di atas tangan, posisi santai seperti biasa.
(…Dia beneran tidur? Lagi?)
Namun Hikari sudah cukup terbiasa dengan tingkah laku Arata. Ia hanya menggeleng pelan dan berjalan keluar kelas tanpa mengganggunya.
Begitu keluar, suara ceria menyapanya dengan keras.
“Hikaarrii!!”
“Shera?” Hikari sedikit kaget.
Shera menghampirinya dengan ekspresi meringis lelah. “Ujian tadi… susah banget! Aku nyerah!”
Hikari tersenyum kecil, lalu menepuk bahu temannya. “Kamu pasti bisa, Shera. Anggap aja ini pemanasan.”
“Pemanasan apanya… panas banget di kepalaku!” keluh Shera dramatis, membuat Hikari tertawa tipis.
“Ayo ke kantin, ya ya ya?” pinta Shera sambil menggandeng tangan Hikari.
“Baiklah, daripada kamu merengek terus,” jawab Hikari pasrah.
Namun saat keduanya mulai berjalan…
“Eh, Shera… kamu tau kan kantinnya di mana?”
Langkah Shera langsung berhenti. Ia menoleh dengan senyum kikuk.
“Ehehe… nggak tau…”
Hikari menatap temannya dengan wajah penuh rasa tak percaya. “…Kita sekolah di tempat baru, dan kamu ngajak ke kantin… tanpa tau kantinnya di mana?”
Shera menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yah… kira-kira aja?”
“Dasar,” gumam Hikari sambil menggeleng pelan.
Namun seperti biasa, otak Hikari bergerak cepat. “Tadi aku lihat ada map sekolah di dekat tangga barat. Kita cari ke sana dulu.”
Shera langsung bersorak, “I knew I could count on you!”
---
Setelah beberapa menit berputar-putar, Hikari dan Shera akhirnya berhasil menemukan kantin berkat petunjuk dari peta sekolah yang mereka temukan di koridor dekat ruang guru. Suasana kantin sangat ramai, dipenuhi siswa-siswi yang tampak lelah namun senang karena akhirnya bisa beristirahat. Suara denting sendok, obrolan yang ramai, dan aroma makanan yang menggugah selera memenuhi ruangan.
Shera langsung menyeret Hikari ke salah satu meja kosong di dekat jendela. “Akhirnya! Rasanya seperti bertahan hidup dari neraka,” keluhnya sambil menjatuhkan diri ke kursi dan mulai membuka bungkus roti isi yang baru saja dibelinya.
Hikari tersenyum tipis, meletakkan minuman kotak dan bento kecil miliknya. “Kamu sendiri yang maksa ikut masuk sekolah elite, Shera. Harusnya sudah siap dari awal.”
Shera meringis. “Tapi aku nggak nyangka bakal sesulit ini! Tes dadakan, panitia aneh, soal nggak berperasaan... ini benar-benar bukan dunia SMP kita dulu, Hikarin...”
“Jangan panggil aku begitu…” Hikari menghela napas.
Baru saja mereka hendak mulai makan, tiba-tiba…
“Yo.” Sebuah suara santai menyapa dari belakang.
Hikari dan Shera menoleh bersamaan. Di sana berdiri Renji Arata, membawa nampan berisi semangkuk ramen instan dan minuman kaleng. Tanpa malu, ia langsung duduk di kursi kosong di sebelah Hikari.
Shera menatap cowok itu heran. “Eh? Siapa dia?”
Renji melirik Shera sekilas lalu menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jari. “Renji Arata. Teman masa kecil Hikari, dan—” ia menyengir, “rivalnya yang paling menyebalkan.”
Hikari menatap Renji tak percaya. “Tunggu... tadi kamu tidur, kan? Gimana bisa sekarang udah ada di sini?”
Renji mengangkat bahu sambil menyuap ramen. “Aku kebangun pas kamu keluar kelas. Kau terlalu sibuk memikirkan soal, sampai nggak sadar aku bangun.”
Shera menatap mereka berdua bergantian. “Kalian... punya hubungan yang rumit, ya?”
Hikari mendesah, “Jangan mulai.”
Shera terkikik geli.
Baru saja suasana mulai mencair, suara dari speaker utama sekolah terdengar memenuhi seluruh area:
“Seluruh siswa kelas 1-A, dimohon berkumpul di aula gedung olahraga dalam 15 menit untuk mengikuti tes logika dan refleks. Harap bersiap dan jangan terlambat.”
Suasana kantin langsung berubah. Beberapa siswa panik, sebagian bergegas merapikan barangnya, dan yang lain hanya bisa mengeluh pelan.
“Tes lagi?” Shera mengeluh putus asa, “Tolonglah, sekolah ini nggak kenal ampun…”
Renji bangkit dari tempat duduknya, memutar lehernya sejenak lalu menatap Hikari. “Kamu siap?”
Hikari berdiri perlahan sambil menatap lurus ke matanya. “Tentu saja. Aku nggak akan kalah darimu.”
Tatapan mereka saling bertemu—tajam, penuh semangat namun dibungkus senyum tipis. Persaingan lama mereka mulai menyala kembali, dan keduanya tahu, hari ini baru permulaan.
---
Bab 2 Tamat