Gedung olahraga pagi itu dipenuhi suara riuh para murid. Beberapa terlihat duduk santai di bangku tribun, sementara yang lain saling berkerumun, membahas apa yang akan mereka hadapi.
"Aku dengar tesnya bukan cuma fisik, tapi ada juga tes refleks!" ujar salah satu murid laki-laki dengan nada panik.
"Serius? Aku bahkan belum sempat pemanasan!" balas temannya, wajahnya penuh kekhawatiran.
Dari sisi lain, dua murid perempuan tampak berdiskusi serius.
"Aku yakin ini lebih ke arah pengamatan dan reaksi. Bukan cuma kecepatan tubuh, tapi juga insting dan kecermatan," kata yang satu, dengan kacamata di wajahnya.
"Yah... asal jangan lari keliling lapangan aja. Itu melelahkan banget," keluh temannya sambil menarik napas panjang.
Beberapa murid terlihat memijat bahu, mengayunkan tangan ke depan dan ke belakang, mencoba melemaskan otot sebelum tes dimulai. Aura tegang dan cemas menyelimuti sebagian besar dari mereka.
Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat dari pintu masuk gedung.
"Hikari~!" Shera berseru sambil menepuk tangan penuh semangat. "Gedungnya keren banget ya?! Luas banget!"
Hikari hanya tersenyum kecil melihat ekspresi kagum Shera. Sementara di sisi lain, Renji Arata berjalan santai dengan tangan di saku, matanya setengah terbuka seolah masih mengantuk.
Shera menoleh ke arah mereka berdua. Untuk sesaat, ia terpaku melihat cara berjalan mereka yang tenang, penuh percaya diri. Di matanya, Hikari dan Arata seolah dikelilingi aura berbeda dari murid lainnya. Aura persaingan, tapi juga ketenangan.
“Kenapa kalian... kelihatan tenang banget sih?” gumam Shera pelan, tapi cukup terdengar oleh Hikari.
Hikari melirik sebentar dan hanya menjawab dengan lirih, “Aku... sudah siap.”
Tiba-tiba, terdengar suara langkah sepatu mendekat dengan ritme pasti. Seorang pria paruh baya mengenakan seragam olahraga berdiri tegak di tengah lapangan.
“Semua murid, berkumpul!” serunya dengan lantang, mengalahkan keramaian gedung.
Suasana mendadak hening. Para siswa mulai berjalan ke tengah lapangan, membentuk barisan sesuai arahan. Tatapan mereka tertuju pada sosok guru yang kini berdiri di depan, penuh wibawa.
"Saya Pak Yuuto, guru olahraga kalian. Hari ini, kalian akan menjalani Tes Seleksi Dasar untuk menentukan kelas masing-masing berdasarkan kemampuan akademik dan fisik. Kalian semua sudah melakukannya setengah bagian di tes akademik pagi tadi. Sekarang saatnya menguji kemampuan tubuh dan otak kalian."
Para murid mulai berbisik, beberapa terlihat tegang, sebagian lain penasaran.
Tak lama, seorang siswi berseragam putih-hitam dengan jaket khusus asisten pelatih berjalan mendekat ke sisi Pak Yuuto. Ia membawa tablet dan clipboard.
"Halo semuanya. Aku Qeira, murid kelas dua sekaligus asisten guru olahraga di kegiatan orientasi ini. Aku akan menjelaskan sistem tes hari ini," katanya ramah dengan senyum tegas.
“Tes hari ini terdiri dari lima bagian,” lanjutnya. “Masing-masing bagian akan menilai aspek yang berbeda dari kalian. Berikut ini sistem dan peraturannya.”
Beberapa murid mulai mengeluarkan buku catatan kecil, termasuk Hikari, yang sejak tadi berdiri tegak mendengarkan dengan serius.
Qeira menatap layar di tablet, lalu mulai menyebutkan:
"Pertama, tantangan logika berbasis waktu. Kalian akan diberi soal logika visual dan numerik dalam waktu sangat terbatas. Fokus dan kecepatan berpikir diuji di sini.
Kedua, lintasan refleks. Kalian akan melewati rintangan sensorik di jalur reaksi cahaya. Poin diberikan berdasarkan kecepatan dan presisi.
Ketiga, duel refleks. Kalian akan berhadapan dua lawan dua dalam mini-game untuk menguji refleks dan strategi cepat.
Keempat—dan ini terakhir—puzzle tim kilat. Ini tes kerja sama, strategi, dan ingatan. Kalian akan dibagi tim dan menyusun pola-pola rumit dalam waktu terbatas."
Semua murid mulai bersuara. “Banyak banget, ya...”
“Pake duel segala, serem juga...”
“Puzzle tim? Maksudnya kita harus kerja sama sama orang yang belum kenal?!”
Qeira mengangkat tangan, memberi isyarat tenang. “Tenang, kami sudah membagi kelompok dan sistemnya sudah kami pikirkan matang. Tapi satu hal penting: Dilarang menggunakan alat bantu seperti kalkulator, ponsel, atau komunikasi luar. Yang ketahuan akan langsung didiskualifikasi.”
Tiba-tiba, terdengar bunyi "BEEP—BEEP—BEEP" dari pengeras suara di atas. Layar besar yang tergantung di atas panggung menyala terang. Suara sistem berbicara: “Menampilkan rangking akademik sementara: Sepuluh besar.”
Gedung langsung hening. Semua mata memandang layar. Lalu, satu per satu nama dan foto mulai muncul.
1. Amara Kirisaki
2. Kenjiro Fushinami
3. Kira Honjou
4. Takuma Shiden
5. Hikari Nao
6. Renji Arata
7. Mei Yura
8. Daichi Morishima
9. Riku Tenzawa
10. Saya Matsuda
"Eh?! Aku urutan lima?!" seru Hikari dengan mata melebar.
Shera yang berdiri di sebelahnya pun terkejut. “Arata urutan enam? Dia bahkan tidur sebelum tes...”
Mata Hikari langsung melirik tajam ke layar. Empat peringkat atas tampak berada di sisi kiri mereka, satu di antaranya—Amara Kirisaki, gadis berambut panjang dan berkacamata—menatap Hikari sambil tersenyum simpul, dingin namun menyebalkan.
“Dia lagi...” Hikari menggeram pelan.
Anak-anak dari peringkat satu sampai sepuluh mendapat tepuk tangan dari beberapa murid lainnya.
“Jangan-jangan mereka dari sekolah elit?” bisik salah satu murid lain.
Renji yang sejak tadi hanya memandangi layar tanpa ekspresi, akhirnya menyenggol bahu Hikari. “Lima, ya? Lumayan... Walau kupikir kamu bisa dua atau tiga.”
“Diam, kamu malah enam!” bentak Hikari, pipinya mengembung kesal.
Renji tertawa kecil. “Tapi setidaknya kita masuk sepuluh besar. Itu bagus.”
Hikari mendengus dan menoleh ke depan. “Aku nggak akan kalah dari mereka...”
Renji menatapnya sebentar, lalu ikut menghadap depan.
Qeira kembali mengambil alih pembicaraan. “Peringkat ini hanya sebagian dari penilaian total. Tes fisik hari ini bisa mengubah segalanya. Jadi lakukan yang terbaik, jangan remehkan apa pun.”
Pak Yuuto mengangguk setuju. “Kita mulai dari tahap pertama. Ikuti instruksi dari panitia sesuai nomor peserta kalian.”
—
Setelah pengumuman peringkat dan tepuk tangan yang meriah untuk empat murid peringkat teratas, suasana di lapangan olahraga kembali hening. Semua murid kini berdiri rapi sesuai barisan, sebagian masih terlihat tegang, sebagian lainnya tampak antusias.
Qeira, asisten guru olahraga yang tadi sempat menjelaskan sistem tes, kini kembali maju beberapa langkah ke tengah lapangan. Senyumnya ramah namun posturnya tegap dan berwibawa—menggambarkan bahwa dia bukanlah siswa biasa.
“Baik, kita akan mulai dengan tes pertama!” serunya dengan lantang, suaranya menggema hingga ke sudut tribun atas.
“Tes logika berbasis waktu,” tambahnya, “akan menguji seberapa cepat dan tepat kalian dalam memproses informasi dan menyelesaikan teka-teki logis dalam tekanan waktu.”
Shera yang berdiri di samping Hikari langsung menggeliat kecil. “Wah… kayaknya otakku belum siap.”
Hikari menoleh cepat. “Tadi kamu bilang cuma takut lari-larian. Sekarang takut mikir juga?”
Shera menatap langit-langit seolah memohon pertolongan ilahi. “Aku nggak nyangka ini akan semengerikan ini…”
Di samping Hikari, Arata terlihat menguap lebar.
“Eh, serius? Masih sempat ngantuk?” bisik Hikari sambil menatapnya dengan ekspresi sebal.
“Ya,” Arata mengangkat bahu. “Lagian aku suka tes ginian. Santai aja.”
“Ng…nggak masuk akal,” gumam Hikari pelan, masih menatapnya curiga.
Qeira melanjutkan, “Kalian akan dibagi menjadi lima kelompok besar. Satu kelompok akan masuk ke dalam area uji logika, sementara kelompok lain menunggu giliran. Waktu pengerjaan hanya sepuluh menit per tim. Tapi ingat—setiap orang akan mengerjakan soal berbeda. Tidak ada kerja sama. Sistem akan menilai kalian berdasarkan waktu penyelesaian dan tingkat akurasi.”
Seorang murid dari belakang langsung berseru, “Serius, ini kayak simulasi ujian nasional!”
Qeira tertawa ringan. “Tenang, ini baru pemanasan. Kalau ini berat, bagaimana nanti waktu duel refleks?”
Seketika murid-murid yang tadi semangat, langsung bergidik.
Beberapa petugas panitia mulai mengarahkan murid ke zona tes pertama. Lima tenda besar dengan dinding tertutup layar hitam berdiri di sisi kanan gedung olahraga. Di atasnya terdapat tulisan digital: “Zona A, B, C, D, dan E.”
Kelompok pertama mulai dipanggil.
Tak lama, suara pengeras menggema dari atas tribun. “Kelompok D, silakan maju: Hikari Nao, Arata Renji, Shera Ayaka, Kira Honjou…”
Begitu nama mereka dipanggil, Shera langsung menatap Hikari panik. “Kita langsung? Sekarang?!”
“Kita grup D rupanya…” Hikari bergumam. “Ayo, jangan sampai bikin malu.”
“Gawat… gawat…” Shera menarik napas panjang sambil memukul pelan pipinya sendiri. “Kamu duluan aja, ya. Biar aku lihat caramu panik.”
Hikari hanya mendecak.
Di dalam tenda, suasana sangat tenang. Setiap murid masuk ke bilik kecil berisi layar sentuh dan headset. Begitu duduk, layar menyala menampilkan hitungan mundur: 10 detik.
Hikari langsung fokus. Ia menaruh tangan di pangkuan, mengambil napas dalam, dan menatap tajam ke layar.
Seketika soal pertama muncul: teka-teki berbentuk grafik angka, disertai pilihan pola logika.
‘Mudah… ini cuma pola deret acak dengan modifikasi rotasi. Jawabannya D,’ pikirnya cepat, dan langsung menyentuh layar.
Soal berikutnya muncul. Hikari terlihat menikmati teka-teki ini. Matanya bergerak lincah, jarinya mantap menyentuh jawaban tanpa ragu.
Di bilik lain, Arata duduk santai dengan satu tangan menopang dagu. Tatapannya setengah mengantuk, tapi anehnya jemarinya bergerak cepat seperti hafal pola-pola soal yang muncul. Ia mengerjakan dengan kecepatan mengganggu—seolah ia sudah pernah melihat soal-soal ini.
Sementara itu di bilik sebelah, Shera terlihat kesulitan. Bibirnya menggembung, tangan mencakar rambut. “Kenapa ini malah kayak kode alien?!”
Ia salah klik dua kali dan sempat membeku di soal ketiga selama satu menit penuh.
Di sisi lainnya, Kira Honjou duduk tenang. Tatapannya tajam, dan pergerakannya efisien. Tak ada gerakan berlebihan. Dia bahkan tampak seperti tidak berkedip. Sorotan matanya tajam dan penuh percaya diri.
Sementara waktu terus berjalan, 7 menit... 8 menit... 9 menit...
Hikari menjawab soal terakhir dan menyentuh layar akhir dengan napas tertahan. Detik berikutnya, layar menampilkan tulisan:
『Tes Berakhir. Silakan keluar dari bilik.』
Hikari berdiri dan keluar dari tenda, diikuti oleh Arata, Shera, dan Kira.
Shera langsung mengeluh, “Ugh! Aku cuma bisa jawab tiga soal! Sisanya ngasal!”
“Ngasal pun butuh keahlian,” kata Arata santai, menyisipkan tangan ke saku celananya.
Hikari menoleh cepat. “Hei, kamu jawab semua?”
“Semua soal,” jawab Arata sambil tersenyum licik.
“APA?!” Hikari hampir tersedak napas sendiri. “Itu semua selesai dalam waktu sepuluh menit?!”
“Delapan menit sih, sisanya aku ngantuk.”
Shera langsung ambruk secara dramatis, “Kalian ini bukan manusia…”
Dari sisi belakang, Kira melirik Hikari, kemudian tersenyum tipis sebelum kembali berjalan ke barisannya tanpa mengucapkan sepatah kata.
Tatapan itu lagi. Hikari menggertakkan gigi kecil. “Aku nggak suka dia.”
“Dia manis juga sih,” sahut Arata santai. “Kamu cemburu?”
“Bukan urusanmu!”
Suasana di sekitar mereka mulai ramai dengan kelompok berikutnya yang dipanggil masuk. Beberapa murid yang baru keluar dari tenda tampak lemas dan bingung, sebagian bahkan masih bertanya-tanya apakah jawaban mereka benar.
Qeira kembali ke tengah lapangan dan berkata, “Tes pertama selesai untuk kelompok D. Kelompok berikutnya, bersiap!”
Sementara Hikari dan Arata kembali ke barisan, keduanya saling melirik dengan senyum kecil di bibir.
Mereka tidak perlu berkata apa-apa. Cukup tatapan itu—tatapan yang penuh semangat persaingan dan gengsi. Tak ada yang mau kalah.
Kamera perlahan bergerak naik ke langit, meninggalkan atap gedung olahraga yang masih dipenuhi gemuruh suara para murid dan pantulan cahaya sore yang menyusup melalui jendela tinggi. Suara dari dalam gedung masih terdengar samar: pengumuman tes, sorakan, suara langkah kaki, dan suara Qeira yang masih sibuk membimbing kelompok berikutnya.
Langit sore berubah keemasan. Awan menggantung perlahan, dan sinar matahari menyinari halaman sekolah yang tenang. Dari atas, tampak bangunan sekolah yang megah dan taman kecil di sisinya, menciptakan suasana penutup yang damai setelah satu hari penuh ketegangan.
Layar pun menjadi hitam.
…
Cut to:
Gerbang depan sekolah, matahari mulai condong ke barat. Siswa-siswi berjalan pulang, sebagian mengobrol dengan lelah, sebagian lain masih mendiskusikan hasil tes tadi siang.
Shera, Hikari, dan Arata berdiri di depan mesin minuman otomatis, masing-masing memegang kaleng dingin berembun.
“Ugh…” Shera menghela napas sambil memeluk kalengnya seperti bantal. Rambutnya sedikit berantakan dan ekspresinya tampak… hancur.
“Tes pertama… salah tiga… tes kedua… jatuh dua kali… tes ketiga… ketinggalan giliran… terus yang di bagian puzzle tim itu…”
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya dan langsung mendesah panjang.
Cut scene pendek:
Shera terdiam di depan papan soal logika, alis berkerut, lalu mencet tombol dua kali dan menatap layar dengan wajah kosong.
Cut.
Shera sedang berlari di lintasan refleks, tersandung pembatas dan berguling.
Cut.
Shera panik di depan meja puzzle tim, tangan gemetar sambil melihat waktu habis.
Kembali ke Shera yang kini terduduk di bangku taman kecil dekat vending machine, kepalanya bersandar ke lengan sendiri. “Aku gagal sebagai anak remaja yang ingin terlihat keren…”
Hikari tersenyum lembut, duduk di sampingnya. “Tapi kamu nyoba. Kamu tetap bertahan sampai akhir. Itu nggak semua orang bisa.”
Shera mengangkat kepala pelan.
“Kamu tahu, She… kebanyakan orang akan panik dan nyerah, tapi kamu tetap senyum—meski jatuh, walau salah terus, kamu tetap coba. Itu keren banget menurutku.”
Shera menatap Hikari sejenak, matanya berkaca sedikit. Tapi sedetik kemudian, dia langsung loncat berdiri dan memeluk Hikari dari samping dengan tawa keras. “HIKARI BAIK BANGETTTTT!! AKU SUKA KAMU!!”
“Eh—Shera!?” Hikari langsung panik, minumannya hampir tumpah.
“Ehehe~! Makasih yaaa!!” Shera berkata dengan suara manja seperti anak kecil. “Kamu kaya kakak yang manis! Aku janji nggak akan nyerah lagi! Shera-chan akan semangaaat!!”
“Ka-kakak?! Kita seumuran—”
“Yah pokoknya kamu sweet banget!” Shera memeluk Hikari makin erat.
Arata yang berdiri di samping mereka hanya mengangkat alis. Ia meminum kalengnya santai lalu menatap Hikari sambil menyeringai. “Ngomong-ngomong, kamu sendiri percaya diri banget ya setelah semua itu?”
Hikari akhirnya bisa lepas dari pelukan Shera yang makin heboh. “Ya dong! Nggak seperti kamu yang selalu ngantuk. Aku yakin nilainya oke!”
Arata tertawa kecil. “Kecuali waktu kamu jatuh di lintasan refleks itu… aku sampai nahan ketawa loh. Kamu kaya… pinguin kepleset.”
Hikari langsung membelalak. “Hah?! Itu nggak lucu sama sekali! Aku kejebak tali rintangan itu!”
Shera langsung teringat dan mulai cekikikan. “Oh iya! Yang kamu jatuh terus ‘Ow! Ow! Ow!’ sambil merangkak kayak bayi kura-kura! AHAHA!!”
“SERIOUSLY?! KALIAN KENAPA KETAWA SIH?!” Wajah Hikari mulai merah merona, entah karena malu atau marah.
Arata menyentuh dagunya, masih dengan ekspresi menggoda. “Yah, nilai bagus sih penting. Tapi setidaknya kamu nyisain momen lucu buat dikenang.”
Shera tertawa makin keras. “Itu bakal aku ingat terus! Hikari si kura-kura tersandung!”
“UDAH DONG!!” Hikari menutup wajahnya dengan kaleng minuman. “Aku nggak akan ngomong lagi ke kalian!”
Tapi mereka bertiga akhirnya tertawa bersama. Meskipun hari itu penuh tes melelahkan, suasana senja yang hangat dan obrolan mereka membuat semuanya terasa ringan.
Cut terakhir memperlihatkan mereka bertiga berjalan menjauh dari gerbang sekolah. Shera masih tertawa, Arata menguap malas, dan Hikari—meski masih sedikit malu—tersenyum sambil berjalan di antara keduanya.
Di latar belakang, langit sore berubah menjadi jingga keemasan.
To be continued…
—